Selasa, 19 Maret 2013

BALADA RUMAH POHON


Mataku nanar menatap ke sekeliling . Ke arah pegunungan yang berbaris rapi dan menjulang tinggi ke langit . Warnanya biru kehijauan dibawah langit yang berwarna biru muda . Sementara perkebunan teh membentang luas di hadapanku . Lengkap dengan para pemetik daun teh yang sedang tekun bekerja di bawah sinar mentari .
Aku menghirup nafas dalam-dalam . Meresapi kesejukan hingga rongga dadaku berasa nyaman .
Sudah terlalu lama aku tidak menikmati pemandangan alam dan suasana pegunungan seperti ini . Nyaris lima belas tahun lamanya semenjak orang tuaku menyeret paksa aku untuk pindah ke kota .
Aku lahir dan menghabiskan masa kanak-kanakku di tempat ini . Aku sering mengisi waktu dengan bermain di sungai kecil dibawah bukit . Juga di perkebunan teh . Tapi ada satu tempat yang menjadi favoritku semasa kecil , yaitu rumah pohon .
Langkahku sedang bergerak menuju ke sana . Sedang ingatanku mencoba mengorek kembali kenangan-kenangan yang pernah ku ukir di rumah pohon .
Dulu sewaktu aku masih kecil , aku sering menjadi bahan ejekan teman-temanku . Karena tubuhku yang kurus dan pendek , juga kulitku yang hitam . Ditambah lagi rambut ikalku , membuat aku merasa rendah diri di hadapan teman-temanku .
Entahlah , apa saja yang telah aku buat kala itu . Aku selalu dimusuhi dan dijauhi oleh mereka . Tak jarang aku menumpahkan air mataku usai mereka menyakitiku . Namun aku selalu berusah menyembunyikan air mataku dari penglihatan mereka . Karena hanya menangis yang bisa aku perbuat . Aku tak punya keberanian sama sekali untuk melawan karena nyaliku memang kecil .
Oh , rumah pohon itu rupanya masih ada , batinku girang . Aku telah menemukan tempat favoritku semasa kecil .
Rumah pohon itu sudah usang dan tampak lapuk dimakan usia . Meski begitu aku bahagia bisa melihat rumah pohon itu lagi . Karena rumah pohon itu adalah tempat persembunyianku kala menangis .
Aku mengeluarkan ponselku dan mengambil gambar rumah pohon itu beberapa saat kemudian . Bagaimanapun aku termasuk tipe orang yang sangat menghargai kenangan .
Aku masih ingat di rumah pohon itu aku tidak sendiri . Ada seorang anak laki-laki yang selalu menemaniku disana . Ia pernah memergokiku sedang menangis disana . Ia tak mengucapkan sepatah kalimatpun . Ia menungguku dengan tekun sampai aku berhenti menangis , barulah ia bicara padaku . Ia tak bertanya kenapa aku menangis . Ia hanya berbicara , tepatnya bercerita tentang gunung-gunung , sungai dan alam . Sekali waktu ia pernah berkisah tentang cita-citanya di masa depan . Jika aku tidak salah mengingat , ia bercita-cita ingin menjadi seorang arsitek .
Entah dimana laki-laki kecil yang sekarang pasti sudah menjadi laki-laki dewasa itu . Apa ia sudah menggapai cita-citanya ? Apa ia masih mengingatku juga rumah pohon yang kini telah melapuk dimakan usia itu . Apa ia masih menyimpan kenangan kami berdua di dalam hatinya ?
Rasanya baru kemarin aku masih menapaki tangga menuju rumah pohon itu . Ternyata waktu berlalu begitu cepat . Pohon itupun tampak dua kali lebih besar dari terakhir yang aku lihat .
Rena.....
