Senin, 27 Mei 2013

I'M GONNA MISS YA......


Tiba-tiba mataku beralih ke sudut kantin.Mengabaikan makan siangku.
Tak biasanya perhatianku teralih kepada seorang gadis sebaya denganku yang tengah sibuk menikmati makan siangnya di sudut sana.
Namanya Emy.Tapi kami sering menyebutnya si kacamata kuda.Atau yang lebih parah kami menyebutnya dungu,bodoh dan makian-makian kasar yang lain.
Perawakan gadis itu kurus.Rambutnya panjang dan kusam.Ia sering mengikat rambutnya kuat-kuat dengan tali karet.Wajahnya tak terlalu cantik.Bahkan cenderung biasa-biasa saja.Sebuah kacamata tebal bertengger manis diatas hidungnya.Sama sekali tak ada yang istimewa dari penampilan fisiknya.
Emy sekelas denganku.Ia duduk di bangku paling belakang.Tapi prestasinya cukup bagus.Dan aku akui aku sama sekali tak bisa dibandingkan dengannya dalam mata pelajaran apapun.Ia lebih unggul.
Kami menganggap Emy gadis yang aneh.Ia jarang bicara dengan orang lain.Ia cenderung menutup diri dari pergaulan.Mungkin karena ia merasa miskin dan tidak selevel dengan kami.Bea siswa-lah yang bisa membawanya bersekolah di sekolah elite seperti ini.
Kami selalu menganggapnya sebagai musuh atau bahan ejekan.Tapi setiap kali ia di ejek Emy selalu diam dan menundukkan wajahnya.Ia takkan mampu melawan kami.Kalaupun ia berani kami akan lebih kejam padanya.
Usai menghabiskan makan siangnya,gadis itu pasti akan segera berlari kekamar mandi.Menurut berita yang beredar,Emy pasti akan memuntahkan kembali makanannya usai makan siang.Anoreksia.
Aku tidak tahu apa kekurangan pada tubuh gadis itu.Ia lebih kurus dariku,tapi ia takut gemuk.Ia benar-benar aneh.
Perbincangan Debby dan Gina kulewatkan begitu saja karena terlalu asyik memperhatikan Emy.Bahkan aku tidak tertarik saat mereka membahas tentang Leon,cowok paling keren di sekolah ini.Dan sudah lama aku mengincarnya,tapi nyatanya cintaku bertepuk sebelah tangan.
"Roseline.....bagaimana menurutmu?"pertanyaan Debby menyentak lamunanku.Dan membuatku gelagapan seketika.
"Apa?"tanyaku terbata.
"Kau melamun?"tanya Gina sembari menautkan kedua alisnya.Mereka berdua tampak heran melihat aku yang biasanya paling antusias membahas soal cowok,kini hanya terdiam bahkan kehilangan konsentrasi.
"Ada apa?Kau sakit?"desak Debby serius.
Aku menggeleng sembari tersenyum.
"Aku baik-baik saja,"sahutku berusaha rileks."Kalian lanjutkan saja makannya,aku sudah kenyang,"pamitku kemudian.
"Tapi kau hanya makan dua sendok saja,bagaimana mungkin kau kenyang?"seru Gina.
Aku tak menyahut,dan hanya melambaikan tanganku seraya melangkah pergi dari kantin.
Aku bermaksud kembali kekelasku. Di koridor aku sempat bertemu dengan Emy, dan gadis itu sama sekali tak berani menatap mataku.
Disekolah ini semua siswa menghormatiku.Mereka segan padaku.Karena sekolah ini berdiri di atas tanah milik kakekku.Bisa dikatakan aku punya sedikit "kekuasaan" di tempat ini.Dan itulah alasan kenapa aku merasa berhak sombong di sekolah ini.
Semua siswa berlomba-lomba ingin jadi sahabatku.Bahkan cowok-cowok tak malu untuk meraih simpatiku.Kecuali Leon.Padahal aku hanya menyukai cowok itu.
Leon seperti sengaja menjaga jarak denganku.Padahal harusnya ia bangga jika ia menjadi kekasihku.Tapi nyatanya Leon bukan orang seperti itu.Dan sikapnya yang dingin justru membuatku semakin menggilainya.
~~~~~~
Rumah tampak sepi ketika aku pulang.Mom dan Dad tak tampak.Tak seperti kemarin. Aku melihat mereka bertengkar serius di ruang tamu. Beberapa buah guci keramik pecah berantakan di lantai.Makian dan cacian keluar dari mulut mereka berdua.
Aku sudah terlampau sering melihat mereka berdebat, namun kemarin adalah puncak dari semua pertengkaran.Bahkan bekas-bekas pertengkaran mereka masih tersimpan disudut benakku.
Aku melempar tas dan ponselku ke atas tempat tidur begitu saja lantas merebahkan punggungku disana.Hati dan pikiranku penat.
"Nona Roseline mau makan sekarang?"
Teguran seorang pelayan membuatku urung untuk memejamkan mata.Aku menggeleng sebagai jawaban.
"Nyonya pergi ke Singapura hari ini,"beritahunya kemudian.
Aku tidak heran mendengar kepergian Mom ke kampung halamannya.Wanita itu selalu melarikan diri saat tertimpa masalah.
"Daddy?"tanyaku.
"Tuan di kantor.Mungkin pulang malam,"jawabnya.
Aku tersenyum pahit.Klasik.Problema seperti ini banyak dialami keluarga kelas atas seperti kami.Dan yang selau menjadi korban adalah anak.Orang tua selalu bersikap egois dan lebih mementingkan perasaan mereka sendiri tanpa menyadari ada buah hati diantara mereka berdua.
Dulu hidup kami tak seperti ini.Kami bahagia. Mom dan Dad selalu punya waktu untukku.Tapi aku sudah lupa saat-saat bahagia itu.Karena saat itu umurku masih 7 tahun.
Huh....
Mungkin kehidupan Emy yang tampak aneh itu lebih membahagiakan daripada hidupku sekarang.
~~~~~~
Lapangan basket sepi.Tim basket sedang tidak ada jadwal latihan hari ini.Begitu juga dengan kelompok cheerleaders-ku.
Aku duduk dibangku penonton sendirian dan hanya ingin melamun.
Aku akui aku memang sedikit menjadi pendiam akhir-akhir ini.Dan juga sering mengasingkan diri dari genk-ku.Entahlah,mungkin karena permasalahan orang tuaku sedikit banyak membebani pikiranku.
"Roseline!"teriakan Debby dan Gina bergema kesekeliling telingaku.
Mereka tampak berlari menghampiri tempat dudukku.Akhirnya mereka menemukan tempat persembunyianku juga.
"Apa yang kau lakukan disini?Kami mencarimu kemana-mana,"cerocos Gina sembari mengambil tempat duduk disebelahku.
"Hari ini kan tidak ada jadwal,"timpal Debby menambahi."Leon juga libur kan?"
"Ada apa kalian mencariku?"tanyaku menghindari interogasi mereka berdua.
"Kau tahu anak-anak sedang menyiksa Emy dikelas,"tutur Gina.
Berita seperti itu sudah sering kudengar.Dan tak jarang aku juga melakukan hal yang sama pada gadis itu.Tapi kali ini perasaanku lain saat mendengar berita itu.
"Emy tidak sengaja menabrak Clara dan kau sendiri bagaimana akibatnya.Dia menjadi bulan-bulanan anak-anak,"tutur Debby menjelaskan permasalahan yang sesungguhnya.
Aku bergegas bangkit dari tempat dudukku usai mendengar cerita kedua sahabatku.Langkah-langkahku terburu menuju ke kelas.Sementara Gina dan Debby menyusulku dari belakang.
"Hentikan!"
Aku berteriak lantang didepan kelas.Saat itu Clara dan teman-temannya hendak menendang tubuh Emy yang sudah jatuh terduduk di atas lantai.
Clara dan teman-temannya kaget melihat aksiku.Bahkan seisi kelas juga tidak akan menduga aku bisa melakukan ini.Mereka tak akan percaya seorang Roseline bisa turun tangan menolong si pecundang Emy.Mereka pasti mengira aku sudah gila atau apa.Mungkin saja ada kesalahan dalam otakku.
Tapi aku tidak peduli dengan pemikiran mereka.Aku membantu Emy berdiri dan memapah gadis itu menuju ke ruang kesehatan sekolah.Bahkan aku sendiri yang mengoleskan obat merah ke atas lukanya.
Aku memang telah berubah.Dan ini semua diluar kendaliku.Tapi aku merasa lebih baik saat aku bisa melakukan hal ini.Terutama pada Emy.Aku sudah terlalu banyak menyakitinya.
"Terima kasih,"ucap gadis itu saat aku sudah selesai mengobati lukanya.Dan aku hanya membalasnya dengan senyuman.
Saat aku keluar dari ruangan itu,Gina dan Debby sudah menantiku didepan pintu.Seperti dugaanku,mereka protes akan sikapku yang mungkin bagi mereka sok seperti malaikat kesiangan.
"Apa yang kau lakukan?Dia itu kan pecundang..."ucapan Gina terhenti saat aku menatap matanya dengan melotot.
"Aku tahu apa yang aku lakukan,"sahutku kalem.
"Tapi kenapa kau melakukannya"desak Debby seraya mengejar langkahku.
"Aku tidak tahu,"jawabku tegas.
"Roseline....."
Mereka kewalahan mengejar langkahku.
~~~~~~
"Roseline,"
Suara Mom terdengar berat dari ujung telepon.Sepertinya ia habis menangis.
"Kau sudah dewasa dan pasti tahu apa yang terjadi diantara kami."
Pasti tentang pertengkaran hebat kala itu,batinku menebak.Tapi bibirku terkatup rapat tanpa mengajukan pertanyaan sama sekali.
"Mommy akan bercerai,"tandasnya kemudian.Persis seperti dugaanku.
"Aku tahu,"sahutku pelan.Dan Mom pasti lebih lega mendengarnya karena aku sudah memahami konflik mereka berdua tanpa perlu ia jelaskan.
"Kau sudah dewasa,Roseline.Kau bisa memilih ikut Mom atau Dad."
Aku menggeleng meski aku tahu Mom tidak akan bisa melihat gelengan kepalaku.
"Aku tidak akan memilih,"tandasku."Aku akan tinggal sendiri dan hidup mandiri."
"Tapi sayang..."
"Aku sudah dewasa,Mom,"timpalku."Aku bisa menentukan sendiri hidupku,"tegasku.
Mom terdengar mendesah pelan.
"Mom merindukanmu,sayang,"ucapnya kemudian.Entah itu hanya luapan kesedihan hatinya ataukah ia benar-benar merindukanku setelah meninggalkanku.
Aku menutup telepon tanpa mengucap salam perpisahan.Aku merasa begitu jauh dengan Mom.Seolah aku bukan putri kandungnya.
Aku bangkit dan melangkah ke garasi.
Sebenarnya Dad tidak pernah mengizinkanku untuk menyetir sebelum usiaku 17 tahun.Tapi mobil itu adalah hadiah ulang tahunku yang ke 16 tahun kemarin.Sebuah mobil sport berwarna merah impianku terparkir di garasi dan belum pernah kupakai sama sekali.Padahal dulu aku sangat ingin memakainya kesekolah.
Suara musik rock menghentak-hentak di telingaku.Sengaja kutambah volumenya saat aku meluncurkan mobil itu keluar dari garasi.Seorang penjaga pintu gerbang kaget saat aku membunyikan klakson keras-keras.Dan seperti terhipnotis ia pun bergegas membuka pintu gerbang lebar-lebar.
Aku menambah kecepatan speedometer saat meluncur di jalanan.Dari dulu aku memang ingin sekali ngebut di jalan raya seperti seorang pembalap.Jika Mom dan Dad tahu aku sekarang sedang meluncur di jalan dengan kecepatan tinggi pasti mereka akan sangat marah.
Namun aku hanya bisa membayangkan raut wajah mereka saat marah.Toh mereka tidak tahu apa yang sedang aku lakukan sekarang ini.
~~~~~~
Aku meneguk minuman cola ditanganku seraya menatap lurus ke pantai.Matahari tampak membulat merah indah.Sebentar lagi ia akan menghilang dibalik garis horison pantai.
Ternyata menikmati senja di tepi pantai sedikit membuatku lebih baik.Beberapa pengunjung juga melakukan hal yang sama denganku.Namun ada juga yang berdua dengan pasangan menikmati senja oranye ini.
"Kau disini?"
Teguran itu hampir saja membuatku terlompat kaget.Kejutan luar biasa bisa bertemu dengan Leon di tempat seromantis ini.
"Kau sendiri,apa yang kau lakukan disini?"aku balik tanya.
"Ini,"sahutnya seraya menunjukkan sebuah papan selancar."Setiap waktu senggang aku pasti datang kesini.Tapi baru kali ini aku melihatmu,"ucapnya.
Aku tersenyum pahit.
"Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa berada disini,"jawabku.
Aku menyodorkan sebotol minuman cola padanya.Rasanya aku telah kehilangan minat untuk mengejar cinta Leon.Aku merasa ia lebih layak menjadi seorang sahabat ketimbang kekasih.Karena sikap ramah dan hangatnya tampak terkesan menawarkan sebuah persahabatan padaku.
"Aku sudah mendengarnya,"tandasnya usai meneguk minuman kaleng yang ku berikan padanya.
"Apa?"tanyaku tak mengerti.
"Sikapmu pada Emy."
Oh,batinku.Jadi berita tadi siang di sekolah sampai juga ke telinganya.
"Aku suka perubahanmu,"ucapnya seraya tersenyum.Ia melirikku sekilas.
Aku tertawa kecil.Tidak berarti ia menyukaiku kan?
"Aku tidak tahu kenapa aku berubah seperti ini,"ucapku.
"Tapi itu lebih baik,Roseline..."
Benarkah? batinku tak percaya.Leon yang selama ini ku kejar dengan susah payah nyatanya sedang duduk disebelahku sekarang.Dan kami sedang menikmati pemandangan matahari terbenam yang indah dan romantis.Wow!
~~~~~~
"Dad tidak suka kau menyetir Roseline!"
Teriakan Dad menyambut kepulanganku ke rumah.Aku tidak menduga Dad pulang lebih awal hari ini.
"Kau pasti ngebut kan?"desaknya lagi.Ia tampak kesal akan ulahku kali ini.
Aku diam.Namun dalam hatiku geram mendengar teriakan Dad.
"Kau masih dibawah umur, dan jika kau tertangkap polisi bagaimana?Daddy juga yang harus menanganinya,"celoteh Dad.
"Jadi Dad peduli?"aku mulai angkat bicara."Kupikir selama ini Dad hanya peduli pada bisnis Dad saja,"sindirku sinis.
Namun kata-kataku rupanya telah menyinggung perasaan Dad.Dan....
Plak!
Sebuah tamparan keras melayang ke pipi kiriku. Memaksaku mundur dua langkah kebelakang.
Aku menatap Dad geram.Seumur hidup baru kali ini Dad memukulku.
"Daddy egois!"aku berteriak sekencang-kencangnya."Daddy hanya memikirkan hidup Daddy sendiri tanpa pernah memikirkanku dan Mom,"ucapku.
"Roseline..."Dad tampak menyesali perbuatannya.
"Semoga hidup Daddy bahagia,"ucapku sebelum berlari menaiki tangga menuju kekamarku.
"Roseline,maafkan Dad sayang..."
Seruan maaf dari Dad ku abaikan.Hatiku terlanjur hancur olehnya.
Aku membanting pintu kamarku keras-keras dan menangis dibaliknya.
Biasanya aku tak secengeng ini.Tapi perlakuan Dad sama sekali tak bisa kuterima. Hatiku terlalu pedih...
