Kamis, 09 Oktober 2014

PERJODOHAN ROMANTIS


Maura masih tak bergerak. Gadis berseragam putih abu-abu itu bahkan tidak ingin menyentuh benda-benda dihadapannya. Koleksi novel terbaru yang terpajang rapi didalam rak toko buku. Padahal dirinyalah yang mengusulkan pada Radit untuk mampir di toko buku sepulang sekolah. Tapi entah kenapa tiba-tiba saja gadis itu malah tidak bersemangat untuk mencari novel kesukaannya.
Maura menatap ke seberang. Pada cowok yang tengah sibuk melihat-lihat majalah otomotif. Seperti ada sesuatu yang ia lamunkan tentangnya. Cowok berkulit putih dan berpostur tinggi. Wajahnya lumayan tampan. Nyaris sempurna. Dialah Radit. Kekasih Maura.
Sebenarnya bukan keinginan Radit atau Maura sendiri mereka berpacaran seperti sekarang. Tapi karena mereka telah dijodohkan. Tepatnya semenjak tiga bulan yang lalu.
Kakek Radit dan Maura adalah sahabat baik sejak kecil. Saking baiknya hubungan mereka berdua, sampai-sampai suatu hari mereka sepakat untuk menjodohkan putra putri mereka kelak. Tapi sayangnya anak-anak mereka berjenis kelamin sama.Mereka terlahir sebagai laki-laki. Maka perjodohan itu batal terlaksana. Tapi rupanya mereka telah menyiapkan rencana cadangan. Yakni mereka sepakat untuk menjodohkan cucu-cucu mereka.
Hasilnya Maura dan Radit-lah korban dari kesepakatan yang sempat gagal itu. Tapi bukannya menentang, Maura malah menerima kesepakatan itu begitu saja. Tanpa syarat.
Alasannya?
Sejak pertama melihat Radit, Maura merasa langsung jatuh hati pada cowok itu. Selain penampilannya yang kalem dan tampak baik itu, ternyata Radit bersekolah di sekolah yang sama dengan Maura. Reputasi Radit di sekolah juga baik. Meski tak begitu populer dan prestasinya juga tidak menonjol, Radit termasuk siswa yang bersih. Tidak terlibat dengan kasus-kasus yang sering dialami siswa lain. Semisal bolos atau tawuran. Itulah kenapa Maura merasa Radit adalah cowok yang sesuai dengan tipenya.
Raditpun tampaknya menerima perjodohan itu tanpa pertentangan. Tapi Maura tidak tahu alasannya sama sekali tentang itu.

Kembali ke toko buku....
Maura masih menatap ke arah Radit. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan cowok itu. Ia baik. Dan ia juga melakukan perannya sebagai pacar Maura. Mengantar jemput gadis itu ke sekolah atau kemana Maura ingin. Saat akhir pekan Radit juga kerap mengajak Maura jalan-jalan atau nonton bioskop. Tapi permasalahannya Radit melakukan semua itu seolah seperti sebuah kewajiban terhadap Maura. Tanpa ada perasaan gembira atau menikmati semua yang mereka lak
ukan berdua. Saat Radit mengajak Maura makan, bahkan nyaris tak ada obrolan sama sekali diantara keduanya. Radit hanya akan bicara jika Maura yang bertanya atau jika ia ingin mengajak Maura pulang.
Dan saat usai menonton film, tak ada pembahasan sama sekali tentang film yang baru saja mereka tonton. Dan yang lebih parah lagi, saat menonton film komedi sekalipun, Radit bahkan tidak tersenyum apalagi tertawa.
Cowok itu begitu dingin dan datar. Seolah tak punya ekspresi untuk menunjukkan suasana hatinya. Ia pendiam dan cenderung misterius. Maura tidak tahu apa yang cowok itu pikirkan saat mereka menghabiskan waktu bersama-sama.
Namun Maura pernah melihat Radit berkumpul bersama teman-temannya di sekolah. Maura melihat perbedaan yang mencolok dalam diri cowok itu. Radit yang selalu dingin berubah menjadi pribadi yang hangat dan menyenangkan. Bahkan ia sanggup tertawa lepas dan bercanda seperti manusia biasa lainnya.
Maura hampir-hampir tak mengenali Radit saat itu. Radit yang berada di ujung matanya dan Radit yang setiap hari menjemputnya kesekolah seperti dua pribadi yang berbeda jauh. Apa Radit bersikap sedingin itu hanya saat bersama Maura saja? Karena ia tak menyukai Maura?
Sebenarnya seperti apa pribadi Radit yang sebenarnya? Kenapa ia menjadi pribadi yang lain saat bersama Maura?
"Udah ketemu bukunya?"
Maura tergagap saat dipergoki oleh teguran Radit. Ia tidak menyangka jika Radit akan mengoyak lamunannya dengan cara seperti itu.
"Udah,"sahut Maura cepat. Gadis itu buru-buru menyambar sebuah novel persis dihadapannya dengan kecepatan super.
"Yuk pulang,"ajak Radit kemudian. Cowok itu bergegas melangkah menuju ke meja kasir.
Sementara Maura masih tegak di tempatnya berdiri. Ia baru menyadari kelakuan bodoh yang baru saja ia lakukan. Mengambil novel secara acak karena gugup adalah sebuah kesalahan terbodoh yang pernah ia lakukan.
Bagaimana tidak, Maura mengambil novel yang salah. Tidak seharusnya ia mengambil novel detective dihadapannya, tapi harusnya ia mengambil novel disebelahnya. Novel remaja bertema cinta.
Hufft.
Gadis itu buru-buru mengejar langkah Radit ke kasir.....

Mata pelajaran terakhir dibatalkan karena gurunya sedang sakit. Bagi para siswa ini adalah sebuah anugerah terindah karena mereka bisa bolos sekolah. Tapi ini sebuah dilema bagi Maura. Gadis itu bingung. Apa ia harus pulang kerumah sekarang ataukah ia akan rela menunggu selama dua jam sampai kelas Radit usai. Tapi jika ia harus menunggu Radit selama itu, apa ia tidak akan tampak seperti orang tolol?
"Nggak pulang Ra?"tegur Poppy, sahabat Maura yang kebetulan sebangku dan satu geng dengannya. Tampaknya Poppy melihat kebimbangan itu karena Maura masih belum beranjak dari bangkunya.
"Ya, aku juga mau pulang nih,"sahut Maura. Ia pura-pura sibuk mengemasi buku-bukunya.
"Tapi kok kayaknya males gitu,"celutuk Poppy."Jalan-jalan yuk,"ajak Poppy kemudian.
"Kemana?"tanya Maura ogah-ogahan.
"Ke mal. Aku dengar Afgan mau tampil di acara musik live. Bukannya kamu suka banget sama dia?""rayu Poppy semanis mungkin.
"Yang bener?"tanya Maura tampak antusias.Binar matanya mulai cerah bercahaya."Tapi gimana kalau Radit nyariin?"Tanya Maura ragu.
"Emang kamu mau nungguin dia selama dua jam? Udah, sms aja dia. Bilang kalau kamu pulang duluan. Beres kan?"timpal Poppy memberi solusi.
Poppy benar, batin Maura. Gadis itu buru-buru mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Tapi sebelum ia sempat mengirim sms untuk Radit, Poppy telah menyeret tangannya keluar dari kelas.
Mungkin tak apa tak memberi tahu Radit, ia pasti tahu jika kelas Maura telah usai tanpa mata pelajaran terakhir, batin Maura.
Gadis itu baru menyadari, tiga bulan bersama Radit tidak cukup menyenangkan buatnya. Bahkan gara-gara perjodohan itu, Maura nyaris kehilangan kebersamaannya bersama Poppy. Persahabatan yang telah mereka jalin selama dua tahun ini sedikit merenggang karenanya. Dan pergi bersama Poppy seperti ini telah mengembalikan diri Maura kembali seperti tiga bulan lalu. Bebas lepas dan gembira. Itulah yang Maura rasakan. Berbeda sekali saat ia bersama Radit.
Maura dan Poppy menonton acara musik di mal sepulang sekolah hingga sore. Baru mereka pulang kerumah setelah berburu kuliner siomay Bandung dan spagheti favorit Maura.

Maura menggigit ujung pensilnya. Seperti biasa saat ia melamun atau bingung memikirkan sesuatu. Padahal soal nomor satu belum ia selesaikan tapi pikirannya sudah pergi mengembara entah ke dimensi dunia mana.
Maura mengira Radit akan menginterogasinya pagi ini atas peristiwa kemarin. Bahwa Maura pulang duluan tanpa mengirim sms atau meneleponnya. Bahkan Radit sama sekali tidak bertanya apapun pada Maura . Cowok itu menjemput Maura seperti biasa.Tanpa percakapan sama sekali.
Apa mungkin Radit sudah tahu jika Maura pulang duluan karena mata pelajaran terakhir kosong? Tapi kenapa ia tidak bertanya apapun? Paling tidak ia harus bertanya pada Maura, kenapa tidak memberi kabar jika pulang duluan. Atau jika perlu, Radit sedikit memarahi Maura atas masalah kecil itu. Nyatanya tidak.Radit sama sekali bereaksi apapun.
Yang Maura inginkan hanyalah perhatian dari Radit, meski itu hanya sedikit. Atau paling tidak, ia harus tahu kabar Maura sekarang, sedang apa dan dimana. Tapi hal sekecil itupun tidak pernah ia lakukan. Pacar macam apa itu?
Oh, Maura lupa. Status mereka kan hanya sebatas formalitas saja. Tanpa arti sama sekali bagi Radit. Pasti seperti itu. Karena Radit sama sekali tidak menyukai Maura. Maka dari itu ia bersikap pasif dan dingin seperti itu.
Baiklah jika seperti itu, batin Maura. Maura pun akan bersikap sama.Toh untuk apa berpura-pura menjalin hubungan jika sama sekali tak ada cinta untuk Maura. Kelak Maura sendiri yang akan terluka.Lagipula pernikahan yang dimulai dengan cara seperti itu tidak akan membuahkan rasa bahagia.
"Pop, ntar ke mal lagi yuk,"ucap Maura sesaat kemudian. Usai lamunannya berhenti.
Poppy yang sedang sibuk mengerjakan soal, menoleh ke arah sebelahnya dengan dahi berkerut.
"Mau ngapain? Kemarin kan udah,"sambung Poppy.
"Aku pingin shopping nih,"ucap Maura beralasan.
"Kan ada Radit? Kenapa nggak minta diantar dia?"
"Nggak enak belanja bareng cowok. Lagian kita kan udah lama nggak shopping bareng,"sahut Maura.
"Boleh juga. Tapi gimana dengan Radit? Emang dia nggak marah?"
Maura menggeleng.
"Oke deh, tapi kamu harus nraktir aku di Hokben. Setuju?"
Hufft....gerutu Maura. Belum-belum sudah ditodong traktiran, batinnya.
"Ya deh,"sahut Maura pasrah.
"Asyik,"seru Poppy kegirangan.

Lagi-lagi Radit bersikap sama. Pasif.
Cowok itu seperti sengaja membiarkan Maura pulang sekolah duluan tanpa memberi kabar pada Radit. Ia tidak marah,bahkan bertanyapun tidak ia lakukan.
Maura jenuh atas sikap acuh Radit. Gadis itu merasa kecewa berat pada cowok itu. Radit benar-benar tidak peduli padanya. Ia baru berpikir jika perjodohan mereka adalah sebuah kesalahan fatal.
Maura ingin berhenti. Ia ingin mengakhiiri semua sebelum terluka lebih dalam lagi. Tak ada gunanya mempertahankan hubungan yang tidak dilandasi rasa cinta sama sekali.
Maura mulai menjaga jarak dengan Radit mulai saat itu. Bahkan ia selalu kabur setiap pulang sekolah, meski setiap pagi Radit masih rutin menjemputnya. Maura sering pergi jalan-jalan bersama teman-temannya, entah itu ke mal, berburu makanan enak , kebioskop atau nonton konser musik.
Maura lebih menikmati hidupnya sekarang. Ketimbang bersama Radit. Ia bisa bergembira, tertawa sepuasnya tanpa perlu merasa terbebani oleh keberadaan Radit. Namun kegembiraan itu akhirnya terkoyak juga.
Saat itu hari telah menggelap. Maura baru saja tiba dirumah. Dan ia langsung disambut kemarahan ayahnya.
"Darimana?"hardik ayahnya.Tampaknya ia siap melancarkan kemarahannya pada Maura.
"Dari jalan-jalan bareng teman,"sahut Maura sedikit takut.
"Jalan-jalan?"ulang ayahnya sambil mengerutkan kening. "Kamu tahu, Radit nungguin kamu seharian ini. Tapi kamu malah nggak pulang-pulang. Mau kamu apa sebenarnya?"bentaknya kemudian.
"Radit kesini?" tanya Maura tak percaya.
"Iya, dia nungguin kamu,"tiba-tiba ibu Maura muncul dan menyela pembicaraan itu."Harusnya kamu nggak berbuat seperti itu. Apa kalian sedang bertengkar?"
Maura menggeleng pelan. Ia menjadi seperti orang linglung mendengar penuturan orang tuanya.
Radit datang kesini dan menungguku? batin Maura heran. Tidak biasanya ia berbuat seperti itu....

