Selasa, 30 April 2013

DESTINY


Aku masih duduk dibangku kelas dua SMU kala itu. Dan aku masih ingat betul saat Raffa datang dan mengulurkan setangkai bunga mawar ke hadapanku. Ia bilang ia menyukaiku. Namun aku hanya tersenyum sinis seraya menepis bunga mawar pemberiannya hingga jatuh ke atas lantai. Aku menolak cintanya mentah-mentah dan lebih memilih Dennis.
Aku masih terlalu belia dalam cinta. Aku menilai seseorang dari penampilan luarnya ketimbang menilai hatinya. Karena itulah aku lebih memilih Dennis. Dennis yang tajir, keren dan banyak digilai cewek-cewek. Tak terbayangkan betapa bangganya diriku saat menyandang status pacar Dennis kala itu. Aku juga menutup mata dan telingaku manakala terdengar selentingan kabar jika Dennis adalah playboy yang suka gonta-ganti pacar. Aku tak ingin mempercayai berita itu karena aku terlalu mencintai Dennis.
Itulah diriku lima tahun yang lalu. Namun seiring bergulirnya waktu, aku mulai belajar mendewasakan pikiranku. Perlahan aku memperbaiki sikap-sikap burukku dimasa lalu. Dan ternyata takdir sungguh menggelikan. Disaat aku sedang tumbuh dewasa, sosok dimasa lalu kembali hadir dihadapanku. Raffa....
Aku telah tertipu penampilan lugu dan sederhana milik Raffa kala itu. Raffa yang pandai, sopan dan kaya raya itu tersembunyi dibalik penampilannya yang biasa-biasa saja. Andai aku tahu siapa Raffa sesungguhnya kala itu aku pasti menerimanya cintanya dengan tangan terbuka. Ah, ternyata aku begitu materialistis!
Aku diterima bekerja disebuah perusahaan besar. Ini sebuah keberuntungan besar buatku. Diantara sekian ratus pelamar aku termasuk salah satu orang yang diterima bekerja di perusahaan ini. Tapi kebahagiaanku ini tersendat manakala aku tahu Raffa adalah anak dari pemilik perusahaan tempatku bekerja. Dan ia menjabat sebagai direktur perusahaan.
Aku benar-benar tak berkutik karena malu. Laki-laki yang pernah kutolak mentah-mentah ternyata..... Oh tidak! Bagaimana aku bisa menjalani aktifitasku sehari-hari? Tidak mungkin aku melepas pekerjaan yang ku dapat dengan susah payah ini begitu saja hanya karena Raffa adalah atasanku.
~~~~~~
"Aku pulang duluan, Rin,"seru Tiara melambaikan tangan kanannya. Aku hanya tersenyum lesu ke arahnya. Harusnya aku juga sudah pulang tapi pekerjaanku masih menumpuk di atas meja. Dan aku harus menyelesaikannya hari ini juga. Entahlah,padahal aku karyawati baru tetapi pekerjaanku sangat banyak. Apa mereka sengaja melakukan ini padaku atau mungkin saja Raffa sengaja ingin membalas dendam padaku?
Kurasa Raffa sudah jauh berubah. Ia bukan Raffa yang pernah ku temui lima tahun yang lalu. Ia yang sekarang adalah Raffa seorang eksekutif muda yang tampan dan berwibawa. Dari desas desus yang kudengar banyak karyawati yang menaksir dirinya. Pantaslah ia menjadi incaran para wanita sekarang ini. Tapi ia tampak sangat sibuk dengan pekerjaannya dan jarang berbicara dengan karyawannya. Juga semenjak bekerja disini aku belum pernah berbincang dengannya meski hanya saling bertegur sapa. Tentu saja, karena dunia kami berbeda.
Tapi kenapa aku sangat merisaukan dirinya? Kenapa sedikit demi sedikit aku mulai menumpuk penyesalan didalam hatiku? Sampai-sampai terkadang aku berandai-andai tentang dirinya. Apa aku juga mulai menyukainya seperti karyawati lain yang setiap kali ia datang mata mereka tak berkedip menatap wajahnya. Oh Tuhan, sudah gilakah diriku ini?
Punggungku penat dan mataku pedih menatap layar komputer terus-menerus. Aku menggeliat sekedar merileks-kan tubuhku.
"Mbak Irin lembur lagi?"
Teguran itu membuatku tersadar. Seorang office boy datang menghampiri meja kerjaku.
"Iya Di,"sahutku pada Didi."Kamu kebagian shift malam?"
"Iya Mbak,"balasnya seraya tersenyum."Mbak Irin mau aku buatkan minuman hangat?"
Perutku memang keroncongan sedari tadi. Aku juga tidak sempat untuk beranjak dari kursiku sekedar untuk membeli makan malam.
"Boleh. Jika nggak merepotkan,"balasku.
"Nggak kok Mbak, ini kan udah tugas saya. Mbak Irin tunggu sebentar ya," Didi bergerak meninggalkan ruang kerjaku menuju pantry.
Jam ditanganku sudah menunjuk pukul delapan malam. Mungkin setengah jam lagi pekerjaanku selesai,batinku. Aku meneruskan kembali pekerjaanku.
Akhirnya malam itu pekerjaanku selesai juga. Aku keluar dari gedung saat jam hampir menunjuk angka sembilan. Aku memilih menunggu taksi ketimbang angkutan umum karena kupikir akan lebih aman. Tapi saat itu juga aku melihat mobil Raffa meluncur dari arah parkir lantai basement. Aku terpukau menatapnya untuk beberapa detik lamanya.
Aku tersenyum getir manakala ia tak menghentikan mobilnya, bahkan menolehpun tidak. Tidak mungkin ia tidak melihatku yang tengah berdiri di tepi jalan. Bahkan ia tak ingin melihatku.