~~~~~~
"Namanya Tim.Mulai hari ini dia akan menjadi pengawal pribadimu,"ucap Dad memperkenalkan seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap padaku."Daddy akan melakukan perjalanan bisnis ke Eropa dan tidak bisa mengawasimu setiap saat,makanya Daddy menyewa seorang bodyguard untuk menjagamu,"ulasnya kemudian.
"Dad!"teriakku marah."Aku bukan anak kecil lagi yang harus diawasi setiap saat.Aku bisa menjaga diriku sendiri,"tegasku penuh emosi.
"Siapa yang bisa menjamin kamu tidak berbuat sesuka hatimu sendiri?"tanya Dad sengaja ingin melumpuhkan pembelaan diriku.
Aku tersenyum sinis.Muak akan keputusan yang diambil Dad.
"Dad sayang padamu,Roseline,"ucap Dad kemudian.Ia bergerak mendekat dan menyentuh pundakku perlahan.
"Dad tidak bisa menjagamu setiap saat.Dengan seseorang disampingmu Dad akan merasa tenang,"imbuhnya lagi berusaha merayuku.
"Tapi aku tidak suka Dad melakukan ini tanpa persetujuanku,"aku masih ngotot.
Aku menepis tangan Dad dan seperti yang aku lakukan sebelumnya,aku berlari menaiki tangga menuju kamarku.
"Daddy melakukan ini demi kebaikanmu,sayang,"teriaknya.Tapi aku sudah terlanjur marah padanya.
Bodyguard?Lucu sekali.Aku bukan anak-anak yang mesti dijaga 24 jam.Aku hampir 17 tahun dan aku sudah dewasa.Tapi Dad masih menganggapku sebagai anak kecil.
~~~~~~
"Sudah pagi,Nona,"
Aku seperti mendengar suara yang memanggilku.Tapi bukan suara pelayan yang biasa melayaniku.
Astaga!pekikku kaget.
Seorang laki-laki tengah berdiri disamping tempat tidurku begitu aku membuka mata.Oh Tuhan,aku hampir saja lupa jika Dad membayar orang itu untuk menjadi bodyguardku.Konyol!
"Apa kau tidak mau bangun?Bukankah kau harus sekolah hari ini?"desaknya dengan nada tidak sopan.
"Memangnya kau siapa,berani menyuruhku?"tanyaku menentang.
"Aku sudah mendapat kepercayaan penuh dari orang tuamu.Jadi sebaiknya kau bangun sebelum aku memaksamu,"ucapnya lagi setengah mengancam.
"Kau mengancamku?"tanyaku geram."Memangnya apa yang akan kau lakukan jika aku tidak mau bangun?"tantangku menguji keberaniannya.
Kupikir ia tidak akan berani memaksakan kehendaknya padaku,tapi nyatanya aku salah.Laki-laki itu membuktikan ancamannya.
Ia membuka selimutku lantas menyeret tanganku turun dari tempat tidur.Lantas ia mendorong tubuhku masuk kedalam kamar mandi.
"Cepat mandi dan berpakaian.Jangan sampai terlambat,"suruhnya sebelum menutup pintu kamar mandi.
Sial!makiku kesal.
Berani-beraninya ia melakukan ini padaku.Memang dipikirnya ini latihan militer.Awas! Aku pasti akan mengadukan ulahnya pada Dad jika ia kembali nanti.
~~~~~~
"Siapa dia ?Apa dia kekasihmu?"desak Gina dan Debby bergantian."Penampilannya keren dan dewasa.Aku suka cowok seperti itu,"
Aku hanya tertawa sinis mendengar ucapan mereka berdua tentang Tim,bodyguard baruku.Jika saja mereka tahu tentang sepak terjang laki-laki itu,aku yakin mereka akan menarik kembali ucapan mereka.
"Kalian menyukainya?"pancingku.
"Tentu saja,"sahut Gina dan Debby serempak.
"Kalian tahu umurnya 10 tahun diatas kita,"ucapku setengah berbisik."Apa kalian menyukai cowok yang usianya jauh diatas kalian?"
"Aku tidak masalah,"sahut Debby cepat.
Aku juga,"sahut Gina tidak mau kalah.
Aku nyengir mendengar jawaban mereka yang kompak.Dan aku seperti pecundang saja rasanya.
"Kalian bisa mengatakan menyukainya karena belum tahu siapa dia,"gumamku.Sengaja memancing rasa penasaran sahabat-sahabatku.
"Memang ada apa dengannya?"tanya Gina terpancing ucapanku.
"Kalian tahu,orang itu sangat kejam,"tuturku."Tadi pagi saja ia menyeretku dari atas tempat tidur dan mendorongku kekamar mandi.Apa itu tidak kejam namanya?'
Gina dan Debby saling berpandangan.Mereka pasti tidak percaya dengan penuturanku.Tapi itu memang kenyataan.
"Apa benar seperti itu?"tanya Debby tampak ragu.
"Memang selama ini aku pernah membohongi kalian?"tanyaku meyakinkan.
Aku tersenyum penuh kemenangan.Mau tak mau mereka akhirnya mempercayai ucapanku.
~~~~~~
"Kau tahu,teman-temanku menyukaimu,"ucapku membuka suara.
Tim sedang sibuk mengemudi,sementara untuk mengisi kekosongan aku berceloteh sendiri meski tak ada sahutan dari bibir bodyguardku itu.
"Untuk penilaian fisik,kau memang sedikit tampan.Dan punya tubuh bagus.Tapi untuk kepribadian kurasa kau harus diberi nilai nol,"ucapku dengan nada menyindir.
"Jika mereka tahu kau sangat kejam,aku yakin mereka akan menarik kembali ucapan mereka,"celotehku kembali.
"Memang berapa banyak Dad membayarmu untuk menjadi bodyguardku?"tanyaku kemudian.Tak peduli ia akan menjawab pertanyaanku atau tidak."Pasti sangat banyak.Kurasa Dad sangat boros.Lebih baik uang sebanyak itu diberikan padaku.Lumayan untuk membeli pakaian atau aksesoris,"sambungku bergumam.
"Kita sudah sampai,"
Ucapan Tim membuatku menuntaskan khayalan singkatku.Aku segera turun dari atas mobil,namun aku menutup pintu dengan membantingnya keras-keras.
"Pecundang bodoh,"gumamku kesal.
"Cepat makan dan istirahat,"serunya sebelum aku masuk kedalam rumah.
Huh,gerutuku kesal.
Memangnya aku anak kecil yang harus di ingatkan jam makan dan istirahatnya?batinku.Lama-lama ia mirip baby sitter saja.
~~~~~~
"Tunggu!"
Teriakan Tim tak ku gubris.Aku berlari ke garasi dan hendak mengambil mobil sport kesayanganku.
"Roseline, kau tidak boleh menyetir!"ia masih berteriak seraya berlari mengejar langkahku.
Aku tak peduli.Sore ini aku ingin pergi ke pantai dan bertemu dengan Leon.Tapi bodyguard bodoh itu pasti tidak akan mengizinkanku pergi.Lagipula aku tidak suka jika ia mengikuti kemanapun aku pergi.Apa kata Leon jika tahu hal ini.
"Kau tidak boleh menyetir sendirian.Itu pesan orang tuamu,"
Laki-laki itu menerobos masuk ke dalam mobilku sesaat setelah aku berhasil duduk di jok belakang kemudi.
Aku heran.Ia berhasil mengejarku meski aku telah berupaya meloloskan diri darinya.
Aku menyalakan mesin tanpa mengacuhkan peringatannya.
"Roseline,"ia menyentuh setir mobil dengan maksud mencegahku pergi.
"Singkirkan tanganmu,"seruku dengan nada marah.
"Tidak,"timpalnya cepat."Sebelum kau turun,"tandasnya.
Aku tersenyum kecut.Meremehkan ucapannya.
Aku bergegas meluncurkan mobilku keluar dari garasi.Tak peduli ia masih bertahan di jok samping.Aku ingin memberinya "pelajaran".
Dan inilah saatnya aku beraksi!
Mobilku melaju kencang dijalanan menyalip mobil-mobil lain.Musik rock kupasang untuk mengiringi aksiku,tapi hanya bertahan tiga detik saja.Karena bodyguard bodoh itu langsung mematikan cd playerku.
"Roseline,hentikan."
Seruannya tak membuatku terpengaruh.Mobilku masih melaju dengan kecepatan tinggi.
"Hentikan!"ia berteriak keras untuk yang kedua kalinya.
Aku terkesiap.Dan seperti orang terhipnotis aku menuruti ucapannya.Entah kenapa lengkingan suara laki-laki itu serta merta membuatku ketakutan.Bahkan ia lebih kasar dari Dad.Dan selama ini tidak ada seorangpun yang berani berteriak sekeras itu padaku.
"Turun,"suruhnya setelah aku menepikan mobil.
Tim mengambil alih kemudi beberapa detik kemudian.Dan tanpa kata-kata ia melanjutkan perjalanan kami.
"Kita mau kemana?"tanyaku bingung.
Tim membawa mobil yang kami tumpangi melewati daerah pemukiman kumuh yang terletak di pinggiran kota.Rumah-rumah tidak layak huni dan kotor berdesak-desakan memenuhi area itu.Sementara anak-anak kecil tampak bermain tanpa alas kaki.Dan menurutku mereka sangat menjijikkan.
"Maksudmu apa membawaku kesini?"tanyaku setengah protes."Tempat ini sangat kotor dan bau.Aku ingin muntah,kau tahu?"
Tapi laki-laki bodoh itu diam.Ia sama sekali tak membuka suara untuk menjawab pertanyaanku.Entah apa yang ada didalam pikirannya.
~~~~~~
Aku duduk ditepian kolam renang sembari menerawangkan pandanganku ke langit malam.Padahal tak ada satupun bintang yang tampak di atas sana.Mungkin mereka sedang tertutup segerombolan awan.
Aku merindukan Mom dan Dad.Aku merindukan keluarga kami yang harmonis. Entah apa aku masih ada dalam hati mereka atau tidak.Apa dalam hati mereka masih ada rindu tersisa untukku?
Bukankah malam bisu?Begitu juga langit.Mereka hanya diam dan tak bisa menjawab pertanyaan batinku.
"Kau tidak belajar?"
Pertanyaan itu terdengar ditelingaku tiba-tiba dan memporak-porandakan segenap khayalan yang kubangun dengan rapi.
Huh,lagi-lagi bodyguard bodoh itu,batinku kesal.
Tim mengambil tempat duduk disebelahku tanpa meminta izin dariku terlebih dahulu.Sejenak ia menatap langit yang tadi baru saja kupandangi.Lantas ia menatap ke arahku.
"Kau ingin tahu kenapa aku membawamu ke tempat kumuh tadi?"
Aku menoleh begitu mendengar pertanyaannya.Aneh.Padahal tadi sore mulutku hampir berbusa menanyakan hal itu padanya.Tapi sekarang,saat aku tidak bernafsu untuk mengetahuinya,ia justru ingin memberitahuku.
"Kau tahu,kau jauh lebih beruntung daripada anak-anak itu,"tandasnya memulai penjelasan."Mereka tinggal ditempat yang kotor dan kumuh,jauh dari kata layak.Mereka makan seadanya.Terkadang mereka hanya makan sekali dalam sehari,bahkan tak jarang mereka tidak makan seharian.Mereka harus mengais sampah hanya demi bisa makan.Dan lihat dirimu.Mestinya kau bersyukur atas apa yang kau punya.Itulah kenapa aku membawamu kesana,"tuturnya.
Aku mendengar penuturan Tim baik-baik.Aku tak menyangka ada seseorang yang menyampaikan hal seperti itu padaku.
Aku tertunduk merenungkan semua kebenaran yang baru saja terlontar dari bibirnya.Seolah-olah ia ingin menyadarkanku dari sikap-sikapku yang salah selama ini.
"Kau memang benar,"gumamku nyaris tak terdengar.
Sebutir air mata jatuh ketika aku hendak menatap wajah laki-laki dihadapanku.
Aku baru tahu jika hatinya begitu tulus dan putih.Ia bak sesosok malaikat tak bersayap yang jatuh dari langit.
"Kau menangis?"tegurnya kalem.
Aku menggeleng sembari tersenyum.Menyembunyikan keharuanku saat mengenang kata-katanya.
"Hapus air matamu dan masuk ke kamarmu,"suruhnya kemudian."Sepertinya hujan akan turun sebentar lagi,"
~~~~~~
Happy birthday,Roseline.....
Ucapan selamat dari Mom telah kuterima via sms.Dad juga hanya mengirim selembar kartu pos dari Paris dan berjanji akan memberiku hadiah sepulangnya nanti.
Padahal tahun lalu hari jadiku dirayakan dengan megah dan meriah.Semua teman-temanku datang dan hadiah untukku melimpah ruah.Tapi hari ini sangat jauh berbeda.Tak ada kue ataupun hadiah untukku.
Aku tidak menuntut sebuah perayaan yang sama dengan tahun lalu.Aku hanya ingin sedikit perhatian dari mereka.Tak lebih.
Aku tersentak manakala mendengar pintu kamarku diketuk dari luar.
"Siapa?"seruku malas.
Tak ada jawaban.Namun pintu kamarku terkuak beberapa saat kemudian.Tim?
Laki-laki itu menyeruak masuk.
Kupikir ia akan protes karena sampai detik ini seragam sekolahku belum juga kulepas.Tapi nyatanya dugaanku salah.
"Selamat ulang tahun..."
Aku terpana beberapa detik lamanya seraya menatap raut wajah laki-laki dihadapanku itu.
"Aku tidak tahu hadiah apa yang kau suka,tapi pelayan toko itu menyarankanku untuk membeli ini,"ucapnya sembari menyodorkan sebuah boneka puddle berwarna cokelat kepadaku."Kuharap kau menyukainya,"imbuhnya.
Aku segera menyambar benda itu dari tangannya.
"Terima kasih,"ucapku riang.
Entah kenapa aku begitu bahagia menerima hadiah darinya.Ternyata dia memang orang yang begitu misterius dan susah ditebak.
"Kau suka hadiahnya?"tanyanya kurang yakin.
"Tentu saja,"aku menimpali."Maaf aku pernah mengataimu bodoh,"sesalku kemudian.
Tim tersenyum.
"Mari kita tiup lilinmu,"
Ia menarik tanganku keluar dari kamar.Dan sebuah kejutan telah menantiku diruang makan.Semua pelayan berkumpul disana menunggu kehadiranku.Sementara sebuah kue tart berukuran jumbo telah tersedia disana.
Aku bahagia.Meski kebahagiaanku tidak lengkap tanpa Mom dan Dad,tapi aku bersyukur bisa merayakan ulang tahunku bersama mereka.
~~~~~~
"Kau suka naik roller coaster?"
Aku mendorong tubuh Tim usai membelikannya selembar tiket untuk wahana yang menguji adrenalin itu.
"Kau tidak ikut?"tanyanya seperti kebingungan.
Aku menggeleng seraya mengedipkan sebelah mataku.Dan ia baru saja menyadari jika telah kujebak.
Aku tak bisa menahan tawa manakala melihat ekspresi wajahnya saat telah turun dari roller coaster.
"Apa kau baik-baik saja?"tanyaku sambil menahan tawa.Tampaknya ia masih gamang setelah naik benda mengerikan itu.
"Kau berhasil menjebakku,"gumamnya seraya menatapku.
"Maaf..."sahutku kalem.
"Harusnya kau yang naik tadi,"ucapnya.Sementara tangannya berhasil mengacak-acak rambutku.
"Tapi kau sangat menikmatinya kan?"seruku menggodanya.
"Menikmati apanya,"gerutunya.Sementara aku hanya bisa tertawa melihatnya.
Sewaktu akan pulang dari taman hiburan aku membelikannya sebuah es krim cokelat sebagai tanda permintaan maafku sekaligus sebagai rasa terima kasih karena telah menemaniku seharian ini.
"Kenapa tertawa?"tanya Tim padaku.
"Karena kau lucu,"sahutku sembari mengamati gerak geriknya yang tengah sibuk menjilati es krim ditangannya.
