Senin, 22 Juli 2013

BUKU HARIAN DI (DI'S DIARY)


Aku menemukan diary itu terselip dibelakang jajaran novel di rak perpustakaan sekolah. Semula aku pikir itu hanya kerjaan anak-anak kelas 11 yang suka iseng. Namun nyatanya benda itu memang sengaja di letakkan disana. Mungkin agar suatu saat nanti ada seseorang yang menemukan dan membaca isinya. Dan orang itu adalah aku.
Dan malam ini aku mulai membaca diary misterius itu.......

December,10/2010
Dear my diary......
Ada sebuah pertanyaan yang mengganggu pikiranku malam ini. Tapi aku tidak menemukan jawabannya. Bahkan di langit-langit kamarku juga tak ada. Mungkin pertanyaan ini terlalu mudah bagi orang lain.Tapi sulit bagiku.
Pertanyaan itu tiba-tiba datang saat aku melihat seorang teman diantar kekasihnya pergi ke sekolah. Ia seumuran denganku. Tapi ada yang berbeda antara aku dengannya. Di usiaku yang menginjak 17 tahun aku belum pernah pacaran. Aku juga belum pernah ditembak seorang cowok.
Diary, apa itu normal? Atau aku yang terlalu kuper dan tertutup sehingga tidak ada seorang cowokpun yang tertarik padaku?
Aku memang kurang cantik dan tidak pandai bergaul. Benar itu jawabannya kan?
Mungkin juga aku belum siap dengan semua itu.

Kisah cinta seperti apa yang kau inginkan terjadi dalam hidupmu......?

December, 15/2010
Diary....
Hari ini aku jatuh pingsan saat upacara bendera. Ini untuk pertama kalinya. Biasanya aku baik-baik saja.
Entah kenapa aku merasa akhir-akhir ini ada sesuatu yang tidak beres dengan tubuhku.
Kau tahu, terkadang hidungku mengeluarkan darah tiba-tiba. Mungkin aku terlalu sibuk belajar dan tubuhku kelelahan.
Aku ngantuk. Lain kali aku mengunjungimu lagi...

December, 22/2010
Hari ini ada perayaan hari ibu di sekolah. Kami mengadakan acara pentas seni dan bazaar murah. Aku membeli beberapa buah novel terjemahan yang sudah di diskon 50%. Murah bukan?
Tapi aku sedikit merasa sedih. Kau tahu kan ibuku meninggal saat aku berumur 2 tahun. Aku tidak bisa mengucapkan selamat hari ibu padanya secara langsung. Aku hanya bisa membacakan doa untuknya.
Aku sangat sedih, diaryku....
Kenapa Tuhan mengambil ibuku begitu cepat?

January,4/2011
Diary.....
Hari ini aku jatuh pingsan lagi di sekolah. Aku dilarikan ke rumah sakit.
Dokter belum tahu penyakitku. Ia menyarankan aku untuk menjalani tes darah.
Sebenarnya aku sakit apa? Seberapa parah?
Aku hanya takut tidak bisa mengikuti ujian nasional beberapa bulan lagi karena sakit.

January,12/2011
Aku sudah menjalani tes darah beberapa hari yang lalu. Dan hari ini dokter memberikan hasilnya. Apa kau tahu aku sakit apa?
Diary, aku mengidap leukimia. Dan penyakitku sudah parah. Bahkan dokter sudah memvonis umurku tidak lama lagi. Entah 8 atau 6 bulan lagi. Sudah terlambat untuk melakukan operasi.
Aku menangis sejadi-jadinya setelah tahu hal itu. Aku sangat sedih dan menganggap Tuhan tidak adil padaku. Ia telah mengambil ibuku yang belakangan aku baru tahu ia mengidap penyakit yang sama.
Ia juga merenggut ayah dari tanganku. Ayah pergi mencampakkan aku.
Kenapa nasibku semalang ini?

January,30/2011
Dear diary....
Aku sudah menerima takdirku belakangan ini. Aku yakin apa yang telah digariskan Tuhan pastilah yang terbaik buatku. Aku mencoba belajar sabar dan tegar. Meski akhir-akhir ini aku merasa semakin lemah namun aku mencoba untuk selalu tersenyum.


February,15/2011
Diaryku.....
Aku tahu tak akan bertahan. Tapi aku sangat sedih hari ini.
Seharian ini aku berpikir. Tentang hidupku. Aku pernah bertanya, kisah cinta seperti apa yang kau inginkan terjadi dalam hidupmu?
Mungkin aku tidak akan pernah bisa menjawabnya. Seumur hidupku aku belum pernah jatuh cinta dan belum pernah dicintai. Menyedihkan bukan?
Jadi, untuk apa aku bertahan. Aku tidak mau sembuh. Karena aku hadir atau tidak didunia inipun sama saja. Toh tidak akan ada yang merasa kehilangan diriku. Aku juga tidak akan merasa berat meninggalkan dunia ini....

February,28/2011
Hari ini aku mengunjungi perpustakaan seperti biasa. Dan apa kau tahu, aku melihat seorang cowok yang sedang tekun membaca sebuah novel di pojokan perpustakaan. Novel itu adalah novel favoritku. Aku sudah membacanya tiga kali.
Novel itu bercerita tentang seorang gadis yang berjuang hidup demi laki-laki yang ia sukai. Padahal ia tahu laki-laki itu tidak pernah menyukainya. Tampak seperti orang bodoh bukan?
Untuk pertama kalinya aku melihat seorang cowok membaca novel itu dengan serius. Aku merasa bahagia saat melihatnya. Entah kenapa aku merasa begitu.


March,7/2011
My diary....
Aku bertemu cowok itu lagi di perpustakaan. Tanpa sengaja. Ia tersenyum padaku saat kami nyaris bertubrukan di depan rak novel.
Tapi sayang kami tidak sempat berkenalan. Mana mungkin ada yang tertarik dengan orang sepertiku.
Lagipula aku akan mati sebentar lagi.


March,10/2011
Nama cowok itu Morgan. Nama yang indah bukan?
Aku bertemu dengannya dihalte depan sekolah. Kami sempat ngobrol meski hanya beberapa menit.Itupun sudah cukup membuatku gembira.
Ternyata ia orang yang sangat menyenangkan. Juga ramah dan hangat.
Ia juga suka membaca novel sepertiku. Ia bilang punya banyak koleksi novel dan ia bersedia meminjamiku.
Diary.....
Untuk pertama kalinya aku ingin bertahan hidup lebih lama. Karena Morgan.....


March,14/2011
Aku menyukainya!
Diaryku, aku menyukai Morgan. Sungguh, aku benar-benar menyukainya.
Untuk pertama dan terakhir kalinya, akhirnya aku menemukan seseorang dalam hidupku.
Dialah cinta pertama sekaligus terakhir dalam hidupku. Aku bahagia. Tuhan memberi kesempatan padaku bertemu dengan seseorang yang kusukai sebelum aku mati.
Aku tahu ini tak mungkin. Bahkan untuk mengatakan suka padanya sekalipun.
Andai ada sedikit keajaiban......

March,28/2011
Hi my diary.....
Aku berubah pikiran. Aku sengaja mulai menjauh darinya. Entahlah, aku sendiri juga tidak tahu alasannya.
Tubuhku semakin hari semakin rapuh. Aku tidak mampu bertahan lebih lama lagi.
Minggu depan aku akan mengundurkan diri dari sekolah diam-diam. Aku tidak akan memberitahu Morgan maupun yang lain.
Biarlah rasa suka ini ku pendam sendiri sampai aku tidak ada lagi di dunia ini.

Di loves Morgan......


Aku menutup diary misterius itu setelah membaca isinya sampai habis.
Di? Jadi nama pemilik diary itu berinisial Di? Tapi gadis itu bernasib malang. Ia mengidap penyakit mematikan itu dan karenanya ia tidak bisa mengatakan cinta pada orang yang ia sukai. Cinta pertama dan terakhirnya. Kasihan.....
*******

"Whaaaattt?!!"seru Tito kaget."Loe mau nyari pemilik diary yang loe temuin di perpus? Loe udah gila, Be. Loe kan tahu dia bilang umurnya nggak lama lagi. Pasti sekarang dia udah nggak ada lagi di dunia ini,"celutuk Tito lagi.
"Gue tahu,"sahutku cepat."Gue cuma ingin tahu identitas cewek itu. Gue juga pingin nyari Morgan untuk menyampaikan perasaan cewek itu ke dia."
Tito tersenyum pahit. Menertawakan keinginanku.
"Apa keinginan gue terlalu berlebihan?"tanyaku usai melihat reaksinya.
"Nggak sih,"cetusnya pendek. Sepasang mata Tito menerawang ke arah lapangan basket yang ramai oleh anak-anak yang sedang latihan. "Terus, loe mau nyari dia kemana?"tegur Tito datar.
Aku mendesah pelan.
"Karena itu gue nyari loe. Gue butuh bantuan loe,"sambungku kemudian sembari menepuk pundaknya.
Tito menoleh. Seperti takjub mendengar ucapanku.
"Udah gue duga, ujung-ujungnya pasti gue,"ujarnya berkeluh kesah.
"Karena cuma loe sobat gue, To,"sahutku sembari tersenyum manis. Berusaha meluluhkan hati cowok berkaca mata minus itu.
Tito menghela nafas berat. Tampaknya ia mulai mempertimbangkan permintaanku.
"Loe minta bantuan apa dari gue? Apa loe ingin gue nyolong buku arsip sekolah?"tanyanya.
Aku menggeleng. Kupikir tidak perlu se-ekstrim itu untuk menelusuri identitas Di.
"Gue rasa kita langsung mencari keberadaan Morgan,"tandasku serius. "Kita bisa mencari alumnus sekolah ini untuk mencari tahu tentang Morgan. Dari Morgan kita bisa menelusuri identitas Di. Menurut loe gimana?"tanyak meminta pertimbangan Tito.
Tito terdiam beberapa saat. Mungkin sedang berpikir.
"Oke,"sahutnya kemudian."Ide loe boleh juga.Gue bisa ngelacak keberadaan si Morgan secepatnya. Tapi gue minta bayaran sebagai detektif. Gimana?"
"Hmmm... dasar mata duitan,"olokku."Emang loe mau minta bayaran berapa?"tawarku.
"Lima ratus ribu."
"Gila loe! Loe mau ngerampok gue?"aku bersungut-sungut mendengar permintaannya.
Tito terbahak mendengar makianku.
"Kalau begitu tiga ratus ribu. Gimana?"tawarnya kemudian.
"Nggak! Biar gue aja yang nyariin si Morgan,"aku berlalu dari samping Tito dengan hati kesal.
"Bella! Tungguin dong!"teriak Tito seraya mengejar langkahku."Oke deh, gue nggak akan minta bayaran."
Aku menghentikan langkah begitu mendengar ucapannya.
"Bener loe nggak minta bayaran?"tanyaku ingin memastikan.
"Iya,"sahutnya seraya mengatur nafasnya yang terengah-engah usai mengejar langkahku.
Aku tersenyum.
"Nah, gitu dong...."
********

Penelusuran Tito selama seminggu akhirnya membuahkan hasil juga. Setelah melakukan wawancara dengan para alumnus sekolah kami, akhirnya kami berhasil melacak keberadaan Morgan.Alamat rumah juga kampusnya telah kami ketahui. Dan siang ini aku dan Tito mulai melakukan misi utama kami sepulang sekolah.
"Bener ini rumahnya?"gumamku seraya mengamati sebuah rumah berlantai dua. Lumayan juga rumahnya, batinku.
Beberapa saat kemudian pintu gerbang terbuka dan munculah seorang asisten rumah tangga.
"Kalian cari siapa?"tegurnya seraya mengamati perawakan kami dari ujung kepala sampai ujung kaki.
"Kami mau cari Morgan. Apa dia ada?"tanyaku cepat.
"Oh, Mas Morgan lagi kuliah. Paling sebentar lagi juga pulang,"jawabnya."Kalau kalian mau nunggu silakan."
Aku dan Tito memutuskan untuk menunggu Morgan pulang. Sekalian mencari minum gratis. Dan setengah jam kemudian seorang cowok berjaket cokelat datang. Dialah Morgan.
Aku menjelaskan maksud kedatangan kami sesingkat mungkin namun jelas.
"Aku emang sempat mengenalnya tapi nggak lama. Mungkin sekitar sebulan. Dan aku nggak tahu kenapa tiba-tiba dia menghilang. Mungkin dia pindah sekolah,"tutur Morgan saat aku menanyakan tentang Di.
"Saat itu dia sakit,"jelasku."Dan dia tahu umurnya nggak lama lagi, maka dari itu dia mengundurkan diri dari sekolah. Dan dia sempat menuliskan perasaannya dalam buku diary yang dia selipkan di rak perpus sekolah,"imbuhku lagi.
Aku mengambil diary milik Di dan menyerahkannya pada Morgan.
"Dia menyukaimu, tapi karena dia sadar nggak mungkin hidup lebih lama lagi dia hanya bisa menuliskan perasaannya dibuku itu,"ucapku.
Morgan tampak kaget mendengar keteranganku. Dia tersenyum tipis.
"Hanya karena ini kalian datang jauh-jauh menemuiku?"tanyanya."Kurasa dia salah paham dengan sikapku. Aku hanya menganggapnya sebagai teman, nggak lebih. Saat melihatnya di perpus aku bisa menilai gadis itu sangat pendiam dan mungkin saja dia nggak punya teman. Karena itu aku mencoba mengajaknya ngobrol. Aku nggak tahu kalau dia punya perasaan padaku,"ungkap Morgan seraya menerawang ke jalanan.
Aku dan Tito hanya tertegun mendengar penuturan Morgan. Jadi begini akhirnya hasil penelusuran kami? Morgan hanya menanggapi hal ini dengan dingin. Sama sekali tidak ada ketertarikan pada Di. Seolah pekerjaan kami sia-sia.
"Sebenarnya siapa nama cewek itu?"tanya Tito tiba-tiba.
"Diana,"sahut Morgan datar.
Kasihan gadis itu, batinku kecewa.
*********

"Nggak ke kantin Be?"tegur Tito sambil menepuk pundakku."Loe lagi ngelamun ya?"
Aku mendesah pelan.
"Gue ngerasa kecewa banget,To. Gue nggak bisa bayangin kalau gue jadi Di,"tandasku. "Seumur hidup dia belum pernah dicintai dan mencintai. Sekali jatuh cinta ternyata bertepuk sebelah tangan. Dan dia meninggal di usia muda," imbuhku lagi.
"Udahlah Be, jangan dipikirin. Nasib orang beda-beda. Mungkin sekarang Di udah bahagia di surga,"sahut Tito.
Aku tak menyahut karena masih larut dalam khayalan Di.
"Be,"sentak Tito kemudian."Kalau gue perhatiin akhir-akhir ini loe beda banget."
Aku sedikit heran mendengar kalimat Tito.
"Apanya yang beda? Gue masih sama kayak yang kemarin kok,"belaku.
"Nggak Be, loe beda semenjak dari rumah Morgan,"timpal Tito ngotot.
"Masa sih?"tanyaku penasaran.
"Ya,"tukasnya cepat."Tiba-tiba aja loe jadi pendiam dan gue perhatiin loe sering banget ngelamun. Dan lagi ngapain loe masih menyimpan diary itu di tas loe?"
"Loe tahu sendiri kan, Morgan nggak mau nyimpen diary itu..."
"Iya, tapi bukan berarti loe harus membawanya kemanapun loe pergi,"cetus Tito dengan nada kesal."Gue takut......"kalimat Tito mengambang.
"Takut apa?"
"Nggak, lupain aja,"sahut Tito cepat."Gue pergi ke kantin dulu."Tito buru-buru kabur dari hadapanku. Menyisakan tanda tanya besar dalam benakku. Tentang ketakutannya...
*******

Aku menatap sebuah cermin besar dihadapanku. Seraut wajah terlukis dengan samar disana. Wajahku. Namun entah kenapa aku merasa begitu asing dengan wajahku sendiri.
Benarkah ucapan Tito kemarin? Bahwa Di telah merasuki diriku? Semua kelakuan dan tingkahku bukan mencerminkan diriku yang biasanya.
Sesungguhnya aku merasa ada sesuatu yang aneh denganku. Aku merasa ada sebuah kekuatan misterius mengendalikan pikiran dan perbuatanku sehingga aku sering melakukan seseuatu diluar kebiasaanku.
Aku masih ingat, dua hari yang lalu aku mendatangi kampus Morgan. Aku sempat berbincang dengannya, namun aku tidak ingat sedikitpun dengan apa yang kubicarakan dengannya.
Sebenarnya apa yang terjadi denngan diriku? Benarkah Di telah merasuki diriku seperti ucapan Tito?
"Loe harus membuang diary itu jika ingin lepas dari Di,"ucap Tito kemarin. Ia bahkan hendak merebut benda itu dengan paksa dari tasku, tapi aku mempertahankannya mati-matian.
Aku tidak bisa membuang diary itu. Sayang jika benda itu dibuang begitu saja. Bukankah itu benda yang sangat berharga bagi Di. Diary itu adalah curahan hati Di. Perasaan Di tertumpah disana seluruhnya. Bagaimana aku bisa membuangnya begitu saja.
Di......
Siapa sebenarnya dirimu? Apa yang kau rasakan saat itu akupun bisa merasa. Hidup yang terlalu singkat, tanpa cinta tanpa harapan.
Namun aku yakin dimanapun kau berada saat ini, kau sudah mendapatkan kebahagiaan yang tidak pernah kau dapat dalam hidupmu.
Seraut wajahku nampak menyunggingkan senyum. Bukan, bukan aku yang sedang tersenyum. Tapi Di......
*******