Aku meraba permukaan kulit pohon dihadapanku . Sebaris namaku sengaja ku goreskan disana kala itu . Saat itu aku tengah menunggu laki-laki kecil itu datang . Aku merasa bosan dan muncullah ide segar untuk menuliskan sebaris namaku disana , setelah laki-laki kecil itu datang aku menyuruhnya untuk turut menuliskan namanya dibawah namaku .
Aku tersenyum kecil mengingat kenangan itu . Padahal kenangan seperti ini tak selalu penting untuk dikenang . Terkadang usang begitu saja termakan usia . Dan laki-laki itu pasti telah melupakannya .
Aku menoleh tatkala mendengar langkah kaki berderap mendekat ke tempatku berdiri . Seorang laki-laki berpakaian kemeja putih berpadu dengan celana katun berwarna hitam sedang bergerak ke arahku .
"Apa Anda investor yang ingin membeli tanah ini ?" tanyanya langsung tanpa berbasa-basi terlebih dulu . " Maaf , kami sama sekali tidak berniat untuk menjual tanah ini ." tandasnya .
Aku bengong . Apa tampangku seperti seorang investor kaya yang ingin membeli tanah ? batinku kesal .
"Bukan ." jawabku kemudian .
"Lantas Anda siapa ?"tanyanya kemudian .
"Bukan siapa-siapa . "sahutku seolah menjadikan diriku sebagai sosok misterius di hadapannya . "Aku hanya ingin mengunjungi rumah pohon ini . " tuturku .
Laki-laki itu mengerutkan dahinya .
"Kenapa ? Apa rumah pohon ini sangat menarik ?" cecarnya ingin tahu .
Aku menghela nafas sejenak . Sebenarnya aku tidak terlalu tertarik untuk menceritakan kisah rumah pohon itu pada orang asing , tapi mungkin aku bisa membagikan sedikit kenangan itu padanya .
"Aku lahir dan besar di tempat ini . "ucapku . "Semasa kecil aku pernah bermain di rumah pohon ini bersama seseorang . Kebetulan aku berkunjung ke tempat ini , jadi aku menyempatkan diri untuk ke rumah pohon ini . "
"Oh...." laki-laki itu manggut-manggut . "Lalu dimana teman Anda , apa dia tidak ikut ?" tanyanya lagi .
Aku menggeleng .
"Aku tidak tahu dimana dia sekarang ." jelasku .
"Apa Anda tidak ingin mencarinya ? Kalau Anda mau saya bisa mengantar Anda mencari teman Anda . Kebetulan saya hafal daerah ini ." tawarnya .
"Tidak perlu ." sahutku . " Aku tidak lama disini . Besok aku akan pulang ke kota . " tandasku .
"Begitukah ?" gumamnya tak begitu jelas .
Perbincangan terhenti . Buntu . Rasanya topik pembicaraan telah habis begitu saja . Aku juga tidak tertarik untuk bertanya pada laki-laki asing itu . Untung saja Pak Udin datang disaat yang tepat . Penjaga vila itu datang tergopoh-gopoh ke arah kami .
"Non Rena......" serunya . " Vilanya sudah siap . Apa Non mau beristirahat sekarang ?" tawarnya dalam logat Jawa yang kental .
Aku belum sempat menjawab pertanyaan penjaga vila itu , saat tiba-tiba ia menyapa laki-laki asing di sebelahku itu dengan akrabnya .
"Mas Ardi .... sedang apa disini ?" sapanya .
"Sedang jalan-jalan Pak Udin .... " sahut laki-laki asing itu sembari tersenyum .
Aku melongo menatap laki-laki itu . Lantas membaca sebaris nama yang tertulis dibawah namaku di permukaan kulit pohon . Ardi.....
Apa laki-laki asing itu adalah Ardi , teman masa kecilku yang selalu bermain bersamaku di rumah pohon itu ?
"Non Rena ingin pulang sekarang ?"
Pertanyaan Pak Udin tak ku gubris sama sekali . Aku hanya ingin memastikan laki-laki itu adalah Ardi teman rumah pohon ku .