Pagi ini Radit juga mendiamkan kejadian kemarin. Maura dan Radit pergi kesekolah tanpa pembahasan sama sekali. Seperti biasa. Inilah yang membuat Maura semakin lama semakin muak pada cowok itu. Ia tak ubahya seperti patung yang tak punya perasaan.
Setidaknya ia bisa bertanya pada Maura pergi kemana ia kemarin. Tapi Radit tidak melakukannya. Ini benar-benar mengherankan Maura.
Sebenarnya hati Radit terbuat dari apa?
Saat istirahat tiba, Maura mengirimkan pesan singkat pada Radit agar menemuinya di belakang gedung lab kimia. Gadis itu ingin bicara empat mata dengan Radit.
"Aku ingin mengakhiri hubungan kita,"tandas Maura memulai perbincangan mereka.Langsung pada pokok pembahasan.
"Kenapa?" tanya Radit.Ia tampak kaget mendengar keputusan Maura.
Maura menghela nafas panjang. Cowok ini bego atau tolol sih, batinnya kesal. Harusnya ia bisa membaca situasi yang terjadi diantara mereka berdua.
"Karena kita nggak cocok,"sahut Maura datar. "Sebenarnya aku udah capek pacaran denganmu,"lanjut Maura lebih jelas.
Radit terdiam. Mungkin ia belum ingin menyela ucapan gadis dihadapannya.
Dan Maura pun melanjutkan kalimatnya karena Radit seolah memberinya kesempatan untuk mengungkapkann isi hatinya.
"Aku udah capek dengan semua ini. Kamu begitu dingin dan aku merasa menjadi seperti orang bodoh saat didekatmu. Kita nggak bicara dan kita nggak saling mencari tahu satu sama lain. Kita seperti dua orang asing bahkan saat berdua sekalipun.
Aku nggak tahu seperti apa dirimu yang sebenarnya. Kamu menjadi pribadi yang lain saat bersama teman-temanmu. Dan kamu menjadi seperti ini saat bersamaku. Mungkin itu karena kamu nggak nyaman bersamaku. Aku bisa mengerti itu,"tutur Maura panjang. Gadis itu menghela nafas sebelum melanjutkan kalimatnya.
"Aku nggak bisa hidup dengan orang yang nggak peduli denganku. Dan aku nggak mau bertahan lebih lama lagi. Aku ingin mengakhirinya sekarang juga sebelum melangkah lebih jauh lagi. Kamu juga menginginkan hal yang sama kan?"
Mata Maura tampak berkaca-kaca. Gadis itu tak bisa menyembunyikan kesedihan dan rasa kecewa yang selama ini dipendamnya. Tapi ia harus mengatakan semua itu pada Radit walau ia akan terluka sekalipun.
"Aku pernah terluka sebelum ini,"kali ini Radit mulai angkat bicara. Matanya menatap ke arah Maura. "Aku pernah dikhianati oleh gadis yang kucintai. Aku terluka dan aku menutup hatiku rapat-rapat sejak itu. Karena aku nggak mau terluka untuk yang kedua kalinya. Itulah kenapa aku bersikap dingin sama kamu. Karena aku takut jatuh cinta dan akhirnya terluka. Hatiku sangat rapuh, Ra. Kamu nggak tahu itu kan?"
Maura terhenyak mendengar penuturan Radit yang benar-benar mengejutkan dirinya itu. Benarkah seperti itu?
"Aku sempat membenci semua cewek, karena aku menganggap mereka semua sama. Tapi beberapa hari terakhir ini hatiku mulai goyah. Aku mulai cemas saat kamu selalu pulang duluan. Kupikir kamu udah menemukan cowok lain. Tapi akhirnya aku tahu kamu melakukan itu karena kamu kecewa sama aku. Aku minta maaf atas semua sikapku selama ini,"ucap Radit melanjutkan kalimatnya.
"Jadi sekarang kamu udah sadar kalau kamu udah menyakiti hatiku?" tanya Maura kesal.
"Aku minta maaf,"ulang Radit. "Aku nggak tahu kalau kamu akan terluka karena sikapku."
"Aku sayang kamu, Dit,"tandas Maura kemudian."Bahkan sejak pertama kita bertemu, aku udah suka sama kamu."
"Yang bener Ra?"tanya Radit ternganga. Tak percaya.
Maura mengangguk pelan.
"Tapi kenapa kamu mau dijodohkan denganku kalau kamu benci semua cewek? Bukankah kamu bilang takut terluka?"tanya Maura.
"Memang aku menyetujui perjodohan itu. Karena aku ingin membalas sakit hatiku. Mungkin dengan membuat seseorang menderita saat bersamaku aku akan merasa puas. Nyatanya nggak. Aku malah merasa bodoh setelah menyadari sesuatu."
"Sesuatu?"tanya Maura bingung.
"Ya,"sahut Radit. "Bukankah aku udah bilang kalau hatiku rapuh. Aku nggak bisa melihat seseorang di sampingku terluka karena sikapku."
"Harusnya kamu menyadari hal itu sejak dulu,"timpal Maura kesal.
"Kamu benar. Aku memang bodoh dalam hal ini. Maafkan aku. Aku nggak akan membuatmu merasa terabaikan lagi sekarang. Karena aku juga sayang kamu....."

Rabu, 08 Oktober 2014

GOODBYE ROMANCE (korean version)


"Jangan ditutup!!!"
Yoon Hee berteriak keras tepat disaat pintu gedung teater nyaris menutup. Gadis itu telah mencoba berlari sekencang mungkin agar bisa mengejar waktu. Tapi malangnya, ia terlambat meski hanya dua detik saja. Dan pintu gedung teater itu telah tertutup untuk selamanya.
"Paman, tolong buka pintunya,"seru Yoon Hee belum menyerah. Tangannya mengepal dan menggedor pintu gedung teater. Tapi tetap saja perbuatannya tidak bisa merubah apapun.
Gadis itu jatuh lemas ke atas lantai. Menangisi penyesalan.
"Semua sudah terlambat,"isaknya berlinang air mata."Aku tidak bisa melihat drama musikal itu..."gumamnya.
Padahal ia sangat menginginkan melihat drama musikal ini. Tapi semua sudah terlambat.
"Nona, apa yang sedang kau lakukan disini?"tegur seorang pria berpakaian rapi.
Yoon Hee menghentikan tangisnya dan mendongak untuk melihat siapa gerangan yang telah menegurnya.
"Anda bicara padaku?"tanya yoon Hee linglung.
Pria itu tersenyum.
"Tentu saja,"sahutnya segera."Memangnya ada orang lain lagi disini?"

********

Beberapa menit kemudian Yoon Hee dan pria itu telah berpindah tempat kesebuah coffee shop yang t
erletak di seberang jalan gedung teater.
"Jadi kau terlambat datang dan pintu gedung telah ditutup?"ulang pria itu setelah Yoon Hee menceritakan persoalan yang tengah dihadapinya.
"Begitulah,"sahut Yoon Hee seraya meneguk Americano hangat. Wajah gadis itu tanpa semangat sama sekali.
Pria itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tampaknya ia sangat paham akan apa yang menimpa gadis yang baru saja dikenalnya itu.
"Apa kau sangat ingin melihat drama musikal itu?"tanya pria itu lebih jauh.
"Hm,"sahut Yoon Hee seraya menganggukkan kepalanya.
"Kenapa?"lagi-lagi pria itu mengajukan pertanyaan.
"Karena aku sangat mengidolakan Kyu,"jawab Yoon Hee dengan sepasang mata berbinar cerah.
"Kyu Hyun?"tanya pria itu ingin memastikan.
"Iya, Kyu Hyun,"tegas Yoon Hee.
Namun pria itu malah mendelikkan matanya. Seperti meragukan pernyataan gadis dihadapannya.
"Apa kau tahu jika Kyu Hyun itu adalah artis paling tidak berbakat di Korea ini? Suaranya biasa saja, aktingnya juga jelek. Dan satu lagi dia kurang ekspresif saat menyanyi. Apa kau tahu itu?" pria itu menatap gadis dihadapannya lekat-lekat.
"Apa maksudmu?"Yoon Hee berseru sedikit keras. "Kau menjelek-jelekkan Kyu? Itu sama saja menjelek-jelekkanku. Lagipula Kyu tidak seburuk itu. Suaranya bagus. Lagu-lagunya juga bagus. Dia juga tampan. Memang apa yang kurang darinya?"tanya Yoon Hee ngotot.
"Hei, kenapa kau semarah itu?"sentak pria itu kesal."Kau seperti mengenalnya saja,"gerutunya.
"Aku memang mengenalnya,"sahut Yoon Hee cepat.
"Apa?!"pria itu kaget mendengar pengakuan gadis itu."Kau mengenal Kyu?"ulangnya ingin memastikan.
"Iya, aku mengenalnya. Dulu,"aku Yoon Hee. Tak sengotot tadi.
Pria itu terbahak.
"Jangan berbohong. Mana mungkin Kyu punya teman masa kecil sepertimu?"
"Terserah, kau mau percaya atau tidak...."
"Baik, baik. Aku percaya,"tukas pria itu. Mendadak ponsel pria itu berdering . Dan beberapa menit kemudian....
"Aku harus pergi sekarang,"pamit pria itu."Oh ya, jika suatu saat aku bertemu Kyu apa yang ingin kau katakan padanya?"
"Kau? Orang sepertimu mana mungkin bertemu Kyu,"ledek Yoon Hee sembari meledakkan tawanya.
"Heh, kau meragukanku?"tanya pria itu kesal. "Sudahlah, aku harus pergi sekarang. Mana nomor teleponmu?"
"Kenapa aku harus memberikan nomor teleponku padamu?"
"Jangan cerewet,"bentak pria itu seraya merebut ponsel Yoon Hee lantas ia menuliskan nomor ponselnya disana."Ini nomor teleponku. Jangan dihapus. Kau ingat itu?"
"Menyebalkan,"gerutu Yoon Hee. Pria itu meninggalkan coffee shop setelah mengembalikan ponsel Yoon Hee.

********

"Kyu!!"
Pria yang disebut namanya itu terperangah melihat orang yang memanggilnya didepan pintu.
"Kak Jung Ha!"pekik Kyu Hyun seraya menghambur ke arah pria yang dipanggilnya dengan sebutan kak Jung Ha. Ia memeluk pria itu dengan hati girang.
"Apa kabar Kak? Sudah lama kita tidak bertemu. Kemana saja kakak selama ini?"cecar Kyu Hyun tak sabar. Ia segera menyeret Jung Ha ke kursi.
"Kenapa? Kau merindukanku?"balas Jung Ha dengan nada datar.
"Ah kakak ini...."
"Aku baru saja keliling Eropa. Mencari pengalaman bisnis,"tutur Jung Ha."Oh ya, kudengar kau ikut drama musikal kemarin. Tapi sayang aku tidak sempat melihat."
"Baik. Semua berjalan lancar. Harusnya Kak Jung Ha melihatku kemarin. Mau kopi?"tawar Kyu Hyun seraya berjalan ke dapur.
"Boleh,"
Jung Ha adalah kakak kelas Kyu Hyun sewaktu mereka SMA. Mereka dekat dan menjalin hubungan baik hingga sekarang meski Kyu Hyun telah menjadi artis terkenal di Korea selatan.
"Apa kau punya teman masa kecil?"
Kyu Hyun menoleh. Lantas menggeleng.
"Aku tidak terlalu ingat dengan masa kecilku. Yang aku ingat saat berumur 12 tahun aku pindah ke Seoul. Tapi sebelum itu tidak ingat apa-apa. Kenapa Kak JungHa tiba-tiba bertanya seperti itu?" Kyu Hyun menyodorkan cangkir kopi kepada Jung Ha.
"Kemarin aku bertemu dengan seorang gadis. Dia bilang dia mengenalmu semasa kecil. Dan apa kau tahu, dia marah saat aku bilang kau artis paling tidak berbakat di Korea ini. Suaramu biasa-biasa saja, aktingmu buruk dan kau tidak ekspresif saat menyanyi,"tutur Jung Ha.
"Kak Jung Ha bilang seperti itu padanya?"protes Kyu Hyun dengan kedua mata melotot.
"Kenapa? Aku bicara benar kan?"Jung Ha balik tanya.
"Keterlaluan!"maki Kyu Hyun geram. Ia mencubit lengan Jung Ha sehingga membuat pria berusia 30 tahun itu menjerit kesakitan.
"Kau ini....."gerutu Jung Ha kesal. Ia mengelus-elus lengannya yang masih terasa sakit.
"Mungkin saja dia salah seorang fansku,"gumam Kyu Hyun kemudian. "Kakak sendiri tahu kan bagaimana ulah para fans. Mereka tidak segan-segan menguntit kemanapun idola mereka pergi. Menyusahkan saja,"keluh Kyu Hyun. Ia menyandarkan kepalanya ke atas pangkuan Jung Ha seperti anak kecil.
"Kau benar,"sahut Jung Ha dengan bergumam pula.
"Memang Kakak punya fans?"celutuk Kyu Hyun.
"Tentu saja,"balas Jung Ha pelan."Eh, aku punya nomor telepon gadis itu. Kau mau menghubunginya?"
"Untuk apa,"sahut Kyu Hyun malas.
"Kau tidak lapar? Bagaimana kalau kita pesan pizza? Tapi kau yang harus traktir,"
"Kakak yang lapar kenapa aku yang harus bayar?"protes Kyu Hyun bersungut-sungut.
"Kau kan artis, dan uangmu banyak,"
"Baiklah, baik....."

********

"Kau masih ingat padaku?"
Yoon Hee tertegun menatap pria di hadapannya.
"Kau adalah paman yang di gedung teater itu kan?"tebak Yoon Hee sekenanya.
"Apa aku tampak setua itu?"tanya pria itu seraya melototkan sepasang matanya."Panggil aku kakak. Kak Jung Ha. Itu namaku."
Beberapa menit yang lalu Jung Ha menelepon Yoon Hee dan minta bertemu. Kebetulan Yoon Hee baru saja keluar dari rumah sakit saat Jung Ha muncul.
"Aku Yoon Hee. Kim Yoon Hee,"tandas Yoon Hee menyebutkan nama dan marganya.
"Apa yang sedang kau lakukan disini? Kau sakit?"tanya Jung Ha. Sepertinya mereka lebih cepat akrab.
"Tidak, aku tidak sakit. Aku hanya menjenguk teman. Ya, menjenguk teman,"sahut Yoon Hee terbata."Kakak sendiri kenapa menghubungiku?"tanya Yoon Hee mengalihkan topik perbincangan.
"Aku bosan. Tidak ada yang bisa diajak bicara, lalu aku teringat padamu,"jawab Jung Ha seraya mengedipkan sebelah matanya.
Yoon Hee gelagapan. Apa maksud orang ini? batinnya.
"Apa kau tidak lapar? Bagaimana kalau kita mencari restoran sushi disekitar sini?"