Aku menatap ke arah kerumunan mahasiswa yang baru saja keluar dari gerbang kampus.
Mataku bergerak kesana kemari mencari sesosok tubuh seorang laki-laki. Padahal matahari bersinar terik memanggang kulit. Tapi tak sedikitpun menggoyahkan niatku.
Itu Morgan,batinku girang. Aku hendak berlari menghampirinya, namun saat aku hendak bergerak tiba-tiba saja ada seseorang yang menahan tubuhku.
"Kamu siapa?"gumamku kaget.
"Kamu? Sejak kapan loe nyebut kata kamu, bukan loe?"Tito tersenyum pahit."Sadar Be! Di udah menguasai diri loe. Loe harus membuang diary itu secepatnya."
Aku tertegun menatap Tito.
"To, Di bukan orang jahat, dia hanya ingin mengatakan perasaannya pada Morgan. Dan gue hanya ingin membantunya,"tandasku membela diri.
"Hanya membantunya?"ulang Tito dengan nada tinggi."Loe udah ngebiarin diri loe dikuasai olehnya, Be. Sadar Be, Di udah mati. Mati!"teriakan Tito menggema disekitar telingaku.
Aku tak bisa membalas.
Tito tiba-tiba merebut tasku secepat kilat. Aku tak sempat mencegahnya.
" Dimana benda itu, Be?"tanya Tito gusar. Ia telah memeriksa isi tasku dan tidak menemukan benda yang ia cari.
"Kenapa?"sahutku bertanya."Apa kamu nggak menemukan apa yang kamu cari?"aku melotot ke arahnya.
"Bella?????"
Aku tersenyum sinis. Menertawakan kebodohannya.
"Aku Di, bukan Bella,"
"Apa??"Tito nampak tercengang. "Be, sadar!"teriak Tito tiba-tiba dengan lantang. Tangan kanannya menyambar pipiku secepat kilat dua detik kemudian. Membuatku kaget dan terpaksa mundur beberapa langkah.
"Tito! Loe apa-apaan sih?"seruku kesakitan.
"Bella, ini loe kan?"desak Tito sambil mengguncang bahuku kuat-kuat."Sorry, gue cuman pingin nyadarin loe...."
Aku menepis tanganTito perlahan. Jadi Di menampakkan diri lagi melalui diriku?
*******

Nyala api mulai membakar lembar-lembar kertas ditanganku. Memburamkan goresan tinta diatasnya lantas mengubahnya menjadi lembaran-lembaran hitam.
Buku harian Di.....
Akhirnya aku sendiri yang memusnahkan benda itu. Meski aku sangat tidak ingin melakukannya tapi aku harus. Orang yang sudah pergi dari dunia sudah punya tempat sendiri di atas langit.
Pergilah Di......
Tuhan pasti sudah menyiapkan sebuah kebahagiaan untukmu. Dan kau tidak akan kekurangan cinta disana.
Panas! Kenapa seluruh tubuhku mendadak kepanasan? Seperti terbakar rasanya.
Aku menggeliat gusar.
"Bella, kamu ingin membakar kamarmu sendiri?!"
Aku tersadar oleh teriakan ayah. Seprei diatas tempat tidurku telah dilalap api seluruhnya. Nyaris mengenai tubuhku.
Untung saja ayah datang tepat pada waktunya. Kalau tidak......
Ayah bergegas menyeret tubuhku keluar lantas ia berlari ke kamar mandi untuk mengambil ember. Sementara aku hanya bisa tertegun menatapnya tanpa berbuat sesuatupun.
Di telah pergi. Bersama terbakarnya lembar-lembar buku harian miliknya. Selamat jalan Di.....

Jumat, 19 Juli 2013

CERITA DI ATAS KAPAL


Angin malam berhembus kencang dari buritan kapal. Menerpa pipiku dan seolah ingin membekukannya perlahan. Dingin menikam seluruh permukaan kulitku. Menembus long dress yang membalut tubuhku.
Sepi. Bahkan langit juga sama hitamnya dengan pemandangan dibawah sana. Tak ada bintang yang biasa bertengger menghias langit.
Aku benar-benar berada di tengah samudra sekarang. Situasi ini membawa lamunanku pada salah satu film favoritku, Titanic.
Mengumpamakan diriku sebagai Rose Dewitt Bukater. Tapi tak ada Jack Dawson seperti yang kuharapkan.
Aku sendirian berdiri di tepian buritan kapal. Melarikan diri dari pesta makan malam yang dipenuhi orang-orang kalangan atas dan bangsawan. Aku jenuh dengan semua itu.
Kisahku benar-benar mirip dengan film itu, tapi ini sedikit berbeda. Tak ada sosok yang kuharapkan muncul dan mengacaukan hidupku yang terkungkung dalam sopan santun tradisi selama dua puluh tahun. Tidak ada. Bahkan jika bisa, aku berharap kapal ini akan menabrak gunung es dan akhirnya tenggelam. Dan berakhirlah semuanya.
Ah, betapa bodohnya aku sampai berkhayal seperti itu. Aku hanya bergumam merutuki kebodohanku sendiri.
"Apa kau akan terjun kebawah sana?"
Teguran itu mengejutkanku. Peganganku semakin erat pada pagar besi yang membatasi buritan kapal. Aku menoleh ke belakang dan menjumpai seorang wanita bermantel tebal melangkah tenang ke arahku. Padahal aku berharap ia adalah seorang laki-laki.
Wanita itu tersenyum. Dan ia menghentikan langkahnya ketika tepat berdiri beberapa jengkal dari tubuhku. Ia melongok ke bawah sejenak.
"Pasti sangat dingin dibawah sana,"ucapnya seraya menatap kearahku beberapa saat kemudian."Apa kau masih ingin terjun kebawah sana?"ia mengulangi pertanyaannya.
Aku tak langsung menanggapi pertanyaan wanita asing itu. Kupikir ia bukan salah satu dari bagian pesta tadi. Mungkin saja ia adalah salah seorang yang beruntung mendapat tiket gratis perjalanan kapal pesiar ini. Karena pakaian wanita itu sama sekali tidak mencerminkan budaya wanita bangsawan atau kalangan atas.
"Kau siapa?"aku bertanya sesaat kemudian. Rasa penasaranku lebih besar ketimbang menjawab pertanyaan yang ia ajukan padaku.
Wanita itu mengembangkan senyum. Ia mengulurkan tangan kanannya ke arahku untuk bersalaman.
"Aku Ellen,"ucapnya memperkenalkan diri.
"Krystal...."
"Maaf jika aku mengganggu,"tandasnya kemudian.
Suasana lebih hangat dan kian akrab ketimbang beberapa detik yang lalu. Ia tampak seperti orang baik-baik. Membuatku tak takut lagi dan membuat jarak.
"Apa kau serius ingin terjun ke bawah sana?"ulangnya sekali lagi. Kali ini dengan diiringi senyum.
"Apa aku tampak seperti orang yang akan bunuh diri?"pancingku.
"Hm..sebenarnya aku tidak yakin. Tapi kau benar-benar seperti orang yang hendak melompat ke laut,"tandasnya membuatku tergelitik dan meledakkan tawa.
"Kau memang benar,"ucapku usai menghentikan tawa.
"Kenapa?"tanyanya cepat seraya mengernyitkan dahinya.
Aku terdiam dalam dilema. Kupikir ini masalah pribadiku yang tidak boleh orang lain ketahui. Karena bisa berakibat fatal jika menyebar luas dan didengar publik. Nama baik keluarga kami taruhannya.
"Baiklah, maaf jika aku lancang bertanya hal pribadi seperti itu,"ucapnya seolah mengerti isi pikiranku.
Aku hanya tersenyum tipis mendengarnya.
Suasana kembali hening beberapa saat lamanya. Aku hanya membuang pandanganku ke arah kegelapan malam. Bermain dengan lamunanku sendiri.
Namun Ellen memecah ketegangan itu beberapa menit kemudian.
"Hidup tidak selalu sempurna, Krystal."Ia bergumam lirih."Bahkan hidup seorang putri-pun,"imbuhnya seraya menoleh ke arahku. Memaksaku untuk balas menatapnya. Kenapa ia berkata seperti itu? Bahkan raut wajahnyapun telah berubah tak sehangat tadi.
"Kau tahu,"lanjutnya lagi."Hidupmu tampak sempurna dimata orang lain, bahkan banyak gadis-gadis diluar sana yang bermimpi menjadi sepertimu. Mereka pikir menjadi seorang putri bangsawan kaya raya sangat menyenangkan dan membahagiakan. Tapi hidup tidak selalu sempurna seperti tampak diluarnya. Mungkin sekali waktu kau pernah berpikir untuk menjadi gadis biasa-biasa saja. Bebas tanpa terikat sopan santun dan tradisi bangsawan."
Aku tersenyum mendengar analisanya. Tampaknya ia sangat mengenal dunia kami.
"Kau tahu semua itu?"tanyaku mencoba memancing seberapa jauh kemampuannya menilai diriku.
"Aku hanya menebak,"tandasnya.
Benarkah?
"Kau sangat beruntung, Krystal,"ucap Ellen menyambung kalimatnya."Tapi mungkin kau tidak pernah menyadarinya."
"Mungkin kau benar,"sahutku datar. Tapi entah kenapa aku lebih tertarik untuk mengetahui tentang dirinya lebih jauh lagi.
Aku menghela nafas berat. Udara dingin mulai memenuhi paru-paruku. Namun aku masih ingin bertahan disini bersama gadis bernama Ellen itu.
"Apa yang membuatmu tertarik ikut pelayaran kapal pesiar ini?"aku mencoba mengorek informasi tentang dirinya.
Ellen tak langsung menyahut. Gadis itu malah mengalihkan tatapan matanya ke arah laut. Padahal hanya tampak gelap disana.
"Aku hanya ingin menghabiskan sisa waktuku untuk berkeliling dunia,"tandasnya sembari menatap kosong.
Ucapannya membuatku sedikit kaget. Sisa waktu? batinku heran.
"Maksudmu......"
Ia mendesah pelan.
"Umurku tidak akan lama lagi,"tandasnya lirih. Setengah menggumam.Membuatku terpana.
Aku hendak bertanya lebih lanjut,tapi.....
"Aku sakit parah,"ungkapnya membuatku tercekat."Entah berapa lama lagi aku bisa bertahan. Mungkin tiga atau enam bulan lagi. Maka dari itu aku ingin menghabiskan sisa umurku dengan bahagia. Mengunjungi tempat-tempat yang belum pernah ku kunjungi sebelumnya. Bertemu dengan orang-orang baru dan mengenal budaya mereka. Agar saat aku meninggal nanti aku meninggal dengan bahagia."
"Ellen........."aku hanya bisa menatapnya dengan pandangan iba.
"Hei, jangan menatapku seperti itu. Aku tidak perlu dikasihani, Krystal,"serunya sembari menepuk pundakku. Senyum riang tersungging manis di bibirnya yang manis.
Ia benar-benar hebat,batinku kagum. Aku tidak bisa membayangkan jika aku menjadi dirinya.
"Jaga hidupmu baik-baik. Dan selalu bahagia-lah,"ucapnya kemudian."Apa yang kau punya sekarang adalah yang terbaik yang mungkin tidak pernah kau punya sebelumnya."Lagi-lagi ia memberi nasihatnya padaku.
"Apa penyakitmu tidak bisa diobati?"tanyaku bersimpati. Mungkin saja aku bisa memberikan sedikit bantuan untuknya.
Namun ia menggeleng.
"Sudah terlambat,"sahutnya.
"Tapi....."ia memotong pembicaraanku dengan cepat.
"Aku harus pergi kekamarku,"pamitnya kemudian. Bersiap untuk pergi dari hadapanku.
"Apa besok kita bisa bertemu lagi?"tanyaku penuh harapan. Aku merasa cocok berbincang dengannya.
Ia tak menjawab namun ia tersenyum seraya melambaikan tangannya tatkala melangkah pergi. Aku hanya bisa menatapnya dengan pandangan kosong. Pikiranku campur aduk. Rasanya kepalaku dipenuhi hal tentangnya.
"Rupanya kau disini. Aku mencarimu kemana-mana sejak tadi. Kau tahu, aku sangat cemas saat kau menghilang begitu saja dari pesta.Harus berapa kali aku katakan jangan menghilang tiba-tiba seperti ini,"
Sam datang dan segera menyerbuku dengan omelan-omelannya. Seperti biasa.
Laki-laki itu adalah tunanganku. Kami dijodohkan oleh kedua orang tua kami. Keluarga bangsawan seperti kami selalu identik dengan hal semacam ini. Masalah klasiknya adalah mereka tidak ingin darah bangsawan yang kami miliki bercampur dengan darah orang biasa. Omong kosong. Buatku semua orang memiliki darah yang sama. Tapi tradisi tetap tradisi yang harus dijunjung tinggi dari generasi ke generasi.
"Kau menggigil, sayang."
Sam melepaskan jasnya dan membentangkannya di punggungku.
"Udara diluar sangat dingin. Aku takut kau sakit,"ucapnya lagi. Menunjukkan perhatiannya yang berlebihan terhadapku. Tapi tetap saja aku belum bersimpati padanya sampai detik ini.
"Aku baik-baik saja, Sam."Aku berusaha melepas jas miliknya yang melekat di punggungku.
"Krys....."
Aku memotong kalimatnya dengan segera.
"Aku baik-baik saja,"ucapku kemudian dengan tegas. Aku mengembalikan jasnya dan langsung bergegas meninggalkan tempat itu.
"Krystal, kau tidak bisa melakukan ini padaku!"ia berseru sambil mencekal lenganku agar aku urung pergi dari hadapannya.
"Apa yang kau inginkan dariku?"tanyaku kesal.
"Kau masih bertanya apa yang ku inginkan?"ia menanyakan ulang pertanyaanku sambil menatap mataku tajam. Ia tersenyum kemudian. Sedikit sinis.
Aku berusaha menghindari tatapan matanya dengan mengalihkan pandanganku ke arah lain.
"Apa aku harus menjelaskan semuanya dari awal?"tanya Sam."Aku mencintaimu Krys......"
Aku tak bereaksi.
"Apa kau akan menghindariku seperti ini terus? Sampai kapan Krys?!" ia berteriak didekat telingaku.
"Sudahlah Sam,"ucapku seraya berusaha melepaskan cekalan tangannya."Aku lelah dan ingin kembali ke kamarku."
"Baik!"sahutnya cepat. Ia melepaskan cekalan tangannya dengan kasar."Pergilah,"suruhnya.
Sam marah. Aku melihat dari sinar matanya.Namun aku tak berusaha untuk meredam amarahnya. Aku malah pergi meninggalkannya tanpa satupun kata pamit.
~~~%%~~~

Perbincangan yang membosankan, gerutuku dalam hati. Memaksaku untuk bergegas kabur dari kursiku dengan alasan klasik, kamar mandi.
Makan malam seharusnya hanya acara makan bukan arena perbincangan tentang pernikahan. Namun aku tak bisa mengajukan protes atau pendapat. Aku hanya boneka yang mereka mainkan sesuka hati.
Mendadak aku teringat ucapan Ellen semalam. Mungkin yang kita miliki sekarang adalah yang terbaik dari yang pernah kita miliiki. Benarkah itu?
Aku bergegas mencuci tanganku sebelum kembali ke meja dimana kedua orang tua kami, Sam dan aku juga Sam telah menungguku disana. Tak sopan pergi ke kamar mandi terlalu lama.
Ups, aku menabrak seseorang manakala berniat keluar dari kamar mandi.
"Maaf,"ucapku cepat.
Aku menyadari sesuatu manakala menatap seorang wanita dihadapanku. Aku terpana. Bukankah ia adalah Ellen, gadis yang ku temui semalam? Tapi ia sangat berbeda. Penampilannya berubah, tak seperti semalam.
Ia tampak cantik memakai gaun berwarna merah muda dipadu dengan stilleto bernada sama. Sebuah kalung berlian melingkar dilehernya. Dan sebuah tas tangan berlogo Channel erat dalam genggamannya.
"Ellen?"
Aku hampir terloncat menemukan wanita yang sama namun dalam penampilan berbeda. Aku telah tertipu dengan mantel tebal berwarna cokelat yang ia kenakan semalam.
"Aku Krystal,"tandasku mencoba membuka ingatannya. "Kau masih ingat padaku? Kita bertemu semalam."
Ia menatapku dengan pandangan aneh.
"Maaf, aku tidak mengenalmu. Mungkin kau salah orang,"tandasnya. Ia tersenyum kaku.
"Apa?"tanyaku tidak percaya."Kau sudah lupa padaku? Kita berbincang di buritan kapal semalam. Kita berbincang lama...."
"Maaf Nona,"potongnya. Menukas kalimatku."Kau pasti salah orang. Kita tidak pernah bertemu sebelum ini."
"Aku tidak salah orang. Kau Ellen bukan?"aku mencoba ngotot.
"Maaf kau salah orang..."
"Tapi..."aku mencoba mencegahnya pergi.
"Krys...Ada apa?"sela Sam tiba-tiba.
"Dia mengira aku temannya, padahal kami belum pernah bertemu sebelumnya,"tutur wanita yang kuyakini sebagai Ellen itu.
"Maafkan dia,"ucap Sam memintakan maaf untukku.
Aku tertegun menatap punggung wanita itu. Punggung yang ku yakini sama dengan yang kulihat semalam. Tapi kenapa ia tidak ingat padaku? Apa penyakitnya begitu parah sehingga mempengaruhi memori otaknya?
"Ayo kita kembali ke meja makan.Mereka pasti sudah menunggu kita,"sentak Sam membuyarkan lamunanku.
"Aku yakin dia Ellen,"gumamku lirih.
"Tapi dia mengaku tidak pernah bertemu denganmu. Sudahlah..."
"Kami bertemu semalam di buritan kapal. Kami berbincang lama. Bahkan dia bercerita padaku dia ingin menghabiskan sisa umurnya dengan berkeliling dunia. Aku yakin itu dia, Sam."Aku berusaha meyakinkan Sam kalau apa yang kuyakini benar.
"Krys, dia bukan orang yang kau temui semalam. Kau sudah mendengarnya sendiri jika dia tidak mengenalmu. Aku juga tidak melihat siapapun disana semalam. Kau sendirian."
Aku menatap Sam dengan pandangan nanar.
"Kau tidak mempercayai ucapanku?"tanyaku datar.
"Aku bukan tidak mempercayai ucapanmu. Mungkin kau salah orang, Krys. Sudahlah, kita harus kembali ke meja makan,"ajak Sam. Ia menarik tanganku kembali ke meja makan dimana orang tua kami telah menunggu.
Aku yakin apa yang kupikirkan benar. Bahwa wanita itu adalah Ellen. Orang yang kutemui semalam, yang memberiku banyak nasihat. Tapi kenapa ia tidak mengenaliku? Tidak mungkin aku sedang berhalusinasi bukan?
Perbincangan tentang pernikahan berlanjut. Namun aku sama sekali tak bisa mencerna ucapan mereka semua. Aku mendengar apa yang mereka bicarakan, tapi seolah perkataan itu keluar lagi dari telingaku. Pikiranku masih tertuju pada Ellen. Siapa yang benar?
Aku yang sedang berkhayal, atau Ellen benar-benar telah lupa padaku?
"Aku kembali ke kamar dulu," pamitku beberapa saat kemudian. Aku tahu meninggalkan meja makan terlebih dulu adalah kurang sopan. Tapi lebih baik aku melakukannya ketimbang mendengar perbincangan yang tak ingin kudengar.
"Aku akan mengantarmu,"tawar Sam bergegas.
~~~%%~~~

