Kamis, 17 Maret 2016

Rapuh


Sesuatu telah mengusik lelapnya tidurku.Aku seperti mendapat guncangan keras didadaku.Membuat nafasku tersendat seperti tercekik.Ahh..siapapun juga selamatkan aku!
Dengan kesadaran yang hanya berkisar lima persen aku berusaha membuka mata.Ponsel sialan yang kutaruh dibawah bantal berdering sepagi ini.Hendak kuabaikan jika saja tak bergetar terus menerus.
"Kumohon jangan sepagi ini Al..."
Mulutku tak sadar menyebut sebaris nama yang seharusnya tak ada dalam daftar nama di otakku.
"Sorry ganggu Mey,"suara diujung sambungan telepon menyampaikan maaf terlebih dulu sekaligus memotong ucapanku."Kebetulan aku lewat sekitar sini.Dan aku kehujanan.Apa aku boleh mampir?"
Sepagi ini?batinku kesal.Kenapa pagi-pagi begini mesti berkeliaran disekitar tempat tinggalku?
Namun aku tak berdaya dan mengeluarkan persetujuanku. Meski dengan berat hati.
Sekitar lima menit kemudian aku sudah berdiri diambang pintu apartemenku dan mendapati Abi sedang menungguku didepan pintu.Rambut dan jaketnya basah.Dan aku merasa jadi orang tolol demi menyadari penampilanku yang masih layak berbaring diatas tempat tidur.Rambut yang tergerai sembarangan, pakaian yang hanya terdiri dari tanktop lusuh yang dipadu dengan celana pendek yang kubeli dengan harga murah.
Aku menyuruh laki-laki itu masuk kedalam apartemenku yang super sempit. Dan sedikit berantakan itu.
Aku juga meminjamkannya selembar handuk kering dan menyediakan segelas cokelat hangat.
Lantas aku duduk diseberang sofa tempatnya duduk.Dengan sisa-sisa kantuk yang masih melekat dimataku.
Aku tahu Abi memperhatikanku sekilas.Menelusuri perubahan demi perubahan yang terjadi pada tubuhku pastinya.
"Banyak yang berubah pada dirimu Mey,"tandasnya tanpa sungkan.Dan aku sudah siap dengan segala kemungkinan komentar yang bakal meluncur dari mulutnya.
Aku mendehem.Tak menanggapi ucapannya.
"Aku tahu kamu masih belum bisa melupakan dia,"imbuhnya mengungkit kembali luka yang menggores hatiku.
Yang ia maksud dengan "dia" pastilah Al.Kenapa mesti memakai sebutan "dia" bukan dengan namanya saja.Toh aku tidak akan tersinggung,batinku.
Lagipula Al adalah sahabat karibnya.Abi juga tahu apa yang terjadi antara aku dan Al.
"Aku sedang berusaha Bi.Tapi kamu malah membuatku mengingatnya,"gumamku seraya tersenyum sepahit mungkin.Sisa-sisa kantuk tadi lenyap entah kemana.
"Apa kamu nggak bisa move on seperti yang orang lain lakukan?"
Move on?batinku geli. Aku tidak termasuk dalam hitungan "orang lain" yang bisa move on seperti harapan Abi.
Aku menggeleng lemah. Aku tidak setegar yang kau lihat,Bi. Aku terlampau lemah soal hati.Meski aku bisa menutupi dengan seulas senyum tapi tetap saja hatiku patah.
"Aku bisa mengatasinya Bi,"tandasku kemudian.Aku menghembuskan nafas berat sesudahnya.
Abi mengangguk pelan.Namun sorot matanya menyiratkan keraguan terhadap ucapanku.
"Kamu lebih kurus dari sebelumnya Mey,"komentar Abi usai menyesap cokelat hangat buatanku.
Matanya berpendar menatap ke sekeliling ruangan.Mencari-cari ketidakberesan yang aku ciptakan sebelumnya.Entah itu peralatan makan yang berserakan diatas wastafel dan belum sempat ku cuci.Atau sampah sisa kemasan mi instan dan teman-temannya. Atau jika matanya masih jeli ia akan mendapati debu yang menempel disana sini.Melengkapi ketidakberesan akan diriku.
"Al sudah bahagia Mey,"ucap Abi menusuk jantungku seketika."Dia sudah punya kehidupan baru.Jangan biarkan dirimu menderita sia-sia seperti ini,"imbuhnya memperparah jantungku.
"Aku tahu Bi.Kamu nggak usah mengingatkanku,"potongku dengan dada bergemuruh.Aku marah.Tapi bukan pada Abi.Tapi pada nasib burukku.
"Maaf,"seketika itu juga Abi meminta maaf."Aku nggak bermaksud menyakiti hatimu dengan ucapanku.Aku sedikit emosi tadi.Rasanya nggak adil kalau kamu masih memikirkan orang yang sudah mencampakkanmu."
Aku menghela nafas.Bahkan kehadiranmu sudah menyakiti hatiku Bi.Karena kau adalah sahabat terdekat Al.Kalian selalu terlihat bersama.Jadi saat aku melihatmu otomatis aku juga mengingat Al.
"Sepertinya hujan sudah berhenti,"ucap Abi memecah lamunanku."Aku harus pergi sekarang,"pamit Abi tergesa.
Laki-laki itu menyesap habis minumannya sebelum pergi.Ia berterimakasih atas jamuan kecilku dan entah apa yang melintas didalam otaknya saat tangan kukuhnya mengacak rambutku.
"Jaga dirimu Mey.Kapan-kapan aku akan mengunjungimu lagi,"laki-laki itu pamit.Meninggalkan kesan ramah dan ceria seperti yang biasa ia tinggalkan.Seperti itulah sifat Abi.Dia sangat berbeda dengan Al...