*******

"Benar bukan kau yang sakit?"ulang Jung Ha saat ia dan Yoon Hee menikmati makan siang mereka.
"Apa?"Yoon Hee tersentak. "Tentu saja bukan. Apa aku tampak seperti orang sakit?"
Jung Ha menjawab pertanyaan Yoon Hee hanya dengan satu gelengan kepala.
"Oh ya, kemarin aku pergi kerumah Kyu Hyun. Aku bercerita sedikit tentangmu, tapi tampaknya dia tidak ingat sama sekali tentang masa kecilnya. Apa kamu benar-benar teman masa kecilnya?"tanya Jung Ha kemudian.
"Tentu saja,"sahut Yoon Hee cepat. Meski mulutnya penuh dengan makanan."Kami pernah berteman sewaktu kecil. Aku tidak tahu jika dia sudah melupakanku."
"Sebenarnya kenapa kau sangat ingin bertemu dengannya? Apa jangan-jangan kau ingin mendekatinya karena dia terkenal atau kau ingin ikut terkenal seperti dia?"tanya Jung Ha menebak-nebak.
"Apa aku tampak orang seperti itu?"
"Lantas?"pancing Jung Ha kemudian.
"Kurasa bukan hal yang penting,"tandas Yoo Hee pelan.
"Hei, bagaimana aku bisa membantumu jika kau tidak mau mengatakannya?"timpal Jung Ha tak sabar.
"Benarkah kau bisa membantuku?"tanya Yoon Hee tak percaya.
"Kau meragukan kemampuanku?"tanya Jung Ha kesal. Baru kali ini ada orang yang meragukan kemampuan Kim Jung Ha,batinnya kesal.
Yoon Hee nyengir.
Namun setelah berpikir sejenak akhirnya gadis itu mulai bercerita tentang masa kecilnya bersama Kyu Hyun.
"Kami berteman sejak kecil. Kami selalu bermain bersama-sama dan nyaris tak pernah terpisah. Saat musim dingin tiba kami akan membuat boneka salju dan menamainya dengan nama kami masing-masing. Dan saat musim semi datang kami berlarian dibawah pohon sakura dibelakang sekolah. Bahkan saat aku diganggu anjing tetangga, Kyu-lah yang mengusir anjing itu. Kami telah berjanji untuk selalu bersama-sama, tapi nyatanya dia pergi. Dia juga telah melupakanku dan juga janjinya,'"papar Yoon Hee mengenang masa kecilnya bersama Kyu Hyun.
"Janji? Maksudmu janji apa?'tanya Jung Ha dengan kening berlipat.
"Bukan janji apa-apa,"ucap Yoon Hee menghindar.
"Hei, katakan janji apa,"seru Jung Ha memaksa.
"Janji untuk menikah denganku. Tapi aku tidak datang untuk menagih janji itu. Aku hanya ingin bertemu dengannya sekali saja. Itupun sudah cukup bagiku,"tandas Yoon Hee menjelaskan maksudnya.
"Apa Kyu semanis itu saat kecil? Aku tidak bisa membayangkan wajahnya saat anak-anak,"gumam Jung Ha pelan.
"Dia memang manis,"sahut Yoon Hee dengan tersenyum. Ada binar cerah terpantul dari sepasang mata sempitnya.
"Kalau kau bertemu dengannya apa yang akan kau lakukan?"tanya Jung Ha. Ia tampaknya semakin tertarik dengan cerita Yoon Hee.
Yoon Hee tersenyum kembali.
"Aku akan memintanya menjadi pacarku sehari saja. Setelah itu matipun aku bersedia. Tapi aku tahu itu tidak mungkin,"ucap Yoon Hee seraya menerawang ke depan.
"Aku akan mewujudkannya untukmu,"
"Apa?!"Yoon Hee terperangah mendengar ucapan Jung Ha."Jangan bercanda,"
"Bagaimana jika aku benar-benar bisa mewujudkannya? Apa kau punya imbalan besar untukku?"
"Imbalan apa maksudmu? Aku tidak punya sesuatu untuk diberikann padamu,"
"Ada. Aku minta itu,"ucap Jung Ha seraya menunjuk sebuah boneka Tweety yang menggantung di ujung tas Yoon Hee.
"Kau meminta ini?"tanya Yoon Hee tak yakin.
"Benar. Bagaimana?"sahut Jung Ha sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Tapi ini barang murahan...."
"Kau mau apa tidak?"
"Baiklah kalau begitu...."

********

Beberapa hari kemudian Jung Ha mengajak Kyu Hyun bertemu di arena squash. Kebetulan Kyu Hyun sedang tidak ada kegiatan.
"Tumben Kak Jung Ha mengajakku main squash,"ucap Kyu Hyun seraya mengayunkan raketnya ketika bola datang kearahnya.
Kyu Hyun paling tahu jika Jung Ha malas berolahraga. Makanya dia sedikit merasa heran.
"Aku melarikan diri dari Presdir Kim,"seru Jung Ha."Squash seribu kali jauh lebih baik dari duduk dan mendengarkan presentasi yang membuatku mengantuk,"imbuh Jung Ha membuat Kyu Hyun tersenyum.
"Presdir tahu kau disini?"sahut Kyu Hyun kemudian.
'Tidak,"jawab Jung Ha cepat."Jika dia tahu dia pasti akan membunuhku,"
Beberapa menit saja Jung Ha meminta istirahat. Peluhnya bercucuran membasahi kening dan kerah tshirtnya.
"Nama gadis itu Yoon Hee,"tandas Jung Ha usai meneguk botol minumannya. Ia melirik ke arah Kyu Hyun sekilas.
Kyu Hyun mengerutkan dahinya. Tak mengerti maksud ucapan Jung Ha.
"Maksud Kakak siapa?'tanya Kyu Hyun ingin tahu.
"Gadis yang mengaku teman masa kecilmu,"sahut Jung Ha."Apa kau tahu apa yang dia katakan tentang kalian dimasa kecil? Dia bilang kalian sangat dekat. Bahkan kau pernah berjanji akan menikah dengannya."
Kyu Hyun terbahak mendengar pernyataan Jung Ha.
"Kakak percaya apa yang gadis itu katakan? Dia pasti seorang penipu Kak. Mungkin saja dia ingin memanfaatkanku saja,"tandas Kyu Hyun.
"Aku tidak tahu. Tapi sepertinya gadis itu berkata jujur,"ucap Jung Ha.
"Aku tidak percaya,"sahut Kyu Hyun."Aku bahkan sama sekali tidak ingat masa kecilku."
"Apa kau pernah mengalami kecelakaan sewaktu kecil?"
"Mana mungkin. Selama ini aku jarang sekali sakit, apalagi masuk rumah sakit."
"Ya sudah kalau begitu. Aku harus kembali ke kantor sekarang. Aku takut Presdir Kim mencariku,"ucap Jung Ha seraya bangkit dari tempat duduknya.
"Harusnya Kak Jung Ha dijodohkan saja,"
"Apa kau bilang? Dasar kau ini....."

*********

"Dokter berapa lama sisa waktuku?"
Yoon Hee menatap Dokter Jung yang baru saja memeriksa kondisinya. Gadis itu merasa akhir-akhir ini tubuhnya semakin melemah. Dia sering merasa mual dan beberapa kali pingsan dalam beberapa minggu terakhir ini. Pasti kanker itu telah mengganas didalam tubuhnya.
Dokter Jung mendesah berat. Tampaknya ia enggan untuk mengatakan hasil diagnosanya pada Yoon Hee.
"Dokter...."tegur Yoon Hee."Apa tiga bulan?"
"Yoon Hee...."dokter itu urung menjawab.
"Aku tidak apa-apa dokter..."tandas Yon Hee pelan.
Yoon Hee kembali berbaring dan membiarkan dokter Jung pergi. Gadis itu hanya menghela nafas panjang setelah itu.
Kala itu Yoon Hee berumur 15 tahun saat sebuah kebakaran menghanguskan rumahnya. Tak ada satupun benda yang bisa diselamatkan. Bahkan orang tuanya meninggal dalam musibah itu. Dan tinggallah Yoon Hee sendirian didunia ini. Tanpa saudara.
Tak lama setelah itu sepasang suami istri dari Seoul mengadopsi Yoon Hee.
Yoon Hee yang telah kehilangan semangat hidup seperti menemukan sebuah cahaya terang manakala ia tahu Kyu Hyun, teman masa kecilnya tinggal di kota itu dan telah menjadi artis terkenal.
Tapi malang bagi Yoon Hee, gadis itu divonis mengidap leukimia sesaat setelah ia mengetahui kabar tentang Kyu Hyun. Dan umurnya tinggal beberapa bulan saja. Karena itulah ia sangat ingin bertemu dengan Kyu Hyun meski untuk yang terakhir kalinya.
Tapi masih adakah waktu tersisa untuknya?
Yoon Hee berjalan limbung meninggalkan kamarnya meski tubuhnya lemah dan dokter telah menyuruhnya untuk istirahat. Dan tanpa sadar ia menubruk seseorang.
"Maaf..."ucap Yoon Hee pelan.
"Yoon Hee??"
Gadis itu menatap sosok yang ditubruknya.
"Kak Jung Ha?"ucap Yoon Hee terbata. Ia kaget menatap pria itu. Ia tak menyangka bisa bertemu dengan pria itu di rumah sakit.

*********

"Ternyata susah sekali bertemu denganmu,"keluh Jung Ha seraya menguntit langkah Kyu Hyun keluar dari ruang latihan.
"Kak Jung Ha sekarang tahu sendiri kan, betapa sibuknya menjadi seorang artis,"sahut Kyu Hyun. Ia mengusap keringatnya menggunakan sebuah handuk kecil. Lantas meneguk air mineral setelah mengambil tempat duduk.
"Makanya aku tidak mau menjadi artis,"cetus Jung Ha mengikuti perbuatan sahabatnya.
"Ada apa kakak mencariku?"tanya Kyu Hyun kemudian.
"Gadis itu sakit,"tandas Jung Ha sungguh-sungguh.
"Siapa yang sedang kakak bicarakan?"tanya Kyu Hyun bingung.
"Yoon Hee, teman masa kecilmu. Dia sakit parah, Kyu. Mungkin umurnya tidak akan lama lagi," tutur Jung Ha mencoba meraih simpati Kyu Hyun.
"Sebenarnya apa maksud Kakak mengatakan ini padaku? Apa Kakak ingin aku mengasihani dia hanya karena dia mengaku sebagai teman masa kecilku?"Kyu Hyun tampak tak suka mendengar penuturan Jung Ha."Jika seperti itu maka semua orang akan melakukan cara yang sama untuk bisa bertemu dengan idolanya. Berpura-pura sakit hanya untuk bisa berkencan dengan seorang pria. Cara yang licik...."
Jung Ha tertegun mendengar ucapan Kyu Hyun.
"Ini bukan seperti dirimu,"gumam Jung Ha."Gadis itu benar-benar sakit, Kyu. Beberapa hari yang lalu aku bertemu dengannya saat menjenguk ayah di rumah sakit. Dia tidak mau mengatakan penyakitnya, tapi aku mencari informasi dari dokter yang merawatnya. Dia sakit leukimia, Kyu,"tutur Jung Ha menjelaskan.
"Lantas apa yang kakak inginkan dariku? Menemuinya sebagai teman sedang aku sama sekali tidak mengingatnya? Itu yang kakak inginkan? Aku tidak punya waktu untuk melakukan hal semacam itu Kak,"tandas Kyu Hyun.
"Cho Kyu Hyun!"teriak Jung Ha keras."Aku tidak menyangka kau bisa berkata sekejam itu. Gadis itu hampir mati dan dia hanya minta bertemu denganmu sekali saja, bukan meminta sisa hidupmu. Apa kau tidak bisa mengabulkannya?"
Kyu Hyun mendesah panjang.
"Orang tua kandungnya meninggal saat rumah mereka kebakaran,"imbuh Jung Ha kemudian."Apa kau tidak kasihan sama sekali padanya?"
"Aku masih harus latihan lagi,"Kyu Hyun bangkit dari kursinya lantas bergegas meninggalkan Jung Ha yang terus menerus menatapnya dengan tatapan heran.
"Kyu!"teriakan itu kosong tanpa balasan reaksi. Kyu Hyun tak menoleh lagi sampai menghilang dibalik pintu.

********

Yoon Hee menoleh tatkala mendengar pintu kamarnya terkuak perlahan. Gadis itu terpana mendapati sesosok tubuh berdiri kaku didepan pintu. Hampir saja ia meragukan penglihatannya.
"Kau datang?"gumamnya masih dengan tak percaya.
Kyu Hyun mendekat ke tempat tidur Yoon Hee.
"Ya, aku datang,"sahut Kyu Hyun datar."Apa kau senang?"
"Tentu...."
"Kenapa kau melakukan ini padaku?"tukas Kyu Hyun cepat."Apa kau sangat terobsesi dengannya sampai sekarang?"
"Kyu...."
"Yoon Hee!"teriak Kyu Hyun lantang."Sadarlah! Aku bukan Kyu Joong. Kakakku itu sudah mati 12 tahun yang lalu. Dan kau yang menyebabkan dia meninggal. Apa kau sudah lupa hal itu?!"seru Kyu Hyun lagi.
Yoon Hee tersentak kaget. Seolah-olah teriakan Kyu Hyun tadi baru saja menyadarkannya dari mimpi buruk.
"Orang yang menjadi temanmu dimasa kecil bukan aku, melainkan kakakku, Kyu Joong,"ucap Kyu Hyun beberapa menit kemudian. Kali ini nada suaranya tak setinggi tadi."Kalian selalu bersama-sama saat itu. Tapi sebuah kecelakaan terjadi dan menyebabkan dia meninggal. Dan apa kau masih ingat, dia menyeberang jalan saat itu karena kau berteriak memanggilnya. Setelah kejadian itu kau tak berhenti menangis. Maka dari itu kami pindah ke Seoul. Agar kau bisa melupakan kenanganmu bersamanya. Karena wajah kami sangat mirip,"
Yoon Hee tertegun mendengar penuturan Kyu Hyun. Perlahan-lahan ia mulai mengingat semua kejadian itu.
"Kyu Joong...."gumam Yoon Hee. Air matanya mulai berjatuhan ketika menyebut sebaris nama itu.
Dia teringat kembali kejadian itu. Dimana sebuah truk besar menghempaskan tubuh Kyu Joong ke atas jalanan. Dan seketika kepalanya berlumuran darah. Kejadian itu persis didepan mata Yoon Hee.
Tidakkkk!!!!!!!!

********

Kondisi Yoon Hee semakin memburuk setelah hari itu dan disuatu pagi di musim dingin, gadis itu pergi untuk selamanya. Menyisakan cerita pahit utuk orang-orang disekitarnya. Tak terkecuali Jung Ha dan Kyu Hyun.
"Aku tak menyangka jika cerita sebenarnya seperti itu,"gumam Jung Ha sembari menatap sebuah pigura besar berisi gambar Yoon Hee yang terpajang ditengah ruangan."Dia gadis yang polos dan manis. Aku merasa kasihan padanya,"Jung Ha bergumam lagi.
Kyu Hyun tersenyum pahit mendengar ucapan Jung Ha.
"Kurasa dia telah menemukan apa yang dia cari selama ini,"sambung Kyu Hyun.
"Kau benar,"tandas Jung Ha.
Kedua sahabat itu melakukan penghormatan untuk yang terakhir kali sebelum pergi dari tempat itu.
Cinta sejati pasti akan menemukan jalan untuk menemukan pemiliknya.......

BUTTERFLY IN THE WINTER (fiksi korea)


Musim dingin yang dingin...
Ji Hyun masih melemparkan pandangannya kosongnya keluar sisi jendela. Menatap ke arah pohon-pohon yang tampak berlari disepanjang perjalanan pulang dari makam.
Sementara Jin Sung mengemudikan mobil yang mereka tumpangi lambat-lambat. Tanpa perbincangan sepatahpun.
Keduanya larut dalam pikiran masing-masing.......

Tok! Tok!
Jin Sung membuka pintu kamarnya sesaat setelah ia mendengar seseorang mengetuknya. Pria itu melihat Ji Hyun berdiri kaku didepan pintu kamarnya tengah malam begini. Wajahnya sedikit pucat dan tampak lelah. Sedangkan matanya masih bengkak seperti siang tadi.
"Aku tidak bisa tidur,"gumam Ji Hyun lirih.
"Masuklah,"suruh Jin Sung mempersilahkan adik perempuannya untuk masuk kedalam kamarnya.
"Boleh aku tidur disini?"tanya Ji Hyun meminta izin kakaknya sebelum melangkah masuk.
Jin Sung sedikit kaget mendengar permintaan adiknya. Namun akhirnya ia mengangguk dan meluluskan permintaan Ji Hyun.
Ji Hyun pasti masih sangat berduka atas kematian ayah mereka. Raut wajah gadis itu masih semendung tadi siang.