"Lucu kenapa?"desaknya tak mengerti.
"Aku tidak akan mengatakannya,"timpalku bermain rahasia.
"Kau merahasiakannya dariku?"
Aku tak menyahut.
"Terima kasih untuk hari ini,"ucapku mengalihkan percakapan.
"Sudah menjadi tugasku untuk menjagamu,"tandasnya.
Tapi aku merasakan hal yang lain saat bersamanya.Aku merasakan nyaman dan damai saat duduk sedekat ini dengannya.Dan moment seperti ini ingin selalu kualami setiap hari.
~~~~~~
"Daddy?!"
Aku tertegun saat mendapati Dad sedang duduk diruang tamu sembari sibuk dengan lembar-lembar surat kabar pagi.
"Kapan Dad tiba?"tanyaku heran.Aku melangkah pelan menuruni tangga.
"Baru saja,"sahutnya santai.Seolah kami tidak bersitegang sebelum ini."Dad sudah membeli hadiah untukmu.Bukalah,"suruhnya seraya menunjuk pada sebuah bungkusan yang tergeletak diatas meja.
Ada yang aneh pagi ini,batinku gusar.Bukan tentang kedatangan Dad yang tiba-tiba.Juga bukan tentang hadiah itu.
Biasanya pagi-pagi seperti ini Tim yang menyambutku diruang tamu,lantas menyuruhku untuk segera sarapan dan berangkat ke sekolah.Tapi aku belum melihatnya sejak tadi.
"Roseline,Dad rasa...Dad dan Mom akan mempertimbangkan lagi keputusan kami untuk bercerai,"ungkap Dad kemudian.
"Mana Tim?"tanyaku tak menggubris pemberitahuan Dad yang harusnya menjadi sebuah berita menggembirakan buatku.
"Oh ya,Dad lupa memberitahumu,"timpal Dad cepat."Mulai hari ini dia sudah tidak bekerja lagi disini,karena Dad sudah kembali.Lagipula dia harus kembali ke camp militer,"jelas Dad membuatku tercengang.
"Apa?!"tanyaku kaget.
"Apa dia tidak memberitahumu?"tanya Dad curiga.
Aku menggeleng pelan.
Kenapa dia tidak memberitahuku sebelumnya?batinku penuh penyesalan.Tiba-tiba saja dadaku seperti ditusuk sepotong besi panas.Sakit sekali.
"Dia tidak pamit padaku,"gumamku seperti orang linglung.
Dad menghela nafas melihat reaksiku.
"Kau menyukainya?"desaknya kemudian.
"Iya,"sahutku pelan.
"Setahu Daddy,dia sudah menikah,"beritahu Dad sekali lagi mengejutkanku.
Tidakkkkkk!!!!!!!!jeriku tertahan.Aku ingin pingsan seketika itu juga.......

Jumat, 24 Mei 2013

DE JAVU ( REINKARNATION )


Bayangan besar berwarna hitam pekat itu tiba-tiba saja menyergap tubuh Ryoko. Lantas membekap mulut dan hidung gadis itu sehingga ia sulit untuk bernafas. Ia meronta sekuat tenaga yang dimilikinya, namun bayangan hitam itu lebih kuat dari yang ia kira. Ia hendak menjerit sekencang-kencangnya tapi percuma, karena suaranya tersendat di tenggorokan. Setelah berjuang sekian detik akhirnya ia pasrah. Tenaganya telah terkuras habis. Dan nafasnya berhenti perlahan.........
Tidakkkkk!!!!!!!
Ryoko terbangun dari mimpi. Bulir-bulir keringat dingin membasahi kening dan tubuhnya. Nafasnya tersengal seperti habis berlari ratusan meter.
Gadis itu baru sadar jika ia baru saja bermimpi dikejar bayangan hitam misterius.Dan ini adalah malam ketiga ia bermimpi yang sama.
Ia mencoba mengatur nafas dan menata perasaannya. Mimpi yang baru saja ia alami sangat mengerikan. Seperti kenyataan.
"Kau mimpi lagi?"
Teguran Hiroshi membuat Ryoko tersadar jika pria itu tengah duduk di tepian tempat tidur dan sibuk melepaskan dasi yang melilit lehernya. Pria itu baru saja pulang.
"Tiga kali ini kau terbangun dari mimpi seperti itu,"ucap Hiroshi seraya bangkit dan melepaskan kemeja putihnya.
"Kau baru pulang?"pertanyaan yang dilontarkan Ryoko mengalihkan topik percakapan Hiroshi.
Hiroshi tak menjawab.Bahkan pria kelahiran Hokkaido itu tak begitu mempedulikan apa yang baru saja dialami Ryoko.
Pria itu mengganti kemejanya dengan sebuah piyama berwarna biru tua.
"Jangan terlalu banyak berhalusinasi,"ujar Hiroshi masih mempertahankan topik pembicaraan."Sebaiknya kau pergi ke dokter besok,"suruhnya kemudian.Ia telah beralih ke atas tempat tidur dan merebahkan diri disebelah Ryoko.Namun ada beberapa inchi jarak yang terbentang diantar mereka berdua.
"Dokter?"ulang Ryoko tak percaya."Aku tidak gila.Aku baik-baik saja,"tandas Ryoko sedikit geram.Lucu sekali,batinnya.
"Aku tidak mengatakan kamu gila,"timpal Hiroshi membela diri."Aku hanya menyuruhmu berkonsultasi dengan psikiater terkait dengan mimpi burukmu.Apa aku salah?"tanya Hiroshi seraya menatap mata Ryoko tajam.
Ryoko tersenyum.Tawar.
"Aku rasa aku tidak perlu pergi ke psikiater,karena aku merasa baik-baik saja. Sebaiknya kau mengurusi pekerjaanmu dan tidak perlu mencemaskanku,"tegas Ryoko.Ia menarik selimut lantas bersembunyi dibawahnya.Ia sengaja membelakangi tubuh Hiroshi dengan maksud mengakhiri perbincangan malam itu.
Hiroshi menarik nafas dalam-dalam. Ia meraih sebuah buku diatas meja tak jauh dari tangannya. Seperti biasa ia selalu menyempatkan diri untuk membaca buku bertema bisnis sebelum tidur.
~~~~~~
Ryoko melangkah ragu. Namun ia berhenti juga didepan sebuah kios kecil ditengah-tengah pasar tradisional.
Apa ia harus masuk kedalam atau tidak. Namun sebagai orang yang hidup di zaman modern seperti ini rasanya tidak masuk akal dengan mendatangi seorang ahli nujum.
Tapi kemasyuran ahli nujum itu seolah menggelitik pikirannya.Sepertinya menarik untuk mendengar bualan seorang ahli nujum. Lagipula ia juga ingin membuktikan seberapa jauh kemampuan peramal itu.
Mungkin ia hanya akan menguji indera keenamnya atau...
"Masuklah..."
Seorang laki-laki tua bertubuh rapuh tiba-tiba muncul dari dalam kios kecil itu.Rambutnya telah berwarna putih dan ia masih menggunakan pakaian tradisional Jepang. Sebuah kipas lusuh dikibas-kibaskan di tangannya.
Hampir saja Ryoko terloncat karena kaget. Ia tergagap saat melihat penampakan laki-laki tua itu.
"Apa yang kau tunggu?!"sentak laki-laki tua itu karena Ryoko masih juga terpaku di tempatnya berdiri.
"I...iya,"sahutnya terbata.Ia melangkah masuk menyusul jejak laki-laki tua itu.
Ryoko disambut di ruangan sempit.Dua buah kursi kayu tua dan sebuah meja bulat tersedia disana. Laki-laki tua itu mempersilakan tamunya untuk segera duduk dihadapannya.
"Apa yang ingin kau tanyakan?"laki-laki tua itu bertanya pada Ryoko terlebih dahulu.
Ryoko tak langsung menjawab.Hatinya masih diliputi sedikit keraguan tentang kemampuan laki-laki tua itu.
Laki-laki tua itu menyeringai melihat kliennya belum juga membuka suara.
"Kau ingin tahu sesuatu tentang mimpimu bukan?"sentak laki-laki tua itu tepat sasaran.
Ryoko tak terlalu terkejut dengan pertanyaan orang itu. Sebagai seorang peramal tidak heran jika dia tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Ryoko.
"Apa arti mimpiku Kek?"tanya Ryoko memberanikan diri.Rasa ingin tahunya tengah ada di puncak sekarang ini.
Laki-laki tua itu terdiam sesaat seraya memejamkan kedua matanya.Lalu ia kembali membuka mata dan mengamati perawakan Ryoko.
"Kau benar-benar ingin tahu?"tanyanya. Dan Ryoko langsung mengiyakan tanpa berpikir panjang.
Ahli nujum itu menghela nafas berat sebelum bicara.
"Di kehidupan sebelumnya, sekitar 300 tahun yang lalu kau terlahir sebagai seorang putri bangsawan. Kau dijodohkan dengan putra bangsawan.Kalian menikah namun tidak bahagia.Kau menyukai laki-laki itu,tapi sayangnya laki-laki itu tidak menyukaimu.Dan suatu saat tepat kau berumur 25 tahun lebih 3 bulan seseorang membunuhmu. Siklus reinkarnasimu berakhir sampai disitu,"papar peramal itu panjang.
Ryoko tercengang mendengar kisah itu.
"Siklus reinkarnasi selalu terulang setiap 300 tahun sekali,"lanjut peramal itu."Dan kehidupan seseorang selalu berakhir sama,kecuali dia pernah melakukan kebajikan di kehidupan sebelumnya. Mungkin di kehidupan selanjutnya nasib orang itu sedikit lebih baik.Tapi aku melihat kehidupanmu selalu berakhir sama."
"Apa ucapan kakek bisa ku percaya?"tanya Ryoko ragu.Ia merasa aneh mendengar penuturan kakek tua itu.
Peramal itu tersenyum kecut.Ia tahu gadis dihadapannya sedang berpikir bahwa ia hanya membual.
"Aku tidak memaksamu untuk percaya,"tandas kakek itu kemudian.Tangannya sibuk mengibas-ibaskan sebuah kipas lusuh."Kau bisa merasakan sendiri apa ucapanku benar atau hanya membual,"
Ryoko tak melanjutkan pertanyaannya.
"Besok lusa adalah malam purnama ketiga setelah kau merayakan ulang tahunmu yang ke-25.Berbuatlah sesuatu untuk dirimu sendiri.Bukan aku ingin mengatakan kematian bisa dihindari,tapi cobalah untuk merubah takdir siklus reinkarnasi.Karena aku kasihan melihat hidupmu,"ujar laki-laki tua itu kembali.
Ryoko tersenyum pahit.
"Aku sama sekali tidak percaya dengan apa yang Kakek katakan,"Ryoko berdiri dari tempat duduknya.Gadis itu hendak pergi dari tempat itu.
"Aku tahu kau percaya,"timpal peramal itu dengan lagak tenang."Tentukan sendiri nasibmu,"serunya saat Ryoko bergerak meninggalkan tempatnya. Ia memandang kepergian Ryoko dengan tatapan iba."Kasihan gadis itu,"gumamnya sendiri.
~~~~~~
Langkah Ryoko tertatih dan nyaris menabrak pintu. Gadis itu kehilangan keseimbangan tubuhnya.
Hiroshi tampak kaget melihat istrinya yang baru saja masuk kedalam kamar. Tak biasanya ia pergi dan pulang selarut ini. Dalam keadaan mabuk pula.
Hiroshi mendekat dan membimbing Ryoko ke atas tempat tidur.
"Kau minum sake?"cecar Hiroshi seraya membantu Ryoko berbaring.
"Aku hanya minum sedikit,"gumam Ryoko tak begitu jelas.
Ryoko memang tidak pernah minum sebelumnya. Pasti ada sesuatu yang terjadi dengannya,batin Hiroshi berpikir.
"Apa kau percaya pada reinkarnasi?"tanya Ryoko setengah menggumam.
Hiroshi urung mengambil buku di atas meja demi mendengar pertanyaan ganjil Ryoko.Pasti ia telah mabuk dan tidak sadar dengan apa yang ia ucapkan.
"Apa yang kau bicarakan?"tanya Hiroshi datar.Ia tak begitu mempedulikan ucapan Ryoko.
Bibir Ryoko mulai berceloteh.Tentang kakek tua peramal yang ia datangi tadi siang di pasar.Tentang siklus reinkarnasi 300 tahun, tentang kehidupan sebelumnya bla bla.......
"Apa kau percaya?"tanya Ryoko tak sadar."Kakek tua itu pembohong besar kan?"
Ryoko mengoceh kesana kemari.Pikirannya tak bisa dikendalikan lagi. Ia telah mabuk berat.
Sementara Hiroshi tak merespon perkataan Ryoko.Namun ia mendengarkan setiap kalimat yang Ryoko lontarkan.
"Sebaiknya kau tidur,"suruh Hiroshi sembari menoleh ke arah Ryoko.
Ryoko sudah tak bergerak. Matanya telah terpejam.Bibirnya terkatup rapat.Hanya desah nafasnya yang terdengar berat.Ia terlalu letih untuk berceloteh lagi.
~~~~~~
"Apa yang ku bicarakan semalam?"
Ryoko menuang jus jeruk kedalam gelas Hiroshi. Kepalanya sudah lebih baik ketimbang beberapa menit yang lalu.
"Kau bicara tentang reinkarnasi,"sahut Hiroshi. Sedang tangannya sibuk dengan sebuah gadget.
Ryoko menghela nafas. Menyesali kebodohannya. Kenapa pula ia mengatakan perihal itu pada Hiroshi dengan keadaan mabuk.
"Maaf aku bicara ngawur semalam.Pasti aku sudah mabuk berat dan tidak sadar dengan apa yang ku bicarakan,"tandas Ryoko seraya menyajikan segelas jus jeruk ke hadapan Hiroshi.
Hiroshi hanya mendehem tanpa melontarkan tanggapan.Pria itu masih sibuk mengutak-atik gadget didalam genggamannya.
Peramal itu benar dalam beberapa hal. Ryoko melangkah ke dapur tanpa berniat menemani suaminya sarapan pagi.
Ia dan Hiroshi memang dijodohkan atas nama bisnis kedua orang tua mereka. Ia menyukai Hiroshi.Tapi seperti kata peramal itu,Hiroshi tidak pernah menyukai dirinya.Hidup Ryoko memang menyedihkan.
Jika reinkarnasi benar adanya,apa dikehidupan sebelumnya nasib Ryoko juga sama seperti di kehidupan sekarang? Apa siklus reinkarnasi dirinya harus selalu berakhir sama seperti kata peramal itu?
Dan malam ini adalah malam purnama ketiga setelah ulang tahunnya yang ke-25.Apa hari ini adalah hari terakhir bagi dirinya dapat melihat dunia ini?
Tentukan nasibmu sendiri!
Ucapan kakek tua itu terngiang di telinganya.Mungkin jika ia berjuang mengubah takdir siklus reinkarnasinya akan berubah. Tapi untuk apa dia melakukan itu?Sedangkan orang yang ia sukai tidak pernah menyukai dirinya.Hiroshi tidak mencintainya.
Jika saja ia bisa merubah perasaan Hiroshi....
"Aku akan berangkat sekarang,"
Ucapan Hiroshi mengagetkan Ryoko.Ia buru-buru membalikkan tubuh dan mengiyakan.
"Jangan minum sake lagi malam ini,"pesan Hiroshi sebelum pergi.
Ryoko hanya mengangguk pelan.
~~~~~~
Ryoko mengemudikan mobilnya pelan. Tak melebihi kecepatan rata-rata.Ia benar-benar waspada dan ekstra hati-hati hari ini.Entah kenapa tiba-tiba saja ia ingin berbuat sesuatu,semisal berjuang demi keselamatannya sendiri. Ucapan kakek tua itu sedikit mempengaruhi pikirannya.Meski ia tidak bisa melawan takdir, namun ia ingin berbuat sesuatu untuk merubah siklus reinkarnasinya.