"Apa kamu Ardi , teman masa kecilku ? Benarkah itu kamu ?' desakku penasaran . Aku mencoba mengingat sosoknya semasa kecil . Tapi aku tak berhasil mengingatnya . Wajah itu telah memudar sama sekali dari ingatanku .
Laki-laki itu tersenyum tipis .
"Bukan . Anda pasti salah orang ."sahutnya .
Aku tercekat . Benarkah aku salah orang ? batinku . Harapan yang sempat melambung kini luruh lagi ke tanah setelah ia mengingkari jika dia bukan Ardi teman masa kecilku .
"Kita pulang sekarang Pak ." ucapku seraya membalikkan tubuh . Aku memutuskan pergi daripada menghayal lebih jauh lagi tentang teman masa kecilku . Toh yang memiliki nama Ardi banyak sekali di dunia ini .
Pak Udin mengiyakan . Ia menyusul langkahku kembali ke vila seraya berceloteh kesana kemari .
"Sebenarnya tanah itu akan dibeli dengan harga tinggi , tapi Mas Ardi tidak bersedia menjualnya . sayang sekali ya Non ..." tutur Pak Udin .
"Kenapa ?" sahutku . Meski tak begitu antusias dengan cerita itu , tapi aku seperti berkewajiban untuk bertanya alasannya pada Pak Udin .
"Alasannya karena rumah pohon itu . Kata Mas Ardi , dia tidak mau rumah pohon itu dihancurkan . Katanya dia punya banyak kenangan masa kecil di rumah pohon itu . Padahal rumah pohon itu sudah jelek begitu ."
Penuturan Pak Udin membuatku tercekat dan sekaligus menghentikan langkahku . Aku membalikkan tubuh lantas berlari kembali ke rumah pohon itu .
Laki-laki itu masih berdiri di sana . Tapi tangannya telah mendarat di permukaan kulit pohon dimana dua baris nama tergores disana .
"Kenapa kamu menyangkal jika kamu adalah teman masa kecilku ?" tegurku mengagetkannya .
Ia tampak tertegun . Namun tak cukup lama .
"Karena kupikir kamu akan mengenaliku meski aku tidak mengatakan siapa diriku ."tandasnya .
Aku tersenyum kecut .
"Bodoh !"makiku . "Mana mungkin aku bisa mengenalimu setelah bertahun-tahun lamanya ?"
Ia mengembangkan senyum .
"Maaf ." ucapnya . Aku tertawa melihatnya merasa bersalah seperti itu .
"Apa kamu masih mengingat semua kenangan masa kecil itu ?" tanyaku langsung disambut anggukan olehnya . " Aku juga masih mengingatnya ." ucapku .
"Tapi kamu datang kesini bukan untuk menangis kan ?"
Aku menggeleng .
"Bukan ."jawabku . " Sebenarnya aku datang untuk melihat rumah pohon ini , dan juga mencarimu . Tapi aku tidak tahu harus mencari kemana . Lagipula aku tidak yakin apa kamu masih mengingatku ."tuturku sedikit canggung . Jujur dari hatiku yang terdalam .
"Aku juga terus menunggumu di rumah pohon ini . Meski aku tidak yakin kamu akan datang , tapi setidaknya aku masih bisa mengenang kisah kita di rumah pohon ini ." cakapnya .
"Benarkah ?" sahutku tak percaya .
Ia mengangguk cepat .
"Apa kamu sudah menikah ?" tanyanya kemudian . "Maaf... kenapa aku jadi bertanya seperti itu ?" gumamnya malu-malu . Membuatku tertawa geli melihatnya .
"Belum ." jawabku .
"Benarkah ?" sambutnya dengan mata berbinar . Ada sejuta asa yang tersirat di dalam matanya . Terlukis bak pelangi yang melengkung gemerlap usai hujan turun . Membiaskan rasa bahagia dan gambaran masa depan yang gemilang .
Rena ..... Ardi ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar