Rabu, 21 Agustus 2013

MAGICAL LOVE OF BISCUITS


"Darimana?"
Josh menghadang langkahku didepan pintu. Tatapan matanya terkesan aneh dan dingin.
Aku mendesah kuat-kuat. Seakan ingin mengatakan padanya untuk tidak bertanya apapun padaku. Karena aku tidak suka di interogasi layaknya seorang tersangka.
"Aku hanya tidak suka kau pulang terlalu larut,"seru Josh saat aku bergerak menerobos masuk kedalam. Namun tidak menghentikan langkahku.
Laki-laki itu menyusul langkahku kedalam kamar. Mengejar penjelasanku.
"Aku lelah,"gumamku seraya melepaskan mantel tebal dari tubuhku. Sisa-sisa salju masih menempel disana-sini.
"Sarah..."
Josh menarik pundakku. Memaksaku untuk mengalihkan wajahku kepadanya.
Aku tercekat. Ada apa?
"Aku hanya ingin kau menjawab pertanyaanku. Apa itu terlalu sulit buatmu?"tanya Josh memojokkanku. Membuat dadaku seketika menyesak. Sepertinya tiba-tiba saja oksigen tak bisa bergerak bebas didalam sana.
"Apa itu sangat penting buatmu?"satu pertanyaan balasan sengaja kulontarkan untuk menantangnya berdebat.
Josh tercekat mendengar reaksiku.Matanya menyorot tak percaya kepadaku.
"Aku suamimu, Sarah. Dan rasanya wajar jika aku ingin tahu tentang apa yang kau lakukan hari ini,"tandasnya.
Aku tersenyum pahit.
Dari awal aku tidak pernah menganggap ini adalah pernikahan. Hubungan kami hanya sebatas tanda tangan diatas kertas putih. Dan kupikir ia sangat tahu hal itu.
"Aku mencemaskanmu..."ucap laki-laki itu beberapa saat kemudian.
"Jangan memulainya lagi,"tandasku memotong pembicaraannya."Kau tahu aku tidak pernah menganggapmu ada. Aku tidak pernah mencintaimu. Jadi jangan pernah berharap apapun dariku,"ucapku terdengar kasar.
"Aku tahu,"sahutnya pelan.
Jika dia tahu,kenapa mesti mengungkit masalah ini?
"Aku lelah, Josh."Aku menggumam seraya menepis tangannya yang masih bertumpu diatas pundakku.
Aku bergerak ke arah tempat tidur lantas merebahkan tubuhku diatasnya. Tanpa melihat lagi ke arah Josh yang masih berdiri kaku di tempatnya semula. Membiarkannya larut dalam perasaan terabaikan.
Apa aku terlalu kejam telah membiarkannya terseret dalam penderitaan bersamaku? Mengabaikan perasaan mencintaiku juga segenap perhatian dan kasih sayang yang selalu berusaha ia curahkan padaku.
Aku sudah terlalu lelah menjalani hidupku yang dahulu. Terkekang dalam rutinitas yang sama setiap hari. Bekerja dari pagi hingga gelap tiba. Aku kesepian saat itu. Tanpa teman dan tempat bertumpu.
Karena itulah aku menerima tawaran Josh saat ia memintaku menikah dengannya. Agar aku lepas dari rutinitas menyebalkan itu dan agar aku bisa menggantungkan hidup pada orang lain.
Kupikir tak perlu cinta untuk memulai sebuah pernikahan. Toh yang kubutuhkan hanya kenyamanan dalam hidup. Tercukupinya kebutuhan materi kurasa sudah cukup untuk membuatku bahagia. Nyatanya tidak.
Aku telah mengurung Josh dalam lingkaran penderitaan. Membebaninya dengan cinta yang sama sekali tak terbalas.
Oh Tuhan, kenapa terlalu sulit untuk jatuh cinta pada sosoknya? Terbuat dari es-kah hatiku hingga tidak bisa terluluhkan oleh kebaikan laki-laki itu?
"Aku akan mengakhirinya jika kau mau,"
Aku membuka mataku kembali setelah dua menit terpejam. Suara Josh terdengar pelan menyapa telingaku.
"Maksudmu apa?"
Josh bergerak menghampiri tempat tidur lantas duduk di tepiannya.
"Aku akan menceraikanmu kalau kau menginginkannya,"tandas Josh seketika membuatku bangkit dari atas tempat tidur.
"Josh!"seruku sembari menatap seraut wajah murungnya."Jangan bercanda!"sentakku.
"Aku bersungguh-sungguh, Sarah."
Aku tertegun mentapa sepasang mata sayu milik Josh. Sepasang mata itulah yang selalu membuatku tidak tega untuk mendebatnya lama-lama.
"Aku memang tidak bisa seperti wanita lain yang selalu berada di rumah. Memasak, mencuci, membersihkan rumah. Aku tidak bisa melakukan semua itu, Josh. Kau itu tahu bukan?"
"Bukan itu alasannya, Sarah,"sela Josh."
Aku tertegun mendengar ucapannya.
"Bukan karena aku tidak mencintaimu lagi,"imbuhnya kemudian."Tapi karena aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi.."
Aku tahu,batinku seraya membuang pandangan ke atas lantai. Aku tahu ini akan terjadi cepat atau lambat. Siapapun juga pasti akan melakukan hal yang sama. Tidak akan ada yang sanggup hidup dengan orang yang tidak mencintainya. Termasuk Josh sekalipun. Meski ia orang yang memiliki tingkat kesabaran tinggi nyatanya ia juga manusia biasa yang terbatas kesabarannya.
Aku diam tanpa pernah mengeluarkan sepatah kalimatpun. Apa sikapku menunjukkan bahwa aku menerima pernyataan Josh?
"Aku bukan orang sempurna, Sarah,"gumam Josh memecah kebisuan kami berdua.
"Apa kau kecewa padaku?"aku memotong ucapannya dengan sebuah pertanyaan.
"Tidak,"gelengnya."Aku yang memulai semua ini. Dan aku juga yang menyeretmu masuk dalam kehidupanku.Pasti sulit buatmu hidup dengan orang yang tidak pernah kau cintai. Aku minta maaf untuk itu,"tandasnya dengan nada bergetar.
Aku menatapnya dengan pandangan takjub. Kenapa ia bisa berkata seperti itu?
"Harusnya aku tidak memulai semua ini..."gumamnya lirih.
Laki-laki itu bangkit sebelum aku sempat melontarkan kalimat. Ia melangkah menuju ke ruang tengah dan duduk disana hingga malam tiba. Dengan pikiran kacau.

$$$$$$$$

Aku pulang. Lebih larut dari malam itu. Tapi tak ada teguran yang menyambut kepulanganku kali ini. Juga tak ada sosok yang siap menghadang langkahku didepan pintu.
Tak ada Josh lagi dirumah ini. Laki-laki itu telah pergi tiga bulan yang lalu...
Aku tak langsung pergi ke kamar. Rasa haus menggerogoti tenggorokanku dan memaksaku untuk pergi kedapur.
Aku mendengus saat membuka pintu lemari pendingin milikku yang kosong. Tak ada satupun minuman bersoda yang bersarang didalamnya. Hanya ada air mineral yang menghuni kotak balok itu. Tak ada sesuatu yang bisa dimakan. Bahkan sekeping biskuitpun tak tersisa disana.
Josh paling hafal dengan kebiasaanku makan biskuit, karenanya ia tak pernah absen mengisi kulkas dengan aneka biskuit. Apa yang ia pikirkan jika melihat kulkasku yang mengenaskan itu.
Dan lihatlah, meja makan penuh dengan piring-piring kotor. Tempat sampahpun penuh dengan kemasan mie instan dan kaleng minuman bersoda. Padahal kedua jenis makanan dan minuman itulah yang paling Josh hindari. Mie instan dan minuman bersoda tidak boleh mengisi kulkas kami.
Pakaian-pakaian kotor juga menumpuk didalam keranjang. Belum sempat kucuci karena malas.
Aku baru menyadari betapa kacaunya rumahku tanpa Josh. Juga hidupku tanpa dirinya.
Tapi Josh bukan pelayan pribadiku. Aku tidak bisa mengatakan aku tidak bisa hidup tanpanya karena semua itu.
Dia seorang yang seharusnya.....
Ah, tidak. Ada apa denganku?gumamku gusar.
Bahkan tiga bulan setelah malam itu ia tidak pernah mencari atau menghubungi nomor teleponku. Dan ia benar-benar ingin menghilang dariku. Bukankah dia mengatakan masih mencintaiku, tapi seolah ia tidak peduli lagi padaku. Menanyakan kabarkupun tidak pernah ia lakukan.
Lalu apa yang kau lakukan Sarah?tanyaku pada diri sendiri.
Bukankah kau juga tidak berusaha menyambung komunikasi diantara kalian berdua?
Benar. Aku memang tidak pernah menghubungi Josh. Meski aku merasa ada sesuatu yang hilang dari diriku, tapi aku tidak berusaha untuk menemukan kembali sesuatu yang hilang itu. Aku takut rasa kehilangan itu bukan sesuatu yang berharga, melainkan hanya sebuah kelengkapan hidupku belaka. Karena tidak ada seseorang yang mengerjakan pekerjaan rumah.
Tidak ada yang mencemaskanku saat aku terlambat pulang. Tidak ada lagi. Tidak ada Josh dirumah ini.....

$$$$$$$$

Aku menjerit kecil dan nyaris terjatuh manakala seseorang menubruk pundakku tanpa sengaja didepan sebuah supermarket.
Aku hanya terperangah ditempatku seraya menatap kelantai. Beberapa buah bungkus biskuit tampak tercecer dari dalam kantung belanjaan seorang pejalan kaki yang telah menubrukku beberapa detik yang lalu.
"Josh!"aku memekik tak sadar.
Laki-laki itu mendongakkan wajahnya usai memunguti belanjaannya. Lantas ia berdiri beberapa saat kemudian.
Benarkah itu kau Josh? batinku antara girang dan kaget.
Josh tersenyum.
"Maaf, apa aku mengenalmu?"
Josh? Aku tercekat mendengar pertanyaannya. Apa kau membenciku sekarang?batinku.
Aku hendak membuka mulut untuk mengajukan protes padanya namun urung setelah ia terlebih dulu memulai percakapan.
"Maaf,"ucapnya cepat."Beberapa bulan yang lalu aku mengalami kecelakaan hebat. Aku sempat koma dan setelah sadar aku kehilangan sebagian ingatanku. Mungkin kau salah satu orang yang hilang dari memori otakku. Apa kau salah satu temanku?"
Kami beralih ke sebuah sudut coffee shop diseberang supermarket beberapa menit kemudian. Untuk melanjtkan perbincangan.
Aku masih tidak percaya dengan apa yang kulihat. Laki-laki itu memang Josh, tapi ia bukan Josh yang pernah kukenal dulu. Yang pernah tinggal seatap denganku. Yang selalu kuabaikan keberadaannya....
Dua cangkir Americano datang. Mengepulkan kabut tipis beserta aroma harum ke hidungku.
Rasanya aneh duduk berhadapan dengan Josh yang terkena amnesia. Aku malah teramat canggung dan kaku dihadapannya.
"Kita teman yang bagaimana?"sentak Josh membuyarkan kekakuanku. "Maksudku apa kita dekat?"tanyanya lagi dengan disertai seulas senyum tipis.
Aku tergagap mendengar pertanyaannya.
"Kita hanya teman biasa. Tidak terlalu dekat,"tandasku berdusta. Tak mungkin aku mengatakan semuanya bukan?
"Oh,"sambutnya. "Apa kau bisa mengatakan bagaimana aku dahulu? Apa aku punya seorang kekasih, atau kau tahu siapa orang yang kusuka?"
Aku gelagapan. Harus kujawab apa pertanyaan Josh kali ini?
"Karena sepertinya aku melupakan sesuatu yang penting dalam hidupku,"tandas Josh menyambung ucapannya yang terdahulu sebelum aku sempat berkata-kata.
Aku mengernyitkan kening.
"Aku ingat dulu aku sering membeli banyak biskuit untuk seseorang. Tapi aku tidak bisa mengingat seseorang itu. Yang kuingat hanya orang itu sangat gemar makan biskuit. Saking suka makan biskuit, dia pernah seharian tidak makan apapun selain biskuit.Lucu, bukan?"
Josh melepaskan tawa renyahnya kemudian. Sorot matanya menyorot kedepan penuh semangat. Mungkin ia mengira kenangan itu sangat membahagiakan baginya.
"Apa kau tahu siapa orang itu?"tanya Josh tiba-tiba seraya menoleh padaku. Membuatku terperangah.
"Tidak,"sahutku gugup."Aku tidak tahu. Kita tidak terlalu dekat,"tandasku terbata.
"Oh, maafkan aku,"ucap Josh. Ia tampak sedikit kecewa mendengar pengakuanku.
"Maaf Josh, aku harus pergi sekarang,"pamitku tergesa.
Aku meninggalkan tempat itu tanpa menoleh ke belakang. Bermacam pikiran berkecamuk dibenakku usai pertemuan kami.
Josh melupakanku. Karena aku adalah kenangan terpahit dalam hidupnya. Bukankah itu lebih baik ketimbang ia mengingat seseorang yang selalu melukai perasaannya.
Tapi perasaanmulah yang terluka sekarang, Sarah.....

$$$$$$$$

Josh???
Aku terperangah menemukan sosok Josh berdiri kaku didepan pintu rumahku. Aku masih ingat dulu aku yang berdiri disana dan Josh berada di posisiku sekarang. Lantas kami berdebat sesudahnya.
"Maaf jika malam-malam begini aku datang kesini,"ucapnya lebih dulu."Kebetulan aku lewat daerah disekitar sini dan tiba-tiba saja aku teringat rumah ini. Aku baru tahu jika ini adalah rumahmu. Apa aku boleh masuk?"
Aku terhenyak dan menghempaskan lamunanku jauh-jauh.
Aku mempersilakan laki-laki itu masuk kedalam rumahku. Tapi tampaknya ia tidak mau duduk di ruang tamuku. Sepertinya ia mulai mengenali sesuatu dari rumah ini. Laki-laki itu mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling ruangan seolah ingin menggali ingatan masa lalunya di tempat ini.
"Kau mau minum sesuatu?"tawarku berusaha mengalihkan perhatian Josh. Namun tampaknya gagal.
"Tidak,"tolaknya cepat."Aku seperti tidak asing dengan tempat ini. Apa aku pernah berkunjung kesini sebelumnya?"toleh Josh padaku.
Aku gugup. Apa ia menemukan seraut wajah pucat pada diriku?
"Sekali. Ya, kau pernah datang kesini sekali,"sahutku ngawur. Akan tidak masuk akal jika ia tidak pernah datang kesini namun ia dapat mengenali sesuatu di tempat ini.
"Benarkah?"gumam Josh terdengar ragu. Laki-laki itu melangkah lebih jauh masuk kedalam dapurku. Membuat hatiku bertambah cemas.Aku takut pada perasaanku sendiri.
"Aneh,"gumam Josh lagi. Tangannya mulai bergerak diatas meja makan dan benda-benda didapur tidak luput dari sentuhan tangannya.
"Kenapa aku merasa sangat mengenali benda-benda disini?"ia bergumam kembali.
Aku tak menyahut dan hanya tertegun didekat meja makan. Mengendalikan rasa cemas yang terus merayap ke sekujur tubuhku. Apa ia sudah mulai mengingat sesuatu.
Josh melangkah kembali. Kali ini mendekat ke kulkas milikku. Dan sepertinya ia tahu aku sangat mencemaskan benda itu. Josh meraih pegangan kulkas itu perlahan dan membukanya.
Oh Tuhan! pekikku dalam hati. Aku gemetar dan nyaris roboh saat Josh berbalik menatapku usai mengintip isi kulkas.
Aneka macam biskuit bersarang didalam sana!
"Kau??"Josh menatapku dengan tatapan aneh."Jadi kau gadis biskuit itu?"
Aku tak bisa berkelit lagi. Josh telah menemukan bukti-buktinya. Memaksaku menundukkan wajahku kelantai.
"Kenapa kau tidak berterus terang sejak awal?"desaknya menghampiriku."Kau adalah seseorang spesial itu. Tapi kenapa kau diam?"
Aku tak bisa berkata-kata. Sepertinya ada sebuah kunci yang menutup mulutku rapat-rapat. Hanya kedua mataku yang mendadak basah.
"Aku ingat sekarang!"seru Josh menyentak kegelisahanku. Laki-laki itu mencekal kedua bahuku kemudian.
"Sarah...."ia menyebut namaku."Apa kau membenciku?"desaknya seraya mengguncang bahuku kuat-kuat.
Aku menggeleng perlahan.
"Tapi kenapa kau...."ia menggantung kalimatnya lantas mendesah panjang."Harusnya aku tidak memperlakukanmu seperti ini. Maafkan aku,"tandasnya kemudian.
Josh melepaskan tangannya dari kedua bahuku. Ia paling tidak tega menyakitiku.
Laki-laki itu mendesah berat, seperti ingin melepaskan beban yang mendera pundaknya.
"Kenangan masa lalu pasti sangat pahit buatmu,"ia bergumam sangat pelan. Nyaris tak terdengar oleh telingaku.
Aku tak berani menoleh untuk menatap wajah Josh. Aku tidak tahu apa yang mesti aku katakan atau perbuat.
"Sarah....."
Aku menoleh dengan gerak refleks saat ia memanggil namaku.
"Maaf atas semua yang telah terjadi....."
"Josh...."

$$$$$$$$

Dua bulan kemudian.....
"Josh!!!!!!"
Laki-laki itu tergopoh-gopoh menghampiri tempatku berdiri. Sebuah celemek berwarna merah muda masih melekat ditubuhnya. Sedang tangan kanannya menggenggam sebuah spatula.
"Ada apa?"tanyanya sigap.
"Kenapa kulkasku penuh dengan biskuit?"tanyaku dengan mata melotot. Seolah ingin menghakiminya.
"Kenapa? Bukankah kau paling suka makan biskuit?"ia malah balik tanya padaku.
"Tidak. Sekarang aku benci biskuit. Kau tahu berapa banyak kalori yang terkandung dalam makanan itu? Apa kau ingin melihatku gemuk dan jelek?"cecarku cerewet.
"Tapi aku suka biskuit, sayang,"sahutnya."Kau tahu, biarpun kau gemuk aku akan selalu mencintaimu."
"Singkirkan tanganmu Josh,"suruhku saat tangan Josh hendak menyentuh pipiku."Apa kau tidak mencium sesuatu yang terbakar?"
"Astaga!"pekik Josh seraya berlari terbirit-birit kedapur.
Aku tak bisa menahan tawa melihat tingkahnya. Pasti daging yang ia masak sudah hangus sekarang.
Yeah, kami telah berdamai semenjak hari itu dan sepakat memulai semua dari awal lagi. Dan kami bahagia.
Terima kasih Josh....
Untuk segalanya. Untuk cinta yang kau berikan untukku. Juga untuk mengajariku mengerti bahwa cinta bukan sesuatu yang tidak mungkin untuk dipelajari....

Senin, 12 Agustus 2013

MY STEP MOTHER


Ayah dan ibuku bercerai. Tepatnya akhir musim gugur dua tahun lalu.
Ibuku kabur meninggalkan kami hanya demi seorang laki-laki yang umurnya jauh dibawah ibuku. Aku tidak mengerti apa sebenarnya apa yang ibu pikirkan saat itu.
Ia bahkan mencampakkanku, putri kandungnya sendiri.
Dan aku sangat membenci ibuku.......
Pada suatu siang ayah menyambutku di ruang tamu. Hal yang benar-benar tak pernah ia lakukan semenjak bercerai. Ia selalu menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Mungkin untuk melarikan diri persoalan yang tengah membebani pikirannya.
Disamping ayah tampak seorang wanita seumuran ibu berdiri kaku. Ia mencoba mengulas senyum manis dibibirnya.
Aku hendak bertanya siapa wanita itu, namun ayah telah lebih dulu mengutarakan maksudnya.
"Ayah akan menikahinya..."ungkap ayah setengah ragu. Ia tampak menatap lurus ke arahku. Pandangannya penuh kecemasan.
Aku diam ditempat. Aku shock berat. Aku tidak menduga ayah akan secepat ini menemukan pengganti ibu. Setahuku ayah tidak sedang dekat dengan wanita manapun juga. Namun tiba-tiba ia datang dan membawakanku seorang calon ibu baru.
"Aku tidak siap punya ibu baru,"tandasku beberapa saat kemudian.
"Hannah...."tegur ayah seraya menyentuh bahuku."Ayah tahu ini agak sulit untukmu, tapi ayah benar-benar mencintainya. Dia wanita yang baik dan ayah rasa dia bisa mengurus kita berdua,"urai ayah tentang wanita itu.
Aku berpikir sejenak sebelum memutuskan pendapat.
Memang ini agak sulit buatku. Terlebih aku masih sedikit trauma dengan perceraian ayah.
"Terserah ayah,"putusku kemudian. Aku hendak melangkah meninggalkan tempatku berdiri.
"Tapi dia tuna rungu,"seru ayah spontan membuat kepalaku menoleh ke arahnya.
Aku tertegun menatap ayah lantas ke arah wanita itu.
Sekilas tidak ada yang tampak janggal dengan wanita itu. Ia tampak sempurna dan cantik. Bahkan ia lebih cantik ketimbang ibu kandungku. Senyumnya juga manis.
"Apa?"aku mendelikkan mataku kepada ayah.
"Ya sayang, dia tuna rungu,"tutur ayah lebih meyakinkanku.
"Kenapa ayah memilih dia sebagai istri? Bukankah masih banyak wanita diluar sana yang lebih sempurna?"aku meninggikan nada suaraku. Toh wanita itu tidak bisa mendengar suaraku.
"Tapi tidak ada yang sebaik hatinya, Hannah. Ayah mohon mengertilah,"pinta ayah. Sepasang matanya bersinar redup namun penuh harap kepadaku.
"Tapi Hannah tidak suka punya ibu yang tuna rungu,"teriakku sembari berlari menaiki tangga menuju ke lantai atas.
"Hannah!"
Teriakan ayah tidak kuhiraukan. Aku membanting pintu kamarku keras-keras sebagai bentuk ketidaksetujuanku.

########

Pernikahan ayah dilaksanakan bertepatan dengan tahun baru. Sebuah resepsi sederhana yang hanya dihadiri oleh rekan-rekan kerja ayah dan juga kerabat keluarga kami.
Semua orang tampak menyambut gembira pernikahan mereka. Kecuali aku.
Aku lebih memilih menyembunyikan diri didalam kamar ketimbang duduk berkumpul diruang tengah bersama mereka.
Aku membunyikan musik rock keras-keras di ear phoneku sembari melamun keluar jendela. Memainkan angan-anganku diatas hamparan salju yang turun semalam.
Saat ini teman-temanku pasti sedang bergembira menikmati libur tahun baru. Berseluncur diatas salju pasti akan sangat menyenangkan, batinku seraya membayangkannya.
Aku masih ingat, ketika umurku tujuh tahun kami pernah pergi liburan bersama ke sebuah resort ski. Ayah menggenggam tangan kiriku, sementara ibu menggenggam tangan kananku. Menjagaku agar tidak jatuh saat berseluncur.
Kenangan itu masih tersimpan rapi di benakku. Tapi tidak bagi ayah dan ibu. Mereka telah menghapus memori itu dari ingatan mereka. Bahkan mereka tidak mempedulikan perasaanku dan hanya memikirkan kebahagiaan mereka sendiri.
Ah, musim dingin kali ini adalah musim dingin paling menyedihkan dalam hidupku.

########

"Hannah, kau mau pergi?"sapa ayah saat melihatku menuruni anak tangga.
"Aku bosan dirumah, Yah,"sahutku usai menoleh sekilas ke arahnya.
"Makan dulu sayang,"suruh ayah."Ibumu sudah menyiapkan sarapan untukmu. Bukankah kau suka omelet sosis?"ayah menghadang langkahku dibawah tangga.
"Aku tidak lapar,"ucapku enggan. Bola mataku bergerak kesana kemari menghindari tatapan mata ayah.
"Hannah, ayah tahu sulit untuk menerimanya sebagai ibumu. Tapi paling tidak beri dia kesempatan untuk membuktikan jika dia layak menjadi ibumu."
Ayah menyentuh ujung pundakku.
"Lebih baik aku mati daripada punya ibu tuna rungu seperti dia,"gumamku penuh amarah.
"Hannah!!"ayah berteriak kencang seraya melayangkan sebuah tamparan keras ke wajahku. Tampaknya kata-kataku cukup untuk meledakkan emosi dalam hatinya.
Aku meringis kesakitan. Dan tiba-tiba wanita itu datang tergopoh-gopoh dari arah dapur. Ia segera memegangi lengan ayah -ldengan maksud agar tak lagi menyakitiku. Suaranya terdengar terbata tak jelas sama sekali. Sementara tangannya bergerak-gerak memberi isyarat.
"Ayah tidak suka kau bicara kasar seperti itu,"ucap ayah setelah emosinya sedikit mereda.
"Terserah,"tandasku cepat. Aku menerobos keluar setelah kejadian itu. Aku berkumpul bersama teman-temanku di arena bowling sampai sore tiba.

########

Aku menggerutu sepanjang jalan.
Ayah menyuruhku untuk menemani wanita itu untuk berbelanja di supermarket didekat rumah kami. Selain karena wanita itu belum tahu daerah ini juga untuk mendekatkan hubungan diantara kami. Ayah memang pandai dalam hal ini.
"Kau masuk saja, biar aku menunggu diluar,"ucapku pada wanita itu saat kami telah sampai didepan pintu supermarket.
Aku takut ada temanku yang memergokiku sedang menemani ibu tiriku yang tuna rungu berbelanja di supemarket.
Namun wanita itu menolak. Ia bersikeras menyuruhku untuk ikut masuk kedalam dengan menarik-narik ujung lengan mantelku.
"Apa susahnya berbelanja sendiri?"bentakku kasar.
Wanita itu menggerakkan tanganya. Sebuah bahasa isyarat yang tak ku mengerti. Tapi aku menyimpulkan ia sedang memohon padaku.
"Baiklah,"sahutku kemudian. Dengan hati kesal dan terpaksa akhirnya aku memenuhi permintaannya untuk ikut masuk bersamanya. Namun aku bersikap waspada jikalau aku mengenal seseorang disana aku harus segera menghindar dan bersembunyi.
Aku mengikuti langkah wanita itu ke tempat makanan dan minuman. Ia menawariku ini dan itu. Seolah-olah semua yang ia beli harus dengan persetujuan dariku.
"Ambil saja semua yang kau suka,"gerutuku sewot. Jika ia bisa bicara pasti ia sangat cerewet,batinku.
Rupanya wanita itu sangat teliti dalam memilih bahan makanan. Ia memeriksa semua makanan itu dengan baik dan tak lupa mengecek tanggal kedaluwarsa pada kemasannya.
Tak sepertiku yang biasanya langsung comot tanpa memeriksanya terlebih dulu. Jika begini kegiatan berbelanjapun pasti akan memakan waktu berjam-jam.
Sabar Hannah,ucapku pada diri sendiri. Ini akan menjadi pengalaman yang pertama dan terakhir dalam hidupmu.
"Hannah!"
Oh tidak! Kumohon jangan sekarang,batinku.
"Kau sedang berbelanja juga?"tegur Stephany. Gadis berambut pirang itu tampak menatap aneh ke arahku."Siapa dia?Apa dia ibu tirimu?"
Aku menghela nafas mendengar pertanyaannya. Aku sudah menduga ia akan bertanya seperti ini.
Hubungan kami tidak begitu baik di sekolah. Karena aku tidak begitu menyukai gadis populer seperti dia.
"Dia istri baru ayahku,"sahutku tak begitu keras."Maaf aku buru-buru. Sampai jumpa disekolah."
Aku menarik tangan wanita itu buru-buru dan pergi dari hadapan Stephany secepat mungkin sebelum ia bertanya lebih banyak lagi padaku.
Menyusahkan saja.