Percuma saja. Dipaksapun mataku tetap tak mau terpejam. Pikiranku malah mengembara kemana-mana. Sementara malam terus bergulir. Mungkin dengan menghirup udara segar bisa menjernihkan pikiran,batinku seraya bergegas keluar dari kamar.
Berjalan berkeliling geladak mungkin akan membuatku lebih baik.
Sesungguhnya aku tak berniat pergi ke arah buritan kapal. Namun pikiranku seolah menuntun langkah kakiku menuju kesana. Barangkali untuk sejenak menengok kejadian kemarin malam.
Langkahku terhenti sebelum sampai disana. Mataku menangkap sesosok bayangan seorang wanita tengah berdiri disana. Aku mempertajam pandangan mataku.
Tidak salah lagi. Wanita itu adalah Ellen. Namun ia masih memakai gaun merah muda yang ia pakai beberapa waktu lalu.
Aku hendak mendekat tapi urung. Rupanya ia tidak sedang sendiri. Seorang laki-laki memakai tuxedo hitam tengah berbincang dengannya. Bukan. Lebih tepatnya mereka sedang berdebat. Aku bisa melihat ketegangan yang terlukis di wajah masing-masing. Samar-samar aku mendengar lengkingan emosi dari nada suara mereka.
Mereka sedang bertengkar?
Aku diam bersembunyi di tempatku. Aku tak bermaksud untuk menguping, aku hanya ingin membuktikan jika wanita itu adalah Ellen.
Untuk beberapa saat lamanya aku menunggu. Sampai pada puncaknya laki-laki itu mengakhiri pertengkaran dan ia berlalu meninggalkan wanita itu sendirian.
"Ellen?"
Aku mencoba menghampiri wanita itu beberapa menit kemudian. Meskipun pada awalnya aku merasa ragu.
Wanita itu menoleh begitu mendengar suaraku. Raut wajahnya tampak kusut. Dan aku sedikit mencium bau alkohol dari mulutnya.
"Kau?"ia tampak tak suka melihat kehadiranku. Terlebih setelah ia bertengkar dengan seseorang yang mungkin kekasihnya."Apa lagi yang kau inginkan dariku?"tanyanya kasar.
"Aku hanya ingin bertanya kenapa kau berubah secepat ini? Apa penyakitmu terlalu parah sehingga kau tidak mengenaliku lagi?"tanyaku memaksa.
"Bodoh,"gumamnya sembari tersenyum sinis."Aku sedang tidak ingin bicara dengan siapapun sekarang ini. Jadi sebaiknya kau pergi sebelum aku marah."
"Tidak,"sahutku cepat."Sebelum kau mengakui kau adalah Ellen,"tegasku.
"Kenapa aku harus mengakui kalau aku adalah Ellen? Kau tahu, aku sangat benci nama itu,"ucapnya ringan. Mungkin karena alkohol yang ia konsumsi telah meracuni otaknya.
"Jadi kau benar Ellen?"desakku dengan nada heran."Sebenarnya kau siapa? Dan pribadi seperti apa kau sebenarnya? Apa penyakit itu yang membuatmu seperti ini?"tanyaku bertubi-tubi.
"Diam kau gadis bodoh!"teriaknya. Ia mulai menunjukkan emosinya. Raut wajahnya kian memerah. Begitu juga dengan matanya.
Aku kaget dan mundur dua langkah. Namun malah menabrak besi pembatas kapal.
"Aku paling benci dengan orang yang suka mencampuri urusan orang lain, apalagi orang yang banyak banyak bertanya sepertimu. Apa kau dengar itu?"ia mendekat ke arahku seperti hendak menerkamku.
Aku tak menjawab. Posisiku terjepit sekarang ini. Dibelakangku adalah laut. Aku bahkan tak berani bergerak seinchipun.
"Kenapa?" ia tersenyum sinis melihatku."Apa kau takut? Bukankah saat itu kau pernah berniat bunuh diri? Kenapa sekarang kau takut?"tanyanya setengah mengejek.
"Tidak, aku tidak takut." Aku mencoba setenang mungkin.
"Benarkah?"tanyanya seraya tersenyum pahit.
Wanita itu mengulurkan tangannya perlahan ke arahku. Semula aku tak menduga ia akan melakukan ini padaku. Tapi wanita itu benar-benar mencekik leherku beberapa detik kemudian.
Aku terbatuk. Aku tak bisa bernafas karena tangan wanita itu semakin kuat mencengkeram leherku. Aku mencoba berontak melepaskan diri, tapi naas bagiku. Aku malah kehilangan keseimbangan dan akhirnya tubuhku jatuh kedalam laut.
Dingin menyergap ketubuhku begitu aku masuk kedalam air. Rasanya seperti ribuan pisau yang menusuk kulitku. Sakit.
Bahkan aku tak bisa menggerakkan tangan dan kakiku.
Aku membiarkan tubuhku tenggelam perlahan....
~~~%%~~~

"Sebenarnya apa yang ada dipikiranmu saat itu? Apa kau benar-benar ingin bunuh diri?"
Aku baru saja terbangun dan menyadari bahwa aku masih hidup namun Sam telah mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaannya. Harusnya dia bersyukur aku masih bisa selamat. Itupun jika dia benar-benar mencintaiku.
"Aku tidak mengerti dengan jalan pikiranmu,"ucapnya lagi. Tak memberiku celah untuk bicara."Aku tahu kau tidak setuju dengan perjodohan ini. Tapi tidak seharusnya kau berbuat senekat ini, Krys. Aku mencintaimu, kau tahu itu kan?"
"Dan aku sangat membencimu,"tukasku cepat. "Karena kau terlalu banyak bicara, kau dengar itu?"ucapku kesal.
Sam tertegun mendengar ucapanku.
"Wanita itu ingin membunuhku. Apa kau tahu itu?"tandasku sembari menatapnya tajam.
Sam balas menatapku. Aku tahu ia tak percaya ucapanku.
"Tapi untuk apa kau berada disana selarut itu?"desak Sam.
"Aku tidak bisa tidur,"ucapku.
"Tidak bisa tidur?"ulangnya sembari tersenyum pahit. Menusuk perasaanku."Apa kau harus kesana jika tidak bisa tidur? Kenapa kau tidak mencariku? Padahal aku selalu ada saat kau butuh sesuatu. Apa aku tidak berarti sama sekali untukmu?"cecarnya.
Aku mendesah kesal.
Apa yang sedang ia bicarakan? Kurasa ia sudah keluar dari topik percakapan.
"Hei, aku sedang bicara denganmu, Krys."
"Apa tidak ada yang mengatakan padamu kalau kau sangat menyebalkan?"tanyaku kesal. Aku segera bangun dari tempat tidur dan hendak pergi meninggalkan laki-laki menyebalkan itu.
"Mungkin bagimu aku sangat menyebalkan, tapi itu karena aku sangat mempedulikanmu,"timpalnya cepat.
Aku menghentikan pergerakan tubuhku dan menatapnya kemudian.
"Tidak usah mempedulikanku,"tegasku kasar.
"Krys..."tiba-tiba saja ia mencekal lenganku dan menariknya dengan paksa. Hingga jarak di antara kami sangat dekat. "Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. Tapi semakin kau menolakku aku semakin menyukaimu,"tandasnya.
Aku menepis tangannya dengan paksa.
Aku buru-buru kabur dari hadapannya beberapa detik kemudian. Aku kembali ke kamarku dan membanting pintunya.
Harusnya aku tidak pernah ikut pelayaran bodoh ini, gerutuku kesal. Lagipula kenapa pelayaran ini begitu lama?
~~~%%~~~

Aku terbangun mendengar suara ketukan di pintu kamarku. Selarut ini?batinku kesal. Pasti Sam yang sengaja ingin menggangguku.
Namun ketukan itu terdengar lagi manakala hendak ku abaikan.
"Sam, apa yang...."
Kalimatku menggantung. Bukan Sam yang ku jumpai di depan pintu kamarku. Tapi wanita aneh itu.
Ia tersenyum pahit saat melihatku kaget. Aku mundur selangkah.
"Kau masih hidup?"tanya wanita itu tampak tidak senang."Harusnya kau mati semalam."
Wanita itu melangkah maju seraya mengeluarkan sesuatu dari balik saku mantel cokelatnya. Sebuah pisau kecil ia hunuskan ke arahku sambil mendekat.
"Apa yang akan kau lakukan?"tanyaku dengan gemetar.
"Tentu saja membunuhmu,"jawabnya enteng. Seolah tanpa beban.
Aku tercekat.
"Tapi kenapa kau ingin membunuhku?"tanyaku mencoba mengajaknya berkomunikasi. Barangkali aku bisa mengalihkan perhatiannya dan mencari kesempatan untuk kabur.
"Alasannya? Tidak ada,"sahutnya. "Tidak ada alasan untuk membunuhmu."
Aneh,batinku. Ia pasti seorang psikopat.
"Apa kau tidak takut dipenjara?"tanyaku lagi.
Wanita itu tergelak beberapa saat.
"Tidak. Aku tidak takut pada apapun,"ucapnya. Tepat disaat ia mulai lengah, aku segera mengambil kesempatan untuk mendorong tubuhnya ke tembok. Lantas aku berlari secepat mungkin keluar dari kamar.
Aku berlari dan tak menoleh lagi ke belakang.
"Sam!"aku berteriak memanggil nama Sam seraya menggedor pintu kamar tunanganku itu keras-keras.
Aku mengulangi teriakanku sampai pintu kamar itu terbuka.Sam yang masih terkantuk-kantuk kaget melihatku.Namun aku takbegitu mempedulikannya dan langsung menyeruak masuk kedalam kamarnya.
"Tutup pintunya,"suruhku panik.
"Ada apa Krys?"tanya Sam tampak bingung. Ia menatapiku dengan aneh.
Aku mengatur nafasku sebelum bicara.
"Dia ingin membunuhku, Sam,"ucapku.
"Siapa?"
"Wanita gila itu. Dia mendatangi kamarku dan menghunuskan pisau ke arahku.Aku takut Sam,""aku menarik lengan piyama Sam erat-erat.
Sam menatapku seakan tak percaya. Ia mencoba menenangkan aku yang sedang panik.
"Tenang Krys,"ucapnya. "Wanita siapa?"tanyanya masih juga belum paham dengan ucapanku.
"Ellen. Dia ingin membunuhku Sam,"ucapku sekali lagi menjelaskan padanya.
Sam bergerak menuju ke pintu. Ia membuka daun pintu dan melongok keluar.
"Tidak ada siapa-siapa diluar. Coba kau lihat,"ucapnya usai menutup pintu.
Aku menatapnya dalam-dalam.
"Aku tidak bohong Sam,"tandasku."Wanita itu benar-benar datang dan..."
"Hei, dengar,"potongnya seraya mencengkeram bahuku."Kau pasti sedang bermimpi tadi."
"Sam!"seruku."Aku tidak sedang bermimpi tadi. Apa kau tidak percaya padaku?"desakku tak sabar.
Sam menggeleng.
Jadi dia tidak mempercayai ucapanku?batinku geram.Percuma aku datang kekamarnya malam-malam begini jika dia tidak pernah mempercayaiku.
"Jangan-jangan kau datang kekamarku karena kau merindukanku,"ucap Sam sembari tersenyum.
Apa? Disaat seperti inipun ia masih mengajakku bercanda.
"Apa aku tampak seperti sedang bercanda?"tanyaku kesal."Percuma aku kesini. Lebih baik aku pergi daripada meminta bantuan pada orang sepertimu."
Aku nyaris membuka pintu ketika Sam mengeluarkan suaranya.
"Bukankah katamu wanita itu ingin membunuhmu?"
"Aku tidak peduli! Biar aku mati sekalian,"sahutku kesal.
"Tapi aku peduli,"timpalnya cepat."Tetaplah disini,"pintanya melarangku pergi.
"Bukankah kau tidak mempercayai ucapanku? Aku hanya berhalusinasi. Mungkin juga aku sudah gila,"tandasku kasar.
"Krys..."serunya."Kumohon jangan berkata seperti itu. Aku percaya padamu,"ucapnya seraya mendudukkanku diatas tepian tempat tidur.
"Karena terpaksa?"tanyaku mendesak.
"Bukan,"ia menggeleng."Tidak usah membahas itu lagi.Hm, sebaiknya kau tidur karena besok kita akan tiba di New York. Oke?"
~~~%%~~~

Patung Liberty, New York....
Aku sudah bisa melihat pemandangan kota New York dari kejauhan. Hawa dingin langsung menyerbu ke tubuhku begitu kapal mulai merapat ke dermaga.
Tapi entah kenapa hatiku tidak terlalu antusias seperti sebelum aku datang kesini. Gedung-gedung tinggi tampak biasa tak seistimewa dalam benakku.
"Kau masih marah padaku?"
Uh, apalagi jika aku mendengar suara laki-laki itu. Yang selalu datang dan mengusik ketenangan hidupku.
"Aku tidak marah,"sahutku dingin. Tanpa menoleh padanya.
"Aku minta maaf,"ujarnya lagi. Memaksaku untuk menatap ke arahnya.
"Apa?"sentakku."Aku tidak dengar apa yang baru saja kau katakan,"ucapku pura-pura.
"Aku minta maaf,"ulang Sam tak keberatan.
"Minta maaf?"ulangku sembari mengernyitkan kening."Apa aku tidak salah dengar?"ejekku sambil tersenyum pahit.
Sam mengangguk.
"Untuk apa?"desakku masih berpura-pura tak mengerti.
"Krys..."ia mencengkeram bahuku."Tolong, jangan bersikap seperti ini padaku. Apa sedikitpun kau tidak punya perasaan padaku?"desak Sam kemudian.
Aku menggeleng. Dan raut wajah Sam berubah kecewa. Membuat hatiku puas melihatnya menderita.
Sam menghela nafas panjang. Ia menerawangkan pandangannya jauh kedepan.
Keheningan kami terkoyak. Dari jauh terdengar suara gaduh. Aku dan Sam bergegas melihat apa yang sedang terjadi.
Aku dan Sam hanya bisa melongo melihat beberapa orang laki-laki meringkus seorang wanita yang tak lain adalah Ellen. Dari informasi yang kami dengar ternyata wanita itu menderita gangguan jiwa. Tapi aku masih beruntung bisa lolos darinya.
"Aku masih beruntung karena kau selamat,"gumam Sam sambil merangkul bahuku.
"Ya,"sahutku bergumam pula."Aku ingin kembali ke kamar. Apa kau mau mengantarku?"
"Tentu."
Kurasa aku perlu menenangkan diri setelah semua yang terjadi. Mungkin setelah ini aku tidak mau lagi berlayar dengan kapal pesiar.
"Aku minta maaf atas ucapanku tadi. Aku terlalu kasar padamu,"ucapku pada Sam begitu sampai didepan pintu kamarku.
"Apa? Aku tidak dengar,"goda Sam seolah mengulangi ejekanku tadi.
"Sam!"teriakku sambil menimpuk bahunya keras-keras.
"Ampun Krys,"Sam meringis kesakitan sembari meminta ampun padaku.
"Makanya kau harus mempercayai ucapanku,"tandasku bersungut-sungut.
"Baik. Mulai sekarang aku akan mempercayai semua ucapanmu. Apa kau puas?"
"Bagus. Kau memang anak yang manis..."aku meledakkan tawaku kemudian.

Senin, 15 Juli 2013

JOMBLO IS BEAUTIFUL


Nama gue Radit. Umur gue 20 tahun lebih 3 bulan 2 hari 3 jam. Detil banget gue ya...
Gue bangga banget punya nama sekeren Radit. Mirip artis ngetop sih. Entah apa yang ada di pikiran bokap gue waktu ngasih gue nama itu. Sebenarnya bokap gue bukan orang tajir sih, tapi dia punya otak yang lumayan cerdas.
Gue jomblo. Bukannya gue bangga dengan kejombloan gue, cuma gue mikir kalau jomblo itu keren. Dan aman di kantong. Mengingat uang saku kuliah gue pas-pasan, mana cukup untuk nraktir seorang cewek. Makan di kantin aja gue sering ngutang. Makanya wajah gue sering nongol di facebooknya ibu kantin. Dengan stempel "wanted" pula. Busyet dah.......
Seperti biasa, siang ini gue nongkrong didepan kampus bareng temen-temen setia gue. Ada Shandy, Fahmi dan Oka. Shandy adalah orang paling tajir diantara kami berempat. Wajahnya lumayan keren, kulitnya putih dan tinggi. Banyak banget cewek yang naksir dia.
Sobat gue yang kedua adalah Fahmi. Dia anak ustadz. Makanya dialah yang paling alim diantara kami semua.
Sedang Oka adalah yang paling jenius diantara kami berempat. Dia seperti cahaya terang dikegelapan malam. Lebay-nya gue.....
Tapi kami semua jomblo. Nggak tahu kenapa kami susah banget dapet cewek. Padahal wajah kami lumayan tampan dan penampilan kami juga keren. Tapi jangan salah, meskipun kami jomblo kami tetap bahagia.
"Liburan semester ntar kemana guys?"tanya si tajir Shandy memulai topik percakapan.
"Gue sih mau ngitemin kulit,"sahutku cepat.
"Maksud loe?"sahut Oka seraya mengerutkan dahinya yang ditumbuhi sebuah jerawat kecil.
"Gue mau liburan ke Bali. Berjemur di pantai gitu,"jelasku melantur.
Mereka bertiga langsung meledakkan tawa. Geli mendengar celutukanku.
"Mau ngitemin kulit aja ngapain jauh-jauh ke Bali segala? Tuh, berjemur aja di atas genteng rumah gue. Sama kok itemnya,"ledek Oka sembari menepuk pundakku. Disambut tawa lagi oleh Shandy dan Fahmi.
"Sebenernya gue mau dijodohin nih,"ungkap Shandy beberapa saat setelah suasana mereda.
Kami bertiga kaget. Di jaman semodern ini kok masih ada acara perjodohan seperti itu? Maklumlah orang kaya. Mereka takut dapat menantu orang miskin.
"Bukannya itu bagus buat loe, Shan,"timpal Fahmi." Jadi loe nggak jomblo lagi dong."
"Bener tuh kata Fahmi,"sahut gue ikut nimbrung.
"Kalian sih nggak tahu,"tukas Shandy dengan wajah yang tak begitu gembira."Gue tuh naksir sama Risty. Kalian juga tahu itu kan?"
Kami manggut-manggut. Emang dari dulu Shandy naksir berat sama Risty. Cewek itu emang bener-bener istimewa. Cantik, tinggi, langsing, dan aktif di kegiatan sosial kampus. Idaman Shandy banget.
"Tapi apa loe akan menolak perjodohan itu?"tanya Oka kemudian. Meminta pendapat Shandy.
"Gue nggak tahu,"ucap Shandy seraya menggeleng.
"Sabar bro,"ucapku sembari menepuk-nepuk pundak Shandy."Menurut gue apa yang dipilihkan orang tua loe, pasti yang terbaik buat loe,"ucap gue sok diplomatis.
"Ah loe, Dit. Coba loe yang dijodohin, emang loe mau apa?"celutuk Oka sekenanya.
"Gue sih mau-mau aja, Ka,"cerocosku seraya nyengir.
"Dasar loe! Nggak punya malu,"olok Oka. Dan ujung-ujungnya ketiga sobat gue itu menimpuk bahu gue sampai gue kapok meringis kesakitan.
~~~~~~~~~