Kemunculan Abi tadi pagi cukup menyiksa batinku.Karena setelah itu bayangan dan kenangan tentang Al menyeruak kembali ke pikiranku. Meski Abi datang dalam pribadinya sendiri tapi bayangan Al seolah mengekor dari belakang.Aku sangat tahu Abi tidak bersalah dalam soal ini.
Dan ini sedikit membebani kepalaku.Otakku sepertinya mengajukan protes.Mungkin karena aku sedikit menyakitinya dengan kenangan masa lalu.
Dan lebih sialnya lagi aku tidak bisa menemukan sisa obat sakit kepalaku didalam laci.Mungkin telah habis dan aku lupa sama sekali.Bahkan untuk mengingat hal-hal kecilpun aku sudah tidak mampu.Aku seperti orang yang yang menderita amnesia.Otakku serasa lumpuh seketika.Semua gara-gara Al!!!
Aku berbaring sembari menahan sakit yang mendera kepalaku.Kalaupun harus membeli obat aku terlalu malas untuk keluar apartemen.Diluar sana pasti sudah gelap.Dan aku paling benci dengan kegelapan.
Aku urung memejamkan mata.Ponselku bergetar dibawah bantal.
"Mama sudah cerai,Mey.Jika kamu bersedia tinggal dengan mama, mama senang sekali.Mama akan mengirimkan tiket ke Manado untukmu."
Aku mengulum senyum pahit usai membaca isi pesan mama yang lebih panjang ketimbang biasanya.
Akhirnya mereka berdua bercerai juga,batinku.Dengan keegoisan masing-masing mereka mengorbankan rumah tangga yang selama dua puluh lima tahun mereka bina.Dan apa urusannya denganku?Aku sama sekali tidak peduli.Aku sudah lelah dan bosan untuk selalu diabaikan oleh mereka.
Aku memejamkan mata kembali.Mengabaikan pesan mama dengan tidak membalasnya.Toh aku tidak akan pergi kemana-mana.Aku bertahan ditempatku sekarang.
Namun entah kenapa tiba-tiba saja setetes air hangat mengalir dari ujung mataku yang terpejam.Aku sedang tidak ingin menangis namun kenapa butiran air bening itu memaksa untuk keluar. Seorang Mey tidak serapuh itu...