Ryoko menginjak remnya tiba-tiba.
"Hampir saja,"gumamnya lega.
Saat ia mengemudi tadi mendadak seorang anak kecil muncul dari belokan dan untung saja ia bisa mengontrol kemudi. Maka selamatlah anak kecil itu dan dirinya.
Apa itu tadi termasuk dalam ucapan peramal itu?batinnya.Mungkin saja.Karena seandainya ia tidak segera menginjak rem,mungkin ia akan mengambil alternatif dengan membanting setir ke kiri dan ujung-ujungnya mobil yang ia kemudikan akan menabrak pagar beton dan usailah semuanya.
Gedung apartemen Ryoko telah nampak.Saat itu hari telah gelap.Hiroshi pasti juga belum pulang.
Ryoko telah memarkir mobilnya.Ia bergegas melangkah kedalam lift untuk menuju ke lantai 25 dimana apartemennya berada.
Ia harus segera sampai duluan sebelum Hiroshi datang.Ia juga harus menyiapkan makan malam...
Malam ini adalah malam purnama ketiga seperti perhitungan peramal itu.Tapi sejauh ini semua baik-baik saja,bahkan Ryoko hampir sampai dirumah.Mungkin upayanya untuk merubah siklus reinkarnasi telah berhasil.Buktinya ia terhindar dari kecelakaan maut beberapa saat yang lalu.
Ryoko menghela nafas lega.Ia hampir sampai...
Set!
Mendadak lift berhenti.Lampu didalam kotak lift itupun mengerjap seolah hendak padam.
Apa yang terjadi?jeritnya tersendat.
Ryoko berusaha menekan tombol darurat didekat pintu lift.Ia ingin menghubungi operator tapi sayangnya tak ada sahutan.
"Tolong aku!"teriak Ryoko panik.Ia ketakutan setengah mati.Ia kebingungan dan menekan semua tombol lift.Tapi sia-sia saja. Lift itu tak mau bergerak.Pintunyapun tak mau terbuka.
Ryoko letih dan jatuh terduduk di pojok kotak lift. Ia hampir kehilangan kesadarannya.Oksigen ditempat itupun nyaris habis.
Apa aku akan mati dan mengakhiri siklus reinkarnasi sampai disini,batinnya sedih.Ternyata ucapan kakek itu benar......
Perlahan Ryoko menutup matanya. Nafasnya tinggal satu-satu.Dan ia sudah tidak bergerak sama sekali.
"Ryoko!!"
Pintu lift terbuka dan teriakan Hiroshi bergema diseluruh penjuru kotak lift.Tapi gadis itu telah terkapar disudut ruangan dan tak bergerak sama sekali.
Hiroshi bergerak cepat.Ia segera melakukan pertolongan pertama pada istrinya.
"Bertahanlah Ryoko.Kau harus hidup,kau dengar itu?!"
Hiroshi berusaha menolong Ryoko dengan memberinya nafas buatan seraya berharap ia belum terlambat.
Dan....
Tiba-tiba saja Ryoko terbatuk.
Ia terbangun dan melihat Hiroshi telah berada dihadapannya dengan wajah pucat pasi.
"Hiroshi???"
"Ryoko!"teriak Hiroshi gembira.Dengan gerakan spontan ia langsung mendekap tubuh Ryoko."Kau masih hidup.Terima kasih Tuhan......."

Selasa, 21 Mei 2013

ONE NIGHT IN NEW YORK


Audrey tertegun menatap tamunya.Sesosok laki-laki yang sama sekali tak ia harapkan kehadirannya.
Kalau saja ia tidak datang dari Indo mungkin gadis itu telah menutup pintu apartemennya.Tapi nyatanya ia mempersilakan laki-laki bernama Bim itu untuk masuk.
Audrey menjamu tamunya dengan secangkir teh panas. Cuaca diluar sangat dingin.Minus 5 derajat. Dan Bim tampak menggigil.Perbedaan suhu udara dan waktu pasti membuat laki-laki itu sedikit menderita.
Jetlag.....
Penerbangan Jakarta-New York membuat Bim tampak lelah.Namun laki-laki itu berusaha melawan rasa letihnya.
Hening. Tak ada perbincangan sebagai basa basi pembuka suasana. Audrey membiarkan tamunya agar leluasa beristirahat di sofa ruang tamunya.
Bim adalah teman masa kecilnya sewaktu ia masih tinggal di Indo. Mereka sangat dekat. Namun seketika menjadi jauh setelah Audrey meninggalkan Indo lima tahun yang lalu.
Audrey berdiri didekat jendela apartemennya seraya melepaskan pandangan keluar. Kearah gedung-gedung yang menjulang berhiaskan lampu warna-warni.
"Aku belum bertanya kabarmu,"ucap Bim mulai membuka perbincangan.Sepertinya sepuluh menit cukup baginya melepas kepenatan.
Audrey menoleh manakala Bim beralih dari sofa dan mulai bergerak mendekat ke tempatnya berdiri. Laki-laki itu ikut-ikutan menatap keluar jendela seperti yang Audrey lakukan.
"Bagaimana kabarmu?"tanya Bim kemudian.Ia melirik sekilas ke arah gadis cantik di sebelahnya.
"Fine,"sahut Audrey pendek.
Bim tersenyum tipis.Rasanya aneh berdiri bersebelahan dengan Audrey yang sekarang. Padahal dulu mereka begitu dekat,namun kini tak ubahnya seperti dua orang asing. Canggung.
"Sebenarnya aku datang karena ibumu,"ungkap Bim sejurus kemudian. Setelah ia mengusir rasa canggung dari dalam hatinya.
"I know,"sahut Audrey cepat.""What she wants from me?"tanya gadis itu dalam bahasa Inggris yang fasih.
"Sebenarnya tidak ada.Dia hanya ingin tahu kabarmu.Itu saja,"ulas Bim.
Namun ucapan Bim malah membuat Audrey tertawa sinis. Mungkin ia sedang berpikir jika Bim berbohong padanya. Karena beberapa waktu terakhir ibunya sering mengirim pesan agar Audrey pulang.
"Tell her, I won't go there,"ucap Audrey.
Bim tersentak mendengar kata-kata yang baru saja dilontarkan Audrey.
"Kenapa?"tanya Bim cepat."Kenapa kamu tidak mau pulang?"ulangnya.
Audrey hanya menggeleng tanpa menjelaskan alasannya.Gadis itu menghela nafasnya lantas membalikkan tubuh.Ia hendak kembali kekamarnya.Punggungnya terasa kaku.
"Apa New York terlalu nyaman sehingga kamu tidak mau kembali?"
Seruan Bim berhasil menghentikan langkah Audrey. Gadis itu tertegun ditempatnya berdiri.
"Aku tahu hidupmu sangat nyaman disini.Karirmu sebagai foto model sangat cemerlang.Kamu terkenal,punya banyak uang.Hidupmu sangat mandiri.Tapi apa semua ini membuatmu bahagia?"
Audrey membalikkan tubuh.Ia mengerutkan keningnya saat menatap Bim.Ucapan Bim cukup menyinggung hatinya.
"I don't know what you're talking about,"tandas Audrey kesal.
Bim tersenyum pahit melihat reaksi gadis itu.
"Aku tahu gaya hidupmu. Wine,"tandas Bim sembari menunjuk ke arah meja di sudut ruangan.
"Setiap hari kamu mengkonsumsi benda itu hanya untuk lari dari sesuatu,bukan?"lanjut Bim.
Audrey terpojok.Bukti itu telah mengungkapkan segalanya.
"Then?"pancing Audrey.Ia berusaha tidak terpengaruh oleh ucapan Bim."This is my life.And don't interfere,"tegasnya.
Bim tersenyum kecut.
"Terus terang aku sangat kasihan padamu,"ucapnya."Menjadi foto model bukanlah impianmu. Hidup di negeri asing tanpa teman dan kerabat juga bukan keinginanmu.Tapi kamu memaksa dirimu untuk menjalaninya.Aku tahu kamu kesepian."
Audrey geram mendengar ucapan Bim.Sepertinya laki-laki itu mulai berbelit-belit dengan ucapannya.
"Sebenarnya apa maksudmu datang dan mengatakan semua ini padaku?"Audrey tak sabar menghadapi Bim.
Bim menghela nafas.
"Ibumu sakit,"ungkap Bim berterus terang.Ada sepercik harapan dalam ucapannya,agar hati Audrey tergugah mendengar berita itu.
Audrey tak bereaksi.Bahkan ia sama sekali tidak terkejut.
"Pulanglah..."suruh Bim sesaat kemudian."Bagaimanapun dia adalah ibumu.Wanita yang telah melahirkanmu,"imbuhnya .
"Aku tidak pernah minta untuk dilahirkan,"tandas Audrey terdengar datar.
"Audrey!"teriak Bim spontan.Ia kaget setengah mati mendengar kalimat Audrey.
Sementara gadis itu membuang muka ke sudut ruangan.
"Aku tidak menyangka kamu bisa sedendam itu pada ibumu,"ujar Bim dengan nada heran."Walaupun dia pernah melakukan kesalahan di masa lalu tapi bukan hakmu untuk menghakiminya seperti ini."
"Memangnya kamu tahu apa tentang perasaanku?!"teriak Audrey lantang."Kamu tidak pernah merasakan bagaimana rasanya dikucilkan teman-temanmu.Apa kamujuga tahu rasanya disebut sebagai anak haram?Tidak pernah bukan?"
Nafas Audrey naik turun seiring gejolak emosinya yang mulai meningkat.
Bim diam.Tak ingin menyela.Karena gadis itu tengah lepas kontrol.
"Semua orang menyebutku anak haram.Bahkan ibumu juga melarangmu berteman denganku karena aku anak yang tidak jelas bapaknya.Apa kamu sudah lupa itu Bim?"ucap Audrey terbata.Mata gadis itu memerah dan nampak berkabut.
"Mereka menghinaku, mengucilkanku bahkan juga menindasku.Saat itu usiaku tujuh tahun.Apa yang bisa dilakukan anak sekecil itu selain menangis?Kamu tahu,saat itu aku sangat berharap tiba-tiba saja seorang laki-laki datang dan mengaku sebagai ayahku.Sehingga aku bisa membuktikan pada semua orang bahwa aku punya seorang ayah.Bahwa aku bukan anak haram.Tapi apa kenyataannya?Laki-laki impianku itu tidak pernah datang sama sekali sampai aku dewasa.Padahal setiap malam aku selalu berdoa pada Tuhan.Tapi Dia tidak pernah mengabulkan doaku,"tutur Audrey disela isak tangisnya.
"Karena itu kamu membenci ibumu?"tanya Bim.
"Juga Tuhan,"sahut Audrey.
"Audrey!Kamu tidak boleh bicara seperti itu!"seru Bim.
Audrey tak menyahut.Dan Bim melanjutkan kalimatnya.
"Aku tahu perasaanmu,"tandasnya pelan."Saat itu aku juga ada bersamamu,"
"Tapi apa yang kamu lakukan saat itu?"timpal Audrey cepat."Nothing!"
Bim terdiam.Saat itu Bim memang tidak melakukan apa-apa.Dia hanya berdiri mematung saat teman-teman Audrey mengolok-olok gadis itu.
"Aku memanng bodoh,"gumam Bim lirih.
"Karena kamu bodoh makanya kamu mau berteman denganku,"sahut Audrey menimpali.
Bim tak berkutik.Laki-laki itu hanya bisa menyesali dirinya dimasa kecil.Andainya ia lebih berani saat itu,pasti ia akan melindungi Audrey.
"Aku tidak mau mengungkit masalah ini lagi,"ucap Audrey kemudian."Karena itu hanya akan membuka luka lama yang sudah susah payah aku sembuhkan."
"Apa kamu juga tidak mau pulang,meski sebentar saja?"
Audrey menggeleng.
"Jadwalku padat,"sahut gadis itu.
Bim tersenyum pahit.
"Ibumu sakit,Audrey.Entah berapa lama ia bisa bertahan,"ujar Bim."Apa karirmu lebih penting daripada menjenguk ibumu?Jangan jadi anak durhaka,Audrey.Jangan sampai kamu seperti itu,"
Audrey mendesah pelan.Ia tak merespon ucapan Bim.Ia hendak melanjutkan langkahnya kembali ke kamar.
"Jujur aku tidak suka kamu menjadi foto model,"
Ucapan Bim memaksa langkah Audrey terhenti.
"Aku tidak suka kamu berpakaian minim dan orang lain melihat tubuhmu,"imbuh Bim lagi.Berharap Audrey mempertanyakan alasannya.
"This is my job,Bim,"timpal Audrey pelan.Ia sudah lelah berdebat dengan sahabat lamanya.
"To survive?"timpal Bim cepat.
Audrey tak membalas.Ia hanya menatap lekat-lekat kedalam mata Bim.Mencoba mencari sesuatu yang tersembunyi dibalik sorot mata elang milik laki-laki itu.
"Masih banyak pekerjaan lain yang lebih baik dari ini,Audrey,"sambung Bim lagi.
Audrey menggeleng pelan.
"Don't tell me that you love your job,"ucap Bim menebak isi hati gadis bermata sayu dihadapannya.
"No,"timpal Audrey."I just wana know your reason,"
Bim menaikkan alisnya sebagai tanda tak memahami maksud ucapan Audrey.
"What reason?"tanya laki-laki itu.
"Why did you care 'bout me?Coz my mother?How much you get from her?"tanya Audrey ingin tahu.
Bim tersenyum tipis.
"This is not 'bout money,"ucap Bim masih sembari tersenyum.
Audrey tak mengerti.
"So?"pancing Audrey.
"I love you Audrey,"ucap Bim mengejutkan.
Audrey benar-benar tak menduga Bim bisa mengatakan hal itu padanya.
"Why?Why do you love me?"tanya Audrey terbata.
Selama ini tak pernah ada yang benar-benar serius mencintai dirinya.Semua hanya seperti angin yang setiap saat bisa berlalu.Entah berapa kali ia dicampakkan oleh laki-laki.
"No need the reason for loving someone,"ucap Bim.
Audrey tersenyum pahit mendengar kalimat Bim.Tidak perlu alasan untuk menyukai seseorang?Bulshit.Itu hanya omong kosong belaka.
"I don't believe in love,"tegas Audrey.Ia membuang mukanya dari tatapan Bim yang tajam menghunjam ke arahnya.
"Why?"tanya Bim kaget."Any body hurt you?"desaknya.Namun tak dijawab oleh gadis itu.Bim tambah penasaran.
Audrey melangkah kesofa disusul Bim.
"Life's not perfect,Bim,"tandas Audrey lirih."Hidup tidak selalu sempurna."
"Aku tahu,"sambung Bim. "Saat sendiri kita memang tidak sempurna.Tapi dengan bersama kita bisa saling melengkapi,"
Audrey menundukkan wajah.Dan mendadak setetes air mata jatuh.
"Aku memang serapuh ini,"ucap Audrey nyaris tak terdengar."Aku sudah terlalu lelah menjalani semua ini.Tapi aku takut mati,Bim..."
Gadis itu mendongakkan wajahnya pada Bim.Dan nampaklah mata gadis itu telah berurai air mata.
Bim segera meraih tubuh kurus Audrey dan mendekapnya erat.Ia ingin berbagi kesedihan dengan gadis yang sudah dicintainya semenjak kanak-kanak itu.
"I always love you,Audrey.Trust me......"bisik Bim didekat telinga gadis malang itu......

Jumat, 17 Mei 2013

A LETTER FROM HEAVEN


Tamara hanya tertegun. Sedang matanya menatap ke langit yang tiba-tiba saja mencurahkan air hujan.