"Udah pulang Dit?"seru bokap gue dari kamar. Siang-siang gini ia pasti sedang sibuk tidur siang sepulang dari kantor kecamatan.
"Iya, Yah!"balasku dengan berseru pula. Tumben dia nggak ngomel karena gue pulang telat.
Gue langsung ngacir ke dapur karena perut gue sudah kelaparan dari tadi. Masak apa nyokap gue hari ini?
"Kok cuma tahu goreng sama ikan asin sih,"gerutu gue saat mengetahui apa yang tersembunyi dibalik tudung saji.
"Udah dimakan aja,"sahut nyokap gue yang tiba-tiba muncul di belakang gue."Itu juga rezeki dari Allah yang patut kita syukuri,"imbuhnya lagi.
Kalau sudah bicara seperti ustadzah yang biasa nongol di tivi seperti itu gue nggak bisa berkomentar apa-apa. Tanpa banyak bicara gue langsung mengambil piring kosong dan menyenduk nasi. Meskipun makan hanya dengan lauk tahu dan ikan asin goreng, tapi jika nyokap yang masak tetap saja nikmat. Terlebih perut gue sudah nggak kuat menahan lapar lebih lama lagi.
"Kalau udah kelar makannya, cuci piringnya sekalian. Ibu mau nganter cucian kerumah Bu Retno,"
Gue kaget. Dan langsung berdiri dari tempat duduk gue seperti baru saja kesetrum listrik. Pasalnya nyokap gue baru saja menyebut nama Bu Retno. Bukankah Bu Retno adalah ibunya Dewi, cewek impian gue yang punya senyum termanis di gang ini.
"Biar Radit aja yang nganterin cuciannya,"tawarku dengan suara lantang. Bersemangat.
"Tumben,"sahut nyokap heran."Biasanya kamu paling males kalau disuruh nganter cucian...."
"Ah, ibu ini. Dibantuin bukannya berterimakasih,"ucap gue bersungut-sungut. Gue bergegas mengambil alih cucian yang harus segera diantar ke rumah Dewi.
"Hati-hati!"
"Sip!"
Gue menyambar kunci motor vespa milik bokap gue di atas meja lantas bergegas mengendarai motor buatan Italy itu menuju ke rumah Dewi. Sebenarnya jarak dari rumah gue ke rumah Dewi nggak begitu jauh. Tapi gue males jalan kaki karena matahari sedang di atas kepala. Panas menyengat kulit.
"Mau kemana Dit?!"
Seruan itu datang dari mulut Bang Supri, tetangga sebelah rumah. Gue dan Bang Supri satu geng. Hampir tiap malam kami bermain catur bersama. Kadang kami pergi meronda bareng. Nonton bola sambil ngopi di warung, sesekali taruhan juga. Pokoknya gue dan dia seperti saudara kembar tapi bukan kembar siam. Seperti Upin dan Ipin.
"Mau nganter cucian Bang! Mau ikut?"balasku seraya berteriak.
"Makasih dah!"sahutnya.
"Yok Bang, gue pergi dulu!"
Sambil bersiul kecil gue meluncur pelan di gang. Anak-anak kecil banyak berkeliaran di tepi jalan membuat gue kudu ekstra hati-hati.
Gue sampai didepan rumah Dewi dengan selamat. Tapi apes nasib gue kali ini. Karena yang membuka pintu bukan Dewi, tapi bokapnya.
"Siang Om,"sapa gue sopan. Siapa tahu bokap Dewi terkesan dengan sikap sopan gue sehingga gue dijadiinn mantunya. Ngarep banget sih gue....
"Siang, Radit. Ada apa ya?"
"Ini Om,mau nganter cucian,"ucap gue sambil menyerahkan bungkusan ditangan gue.
"Rajin amat,"puji bokap Dewi. Membuat kepala gue serasa melembung jadinya.
"Ah, nggak juga. Kebetulan ibu lagi capek,"sahutku pura-pura malu. Gue nggak perlu lama-lama ada disana. Gue langsung pamit setelah memberikan cucian itu pada pemiliknya. Lagian Dewi-ku juga nggak nongol.
Apesnya gue hari ini. Impian gue ketemu sang Dewi pujaan hati pupuslah sudah. Alamak....
~~~~~~~~

"Shandy mana? Kok gue belum ngeliat dia seharian ini?"celutuk Oka seraya meletakkan mangkuk bakso dan segelas es teh diatas meja kantin.
Kali ini tongkrongan kami pindah ke kantin. Selain disana adem juga kami ingin mengisi perut yang kosong.
"Dia udah pulang duluan. Katanya mau jemput ceweknya,"sahut gue cepas ceplos.
"Cewek yang mana?"timpal Oka sedikit heran.
"Yang mana lagi kalau bukan yang dijodohin sama dia,"jawab gue.
"Dia mau sama cewek itu?"tanya Oka sambil mengunyah makan siangnya.
"Gimana mau nolak, kalau cewek itu cantiknya selangit. Selevel sama dia lagi,"sahut gue antusias.
"Wow, ini baru berita bagus bro!"seru Oka tampak gembira mendengar kabar tentang Shandy. Tapi yang aneh kenapa si alim Fahmi diem terus dari tadi. Nggak biasanya dia seperti itu.
"Loe kenapa sih bro, kok diem mulu dari tadi? Loe punya masalah?"
Gue menepuk pundak Fahmi pelan. Takut dia akan kaget dan berteriak menakuti seisi kantin.
Fahmi menggeleng. Tapi bener juga, gelagatnya aneh. Seperti bukan Fahmi yang biasanya.
"Loe sakit?"desak Oka ikut nimbrung. Tapi lagi-lagi Fahmi menggelengkan kepalanya.
"Gue sedang jatuh cinta bro,"ungkap Fahmi beberapa saat kemudian. Cukup pelan tapi membuat gue dan Oka shock.
"Whaaat???!!!"teriak gue tanpa sadar. Menimbulkan reaksi dari seisi kantin, termasuk ibu kantin yang gendut itu. Wanita itu langsung mendelikkan matanya ke arah gue.
Gue cuma bisa nyengir sambil melambaikan tangan ke arah ibu kantin. Lalu tersenyum semanis semangka untuk meluluhkan hati wanita gendut idola mahasiswa-mahasiswa kelaparan itu.
Kembali ke topik semula....
"Yang bener bro? Sama siapa? Cantik nggak?"serbu gue penasaran.
"Loe tuh nggak bisa pelan-pelan apa? Nanya tuh satu-satu dong,"protes Fahmi ke gue.
Gue cekikikan melihat reaksi Fahmi.
"Abisnya gue penasaran banget sih,"tukas gue kemudian.
"Terus terus gimana?"celutuk Oka menengahi.
"Dia tuh kalem banget bro, anaknya ustadz di tempat gue. Tapi gue takut mau nembak dia. Gue takut ditolak,"papar Fahmi sesingkat mungkin.
"Kalau loe takut kapan loe punya cewek?"timpal Oka cepat."Mendingan loe ditolak daripada loe nggak pernah ngungkapin perasaan loe sama dia. Gue bener kan?"lanjutnya lagi.
"Bener bener,"sahut gue sambil manggut-manggut. Ucapan si jenius memang bener.
"Tapi..."
"Loe takut?"tanya Oka. Disambut gelengan kepala Fahmi."Terus?"desak Oka mengejar.
"Gue nggak pede,"ucap Fahmi pelan.
"Pake Rexona dong biar pede,"celutukku sekenanya.
"Loe nih, serius dikit napa,"protes Fahmi seraya bersungut-sungut ke arah gue. Dari dulu penyakit usil gue belum sembuh juga.
"Sorry...sorry.."ucap gue kemudian memperbaiki suasana.
"Pantesan aja dari dulu loe jadi jomblo. Karatan lagi,"ledek Oka diiringi gelak tawa. Fahmi juga ikut meledakkan tawanya.
"Jomblo gue jangan dibawa-bawa dong,"ucap gue sewot. "Biar jomblo gini gue tetep keren kok."
"Huuuuuu..."mereka berdua menyoraki gue dengan kompak seperti paduan suara saja.
~~~~~~~~