Ku akui aku memang kecewa. Aku memang sempat berharap ia masih menyukaiku, tapi nyatanya aku salah. Tapi apapun yang ia lakukan adalah haknya. Ia membalas perlakuanku di masa lalupun juga merupakan haknya. Dan aku pantas mendapatkannya, kenapa mesti kecewa apalagi sakit hati terhadap perlakuannya?
Aku tersadar manakala sebuah taksi berhenti tepat di hadapanku...
~~~~~~
"Kak Irin!"
Aku baru saja turun dari taksi saat mendapati teriakan lantang memanggil namaku. Seorang pemuda bertubuh tinggi sedang bersandar di dekat pintu kamar kostku. Tubuhnya berbalut jaket kulit berwarna hitam dipadu dengan celana jeans bernada sama. Dilehernya tergantung sebuah kalung besi putih.
"Farrel?!'aku takjub melihat pemuda itu berdiri menungguku. Sudah beberapa minggu terakhir aku tidak melihatnya dan baru kali ini ia muncul untuk mengejutkanku.
Farrel menderaikan tawa riangnya.
"Kak Irin merindukanku?'godanya. Aku buru-buru menepuk pundaknya. Setiap kami bertemu ia selalu bersikap manis padaku, padahal kami sudah menganggap adik kakak satu sama lain. Tapi nyatanya ia tak pernah berubah. Ia masih juga bersikap kekanak-kanakan seperti dulu.
"Yuk masuk,"ajakku kemudian.
"Kak Irin kenapa pulang malam sekali? Apa enaknya kerja lembur seperti itu? Kenapa nggak pindah saja?"cerocos Farrel seraya mengikuti langkahku masuk kedalam kamar.
"Aku sudah dapat pekerjaan baru, Rel.Di perusahaan besar. Kamu tahu aku beruntung sekali, karena aku termasuk orang yang berhasil di terima bekerja disana,"tuturku bersemangat.
"Benarkah?"sahut Farrel."Kalau begitu aku minta di traktir kalau kakak gajian nanti, setuju?"
"Memangnya kamu mau ditraktir apa?"balasku seraya menyodorkan sebuah kaleng minuman bersoda ke hadapannya."Oh ya, kamu nggak pulang kerumah lagi?"cecarku.
Farrel nyengir. Anak itu selalu bermasalah dengan orang tuanya. Tapi entah kenapa setiap bertengakar dengan keluarganya ia selalu datang dan menceritakan masalahnya padaku. Mungkin karena ia tidak punya saudara perempuan.....
"Sekarang apa lagi ulahmu?"desakku tak sabar.
"Nggak ada, Kak,"timpalnya cepat.
"Lantas?"
Farrel terdiam sesaat. Mungkin sedang berpikir,lalu...
"Papa memintaku untuk meneruskan usahanya,"tandasnya kemudian. Ia tampak malas mengatakannya padaku. "Papa keterlaluan, Kak. Papa bilang akan menyita mobil dan memblokir kartu kreditku kalau nggak menuruti keinginannya,"paparnya lagi.
Aku menghela nafas pelan mendengar keluhannya. Menurutku hal itu wajar, lagipula Farrel sudah bukan remaja yang bisa berbuat sesuka hatinya. Kapan dia akan mengerti ?
"Kurasa papamu benar,"sambungku.
"Jadi Kak Irin membela papa?'tanya Farrel kecewa.
"Bukan begitu,"timpalku cepat."Semua orang tua pasti akan berbuat hal yang sama dengan papamu. Kamu harus berubah, Rel. Kamu bukan remaja belasan tahun lagi,"
Farrel tak menyahut. Ia malah merebahkan pnggungnya diatas tempat tidurku seraya menghela nafas panjang. Tampaknya ia enggan berdebat lagi denganku. Meski aku tahu ia sangat bandel dan keras kepala tapi ia tidak pernah mendebatku lama-lama, mungkin lain lagi ceritanya jika ia berdebat dengan papanya.
Aku mengenal Farrel tanpa sengaja. Saat itu aku hampir saja tertabrak motor yang dikendarainya. Dari situlah kami berkenalan. Meski penampilannya sedikit urakan tapi sebetulnya hatinya baik. Ia hanya kesepian dan butuh kasih sayang dari keluarganya yang super sibuk. Begitulah problematika orang kaya, harta melimpah namun miskin kasih sayang....
~~~~~~
Aku benar-benar tidak mengerti dengan diriku sendiri. Tampaknya aku mulai menggilai Raffa seperti karyawati lain. Sepanjang rapat tadi aku tak berhenti mengagumi laki-laki itu. Cara bicaranya, dan setiap gerak geriknya benar-benar memukau diriku.
Ya, pada akhirnya aku mengaku kalah. Aku jatuh cinta pada Raffa! Tapi Raffa yang kusukai sekarang bukanlah Raffa yang dulu pernah menyukaiku. Tampaknya aku juga akan menerima kekecewaan seperti yang pernah Raffa terima dulu.
Bodoh! teriakku dalam hati. Sadar Irin, kamu bukan siapa-siapa dimata Raffa sekarang. Kamu bukan orang yang Raffa sukai. Sudah berkali-kali aku memperingatkan diriku sendiri untuk tidak memikirkan tentang laki-laki itu. Tapi otakku selalu berdenting dan meneriakkan namanya.
Aku sudah gila!
"Rin, kamu nggak makan siang?"seruan Tiara membuatku tergagap dan memusnahkan khayalanku sendiri.
"Kalian duluan saja, aku masih ada pekerjaan nih,"balasku.
"Baiklah, tapi jangan lupa makan siang. Kasihan tuh badan,"timpal Tiara yang kusambut dengan tawa kecil.