"Mey!!"
Untuk beberapa detik lamanya aku bergeming demi mendengar seseorang meneriakkan namaku dengan begitu cerianya.Dan itu sedikit membuatku merasa bahagia.Rasanya sudah lama aku tidak mendengar namaku disebut dengan penuh semangat seperti itu.
"Hei, kok baru pulang?"tegur Abi.Bibirnya mengembangkan seulas senyum manis.Laki-laki itu berdiri didepan pintu apartemenku.
"Kok nggak telpon dulu biar aku pulang lebih awal,"balasku pura-pura sewot.
"Kalau aku menelpon duluan, bukan kejutan itu namanya,"celoteh Abi masih dengan gaya cerianya."Dan lihat,aku membawakan sebuah keajaiban untukmu.Taraaa..."
Abi mengangkat sebuah kantung kresek berisi dua bungkus makanan yang ia sebut dengan "keajaiban" itu.
Aku mengernyitkan kening.Berpikir untuk menemukan jawaban atas isi kantung kresek itu.
"Nasi goreng?"tebakku sedikit ragu.
"Yup!"sahutnya cepat."Makanan favoritmu bukan?"tebaknya.
Aku mengangguk.Pasti Al telah menceritakan banyak hal tentangku pada Abi,batinku.
"Yuk masuk,"ajakku sejurus kemudian.
Malam ini benar-benar berbeda dari malam-malam sebelumnya.Tak ada kata "sendiri" dan "mi instan".
Aku melihat secercah sinar terlihat dari ujung mataku.Sinar yang dibawa Abi.
"Habiskan Mey,"suruh Abi setelah sadar jika aku mulai menghentikan kegiatan makanku.Perutku sudah penuh.Dan aku rasa aku bisa muntah kapan saja jika ia memaksaku untuk menghabiskan makanan itu.
"Aku sudah kenyang Bi,"ucapku pasrah.
"Tapi kamu harus makan banyak Mey.Nggak pa pa kalau kamu agak gendut sedikit,"ucapnya berkelakar.
"Iiiihhh nggak mau Bi,"aku merajuk.Manja.Seperti pada Al dulu.Sial.Padahal Abi bukan siapa-siapaku.Kenapa aku bisa semanja itu padanya.
"Ayolah Mey,"bujuk Abi mencoba bersikap manis.Sepasang matanya menatap ke wajahku.Membuatku merasa risih.Namun ada secercah bahagia saat aku mendapati seulas senyum tersungging diwajahnya.
"No,"aku menggeleng pasti.Aku meletakkan sendokku dan menyerah.
"Ok,"Abi mengangguk diplomatis.Tak lagi memaksa seperti sebelumnya.
Abi mencuci peralatan makan milikku dengan suka rela sesudah itu.Ia juga sempat membersihkan dapur dan beberapa perabot lain.Entah setan apa yang merasuki dirinya malam itu.Tapi aku senang ia melakukan pekerjaan rumahku yang terbengkalai.Dan perasaan senang itu perlahan berubah menjadi rasa kagum.Secara tidak sadar aku mengagumi sosok Abi secara keseluruhan.
Sejak malam itu aku sedikit menggantungkan harapan pada laki-laki itu.Mungkin aku bisa membangun kembali hatiku yang sempat berkeping-keping...

Pagi yang cerah.Bunga-bunga dihatiku seolah ikut bermekaran menyambut matahari.Padahal pagi-pagi sebelumnya hanya gumpalan mendung yang bertengger dilangit hatiku.Tak ada bunga.Juga tak ada senandung kecil yang selalu digumamkan bibirku.
Namun hari ini berbeda.Bahkan aku nyaris tak bisa mengenali penampakan wajahku di cermin. Karena aku mengoleskan make up yang sedikit tebal ke wajahku.Bukan kebiasaanku memang.Tapi aku benar-benar merasa bersemangat memulai hari.Mungkin terlalu berlebihan jika aku menyebut diriku seperti bangkit dari kematian.Aku merasa hidup setelah malam dimana Abi mengulaskan senyum terbaiknya untukku.Seperti ingin menawarkan sebuah harapan untukku.Apapun itu aku tak peduli.Aku hanya ingin hidup lebih dari sebelum ini.
Bahkan kedua karyawati yang bekerja di butik milikku pun terheran-heran melihat kehadiranku sepagi ini.Padahal biasanya aku paling malas jika disuruh ke butik.Dalam seminggu aku cuma pergi kesana dua sampai tiga kali saja.
Aku ikut membenahi pajangan dan mengganti pakaian pada manekin-manekin.Meski karyawatiku melarang tapi aku bandel dan ingin melakukannya sendiri.Aku tampak seperti orang gila saja hari ini.Tapi aku yakin jika aku sehat wal afiat.Tanpa kurang suatu apa.
Bahkan aku rela naik bangku hanya demi mengganti manekin diatas etalase.Dua karyawatiku hanya geleng-geleng kepala melihat tingkahku.
Namun aku tak ambil pusing sampai ketika tiba-tiba kepalaku seperti berputar.Atap diatas kepalaku seolah jatuh beruntun menimpa tubuhku. Aku tak bisa menguasai keseimbangan tubuhku dan insiden kecil itu tak bisa kucegah dengan mudah.
Aku masih sempat mendengar jeritan panik dari mulut salah satu karyawatiku yang kebetulan melihat insiden itu sebelum aku kehilangan kesadaran.