########

"Kenapa kau buru-buru pergi waktu itu?"
Teguran Stephany terdengar dari balik pintu loker milikku.
Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah setelah liburan musim dingin. Dan tampaknya ia punya sebuah maksud tersembunyi padaku.
Aku menutup pintu lokerku tanpa mempedulikan pertanyaan Stephany.
"Apa jangan-jangan gosip tentang ibu tirimu benar, bahwa dia seorang tuna rungu,"sindir gadis pirang itu dengan nada pedas.Lantas ia memanggil teman-teman yang kebetulan berada di area loker. Dan dengan lantang mengumumkan kepada mereka bahwa ibu tiriku seorang tuna rungu.
"Teman-teman, ternyata gosip tentang ibu tiri Hannah benar. Ibunya tuna rungu alias bisu tuli!"
Stephany meledakkan tawa sinisnya usai mengatakan tentang ibu tiriku. Beberapa siswa dan siswi yang mendengar ucapan Stephany tampak tersenyum dan mereka saling berbisik satu sama lain.
Darahku mendidih mendengar olok-olok Stephany. Gadis itu memang suka sekali membuat perpecahan dikelas kami. Dan kini giliranku yang dilecehkan olehnya.
Aku bergerak mendekat seraya melototkan mataku ke arahnya. Penuh dendam dan amarah.
"Memang apa hubungannya denganmu?"balasku dengan nada yang tak kalah sinis."Apa itu sangat mengganggu buatmu?"
"Tentu saja itu sangat mengganggu,"sahutnya."Karena punya ibu tuna rungu sangat memalukan. Kau dengar itu?"
Aku sudah tak bisa mengendalikan luapan emosi yang meledak-ledak didalam dadaku begitu mendengar ucapan Stephany. Aku berangsur maju seraya melayangkan kepalan tinjuku ke wajahnya dengan sekuat tenaga.
Stephany jatuh tersungkur. Hidungnya seketika mengeluarkan darah segar. Namun aku tak berhenti sampai disitu. Aku terus maju dan menghajarnya habis-habisan dengan sisa-sisa tenagaku.
Beberapa siswa yang melihat kejadian itu segera melerai.
Mereka memegangi tanganku agar tidak melanjutkan aksi brutalku pada Stephany. Aku puas sudah menghajar gadis itu sampai babak belur meski aku sadar perbuatanku melanggar aturan dan aku pasti akan mendapatkan sanksi nantinya.

########

"Apa kau ingin menjadi seorang jagoan?!"bentak ayah lantang dan penuh amarah."Kau seorang perempuan, Hannah. Tidak seharusnya kau berkelahi seperti seorang laki-laki. Apa ayah pernah mengajarimu berbuat seperti itu? Katakan Hannah!"ayah berteriak seraya menggebrak meja ruang tamu.
"Bukan aku yang memulainya, Yah,"aku mencoba membela diri."Stephany yang memulai semua itu."
"Jadi kau melimpahkan semua kesalahan pada Stephany?"tegur ayah tak sabar."Siapa yang memulai memukul duluan? Kau atau Stephany?"desak ayah memojokkanku.
Aku terdiam. Terpojok dan tidak berkutik.
"Andai saja kau lebih bisa menahan emosi,semua ini tidak akan terjadi. Ayah sungguh menyayangkan perbuatanmu,"sesal ayah kemudian.
"Semua ini tidak akan terjadi andai ayah tidak menikahi wanita tuna rungu itu,"timpalku setengah bergumam.
Ayah nampak tersentak dengan ucapanku. Ia langsung melotot kepadaku.
"Hannah,"ucap ayah menekan perasaannya sendiri."Apa kau pernah berpikir, bahwa tidak ada satupun manusia yang ingin terlahir dengan kekurangan. Semua ingin lahir dengan sempurna, termasuk dirinya. Tapi Tuhan telah menggariskan takdirnya. Apa yang bisa diperbuatnya? Tidak ada. Kecuali menerima kekurangannya dengan besar hati. Dan ayah mencintainya dengan apapun segala kekurangannya,"tutur ayah panjang.
"Tapi aku tetap tidak suka dia menjadi ibuku,"tegasku sembari bangkit dari kursi.
Aku melangkah meninggalkan ruang tamu tanpa basa-basi.
"Hannah, kau tidak boleh keluar selama seminggu ini!"teriak ayah membuat ku benci.
Aku diskors selama seminggu dan ayah melarangku keluar rumah selama aku dihukum. Yang benar saja.