Tiara benar. Tapi aku hanya perlu menyelesaikan pekerjaanku yang tinggal sedikit lagi.
Aku hendak pergi ke kamar kecil usai menyelesaikan pekerjaanku, tapi.....
Aku melihat Raffa tengah melangkah beberapa jengkal menuju ke arahku. Sudah terlambat untuk menghindari pertemuan yang benar-benar tidak kuinginkan ini. Aku harus bagaimana?
"Selamat siang,Pak..."sapaku sembari menundukkan kepala. Teguran itu muncul begitu saja dari mulutku. Kupikir seorang karyawan yang baik harus menyapa atasannya seperti itu.
"Apa kabarmu?"
Aku tercengang begitu ia membalas sapaanku. Benarkah ia sedang menanyakan kabarku? Apa aku tidak salah dengar? Bukankah selama ini ia selalu bersikap acuh tak acuh padaku,tapi sekarang..... Sulit dipercaya!
"Ba...baik,"sahutku gugup.
"Maaf baru bisa menyapamu sekarang,"tandasnya santai. Sama sekali tidak terlihat kecanggungan di wajahnya. Padahal jantungku sudah berdetak kencang hendak membadai saja rasanya.
"Oh ya, aku sangat sibuk hari ini. Mungkin kita bisa berbincang lain waktu,"pamitnya beberapa detik kemudian. Aku hanya bisa tertegun menatap punggungnya yang bergerak menjauh.
Kenapa aku bisa sebahagia ini? Padahal ia cuma menyapaku seperti itu. Mungkinkah masih ada kesempatan kedua untukku? Oh Tuhan....Apa rencana-Mu kali ini?
~~~~~~
"Kak Irin??!!"
Langkahku tersendat didepan pintu lift. Sosok Farrel telah berdiri dihadapanku sekarang. Tapi penampilannya begitu fantastis kali ini. Tak ada jaket kulit,celana jeans apalagi kalung besi melingkar dilehernya. Kini tubuhnya berbalut kemeja putih lengkap dengan jas berwarna hitam. Juga tak ada rambut bercat merah menghias kepalanya.
"Kenapa Kak Irin melihatku seperti itu?"protesnya. "Jadi Kak Irin bekerja disini juga?"
"Ini benar kamu,Rel?"tanyaku tak percaya.
"Tentu saja. Aku keren bukan?"candanya kemudian. Membuatku nyengir.
"Sedang apa kamu disini?"tanyaku.
Tapi pertanyaanku belum sempat ia jawab, karena tiba-tiba suara lain menyela perbincangan kami.
"Kamu sudah datang?"sela seseorang yang tak lain adalah Raffa."Papa menunggumu di ruang kerjanya."ucapnya pada Farrel.
"Kak Irin, aku pergi dulu ya,"pamit Farrel sesaat kemudian. "Oh ya, nanti siang kita makan bareng yuk,"ajaknya.
Aku tercekat. Jadi Raffa dan Farrel bersaudara? Menggelikan sekali. Takdir benar-benar rumit.
"Kamu kenal Farrel?"tanya Raffa usai Farrel pergi dari hadapan ku.
"Ya,"sahutku pendek.
"Kalian pacaran?"desaknya lebih jauh.
'Nggak, kami cuma berteman biasa."
"Oh,"sahutnya."Sebentar lagi ada rapat, sebaiknya kita bergegas,"
Aku menyusul langkah Raffa dengan berbagai macam pikiran tentangnya dan Farrel.
Rapat pagi ini membahas pengangkatan manajer baru di perusahaan yang tak lain adalah Farrel. Semoga saja ia bisa mengemban tugas itu kelak...
~~~~~~
"Kak Irin, yuk ku antar pulang,"
Aku mendongakkan wajahku mendengar penawaran Farrel. Tapi pekerjaanku melarangku untuk mengiyakan tawarannya.
"Kamu duluan saja, aku masih ada pekerjaan,"tolakku.
Farrel mendengus kesal mendengar jawabanku.
"Kak Raffa benar-benar keterlaluan. Kenapa dia memberi kak Irin pekerjaan sebanyak itu,"gumamnya kesal.
Aku hanya tersenyum mendengar omelannya.
"Sudahlah, sebaiknya kamu pulang duluan,"suruhku. Akan lebih baik jika dia pulang dan membiarkanku meneruskan pekerjaanku.
"Baiklah,"ucapnya pasrah. Ia bergerak lambat meninggalkan meja kerjaku.
Tapi baru beberapa menit ia pergi, Raffa datang dan menawarkan hal yang sama padaku. Tepat disaat aku sudah menyelesaikan pekerjaanku. Aku sempat canggung dan ingin menolak tawarannya, tapi setelah kupikir kembali mungkin ini adalah sebuah kesempatan besar yang wajib ku terima.
Raffa mengajakku mampir makan malam di sebuah restoran sebelum mengantarku pulang ke rumah.Disanalah kami mengobrol panjang lebar.
"Bagaimana kabar Dennis sekarang? "tanya Raffa seperti orang bodoh.
Aku menggeleng tidak tahu.
"Kami sudah berpisah semenjak kelulusan,"jelasku."Aku minta maaf atas semua yang terjadi lima tahun lalu,"tandasku kemudian. Mengungkit kembali kenangan buruk masa silam.
Raffa tersenyum.
"Itu kan sudah lima tahun yang lalu,"timpalnya. Ia meneguk minumannya usai melahap makan malamnya.
Benarkah ia tidak mempermasalahkan hal itu?batinku tak percaya.
"Oh ya, aku baru tahu kalau kamu dan Farrel bersaudara,"ucapku mengalihkan topik pembicaraan.
"Anak itu memang bandel sejak kecil. Susah diatur dan suka berbuat sesukanya. Sebenarnya aku sedikit khawatir padanya, karena jabatan manajer terlalu berat untuknya. Tapi papa ingin sekali dia bekerja dikantor,"papar Raffa.