Akhirnya Shandy jadian juga dengan cewek yang dijodohkan dengannya. Gue ikut senang mendengarnya. Kebahagiaan sahabat berarti kebahagiaan gue juga.
Fahmi juga sama. Ada perkembangan baik tentang asmaranya.
Tinggal nasib gue dan Oka yang dipertaruhkan disini. Gue sama Oka masih sama-sama jomblo. Itulah pokok persoalannya. Rumit bukan?
Imbasnya siang ini sepulang kuliah tempat tongkrongan kami sepi. Cuma gue yang celingak-celinguk mencari anggota geng gue. Tapi nggak ada satupun yang tampak batang hidungnya.
Akhirnya gue kabur ke kantin untuk menyelamatkan perut gue yang keroncongan. Daripada menunggu mereka di tempat biasa mending gue ke kantin sambil cuci mata. Lagian pulsa gue juga habis, nggak bisa buat sms-in mereka satu-persatu.
"Mau ngutang lagi?"serbu ibu kantin dengan tampang tergalaknya.
"Ah ibu kantin tersayang......,"gue mulai mengeluarkan jurus maut rayuan gombal termanis yang gue punya."Masa cowok seganteng dan sekeren gue mau ngutang sih. Apa kata dunia,"
"Halaa... biasanya juga loe ngutang,"timpal ibu kantin denngan gaya genitnya.
"Emang boleh ngutang?"bisik gue sambil mengedipkan sebelah mata.
"Boleh,"sahut ibu kantin sambil tersenyum manis."Tapi loe harus nyuci piring disini gratis selama sebulan. Gimana? Mau nggak?"
"Aih, ibu kantin ini tega banget,"ucap gue berlagak memelas."Emang ibu kantin udah nggak sayang lagi sama Radit, cowok terkeren di kampus ini?"tawa gue meledak saat itu juga.
"Udah jangan banyak ngomong, loe mau makan atau nggak sih,"desak ibu kantin penuh pemaksaan.
"Nggak jadi deh, gue mau pulang aja,"ucap gue sambil ngeloyor pergi dari hadapan ibu kantin.
"Dasar nih anak. Awas kalau kesini lagi,"gerutu ibu kantin kesal. Sementara gue hanya bisa cekikikan melihat reaksi ibu kantin yang menggelikan.
Pas pulang gue melihat Dewi sedang dibonceng seorang cowok. Sepertinya pacar Dewi, karena setahu gue Dewi nggak punya saudara laki-laki. Kebayang kan bagaimana hancur luluhnya hati gue. Ternyata sang Dewi pujaan hati sudah ada yang punya.
Oh my God...
Beginilah rasanya orang patah hati. Kasih tak sampai.Hiks....
~~~~~~~

"Jalan Bang,"suruh gue pada Bang Supri. Gue sedang main catur dengannya. Dan sepertinya Bang Supri sedang terjepit.
"Malem Minggu nggak keluar Dit?"tanya Bang Supri di sela -sela pertandingan.
Nih orang mulai mengalihkan perhatian,batin gue agak kesal. Ini termasuk salah satu trik Bang Supri agar gue kehilangan konsentrasi.
"Males Bang. Nggak punya duit,"sahut gue beralasan.
"Nggak punya duit atau nggak punya cewek?"sindir Bang Supri tenang. Ia menjalankan pionnya kemudian.
"Nggak punya dua-duanya, Bang,"sahut gue jujur.
Bang Supri terkekeh.
"Emang si Dewi kenapa? Loe udah nggak suka sama dia?"cecar Bang Supri ingin menyingkap rahasia hidup gue.
"Dia udah punya cowok Bang," sahut gue.
"Sabar Dit,"ucap Bang Supri sambil menepuk-nepuk pundak gue."Skak mat!"serunya mengejutkan gue.
"Kirain sabar apaan,"gumam gue.Gue kalah lagi untuk kesekian kalinya.
"Loe haus nggak?"tanya Bang Supri lagi.
"Haus sih Bang, tapi gue lagi bokek nih,"
"Tenang aja, gue yang bayarin. Tapi kopi segelas sama pisang goreng doang,"
"Oke. Nggak papa,"sahut gue girang.
Gue dan Bang Supri bergegas melangkah ke warung kopi yang terletak di dekat pos ronda. Seperti biasa. Untuk meneguk segelas kopi dan sebuah pisang goreng sembari bercerita ngalor ngidul bareng bapak-bapak yang rutin ngumpul disana.
Beginilah nasib seorang jomblo seperti gue. Menikmati hidup yang ada. Meski ada yang kosong dalam hati dan hidup gue, tapi gue nggak pernah merasa kesepian. Gue selalu merasa bahagia dengan apa yang gue punya sekarang.
Tapi gue yakin Tuhan sedang mempersiapkan seseorang yang terbaik buat gue di suatu tempat. Dan dia juga merasakan kejombloan seperti yang gue rasakan sekarang.
Buat gue menjadi jomblo itu bukan sesuatu yang memalukan. Selama gue bisa menikmatinya, dan enjoy dengan hidup gue kenapa nggak? Karena buat gue jomblo itu indah.........

Kamis, 11 Juli 2013

EDELWEISS: CINTA YANG ABADI


(.......pernahkah kau berpikir suatu saat kau akan kehilangan diriku selamanya?......)


Seikat bunga edelweiss tampak duduk diam diatas meja belajar Erika. Sementara gadis itu duduk menyandarkan kepalanya pada sofa di sudut kamar. Matanya redup menatap sinar matahari pagi yang menembus kaca jendela. Rambutnya yang panjang tergerai menutupi sebagian punggungnya. Namun ia tampak kusut tak tersentuh sisir. Juga tidak ada jepit kupu-kupu yang dulu biasa bertengger manis di atas kepalanya.
Wajahnya polos dan cenderung pucat. Tanpa bedak apalagi blush on yang membuatnya tampak cemerlang.
Dan ia masih asyik termangu disana dengan lamunannya. Bahkan kedatangankupun belum juga ia sadari.
Tapi aku juga tidak tega mengusik lamunan paginya. Biarlah, mungkin aku akan memberinya sedikit waktu.
Beberapa saat kemudian ia menoleh dan terkejut melihat kehadiranku yang telah berdiri di ambang pintu kamarnya.
"Bim!"ia bergerak ke arahku dan langsung memelukku tiba-tiba. Aku kaget diperlakukan seperti ini. Namun beberapa detik kemudian aku mendengar isak kecilnya.
"Dia sudah pergi, Bim...."bisiknya di dekat telingaku.
Aku tahu, batinku. Alan memang sudah pergi untuk selamanya. Dan kedatanganku justru untuk melihat kondisi Erika. Dari kabar yang kudengar ia jatuh sakit dan sempat dirawat di rumah sakit beberapa waktu yang lalu.
Aku membimbing Erika untuk kembali duduk di sofa. Raut wajahnya tampak murung. Bahkan matanya masih basah saat itu.
"Maaf aku baru bisa datang sekarang..."tandasku pelan mengungkapkan rasa penyesalan.
"Kemana saja kamu selama ini, Bim? Kenapa tidak pernah memberi kabar?"desak Erika menyudutkan diriku.
Aku terpojok dalam diam.
Dua tahun terakhir aku memang menghilang dengan sengaja dari kehidupan mereka berdua, Alan dan Erika. Tanpa pamit dan tanpa secuil kabar. Aku pindah ke Bali. Lebih tepatnya untuk lari dari rasa kecewa.
Aku patah hati saat itu. Aku kalah dan lebih memilih bersembunyi sebagai pecundang ketimbang menerima kenyataan dengan lapang dada.
Aku menyukai Erika. Itu kenyataannya. Namun justru Alan-lah yang Erika sukai. Dan aku hanya bisa menyimpan perasaanku erat-erat tanpa pernah bisa mengungkapkannya pada Erika, atau pada siapapun.
Hanya pada malam-lah aku bisa mencurahkan seluruh perasaanku melalui suara petikan gitar bututku. Sembari menyenandungkan lagu-lagu patah hati bak orang gila saja. Namun itu hanya berlangsung beberapa waktu saja hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengungsi ke rumah paman Wayan sembari bekerja di sebuah resort di Bali.
"Aku minta maaf karena tidak pernah memberi kabar pada kalian. Aku memang bukan sahabat yang baik,"gumamku usai menerawang kembali ke masa lalu.
Erika hanya mengangguk pelan.
Aku tak menyambung percakapan. Kupikir Erika masih berduka dan tidak ingin lebih banyak bicara seperti biasa.
Edelweiss itu.....
Aku kembali menatap bunga itu diatas meja. Konon bunga itu adalah hadiah terakhir yang diberikan Alan pada Erika. Dan hanya karena bunga itu juga Alan celaka. Ia terjatuh ke jurang saat memetik edelweiss itu.
Mendaki gunung memang beresiko tinggi. Karena itulah setiap kali Alan mengajakku mendaki aku sudah pasti akan langsung menolak ajakannya. Aku lebih memilih tidur seharian di atas tempat tidur ketimbang susah payah mendaki gunung.
"Kapan kamu tiba?"sentak Erika membuyarkan ingatan masa laluku.
"Oh,"aku tergagap mendapat pertanyaan."Seminggu yang lalu,"jawabku kemudian. Dan Alan meninggal dua bulan yang lalu. Benar-benar keterlaluan. Sahabat macam apa aku ini?
"Kenapa baru menemuiku sekarang?"desaknya. Benar-benar untuk memojokkanku.
"Aku sibuk,"ucapku berdusta. Padahal aku belum pernah berdusta padanya sebelum ini.
"Oh," hanya gumaman yang keluar dari bibir gadis itu.
"Maaf,"hanya itu yang bisa ku ucapkan sekarang ini.
"Aku mengerti. Kamu pasti sangat sibuk,"imbuhnya seraya memaksakan diri untuk tersenyum.
Sesungguhnya aku takut. Bukan sibuk seperti yang ku ucapkan padanya. Orang payah sepertiku mana pernah sibuk.
Jujur aku takut pada perasaanku sendiri. Orang yang kusukai kehilangan kekasih yang notabene sahabatku sendiri. Bagaimana aku akan menyikapi keadaan ini? Tidak mungkin aku memanfaatkan situasi ini demi kepentingan pribadiku. Aku tidak mau merebut simpati Erika karena kematian Alan.
Wajah Erika tertunduk lagi. Gadis itu berusaha sekuat tenaga menyembunyikan kesedihan dari wajahnya. Tapi tetap saja aku tahu apa yang sedang mendera batinnya sekarang. Aku mengerti dan memahami arti sebuah kehilangan.
"Kapan kamu akan kembali ke Bali?"sentak Erika. Memecah kebisuan yang sesaat tadi kubangun disela lamunan kecil.
Aku buru-buru menggeleng. Sesungguhnya aku tidak ingin kembali kesana. Aku ingin mendampingi gadis impianku itu selamanya. Itupun jika ia tidak keberatan. Tapi pastinya ia tidak menginginkan orang sepertiku untuk mendampinginya bukan?
"Pasti sangat menyenangkan tinggal dipulau dewata,"gumamnya seraya tersenyum tipis.
"Hm...tidak juga,"sahutku. Tinggal di Bali buatku seperti terdampar di negeri asing. Mungkin karena aku kurang pandai menyesuaikan diri dilingkungan baru. Apalagi aku tidak terlalu suka makanan orang Bali.
Dan setelah pertemuan kami pagi itu, aku berusaha mengisi hari-hari kosong Erika. Aku mencoba membuatnya tertawa sebisaku lewat canda dan ocehan-ocehan konyolku.
Aneh memang. Aku berubah bak superhero dalam sekejap saja. Aku tampil bagai pahlawan kesiangan baginya. Aku mencoba menghadirkan keceriaan dalam hari-harinya.
Erika mungkin sedikit terhibur dengan kehadiranku. Tapi itu tidak cukup meninggalkan kesan dalam hatinya.
Aku masih tetap Bim yang dulu. Yang selalu ia anggap sebagai sahabat terdekatnya. Tidak pernah lebih dari itu. Dan kupikir aku emang pantas menyandang gelar sahabat untuknya. Karena aku memang bukan laki-laki impiannya, meskipun aku telah berusaha membuat diriku layak dimatanya.
Erika masih mencintai Alan. Sampai sekarang. Meskipun waktu terus bergulir dan berganti. Ia masih menyimpan Alan dalam hatinya. Dan aku hanya teman yang siap menghiburnya dalam duka. Itulah diriku.
Pagi itu aku mendengar kabar bahwa Erika dibawa ke rumah sakit. Entah penyakit apa yang menderanya. Tapi kulihat gadis itu tampak terbaring lemah di atas tempat tidur. Badannya kurus dan wajahnya tampak tirus. Sangat memprihatinkan. Padahal dulu Erika sangat energik dan lincah. Ia cantik dan selalu menguraikan senyum termanisnya jika bertemu dengan orang termasuk aku. Tapi yang kulihat sekarang bukanlah Erika yang dulu. Kemana perginya gadis lincah itu? Siapa yang telah mencuri senyum indah itu dari bibirnya yang mungil? Alan-kah yang telah membawa pergi hati gadis itu jauh ke dunia diseberang sana?
Buntu! Pertanyaan-pertanyaan itu kosong tanpa jawaban. Mereka terbang kesana-kemari dan sesekali hinggap dikepalaku. Kemudian menindih syaraf di otakku, membuatku menderita sakit kepala.
Ah, Erika.....
Kasihan gadis itu. Aku tidak bisa membayangkan jika ada orang yang mencintaiku seperti itu. Pasti sangat menyakitkan mencintai seseorang terlalu mendalam seperti itu, sementara orang itu telah meninggal.
Semalaman tadi aku berjaga di dekat tempat tidur Erika. Berjaga-jaga jika ia tiba-tiba terbangun dan membutuhkan sesuatu, air minum misalnya. Tapi sampai pagi menjelang gadis itu belum juga membuka matanya. Ia terlelap dengan pulasnya.
Sedang bermimpi apakah dia sekarang? Kenapa belum juga bangun? Apa Alan yang sedang bertandang kedalam mimpi indahnya? Kenapa aku jadi cemburu seperti ini? Dasar bodoh.
Waktu berlari terus. Berirama. Tak lebih cepat atau lebih lambat. Namun Erika belum juga tersadar dari mimpinya. Menyadarkan semua orang disana jika gadis itu sudah pergi.
Ia pergi. Menyusul Alan dengan jalannya sendiri. Menemui cinta sejatinya di dunia yang lebih kekal.
Menghancurkan segumpal hati milikku yang tidak pernah berhenti mencintainya. Aku juga mencintaimu, Erika. Aku juga sakit dan menderita karenamu. Aku patah dan nyaris mati karena tak bisa memilikimu. Tapi aku tak punya nyali untuk mengatakannya padamu.
Separuh nyawaku serasa melayang pergi untuk menjangkau tubuh Erika. Tapi tak bisa.
Aku kalah sebagai pecundang cinta. .....
Senja bermendung itu aku mengantar kepergian Erika. Aku meletakkan seikat edelweiss di atas makamnya yang baru saja ditutup beberapa saat lalu. Lantas aku memanjatkan doa untuk gadis itu seraya membayangkan seulas senyum manis dibibirnya.
Selamat jalan Erika. Semoga Tuhan mempertemukanmu dengan pemilik edelweiss itu......

Jumat, 05 Juli 2013


"Maafin aku, May. Tadi aku ketemu Risna dijalan, jadi sekalian aja aku antar dia pulang. Kamu nggak pa pa kan?"tanya Mas Arya seraya menoleh ke arahku. Sementara aku pura-pura sibuk memasang safety belt ke tubuhku.
Risna lagi Risna lagi, batinku kesal. Kenapa akhir-akhir ini Mas Arya tampak lebih mempedulikan mantan kekasihnya itu ketimbang aku. Risna juga sama. Bukankah ia sudah tahu bahwa Mas Arya adalah tunanganku, tapi ia masih saja mendekati mantan kekasihnya itu.
"May, kok diam?"tegur Mas Arya beberapa menit kemudian."Kamu marah ya?"tanyanya lagi.
Marah? batinku kesal. Tentu saja. Bahkan bukan itu saja. Aku juga cemburu padanya. Siapapun orangnya pasti akan bersikap sama denganku. Bahkan orang bodoh sekalipun.
Aku menggeleng sejurus kemudian. Karena bagiku pantang untuk menunjukkan perasaanku padanya. Aku bahkan mengembangkan sedikit senyum untuknya.
"Benar kamu nggak marah?"tanyanya sekali lagi. Untuk meyakinkan dirinya sendiri.
"Benar. Aku nggak marah kok,"tandasku berpura-pura.
Mas Arya tersenyum mendengar kalimatku. Ia tampaknya lega mendengar bahwa aku baik-baik saja. Tapi ia tidak tahu jika hatiku terluka saat itu juga.
"Kamu lapar nggak? Kita mampir cari makan dulu yuk,"ajaknya saat kami melewati areal pedagang kaki lima yang menjual berbagai macam panganan.
"Aku pingin cepat pulang Mas. Aku capek,"sahutku sengaja ingin mengecewakan hatinya. Padahal perutku kosong karena belum diisi sejak tadi pagi.
Mas Arya sedikit kaget mendengar jawabanku. Ia melirik ke arahku melalui kaca spion depan. Biasanya aku yang merengek memintanya agar mentraktirku makan siomay Bandung di tempat langgananku, tapi kali ini tidak.
"Tumben...."ucapnya menyindir sambil tersenyum.
"Kegiatan di kampus sangat melelahkan,"tandasku berbohong.