Sepuluh tahun yang lalu.....
Ji Hyun yang saat itu masih berusia sepuluh tahun berkunjung ke Jinan bersama ayahnya untuk mengadakan kegiatan amal di sebuah panti asuhan. Saat itu adalah pertama kalinya Jin Sung bertemu dengan mereka. Dan entah kenapa ayah Ji Hyun tiba-tiba mendekat dan bertanya padanya.
"Namamu siapa nak?"Tanya ayah Ji Hyun kala itu.
"Park Jin Sung,"jawab Jin Sung sedikit ketakutan.
"Berapa umurmu?"ttanya ayah Ji Hyun kembali.
"Dua belas tahun."
"Apa kau mau ikut ke Seoul dan menjadi putra paman?"tawar ayah Ji Hyun tak terduga.
Dan anak laki-laki itu mengangguk begitu saja tanpa berpikir lebih dulu.
Dan sejak itulah Park Jin Sung diangkat menjadi anak oleh ayah Ji Hyun. Sekaligus menjadi kakak laki-laki Ji Hyun.
Ji Hyun dan Jin Sung cepat sekali akrab. Mereka sering menghabiskan waktu bersama-sama. Sehingga ikatan batin itu lebih mudah terjalin antara keduanya.

"Aku tidak suka musim dingin....."
Gumaman Ji Hyun memaksa Jin Sung kembali membuka mata. Ia sempat berpikir jika Ji Hyun telah tertidur. Nyatanya belum.
"Kenapa?"balas Jin Sung sembari menoleh ke arah Ji Hyun yang sedang terbaring di sebelahnya."Bukankah musim dingin tahun lalu kita sangat bergembira. Kita pergi ke resort ski dan menghabiskan malam disana dengan bercerita. Kau juga mengajakku pergi ke spa umum hanya untuk makan telur rebus. Kau selalu bilang ingin seperti teman-temanmu yang menghabiskan liburan musim dingin di spa umum karena mereka tidak punya uang untuk pergi liburan."
Ji Hyun mendesah pelan manakala mendengar penuturan Jin Sung.Ia seperti di ingatkan kembali tentang kenangan-kenangan itu.
"Apa kau ingin kita pergi ke resort ski besok?'tawar Jin Sung kemudian. Berharap tawarannya terdengar menarik di telinga adiknya. Mungkin juga akan sedikit mengurangi kesedihan hatinya.
"Aku tidak mau,"balas Ji Hyun lirih.
"Atau kita melihat drama musikal saja? Aku dengar ada pertunjukan Yunho pekan depan. Bukankah kau sangat menyukainya?"tawar Jin Sung mengutarakan idenya. Memberi penawaran yang lebih bagus lagi pada Ji Hyun.
"Aku lebih menyukai kakak dari siapapun juga,"ucap Ji Hyun.
Jin Sung mendesah pelan usai mendengar pernyataan adiknya. Ia bisa memahami sikap Ji Hyun. Gadis itu pasti masih sangat berduka usai kehilangan ayahnya.Tapi Jin Sung tidak mau membiarkan adiknya berlarut-larut dalam kesedihan terlalu lama.
"Sekarang tidurlah, aku akan tetap disini untuk menjagamu,"ucap Jin Sung seraya mengecup kening Ji Hyun dengan lembut. Kasih sayang yang ditunjukkan seperti itu mungkin sedikit akan bisa membantunya untuk bangkit dari kesedihan.

Ji Hyun terbangun dari tidurnya pagi ini. Namun tempat tidur disisinya kosong. tak ada Jin Sung disana.
"Kakak..."
Ji Hyun turun dari tempat tidur lantas bergegas mencari keberadaan kakaknya. Namun ketika sampai di ruang tamu gadis itu menghentikan langkahnya karena terkejut.
Dua orang polisi bertandang ke rumahnya pagi ini. Dan tampaknya mereka sedang menginterogasi kakaknya.
"Apa yang mereka lakukan disini?"
Tiba-tiba saja Ji Hyun menyeruak ke ruang tamu dan mengejutkan orang-orang disana.
"Mereka datang kesini hanya untuk bertanya,"sahut Jin Sung.
"Ya Nona,"timpal salah seorang polisi itu."Kami datang untuk melakukan penyelidikan. Kami menduga kematian Tuan Kang tidak wajar. Bisa saja dia dibunuh oleh seseorang,"ulasnya kemudian.
"Apa?"sela Ji Hyun berseru."Tidak. Itu tidak benar. Ayahku meninggal dengan sangat wajar. Dia jatuh dari tangga dan kepalanya membentur lantai. Itulah penyebab ayahku meninggal. Kalian jangan bicara macam-macam. Sebaiknya kalian cepat pergi dari sini. Aku tidak mau melihat kalian datang kerumah ini lagi."
Gadis itu sengaja melontarkan kalimat bernada mengusir pada polisi itu. Ia mulai terbakar emosinya setelah mendengar pernyataan mereka.
"Tapi Nona..."
"Kubilang pergi!"teriak Ji Hyun kalap. Jin Sung ikut kaget melihat perubahan sikap adiknya.
"Sebaiknya tuan-tuan pergi sekarang. Aku akan datang ke kantor polisi nanti,"ucap Jin Sung menengahi suasana tegang itu.
"Baiklah..."
"Sekali lagi kami minta maaf,"ucap Jin Sung seraya mengantar polisi itu keluar rumah.
"Kenapa kau bersikap seperti itu, mereka kan hanya...."
"Apa kakak juga berpendapat kalau ayah telah dibunuh?"tanya Ji Hyun memotong pembicaraan Jin Sung setelah polisi itu pergi.
"Bukan begitu..."
"Ayah sudah meninggal. Kenapa mesti diungkit lagi? Biarkan dia tenang disana,"timpal Ji Hyun masih bernada emosi.
"Kakak tahu apa yang kau rasakan,"sahut Jin Sung mencoba menenangkan adiknya.
"Jika kakak tahu, kenapa kakak membiarkan polisi itu masuk kerumah kita?"
"Tenanglah, kakak hanya melakukan apa yang seharusnya kakak lakukan. Dia adalah ayah angkat kakak. Jika dia meninggal karena dibunuh, itu akan menjadi beban untukku. Aku akan merasa sangat berdosa jika pembunuh itu belum ditemukan,"ucap Jin Sung.
"Tapi aku tidak suka mereka masuk dan mengusik ketenangan rumah ini..."
"Kakak mengerti. Tenanglah..."Jin Sung mengusap kepala Ji Hyun. Agar gadis itu merasa lebih tenang.

"Astaga! Ji Hyun!"teriak Jin Sung kaget. Pria itu mendapati adiknya telah duduk di atas tempat tidurnya. Padahal ia baru saja keluar dari kamar mandi dan masih bertelanjang dada.
Namun Ji Hyun diam. Tak bergerak. Meski ia melihat Jin Sung kebingungan dipergoki dalam keadaan seperti itu.
"Kenapa kau disini?"tanya Jin Sung usai memakai piyama mandinya. Ia heran melihat Ji Hyun yang sedang tertegun dan menatap kosong kearah dinding. Wajahnya tampak pucat. Beku. Padahal ruangan itu hangat.
"Apa kakak tahu kenapa aku tidak suka musim dingin?"tanya Ji Hyun terdengar lirih.
Jin Sung hanya menggeleng mendengar pertanyaan adiknya. Ji Hyun tampak aneh. Tak seperti biasanya.
"Aku seperti menjadi kupu-kupu saat musim dingin tiba,"ucap Ji Hyun kemudian."Perjalanan hidupku seakan berhenti saat itu.Tapi saat musim semi tiba aku harus bangkit menjadi pribadi yang lain. Yag sama sekali tidak aku suka."
Jin Sung tertegun mendengar penuturan Ji Hyun. Ada apa dengannya? Kenapa tiba-tiba ia bicara seperti itu? Ia seperti orang lain.
"Saat umurku enam tahun, aku sering melihat ayah dan ibu bertengkar,"lanjut Ji Hyun."Ibu sering pergi keluar rumah saat ayah sedang pergi bekerja. Ibu mengabaikan dan membiarkanku tumbuh tanpa perhatiannya. Suatu hari ayah tahu kelakuan ibu. Ayah marah dan mengancam ibu dengan perceraian. Belakangan aku tahu ibu telah berselingkuh dengan pria lain.
Dan suatu pagi dimusim dingin, aku mendapati ibu tidak bergerak sama sekali meski aku sudah membangunkannya.Dia meninggal setelah meminum obat yang aku tidak tahu apa itu. Mulut ibu berbusa.
Aku sangat takut dan tidak bicara pada siapapun hingga empat tahun setelah kejadian itu. Tapi aku mulai berubah ketika ayah membawa kakak pulang kerumah. Aku memulai hidup baru setelah itu. Dan aku sangat bahagia kakak ada disini bersamaku,"urai Ji Hyun panjang.
Jin Sung menyimak baik-baik penuturan adik angkatnya itu.Mungkin ia tahu seberapa dalam luka yang pernah Ji Hyun rasakan.
"Aku menyukai kakak,"ucap Ji Hyun tiba-tiba."Bukan sebagai kakak. Tapi sebagai pria dewasa. Aku ingin menikah dengan kakak."
Jin Sung terperanjat. Ia melotot kaget dan tak percaya.
"Apa yang baru saja kau katakan?"tanya Jin Sung masih dengan ekspresi kaget."Kau menyukaiku? Itu tidak benar,Ji Hyun. Kita adalah saudara. Meski bukan saudara sebenarnya, tapi aku sudah menganggapmu seperti adikku sendiri. Lagipula aku sudah menganggap ayahmu sebagai ayahku sendiri."
"Kak, aku mencintaimu lebih dari siapapun. Aku tahu ini terdengar tidak masuk akal, tapi...."
"Cukup!"seru Jin Sung."Sebaiknya kita hentikan pembicaraan ini. Perasaanmu tidak akan merubah apapun. Kita akan tetap menjadi saudara,"tegasnya.
"Tidak!"seru Ji Hyun."Aku telah mempertaruhkan segalanya untuk memperjuangkan cintaku. Bahkan aku telah membunuh ayah untuk bisa memilikimu."
Jin Sung terhenyak kaget mendengar pernyataan Ji Hyun. Ia menatap seraut wajah Ji Hyun dengan ekspresi takjub. Raut wajah pucat dan beku yang selalu ia lihat dimusim dingin itu masih tetap sama. Tanpa dosa.
"Benarkah yang kau katakan itu?"tanya Jin Sung terbata. Bibirnya gemetar."Kau yang membunuh ayah?Tapi kenapa kau melakukan itu?"
"Karena ayah tidak akan pernah mengizinkan aku menikah dengan kakak. Maka dari itu aku mendorongnya didepan tangga,"ungkap Ji Hyun mengejutkan.
"Ya Tuhan,"gumam Jin sung tampak menyesal."Sebenarnya ada apa denganmu? Kenapa kau tega membunuh ayahmu sendiri? Apa aku sudah gila, Ji Hyun?!"teriak Jin Sung lantang seraya mengguncang pundak Ji Hyun kuat-kuat.
Namun gadis itu diam. Tanpa perlawanan. Ekspresinya masih beku. Tanpa dosa. Bagaimana bisa gadis sepolos itu tega mengakhiri hidup ayahnya sendiri hanya demi cinta??

Musim dingin yang beku telah berganti dengan musim semi yang indah. Bunga-bunga sakura di Jinan juga mulai bermekaran. Menghiasi sepanjang jalan disana.
Jin Sung melangkah lambat. Matanya bergerak menatap sekeliling. Mencari cari kenangan masa lalu yang pernah ia tinggalkan di tempat itu.
Ia tumbuh dan besar di sebuah panti asuhan kecil. Konon ia ditinggalkan didepan pintu panti asuhan saat usianya masih tiga hari. Dan sampai detik ini ia tidak mengetahui siapa orang tua yang telah tega membuang dirinya.
Ia datang kembali kesana untuk berkunjung. Sekaligus sedikit mengenang masa kecilnya sebelum Tuan Kang berbaik hati mengangkat dirinya sebagai anak. Namun sayang, ayah angkatnya harus berakhir dengan tragis. Ia meninggal di tangan putrinya sendiri.
Ji Hyun...
Ternyata Jin Sung tidak tahu banyak tentang kepribadian adik angkatnya itu. Yang selama ini ia tahu gadis itu masih polos dan belum dewasa. Tapi ternyata dibalik itu tersimpan misteri yang tersembunyi.
Ji Hyun mencintainya. Sejak kapan, Jin Sung juga tidak pernah tahu.Jin Sung juga menyayanginya Entah itu cinta atau bukan.
Mungkin ia akan menunggu. Atau bahkan mungkin tidak. Karena lima belas tahun bukanlah waktu yang singkat untuk menanti. Dalam rentang waktu itu akan ada banyak hal yang terjadi. Entah siapa yang akan ia temui nanti. Tapi ia akan tetap menyayangi Ji Hyun tak peduli apa yang telah ia perbuat.
Kasihan Ji Hyun...
Kasihan kupu-kupu itu harus terkurung didalam ruangan berpintu besi. Padahal musim semi telah datang. Dan harusnya ia bermertafosa menjadi pribadi yang baru.....