Aku sedikit membenarkan ucapan Raffa. Farrel memang sedikit berbeda dengan Raffa.
"Kalian sudah lama saling mengenal?"
"Hampir setahun,"jawabku."Dia sudah seperti adikku sendiri."
"Benarkah?"tanya Raffa tampak tak percaya."Kamu tahu, padahal Farrel nggak suka bergaul. Sampai-sampai dia nggak punya teman karena sifatnya yang tertutup. Tapi aneh juga, kenapa dia sangat akrab denganmu,"
Aku juga tidak tahu kenapa Farrel seperti itu,batinku.
"Mungkin karena dia nggak punya saudara perempuan,"sahutku.
"Mungkin saja,"
~~~~~~
"Apa yang kamu lakukan, Rel?"protesku manakala Farrel menarik lenganku ketika aku hendak masuk kedalam lift.
"Kenapa kak Irin menolak kuantar kemarin? Tapi saat kak Raffa yang menawarkan untuk mengantar Kak Irin menerimanya begitu saja?"
Aku tercengang. Lucu sekali tingkah Farrel kali ini. Ia memarahiku gara-gara aku menolak tawarannya dan memilih diantar Raffa.
"Aku nggak bermaksud begitu, Rel,"aku mencoba menjelaskan padanya. Tapi setelah kupikir lagi, untuk apa ia mempemasalahkan hal sekecil ini. Dan lagipula kenapa aku harus menjelaskan peristiwa kemarin padanya.
"Kenapa kamu seperti ini ? Kamu sangat aneh tahu nggak?"tanyaku.
"Aku aneh?"ia menunjuk mukanya sendiri.Ia tersenyum pahit. "Aku hanya mencemaskan kak Irin,"
"Hanya itu saja?"pancingku.
"Ya!"sahutnya cepat."Lagipula Kak Raffa sudah punya kekasih, Kak Irin tahu nggak?"
Apa?batinku kaget.
"Benarkah?"
"Dia masih kuliah di New York,"jelas Farrel lagi."Mereka akan bertunangan setelah dia pulang nanti."
Aku terhenyak usai mendengar penuturan Farrel.
"Aku pergi dulu,"aku buru-buru pamit dari hadapan Farrel. Untuk menyembunyikan raut kecewa dari pandangan Farrel.
Farrel menyusul langkahku.
"Kak....."
Aku tak menghiraukan seruannya.
"Kak Irin menyukainya?"
Pertanyaan Farrel membuatku tercekat.
"Apa maksudmu?"tanyaku berpura-pura bingung. "Aku sudah terlambat, Rel. Kita bisa bicara nanti kan?"tanyaku kalem.
"Oke, kalau begitu nanti siang kita makan bareng,"
"Baiklah,"
~~~~~~
Aku memang kecewa.Kupikir sikap baik Raffa selama ini karena alasan dia masih menyimpan perasaan terhadapku. Namun kekecewaanlah yang kudapati. Bahkan hatiku lebih patah dari hati karyawati-karyawati lain. Tapi aku menyadari posisiku. Aku memang pantas mendapatkan semua ini.
Aku terbangun mendengar ketukan dipintu kamarku.
"Kak Irin sakit?"teguran Farrel langsung menyerbuku manakala aku membuka pintu untuknya. Aku tidak masuk kerja sehari saja ia sudah mencemaskanku seperti ini.
"Aku baik-baik saja Rel,"
"Tapi wajah Kak Irin pucat,"ia langsung meraba keningku."Kak Irin demam. Sebaiknya kita pergi kerumah sakit sekarang,"
"Rel, aku cuma terkena flu ringan. Nggak perlu ke rumah sakit segala,"tolakku.
"Tapi..."
"Nggak,"timpaku cepat.
Farrel terdiam.
"Aku nggak pa-pa, istirahat sehari saja sudah cukup,"tandasku beberapa saat kemudian.
"Inilah yang aku khawatirkan Kak. Saat Kak Irin sakit, nggak ada yang menjaga Kak Irin. "
"Aku bisa menjaga diri, kamu nggak usah khawatir,"
"Kak Irin pindah saja ke apartemenku,"usul Farrel membuatku kaget.
"Apa kamu sudah gila?"tanyaku seraya tersenyum kaku.
"Aku nggak gila, Kak. Aku hanya mencemaskan Kak Irin. Apa aku salah?"
"Tapi kecemasanmu berlebihan,"balasku cepat.
"Apa seorang adik tidak boleh mencemaskan kakaknya?"tukas Farrel tidak mau kalah."Yeah, meski kita bukan saudara kandung, tapi aku sudah menganggap Kak Irin sebagai kakakku sendiri,"
Aku tak menyahut. Bahkan aku tak bisa mencegah Farrel saat ia bersikeras mengemasi barang-barangku dan membawaku pindah ke apartemennya.
~~~~~~
Ucapan Farrel benar. Selang beberapa hari kekasih Raffa datang ke perusahaan. Dari kabar yang kudengar ia akan bekerja dikantor.
Wanita itu benar-benar cantik dan mempesona. Pantas saja jika Raffa jatuh cinta padanya. Mereka pasangan serasi.
Dan yang terjadi dihatiku hanyalah menumpuk penyesalan dari hari ke hari.
"Yuk pulang,"ajak Farrel. Aku buru-buru membenahi meja kerjaku. Karena ia pasti akan marah jika aku lembur lagi.
Kami keluar dari gedung dan sempat berpapasan dengan Raffa yang juga hendak pulang. Tapi Farrel dan Raffa tampak aneh. Mereka tak bertegur sapa seperti biasa. Seolah sedang ada persoalan diantara mereka berdua.