"Jangan terlalu capek, May..."sahut Mas Arya mengingatkan.
Aku malas menanggapi ucapannya. Kalimatnya yang sok perhatian itu justru membuatku kesal. Aku bukan anak kecil yang mesti di ingatkan.
"Benar kamu nggak lapar?"tanya Mas Arya sekali lagi. Entah kenapa ia begitu perhatian, seperti ingin memaksaku agar mengiyakan ajakannya.
Aku menggelengkan kepalaku.
"Ya udah, Mas makan di kantor saja kalau begitu,"ucapnya mengalah pasrah. Membuatku tak enak hati padanya.
Namun Mas Arya tiba-tiba menepikan mobilnya ke sebuah kios kecil.
"Mas mau beli minum, kamu mau titip sekalian? Tissue mungkin..."tawarnya kemudian.
"Nggak usah,"tolakku.
"Kamu tunggu sebentar ya,"pamitnya seraya membuka pintu mobil lantas keluar. Ia tampak tergesa menuju ke kios di tepi jalan itu.
Aku tercekat manakala tiba-tiba saja terdengar dering handphone. Tapi yang berdering bukan milikku.
Oh, rupanya handphone Mas Arya ketinggalan di atas jok mobil. Kebiasaan buruknya belum juga hilang. Laki-laki itu sedikit ceroboh.
Aku segera memungut benda itu. Aku takut itu telepon penting dari kantornya.
Aku tertegun menatap sebaris nama yang tertera di display handphone milik Mas Arya. Risna memanggil.....
Dadaku langsung sesak, seperti dihantam menggunakan palu. Sakit.
Untuk apa gadis itu menelpon Mas Arya? Aku tidak menyangka bahwa hubungan mereka masih sedekat ini. Lantas apa arti diriku dimata Mas Arya?
"Maaf membuatmu menunggu..."
Mas Arya telah kembali dengan dua buah botol minum air mineral. Aku paling hafal dengan kebiasaannya selalu minum air putih. Ia benar-benar memperhatikan kesehatan.
"Risna menelpon,"beritahuku saat ia telah meluncurkan mobilnya ke jalan. Dengan nada datar.
Mas Arya menoleh padaku.
"Oh,"gumamnya."Dia bilang apa?"tanyanya seolah tidak khawatir aku akan mencemburuinya atau yang paling parah aku akan marah padanya.
"Nggak ku angkat,"sahutku pelan. Pandanganku masih lurus mengarah kedepan.
Mas Arya tak merespon. Ia tampak tenang tanpa sedikitpun mengkhawatirkan perasaanku.
"Sebenarnya hubungan kalian seperti apa?"aku memberanikan diri untuk bertanya.
"Kami hanya berteman, May. Kenapa kamu bertanya seperti itu?"Mas Arya balik bertanya seolah aku yang salah telah mempertanyakan hubungan mereka.
"Apa Mas masih mencintainya?"desakku tak sabar.
"May..."Mas Arya melirikku sekilas."Antara kami sudah berakhir, kamu tahu itu kan? Kamu nggak percaya padaku?"
"Bukan aku nggak percaya, tapi sikap Mas sendiri yang membuatku membuat kesimpulan sendiri,"tandasku kesal.
"Kesimpulan apa maksudmu?"tanya Mas Arya penasaran.
"Bahwa Mas masih mencintainya. Dan selama ini Mas hanya berpura-pura mencintaiku. Mas bertunangan denganku karena dipaksa bukan?"cecarku kemudian.
"Apa yang kamu bicarakan May? Aku jadi bingung,"ucap Mas Arya memasang tampang bodoh. Aku yakin dia pasti tahu apa yang sedang ku bicarakan.
Aku tersenyum pahit.
"Jangan berpura-pura bodoh Mas,"ucapku kasar. Aku sedang marah saat ini."Jika Mas masih mencintainya, aku akan membatalkan pertunangan kita."
"May!"teriakan Mas Arya membuatku kaget. "Kamu ngomong apa sih? Aku dan Risna bersahabat. Kamu pasti salah paham dengan kedekatan kami."
Salah paham? Lucu sekali,batinku.
"Kalau Mas nggak ingin aku salah paham kenapa masih berhubungan dengannya?"desakku ngotot.
"Karena aku punya alasan sendiri."
"Alasan apa?"desakku.
"Kamu nggak akan mengerti May...."
"Jika Mas nggak mau bilang, bagaimana aku akan mengerti?"tanyaku kesal. Sejak kapan ia bermain rahasia seperti ini denganku?
Namun Mas Arya mendiamkan pertanyaanku. Seolah ia tidak pernah mendengarnya.
"Berhenti. Aku mau turun disini,"tandasku kemudian.
"May?"Mas Arya kaget."Tapi rumahmu masih jauh...."
"Kubilang berhenti! Aku mau turun disini,"ulangku dengan nada tinggi.
Mas Arya menginjak rem tiba-tiba setelah aku berteriak padanya.
Aku bergegas turun dari atas mobil Mas Arya setelah itu. Dengan emosi yang sedang memuncak. Ia hendak mengejarku namun aku segera menghentikan taksi yang kebetulan saat itu tengah melintas. Moment yang sangat tepat dan mendukung untuk kabur darinya.
Sebenarnya siapa yang lebih egois? Aku atau dia?batinku kesal. Dari gelagatnya saja aku tahu ia tidak serius berhubungan denganku. Betapa bodohnya diriku terjebak dalam pertunangan konyol ini.
~~~##~~~
"May, benar kamu mau ikut pendakian?"tanya Aldo sembari mengerutkan keningnya sehingga ia tampak sepuluh tahun lebih tua dari usianya.
"Kenapa? Nggak boleh?"tanyaku bersungut-sungut.
"Bukan begitu, biasanya kamu kan paling anti dengan kegiatan seperti ini,"ujarnya mengulas kebiasaanku.
Aku menghela nafas berat. Memang susah merubah kebiasaan dan akan tampak aneh dimata orang lain.
"Sekali-kali aku juga ingin berpetualang,"tandasku santai.
"Hoho... lucu sekali,"sahutnya seraya nyengir."Seorang penakut ingin berpetualang? Kalau di tulis dalam novel mungkin akan lebih mirip seperti Alice in Wonderland,"celutuknya menyindirku.
"Dasar resek,"olokku sambil menimpuk bahunya kuat-kuat. Membuat Aldo meringis kesakitan.
"Ampun May,"rengeknya. "Pukulanmu kuat juga. Kamu belajar karate dimana?"
Aku terbahak mendengar leluconnya.
"Aku kan belajar karate dari kamu,"sahutku sekenanya.Menyambung gurauan segarnya.
"Oh, aku ingat sekarang. Kamu muridku yang paling bandel itu ya,"lanjutnya seraya berpura-pura mengingat-ingat sesuatu."Tapi sayangnya aku nggak bisa menghukummu."
"Kenapa?"tanyaku antusias.
"Karena kamu satu-satunya muridku dari bangsa manusia. Sebab muridku yang lain berasal dari bangsa monyet,"ucapnya bernada serius. Tapi sesungguhnya itu sangat lucu buatku. Membuatku tertawa ngakak tak berhenti.
Aldo memang sangat lucu. Siapapun yang berteman dengannya pasti akan senang. Termasuk diriku.
Tapi tiba-tiba Aldo menyentil pundakku. Mengisyaratkan ada sesuatu yang mesti aku lihat disudut lain.
Mas Arya tampak melangkah ke arah kami.
"Aku pergi dulu,"pamitku seraya bergegas berlalu dari dekat Aldo.
Aku menghampiri Mas Arya. Kemudian mencecarnya dengan pertanyaan.
"Kenapa kesini? Bukankah tadi aku sudah mengirim sms?"tanyaku sewot. Aku ingin menunjukkan kebencianku padanya.
"May...kumohon jangan bersikap seperti ini,"pinta Mas Arya.
"Lalu aku harus bersikap bagaimana?"tanyaku ketus. "Mas nggak pernah mau mengerti perasaanku."
"Maafkan aku May..."
"Sudahlah,"ucapku menepis tangannya yang hendak meraih genggamanku."Mungkin aku yang bersalah selama ini."
Aku meninggalkan Mas Arya di depan pintu gerbang kampus. Persis seperti hari kemarin. Aku ingin memberinya sedikit "pelajaran".
Meski dia berusaha mengejarku tapi aku sudah tak peduli lagi padanya. Aku akan mengakhiri semua ini. Secepatnya.
~~~##~~~
Langkah-langkahku terasa berat. Belum lagi ditambah dengan ransel yang membebani punggungku. Mungkin nyaris dua puluh kilo beratnya. Padahal perjalanan baru saja dimulai.. Dan tenagaku rasanya sudah habis.
"Apa kabar May?"tegur Aldo tiba-tiba. Sahabatku itu sengaja kembali hanya untuk menyapaku. Mungkin untuk menguji kesabaranku.
Aku tak menjawab. Aku berjalan tanpa mempedulikan kehadirannya.
"Apa kamu sudah mulai menyesal ikut pendakian ini?"ledeknya kemudian. Langkah-langkahnya menjajariku.
"Sebaiknya kamu diam,"tandasku mencoba bersabar."Atau kamu mau menggendongku?"
Aldo cekikikan.
"Ini masih baru permulaan lho. Jangan-jangan nanti kamu pingsan di tengah jalan,"ucapnya masih giat menggodaku.
"Apa aku tampak selemah itu?"tanyaku. Aku berusaha untuk tetap tegar sampai akhir.
"Maka dari itu aku menemanimu ngobrol. Biar capeknya nggak terasa,"ucapnya berbaik hati.
Aldo benar, batinku. Bagaimanapun punya teman ngobrol dalam perjalanan jauh lebih baik daripada berjalan sendirian. Apalagi di tengah hutan seperti ini.
Baru sebentar Aldo menemani perjalananku tiba-tiba saja ketua tim memanggilnya. Terpaksa aku sendirian lagi.
Aku sudah merasa menyesal semenjak tiba di desa yang terletak dibawah gunung tadi pagi. Semua gara-gara Mas Arya. Aku ikut pendakian ini karena sedang kecewa padanya. Aku melakukan ini untuk membalasnya tapi aku yang kena batunya. Karena pelarianku salah. Harusnya aku pergi bersenang-senang di mal, bukannya ikut pendakian seperti ini.
"Ayo semangat May!"teriak Aldo lantang. Ia sedang memimpin pendakian sekarang ini.
Aku capek. Aku ingin berhenti sebentar untuk mengistirahatkan kakiku barang beberapa detik.
Aku mengambil botol minum dari dalam tasku dan buru-buru meneguk isinya.
"Ayo jalan,"suruh ketua tim yang memergokiku istirahat dibawah pohon. Membuatku kesal. Aku ini manusia, bukan robot yang punya tenaga ekstra . Aku menggerutu sendirian seraya bangkit dari tempat dudukku dan segera menyusul langkah teman-temanku.
Dan entah bagaimana kronologisnya tiba-tiba saja kakiku kehilangan keseimbangan. Aku terperosok dan jatuh tergelincir kebawah. Untuk beberapa detik lamanya tubuhku meluncur kebawah menerobos semak-semak dan baru terhenti usai menubruk sebuah batang pohon.
Aku meringis kesakitan. Kepalaku terbentur batang pohon. Sementara punggung dan tanganku juga terasa sakit akibat menerobos semak-semak.
Dengan susah payah aku mencoba untuk bangkit kembali meski harus menahan sakit.
Aku menatap ke atas. Rupanya tempat aku jatuh lumayan dalam. Teman-temanku juga tidak tampak dari sini.
Aku mencoba berteriak.Namun sampai suaraku serak tak ada satupun yang menyahut panggilanku. Apa mereka tak bisa mendengar suaraku?
Aku tak kehilangan akal. Aku mengeluarkan ponsel andalanku. Tapi sialnya ponselku tak bisa menangkap satu sinyalpun.
Gawat!!!! batinku panik. Aku mulai ketakutan.
Aku tersesat di hutan. Sendirian pula. Mama, bagaimana ini?
Untuk beberapa saat lamanya aku tertegun meratapi nasibku.
Mungkin saja ini adalah hukum karma buatku. Malangnya nasibku, batinku seraya mulai melangkah kembali menyusuri jalanan setapak. Aku harus menemukan teman-temanku kembali. Atau paling tidak, aku harus menemukan orang lain di tengah hutan itu. Apalagi malam akan segera turun.
Namun sekitar satu jam perjalanan aku tidak mendapati satupun jejak manusia di tempat itu. Membuatku putus asa dan ingin menyerah saat ini jjuga.
Seandainya ada Mas Arya disini....
"Apa kamu tersesat?"
Aku kaget mendengar teguran itu. Seorang laki-laki muda berdiri dihadapanku tanpa kusadari. Ia juga pendaki gunung sepertiku.
Aku mengiyakan dengan cepat.
"Aku juga tersesat,"ucapnya.
Benarkah? Tapi aku merasa lega bisa bertemu dengannya. Aku tidak sendirian sekarang. Dua orang yang tersesat lebih baik daripada tersesat sendirian.
"Tampaknya kita harus mencari tempat bermalam,"tandasnya seraya mengamati langit yang berangsur menggelap.
"Bermalam di hutan ini?"tanyaku tak percaya.
"Iya,"sahutnya."Kita nggak mungkin melanjutkan perjalanan dalam kondisi gelap. Itu akan sangat berbahaya,"ucapnya memberi penjelasan.
~~~##~~~
Akhirnya kami mendirikan tenda setelah menemukan tempat yang cocok, yakni di tepi sungai. Malam bertambah larut dan dingin.
Laki-laki asing itu sibuk membuat perapian dari ranting-ranting kering yang ia kumpulkan disekitar tempat itu.
Sementara aku menyiapkan makan malam. Bukan makan malam yang sebenarnya, namun hanya biskuit gandum dan minuman elektrolit untuk mengganjal perut.
"Bagaimana kamu bisa tersesat?"laki-laki itu mendekat ke arahku usai menyalakan api unggun.
"Aku jatuh dan sayangnya nggak ada satupun temanku yang melihatku,"tuturku.
"Oh,"gumamnya. "Mendekatlah ke api, cuaca disini sangat dingin,"suruhnya.
Udara memang sangat dingin. Aku menuruti perintahnya untuk mendekat ke api unggun.
"Siapa namamu?"ia bertanya seraya membenahi nyala api.
"May,"jawabku."Kamu?"aku balik tanya.
"Cakra,"sahutnya pendek. Nama yang unik dan langka.
"Apa ini pertama kalinya kamu mendaki?"Cakra mengajukan pertanyaan padaku.
"Hm,"aku mengangguk."Kamu pasti sudah sering melakukannya,"tebakku kemudian.
"Iya,"timpalnya."Bisa dikatakan gunung adalah rumahku."
"Benarkah?"
Ia hanya mengembangkan senyum.
"Apa kita bisa pulang? Maksudku, apa kita bisa keluar dari hutan ini?"tanyaku menyambung perbincangan.
"Pasti bisa,"sahutnya optimis.
Jawaban yang benar-benar melegakan.
"Sebaiknya kamu tidur sekarang karena besok pagi kita harus melanjutkan perjalanan. Jika beruntung kita akan bertemu dengan rombongan pendaki lain atau tim penyelamat. Aku akan berjaga disini,"ucapnya lagi.
"Apa aku boleh tahu kenapa kamu bisa tersesat sepertiku?"aku mengabaikan ucapannya.
"Sama sepertimu. Aku terpeleset dan jatuh,"jelasnya.
Aku tersenyum kecil.
"Baiklah, aku akan tidur sekarang,"aku bangkit dari tempat dudukku dan langsung masuk kedalam tenda milikku.
Malam ini akan menjadi malam yang tak terlupakan dalam hidupku. Tersesat di hutan dan bermalam didalam tenda. Entah apa yang akan terjadi esok hari. Kami akan selamat atau tidak?
~~~##~~~
Mataku masih terasa berat. Namun kami harus melanjutkan perjalanan. Cakra membereskan tempat bekas api unggun. Memastikan tidak ada nyala api disana.
"Kamu sudah siap?"tegurnya .
"Ya,"jawabku."Apa semalaman kamu berjaga? Kamu nggak tidur sama sekali?"desakku. Kami memulai perjalanan dan sesekali aku mengajukan banyak pertanyaan padanya. Agar perjalanan kami tidak membosankan.
"Aku sudah terbiasa seperti ini,"sahutnya datar.
Pantas saja wajahnya tampak pucat,batinku. Kemarin aku tak begitu jelas menatap wajahnya karena hari berangsur senja. Namun aku bisa melihatnya kini. Ia tampan juga.
"Apa yang sedang kamu pikirkan?"tegurnya membuatku kaget. Apa ia tahu apa yang sedang kupikirkan?
"Nggak ada,"sahutku pura-pura sewot.
"Tapi tadi aku lihat kamu senyum-senyum sendiri,"timpalnya membuatku mati kutu.
Aku tak berkomentar dan lebih berkonsentrasi pada langkah-langkah kakiku.
"Apa kamu punya pacar?"tanyaku beberapa saat kemudian.
"Untuk apa kamu bertanya? Bukankah kamu sudah bertunangan?"ia balik tanya.
"Darimana kamu tahu kalau aku sudah bertunangan?"tanyaku heran.
Cakra tersenyum.
"Dari cincinmu,"sahutnya.
"Betul juga,"gumamku seperti orang bodoh."Tapi aku nggak yakin dia mencintaiku,"tuturku berterus terang.
"Kenapa kamu berpikir seperti itu?"desaknya.
"Karena dia masih berhubungan dengan mantan kekasihnya,"sahutku cepat."Kamu tahu, aku ikut pendakian ini karena aku sedang marah padanya. Aku sengaja ingin menghindarinya,"
"Tapi kamu malah tersesat dan bertemu denganku,"tukasnya seraya tersenyum."Kamu nggak boleh berbuat seperti itu,May. Tampaknya dia laki-laki yang baik."