Ah,seandainya hujan bisa ditunda sejam lagi pasti ia tidak akan terjebak di teras kampus seperti sekarang. Ia bisa pulang tanpa perlu tersentuh air hujan sama sekali.
"Sial,"
Tamara menoleh mendengar seseorang menggerutu sendirian. Seorang cowok tampak kesal melihat tetesan hujan yang turun.
"Apa hujannya tidak bisa nanti saja,"sambung cowok itu lagi.Ia tampak bingung sendirian.
"Maaf, jam berapa sekarang?"
Cowok itu menegur Tamara tiba-tiba.
"Ponselku batereinya habis,"jelas cowok itu sambil nyengir.
Tamara mendesah pelan. Gadis itu melirik jarum jam yang melingkar di tangannya.
"Jam dua kurang lima menit,"beritahu gadis itu kemudian.
"Terima kasih,"ucap cowok itu berterima kasih.
Tamara hanya mengangguk pelan. Lantas ia kembali menatap ke arah hujan dan enggan untuk menanggapi cowok yang berdiri di sebelahnya.
"Apa hujannya akan lama?"Tamara mendengar cowok itu bergumam lagi."Kasihan mami,"
Oh, rupanya cowok itu sedang mencemaskan orang tuanya,batin Tamara usai mendengar gumaman cowok itu.
"Kamu juga menunggu hujan reda?"cowok itu mengalihkan pertanyaannya pada gadis yang kini berdiri di sebelahnya.
Tamara menoleh.
"Aku?"tanya Tamara menunjuk pada dirinya.
Cowok itu tersenyum seraya mengangguk.
"Iya,"balas Tamara pendek.
"Sebenarnya aku harus menjemput ibuku, tapi sepertinya hujan sedang tidak bersahabat,"papar cowok itu seraya tersenyum kaku.
Tamara ikut mengembangkan senyum tawar.
Cowok itu tak melanjutkan kalimatnya. Namun bibirnya bergumam kecil. Seperti sedang bersenandung.
Untuk beberapa lama mereka diam tanpa perbincangan. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing selama menunggu hujan reda. Dan ketika hujan mulai berangsur reda...
"Oh ya namaku Aldiano. Barangkali kita bertemu lagi suatu saat nanti,"ucap cowok itu menyebutkan nama serta mengulurkan tangannya pada Tamara.
Tamara mengernyitkan dahi namun perlahan tangannya terulur juga untuk menjangkau jabat tangan cowok aneh itu.
"Tapi kamu cukup memanggilku Al saja. Lebih praktis dan simpel,"sambung cowok itu.
Tamara tersenyum namun belum berani menyebutkan nama.
"Nampaknya hujan sudah reda,"ujar cowok itu kemudian tanpa menuntut gadis dihadapannya untuk menyebut namanya."Aku pergi dulu. Bye..."pamit cowok itu cepat.
Cowok bernama Al itu bergegas berlari meninggalkan teras kampus meski hujan gerimis masih turun meski satu-satu. Dan Tamara hanya bisa menatap kepergian cowok itu dengan tatapan enggan.
Cowok aneh, batinnya sembari bergegas meninggalkan tempatnya berdiri. Karena hujan semakin mereda...
######
Ibu Tamara menggeleng-gelengkan kepalanya demi melihat betapa berantakannya kamar anak gadisnya. Buku-buku dibiarkan berserakan diatas meja belajar. Beberapa buah lagi terdampar di atas bantal. Sementara benda-benda lain juga tergeletak begitu saja tidak pada tempatnya.
"Tamara! Bangun !"teriak ibu Tamara."Kamu tidak kuliah hari ini?"serunya lagi seraya menyingkap tirai jendela yang masih tertutup.
Sinar mentari pagi langsung menyergap masuk kedalam kamar Tamara hingga menyentuh ujung bantalnya.
"Sampai kapan kamu akan tidur terus? Lihat kamarmu seperti kapal pecah saja. Cepat bangun dan bereskan kamarmu,"celoteh ibu Tamara kemudian.
Tamara mendengus kesal dibalik bantalnya. Pagi-pagi begini ibunya sudah mengomel kesana kemari. Padahal ia masih ingin tidur beberapa menit lagi.Tapi ia terpaksa mengakhiri mimpi indahnya jika tidak ingin mendapat omelan yang lebih panjang lagi dari ibunya.
"Sampai kapan kamu akan seperti ini? Tidak baik terus-menerus meratapi nasib.Kamu harus bangkit dan menata hidupmu,"ucap ibu Tamara melanjutkan omelannya.
"Bu!"teriak Tamara kesal."Tamara mohon jangan mengungkit masalah itu lagi."
"Ibu tidak akan mengoceh setiap pagi seperti ini andai kamu mau berubah,"sahut ibunya cepat."Andai kamu kembali seperti Tamara yang dulu. Yang rajin menata kamarnya, yang ceria dan hangat...."
Tamara tersenyum pahit mendengar ucapan ibunya. Ia benci mendengar ocehan yang sama setiap hari.
Gadis itu tak merespon ucapan ibunya. Ia bangun dari tempat tidurnya lantas menyambar handuk miliknya dan segera melangkah ke kamar mandi.
Ibu Tamara menghela nafas melihat kelakuan anak gadisnya.
Sebenarnya ia kasihan melihat Tamara. Padahal dulu Tamara adalah anak yang ceria dan hangat. Ia juga tak semalas sekarang. Semua gara-gara Ben....
Ia hanya berharap Tamara akan bertemu seseorang yang dapat mengembalikan keceriaan yang dulu pernah ia miliki. Ia hanya ingin Tamara menemukan cinta dan kebahagiaannya.
######
"Benar kamu tidak mau ikut?"untuk yang kedua kalinya Rosa menanyakan keikutsertaan Tamara. Pasalnya Rosa, Nayla dan Yolla akan pergi ke toko buku Gramedia untuk sekedar hunting novel terjemahan. Tapi untuk kesekian kalinya Tamara menolak ajakan sahabatnya.
"Kalian saja yang pergi. Aku capek,"tandas Tamara seraya menggelengkan kepalanya.
Begitulah sikap Tamara. Selalu menolak jika diajak pergi. Kalaupun mau pergi itupun harus dipaksa. Akhirnya mereka bertiga meninggalkan Tamara di halte bus depan kampus sendirian.
Tamara hanya menatap kepergian sahabat-sahabatnya dengan mata sayu. Dulu ia sering pergi ke Gramedia sewaktu masih bersama-sama Ben. Tapi itu sudah terjadi setahun yang lalu.
Ben....
Ah, kenapa ingatannya mesti melambung lagi pada nama itu?batin Tamara resah. Padahal ia sudah lebih dari seratus kali mencoba melupakan sosok itu. Tapi kenapa belum berhasil juga?
"Hei....."
Tamara tergagap. Lamunannya terbang seketika begitu seseorang berteriak sambil menepuk bahunya.
Gadis itu membalikkan tubuh dan mendapati seorang cowok tengah tersenyum padanya. Oh,rupanya cowok aneh yang beberapa hari lalu bertemu dengannya di teras kampus. Dan hujan turun saat itu.
"Apa kabar?"tegur cowok yang bernama Al itu."Rupanya Tuhan masih ingin kita bertemu.Kamu mau pulang?"tanyanya kemudian.
Tamara mengiyakan.
"Kamu mau aku antar?"tanya Al menawarkan diri.
Tamara terdiam. Baru kali ini ada seorang cowok yang bersedia mengantarnya pulang meski baru bertemu dua kali.
"Tapi aku cuma bawa motor,"Al menunjuk ke arah sebuah motor yang diparkir di tepi jalan.
"Tidak usah. Aku biasa naik bus kok,"tolak Tamara mentah-mentah. Namun dengan kalimat yang sopan.
"Kenapa? Apa karena motorku jelek? Atau kamu takut aku culik?"tanya Al.
Tamara menggeleng.
"Bukan,"balasnya pendek.
"Oke. Tidak masalah. Tapi aku boleh menemanimu sampai bus datang kan?"rupanya Al tak kekurangan akal untuk mendekati sang gadis.
"Terserah,"balas Tamara malas.
Sesaat hening. Namun lagi-lagi Al bergumam sendirian, seperti sedang bernyanyi kecil namun tak begitu jelas.
"Apa aku boleh mengatakan sesuatu?"tanya Al tiba-tiba. Berinisiatif memulai perbincangan.
"Tentang apa?"tanya Tamara datar.
Al tersenyum. Entah apa penyebabnya.
"Kenapa kamu tersenyum? Apa ada sesuatu yang lucu?"tanya Tamara penasaran melihat ekspresi wajah Al.
"Tidak ada,"sahut Al cepat. Ia pun menghentikan senyumnya."Aku cuma takut kamu tersinggung."
Tamara mendesah. Ada sebuah bus yang berhenti namun entah karena apa gadis itu tidak segera bergegas untuk naik.
"Memang ada hubungannya denganku?" Tamara menatap ke arah Al dengan penuh tanda tanya.
"Ya,"sahut Al ragu.
Dan bus yang ditunggu Tamara itu pun dibiarkannya berlalu begitu saja.
Gadis itu sama sekali tak merisaukan bus yang sejak tadi ditunggunya. Ia justru lebih tertarik berbincang dengan cowok bernama Al itu..
"Kamu mau aku antar sekarang?"tanya Al kemudian.
"Apa aku sudah menyetujui untuk ikut denganmu?"tanya Tamara.
"Tapi sepertinya langit sudah menyetujuinya,"tandas Al sembari menunjuk ke atas. Segumpal awan hitam tampak berbondong-bondong menuju langit diatas kampus.
Tamara menyerah. Sepertinya ia harus menyetujui ajakan cowok itu untuk ikut motornya.
"Sebenarnya aku tadi cuma ingin mengatakan bahwa kamu cantik,"ungkap Al saat Tamara turun dari atas motornya. Mereka telah sampai didepan rumah Tamara sepuluh menit kemudian.
Tamara tersenyum kecut mendengar ucapan Al. Sepertinya lebih mirip rayuan gombal, batinnya.
"Kamu tidak tersinggung kan?"
Tamara menggeleng pelan.
"Terima kasih telah mengantarku,"ucapnya.
Hujan turun sesaat setelah Tamara masuk kedalam kamarnya. Gadis itu mengintip dari balik tirai jendela kamarnya.
Apa kabarnya cowok aneh itu?batinnya seraya mengamati jalanan depan rumahnya yang sesaat saja telah basah oleh air hujan. Ia pasti sedang diguyur air hujan sekarang......
######
Hatsy!
Lagi-lagi Al bersin untuk kesekian kalinya. Gara-gara kehujanan kemarin ia dilanda flu sekarang. Tapi mau bagaimana lagi, semua ia lakukan demi gadis itu.
Cowok itu hendak keluar dari tempat parkir kampus manakala melihat gadis incarannya tampak celingak-celinguk seperti sedang mencari sesuatu. Dirikah kiranya yang gadis itu cari?
"Al!"
Tepat. Gadis itu memanggil namanya sebelum ia melakukannya duluan.
Al bergerak mendekat.
"Kenapa? Apa kamu butuh tumpangan lagi?"tanya Al bercanda.
"Apa kemarin kamu kehujanan?"cecar Tamara dengan mengabaikan pertanyaan Al sebelumnya.
Al tersenyum.
"Sedikit,"sahutnya masih dengan tersenyum."Tapi terima kasih telah mencemaskanku,"sambungnya.
Beberapa menit kemudian mereka telah beralih kebangku kantin. Dua porsi mie ayam dan dua buah teh botol telah ada didepan mereka. Kali ini Tamara yang berinisiatif untuk mentraktir Al karena jasanya kemarin.
"Apa aku boleh menebak?"tanya Al seraya mengunyah makanannya.
"Menebak apa?"tanya Tamara ingin tahu.
"Hmmm...Tapi kalau salah jangan ditertawakan,"
Tamara menggeleng.
"Kamu suka warna oranye, betul tidak?"tanya Al kemudian.
Gadis itu terbelalak. Al tepat menebak warna favoritnya. Lalu apa lagi?
"Betul,"timpal Tamara."Lalu apa lagi yang kamu ketahui?"pancingnya ingin menguji kemampuan Al.
"Film favoritmu adalah Twilight. Penyanyi favoritmu Adele, tapi kamu juga suka John Mayer.Kamu suka membaca novel, dan bunga favoritmu adalah mawar putih. Apa tebakanku ada yang meleset?"tutur Al berderet panjang.
Tamara hanya terbelalak memandang Al tak percaya.Bagaimana ia bisa tahu semua kesukaan Tamara, padahal mereka baru saja kenal.Selama ini hanya Ben saja satu-satunya orang yang tahu tentang semua kesukaan Tamara.Apa Al juga tahu tentang kehidupan pribadi Tamara???
"Apa kamu seorang cenayang, paranormal atau peramal?"tanya Tamara heran dengan kemampuan Al.Ia kagum dengan indera keenam yang dimiliki cowok itu.
Al terbahak keras. Ia sama sekali tak memberi jawaban atas pertanyaan Tamara.
"Kamu juga tahu namaku Tamara kan?"tanya Tamara lagi.
"Tentu saja aku tahu. Kamu baru menyebutkan namamu,"timpal Al sekenanya.
"Apa kamu juga tahu tentang kehidupan pribadiku?"tanya Tamara kemudian. Matanya menyipit penuh selidik.
"Hm?"Al ganti menatap gadis di hadapannya. "Karena kamu menatapku seperti itu,aku jadi lebih mudah membaca kehidupanmu,"ungkap Al.
"Benarkah?"tanya Tamara dengan mata terbelalak.
Benarkah Al tahu semuanya?batin Tamara ragu.
"Kamu ingin tahu pendapatku tentang....?"pertanyaan itu sengaja digantung Al. Sekedar untuk menjaga perasaan Tamara.
"Mungkin lain kali,"tolak Tamara cepat.
Al menghela nafas mendengar jawaban Tamara.
"Tapi untuk mengantarmu tidak ada lain kali kan?"
######
Tamara terjaga dari tidurnya malam ini. Bayangan Ben datang dan mengusik tidurnya yang lelap. Padahal akhir-akhir ini ia sudah tidak terlalu memikirkan mantan kekasihnya itu. Tapi malam ini ia datang seolah ingin membangunkan tidur Tamara.
Tamara masih menyimpan semua kenangan mereka berdua. Bahkan percakapan terakhir mereka setahun lalu,juga masih di ingatnya.
"Kupikir kita tidak bisa bersama lagi,"ucap Ben kala itu. Ekspresinya datar,seolah tanpa beban.
"Kenapa? Kita tidak pernah punya masalah,tapi kenapa tiba-tiba kamu meminta putus? Apa aku punya salah atau kekurangan? Atau kamu punya cewek lain,atau.... kamu bosan denganku?"begitu banyak pertanyaan yang di ajukan Tamara kala itu.
"Tidak ada,"timpal Ben."Kamu tidak bersalah,Tamara. Aku harus pergi jauh,dan aku takut tidak bisa menjaga perasaanku.Aku takut tidak bisa kembali..."
"Maksudmu apa Ben? Kamu akan pergi kemana?"desak Tamara bingung.
"Aku akan melanjutkan studi di London,"ungkap Ben mengejutkan. Selama ini tidak ada keinginan Ben untuk kuliah diluar negeri.Dan keputusan ini sangat mendadak. Terkesan mencurigakan.
"Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan?"tanya Tamara lagi.
Ben menggeleng.
"Aku memang harus pergi. Demi masa depanku,"
Jawaban macam apa itu? Tamara sama sekali tak bisa menerima jawaban yang menurutnya terlalu dibuat-buat.
Tapi pertemuan itu adalah pertemuan mereka yang terakhir kali. Tamara hanya mendengar bahwa Ben berangkat keesokan harinya.
Ben tidak pernah menelepon, mengirim surat dan ia tak pernah kembali semenjak hari itu. Ia seperti sengaja menghilang tanpa jejak.