Aku langsung masuk kedalam kamarku tanpa bertanya soal Raffa pada Farrel. Meski aku sangat penasaran, tapi aku tak boleh mencampuri urusan mereka berdua.
"Farrel!"teriakku kaget. Laki-laki itu mendadak masuk kedalam kamarku tanpa mengetuk pintu tepat disaat aku hendak bertukar pakaian.
"Maaf,"sahutnya cepat seraya membalikkan badan. Dan aku buru-buru menyelesaikan aktifitasku.
"Ada apa?"tanyaku kemudian.
Farrel menggeleng. Ia melangkah ke pembaringan dan duduk disana. Perangainya aneh, seperti bukan Farrel yang biasanya.
"Kamu kenapa?"tanyaku penuh selidik.
Tiba-tiba saja Farrel menarik tubuhku dan mendekapku erat.
"Apa yang kamu lakukan?"teriakku kaget. Aku berusaha melepaskan tubuhku dari pelukan Farrel.
"Jangan bergerak,"bisiknya."Aku hanya ingin memeluk kak Irin sebentar saja,"ungkapnya membuatku tak mengerti.
"Kamu kenapa Rel?'tanyaku sesaat setelah ia melepaskan tubuhku."Apa yang terjadi denganmu?"
Farrel meatapku tajam. Sorot matanya lain dari biasanya.
"Apa Kak Irin marah jika aku bilang aku menyukai kak Irin?"tandasnya membuatku terkejut bukan main.
"Jangan bercanda Rel. Aku kan kakakmu,"ucapku cepat.
"Kita bukan saudara kandung,kamu tahu itu,"debatnya. "Sejak dulu aku menyukaimu, tapi aku nggak bisa mengatakannya karena aku lebih muda darimu. Dan aku takut kamu membenciku,"ungkapnya lirih.
Aku menatapnya tak percaya. Jadi ketulusannya selama ini adalah rasa cinta padaku?
"Kenapa kamu melakukan ini padaku?!"teriakku geram. Entah kenapa tiba-tiba saja aku membencinya .
"Aku tahu kamu menyukai kakak ku,"tandasku. "Karena itulah aku jadi membencinya,"
"Farrel..."aku heran dengan sikapnya."Aku sudah menganggapmu sebagai adikku sendiri. Aku..."aku tidak tahu mesti bicara apa lagi padanya. Aku bingung.
"Apa kamu nggak bisa mencintaiku?"tanyanya memelas."Sedikit saja?"
Aku mendesah berat. Aku menggeleng pelan kemudian. Aku tidak bisa melakukannya. Maaf....
~~~~~~
Aku menarik kerah jaket milik Farrel dengan paksa. Namun ia sama sekali tak melawan padaku.
"Kamu darimana? Kenapa jam segini baru pulang?Apa kamu sengaja melakukan ini agar aku merasa bersalah?"cecarku tak sabar. Beberapa hari terakhir Farrel selalu pulang lewat tengah malam. Tanpa berita dan tanpa pamit.
"Aku hanya pergi keluar, bukan sengaja ingin membuatmu merasa bersalah,"tandasnya santai.
"Kamu mabuk?"desakku lagi.
Farrel menggeleng.
"Rel, kumohon jangan seperti ini,"pintaku."Ini bukan akhir segalanya. Jangan menghancurkan hidupmu sendiri,"
Farrel tersenyum sinis.
"Kenapa mesti mencemaskanku? Bukankah kita bukan saudara?"
"Farrel!"tanganku hendak melayang ke wajahnya,namun tersendat di udara. Aku tak akan tega memukulnya."Terserah. Berbuatlah sesuka hatimu!"
Aku membanting pintu kamarku keras-keras. Terus terang aku sangat kecewa dengan perbuatannya. Kenapa semua ini mesti terjadi diantara kami. Padahal dulu kami sangat dekat layaknya saudara kandung. Tapi sekarang....
~~~~~~
"Raffa!"
Aku mengejar langkah Raffa sebelum laki-laki itu masuk kedalam mobilnya.
"Apa kamu tahu dimana Farrel? Sudah dua hari ini dia nggak pulang. Aku takut terjadi sesuatu dengannya,"ungkapku.
"Memang Farrel nggak memberitahumu?"ia malah balik tanya."Dia pergike London dua hari yang lalu,"paparnya membuatku kaget.
"London??"
"Ya,"timpalnya."Tiba-tiba saja dia ingin melanjutkan kuliah disana.Kenapa? Apa yang terjadi? Kalian bertengakar?"
Aku tak menyahut.
Jadi ini keputusanmu ?batinku risau. Pergi jauh tanpa pamit.Melarikan diri dariku dan semua permasalahan kita. Membebaniku dengan perasaan bersalah yang tak bisa kutebus.
Aku tidak tahu kapan ia kembali. Tapi aku ingin semua terjadi dari awal lagi. Karena aku hanya ingin memperbaiki hubungan baik kita. Mungkin juga aku akan belajar menyukaimu. Tapi adakah kesempatan itu akan datang padaku? Aku tidak tahu. Takdir terlalu rumit.....

Rabu, 17 April 2013

CINTA SEMUSIM


Tiba-tiba saja wanita paruh baya itu datang mengaku sebagai ibu kandungku. Aku hanya mematung saat ia mendekap tubuhku senja itu. Ia menangis tersedu seraya mengamati raut wajahku. Tapi tidak denganku. Aku hanya menatap kosong kearah wanita asing itu.
Semua terjadi begitu saja. Seperti mimpi. Aku yang selama ini tinggal di sebuah panti asuhan kecil di tiba-tiba saja terdampar disebuah istana asing nan megah. Ada seorang ibu dan ada figur seorang ayah. Juga ada seorang pemuda yang konon adalah kakak laki-lakiku. Seorang gadis belia yang wajahnya mirip denganku, ia lah adik perempuanku. Keluarga ini begitu sempurna, tapi aku merasa hanyalah seorang asing disini.