"Oh, sekarang kamu ingin membelanya juga? Lucu sekali,"timpalku sedikit kesal.
"Aku yakin dia sangat mencintaimu,"ucapnya lagi.Seolah-olah ia sangat mengenal Mas Arya.
"Pembelaan sesama laki-laki?"
"Nggak juga, tapi aku punya feeling seperti itu."
"Feeling nggak selalu bisa diandalkan."Aku bergumam sendirian.
Suasana mereda. Tak ada lanjutan dari perbincangan sebelumnya. Karena jalan yang harus kami lalui sedikit terjal. Jadi kami harus ekstra hati-hati.
"Jangan melihat kebawah May!"seru Cakra yang berjalan dibelakangku."Lihat saja langkahmu dan hati-hati!"imbuhnya memperingatkan.
"Apa kita harus melewati jalan ini?"tanyaku sedikit cemas. Ini benar-benar sulit untukku.
"Ini jalan satu-satunya. Kalaupun kita memutar butuh waktu dua atau tiga jam untuk turun"jelasnya.
Menyebalkan, gerutuku. Kesal.
"May!"seiring teriakan Cakra kakiku telah kehilangan pijakan. Ia hendak memperingatkanku tapi terlambat. Tubuhku nyaris terperosok ke jurang yang terletak disisi jalan yang kami lewati. Untung saja tangan Cakra bergerak dengan cepat menyambar tubuhku. Terlambat sedikit saja bisa fatal akibatnya.
"Terima kasih..."ucapku gemetar.
Baru saja aku menutup mulutku giliran Cakra yang tertimpa musibah. Karena sibuk memperhatikan keselamatanku ia lalai dengan pijakan kakinya.
Tubuhnya mendadak terperosok dan tangannya berusaha menggapai ke atas untuk mencari pegangan. Aku sudah berusaha secepat mungkin meraih tangannya namun hanya gelang kayu miliknya yang bisa kuselamatkan.
Tidak!!!!
Tubuh Cakra meluncur bebas kebawah dan sesekali membentur apa saja yang menghalanginya. Hingga akhirnya ia berhenti didasar jurang itu.
Oh Tuhan...jeritku tersendat.
~~~##~~~
Aku terbangun. Tapi bukan di dalam hutan, melainkan di kamar rumah sakit. Tak ada pohon, gunung dan jalan setapak. Juga tidak ada Cakra.
Cakra? Aku seperti tersadar. Dimana dia? Bagaimana keadaannya? batinku cemas.
Aku membuka genggaman tanganku. Gelang kayu milik Cakra masih erat dalam genggamanku.
"Kamu sudah sadar?"sapa seorang suster saat melihatku berusaha bangun dari tempat tidur.
"Dimana Cakra?"tanyaku panik."Apa dia selamat?"
"Siapa dia?"tanya suster itu seraya sibuk mengganti tabung infusku yang telah kosong.
"Dia teman seperjalananku. Dia jatuh ke jurang. Bagaimana keadaannya?"cecarku bertubi-tubi. Aku benar-benar mencemaskan keadaannya.
"Tim SAR menemukanmu pingsan didalam jurang. Dan nggak ada korban lain. Kamu pingsan hampir dua hari,"tutur suster itu cepat.
Aku sedikit heran dengan keterangan suster itu. Bagaimana bisa mereka tidak menemukan Cakra? Bukankah dia yang jatuh ke jurang, tapi kenapa malah aku yang mereka temukan disana.
Tiba-tiba saja mama dan papa muncul. Juga Mas Arya. Mereka tampak mencemaskan keadaanku.
"Mereka harus menemukan Cakra, Pa,"ucapku. "Dia jatuh ke jurang karena menolongku."
"Maksudmu siapa May? Nggak ada orang lain disana. Tim SAR nggak menerima laporan kehilangan selain kamu,"tandas papa.
"Tapi Cakra..."
"Cakra?"gumam Mas Arya. Ia melihat gelang kayu didalam genggaman tanganku dan meraihnya. Ia memperhatikan benda itu dengan ekspresi aneh.
"Mas tolong dia..."ucapku tanpa sadar.
"Dimana kamu bertemu dia?"desak Mas Arya kemudian.
"Di hutan,"jawabku. "Aku bertemu dengannya saat tersesat. Dia bilang dia juga tersesat. Kami sempat bermalam dan melanjutkan perjalanan keesokan harinya. Tapi dia jatuh ke jurang karena menyelamatkanku."Aku tak kuasa menahan kesedihan saat mengingat laki-laki itu.
Mas Arya tampak kaget mendengar penuturanku.
"Apa Mas mengenalnya?"
Mas Arya tak menyahut. Dia bertingkah aneh seperti orang linglung.
"Ada apa sebenarnya?"tanya papa menyela.
"Dia adikku yang telah meninggal lima tahun yang lalu,"ucap Mas Arya membuat semua orang di kamar itu kaget.
"Apa?"seru mama dan papa serempak.
Mas Arya mendesah berat.
"Dia meninggal dalam sebuah pendakian. Semua barang-barang miliknya ditemukan kecuali gelang kayu itu,"tutur Mas Arya lagi.
"Jadi...."kalimatku tak bisa kuteruskan.
"Ya, dia telah menyelamatkan tunangan kakaknya,"tandas Mas Arya.
Aku hanya bisa tertegun sembari mengenang sosok adik Mas Arya.
Entah apa yang ingin ia sampaikan padaku.....
~~~##~~~
"Risna datang untuk menjengukmu,"suara mama terdengar menyapa telingaku. Membuyarkan lamunan panjangku tentang gunung, jurang dan juga Cakra.
Kenapa dia mesti datang kesini? gumamku kesal. Aku sedang tidak ingin bertemu siapapun terlebih gadis itu.
"Bagaimana kabarmu, May?"sapa Risna sambil meletakkan keranjang buah diatas meja.
"Lumayan,"sahutku tak bersemangat.
Risna menyeret sebuah kursi ke dekat tempat tidur.
"Aku ingin bicara denganmu,"tandasnya usai mama pergi. Tinggal kami berdua yang ada didalam kamar itu.
"Tentang apa?"tanyaku datar.
Aku sebenarnya bisa menebak apa yang hendak ia bicarakan. Tapi aku berpura-pura bodoh. Karena bagiku itu membuatku lebih baik.
"Aku dan Mas Arya sudah berakhir dua tahun yang lalu, May,"ulasnya memulai penuturannya. "Tapi kami masih saling berkomunikasi sampai sekarang. Aku harap kamu nggak salah paham tentang hal itu."
Aku menghela nafas dalam-dalam. Tanpa menyela.
"Aku bukan wanita baik-baik, May,"imbuhnya membuatku terkejut. Apa maksudnya?
"Aku pernah mengkhianatinya,"lanjutnya kemudian."Aku melakukan kesalahan terbesar dalam hidupku. Itu menyebabkan aku terkena HIV positif,"ungkapnya jujur.
"Apa?"tanyaku karena terkejut.
"Benar,"sahutnya."Itu adalah harga yang pantas aku terima."
Aku mulai tertarik dengan kisahnya. Segala kebencian yang semula mengendap dalam hatiku mencair begitu saja. Seperti pasir yang tersapu ombak laut.
"Selama ini Mas Arya selalu memberi dukungan padaku. Dia yang memberi motivasi agar sisa hidupku aku gunakan dengan sebaik-baiknya. Bukan karena dia masih mencintaiku, tapi lebih karena ia sangat mempedulikan orang-orang di sekitarnya. Dia terlalu baik, May. Kamu sangat beruntung mendapatkannya."
Risna tersenyum. Lantas ia meraih genggaman tanganku.
"Dia sangat mencintaimu, May..."
Mendadak mataku terasa pedas. Ada bulir-bulir air mata yang siap tertumpah saat itu juga.
Dimana Mas Arya? Aku ingin segera bertemu dengannya dan meminta maaf atas semua kesalahan yang pernah kulakukan padanya. Akhirnya aku tahu kalau dia sangat mencintaiku......


"Maafin aku, May. Tadi aku ketemu Risna dijalan, jadi sekalian aja aku antar dia pulang. Kamu nggak pa pa kan?"tanya Mas Arya seraya menoleh ke arahku. Sementara aku pura-pura sibuk memasang safety belt ke tubuhku.
Risna lagi Risna lagi, batinku kesal. Kenapa akhir-akhir ini Mas Arya tampak lebih mempedulikan mantan kekasihnya itu ketimbang aku. Risna juga sama. Bukankah ia sudah tahu bahwa Mas Arya adalah tunanganku, tapi ia masih saja mendekati mantan kekasihnya itu.
"May, kok diam?"tegur Mas Arya beberapa menit kemudian."Kamu marah ya?"tanyanya lagi.
Marah? batinku kesal. Tentu saja. Bahkan bukan itu saja. Aku juga cemburu padanya. Siapapun orangnya pasti akan bersikap sama denganku. Bahkan orang bodoh sekalipun.
Aku menggeleng sejurus kemudian. Karena bagiku pantang untuk menunjukkan perasaanku padanya. Aku bahkan mengembangkan sedikit senyum untuknya.
"Benar kamu nggak marah?"tanyanya sekali lagi. Untuk meyakinkan dirinya sendiri.
"Benar. Aku nggak marah kok,"tandasku berpura-pura.
Mas Arya tersenyum mendengar kalimatku. Ia tampaknya lega mendengar bahwa aku baik-baik saja. Tapi ia tidak tahu jika hatiku terluka saat itu juga.
"Kamu lapar nggak? Kita mampir cari makan dulu yuk,"ajaknya saat kami melewati areal pedagang kaki lima yang menjual berbagai macam panganan.
"Aku pingin cepat pulang Mas. Aku capek,"sahutku sengaja ingin mengecewakan hatinya. Padahal perutku kosong karena belum diisi sejak tadi pagi.
Mas Arya sedikit kaget mendengar jawabanku. Ia melirik ke arahku melalui kaca spion depan. Biasanya aku yang merengek memintanya agar mentraktirku makan siomay Bandung di tempat langgananku, tapi kali ini tidak.
"Tumben...."ucapnya menyindir sambil tersenyum.
"Kegiatan di kampus sangat melelahkan,"tandasku berbohong.
"Jangan terlalu capek, May..."sahut Mas Arya mengingatkan.
Aku malas menanggapi ucapannya. Kalimatnya yang sok perhatian itu justru membuatku kesal. Aku bukan anak kecil yang mesti di ingatkan.
"Benar kamu nggak lapar?"tanya Mas Arya sekali lagi. Entah kenapa ia begitu perhatian, seperti ingin memaksaku agar mengiyakan ajakannya.
Aku menggelengkan kepalaku.
"Ya udah, Mas makan di kantor saja kalau begitu,"ucapnya mengalah pasrah. Membuatku tak enak hati padanya.
Namun Mas Arya tiba-tiba menepikan mobilnya ke sebuah kios kecil.
"Mas mau beli minum, kamu mau titip sekalian? Tissue mungkin..."tawarnya kemudian.
"Nggak usah,"tolakku.
"Kamu tunggu sebentar ya,"pamitnya seraya membuka pintu mobil lantas keluar. Ia tampak tergesa menuju ke kios di tepi jalan itu.
Aku tercekat manakala tiba-tiba saja terdengar dering handphone. Tapi yang berdering bukan milikku.
Oh, rupanya handphone Mas Arya ketinggalan di atas jok mobil. Kebiasaan buruknya belum juga hilang. Laki-laki itu sedikit ceroboh.
Aku segera memungut benda itu. Aku takut itu telepon penting dari kantornya.
Aku tertegun menatap sebaris nama yang tertera di display handphone milik Mas Arya. Risna memanggil.....
Dadaku langsung sesak, seperti dihantam menggunakan palu. Sakit.
Untuk apa gadis itu menelpon Mas Arya? Aku tidak menyangka bahwa hubungan mereka masih sedekat ini. Lantas apa arti diriku dimata Mas Arya?
"Maaf membuatmu menunggu..."
Mas Arya telah kembali dengan dua buah botol minum air mineral. Aku paling hafal dengan kebiasaannya selalu minum air putih. Ia benar-benar memperhatikan kesehatan.
"Risna menelpon,"beritahuku saat ia telah meluncurkan mobilnya ke jalan. Dengan nada datar.
Mas Arya menoleh padaku.
"Oh,"gumamnya."Dia bilang apa?"tanyanya seolah tidak khawatir aku akan mencemburuinya atau yang paling parah aku akan marah padanya.
"Nggak ku angkat,"sahutku pelan. Pandanganku masih lurus mengarah kedepan.
Mas Arya tak merespon. Ia tampak tenang tanpa sedikitpun mengkhawatirkan perasaanku.
"Sebenarnya hubungan kalian seperti apa?"aku memberanikan diri untuk bertanya.
"Kami hanya berteman, May. Kenapa kamu bertanya seperti itu?"Mas Arya balik bertanya seolah aku yang salah telah mempertanyakan hubungan mereka.
"Apa Mas masih mencintainya?"desakku tak sabar.
"May..."Mas Arya melirikku sekilas."Antara kami sudah berakhir, kamu tahu itu kan? Kamu nggak percaya padaku?"
"Bukan aku nggak percaya, tapi sikap Mas sendiri yang membuatku membuat kesimpulan sendiri,"tandasku kesal.
"Kesimpulan apa maksudmu?"tanya Mas Arya penasaran.
"Bahwa Mas masih mencintainya. Dan selama ini Mas hanya berpura-pura mencintaiku. Mas bertunangan denganku karena dipaksa bukan?"cecarku kemudian.
"Apa yang kamu bicarakan May? Aku jadi bingung,"ucap Mas Arya memasang tampang bodoh. Aku yakin dia pasti tahu apa yang sedang ku bicarakan.
Aku tersenyum pahit.
"Jangan berpura-pura bodoh Mas,"ucapku kasar. Aku sedang marah saat ini."Jika Mas masih mencintainya, aku akan membatalkan pertunangan kita."
"May!"teriakan Mas Arya membuatku kaget. "Kamu ngomong apa sih? Aku dan Risna bersahabat. Kamu pasti salah paham dengan kedekatan kami."
Salah paham? Lucu sekali,batinku.
"Kalau Mas nggak ingin aku salah paham kenapa masih berhubungan dengannya?"desakku ngotot.
"Karena aku punya alasan sendiri."
"Alasan apa?"desakku.
"Kamu nggak akan mengerti May...."
"Jika Mas nggak mau bilang, bagaimana aku akan mengerti?"tanyaku kesal. Sejak kapan ia bermain rahasia seperti ini denganku?
Namun Mas Arya mendiamkan pertanyaanku. Seolah ia tidak pernah mendengarnya.
"Berhenti. Aku mau turun disini,"tandasku kemudian.
"May?"Mas Arya kaget."Tapi rumahmu masih jauh...."
"Kubilang berhenti! Aku mau turun disini,"ulangku dengan nada tinggi.
Mas Arya menginjak rem tiba-tiba setelah aku berteriak padanya.
Aku bergegas turun dari atas mobil Mas Arya setelah itu. Dengan emosi yang sedang memuncak. Ia hendak mengejarku namun aku segera menghentikan taksi yang kebetulan saat itu tengah melintas. Moment yang sangat tepat dan mendukung untuk kabur darinya.
Sebenarnya siapa yang lebih egois? Aku atau dia?batinku kesal. Dari gelagatnya saja aku tahu ia tidak serius berhubungan denganku. Betapa bodohnya diriku terjebak dalam pertunangan konyol ini.
~~~##~~~
"May, benar kamu mau ikut pendakian?"tanya Aldo sembari mengerutkan keningnya sehingga ia tampak sepuluh tahun lebih tua dari usianya.
"Kenapa? Nggak boleh?"tanyaku bersungut-sungut.
"Bukan begitu, biasanya kamu kan paling anti dengan kegiatan seperti ini,"ujarnya mengulas kebiasaanku.
Aku menghela nafas berat. Memang susah merubah kebiasaan dan akan tampak aneh dimata orang lain.
"Sekali-kali aku juga ingin berpetualang,"tandasku santai.
"Hoho... lucu sekali,"sahutnya seraya nyengir."Seorang penakut ingin berpetualang? Kalau di tulis dalam novel mungkin akan lebih mirip seperti Alice in Wonderland,"celutuknya menyindirku.
"Dasar resek,"olokku sambil menimpuk bahunya kuat-kuat. Membuat Aldo meringis kesakitan.
"Ampun May,"rengeknya. "Pukulanmu kuat juga. Kamu belajar karate dimana?"
Aku terbahak mendengar leluconnya.
"Aku kan belajar karate dari kamu,"sahutku sekenanya.Menyambung gurauan segarnya.
"Oh, aku ingat sekarang. Kamu muridku yang paling bandel itu ya,"lanjutnya seraya berpura-pura mengingat-ingat sesuatu."Tapi sayangnya aku nggak bisa menghukummu."
"Kenapa?"tanyaku antusias.
"Karena kamu satu-satunya muridku dari bangsa manusia. Sebab muridku yang lain berasal dari bangsa monyet,"ucapnya bernada serius. Tapi sesungguhnya itu sangat lucu buatku. Membuatku tertawa ngakak tak berhenti.
Aldo memang sangat lucu. Siapapun yang berteman dengannya pasti akan senang. Termasuk diriku.
Tapi tiba-tiba Aldo menyentil pundakku. Mengisyaratkan ada sesuatu yang mesti aku lihat disudut lain.
Mas Arya tampak melangkah ke arah kami.
"Aku pergi dulu,"pamitku seraya bergegas berlalu dari dekat Aldo.
Aku menghampiri Mas Arya. Kemudian mencecarnya dengan pertanyaan.
"Kenapa kesini? Bukankah tadi aku sudah mengirim sms?"tanyaku sewot. Aku ingin menunjukkan kebencianku padanya.
"May...kumohon jangan bersikap seperti ini,"pinta Mas Arya.
"Lalu aku harus bersikap bagaimana?"tanyaku ketus. "Mas nggak pernah mau mengerti perasaanku."