Aku masih hidup usai insiden itu.Nyatanya aku masih bisa membuka mata dan menghirup oksigen dari sekitarku.Insiden kecil itu hanya menyisakan rasa sakit diujung siku dan punggungku.Dalam dua hari rasa sakit itu pasti akan hilang.
Namun kabar buruk datang dari dokter yang menanganiku.Diagnosa menunjukkan hasil yang menyakitkan untuk kuketahui.Membuatku gamang antara rasa percaya dan tidak.
Ada tumor yang sedang berkembang ganas didalam kepalaku dan bersiap untuk menekan syaraf-syaraf disana.Dan sebentar lagi akan menekan syaraf penglihatanku jika tidak di operasi secepatnya.
Aku seolah tersentak dari tidur panjang.Dokter itu begitu pandai merangkai kabar buruk untuk menghantui hidupku.Membuatku nyaris pingsan untuk yang kedua kalinya.
Kenapa mesti penyakit seberat itu?keluhku dalam diam.Tak segelintirpun air mata yang ingin kutumpahkan sekarang ini.Padahal harusnya aku menangis sekencang-kencangnya untuk meratapi deritaku.Tapi tidak.Mey tidak serapuh itu...
Kenyataan itu menuntunku ke cafe milik Abi.Laki-laki itu selalu menghabiskan waktu untuk mengurusi cafe miliknya yang baru berdiri setahun yang lalu.Dan aku yakin ia ada disana detik ini juga.
Aku hanya ingin membagi beban berat yang baru saja terungkap ini.Aku ingin meraih simpati dari laki-laki yang beberapa hari belakangan ini kukagumi sosoknya.Mungkin ia bisa memberiku dukungan moral atau apalah.Yang penting aku bisa bertemu dengannya saat ini.Saat dimana aku berada dititik paling rendah dalam hidupku.
Langkah kakiku terhenti begitu saja didepan pintu cafe.Tepatnya aku terpaku dilantai yang sedang kupijak.
Didepan sana tepatnya disebelah meja kasir aku melihat sosok yang kupikirkan sejak aku keluar dari rumah sakit.Abi.
Namun ada sesuatu yang menghentikan langkah kakiku.Yaitu seorang gadis yang sedang bergelayut manja pada Abi.Cara gadis itu tersenyum dan berbicara pada Abi berbeda.Tingkahnya, gerak gerik dan tatapan matanya pada laki-laki itu berbeda.Itukah pacar Abi?batinku kecut.
Kenapa aku baru tahu sekarang?Kenapa aku tidak memikirkan kemungkinan-kemungkinan seperti itu?Kenapa aku begitu bodoh mengira Abi telah memberikan sebuah pengharapan padaku?Pastilah Abi bersikap baik padaku atas nama rasa iba.Karena aku adalah mantan pacar sahabat karibnya.Dan secara tidak langsung ia merasa bertanggung jawab menjaga perasaanku.Menemaniku mengusir rasa kesepian yang telah mengendap dalam hatiku.
Kau terlalu bodoh untuk mengartikan semua itu Mey,batinku.Bodoh!!
Aku mengayunkan langkah-langkahku pergi dari tempat itu.Membawa pergi semua rasa sakit dan kecewa bersamaku menjauh dari tempat Abi.Membiarkan diriku jatuh dan patah.Biar cuma aku yang merasa sakit dan terluka.Jangan Abi ataupun gadis itu.Aku tidak mau...

Suara televisi terdengar cukup keras di telingaku.Menayangkan sebuah drama asia favoritku.Tapi sayang,mataku tak bisa melihat gambar dilayar berbentuk persegi itu.Hanya samar-samar dan nyaris kabur.
Waktu berjalan begitu cepat dan seakan tak sabar untuk merenggut penglihatanku seutuhnya.Meski aku mendapati penglihatanku kabur hanya sesekali saja.Tapi itu sudah cukup menunjukkan pertanda jika suatu saat nanti aku akan benar-benar kehilangan penglihatanku seutuhnya.
Mungkin aku masih bisa menjalani operasi seperti saran dokter.Tapi harapanku terlalu tipis.Kalaupun aku sembuh,aku akan kehilangan sebagian memoriku.Dan kemungkinan terburuk kedua adalah jika aku gagal menjalani operasi aku akan mati.
Sedangkan aku memilih pilihan yang kubuat sendiri.Aku tidak akan menjalani operasi seperti yang seharusnya aku lakukan.Kenapa?Untuk apa?
Toh ini adalah hidupku.Milikku.Aku yang berhak atas hidupku sendiri.Orang lain tak punya hak mengatur apa-apa yang harus aku lakukan.
Begitu egoiskah keputusanku Tuhan?Apa aku tak boleh memilih untuk kembali pada-Mu tanpa membebani siapapun di dunia ini.
Aku terpekur.Mataku tertumbuk pada lantai yang telah dipenuhi pecahan cermin dan beberapa benda lain.Aku tak ingin mencegah butiran bening yang mendesak keluar dari ujung mataku.Aku membiarkannya mengalir sampai habis.Sampai aku dehidrasi sekalipun.Dan aku berjanji esok tak akan lagi ada air mata yang tertumpah seperti sekarang ini.
Malam kian larut dan isakku semakin menjadi.Aku membiarkan tubuh dan hatiku membusuk dikamar ini.Sendiri dan kesepian.

Satu hal yang baru kusadari akhir-akhir ini.Bahwa Mey tak sekuat yang kupikirkan.Mey serapuh itu.Serapuh kayu lapuk yang termakan rayap.Dan hal lain yang aku tahu adalah ending dari hidupku.Aku akan mati.Dalam kesendirian....