Entahlah, harusnya aku merasa bahagia bisa berkumpul dengan keluarga kandungku. Setelah rentang lima belas tahun yang panjang memisahkan aku dengan mereka. Konon sewaktu aku berumur lima tahun aku diculik. Dan pada akhirnya aku dibuang kesebuah panti asuhan kecil. Takdir terlalu rumit......
Aku tidak betah tinggal di tempat ini. Aku ingin pulang. Aku sudah terlalu rindu pada ibu panti, juga pada teman-teman kecilku disana. Aku ingin kembali kesana meski pastinya ibu kandungku tidak akan mengizinkannya.
"Kenapa tidak dimakan Rish? Apa makanannya tidak enak? Mama ...."
"Tidak Ma," potongku cepat. Sebelum ibu kandungku itu menyelesaikan kalimatnya. Aku benar-benar tidak punya selera makan malam ini, meski berbagai macam hidangan lezat terhampar di atas meja.
"Terus kenapa makanannya tidak dimakan?"cecar mama seraya menatap kearahku. Begitu juga dengan papa, Steven dan Laura.
Aku menghela nafas bermaksud mengumpulkan keberanian untuk mengatakan apa yang tengah mendera pikiranku saat ini.
"Irish ingin pulang, Ma," tandasku perlahan. Lirih namun cukup mengejutkan semua orang yang tengah berada di meja makan.
"Pulang kemana? Ini rumah kamu, Rish,"sahut mama tampak kecewa."Mama sudah kehilanganmu selama lima belas tahun dan sekarang kamu ingin pergi setelah susah payah mama menemukanmu?"
Mata mama tampak berkaca-kaca. Wanita paruh baya itu menghentikan kegiatan makannya karena air mata mulai mengalir kepipinya. Memaksaku menyesali perkataanku. Aku takkan mengatakan hal itu jika hanya akan menyakiti hatinya. Dan penyesalanku bertambah manakala melihat mama bangkit dari kursinya dan berlalu dari meja makan. Maafkan aku, Ma....
~~~~~~
"Kami semua menyayangimu," tandas Steven membangunkan lamunanku. Aku sedang duduk santai di teras sembari memandangi tangkai-tangkai mawar yang mulai menguncup. Ia datang lantas duduk di sebelahku. Rupanya kegundahanku telah mengundang simpatinya.
Aku belum menyahut. Kupikir tanpa bicara sepatah kalimatpun ia sudah tahu apa yang kupikirkan.
"Kami bukan orang asing, Rish,"ucapnya kemudian. "Kami adalah keluargamu. Darah yang mengalir dalam diri kami sama dengan darah yang mengalir dalam dirimu. Kau tahu itu kan?"
"Maaf,"timpalku cepat. Aku tertunduk untuk menyembunyikan raut bersalahku dari tatapan matanya.
"Kami tahu kamu butuh waktu untuk menerima semuanya. Mama juga,"ucap Steven lagi.
Aku mengangguk.
"Mungkin aku tidak siap dengan semua ini," balasku.,br /> "Tapi kamu akan mencobanya, bukan? "tagihnya. Kusambut dengan anggukan ragu.
Percakapan kami terhenti. Sebuah sepeda motor berhenti tepat didepan pintu gerbang. Dan tak lama kemudian seorang pemuda sebaya Steven mendekat ke arah kami.
"Hai!" sambut Steven tampak gembira menyambut kedatangan sahabatnya. Ia menepuk pundak pemuda itu lantas memperkenalkan aku padanya.
"Ini Irish, adikku.Dan ini sahabatku Aroon." Steven memperkenalkan sahabatnya padaku. Namun tak lama kemudian aku pamit dari tempat itu dan kembali kekamarku. Kurasa aku tak ingin mengganggu kedua sahabat itu.
~~~~~`
"Apa mama sakit karena aku?"
Aku mendekat ke tempat tidur mama. Ia tampak tergolek disana, namun setelah melihat kedatanganku ia bangkit. Lantas menyuruhku untuk mendekat.
"Irish tidak akan meminta pulang lagi,"tandasku. Mengalihkan percakapan.
"Benarkah?"sahut mama cepat. Kedua matanya berbinar cerah. Menyiratkan seberkas harapan dan kebahagiaan.
Aku mengiyakan. Aku tahu mama mencemaskanku beberapa akhir ini. Mungkin karena terlalu banyak memikirkanku ia menjadi jatuh sakit seperti sekarang. Dan aku tidak mau menjadi bebannya lagi.Ia ibu kandungku dan sudah sepantasnya aku berbakti padanya.
Mama meraih tubuhku kedalam pelukannya yang hangat. Perlahan aku akan belajar mencintainya dan berhenti menganggapnya sebagai orang asing. Ia ibu kandungku...
~~~~~~
"Apa Steven ada?"
Sebuah teguran sopan mampir di telingaku. Aku yang bertugas menyiram tanaman sore itu tertegun setelah menghentkan aliran air dari selang ditanganku. Aroon telah berdiri dibelakangku seraya tersenyum. Entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang aneh pada diriku. Terus terang aku sama sekali tidak pernah bergaul dengan teman pria. Seumur hidupku aku habiskan di panti asuhan untuk belajar dan bekerja mengurusi seluruh penghuni disana. Berhadapan dengan pria seperti ini benar-benar membuatku canggung dan salah tingkah.
"Oh..dia belum pulang,"jawabku kaku."Kalau kamu mau menunggu silakan masuk saja,"tawarku kemudian. Berbasa-basi.
"Tidak usah,"sahutnya cepat."Aku pulang saja,"
"Mungkin sebentar lagi dia pulang..."