Apa Al tahu semua peristiwa itu?batin Tamara. Apa Al juga bisa melihat luka yang susah payah ia sembuhkan sendiri itu? Seberapa banyak yang ia tahu?
Al yang misterius itu tiba-tiba saja hadir dalam hidupnya.Sepertinya ia dikirimTuhan untuk sedikit menghapus kesedihan dan mewarnai hari-hariTamara yang kelabu. Sikapnya yang ceria dan hangat memang sedikit menimbulkan kesan dalam hati Tamara.Tapi bukan berarti Tamara menjatuhkan hati secepat itu pada Al bukan?
Al hanya sahabat yang hadir disaat hatinya kosong. Al datang mendekat disaat Tamara mulai bergerak menjauh pergi dari kehidupan.
Ya,pasti hanya seperti itu,tegas hati Tamara yang sedikit mulai goyah.
######
Ibu Tamara tersenyum melihat kamar anak gadisnya yang kini tertata rapi,tak seperti dua bulan lalu yang lebih mirip kapal pecah. Perubahan pada diri gadis itu memang lamban namun pasti. Ia juga mulai rajin pergi ke kampus. Penampilan tubuhnya tak lupa ia perhatikan.
Ibu Tamara bersyukur. Ternyata kehadiran cowok bernama Al itu mampu merubah segalanya. Ia seperti malaikat penyelamat bagi Tamara. Al juga nampak baik dan perhatian.
Seandainya mereka saling menyukai ibu Tamara pasti merestui hubungan mereka berdua.
"Kalian sudah jadian?"tegur ibu Tamara pada anak gadisnya yang tengah menyantap sarapan pagi.
"Maksud ibu?"
" Kamu dan Al.Kalian pacaran kan?"lanjut ibu Tamara.
Tamara tak menjawab. Ia melanjutkan mengunyah sarapan paginya.
"Ibu lihat Al anak yang baik. Dia juga perhatian.Ibu setuju saja jika kamu berhubungan dengannya,"ujar ibu Tamara seraya menghampiri tempat duduk anak gadisnya.
"Apa secepat itu ibu mengambil keputusan?'
"Kenapa? Selama kamu menyukainya dan dia menyukaimu,"timpal ibunya."Al telah merubah segalanya. Karena Al juga kamu kembali seperti Tamara yang dulu."
Tamara merenungkan perkataan ibunya. Memang benar Al telah membawa banyak perubahan dalam hidupnya.Karena keceriaan dan kehangatannya lah yang bisa membawa warna dalam hidup Tamara.Dan gadis itu juga menyukai kebersamaan mereka berdua. Apa itu cinta namanya?
"Cepat makannya.Al sudah menunggu didepan tuh,"ucap ibu Tamara memporak-porandakan lamunan anak gadisnya.
Tamara tergagap.Gadis itu segera meneguk minumnya lantas menyambar tas dan berlari kedepan. Ia tak ingin membiarkan Al terlalu lama menunggu dirinya.
######
"Bolos yuk,"
Tamara mendongakkan wajahnya. Ia menutup novelnya setelah mendengar suara Al.
"Bolos?"tanya Tamara tak percaya. Baru kali ini seseorang mengajaknya untuk bolos kuliah.
"Aku sedang malas nih,"keluh Al seraya menunjukkan ekspresi tak bersemangat.
Mereka telah menjalin hubungan selama tiga bulan ini. Dan semua terasa manis serta membahagiakan.
Maka saat Al mengajaknya untuk bolos, Tamara langsung mengiyakan tanpa persyaratan apapun. Terlebih tujuan mereka sangat jelas. Bioskop!
Al sengaja memilih tempat yang satu ini,karena ia bisa lebih dekat dengan Tamara.Dan yang paling penting adalah romantis! Karena drama yang mereka tonton bertema cinta.
Setelah nonton mereka berencana pergi makan siang ke restoran cepat saji. Karena sejak kemarin perut Al "ngidam" masakan Jepang. Jadilah mereka pergi ke Hokka Hokka Bento tak jauh dari bioskop.
"Aku ke toilet sebentar,"pamit Al begitu mereka kelar makan siang.
"Jangan lama-lama,"timpal Tamara cepat.
"Belum juga berangkat..."desis Al sewot.
Tamara cekikikan melihat tingkah kekasihnya. Sementar Al nampak terbirit-birit berlari ke toilet.
Oh,ponsel Al ketinggalan diatas meja.Tumben sekali ia lupa menyimpan ponselnya didalam saku,batin Tamara seraya memungut benda milik Al.Biasanya Al paling teliti menyimpan benda-benda pribadinya.
Dan naluri Tamara tergelitik juga untuk "mengintip" isi ponsel Al.
Dasar Al,gerutunya seraya tersenyum. Banyak sekali sms yang dikirim Tamara dan tidak dihapus olehnya. Foto-foto mereka berdua juga banyak tersimpan disana.
Namun Tamara tercengang saat lebih jauh melihat isi memori ponsel itu. Ada beberapa buah foto Al bersama seseorang yang Tamara kenal. Dan orang yang berfoto bersama Al adalah Ben!
Siapa sebenarnya Al???
"Maaf, aku agak lama...."Al terkejut melihat ekspresi wajah Tamara.
Gadis itu tampak tertegun seraya menatap ponsel milik Al.
"Tamara..."
Gadis itu menoleh ke arah Al. Tapi mata gadis itu tampak berkaca-kaca saat menatap Al.
"Sebenarnya siapa kamu?"tanya Tamara dengan bibir gemetar.Sebutir air mata merembes ke pipinya yang tampak pucat.
Al terpojok.Tamara telah menemukan bukti-bukti itu karena kecerobohan dirinya sendiri.
"Katakan Al!"seru Tamara tak sabar.
"Aku akan katakan,tapi tidak disini,"sahut Al. Ia segera menarik tangan Tamara keluar dari restoran yang penuh dengan pengunjung itu.
######
Tamara sedikit menjaga jarak duduknya dengan Al. Taman sepi. Hanya ada beberapa orang yang berada disana. Sekedar duduk santai atau melepas lelah.
Al memulai kisahnya.
"Ben memang sahabatku.Kami tumbuh bersama-sama.Dan kami sangat dekat.Bahkan kami lebih dari saudara kandung,"tutur Al mengungkap hubungannya dengan Ben."Saat memasuki SMU,aku pindah ke Singapura karena ibuku menikah lagi dengan orang Singapura.Sekitar satu setengah tahun yang lalu aku secara tak sengaja bertemu dengan Ben di rumah sakit Mount Elizabeth. Saat itu aku sedang mengunjungi teman yang sakit.Kami berbincang selama dua jam saat itu. Ben bercerita tentang penyakitnya padaku. Dia juga banyak bercerita tentangmu, bahkan dia memberikan alamat dan nomor teleponmu."
Al menghela nafas sebelum melanjutkan penuturannya.Sedang Tamara menyimak baik-baik cerita Al.
"Ben sakit parah,"lanjut Al kemudian."Sedianya dia akan di operasi disana,tapi kemungkinan sembuh fifty-fifty.Mungkin dia sudah tahu jika umurnya tidak akan lama lagi.Karena itu ia sempat mengatakan kalau dia menitipkanmu padaku.Dia ingin aku menggantikan posisinya dihatimu.Aku menolak saat dia mengatakan hal itu,karena aku menganggapnya konyol.Dia pasti bisa bertahan.Karena Ben bukan orang yang mudah menyerah."
"Ben meninggal setelah menjalani operasi. Tumor di otaknya sudah menjalar dan operasinya gagal."
Tamara kaget. Ia memandang Al dengan tak percaya.Apa benar yang dikatakan Al?Apa Ben benar telah meninggal?
"Kenapa Ben merahasiakan penyakitnya dariku?"isak Tamara beberapa saat kemudian.
"Karena dia tidak ingin kamu sedih.Karena dia sangat mencintaimu, Tamara,"sahut Al.
"Dan selama ini kamu mendekatiku karena Ben menitipkanku padamu? Apa aku ini sebuah benda yang bisa dengan mudah dipindah tangan?"protes Tamara kesal.
Al mendesah berat.
"Kamu melakukan semua ini demi Ben?"tanya Tamara lagi."Aku benar-benar merasa dibodohi olehmu,Al.Juga Ben.Aku benci kalian berdua!"teriak Tamara.
"Semula memang aku melakukan ini demi Ben.Tapi sekarang aku akui aku benar-benar menyukaimu,Tamara.Aku mencintaimu,"tandas Al bersungguh-sungguh.
Tamara tersenyum kecut mendengar pengakuan Al.Penilaiannya tentang Al berbalik 180 derajat.Cowok aneh yang ia kenal di teras kampus itu tak lebih dari seorang pembohong dimatanya.Al penipu!
Kenapa kamu melakukan ini padaku,Ben?isak Tamara seraya berlalu dari tempat itu.Teriakan Al yang berulang kali memanggil namanya sama sekali tak digubrisnya.
Untuk yang kedua kalinya hati Tamara patah. Gadis itu kecewa.
######
Hujan turun diluar sana.Sama seperti mata Tamara yang sedang berair.
Gadis itu sedang dirundung kesedihan yang mendalam. Hatinya terluka.
Semua karena Ben....
Lagi-lagi Ben,batinnya pilu.Apa Ben sedang melihat air matanya kini?Padahal Ben sudah mengucap janji tidak akan pernah menumpahkan air mata Tamara. Tapi kenapa justru Ben-lah yang membuatnya menangis sekarang ini.
Penyesalan yang bertubi-tubi menyerang dada Tamara hingga membuatnya sesak.Berbagai kata andai bergema dihatinya.Andai waktu bisa diputar kembali...Andai Ben tidak pernah menderita sakit parah.....
"Al datang!"
Suara ibu Tamara terdengar lantang memberitahukan kedatangan cowok itu.Namun Tamara tidak langsung bangkit dari atas tempat tidurnya.Padahal biasanya ia selalu tergesa berlari ke depan saat ibunya meneriakkan nama Al.Tapi sekarang....
"Tamara....Al datang tuh,"
Ibu Tamara menghampiri tempat tidur anak gadisnya.Ia takut Tamara tertidur sehingga tak mendengar teriakannya.
"Suruh dia pergi,"gumam Tamara dari balik selimutnya.
Jawaban Tamara membuat ibunya heran.
"Kalian bertengkar?"tanya ibunya ingin tahu.
"Pokoknya suruh dia pergi.Tamara tidak mau bertemu dengannya,"ulas Tamara.
Ibu Tamara tak mengerti akan sikap anak gadisnya,namun ia menyampaikan pesan Tamara untuk Al.
Al cukup paham akan sikap Tamara.Ia menitipkan salam untuk Tamara sekaligus minta maaf pada gadis itu.
Tamara pasti sangat kecewa.Ia berhak untuk marah padanya.Namun Al tidak tahu apa yang mesti ia perbuat untuk meyakinkan Tamara bahwa ia bersungguh-sungguh mencintai gadis itu.
######
Ibu Tamara cemas.Ia bolak-balik kekamar Tamara seraya membawa baskom berisi air hangat.Pasalnya sejak tadi malam gadis itu demam.Dan Tamara juga tidak mau makan sama sekali.Mulutnya selalu mengigau menyebut nama Al.
Ibu Tamara bingung.Ponsel milik Al tidak aktif.Padahal hanya Al-lah satu-satunya obat untuk Tamara.Tapi dimana gerangan cowok itu berada.
"Dimana kamu Al?"gumam ibu Tamara resah.Ia telah menyuruh seseorang untuk mencari keberadaan Al.Namun sampai detik ini belum ada laporan tentang Al.
Satu jam kemudian telepon berdering.
"Apa?Al sudah pergi ke Singapura?"
Oh Tuhan,gumam ibu Tamara.Bagaimana ini?Demam Tamara belum juga turun dan ia tak berhenti memanggil nama Al.
Kenapa Al begitu cepat mengambil keputusan untuk pergi? Tamara bisa meninggal jika terus-terusan seperti ini........

Kamis, 16 Mei 2013

BERPETUALANG


Sial! makiku seraya menendang ban belakang sebelah kanan mobilku yang terperosok kedalam lubang berisi lumpur berwarna kecokelatan. Mana jalanan begitu sepi dan disekelilingku hanya persawahan yang tampak menghampar luas. Sinyal handphonepun tak ada. Duh,bagaimana ini?keluhku mulai ketakutan.
Ini semua gara-gara papi. Jika saja papi tidak memaksaku untuk mengunjungi tempat praktek Yudhis yang ternyata terletak di pelosok daerah terpencil,mungkin aku tidak akan tertimpa kesialan seperti ini.
Jika saja papi tidak memaksakan kehendaknya untuk menjodohkanku dengan dokter muda itu, mungkin saat ini aku tengah menikmati liburan akhir semester di Bali bersama teman-temanku.Tapi kamu suka kan dengan dokter itu?
Mulanya tidak. Tapi lama-kelamaan aku menyukainya. Karena penampilannya yang keren, dan sikapnya yang hangat juga hatinya yang baik hati, maka mau tak mau hatiku luluh juga padanya.
Tapi yang jadi persoalannya sekarang, bagaimana aku bisa mengeluarkan ban ini dari kubangan kotor itu? Oh Tuhan berikan pertolongan untuk hamba-Mu ini....
Aku beruntung! Beberapa orang petani kebetulan lewat dan menawarkan bantuan mereka untuk mendorong mobilku.Dan keberuntunganku berlipat ganda karena mereka adalah warga desa yang kebetulan sedang aku tuju. Sekalian aku mengantar mereka pulang dan mereka menunjukkan rumah kepala desa tempat Yudhis menginap selama ini.
Perjalanan ke rumah kepala desa hanya memakan waktu sepuluh menit. Itupun karena kondisi jalan yang tidak terlalu bagus.
Aku diterima dengan sangat baik oleh Pak Lurah dan istrinya. Tapi sayangnya Yudhis belum pulang dari puskesmas. Mungkin beberapa saat lagi. Aku dijamu oleh mereka selama menunggu kedatangan Yudhis.
Saat kami asyik ngobrol,akhirnya Yudhis datang. Namun aku terkejut karena ia tidak pulang sendiri. Dia datang dengan seorang gadis berkerudung merah jambu.
"Nah itu Dokter Yudhis datang,"seru Pak Lurah. Laki-laki itu tergopoh-gopoh menyambut kedatangan Yudhis.
Yudhis tampak kaget melihatku. Pasti ia sama sekali tidak menduga aku akan datang mengunjunginya.
"Oh ya Neng, ini kenalin anak Bapak. Namanya Nuraida,"Pak Lurah menarik tangan gadis yang datang bersama Yudhis itu. Jadi gadis itu anak Pak Lurah?batinku seraya memperkenalkan diri.
Nuraida tampak segan menjabat tanganku. Ku akui gadis itu cantik dan polos. Senyumnya sederhana dan tulus. Tapi aku merasa ada sesuatu yang mengusik pikiranku manakala aku melihat Yudhis datang bersamanya.
"Kebetulan aku sedang liburan semester,"ucapku pada Yudhis. Sementara Pak Lurah beserta istri dan anaknya masuk kedalam rumah, memberi ruang pada aku dan Yudhis untuk berbincang.
"Bagaimana kuliahmu?"tanya Yudhis. Klise.
"Baik,"sahutku malas. Tampaknya kedatanganku sama sekali tidak diharapkan olehnya.
"Sebaiknya kamu istirahat dulu. Perjalanan kesini pasti sangat melelahkan,"tandasnya.
Aku tak berucap lebih banyak lagi setelah itu. Senja segera turun dan aku harus mengistirahatkan tubuhku.
Usai makan malam aku tertidur dikamar Nuraida. Sementara gadis itu memaksa untuk tidur bersama adik laki-lakinya yang masih duduk dikelas satu SD.