Broken Past


"Kita sudah sampai...." Suara ayah menyadarkanku yang sedang dirundung lamunan panjang. Taksi yang kami tumpangi rupanya telah berhenti tepat didepan sebuah rumah berlantai dua. Rumah yang lumayan bagus...
"Kau tidak mau turun?"tegur ayah kemudian. Karena aku belum juga beranjak dari tempat dudukku.
Aku tak menyahut.Hanya mendesah pelan lantas dengan enggan bergerak keluar taksi. Seperti permintaan ayah.
Setelah membayar argo taksi aku tak langsung mengikuti langkah ayah memasuki rumah itu. Aku hanya berdiri seraya menatap rumah yang tampaknya tidak asing buatku itu. Sepertinya aku pernah ketempat ini sebelumnya. Tapi aku tak sepenuhnya yakin. Mungkin ini hanya semacam de javu saja...
"Kau tidak mau masuk?!"
Huhhh... Teriakan ayah memaksaku mendesah kesal. Lagi. Sampai kapan dia akan berhenti berteriak seperti itu?batinku geram.
Aku menyeret travel bag milikku dengan langkah gontai masuk kedalam rumah baru kami.
"Kamarmu ada dilantai atas.Kalau kau tidak suka kau boleh tukar..."
Aku menggeleng cepat.Tampaknya kamar dilantai atas terdengar lebih menarik ketimbang penawaran ayah.
Aku menemukan sebuah kamar kosong dilantai atas.Sebuah ranjang bertingkat,sebuah lemari pakaian dan sepasang meja kursi belajar telah tersedia disana.
Aku meletakkan bawaanku lantas meneliti kesekeliling. Tampaknya kamar itu lama tak terpakai meski mungkin rutin dibersihkan tiap beberapa waktu sekali.
"Kau suka kamarmu?"tegur ayah nyaris membuatku terloncat karena kaget.
"Dad..."keluhku kesal. Apa dia sudah lupa kalau aku punya kecenderungan jantung lemah?
"Ayah tidak suka kau memanggil ayah seperti itu,"sahut ayah cepat."Kita sekarang di Indo,Drey.Bukan di Amerika.Dan satu lagi.Mulai hari ini ubah penampilan dan gaya bicaramu.Ganti warna rambut merahmu itu dengan warna hitam.Jangan gunakan bahasa Inggrismu disini.Juga satu lagi,ayah tidak mau melihatmu memakai celana pendek maupun tank top. Apa kau mengerti?"
Aku mendesis geram.Kenapa semenjak tiba disini ada begitu banyak peraturan yang ia buat untukku?
"Audrey...ayah mohon jangan membebani ayah dengan bersikap seolah ayah ini musuhmu.Hanya kau satu-satunya milik ayah didunia ini.Ayah melakukan semua ini karena ayah mencintaimu..."
Ayah mendekat lantas membelai kepalaku dengan lembut.
"Istirahatlah...Penerbangan tadi pasti membuatmu jetlag.Biar ayah yang membereskan kamarmu nanti..."
Ayah meninggalkan kamarku setelah terlebih dulu melempar senyum untukku.
Beberapa detik kemudian aku merebahkan tubuh diatas tempat tidur.Aaahh... rasanya tubuhku kaku dan punggungku penat. Aku juga harus menyesuaikan diri dengan perbedaan waktu disini dengan di Amerika. Tapi ada yang tak beres didalam kamar ini. Yeah...ranjang bertingkat itu harus diganti dengan ranjang biasa. Ayah pasti akan mengabulkan permohonanku.
$$$$$
Aku terbangun ditengah malam buta.Kening dan punggungku telah basah oleh keringat. Kenapa malam ini terasa begitu panas?Ataukah tubuhku saja yang belum bisa beradaptasi dengan cuaca disini.
Aku terpaksa turun dari ranjangku karena rasa haus tengah menggerogoti kerongkonganku.Sedang dapur berada dilantai bawah.Uhhh...sebenarnya aku malas untuk melakukan hal ini.
Dengan langkah berat ditambah lagi mataku yang masih mengantuk aku menuruni tangga menuju lantai bawah. Namun begitu menyelesaikan anak tangga terakhir,kakiku yang telanjang serasa menginjak sesuatu mirip cairan.
Oh God...batinku tercekat. Apa ini?tanyaku dengan tubuh gemetar.
Apa ini benar-benar darah...?
Aku melihat kakiku telah berwarna merah begitu juga lantai yang tengah kupijak sekarang.Semua berwarna merah darah!!
Ooohhhh....aku nyaris pingsan saat itu juga.Namun aku tak bisa lari ataupun berteriak.Suaraku hanya bisa tercekat di tenggorokan.Dad...help me!
"Audrey!Sedang apa kau disitu?"
Aku tertegun kaku.Ayah datang tepat disaat aku benar-benar sedang membutuhkannya.
"I see..."kalimatku terputus.Mendadak darah dikakiku lenyap begitu saja tanpa bekas.Dilantai juga tidak kutemukan bekasnya sama sekali. Kemana hilangnya darah itu?Kenapa disaat ayah muncul tiba-tiba saja darah itu hilang...
"I'm thirsty Dad..."hanya kalimat itu yang akhirnya keluar dari bibirku.Kupikir tak mungkin aku mengatakan apa yang baru saja kulihat pada ayah.Bukan tidak mungkin ia menganggapku membual saja karena ingin kembali ke Amerika dengan mengatakan hal tidak masuk akal semacam itu.
"Apa perlu ayah temani?Kebetulan ayah juga haus,"sahut ayah kemudian.Kedengaran melegakan di telingaku.
$$$$$
Kejadian malam itu masih melekat dibenakku.Bukan itu saja.Aku mengalami hal-hal aneh setelah itu.Cat kuku,parfum,alat-alat make up milikku terkadang berpindah tempat dengan sendirinya.Padahal aku tak pernah memakai benda-benda itu semenjak tiba dirumah ini.Dan aku bahkan tidak menyentuhnya sama sekali tapi anehnya benda-benda itu berkurang isinya. Tidak mungkin ayah yang memakainya juga tidak mungkin orang lain yang menggunakannya karena kami hanya tinggal berdua saja dirumah ini.Lantas siapa yang melakukannya?Adakah makhluk lain yang tak kasat mata tinggal dirumah ini?
Hiii...bulu kudukku seketika berdiri jika memikirkan hal itu.Tapi tak mungkin aku bisa tinggal disini jika terus menerus dihantui makhluk halus itu.Aku ingin kembali ke Amerika....
Aku nyaris tak bisa memejamkan mata manakala sesekali terdengar derit dari arah ranjang tepat diatas tubuhku.Seolah ada yang sedang berbaring disana dan tengah menggeliat.Sampai kapan aku harus merahasiakan ini dari ayah?
"Audrey..."
Aku tergagap mengetahui kedatangan ayah.
"Kau belum tidur?"tegurnya kemudian.Kubalas hanya dengan gelengan kepala."Kau sudah makan?"tanya ayah kembali.
Aku menggeleng kembali.
"Wajahmu pucat Drey.Apa kau sakit?"tanya ayah sembari meraba keningku."Kita ke rumah sakit sekarang..."
"No!"teriakku lantang.Sedangkan tangan ayah kutepis dengan paksa."Im ok Dad!Don't worry 'bout me!"
Aku benar-benar benci mendengar kata rumah sakit.Entah sudah berapa kali aku keluar masuk tempat itu.Mungkin sudah ratusan kali.Dan aku sudah bosan jika harus ketempat itu lagi.
"Im just wana go home Dad..."aku mencoba memperbaiki kalimatku kali ini.Meredam emosi yang sempat meledak beberapa detik yang lalu.
Ayah tertegun sejenak usai mendengar ucapanku.
"Home?"ulangnya seperti tak percaya."This is your home Drey.Indonesia is home."
"But I hate this place Dad.I think I have something bad bout Indo.Like bad memories.But I dont know what is it...."ucapku pelan.Untuk mengetuk pintu hati ayah.
"Jangan mulai berhalusinasi lagi Audrey,"sentak ayah setengah geram. "Kau tahu ayah tidak suka kau melakukan atau membicarakan hal-hal aneh.Jadi berhentilah merengek seperti anak kecil.Atau kau mau ayah antar ke rumah sakit?!"bentak ayah membuatku kaget seketika.
Aku terdiam lantas membuang pandangan ke atas lantai.Aku paling benci jika ayah sudah mulai berteriak seperti ini.
"Apa anorexia belum cukup membuatmu kapok masuk rumah sakit?Tifus, insomnia lalu apalagi sekarang...?"teriak ayah kembali."Ayah sudah bangkrut Audrey. Jadi mengertilah kondisi ayah sekarang. Kita tidak mungkin kembali ke Amerika meski sebenarnya ayah juga sangat ingin pergi kesana.Karena ibumu juga dimakamkan disana. Tapi sekarang kita tidak punya apa-apa lagi kecuali rumah ini. Ayah mohon mengertilah..."
Sepasang mata milik ayah berkaca-kaca. Dan keadaan itu cukup mampu membungkam mulutku.Meski batinku belum siap untuk menerima kondisi ayah tapi kebisuanku mungkin adalah ekspresi kepasrahanku.
"Makanlah Drey.."ucap ayah kemudian."Ayah tidak ingin kamu jatuh sakit."
Aku tak menyahut.Namun ayah dengan sigap membimbingku keluar dari kamar menuju ke ruang makan.
$$$$$
"Hei!"
Teriakan itu menghentikan pergerakan tanganku yang hendak menuang isi keranjang sampah kedalam bak sampah didepan rumah.
Seorang pemuda tanggung tampak tersenyum seraya melihatku.Pastilah ia yang menyapaku tadi.Pemuda itu tampak berdiri dibalik pagar rumah sebelah.Mungkin saja ia tetanggaku yang belum kukenal semenjak aku tiba disini.Karena seminggu ini aku nyaris tidak pernah keluar rumah sama sekali. "Lama tidak berjumpa kau banyak berubah Dy,"sapanya seraya tersenyum.Sikapnya seolah-olah ia sudah mengenalku sejak lama.Padahal aku baru bertemu dia kali ini.Siapa dia?
Pemuda itu tertawa renyah melihat sikap acuhku.
"Kau benar-benar tidak mengenaliku?"tanyanya seraya menunjuk hidung."Pastilah ingatanmu sangat buruk sampai-sampai kau tidak ingat sahabat kecilmu.Padahal sejak kita kanak-kanak sampai kelas lima kita selalu bersama-sama.Itu baru tujuh tahun yang lalu Dy,bagaimana jika kita berpisah selama dua puluh tahun.Ck ck aku tidak bisa membayangkannya... Pastilah kau sama sekali tidak bisa ingat. Atau jangan-jangan Amerika telah membuatmu lupa segalanya.Lihat saja penampilanmu sekarang bahkan kau sudah seperti orang bule..."
"Stop it!"potongku cepat.Aku tidak tahan lagi mendengar ocehan makhluk dihadapanku ini yang sama sekali tidak kukenal.
"Lihatlah, bahkan cara bicaramu sudah sangat kebarat-baratan..."
Aku melenguh kesal.Aku sama sekali tidak bisa mengingat apapun. Atau jangan-jangan ia hanya berpura-pura mengenalku...
"Amerika benar-benar sudah merubahmu menjadi orang lain Audy,"ucapnya lagi.Menghentikan niatku untuk segera pergi dari tempat itu.
Aku membalikkan badan dan menatap pemuda itu.
"Kau pasti salah orang.Aku bukan Audy,"ucapku tegas.
Namun pemuda itu malah balik menertawakan ucapanku.
"Apa?"tanyanya seraya melotot."Bahkan kau sudah mengganti namamu.Astaga...Dan apa kau juga sudah melupakan asal usul dan masa lalumu?"
"Maaf,mungkin yang kau maksud bukan aku.Aku benar-benar tidak mengenalmu sebelum ini.Jadi biarkan aku pergi sekarang...."
Aku tercekat saat pemuda itu tiba-tiba mencekal lenganku.
"Audy!"teriaknya."Beginikah caramu memperlakukan sahabatmu sendiri?Atau jangan-jangan peristiwa itu membuatmu mengalami trauma separah ini?"
Aku mengernyitkan dahi.Tak mengerti arah pembicaraan pemuda itu.
"Peristiwa apa?"gumamku pelan.
"Saat saudara kembarmu Aida meninggal kau sangat terpukul sampai-sampai kau tidak mau bicara sama sekali.Kau jatuh sakit setelah itu.Sampai beberapa minggu kau tidak juga kunjung sembuh.Dan akhirnya ayahmu membawamu ke Amerika.Apa kau sama sekali tidak mengingat peristiwa itu?"
Aku menggeleng pelan.
"Kau pasti salah.Aku tidak punya saudara..."
"Oh Tuhan..."desis pemuda yang belum ku ketahui namanya itu.Sepasang matanya menatapku kasihan. "Lalu apa yang kau ingat tentang masa kecilmu?"
Sebenarnya aku ingin segera pergi dan menghindari pemuda itu.Namun pertanyaannya tak bisa begitu saja kuacuhkan.
Masa kecil? batinku terhenyak.Aku tertegun lama dan menyadari satu hal.Bahwa tak ada satupun kenangan masa kecil yang tersimpan didalam memori otakku.Aku tidak ingat sama sekali.Aku hanya ingat aku dibesarkan di Amerika dan orang tuaku berasal dari Indonesia yang selalu mengajarkan budaya Indonesia.Bahasa Indo yang selalu dipakai dirumah.Namun aku lebih suka mengikuti budaya orang Amerika.
"Tidak adakah satupun ingatan yang tersisa tentang masa kecilmu?"tegurnya kemudian.
"Apa yang membuatmu yakin kalau aku adalah Audy teman masa kecilmu?"tanyaku beberapa detik kemudian.Menguji keyakinan pemuda itu.
"Tahi lalat disudut bibirmu..."
Aku tersenyum.Bermaksud menertawakan jawaban pemuda itu.
"Semua orang disini mengenal ayahmu,"imbuhnya kemudian.
Benarkah aku Audy seperti dugaannya?batinku gamang.Pemuda itu sangat yakin dengan pikirannya sementara aku sendiri sama sekali tidak ingat masa kecilku.
"Ceritakan tentang diriku,"ucapku beberapa saat kemudian."Semuanya...."
$$$$$
"Kenapa menatap ayah seperti itu?"tegur ayah begitu aku menghambur masuk kedalam rumah.Laki-laki itu tampak terkejut seraya meletakkan gelas minumnya.
"Kamu sakit Drey?"tanya ayah seraya mendekat ke arahku."Wajahmu pucat."
Aku menggeleng cepat.
"Apa ayah bisa memberitahuku sesuatu?"tanyaku kemudian."Tentang diriku,"lanjutku. Aku menghela nafas sejenak.
"Siapa diriku sebenarnya?Apa benar aku adalah Audy dan Aida adalah saudara kembarku yang telah meninggal?"lanjutku kemudian.
Wajah ayah menunjukkan perubahan.Laki-laki itu tampak terkejut mendengar pertanyaanku.
"Bicara apa kau ini?"sentak ayah tampak tersinggung.
"Katakan saja yang sebenarnya,"paksaku tak sabar.
"Siapa yang mengatakan itu padamu?"cecar ayah mulai terpancing.
"Ayah tidak perlu tahu,"balasku tak kalah cepat."Katakan saja yang sebenarnya.Tidak mungkin ayah bisa menyembunyikan sesuatu dariku selamanya bukan?"
"Itu tidak benar Audrey"sangkal ayah kemudian.Namun tak membuatku percaya begitu saja.
"Kenapa ayah menutupi sesuatu dariku?Bukankah aku berhak mengetahui tentang diriku?"
"Tidak ada yang ayah sembunyikan Audrey..."
"Kau pembohong!"teriakku kesal.
"Audrey!!"
Sebuah tamparan keras melayang cepat kepipiku seiring teriakan laki-laki itu.
Uhh... Aku merasakan pipiku terasa panas seketika.Tamparan ayah sudah cukup membuat hatiku terluka dan sakit hati.
"Kenapa kau lakukan itu padaku?!"teriakku nyaris terisak.
"Maafkan ayah Audrey..."sesal ayah hendak memperbaiki suasana.Namun aku segera menghindari tangannya yang ingin menyentuhku.
Aku hanya butuh penjelasan,bukan pertengkaran semacam ini.Apa begitu sulit baginya mengungkapkan sesuatu yang mestinya kuketahui.
"I hate you Dad!"aku berteriak seraya berlari meninggalkan tempatku berdiri menuju tangga.
"Audrey!"
Teriakan itu tak kuhiraukan.Aku hanya ingin cepat meninggalkan ruangan itu dan bersembunyi dibalik pintu kamarku seraya menangis.Tapi begitu aku nyaris sampai diujung anak tangga terakhir tiba-tiba saja kakiku terpeleset dan kehilangan pijakan.Tubuhku oleng dan peristiwa itu terjadi begitu saja.
Tubuhku berguling diatas anak tangga selama beberapa detik sebelum akhirnya berhenti dilantai bawah.Dan malangnya kepalaku yang menyentuh lantai terlebih dulu.
Kepalaku sakit parah dan mungkin darah telah mengucur disana.Aku tak bisa melihat apa-apa kecuali gelap.Aku tak sadarkan diri...
$$$$$
Yeah...Finally I found myself!
Aku berhasil menemukan hampir seluruh memoriku yang sempat hilang selama tujuh tahun terakhir.Setelah aku terbangun dari koma selama empat hari usai insiden di tangga kala itu akhirnya aku bisa mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu.
"Kau sudah sadar Drey?"tegur ayah tampak gembira.Ia pasti senang bisa melihatku sadar kembali.
Tapi aku bukanlah Audrey....
Aku adalah Audy seperti kata pemuda disebelah rumah kami. Ayah telah mengganti namaku setelah kami tiba di Amerika.Bukan itu saja,ayah juga telah merubah segalanya.Seluruh hidupku telah berubah semenjak itu....
"Kau baik-baik saja sayang?"tegur ayah kembali.Namun aku masih bungkam meski aku dalam kondisi baik.Hanya kepalaku saja yang masih terasa sakit.Pasti benturan itu sangat keras.Tapi tak separah yang diderita Aida kala itu.Hingga menyebabkan ia mengalami pendarahan hebat sehingga ia tak terselamatkan.
Oh Tuhan,jeritku dalam hati.Insiden itu kembali terlintas dibenakku.Saat aku mendorong tubuh saudariku itu hingga jatuh terguling diatas tangga yang menyebabkan kepalanya membentur lantai dan tiba-tiba saja darah menggenang disana.
Itulah awal mula kejadian-kejadian ganjil yang kualami semenjak tiba dirumah itu.Aida mendatangiku untuk menghantuiku.Mungkin juga untuk menagih penyesalanku atas kematiannya.Dan aku baru menyadarinya setelah ingatanku kembali.
Pantaslah aku mengalami hal-hal gaib beberapa hari terakhir ini.
Maafkan aku Aida....
"Bicaralah Drey.Jangan diam seperti ini.Jangan membuat ayah takut.Apa yang kau ingin akan ayah penuhi.Kita akan pergi ke Amerika jika kau mau...."
Aku masih bungkam.Peristiwa seperti ini pernah terjadi beberapa tahun silam.Saat Aida meninggal untuk beberapa bulan aku tak bicara sama sekali.Kali ini aku juga enggan untuk bicara meski ayah merayuku dengan iming-iming pergi ke Amerika.
Aku terlalu takut.Bayangan Aida tampak jelas berdiri disudut ruangan sedang memperhatikanku dengan tatapan kosong.
"Audrey..."
Aku meronta sekuat tenaga saat ayah hendak menyentuh tanganku.Entah apa yang membuatku tiba-tiba bersikap seperti orang kesurupan.Seolah-olah ayah hendak menyakitiku.
"Audrey!Kau kenapa?!Aku ayahmu nak.Sadarlah...."ucap ayah berusaha menenangkanku.Tapi aku tak bisa mengendalikan diriku sendiri.Sampai akhirnya ayah memanggil dokter untuk meminta bantuan.
"Apa yang terjadi?"tanya seorang dokter yang tiba-tiba saja muncul.
"Dia mengamuk Dok..."lapor ayah cepat.
Namun dokter itu tak segera bertindak.Ia malah menatap ayah untuk beberapa lama.
"Apa gejalanya sama dengan beberapa tahun silam?"tanya dokter yang ternyata adalah kenalan ayah.
Ayah mengangguk.
"Jiwanya labil untuk saat ini.Saya akan memberinya obat penenang,"tandasnya seraya menyuntikkan cairan ke lenganku.Membuatku harus menahan rasa sakit.
Obat itu cepat bereaksi ditubuhku.Namun samar-samar aku masih bisa mendengar percakapan mereka sebelum akhirnya aku benar-benar tertidur.
Tidak!batinku lirih.Aku tidak sakit.Aku tidak mengalami gangguan jiwa seperti yang mereka bicarakan.Mereka salah.Aku hanya ketakutan karena aku melihat bayangan Aida disudut kamar.Dan itu membuatku tak sanggup berkata-kata.
Seolah-olah ia ingin mengajakku pergi bersamanya...