Tapi Aroon tetap bersikeras ingin pulang ketimbang menunggu Steven. Dan aku juga tidak bisa memaksanya untuk tetap tinggal, padahal aku ingin sedikit lebih mengenal sosok pria itu....
"Kamu menyukainya?"
Aku tergagap mendengar teguran yang nyaris membuat jantungku berhenti berdetak itu. Laura tengah berdiri tak jauh dari tempatku berdiri dan tengah mengawasi gerak-gerikku.
"Aku tahu kamu menyukai Aroon,"sambung Laura cepat. Langkah kakinya bergerak mendekat ke tempatku berdiri."Tapi jangan berharap bisa mendapatkan dia. Awas kalau kamu mencoba merayunya," ucap Laura seperti sedang mengancamku.
"Apa maksudmu?'tanyaku bingung.
"Jangan berlagak bodoh!"teriaknya keras."Aku mencintai Aroon, kamu tahu? Dan dia harus menjadi milikku. Paham?"sorot mata Laura berubah menjadi liar.
Ada apa dengannya? Apa dia sudah lupa jika kami adalah saudara? Kenapa dia mengancamku seperti itu?
~~~~~~
Mendung tergantung berat diatas langit. Aku harus segera pulang kerumah jika tidak ingin barang-barang belanjaanku basah terkena air hujan. Namun langkahku terhenti didepan pintu rumah. Suara teriakan dari dalam rumah telah pergerakan kakiku.
Itu suara papa dan mama,bisikku seraya mempertajam pendengaranku. Aku tak berniat menguping tapi naluriku terlanjur memaksaku untuk melakukannya.
Apa aku tak salah dengar?batinku terhenyak. Dari yang kudengar mereka bertengkar tentang wanita simpanan papa, juga menyinggung masalah perceraian. Bahkan aku mendengar tangisan mama.
Ada apa ini?batinku seraya melangkah meninggalkan teras dan kembali ke jalanan, padahal hujan telah siap mengguyurku. Ada apa dengan keluarga ini? Sewaktu aku datang sampai kemarin semua tampak baik-baik saja. Papa dan mama yang selalu tampak harmonis, Laura yang manis dan imut. Tapi kenapa semua tampak berbeda sekarang? Apa mereka hanya tampak baik didepanku saja? Sebenarnya bagaiman keluarga ini yang sebenarnya?
Tetes-tetes gerimis mulai berjatuhan ke atas kepalaku. Aku juga membiarkan barang-barang belanjaanku basah. Aku sudah tidak peduli dengan semua itu. Pikiranku kacau dan aku sudah kehilangan akal sehatku.
Mendadak sebuah mobil berhenti tepat dihadapanku dengan derit rem yang berbunyi panjang.Membuatku tersadar bahwa tubuhku nyaris disambar olehnya.
"Kamu tidak apa-apa?"
Aku tergagap mengetahui pengendara mobil itu yang telah bersusah payah turun dari mobilnya dan menghampiriku hanya untuk memastikankan keadaanku baik-baik saja. Aroon?
"Baik.....aku baik,"jawabku gugup.
"Kamu mau pulang? Biar kuantar,"tawarnya kemudian. Tak bisa kutolak karena dia terus memaksa.
~~~~~~
Hujan masih bertahan. Mengguyur bumi sekian waktu lamanya. Masih belum ada tanda-tanda akan berhenti.
Aku merasa sedikit lega. Saat Aroon mengantarku pulang, papa telah pergi dari rumah. Sementara mama tampaknya mengunci diri didalam kamarnya usai bertengkar dengan papa. Dan aku tak perlu memergoki pertengkaran mereka berdua.
" Bukankah sudah kuperingatkan jangan coba-coba mendekati Aroon?!"teriak Laura menyeruak masuk kedalam kamarku tanpa permisi. Wajahnya tampak merah menahan geram. Gadis itu langsung menarik rambutku dengan kasar.
"Ada apa Laura?"tanyaku dalam ketidakberdayaan. Tak mungkin aku berontak dan melawan adikku sendiri.
"Jangan pura-pura bodoh! Apa kata-kataku kemarin kurang jelas? Aroon milikku dan jangan sekali-sekali merebutnya dariku atau kamu akan merasakan akibatnya!"ancam gadis itu setengah berteriak. Tiba-tiba saja ia mendorong tubuhku dengan keras ke arah tembok. Membuat kepalaku merasakan sakit luar biasa manakala ia membentur tembok.
Beberapa detik lamanya duniaku gelap. Aku nyaris tak bisa menguasai keseimbangan tubuhku.
Laura tersenyum menyeringai melihatku jatuh terkapar di atas lantai. Ia tampak puas telah menyakitiku. Oh Tuhan, jeritku dalam hati. Inikah adik kandungku? Kenapa ia begitu tega menyakiti kakak kandungnya sendiri?
Rambutku basah oleh cairan berwarna merah kental. Darah. Rupanya benturan dikepalaku cukup keras tadi. Tapi sakit dikepalaku tak seberapa jika dibandingkan dengan sakit hatiku. Aku merasa hancur mendapati keluargaku seperti ini. Mungkin seharusnya aku tidak pernah hadir disini dan mengenal mereka. Mungkinkah kehadiranku kedunia ini adalah sebuah kesalahan?
~~~~~~
Meja makan tampak sepi pagi ini. Padahal kemarin pagi meja itu masih lengkap dengan penghuninya. Tapi sekarang hanya ada mama dan Steven. Laura telah berangkat ke sekolah sementara papa sudah pergi ke kantor. Entah pukul berapa papa pulang semalam.
Selera makanku hilang semenjak pagi tadi padahal perutku kosong. Entahlah, aku merasa teramat asing dirumah ini, jauh lebih asing dari pertama kali aku datang ke tempat ini.