~~##~~
Aku bangun terlambat pagi ini. Matahari telah setinggi tonggak manakala aku keluar dari kamar. Aku merapatkan jaket karena hawa dingin langsung menyerbu tubuhku. Dari kejauhan aku dapat melihat pemandangan pedesaan yang menakjubkan. Pegunungan yang berbaris dibalik persawahan hijau yang membentang tampak memanjakan mata.
"Sudah bangun Neng?"sapa Ibu Lurah tiba-tiba. Saking asyiknya menikmati pemandangan sampai aku tak sadar jika ia telah ada didekatku.
"Iya,Bu,"sahutku sambil tersenyum.
"Sarapan dulu gih,"suruhnya."Tinggal Neng saja yang belum sarapan,"beritahunya.
"Yudhis mana?"tanyaku cepat.
"Dokter Yudhis sudah ke puskesmas pagi-pagi sekali,"tuturnya."Sepertinya tadi ada pasien yang harus dia tangani,"ungkapnya kemudian.
Aku terdiam. Sepertinya ini terdengar mengecewakan buatku. Ia bahkan tidak membangunkan atau pamit padaku. Kami juga belum sempat ngobrol banyak semalam. Seolah-olah ia sedang menjaga jarak denganku. Apa benar seperti itu? Atau karena ada Nuraida yang telah merebut perhatiannya dariku?
Sarapan pagi ini cukup sederhana. Hanya ada nasi putih, tumis kangkung dan tempe goreng. Tapi buatku ini sangat nikmat karena tangan seorang ibu yang memasaknya. Setelah mandi dan sarapan aku memutuskan untuk berkeliling desa sendirian. Meski Nuraida menawarkan diri untuk menemaniku, tapi aku lebih memilih untuk menolaknya. Lagipula aku berjanji tidak akan pergi jauh.
Udara disini begitu bersih. Juga lengang. Tak ada asap dan suara kendaraan. Perasaan damai perlahan menyusup kedalam dadaku.
Aku melangkahkan kaki menyusuri jalan setapak di areal persawahan. Di kejauhan tampak para petani tengah menggarap sawahnya. Burung-burung kecil juga tampak beterbangan di sela-sela awan putih. Sayang sekali aku tidak membawa kamera,sesalku. Aku tidak bisa mengabadikan pemandangan alam seindah ini. Aku hanya bisa menautkan jemariku membentuk sebuah bangun persegi seolah-olah lensa kamera.
"Kameramu bagus,"
Aku tersentak. Sebuah suara menegurku tanpa permisi. Bukankah aku hanya orang asing yang kebetulan sedang bertamasya disini? Apa dia mengenalku?
Aku membalikkan tubuh. Seorang laki-laki sebaya diriku tengah tersenyum. Sebuah kamera menggantung dilehernya.
Aku mengernyikan kening seraya mengamati sosoknya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Makhluk serupa dirinya tak mungkin penduduk desa ini. Pasti dia seorang photografer yang sedang mencari pemandangan bagus disekitar daerah sini.
Aku balas tersenyum.
"Apa kamu ingin meminjam kameraku?"tanyaku bergurau.
Laki-laki itu serentak meledakkan tawanya begitu mendengar gurauanku.
"Apa yang sedang kamu lakukan disini?Sepertinya kamu bukan warga desa ini,"ucapnya memulai percakapan.
"Ya. Aku sedang liburan.Kamu sendiri?"aku balik tanya.
"Aku juga sedang liburan. Sekaligus menyalurkan hobi..."sahutnya.
"Wow.."decakku kagum."Kamu seorang photografer?"cecarku mulai mengakrabkan diri.
"Bukan. Tapi aku terobsesi dengan fotografi,"cetusnya sambil tersenyum.
Aku manggut-manggut.
Kami meneruskan obrolan sembari berjalan-jalan di sekitar tempat itu. Sesekali ia membidikkan kameranya saat menemukan objek yang bagus. Kami cepat sekali akrab.
"Aku menginap dirumah saudaraku,"paparnya."Jika kamu ada waktu kamu bisa mencariku disana."Ia menunjuk ke sebuah bangunan rumah di seberang persawahan.
"Aku tidak tahu sampai kapan aku akan tinggal disini,"ungkapku.
Ia tersenyum.
"Tapi besok kamu masih disini kan?Aku ingin menunjukkan sebuah tempat special padamu,"ucapnya.
"Tempat special?""aku mengernyitkan dahi.
"Kamu akan tahu besok,"sahutnya membuatku penasaran.
Aku terbahak.
"Terus terang kamu membuatku penasaran,"tandasku."Hmmmm.....oke. Aku akan datang besok,"janjiku kemudian.
"Kita bertemu disini besok jam tujuh,"
"Setuju,"
Kami berpisah ditempat itu manakala matahari telah tergelincir kebarat. Ternyata berkeliling desa sangat menyenangkan dan benar-benar membuatku lupa waktu.
Besok kami akan bertemu dan melakukan petualangan lagi. Tapi kenapa aku bisa sampai lupa menanyakan namanya?
~~##~~
Aku menarik nafas dalam-dalam. Kenapa langit tampak begitu lain dari biasanya? Aku seperti sedang berada di planet lain.
Langit begitu terang. Butiran-butiran permata seolah terhampar begitu saja diatas sana. Indah...
Selama ini aku tak pernah melihat langit dipenuhi bintang-bintang sebanyak ini. Biasanya aku hanya melihat satu atau dua bintang saja.
"Kamu sedang apa?"
Keasyikanku terusik.
Yudhis datang menghampiriku. Lantas duduk di sebelahku. Ia ikut-ikutan menatap langit seperti yang baru saja aku lakukan.
Aku menghela nafas. Enggan menyahut ucapannya. Terlebih jika aku mengingat kejadian dimeja makan tadi. Nuraida sesekali mencuri pandang ke arah Yudhis. Dan Yudhis memperlakukan gadis itu begitu baik. Huh, gadis mana yang tidak cemburu melihat kekasihnya dilirik gadis lain.
"Maaf. Tadi pagi aku tidak pamit. Aku tidak tega membangunkanmu,karena kamu tampak lelah. Dan aku tidak mau mengusik tidurmu,"tuturnya.
Aku tersenyum tipis. Entah kenapa aku mulai malas menanggapi ucapannya. Mungkin rasa simpatiku padanya mulai terkikis perlahan-lahan.
"Seharian ini kamu kemana saja?"tanya Yudhis kemuudian.
"Berkeliling,"sahutku pendek."Kapan tugasmu akan selesai?'tanyaku mengalihkan perbincangan.
"Aku belum tahu. Warga disini sangat membutuhkan tenaga medis. Lagipula masih banyak penduduk yang masih percaya pada pengobatan dukun. Jadi mereka perlu diberi penyuluhan lebih banyak lagi,"jelas Yudhis.
Aku tersenyum pahit. Bukankah seharusnya tugas praktek Yudhis akan berakhir seminggu lagi?
"Apa kamu berencana akan tinggal disini selamanya?"pancingku.
Yudhis menoleh padaku.
"Maksudmu apa?"tanya Yudhis seolah bodoh.
Aku tersenyum kembali.
"Bukankah kamu sangat betah disini? Terlebih lagi ada seseorang yang selalu setia mendampingimu,"ucapku sengaja menyindirnya.
"Alexa! Apa sih maksudmu?"Yudhis mengernyitkan dahi.
Yudhis pasti tahu apa yang sedang kubicarakan. Tapi ia hanya berkelit saja.
"Aku hanya ingin mengabdikan ilmuku untuk membantu orang lain,"tandasnya kemudian.
"Aku tahu,"sahutku kesal.
"Lalu apa masalahnya?"tanya Yudhis.
Aku menggeleng pelan. Tak ingin melanjutkan perdebatan bodoh ini. Tanpa bertanya perasaan Yudhis-pun kurasa aku tahu semua yang terjadi. Jika perjodohan kami berakhir sampai disini, aku sudah siap. Toh aku bukan orang yang suka memaksakan egoku.
"Apa kamu menyukai gadis itu?"tanyaku beberapa menit kemudian.
"Maksudmu?"
"Aku tidak apa-apa jika kalian benar-benar saling menyukai,"tandasku."Toh dari awal kita memang dijodohkan. Lagipula aku tahu kamu tidak pernah mencintaiku. Aku juga tidak bisa memaksamu untuk mencintaiku,"
Usai berucap seperti itu aku langsung bangkit dari tempat dudukku lantas bergegas masuk kedalam rumah. Aku meninggalkan Yudhis sendirian disana tanpa ingin memancing perdebatan yang lebih panjang. Toh aku sudah tahu segalanya.Ia dan perasaannya. Aku hanya ingin membiarkan ia memilih mana cinta yang ia sukai.
Aku sengaja tak ingin memberinya waktu untuk berbicara. Karena aku takut untuk mendengar kejujuran yang mungkin akan ia ungkapkan.
~~##~~
"Hei!"teriakku lantang saat melihat sosok laki-laki photografer yang kemarin bertemu denganku di areal persawahan.
"Kamu sudah datang?"sambutnya tampak senang. Ia bergerak menghampiriku."Kamu siap berpetualang?"
"Siap!"sahutku cepat."Tapi sebelum berpetualang aku ingin memperkenalkan diri. Kenalkan namaku Alexa,"ucapku seraya mengulurkan jabat tanganku kepadanya.
"Aku Langit,"ucapnya membalas jabat tanganku.
"Langit?"gumamku tak sadar."Nama yang aneh,tapi keren juga,"
"Kita berangkat sekarang?"tawarnya hendak memulai perjalanan kami.
Kami memulai perjalanan kami dengan menyusuri jalan setapak kecil. Tampaknya menuju hutan dibawah bukit. Sesekali Langit membidikkan kameranya kesana-sini. Bak photografer profesional saja. Sedang mulutnya mengoceh terus menceritakan kisah hidupnya. Tentang masa kecil, sekolah sampai kuliahnya. Tapi ia lebih suka bicara tentang fotografi. Sedang aku hanya menjadi pendengar yang baik. Jika ia bertanya sesuatu barulah aku menjawabnya. Dan aku lebih senang menebarkan pandangan ke sekeliling sembari menikmati pemandangan.
Setelah setengah jam berjalan kaki akhirnya kami tiba di sebuah sungai yang mengalir jernih. Sedang di ujungnya tampak sebuah air terjun mengalirkan air terus-menerus ke sungai dihadapan kami. Aku memperkirakan tingginya sekitar lima meter.
"Inikah tempat special yang ingin kamu tunjukkan kemarin?"tanyaku tanpa menoleh ke arah teman seperjalananku. Mungkin karena mataku terlalu takjub menatap ke arah air terjun didepan kami. Siapa sangka ada air terjun seindah itu di tengah hutan seperti ini.
"Ya. Bagaimana menurutmu? Indah kan?"timpalnya bangga.
"Ini sangat mengagumkan,"gumamku.
Sementara Langit mencari objek foto, aku tergelitik untuk bergerak mendekat ke air terjun itu untuk sekedar merasakan betapa segarnya air disana.
"Dingin..."gumamku sendiri. Namun aku ingin lebih mendekat ke air terjun itu.
Kakiku mulai menapaki batu-batu yang berjajar diatas aliran air sungai. Aku harus berhati-hati,gumamku dalam hati.
Namun tanpa sepengetahuanku,rupanya Langit membidikkan kameranya ke arahku.
"Hei, apa yang kamu lakukan? Kamu mau mencuri gambarku?"seruku diantara suara deru air terjun.
Langit tampak acuh dan terus mengambil gambarku. Namun ia membalas seruanku.
"Kamu tampak bagus di kamera, Lex!"serunya sembari terus memotret."Hati-hati, batu disana licin!"teriaknya lagi memperingatkanku.
"Tenang saja! Aku akan berhati-hati kok!"balasku seraya tertawa.
Justru disaat itu aku lengah dan kakiku tiba-tiba kehilangan pijakan. Tubuhku jatuh ke air dalam hitungan detik. Namun malangnya sebuah batu telah siap menghadang kepalaku.
"Alexa!"
Aku masih mendengar teriakan panik itu dari bibir Langit sebelum seluruh tubuhku tenggelam kedalam air dan kepalaku terbentur batu sungai. Dalam sekejap saja mataku gelap dan air menyeruak masuk kedalam hidung dan mulutku. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku setelah itu.
~~##~~
Tempat apa ini?gumamku sembari melangkahkan kakiku diatas pasir berwarna putih. Apa aku sudah mati? Seingatku tadi aku terjatuh ke sungai dan kepalaku terbentur batu.
Aku terus melangkah dan melangkah tanpa tujuan di tempat yang sangat asing. Setelah beberapa lama aku menemukan sebuah tempat lagi. Kali ini mirip sebuah pasar. Banyak orang disana. Mereka seperti sedang melakukan transaksi jual beli. Tapi yang membuatku heran, semua orang itu berpakaian serba biru muda. Dan potongan pakaian mereka hampir sama antara satu dengan yang lain. Kain-kain panjang membalut tubuh mereka hingga menutupi mata kaki.
Berpasang-pasang mata mulai beralih menatapku dengan tatapan aneh dan curiga. Bagaimana mungkin aku tidak mencolok di mata mereka. Aku hanya memakai jeans pendek dan tshirt oblong berwarna putih.Tentu saja akulah yang menjadi makhluk asing di tempat ini.
Perasaanku mulai tak enak. Aku mulai cemas dan takut. Jangan-jangan ini dimensi lain dunia ini. Atau mungkinkah ini alam akhirat?
Tidak!!
Tepat disaat aku kehilangan akal tiba-tiba saja beberapa orang berpakaian biru muda datang menghampiriku. Ditangan mereka ada sebuah benda yang mirip dengan pedang. Tiba-tiba saja mereka menyeret tanganku dengan paksa dan membawaku pergi dari tempat itu.
Aku tak sanggup melawan. Tubuh mereka sangat kuat. Postur mereka saja dua puluh centi diatas kepalaku. Bagaiman aku bisa melepaskan diri dari dari tangan mereka?
Pertanyaanku terjawab sudah saat mereka memasukkanku ke dalam sebuah jeruji besi.
Sial,gerutuku kesal. Siapa mereka dan aku berada dimana?
Tapi mereka tampak seperti manusia. Sama sepertiku. Jika mereka malaikat pastilah mereka punya sayap. Tapi apa salahku hingga dimasukkan kedalam penjara besi ini?
Aku hanya bisa bertanya dalam hati karena tak ada siapa-siapa dalam ruangan itu. Dua orang penjaga tampak berdiri didepan. Itupun agak jauh.
Aku mulai menggigil. Hawa dingin mulai menyerangku perlahan. Tampaknya hari telah malam. Dan aku hanya bisa meringkuk di sudut ruangan berpagar besi itu untuk menahan hawa dingin.
Aku tertidur beberapa menit kemudian karena lelah berpikir. Namun aku tersentak kaget saat telingaku menangkap suara aneh.
Seorang penjaga tampak membuka pintu jeruji besi yang kutempati sekarang. Apa mereka akan membebaskanku?batinku gembira.
"Aku akan dibawa kemana?'tanyaku pada dua orang penjaga yang tiba-tiba saja menyeret tanganku. Tapi tak ada jawaban. Aneh. Mereka juga tidak berbincang satu sama lain.
~~##~~
"Putri mahkota, apa ini benar-benar dirimu?"
Aku tercengang bodoh. Penjaga tadi membawaku ke hadapan seorang laki-laki berpakaian mewah dan megah berwarna merah muda. Tampaknya tempat ini adalah sebuah kerajaan dan laki-laki yang sedang berdiri dihadapanku adalah rajanya. Apa analisaku benar?
"Apa kamu tidak tahu aku selalu menunggumu kembali? Aku merindukanmu, Putri Mahkota,"celotehnya lagi.
Aku tersenyum kaku. Lelucon apa ini?batinku bingung. Pasti kepalaku terbentur terlalu keras sehingga aku berkhayal terlalu ngawur seperti ini.