########

Akhirnya kembali ke rumah setelah tiga pekan tinggal di asrama.
Atas perbuatan burukku kala itu, ayah memasukkanku ke sekolah lain dan memaksaku tinggal di asrama.
Tidak terlalu buruk juga. Aku tidak lagi bertemu dengan si pirang Stephany dan juga wanita tuna rungu itu. Aku merasa punya sedikit kebebasan dan lebih mandiri. Mungkin inilah yang disebut proses menuju dewasa yang sesungguhnya.
Akhir pekan ini aku menyempatkan diri untuk pulang kerumah guna mengambil sesuatu. Tapi aku merasa ada sedikit keanehan manakala mendapati rumah sepi. Sepertinya tidak ada seorangpun di rumah.
"Ayah....."
Aku memanggil nama ayah namun tak ada sahutan. Bahkan wanita itu juga tidak nampak. Apa mereka sedang pergi berlibur?
"Hannah..."
Aku mendengar seseorang menyapa namaku. Nyonya Rose, tetangga sebelah rumah kami telah berdiri di belakangku.
"Apa ayahku menitipkan kunci rumah pada Anda?"tanyaku sopan.
"Tidak. Dia hanya berpesan jika kau pulang, kau disuruh ke rumah sakit,"beritahunya.
"Ayah sakit?"tanyaku heran.
Ia menggeleng.
"Bukan dia yang sakit, tapi ibumu."
Aku tertegun mendengar penuturan Nyonya Rose. Wanita itu sedang sakit?batinku gusar.
"Terima kasih Nyonya. Aku pergi dulu,"pamitku tergesa.
"Hati-hati Hannah,"serunya.
Entah kenapa aku punya firasat buruk tentang ini.

########

Mataku sibuk mengawasi wanita paruh baya yang sedang terbaring lemah diatas tempat tidur. Ibu tiriku. Wanita tuna rungu yang sangat kubenci karenna ayah telah menjadikannya sebagai istri.
"Kau datang?"sapa ayah didekatku. Aku menoleh sekilas dan mengangguk kecil.
"Dia sakit apa?"gumamku tak begitu jelas.
"Kanker rahim,"balas ayah sembari bergumam juga.
Aku tercekat mendengar jawaban ayah. Aku nyaris tak mempercayai ucapan ayah. Selama ini wanita itu tampak baik-baik saja.
"Dia menyuruh ayah untuk memberikan ini padamu,"ucap ayah lagi. Tangannya menyodorkan sesuatu ke arahku.
Sebuah cd terbaru milik Adam Lambert? Rupanya wanita itu tahu penyanyi favoritku? Bahkan ia telah membelikan cd terbaru untukku.
Padahal ayah saja tidak tahu kegemaranku. Tapi wanita itu tahu.
"Apa dia akan bertahan?"tanyaku pelan.
"Ayah harap demikian,"sambung ayah penuh harapan.
Aku tertunduk menyembunyikan kegelisahan di wajahku. Terbayang semua perbuatan burukku pada wanita itu. Aku telah memperlakukannya dengan sangat jahat. Aku kejam pada wanita yang lemah itu. Padahal hatinya sangat baik. Kenapa aku tidak pernah menyadari bahwa Tuhan telah mengirimkan seorang malaikat melalui dirinya.
"Kau menyesali semuanya?"tegur ayah kemudian.
"Ya,"sahutku pendek.
Aku ingin wanita itu sembuh. Karena aku ingin memperbaiki semua kelakuanku. Aku juga ingin memanggilnya dengan sebutan ibu.
(Bodohnya diriku. Bahkan nama wanita itupun aku tak tahu...... )