"Papa dan mama akan bercerai,"tandas mama dengan nada bergetar. Mengejutkan bagiku, namun tidak untuk Steven. Sepertinya ia telah tahu lebih dulu tentang masalah ini daripada aku.
Aku hendak bertanya, namun penegasan mama menghentikan niatku.
"Mama tidak bisa menjelaskan apa-apa saat ini,"tegas mama."Kalian sudah dewasa dan mama sangat yakin kalian pasti mengerti,"
Tak ada pertanyaan maupun pernyataan yang keluar. Percakapan terhenti sampai disana. Bahkan sarapan juga tak tersentuh sama sekali.
Kenapa keluarga yang semula kukira bahagia ini berubah menjadi dingin dalam waktu yang relatif singkat. Apa sebelum aku datang mereka sudah seperti ini, dan sewaktu aku datang mereka hanya bersandiwara belaka? Ataukah kehadiranku di rumah ini membawa kesialan bagi mereka?
Steven menepuk pundakku perlahan. Menyadarkanku jika ada sebutir air mata jatuh ke atas piring kosongku. Meski tanpa kalimat sepatahpun aku tahu ia ingin membuatku lebih memahami apa yang terjadi dalam keluarga kami.
Ya, aku akan berusaha memahami apa yang menimpa keluarga kami. Sesulit apapun itu.....
~~~~~~
Aku terjaga malam ini. Rasa haus menggerogoti kerongkonganku dan memaksaku harus turun dari tempat tidur. Suara gaduh terdengar dari arah ruang tamu begitu aku menutup pintu kulkas. Aku memberanikan diri untuk mengintip apa gerangan yang sedang terjadi disana.
Laura tampak limbung melangkah masuk. Sementara mama mendadak menghampirinya dengan langkah tergopoh cemas. Laura segera dituntunnya menuju kamar.
Oh Tuhan, aku tidak percaya pada apa yang baru saja kulihat barusan. Laura yang tampak polos dan manis, pulang dini hari dalam keadaan mabuk pula. Dan anehnya mama tidak tampak terkejut. Sepertinya bukan kali ini saja adikku itu pulang dalam keadaan mabuk seperti ini.
Sedemikian hancurkah keluarga ini? Setelah sekian tahun terpisah dengan mereka aku memimpikan sebuah keluarga yang harmonis dan bahagia, bukan keluarga yang terberai seperti ini.
Aku kembali kedalam kamarku dengan berbagai macam pikiran. Membuatku semakin gundah dan tidak bisa tidur hingga pagi tiba.
~~~~~~
"Apa yang terjadi dengan keluarga ini, Ma?"sentakku seraya menyeruak masuk kedalam kamar mama yang tak terkunci. Wanita itu tampak melamun didepan meja riasnya. Ia tampak terkejut melihat aku masuk dan memergoki lamunannya.
Namun mama segera mengembangkan senyumnya demi menutupi kegundahan hatinya.
"Ma..."kali ini aku hendak memaksanya untuk berterus terang."Katakan Ma, jika mama menganggapku putri kandung mama,"tandasku setengah memaksa. Kupikir mama sangat memahami maksud ucapanku.
Mama terdiam. Sepasang mata sayunya menatapku. Seperti penuh iba. Juga sarat dengan air mata yang siap tertumpah kapan saja.
Setelah sekian waktu lamanya, akhirnya bibir mama yang semula terkatup terkuak juga. Sederet panjang kisah mengalir darinya meski terbata dan kadang tersendat. Deraian air mata juga mengalir mengiringi paparan kisah darinya.
Aku diam tertunduk tanpa sela. Meratapi kisah mama dengan aliran air mata yang juga tanpa henti.
~~~~~~
Mendadak saja kepalaku sakit. Tepat saat aku melangkah keluar dari rumah. Guyuran air hujan jatuh ke atas kepalaku tanpa kupedulikan. Aku terus menyeret tas dit anganku dan tak menoleh lagi kebelakang.
Sekarang aku tahu siapa diriku. Jati diri yang selama ini mama rahasiakan dariku. Namun akhirnya terungkap jua .
Mama pernah melakukan kesalahan dimasa mudanya dan akhirnya muncullah diriku. Aku dititipkan disebuah panti asuhan. Dan setelah lima belas tahun kemudian mama mengambilku kembali setelah mendapat persetujuan papa tiriku.
Mama menikah dengan seorang duda kaya beranak satu. Dari pernikahan mereka lahirlah Laura, sedang aku bukan siapa-siapa dalam keluarga itu. Steven telah membohongiku. Ia hanya menghibur kegundahanku saja kala itu.
Kenapa cobaan ini terlalu berat untukku? batinku pedih.
Aku akan kembali. Pulang ke tempat asalku. Panti asuhan. Disanalah tempat yang paling sesuai untukku. Tak ada saudara tiri, papa tiri, atau adik tiri. Semua bersaudara tanpa memandang kaitan darah.
Mendadak sebuah benda besar menghantam tubuhku dengan keras ketika aku hendak menyeberang. Aku merasakan tubuhku terlempar ke udara dan jatuh terhempas ke tanah sesudahnya.
Untuk beberapa detik lamanya aku tersadar bahwa aku mengalami kecelakaan. Namun aku tersenyum. Mungkin ini adalah akhir penderitaanku. Aku tidak perlu mengalami derita-derita selanjutnya dalam hidupku. Semua telah berakhir disini. Dijalanan yang basah ini.
Tapi jika Tuhan mengizinkan adanya sebuah reinkarnasi, aku lebih memilih untuk menjadi sebuah batu besar diatas gunung dikehidupan mendatang. Yang selalu kuat dan tegar meski hujan dan panas menderanya sepanjang waktu.....