Leaves of Autumn


"Beliin aku es krim Yud,"rengekku seraya menarik lengan Yudhis manja.Sedang kepalaku mengisyaratkan agar ia mengajakku pergi ke stan es krim yang berada tidak jauh dari tempat kami berdiri.
Yudhis tampak mendengus.Namun aku tak peduli dan bergegas menyeret cowok itu ke stan es krim lantas memesan dua cone es krim rasa cokelat.
"Enak kan Yud.Kapan lagi kamu akan makan es krim seperti ini bersamaku,"celutukku seraya menjilati es krim ditanganku.
Yudhis menghela nafas panjang.Es krim ditangannya bahkan masih utuh sama sekali.
"Cepat habiskan Yud,"suruhku.Karena aku masih ingin berkeliling mal sampai kakiku pegal.
"Kita mau kemana lagi sih Rhein?"tanya Yudhis malas.Ia tampak sibuk menyusul langkahku dengan sesekali menjilati es krim ditangannya.
Aku tertawa kecil melihat cowok itu kerepotan membawa beberapa kantong belanjaan milikku,sementara tangan kanannya harus memegang cone es krim.
"Huh...mestinya kita pakai trolly saja,"keluhku seraya merebut kantong belanjaanku dari tangan Yudhis.
"Kita pulang saja Rhein,"usul Yudhis beberapa saat kemudian setelah ia melahap habis es krimnya.
"Bentar lagi Yud.Please...aku masih ingin cari dress,"ucapku memohon.Aku tahu Yudhis pasti sudah sangat lelah dan bosan seharian berkutat didalam mal menemaniku belanja.
"Tapi aku nggak ingin kamu kecapekan Rhein..."ucapnya penuh perhatian.
"Aku nggak capek Yud..."
"Rhein,"potongnya cepat.
"Jangan merusak kebahagiaanku kali ini Yud.Sekali ini saja,"timpalku memohon.
Yudhis menarik nafas panjang.Cowok itu terpaksa mengalah kali ini.Aku berjanji ini adalah kali terakhir aku menyusahkannya.
Akhirnya tiga jam kemudian kami keluar dari mal seraya membawa banyak kantung belanjaan.Kami telah bersiap meluncur pulang ketika matahari nyaris tenggelam.
"Mungkin besok kita bisa nonton film atau nonton pertandingan bisbol.Pasti menyenangkan.Kamu mau menemaniku lagi kan?"celotehku seraya memasang sabuk pengaman.
"Rhein,cukup!"
Aku tercekat mendengar teriakan Yudhis.Cowok itu sedang melotot tajam ke arahnya.Sepertinya ia marah padaku.
"Kenapa?"tanyaku lirih.Apa ada perkataanku yang menyinggungnya.Kurasa tidak.
"Kumohon berhentilah bersikap seperti itu,"ucapnya."Kamu harus lebih memperhatikan kesehatanmu dan jangan sampai kelelahan.Kamu sedang sakit Rhein,"imbuhnya seolah-olah aku sudah lupa dengan kondisi tubuhku.
"Apa aku nggak boleh menikmati hidupku?"cecarku cepat."Aku memang sedang sakit.Dan aku sadar cepat atau lambat aku akan mati.Sekarang atau nanti akan sama hasilnya.Aku akan mati Yud!"
"Rheina!"teriak Yudhis keras.Matanya tampak merah memendam amarah.
Aku mendengus kesal.Lantas membuang pandanganku kesamping jendela mobil.
"Kumohon jangan bicara seperti itu,Rhein,"ucapnya merendahkan suara.
Aku terdiam.Tak mau melanjutkan percakapan yang mulai menjadi tegang itu.
Tak ada sahutan.Yudhis meluncurkan mobilnya perlahan keluar dari area parkir basement mal.Tanpa perbincangan sama sekali.
$$$$$
"Darimana saja Rhein?Kok jam segini baru pulang?"tegur mama saat aku menutup pintu ruang tamu.
"Dari jalan-jalan Ma,"sahutku seraya menyerahkan sebuah kantung belanjaan berisi makanan siap saji dari mal.Aku sangat hafal mama sangat menyukai makanan itu.
"Cepat masuk dan istirahat ,"suruh mama kemudian."Kamu pasti sangat capek."
"Ya Ma,"sahutku.
Aku bergegas menuju kekamar dan saat hendak mengganti pakaianku tiba-tiba saja aku dikejutkan suara Sheila.
"Darimana saja Kak?"serunya membuatku tersentak."Enak banget ya,hari Minggu gini pacaran.Sementara aku mesti membersihkan rumah dan menyetrika.Nggak dimarahin lagi sama mama.Hidup Kak Rheina enak banget ya,"sindir Sheila dengan nada sinis.
Aku tercekat mendengar suara adikku yang umurnya hanya selisih dua tahun denganku itu.
"Sheila...ngomong apa sih kamu,"ujarku mencoba bersabar menghadapi adik kesayanganku itu.
"Aku ngomong apa adanya Kak,"timpal Sheila cepat."Kak Rheina emang beruntung jadi anak kesayangan mama.Aku jadi curiga apa aku benar-benar anak mama papa atau bukan."
"Sheila!"teriakku keras.Hampir saja aku melayangkan tamparanku ke wajah Sheila.Tapi aku mengurungkan niatku.
Sementara Sheila tersenyum sinis.Matanya nanar melihat kantung-kantung belanjaanku yang tergeletak diatas tempat tidur.Entah apa yang ia pikirkan saat itu.
"Mungkin aku sedikit menyesal dilahirkan dirumah ini dan punya kakak sepertimu.Mestinya aku menjadi anak tunggal didalam sebuah keluarga yang kaya raya,"ujar Sheila beberapa saat kemudian.Gadis itu tampak menerawangkan matanya.Berkhayal.
Oh Tuhan,batinku gemetar mendengar ucapan Sheila.
"Maaf jika aku mengganggu kebahagiaan Kak Rheina hari ini.Selamat beristirahat."
Bruk!
Gadis itu membanting pintu kamarku dengan keras. Ia sedang marah padaku.Sementara aku hanya bisa diam tanpa berbuat sesuatu.
Aku jatuh terduduk diatas tempat tidur usai kepergian Sheila.
Aku dan Sheila memang tak pernah akur dari dulu.Tapi sesungguhnya aku sangat menyayanginya.Sheila adalah adik kesayanganku.Ia manis dan pandai.Tak sepertiku yang biasa-biasa saja.
Dan belanjaanku itu kubeli dengan tabunganku selama setahun ini.Semua untuk Sheila.Termasuk sepatu high heels impian Sheila.Kubeli sesuai dengan ukuran kakinya.Semua untuk dirinya bukan untukku.
Aku merebahkan tubuhku yang terlampau penat.Perlahanaku terlelap tanpa kusadari.Bahkan celana jeans dan jaketku masih melekat ditubuhku.
Mungkin suatu saat nanti Sheila akan mengerti....
$$$$$
"Nggak ikut olahraga Rhein?"tegur Ben.Cowok itu menghampiri tempat dudukku ditepi lapangan.
Aku menggeleng seraya tersenyum.
"Kemana saja dua hari ini?Kamu sakit?"tanya Ben lagi.Ia mengambil tempat duduk disebelahku.Nyaris membuatku tak bisa bernafas.Tubuhku gemetar seketika.
"Cuma kecapekan,"jawabku berusaha menyembunyikan kekikukanku."Tapi sekarang udah baikan kok,"imbuhku cepat seraya tersenyum.
"Oh,"Ben manggut-manggut."Makanya jaga kesehatan Rhein,"ucapnya seraya menepuk-nepuk punggungku.Membuat hatiku tambah tidak karuan.Andai saja Sheila tidak mempunyai perasaan yang sama pada Ben,mungkin aku akan memperjuangkan cintaku pada cowok itu.
"Aku ke lapangan dulu ya,"pamit Ben beberapa detik kemudian.
Oh Tuhan...batinku.Cowok itu benar-benar membuatku tak bisa berkutik.Tiga tahun aku mengenalnya,selama itu pula aku hanya bisa memendam perasaanku.Dia cinta pertama dan mungkin cinta terakhirku.
"Segitunya ngelihatin Ben..."
"Yudhis!"pekikku nyaris terloncat.Dia telah berada disampingku tanpa kusadari."Kenapa sih kamu selalu ngagetin orang?"keluhku kesal seraya menimpuk pundaknya.
Yudhis tak bereaksi.Ia meneguk air mineral dari dalam botol yang ia bawa dari dalam kelas.
"Aku kan udah bilang,jangan sampai kecapekan Rhein,"tandas Yudhis mengungkit ucapannya hari minggu kemarin.
Aku tak menyahut.Mataku masih fokus ke lapangan.Kearah teman-teman yang sibuk bermain basket.
"Kalau kamu menyukainya kenapa nggak bilang secara langsung?"tanya Yudhis mengalihkan topik pembicaraan.Yang ia maksud pastilah Ben...
"Untuk apa?"gumamku.
"Setidaknya dia tahu kamu menyimpan perasaan untuknya,"sambung Yudhis.
Aku tersenyum pahit.
"Nggak ada gunanya Yud.Sebentar lagi aku akan menghilang dari dunia ini.Dan lebih baik jika dia nggak tahu perasaanku."
"Berhentilah bicara tentang kematian,Rhein. Kamu kan tahu aku nggak suka mendengarnya,"ucap Yudhis setengah emosi.
"Itu kenyataan Yud,"sahutku cepat."Virus itu akan terus berkembang dan memakan sel tubuhku perlahan-lahan.Kekebalan tubuhku akan semakin melemah,penglihatanku juga akan semakin berkurang dan aku tidak akan bisa berjalan lagi sampai..."
"Cukup Rhein!"teriak Yudhis keras.Cowok itu bangkit dari duduknya seraya memendam amarah yang tengah meluap.Sepasang mata milik Yudhis melotot.Menatap tajam kearahku.
Untuk beberapa waktu lamanya Yudhis hanya menatapku tanpa sepatah katapun. Wajahnya tampak merah karena memendam amarah.Namun tiba-tiba saja ia beranjak pergi dari hadapanku.Masih tanpa sepatah katapun.
Aku hanya bisa menatap punggung Yudhis yang bergerak menjauh.
Aku kasihan pada Yudhis.Selama ini aku hanya memanfaatkan persahabatan kami. Ia adalah sahabat terbaik yang aku miliki seumur hidup dan aku hanya bisa menyusahkan dirinya.Aku sering membebaninya dengan masalah yang menimpaku.Aku sering memperlakukannya seperti kekasihku padahal kami hanya sebatas teman.Aku telah berpura-pura pada diriku sendiri.Melampiaskan perasaanku yang tak tersampaikan padanya.Meski Yudhis tahu hal itu tapi ia tetap memperlakukanku dengan baik.
Dan aku masih mengabaikan perasaan Yudhis sampai hari ini.Padahal ia selalu ada untukku...
$$$$$
"Rheina!Apa yang kamu lakukan?!"
Teriakan mama menghentikan pergerakan tanganku memasukkan pigura kedalam kardus.Mama terburu-buru mendekat lantas merebut benda itu dari tanganku.
"Kenapa kamu membereskan semua barang-barangmu?"desak mama tampak tak sabar.Ia sedikit terpukul melihat kelakuan.Aku baru saja sampai dari sekolah bahkan belum sempat mengganti seragam tapi malah membereskan barang-barang pribadiku dan menempatkannya didalam kardus.Yang nantinya aku masukkan kedalam gudang.