"Maafkan aku May..."
"Sudahlah,"ucapku menepis tangannya yang hendak meraih genggamanku."Mungkin aku yang bersalah selama ini."
Aku meninggalkan Mas Arya di depan pintu gerbang kampus. Persis seperti hari kemarin. Aku ingin memberinya sedikit "pelajaran".
Meski dia berusaha mengejarku tapi aku sudah tak peduli lagi padanya. Aku akan mengakhiri semua ini. Secepatnya.
~~~##~~~
Langkah-langkahku terasa berat. Belum lagi ditambah dengan ransel yang membebani punggungku. Mungkin nyaris dua puluh kilo beratnya. Padahal perjalanan baru saja dimulai.. Dan tenagaku rasanya sudah habis.
"Apa kabar May?"tegur Aldo tiba-tiba. Sahabatku itu sengaja kembali hanya untuk menyapaku. Mungkin untuk menguji kesabaranku.
Aku tak menjawab. Aku berjalan tanpa mempedulikan kehadirannya.
"Apa kamu sudah mulai menyesal ikut pendakian ini?"ledeknya kemudian. Langkah-langkahnya menjajariku.
"Sebaiknya kamu diam,"tandasku mencoba bersabar."Atau kamu mau menggendongku?"
Aldo cekikikan.
"Ini masih baru permulaan lho. Jangan-jangan nanti kamu pingsan di tengah jalan,"ucapnya masih giat menggodaku.
"Apa aku tampak selemah itu?"tanyaku. Aku berusaha untuk tetap tegar sampai akhir.
"Maka dari itu aku menemanimu ngobrol. Biar capeknya nggak terasa,"ucapnya berbaik hati.
Aldo benar, batinku. Bagaimanapun punya teman ngobrol dalam perjalanan jauh lebih baik daripada berjalan sendirian. Apalagi di tengah hutan seperti ini.
Baru sebentar Aldo menemani perjalananku tiba-tiba saja ketua tim memanggilnya. Terpaksa aku sendirian lagi.
Aku sudah merasa menyesal semenjak tiba di desa yang terletak dibawah gunung tadi pagi. Semua gara-gara Mas Arya. Aku ikut pendakian ini karena sedang kecewa padanya. Aku melakukan ini untuk membalasnya tapi aku yang kena batunya. Karena pelarianku salah. Harusnya aku pergi bersenang-senang di mal, bukannya ikut pendakian seperti ini.
"Ayo semangat May!"teriak Aldo lantang. Ia sedang memimpin pendakian sekarang ini.
Aku capek. Aku ingin berhenti sebentar untuk mengistirahatkan kakiku barang beberapa detik.
Aku mengambil botol minum dari dalam tasku dan buru-buru meneguk isinya.
"Ayo jalan,"suruh ketua tim yang memergokiku istirahat dibawah pohon. Membuatku kesal. Aku ini manusia, bukan robot yang punya tenaga ekstra . Aku menggerutu sendirian seraya bangkit dari tempat dudukku dan segera menyusul langkah teman-temanku.
Dan entah bagaimana kronologisnya tiba-tiba saja kakiku kehilangan keseimbangan. Aku terperosok dan jatuh tergelincir kebawah. Untuk beberapa detik lamanya tubuhku meluncur kebawah menerobos semak-semak dan baru terhenti usai menubruk sebuah batang pohon.
Aku meringis kesakitan. Kepalaku terbentur batang pohon. Sementara punggung dan tanganku juga terasa sakit akibat menerobos semak-semak.
Dengan susah payah aku mencoba untuk bangkit kembali meski harus menahan sakit.
Aku menatap ke atas. Rupanya tempat aku jatuh lumayan dalam. Teman-temanku juga tidak tampak dari sini.
Aku mencoba berteriak.Namun sampai suaraku serak tak ada satupun yang menyahut panggilanku. Apa mereka tak bisa mendengar suaraku?
Aku tak kehilangan akal. Aku mengeluarkan ponsel andalanku. Tapi sialnya ponselku tak bisa menangkap satu sinyalpun.
Gawat!!!! batinku panik. Aku mulai ketakutan.
Aku tersesat di hutan. Sendirian pula. Mama, bagaimana ini?
Untuk beberapa saat lamanya aku tertegun meratapi nasibku.
Mungkin saja ini adalah hukum karma buatku. Malangnya nasibku, batinku seraya mulai melangkah kembali menyusuri jalanan setapak. Aku harus menemukan teman-temanku kembali. Atau paling tidak, aku harus menemukan orang lain di tengah hutan itu. Apalagi malam akan segera turun.
Namun sekitar satu jam perjalanan aku tidak mendapati satupun jejak manusia di tempat itu. Membuatku putus asa dan ingin menyerah saat ini jjuga.
Seandainya ada Mas Arya disini....
"Apa kamu tersesat?"
Aku kaget mendengar teguran itu. Seorang laki-laki muda berdiri dihadapanku tanpa kusadari. Ia juga pendaki gunung sepertiku.
Aku mengiyakan dengan cepat.
"Aku juga tersesat,"ucapnya.
Benarkah? Tapi aku merasa lega bisa bertemu dengannya. Aku tidak sendirian sekarang. Dua orang yang tersesat lebih baik daripada tersesat sendirian.
"Tampaknya kita harus mencari tempat bermalam,"tandasnya seraya mengamati langit yang berangsur menggelap.
"Bermalam di hutan ini?"tanyaku tak percaya.
"Iya,"sahutnya."Kita nggak mungkin melanjutkan perjalanan dalam kondisi gelap. Itu akan sangat berbahaya,"ucapnya memberi penjelasan.
~~~##~~~
Akhirnya kami mendirikan tenda setelah menemukan tempat yang cocok, yakni di tepi sungai. Malam bertambah larut dan dingin.
Laki-laki asing itu sibuk membuat perapian dari ranting-ranting kering yang ia kumpulkan disekitar tempat itu.
Sementara aku menyiapkan makan malam. Bukan makan malam yang sebenarnya, namun hanya biskuit gandum dan minuman elektrolit untuk mengganjal perut.
"Bagaimana kamu bisa tersesat?"laki-laki itu mendekat ke arahku usai menyalakan api unggun.
"Aku jatuh dan sayangnya nggak ada satupun temanku yang melihatku,"tuturku.
"Oh,"gumamnya. "Mendekatlah ke api, cuaca disini sangat dingin,"suruhnya.
Udara memang sangat dingin. Aku menuruti perintahnya untuk mendekat ke api unggun.
"Siapa namamu?"ia bertanya seraya membenahi nyala api.
"May,"jawabku."Kamu?"aku balik tanya.
"Cakra,"sahutnya pendek. Nama yang unik dan langka.
"Apa ini pertama kalinya kamu mendaki?"Cakra mengajukan pertanyaan padaku.
"Hm,"aku mengangguk."Kamu pasti sudah sering melakukannya,"tebakku kemudian.
"Iya,"timpalnya."Bisa dikatakan gunung adalah rumahku."
"Benarkah?"
Ia hanya mengembangkan senyum.
"Apa kita bisa pulang? Maksudku, apa kita bisa keluar dari hutan ini?"tanyaku menyambung perbincangan.
"Pasti bisa,"sahutnya optimis.
Jawaban yang benar-benar melegakan.
"Sebaiknya kamu tidur sekarang karena besok pagi kita harus melanjutkan perjalanan. Jika beruntung kita akan bertemu dengan rombongan pendaki lain atau tim penyelamat. Aku akan berjaga disini,"ucapnya lagi.
"Apa aku boleh tahu kenapa kamu bisa tersesat sepertiku?"aku mengabaikan ucapannya.
"Sama sepertimu. Aku terpeleset dan jatuh,"jelasnya.
Aku tersenyum kecil.
"Baiklah, aku akan tidur sekarang,"aku bangkit dari tempat dudukku dan langsung masuk kedalam tenda milikku.
Malam ini akan menjadi malam yang tak terlupakan dalam hidupku. Tersesat di hutan dan bermalam didalam tenda. Entah apa yang akan terjadi esok hari. Kami akan selamat atau tidak?
~~~##~~~
Mataku masih terasa berat. Namun kami harus melanjutkan perjalanan. Cakra membereskan tempat bekas api unggun. Memastikan tidak ada nyala api disana.
"Kamu sudah siap?"tegurnya .
"Ya,"jawabku."Apa semalaman kamu berjaga? Kamu nggak tidur sama sekali?"desakku. Kami memulai perjalanan dan sesekali aku mengajukan banyak pertanyaan padanya. Agar perjalanan kami tidak membosankan.
"Aku sudah terbiasa seperti ini,"sahutnya datar.
Pantas saja wajahnya tampak pucat,batinku. Kemarin aku tak begitu jelas menatap wajahnya karena hari berangsur senja. Namun aku bisa melihatnya kini. Ia tampan juga.
"Apa yang sedang kamu pikirkan?"tegurnya membuatku kaget. Apa ia tahu apa yang sedang kupikirkan?
"Nggak ada,"sahutku pura-pura sewot.
"Tapi tadi aku lihat kamu senyum-senyum sendiri,"timpalnya membuatku mati kutu.
Aku tak berkomentar dan lebih berkonsentrasi pada langkah-langkah kakiku.
"Apa kamu punya pacar?"tanyaku beberapa saat kemudian.
"Untuk apa kamu bertanya? Bukankah kamu sudah bertunangan?"ia balik tanya.
"Darimana kamu tahu kalau aku sudah bertunangan?"tanyaku heran.
Cakra tersenyum.
"Dari cincinmu,"sahutnya.
"Betul juga,"gumamku seperti orang bodoh."Tapi aku nggak yakin dia mencintaiku,"tuturku berterus terang.
"Kenapa kamu berpikir seperti itu?"desaknya.
"Karena dia masih berhubungan dengan mantan kekasihnya,"sahutku cepat."Kamu tahu, aku ikut pendakian ini karena aku sedang marah padanya. Aku sengaja ingin menghindarinya,"
"Tapi kamu malah tersesat dan bertemu denganku,"tukasnya seraya tersenyum."Kamu nggak boleh berbuat seperti itu,May. Tampaknya dia laki-laki yang baik."
"Oh, sekarang kamu ingin membelanya juga? Lucu sekali,"timpalku sedikit kesal.
"Aku yakin dia sangat mencintaimu,"ucapnya lagi.Seolah-olah ia sangat mengenal Mas Arya.
"Pembelaan sesama laki-laki?"
"Nggak juga, tapi aku punya feeling seperti itu."
"Feeling nggak selalu bisa diandalkan."Aku bergumam sendirian.
Suasana mereda. Tak ada lanjutan dari perbincangan sebelumnya. Karena jalan yang harus kami lalui sedikit terjal. Jadi kami harus ekstra hati-hati.
"Jangan melihat kebawah May!"seru Cakra yang berjalan dibelakangku."Lihat saja langkahmu dan hati-hati!"imbuhnya memperingatkan.
"Apa kita harus melewati jalan ini?"tanyaku sedikit cemas. Ini benar-benar sulit untukku.
"Ini jalan satu-satunya. Kalaupun kita memutar butuh waktu dua atau tiga jam untuk turun"jelasnya.
Menyebalkan, gerutuku. Kesal.
"May!"seiring teriakan Cakra kakiku telah kehilangan pijakan. Ia hendak memperingatkanku tapi terlambat. Tubuhku nyaris terperosok ke jurang yang terletak disisi jalan yang kami lewati. Untung saja tangan Cakra bergerak dengan cepat menyambar tubuhku. Terlambat sedikit saja bisa fatal akibatnya.
"Terima kasih..."ucapku gemetar.
Baru saja aku menutup mulutku giliran Cakra yang tertimpa musibah. Karena sibuk memperhatikan keselamatanku ia lalai dengan pijakan kakinya.
Tubuhnya mendadak terperosok dan tangannya berusaha menggapai ke atas untuk mencari pegangan. Aku sudah berusaha secepat mungkin meraih tangannya namun hanya gelang kayu miliknya yang bisa kuselamatkan.
Tidak!!!!
Tubuh Cakra meluncur bebas kebawah dan sesekali membentur apa saja yang menghalanginya. Hingga akhirnya ia berhenti didasar jurang itu.
Oh Tuhan...jeritku tersendat.
~~~##~~~
Aku terbangun. Tapi bukan di dalam hutan, melainkan di kamar rumah sakit. Tak ada pohon, gunung dan jalan setapak. Juga tidak ada Cakra.
Cakra? Aku seperti tersadar. Dimana dia? Bagaimana keadaannya? batinku cemas.
Aku membuka genggaman tanganku. Gelang kayu milik Cakra masih erat dalam genggamanku.
"Kamu sudah sadar?"sapa seorang suster saat melihatku berusaha bangun dari tempat tidur.
"Dimana Cakra?"tanyaku panik."Apa dia selamat?"
"Siapa dia?"tanya suster itu seraya sibuk mengganti tabung infusku yang telah kosong.
"Dia teman seperjalananku. Dia jatuh ke jurang. Bagaimana keadaannya?"cecarku bertubi-tubi. Aku benar-benar mencemaskan keadaannya.
"Tim SAR menemukanmu pingsan didalam jurang. Dan nggak ada korban lain. Kamu pingsan hampir dua hari,"tutur suster itu cepat.
Aku sedikit heran dengan keterangan suster itu. Bagaimana bisa mereka tidak menemukan Cakra? Bukankah dia yang jatuh ke jurang, tapi kenapa malah aku yang mereka temukan disana.
Tiba-tiba saja mama dan papa muncul. Juga Mas Arya. Mereka tampak mencemaskan keadaanku.
"Mereka harus menemukan Cakra, Pa,"ucapku. "Dia jatuh ke jurang karena menolongku."
"Maksudmu siapa May? Nggak ada orang lain disana. Tim SAR nggak menerima laporan kehilangan selain kamu,"tandas papa.
"Tapi Cakra..."
"Cakra?"gumam Mas Arya. Ia melihat gelang kayu didalam genggaman tanganku dan meraihnya. Ia memperhatikan benda itu dengan ekspresi aneh.
"Mas tolong dia..."ucapku tanpa sadar.
"Dimana kamu bertemu dia?"desak Mas Arya kemudian.
"Di hutan,"jawabku. "Aku bertemu dengannya saat tersesat. Dia bilang dia juga tersesat. Kami sempat bermalam dan melanjutkan perjalanan keesokan harinya. Tapi dia jatuh ke jurang karena menyelamatkanku."Aku tak kuasa menahan kesedihan saat mengingat laki-laki itu.
Mas Arya tampak kaget mendengar penuturanku.
"Apa Mas mengenalnya?"
Mas Arya tak menyahut. Dia bertingkah aneh seperti orang linglung.
"Ada apa sebenarnya?"tanya papa menyela.
"Dia adikku yang telah meninggal lima tahun yang lalu,"ucap Mas Arya membuat semua orang di kamar itu kaget.
"Apa?"seru mama dan papa serempak.
Mas Arya mendesah berat.
"Dia meninggal dalam sebuah pendakian. Semua barang-barang miliknya ditemukan kecuali gelang kayu itu,"tutur Mas Arya lagi.
"Jadi...."kalimatku tak bisa kuteruskan.
"Ya, dia telah menyelamatkan tunangan kakaknya,"tandas Mas Arya.
Aku hanya bisa tertegun sembari mengenang sosok adik Mas Arya.
Entah apa yang ingin ia sampaikan padaku.....
~~~##~~~
"Risna datang untuk menjengukmu,"suara mama terdengar menyapa telingaku. Membuyarkan lamunan panjangku tentang gunung, jurang dan juga Cakra.
Kenapa dia mesti datang kesini? gumamku kesal. Aku sedang tidak ingin bertemu siapapun terlebih gadis itu.
"Bagaimana kabarmu, May?"sapa Risna sambil meletakkan keranjang buah diatas meja.
"Lumayan,"sahutku tak bersemangat.
Risna menyeret sebuah kursi ke dekat tempat tidur.
"Aku ingin bicara denganmu,"tandasnya usai mama pergi. Tinggal kami berdua yang ada didalam kamar itu.
"Tentang apa?"tanyaku datar.
Aku sebenarnya bisa menebak apa yang hendak ia bicarakan. Tapi aku berpura-pura bodoh. Karena bagiku itu membuatku lebih baik.
"Aku dan Mas Arya sudah berakhir dua tahun yang lalu, May,"ulasnya memulai penuturannya. "Tapi kami masih saling berkomunikasi sampai sekarang. Aku harap kamu nggak salah paham tentang hal itu."
Aku menghela nafas dalam-dalam. Tanpa menyela.
"Aku bukan wanita baik-baik, May,"imbuhnya membuatku terkejut. Apa maksudnya?
"Aku pernah mengkhianatinya,"lanjutnya kemudian."Aku melakukan kesalahan terbesar dalam hidupku. Itu menyebabkan aku terkena HIV positif,"ungkapnya jujur.
"Apa?"tanyaku karena terkejut.
"Benar,"sahutnya."Itu adalah harga yang pantas aku terima."
Aku mulai tertarik dengan kisahnya. Segala kebencian yang semula mengendap dalam hatiku mencair begitu saja. Seperti pasir yang tersapu ombak laut.
"Selama ini Mas Arya selalu memberi dukungan padaku. Dia yang memberi motivasi agar sisa hidupku aku gunakan dengan sebaik-baiknya. Bukan karena dia masih mencintaiku, tapi lebih karena ia sangat mempedulikan orang-orang di sekitarnya. Dia terlalu baik, May. Kamu sangat beruntung mendapatkannya."
Risna tersenyum. Lantas ia meraih genggaman tanganku.
"Dia sangat mencintaimu, May..."
Mendadak mataku terasa pedas. Ada bulir-bulir air mata yang siap tertumpah saat itu juga.
Dimana Mas Arya? Aku ingin segera bertemu dengannya dan meminta maaf atas semua kesalahan yang pernah kulakukan padanya. Akhirnya aku tahu kalau dia sangat mencintaiku......