"Putri mahkota, apa kamu melupakanku?"laki-laki itu mengguncang tubuhku kencang-kencang. Seolah hendak menyadarkanku dari tidur panjang.
Aku mendesah kesal.
"Aku bukan putri mahkota,"tandasku tegas."Aku tidak tahu kenapa aku bisa sampai disini.Aku tadi bermain di air terjun dan tanpa sengaja aku terjatuh ke sungai. Begitu aku membuka mata aku sudah sampai disini. Aku tidak tahu aku hidup atau mati. Dan aku sama sekali tidak mengenalmu dan aku juga tidak tahu tempat apa ini,"paparku panjang. Aku menjelaskan kronologi asal mula aku terdampar di dunia asing ini.
Laki-laki itu membelalakkan kedua bola matanya. Ia mencermati diriku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Mungkin ia sedang mencari kesamaan yang ada pada diriku dengan orang yang dimaksudnya.
Lantas ia mendesah berat. Kemudian ia duduk kembali diatas singgasananya.
"Maafkan aku,"ucapnya beberapa saat kemudian. Sepertinya ia telah menyadari sesuatu. Dan ini sangat melegakan bagiku.
"Prajurit!"ia berteriak memanggil prajurit yang sedang berjaga didepan pintu."Bawa tamuku ke kamarnya dan jamu dia dengan baik,"perintahnya lagi.
Seorang prajurit menyuruhku untuk mengikuti langkahnya ke sebuah ruangan.
Wah, aku berdecak kagum setelah memasuki ruangan itu. Sebuah kamar begitu indah dan cantik telah dipersiapkan untukku. Tempat tidur beralas permadani tampak empuk dan nyaman membuatku ingin segera merebahkan diri di atasnya. Serangkaian bunga mirip tulip terangkum indah dalam sebuah vas besar terletak disudut ruangan.
Dua orang pelayan wanita berpakaian serba biru muda datang membawa nampan berisi berbagai hidangan.
Perutku sudah sangat lapar dan tanpa berpikir panjang aku segera menyantap hidangan lezat dihadapanku. Hidangan selezat ini tidak pernah aku temui di restoran manapun.
Malam itu aku tertidur pulas diatas permadani empuk itu hingga pagi tiba.
~~##~~
Suasana pagi ini begitu indah dan bisa kugambarkan romantis.Bunga-bunga beraneka warna bermekaran dibawah sinar mentari pagi. Meski aku tidak tahu aku berada di belahan dunia mana, tapi aku senang bisa melihat kecantikan taman kerajaan ini.
"Apa tidurmu nyenyak semalam?"
Aku membalikkan tubuh dan mendapati laki-laki yang mirip seorang raja itu menghampiri tempatku berdiri.
Aku tersenyum ke arahnya.
"Maafkan sikapku semalam,"tandasnya."Aku kehilangan akal saat melihatmu. Sekali lagi aku minta maaf."
Aku mengangguk.
"Apa aku boleh tahu tempat apa ini? Dan Anda siapa?"desakku. Sejak tiba di tempat ini aku tidak tahu apa-apa tentang sekelilingku.
"Aku Pangeran Randu. Dan tempat ini adalah wilayah kerajaan bawah air,"jelasnya.
Aku tercengang mendengar keterangannya. Ajaib sekali! Mirip dongeng. Dan aku seperti Alice yang terdampar di wonderland.
"Benarkah?"gumamku."Sepertinya air terjun itu adalah pintu gerbang menuju duniamu, apa itu benar?"
Pangeran Randu mengangguk.
"Oh ya, apa dayang-dayangku melayanimu dengan baik?"tanya Pangeran Randu kemudian.
"Ya. Mereka sangat baik,"sahutku."Apa hamba boleh bertanya sesuatu?"kali ini aku menggunakan bahasa yang lebih baik karena yang sedang berdiri dihadapanku adalah seorang pangeran.
"Tentu,"jawabnya seraya menoleh padaku.
"Apa wajah hamba sangat mirip dengan seseorang?"tanyaku."Maaf jika hamba lancang,"imbuhku lagi.
Pangeran Randu tersenyum. Ia menatap wajahku sekali lagi.
"Benar. Kamu sangat mirip dengan putri mahkota. Tapi rambut putri mahkota berwarna hitam dan lebih panjang dari milikmu,"tuturnya.
Aku tersenyum pahit. Rambutku memang tak pernah lebih dari sebahu dan rambut cokelatku ini memang baru aku warnai sebulan yang lalu.
"Putri mahkota meninggal dua puluh tahun yang lalu saat kami hendak menikah,"Pangeran Randu melanjutkan ceritanya kembali."Dia tewas karena diracun saudara tirinya yang iri melihat kebahagiaannya."
Dua puluh tahun lalu?batinku bingung. Tapi Pangeran Randu masih tampak sangat muda.
"Dimensi waktu kami berbeda dengan dunia manusia,"ucap Pangeran Randu menjelaskan. Sepertinya ia tahu apa yang sedang aku pikirkan."Kamu tahu berapa umurku sekarang?"
Aku langsung menggeleng.
"Tiga ratus tahun,"ucapnya membuat mulutku ternganga. Namun Pangeran Randu justru menertawakan keterkejutanku.
Kasihan Pangeran Randu, batinku seraya mengamati raut wajah Pangeran Randu. Dibalik tawanya ia menyimpan kepedihan yang mendalam. Pasti sangat berat untuknya kehilangan orang yang paling ia cintai.
"Jika kamu kasihan padaku, tetaplah tinggal disini dan menemaniku."
Aku hampir terloncat karena kaget mendengar ucapan Pangeran Randu. Ia benar-benar bisa membaca pikiran manusia. Gila!
"Pangeran sedang bercanda kan?"tanyaku ragu.
"Seorang pangeran tidak pernah bercanda dengan ucapannya,"ungkapnya."Ucapan tadi berarti aku sedang melamarmu. Apa kamu bersedia menjadi ratu kerajaan bawah air?"
Lelucon apa lagi ini?batinku. Ini benar-benar konyol. Mula-mula aku terseret ke dunia aneh ini, lantas bertemu dengan pangeran yang menyedihkan lantas ia menawariku untuk menjadi ratu bawah air. Lantas apa lagi setelah ini?
"Hamba rasa dunia kita berbeda,"tandasku."Hamba hanya ingin pulang kembali ke dunia manusia karena ada seseorang yang sangat hamba cintai disana,"tuturku.
Pangeran Randu tersenyum.
"Begitukah?"tanyanya memastikan.
"Benar Pangeran,"sahutku cepat.
"Bagaimana jika aku memaksa?"
Gawat! teriakku dalam hati. Jika ia memaksa apa yang bisa ku perbuat?
Seorang prajurit datang mendekat dengan tergopoh-gopoh. Seperti ada sesuatu yang penting dan mendesak sedang terjadi. Karena saat itu terdengar suara gaduh diluar.
"Ampun Pangeran,"ucapnya."Kerajaan diserang segerombolan manusia kelelawar. Mereka menyelinap ke dalam istana,"lapornya.
Pangeran Randu bergegas pergi begitu mendengar laporan dari prajuritnya. Namun tak lupa ia berpesan agar prajurit itu menjagaku.
Aku penasaran dengan apa yang sedang terjadi diluar sana. Namun prajurit itu menyuruhku masuk kedalam kamar. Menyebalkan.
Kerajaan bawah air diserang manusia kelelawar? Seperti apa mereka? Apa mereka makhluk bertaring,botak,bersayap, berhidung lancip dan telinganya seperti kuncup serta bertubuh hitam? Ah, imajinasiku terlalu ngawur.
Aku hanya bisa menunggu dan menunggu didalam kamar. Entah berapa lama aku harus dilanda cemas seperti ini. Apa Pangeran Randu dapat mengalahkan manusia kelelawar itu?
~~##~~
Pangeran Randu terluka? Aku berlari keluar dari kamarku begitu mendengar berita itu. Tapi untung saja manusia kelelawar itu dapat dilumpuhkan.
Pangeran Randu tampak terbaring diatas tempat tidur dengan lengan terbalut kain berwarna putih. Darah nampak menembus keluar dari lengannya.
"Pangeran tidak apa-apa?"tanyaku seraya melihat keadaannya.
"Kamu mencemaskanku?"ia bertanya.
Terus terang aku mencemaskan keadaannya. Bagaimana mungkin aku tidak mencemaskan laki-laki setampan dirinya. Kharisma yang melekat dalam dirinya juga sangat kuat. Jika ia manusia biasa pasti aku akan merebut hatinya dan mencampakkan Yudhis.
Huh, inilah kelemahanku. Mudah sekali jatuh cinta pada laki-laki tampan.
"Apa yang sedang kamu pikirkan?"sentak Pangeran Randu mengagetkan."Tenang saja, aku tidak akan memaksakan kehendakku padamu."
"Bukan, bukan itu yang sedang hamba pikirkan,"sahutku.
"Lantas?"desaknya.
"Tidak ada. Hamba hanya berpikir tentang luka Pangeran. Apa parah?"aku berbohong kali ini.
Pangeran Randu tersenyum. Ia bangkit dan duduk menghadapku.
"Apa itu saja yang kamu pikirkan?"tanyanya masih dengan senyum mengembang di ujung bibirnya."Apa kamu tidak sedang menyesali sesuatu?"
Bodoh!makiku dalam hati. Pangeran Randu kan bisa membaca pikiranku. Percuma aku berbohong padanya. Lagipula kenapa ia mesti bertanya jika ia tahu apa yang sedang ku pikirkan.Apa ia sedang mengujiku?
"Maafkan hamba...."ucapku pelan. Aku benar-benar merasa dipojokkan olehnya.Sial....
"Kamu menyukaiku?"tanyanya sembari tergelak.
Oh Tuhan! Betapa malunya diriku saat itu. Aku menundukkan wajah untuk menghindari tatapan matanya yang mengejar gerak-gerikku.
"Aku sadar kita berbeda,"tandasnya usai menghentikan tawa."Aku akan mengantarmu pulang besok. Karena tidak baik kamu terlalu lama disini."
Benarkah aku akan pulang?batinku senang.
~~##~~
Pangeran Randu menggenggam tanganku erat.Kami sedang berdiri didepan sebuah air terjun yang mengalir deras.
"Aku pasti akan merindukanmu,"ucapnya.
Kami akan berpisah. Rasanya berat untuk meninggalkan laki-laki itu. Tapi aku harus pergi. Dan aku pasti akan sangat merindukannya.
"Apa kita akan bertemu lagi?"tanyaku.
"Jika kamu ingin bertemu denganku, panggil namaku tiga kali. Aku pasti akan muncul dihadapanmu,"ucapnya.
Aku tersenyum padanya untuk yang terakhir kali sebelum melepaskan tangannya dan pergi.
"Mungkin pertemuan kita terlalu singkat,"ucapku seraya tergelak."Dan aku pasti akan sangat merindukanmu,Pangeranku."
Pangeran Randu balas tersenyum.
"Pergilah,sebelum aku berubah pikiran dan menahanmu disini selamanya,"suruhnya.
Aku mengangguk pelan.
"Sampai jumpa,"aku melambaikan tanganku ke arahnya sebelum masuk ke dalam aliran air terjun.
Aku masih melihat senyumnya sampai aku benar-benar menghilang didalam air terjun. Sampai jumpa Pangeranku. Semoga hidupmu bahagia......
~~##~~
Suasana kamar rumah sakit menjadi pemandangan pertama yang aku lihat setelah membuka mata. Sebuah jarum infus menembus kulitku, juga sebuah ventilator terpasang di wajahku. Kepalaku terbalut sebuah kain perban.
Berapa lama aku pingsan?batinku seraya meneliti sekeliling ruangan yang ternyata kosong. Tak ada siapa-siapa disana.
Huh, menyebalkan. Aku sedang sakit seperti ini namun tidak ada seorangpun yang menjagaku.
Aku melepaskan ventilator di wajahku. Juga jarum infus yang menancap dikulitku.
Aku hendak bangun dari tempat tidur tapi punggungku terasa kaku dan berat. Sepertinya aku tertidur terlalu lama,batinku.
Tiba-tiba pintu terbuka dan tampaklah sosok Yudhis.
Ia tampak tercengang melihatku yang sedang duduk di tepian tempat tidur.
"Kamu sudah sadar,Lex?"serunya. Ia hendak memeriksaku dengan stetoskop miliknya namun buru-buru kutepis. Aku merasa baik-baik saja.
"Berapa lama aku pingsan?"tanyaku penasaran.
"Kamu koma hampir tiga bulan,"jawab Yudhis membuatku tercengang.
Tiga bulan?batinku. Bukankah aku hanya menghabiskan tiga hari saja dikerajaan bawah air?
"Ini benar-benar sebuah keajaiban,Lex"tuturnya kemudian."Sebenarnya kemungkinanmu sadar hanya sedikit sekali.Nyaris tidak ada harapan,"
Aku hanya tertegun sambil menatap Yudhis tak percaya.
"Sebenarnya apa yang terjadi?"tanyaku ingin tahu.
Yudhis mengambil kursi sebelum memulai kisahnya.
"Hari itu seorang pencari kayu bakar menemukan tubuhmu mengambang di sungai dekat air terjun.Kamu pingsan karena kepalamu terbentur batu. Tapi apa yang kamu lakukan disana,Lex?"
"Aku pergi kesana bersama seseorang. Dia teman baruku dan dia seorang photografer.Apa kalian tidak bertemu dengannya?"ungkapku.
Yudhis menggeleng. Namun tangannya segera menjangkau sesuatu dari atas meja.
Sebuah amplop berwarna cokelat kuterima dari tangannya.
"Amplop ini tiba-tiba saja ada di atas meja sehari setelah kamu terbaring disini. Kami tidak tahu siapa yang meletakkannya disini,"tutur Yudhis.
Aku buru-buru memeriksa isi amplop itu dan begitu tahu bahwa ada beberapa lembar fotoku didalamnya, mulutku hanya bisa ternganga.
Itu adalah foto-fotoku saat di air terjun sesaat sebelum kecelakaan itu terjadi. Tapi kemana sosok Langit? Kenapa ia seperti menghilang begitu saja? Apa ia sengaja membawaku kesana agar aku terseret ke kerajaan bawah air ?
Aduh, kepalaku terasa sakit saat mencoba untuk berpikir.
"Kamu baik-baik saja,Lex? Istirahatlah, kamu masih perlu banyak istirahat,"suruh Yudhis. Ia membantu merebahkan tubuhku di atas tempat tidur.
"Bagaimana kabar Nuraida?"
"Alexa,kamu sedang sakit. Kenapa masih mencemaskan orang lain?'sentak Yudhis seraya membenahi jarum infus milikku.
"Aku hanya ingin tahu hubungan kalian. Apa kalian baik-baik saja?"tanyaku ngotot.
Yudhis tersenyum pahit.
"Memangnya kamu mengira kami pacaran?"pancingnya."Aku menganggap dia seperti adikku sendiri.Apa kamu mencemburuinya?"
"Cemburu?"tanyaku sinis."Siapa juga yang cemburu?"
Yudhis terbahak mendengar jawabanku.
"Sebaiknya kamu istirahat dan jangan banyak pikiran.Oke?"Yudhis hendak meninggalkan tempat tidurku namun secepat kilat aku menahan tangannya.
"Ada apa ,Lex?Kamu butuh sesuatu?"tanyanya.
Aku menggeleng.
"Apa kamu mencintaiku?"tanyaku ragu."Lupakan pertanyaanku. Pergilah,"sambungku lagi.Aku melepaskan tangannya agar ia leluasa pergi.
Yudhis urung pergi meski aku tak lagi menahan tangannya.
"Satu-satunya orang yang paling mengharapkanmu bangun kembali adalah aku, Lex,"ungkapnya kalem.
Terima kasih,batinku. Jawaban Yudhis sangat melegakan kali ini.