Aku tak langsung menyahut.Dengan gerakan gontai aku berpindah ke tempat tidur dan duduk diatasnya. Sedang mama mengikuti perbuatanku.
"Rhein..."
"Rheina akan mati Ma.Cepat atau lambat,"tandasku bergumam.Lirih.
"Rheina!"teriak mama kaget.Walaupun dia sudah tahu itu sepertinya tidak perlu berteriak sekeras itu."Kamu nggak boleh berkata seperti itu Rhein.Mama nggak suka.Kamu tahu itu?"
Kulihat sepasang mata milik mama tampak berkaca-kaca.
"Saat Rheina nggak ada nanti Rheina nggak ingin dikenang ma.Rheina nggak ingin kalian sedih saat masuk kedalam kamar ini.Jadi Rheina mengemasi barang-barang Rheina,"tandasku.
"Kamu adalah putri kesayangan mama Rhein,"sela mama seraya mengusap rambutku dengan lembut."Kita masih punya waktu untuk bersama.Jadi berjuanglah untuk tetap hidup demi mama..."
Aku tersenyum pahit mendengar ucapan mama.
Virus itu telah menyebar dengan cepat ma,batinku.Bahkan untuk mengingat pelajaranpun otakku sudah tidak mampu.Tadi disekolah aku nyaris tak bisa mengerjakan soal ulangan satupun.Aku takut tak bisa mengingat orang-orang disekitarku lagi.
"Makanlah dan istirahat,"suruh mama beberapa saat kemudian."Jangan lupa minum obatmu.Dimana kamu meletakkan obatmu?"tanya mama seraya membuka laci meja belajarku untuk mengambil obat milikku. "Obatmu sudah habis Rhein?Bukankah baru tiga hari yang lalu mama baru menebusnya..."
Aku tak menyahut.Hanya menatap mama kaku.
"Rheina!"tegur mama setengah berteriak.Mengingatkan aku bahwa ada pertanyaan yang mesti kujawab
"Rheina membuangnya ma,"gumamku lirih.Seolah tanpa rasa berdalah sedikitpun.
"Astaga Rhein!"teriak mama lagi.Ia tampak kaget dan terpukul mendengar pengakuanku."Apa kamu sudah gila Rhein?" tanya mama seraya mengguncang bahuku kuat-kuat.
"Obat itu nggak bisa nyembuhin Rheina ma.Rheina akan tetap mati.Sekarang atau nanti sama saja!"aku balas berteriak kali ini.
Plak!
Sebuah tamparan keras melayang ke pipiku secepat kilat.
Uh...pipiku panas.
"Kamu tega menyakiti hati mama dengan bicara seperti itu..."gumam mama dengan mata memerah.
Wanita itu menatapku dengan perasaan terluka.
"Ma..."
Mama berangsur pergi dari hadapanku masih dengan tangis yang tertahan dimatanya.
"Ada apa Kak?Kak Rheina berantem sama mama?"Sheila menyeruak masuk kedalam kamarku tanpa permisi.Gadis itu masih berseragam dan tas ranselnya masih menggantung dipunggung.Ia baru saja datang dari sekolah.
Aku tak menjawab.Hanya mengisyaratkan pada Sheila untuk membiarkan aku sendirian.
$$$$$
Huh...
Aku menutup buku pelajaranku padahal baru lima menit yang lalu aku membukanya. Percuma,batinku.Toh aku tidak akan bisa mengingat materi pelajaran itu sama sekali.
Aku merebahkan punggungku diatas tempat tidur seraya menatap kearah langit-langit kamar.
Aku sadar ada yang mulai berubah pada tubuhku.Kondisiku mulai menunjukkan penurunan akhir-akhir ini.Sedikit demi sedikit aku akan kehilangan semuanya.
"Kak Rhein...lagi sibukkah?"
Aku tercekat mendengar teguran dari arah pintu kamarku yang telah terbuka.Dan Sheila telah menghambur ke arah tempat tidur sebelum aku sempat menjawab pertanyaannya.
Gadis itu merebahkan tubuhnya diatas tempat tidurku.
"Ada apa?"tanyaku sedikit heran.Tak biasanya ia bersikap sehangat itu padaku.
"Kak...aku udah jadian sama Ben,"ungkap Sheila mengejutkan.
Aku terdiam seketika.
Ternyata Ben menyimpan perasaan yang sama dengan Sheila.Padahal aku yang mengenal Ben duluan,tapi hal itu sama sekali tidak berpengaruh pada perasaan Ben.Sheila sangat beruntung bisa meraih simpati Ben.
Aku tak menggubris celotehan Sheila yang begitu bersemangat menceritakan hal tentang Ben.Aku hanya bisa diam seraya menerawang ke langit-langit kamar.Melukis sisa-sisa perasaan yang tengah terluka disana.
"Kakak lupa memberikanmu sesuatu ,"ucapku beberapa saat setelah Sheila mengakhiri celotehannya.
"Apa?"sahut gadis itu cepat.
"Itu,"tanganku menunjuk kearah kantung-kantung belanjaan yang tergeletak diatas meja belajarku semenjak beberapa hari yang lalu.
Sheila bangkit dan bergegas memeriksa isi kantung-kantung itu.Dan ia tampak girang manakala menemukan sepasang stiletto berwarna perak dan menunjukkannya padaku.
"Ini juga buatku?"tanyanya tak yakin.
"Iya,semua itu untuk kamu,"tandasku.
"Benarkah?"sekali lagi ia mengulang pertanyaannya.
Aku mengangguk iya.
"Trims kak,"teriaknya girang ."Eh tapi kenapa kak Rheina memberi aku hadiah sebanyak ini.Ada apa?"tanyanya kemudian.Ia tampak sedikit curiga dengan pemberianku itu.
Aku merasa terpojok.Aku belum mempersiapkan jawaban jika Sheila mempertanyakan hadiah-hadiah itu.
"Kamu nggak mau hadiahnya?Sini kembalikan,"ucapku berpura-pura sewot.
"Eh nggak nggak,"sahut Sheila cepat.Gadis itu buru-buru pamit seraya menyambar kantung-kantung itu dan berlari keluar dari kamarku.
$$$$$
"Apa ini Rhein?"
Pertanyaan itu terlontar dari mulut Yudhis begitu aku menyodorkan sebuah kotak berisi sepatu olahraga bermerk terkenal kehadapannya.
"Sepatu baru,"sahutku cepat."Aku lihat sepatu itu dan aku langsung ingat kamu.Jadi aku membelinya.Anggap saja itu hadiah terakhir dariku,"tandasku nyaris tanpa beban.
"Aku nggak mau,"tolak Yudhis tegas dan cepat.Tangannya berusaha menepis kotak itu menjauh.
"Yud..."
"Rhein,jangan bersikap seolah-olah kamu akan mati besok,"ujarnya setengah geram.
Aku menghela nafas panjang.Aku tahu perasaannya pasti sangat terluka mendengar ucapanku.
"Aku hanya takut nggak sempat melakukan sesuatu buat kamu..."gumamku pelan."Mungkin sudah saatnya aku meninggalkan sekolah ini,"imbuhku kemudian.
"Rhein..."Yudhis menatapku lekat-lekat.Ada secercah luka terpancar dari sorot matanya.
"Aku nggak bisa bertahan lebih lama lagi Yud..."
"Apa sekali saja kamu nggak pernah berpikir untuk berjuang hidup lebih lama lagi?!"potong Yudhis cepat.Nada suaranya meninggi.
"Apa kamu nggak pernah mikirin orang-orang yang menyayangi kamu? Harusnya kamu berjuang hidup demi mereka,bukan malah sebaliknya seperti ini!"
Aku tahu,batinku.Namun mulutku terdiam.Aku memang tidak pernah memikirkan perasaan orang-orang disekitarku.Terutama Yudhis.
"Aku sayang kamu,Rhein,"sentak Yudhis seraya mengguncang bahuku.Mengoyak lamunan kecilku."Apa sekalipun kamu nggak merasa kasihan padaku dan berusaha bertahan lebih lama lagi? Kenapa kamu malah bersiap mengucapkan salam perpisahan seperti ini?"
"Yud..."
"Aku nggak memintamu untuk mencintaiku,"Yudhis memotong lagi. "Aku hanya minta hiduplah lebih lama lagi."
"Aku nggak mau membebani orang-orang disekitarku Yud.Akan lebih baik jika aku cepat menghilang dan segera dilupakan,"tandasku getir.Aku tahu perkataanku akan menyakitkan hati Yudhis.
Namun tiba-tiba saja Yudhis menarik tubuhku kedalam pelukannya.Cowok itu memeluk tubuhku erat-erat.
"Kamu tahu kan aku paling benci mendengar kamu mengucapkan hal seperti itu,"ucapnya pelan.
Tak terasa air mataku telah jatuh dan membasahi seragam putih milik Yudhis.
Sebenarnya aku sangat takut mati Yud,batinku sembari terisak.Dan Yudhis malah mempererat pelukannya padaku.
Belakang sekolah sepi.Hanya desau angin yang berhembus kearah kami.Sedang bel terdengar beberapa detik kemudian.Mengakhiri segalanya.
$$$$$
Samar-samar mataku menerawang jauh kebalik jendela rumah sakit.Kearah dimana angin telah berhasil merontokkan daun-daun kering dari rantingnya.Mereka berguguran lantas jatuh ketanah.Dan berakhirlah kehidupan daun-daun itu.
Seperti aku.Suatu saat nanti aku juga akan jatuh berguguran seperti daun-daun kering itu.Lantas hancur dan menghilang dari muka bumi.
Pagi itu aku mendapati kakiku kaku dan tidak dapat digerakkan.Semenjak itulah aku harus terkapar diatas kursi roda sepanjang hari.Dengan kondisi yang kian melemah dan pandangan yang semakin kabur.Tubuhku juga nyaris tinggal tulang.Rheina yang sekarang tampak sangat mengenaskan.
Hari-hariku semakin kosong dalam pengasingan.Aku tak mau menerima kunjungan dari siapapun.Yudhis sekalipun.Aku tak mau terlihat rapuh dan menyedihkan dimatanya.
Jika saja aku bisa bertahan lebih lebih lama,aku hanya ingin membalas perasaan Yudhis.Aku ingin belajar mencintainya.Bahkan aku sempat berangan menikah dan memiliki anak darinya.Tapi aku sadar aku tak bisa bertahan lebih lama.Dan aku sadar perasaanku pada Yudhis bukanlah cinta.Karena sampai detik ini aku masih mencintai Ben.
Kasihan Yudhis.Entah bagaimana perasaannya sekarang dan nanti setelah aku benar-benar menghilang dari dunia ini.Aku tak mau menjadi kenangan pahit baginya.Aku ingin dia bahagia jika suatu saat ia telah menemukan cinta sejatinya.
Pasien dikamar sebelah telah meninggal pagi tadi.Dan itu membuatku sangat takut menghadapi kematian.Tapi aku hanya bisa pasrah dan menunggu sampai waktuku berakhir.
Meski masih terlalu banyak yang ingin kukerjakan.Bertengkar dengan Sheila,bercanda dengan Yudhis dan andai saja penyakit mematikan itu tidak menyerangku aku pasti akan memperjuangkan cintaku pada Ben.Tapi semua itu hanya mimpi kosong yang tidak akan pernah terjadi.
Ahh...
Daun-daun kering itu kembali berjatuhan ketanah setelah diterpa angin.Dan mungkin aku akan bernasib sama dengan mereka senja nanti atau mungkin senja esok...

YES, I'M A VAMPIRE


Zen benar-benar memenuhi janjinya untuk menculik Ara. Cowok cool dari kalangan bangsawan vampir yang berambut merah itu menyekap Ara di kamar pribadinya. Dan Zen telah menggigit leher Ara sesaat setelah ia berhasil menculik gadis manis itu.
Dan imbasnya Ara pingsan selama tiga hari berturut-turut. Ia mengalami demam yang sangat tinggi setelah itu. Pertanda proses perubahan statusnya dari manusia menjadi vampir sedang berlangsung.Dan inilah yang diharapkan oleh Zen. Ia ingin Ara menjadi bangsa vampir seperti dirinya agar ia bisa punya alasan kuat untuk memiliki gadis itu seutuhnya. Agar perbedaan yang semula menghalangi niatnya hilang.
Cinta benar-benar sungguh ajaib! Dan Zen telah menciptakan keajaibannya sendiri.
"Selamat datang di dunia kami, Ara!"
Teguran itu terdengar sesaat setelah Ara tersadar dari pingsannya. Gadis itu kaget mendapati tubuhnya tengah terbaring lemah di atas tempat tidur besar nan mewah. Ia mencoba bangkit dengan sisa tenaga yang dimilikinya.
"Apa yang kamu lakukan padaku?"tanya Ara sedikit cemas.
Gadis itu melangkah perlahan ke depan cermin besar yang terpajang di dinding. Betapa terkejutnya saat ia melihat pantulan wajahnya didalam cermin.
Wajah pucatnya terlukis samar didalam cermin. Dan lihatlah, rambutnya yang semula hitam telah berubah menjadi kemerahan. Ara baru tahu jika Zen benar-benar telah merubah statusnya. Dan bekas luka itu masih tampak jelas dilehernya.
"Luka itu akan hilang empat hari lagi,"beritahu Zen seraya mendekat ke tempat Ara berdiri.
"Aku tidak menduga kamu benar-benar melakukannya. Kenapa mesti aku Zen?! Kenapa?!" teriak Ara kencang. Ia berbalik dan memukul dada cowok itu bertubi-tubi untuk melampiaskan kekesalan hatinya.
Zen diam seperti patung. Ia sudah menduga Ara akan marah padanya.
"Kenapa kamu tidak pernah menerima perbedaan kita?"tanya Ara mulai meredakan pukulannya lantas berhenti sama sekali. Digantikan tangis yang mulai merebak diwajahnya.
"Bagi vampir seperti kami hidup sekali, mencintai juga sekali. Memiliki atau mati. Itu adalah prinsip kami,"tandas Zen tegas. Sifat kebangsawanannya tampak dari gaya bicaranya yang elegan saat mengucapkan prinsip hidup bangsa vampir.
"Tapi kalian pembunuh...."
"Kami hanya minum darah hewan ternak. Meski kami sangat ingin minum darah manusia, tapi kami sekuat tenaga tidak melakukannya. Memang ada sebagian dari bangsa kami yang berburu darah manusia, tapi kami tidak,"jelas Zen.
Ara tersenyum pahit.
"Jadi ada etika di dunia kalian?"sindir Ara sinis.
"Dunia kita, Ara,"tukas Zen meralat ucapan Ara.
"Aku tidak mau menjadi bagian dari kalian. Aku ingin menjadi manusia kembali. Aku ingin pulang,"tegas Ara. Gadis itu hendak meninggalkan kamar Zen tapi dicegah oleh cowok tampan itu.
"Kamu tidak bisa pergi!"seru Zen cepat. Membuat gadis itu mengurungkan niatnya.
"Kenapa?"tanya Ara cepat."Apa ada mantra tertentu untuk keluar dari tempat ini?"
"Bukan. Tapi sinar matahari akan membakar tubuhmu hingga menjadi abu,"ungkap Zen mengejutkan Ara.
"Benarkah? Bukankah kamu selalu bepergian di siang hari?"timpal Ara.
"Beberapa puluh tahun yang lalu bangsa kami terkena radiasi bahan kimia. Menyebabkan gen bangsa kami bermutasi sehingga kami tidak terbakar meski terpapar sinar matahari. Radiasi itu juga menyebabkan warna bola mata kami menjadi abu-abu,"tutur Zen menjelaskan.
"Tapi kenapa aku berbeda?Bukankah aku sudah menjadi vampir?"tanya Ara heran.
"Belum,"sahut Zen."Kamu masih setengah manusia. Setelah menikah denganku kamu akan menjadi vampir seutuhnya."
"Oh.....lucu sekali. Dunia kalian benar-benar membingungkan,"Ara menyunggingkan senyum kecutnya.
"Malam ini ada pesta di ballroom hotel. Aku akan memperkenalkanmu sebagai calon istriku pada semua orang. Jadi kamu harus bersiap-siap. Seseorang akan mengantar gaunmu. Jangan lupa untuk berdandan yang cantik,"Zen tersenyum sebelum meninggalkan kamar itu.
Zen sialan! Ia telah menjebakku, gerutu Ara kesal.
~~~%%~~~
Ara tampak cantik mengenakan gaun malam hasil rancangan designer Eva. Ia adalah designer terkenal langganan bangsawan vampir. Tentu saja karena Eva juga berasal dari kalangan vampir.
Bagi Ara ini adalah pesta yang paling membosankan yang pernah ia datangi. Semua orang tampak sibuk dengan kenalan masing-masing seperti sedang bernegosiasi bisnis.
"Sebenarnya mereka sedang pesta atau rapat?"gumam Ara sendirian. Sementara Zen sedang mengambilkan minuman untuknya.
"Ada apa?"tanya Zen seraya menyerahkan segelas minuman untuk Ara.
"Apa ini?"tanya Ara seraya mengamati isi gelas yang ada dalam genggaman Zen."Bukankah kita tidak minum sirup?"tanya Ara heran.
"Kamu setengah manusia, Ara,"bisik Zen."Lagipula di tempat ini ada banyak sekali manusia. Dan juga vampir. Kami menyembunyikan identitas kami dari mereka,"imbuhnya masih dengan berbisik.
Ara mengerti sekarang.
Malam itu Zen memperkenalkan Ara sebagai tunangannya kepada semua hadirin. Sorak sorai terdengar riuh menyambut kedatangan Ara.
Bahkan Zen juga mengumumkan hari pernikahan mereka berdua minggu depan. Tentu saja Ara protes dengan keputusan sepihak ini. Setelah ia menculik Ara dan menjadikannya manusia setengah vampir, kini ia memutuskan untuk menikahi Ara tanpa minta pertimbangan gadis itu terlebih dulu. Bisa-bisanya ia melakukan itu padaku, batin Ara kesal.
"Rasa-rasanya aku mencium aroma aneh disini,"tegur seorang cowok berpakaian jas lengkap kepada Ara yang sedang berdiri disudut ruangan sendirian. Zen pamit sebentar untuk berbincang dengan genk vampir dari kalangan bangsawan.
Ara kaget melihat sosok cowok keren dihadapannya. Rambut cowok itu berwarna pirang, tapi bola matanya abu-abu. Ia pasti vampir juga, batinnya menebak.
"Kamu siapa? Dan apa maksudmu?"tanya Ara sedikit ketakutan. Bagaimanapun juga ia adalah orang asing di dalam ruangan itu.
Cowok itu tertawa manis.
"Perkenalkan namaku Kay. Aku adalah sepupu Zen,"tandas cowok itu memperkenalkan diriya.
Ara tergagap saat dipaksa berjabat tangan dengan Kay.
"Selera Zen lumayan juga. Pantaslah dia melakukan ini padamu,"sindir Kay."Tapi aku masih mencium harum darah manusia disini,"bisiknya seraya menyeringai.
"Kay!"Zen datang.
Dan Kay langsung menyingkir dari hadapan Ara begitu mengetahui sepupunya datang.
"Apa yang dia katakan padamu Ara?"tanya Zen agak cemas."Jangan dengarkan dia..."
"Aku ingin pulang sekarang,"pinta Ara seraya menarik lengan jas Zen.
~~~%%~~~
Hari pernikahan Ara dan Zen digelar dalam sebuah pesta mewah dan meriah. Meski ini bukan yang Ara inginkan tapi gadis itu tak bisa menghindar. Ia menganggap ini adalah bagian dari jalan hidupnya. Ia akan kehilangan statusnya sebagai manusia usai melakukan ritual malam pertamanya dengan Zen.
"Kamu menyesal?"tanya Zen saat matahari baru saja merekah di ufuk timur.
Ara terbaring membelakangi tubuh Zen. Dan air mata membasahi pipinya yang pucat.
"Aku minta maaf Ara,"bisik Zen. "Aku melakukan ini karena aku teramat sangat mencintaimu,"imbuhnya lagi.
Zen mencium punggung Ara yang terbuka dengan lembut.
"Sudah terlambat untuk menyesal,"Ara membalikkan tubuhnya dan menatap wajah suaminya."Apa sekarang mataku sudah berwarna abu-abu?"
Zen mengangguk.
"Rambutmu juga sudah berubah merah,"ucap Zen.
Ara tertegun membayangkan dirinya sekarang.
"Mulai sekarang kita bisa menikmati sinar matahari tanpa takut terbakar,"ujar Zen sambil berangsur turun dari atas tempat tidur. Lantas ia mengambil sebuah gelas dari atas meja dan menyodorkannya ke hadapan Ara.
"Apa ini?"gumam Ara heran.
"Ini minuman pertamamu,"jawab Zen."Ini darah domba segar,"jelasnya.
"Darah?"ulang Ara sembari mengamati cairan merah pekat didalam gelas. Harusnya ia jijik saat mencium aroma amis dari gelas itu, tapi nyatanya tidak. Ia malah mencium wangi yang aneh dan menerbitkan air liurnya.
Perlahan Ara meneguk minuman itu. Ternyata minuman itu terasa menyegarkan.
"Aku pasti sudah gila,"gumam gadis itu usai meneguk habis minumannya. Sedang Zen menyeka sisa-sisa minuman itu dari bibir Ara.
"Kamu tidak gila sayang,"sambung Zen."Ini adalah sebuah permulaan."
~~~%%~~~
Kay, saudara sepupu Zen memang seorang pengacau. Diam-diam cowok itu menaruh hati pada Ara. Suatu kesempatan datang padanya untuk mendekati Ara. Tentu saja hal ini membuat Ara kesal.
Begitu Zen mengetahui perihal ini, ia marah dan melakukan pembalasan pada saudara sepupunya.
"Apa yang kamu inginkan, Kay?"tantang Zen menantang kejantanan Kay. Mereka berhadapan satu lawan satu dan siap untuk berduel.
Kay menyeringai. Ia sangat paham dengan tantangan yang diajukan Zen.
"Kalau aku katakan apa yang aku inginkan, apa kamu akan memberikannya padaku?"balas Kay dengan angkuhnya.
"Tentu, tapi setelah kamu melangkahi dulu mayatku,"tegas Zen pada puncak emosinya.
"Jadi kamu benar-benar ingin mengadu kekuatan denganku? Baik, akan aku layani,"sahut Kay. Iapun mulai bersiap mengumpulkan segenap energi yang ia miliki.
"Bukan aku yang memulai semua ini, jadi jangan menyesal jika terjadi apa-apa denganmu,"ancam Zen.
"Kita lihat saja nanti,"
Mereka berdua mulai mengeluarkan kekuatan masing-masing. Dari telapak tangan Zen keluar seberkas cahaya hijau yang ia arahkan ke tubuh Kay bertubi-tubi. Sementara dari telapak tangan Kay keluar seberkas cahaya oranye.
Pertarungan itu sangat menegangkan. Sesekali Kay terjerembab ke belakang mendapat serangan cahaya hijau dari telapak tangan Zen. Begitu juga dengan Zen. Berkali-kali cowok itu terjatuh terkena serangan Kay.
Pertarungan itu menimbulkan percikan-percikan cahaya dilangit malam. Sangat menakjubkan. Kekuatan kedua vampir muda nan keren itu seimbang. Nyaris semalaman mereka bertarung namun sampai menjelang pagi belum ada tanda-tanda salah satu dari mereka yang memenangkan duel tersebut.
Namun untunglah keributan itu terdengar sampai ke telinga tetua vampir. Dan atas perintah tetua pertarungan itu terpaksa dihentikan atau keduanya akan mati sia-sia karena kehabisan tenaga.
Sidang darurat komite persatuan vampir digelar keesokan harinya untuk menyelesaikan pertikaian antara Zen dan Kay. Setelah mendengar pembelaan masing-masing dan juga kesaksian Ara, maka Kay dinyatakan bersalah.
Kay akan dijatuhi hukuman setimpal. Ia harus menjadi pelayan di kerajaan vampir selama setahun penuh. Dan setelah itu ia akan dijodohkan dengan gadis dari kalangan vampir juga.
Zen dan Ara bernafas lega mendengarnya. Sepertinya Kay pantas mendapatkan hukuman itu.....
~~~%%~~~
"Aku merindukan mereka,"gumam Ara nyaris tak terdengar. Ia berbaring membelakangi Zen.
Sudah nyaris sebulan Ara tinggal bersama Zen.....
Zen mengernyitkan dahi. Tak paham maksud ucapan istrinya.
"Mereka siapa?"tanya Zen seraya mengusap rambut Ara yang terjuntai di atas bantal.
"Orang tuaku, adik-adikku..."gumam Ara lagi.
Zen agak kaget mendengar ungkapan hati istrinya.
"Kamu tidak boleh kesana apalagi menemui mereka, Ara..."
"Aku tahu,"sambung Ara.
Namun Ara terlalu merindukan keluarganya. Sehingga pada suatu malam ia menyelinap keluar saat Zen sedang pergi. Ia hanya ingin melihat keluarganya dari kejauhan, begitu tekadnya dalam hati.
Dari balik kegelapan malam, Ara dapat melihat meski dengan samar keluarganya tengah berkumpul di ruang tengah.
Mereka tampak berbincang dengan raut wajah yang tidak begitu gembira. Ayah, Ibu dan kedua adik kecilnya. Ara ingin sekali berlari ke arah mereka dan memeluk tubuh mereka satu persatu.
Namun Ara hanya bisa menitikkan bulir-bulir air mata dari matanya tanpa bisa berbuat sesuatu.
Mereka pasti sangat mencemaskanku,batin Ara seraya membalikkan tubuhnya dan berangsur pergi.
Langkah-langkahnya lemah seperti lelah. Meski ia tak lelah. Malam semakin larut dan ia harus segera kembali sebelum Zen memergokinya tidak ada dirumah saat ia pulang nanti.
Langkah Ara terhenti. Seorang anak kecil tampak duduk berjongkok tak jauh dari tempatnya berdiri. Anak itu sedang menangis sendirian disana. Dibawah lampu taman yang bersinar redup.
Ara mencoba mendekat. Ia menegur anak itu dengan suara lembut.
"Kenapa kamu ada disini sendirian? Dimana rumahmu?"tegur Ara sembari mengusap rambut anak kecil itu.
Anak kecil itu mengangkat wajahnya dan menatap Ara. Ia tak menjawab. Sementara sisa-sisa air mata masih tampak di pipinya.
Ara menatap anak itu tanpa berkedip. Ada sesuatu yang mulai merasuki dirinya. Hidungnya menangkap aroma harum sesuatu dari tubuh anak kecil itu. Membangkitkan hasrat dalam dirinya.
Ara mulai mendekatkan wajahnya kepada anak kecil itu. Perlahan namun pasti. Ara mulai menggigit leher anak kecil itu sementara kedua tangannya memegangi pundak anak itu agar tidak bergerak barang seinchipun. Ara menghisap darah anak itu terus dan terus seperti orang yang kehausan.
Sampai akhirnya tubuh anak itu terkulai lemas dan tak bergerak lagi. Ia kehabisan darah!
Ara baru tersadar jika anak itu telah meninggal. Ia tertegun menatap wajah anak itu yang tampak keriput.
Aku telah membunuhnya, batin Ara. Tubuhnya gemetar.
"Hei!! Apa yang kamu lakukan?!"
Ara terhenyak mendengar teriakan itu. Ia melihat seorang laki-laki sedang melihat kepadanya dengan pandangan curiga.
Ia panik dan mengambil keputusan secepat mungkin. Ara melarikan diri.
Ia kabur dari tempat itu sebelum ada orang lain lagi yang datang kesana. Ia berlari sekencang-kencangnya.
Aneh! Ara melesat bak angin. Padahal sebelumnya ia tidak pernah bisa berlari secepat ini.
~~~%%~~~
Zen menyambut kedatangan Ara dengan tatapan heran.
"Kamu darimana?"desak Zen tak sabar."Bukankah aku sudah bilang kamu tidak boleh menemui mereka."
Ara tak menyahut. Namun tiba-tiba saja dari kedua pelupuk matanya mengalir tetes-tetes bening.
"Ada apa?"desak Zen.Ia mengguncang bahu Ara pelan.
"Aku membunuhnya,"gumam Ara."Aku membunuhnya,Zen. Aku seorang pembunuh!"
Ara berteriak histeris.
"Tenanglah..."Zen mencoba menenangkan hati Ara.
"Aku membunuh anak itu,Zen. Aku seorang pembunuh!"teriak Ara lagi. Disertai isak tangis.
Zen mengerti. Ia segera meraih tubuh Ara kedalam pelukannya. Untuk menenangkan hati Ara yang tengah bergejolak.
"Tenanglah,"bisik Zen."Semua vampir pasti pernah melakukan itu."
"Tapi kamu tidak pernah kan?"tanya Ara menimpali.
Zen menggeleng. Zen memang belum pernah membunuh satu manusiapun.
"Aku yang telah membawamu keduniaku,"ucap Zen kemudian."Aku akan bertanggung jawab atas apa yang kamu lakukan, Ara. Aku berjanji akan selalu menjagamu. Jadi jangan pernah pergi jauh dari sisiku. Kamu mengerti?"
Ara mengangguk.
"Maafkan aku,"ucap Ara.
"Aku mencintaimu Ara,"bisik Zen mesra didekat telinga Ara. "Karena cinta aku bisa melakukan apapun, termasuk mengubah takdir. Aku tidak tahu cinta bisa membuatku segila ini."
Ara tersenyum tipis.
"Aku tidak pernah mendengarmu mengatakan mencintaiku."Zen melepaskan pelukannya pada Ara. "Apa kamu tidak pernah mencintaiku?"tanya Zen curiga.
Ara menghela nafas.
"Aku tidak tahu,"jawab Ara."Yang aku tahu aku hanya harus hidup dengan baik disisimu."
Zen mengerutkan keningnya.
"Hanya itu saja?"
"Kamu belum puas dengan jawabanku?"
"Lumayan."