Rabu, 27 Februari 2013

TEARS IN THE RAIN


Pekat . Hanya gelap yang bisa ditangkap oleh kornea mataku. Namun senandung rinai hujan terdengar merdu di telingaku bak sebuah melodi patah hati . Pilu . Juga menyayat hati .
Rio berjalan lambat ke arahku . Dengan sebatang lilin yang sedang menyala didalam genggamannya . Nyala lilin itu tampak meliuk seperti pinggul seorang penari . Rio meletakkan batang lilin itu diatas meja , persis di dekat tempatku berdiri . Laki-laki itu memandangku sekilas lalu ikut menatap tetes-tetes hujan dibalik jendela kaca yang membentang dihadapan kami .
"Mungkin ada instalasi listrik yang tersambar petir ."gumamnya tanpa menoleh . Ia tampak sedikit menyesali kesialan kecil ini . Apa asyiknya liburan di vila jika hujan lebat begini , ditambah lagi listrik padam .
"Apa yang sedang kau pikirkan , Mey ?" tegurnya kemudian . Mengusik sikap pasifku . "Tentang Theo ?"tebaknya lagi . Kini sepasang matanya tertuju padaku . Menanti mulutku mengucapkan beberapa patah kata sebagai jawaban atas pertanyaannya .
Aku tak bisa mengingkari pikiranku sendiri . Aku memang sedang berpikir tentang Theo . Tentang kecelakaan maut yang merenggut kehidupan Theo . Dan menghancurkan separuh hati yang kupersembahkan untuk laki-laki bernama Theo .

"Saat itu hujan deras ."gumamku lirih . " Aku memaksanya untuk menjemputku meski aku tahu cuaca sedang buruk . Dia mengalami kecelakaan itu karena aku , Rio ." tandasku tak begitu gamblang . Sulit buatku mengulang cerita itu kembali . Aku tak mau menangis dihadapan Rio sekarang . Karena aku akan tampak rapuh nantinya .
"Semua orang tahu Theo mengalami kecelakaan karena cuaca , bukan karenamu . Jadi berhentilah menyalahkan diri sendiri ." tegasnya .
"Tapi dia tidak akan mengalami kecelakaan itu jika aku tidak memaksanya datang , Rio ." debatku ngotot .
" Lantas apa yang akan kau lakukan ? Menyesali kecelakaan itu sepanjang hidupmu ?"desaknya tampak geram .
"Bagaimanapun juga aku merasa bertanggung jawab......."
"Tanggung jawab ?"potong Rio cepat. "Apa ini yang kau sebut sebagai bentuk tanggung jawab ?!' seru Rio seraya menarik tangan kiriku dengan kasar . Lantas ia menyingkapkan ujung lengan sweaterku sehingga tampaklah sebuah bekas luka memanjang tergambar di pergelangan tangan kiriku . Bekas goresan pisau yang ku buat sendiri beberapa waktu yang lalu . Upaya bunuh diri yang gagal total karena tiba-tiba Rio muncul dan mencegahku menjemput mautku sendiri .
Aku menarik tanganku kembali dengan gerakan cepat . Rio menguak kembali kejadian itu untuk menyudutkan posisiku .
"Berjanjilah tidak akan melakukan hal bodoh itu lagi , Mey ."ucapnya . "Theo juga pasti tidak ingin melihatmu seperti ini ."
Aku membisu . Biasanya Rio akan bicara panjang lebar tentang masalah ini , dan aku benci mendengar ceramahnya . Aku jenuh jika harus mendengar kata-kata bijaknya bak motivator profesional .
"Sebaiknya kau tidur ." suruh Rio beberapa menit kemudian . " Panggil aku jika butuh sesuatu . Aku ada di kamar sebelah ." Rio menepuk bahuku sebelum meninggalkan tempatnya berdiri .
Aku hanya mengangguk seraya menatap langkah-langkah Rio yang bergerak keluar dari kamarku .
######
Bayangan hitam itu hendak menyeret tubuhku dengan paksa .
"Ayo Mey , ikutlah denganku pergi...."
Tidak ! Aku tidak mau pergi , jeritku tertahan di tenggorokan . Aku berusaha melepaskan diri dari cengkeraman bayangan hitam itu dengan sekuat tenaga . Tolong aku Rio........
Aku terjaga dari tidurku . Mimpi buruk yang sama , gumamku sembari mengusap peluh yang membasahi keningku . Hampir setiap malam aku didatangi mimpi buruk yang sama . Membuatku ketakutan manakala hendak tidur .
Aku sudah lelah bermimpi . Dan aku ingin segera mengakhirinya . Tapi aku tidak tahu cara untuk menghentikannya .
Rupanya pagi telah datang . Sinar matahari pagi tampak menerobos kaca jendela hingga menyentuh ujung bantalku . Hari yang cerah setelah semalaman hujan mengguyur tanpa henti . Sisa-sisa lelehan lilin tampak teronggok diatas meja .
Dimana Rio ? Kenapa aku sama sekali tidak mendengar suaranya ? batinku seraya turun dari atas tempat tidur .
Kamar Rio tampak kosong ketika aku memeriksa ruangan di sebelah kamarku. Begitu juga kamar mandi dan ruang-ruang lain . Aku tak mendapati laki-laki itu dimanapun sudut vila ini . Juga bapak tua penjaga vila ini tak nampak batang hidungnya . Bahkan mobil Rio juga lenyap dari halaman vila .
"Rio!!!"
Tubuhku mulai gemetar manakala menyadari bahwa aku sendirian di tempat asing ini. Rasa takut mulai mengalir perlahan ke dalam dadaku . Detak jantungku juga mulai meningkat iramanya . Perasaan semacam ini pernah menderaku beberapa waktu yang lalu , tepatnya saat Theo pergi untuk selama-lamanya . Kecemasan yang teramat sangat hingga membuatku sesak nafas .
Kau dimana , Rio ? Kenapa meninggalkanku sedirian di tempat ini ? Apa kau sengaja melakukan ini padaku ?
Langkah kakiku terasa perih . Kaki-kaki telanjangku bersentuhan dengan kerikil tajam tanpa ku sadari . Mataku nanar mencari bayangan Rio di sela-sela kerumunan pohon teh yang berdiri di sekeliling tubuhku . Tapi aku tak jua mendapatinya disana .Meski aku sudah berteriak memanggilnya , tetap saja tak ada sahutan . Seolah ia benar-benar menghilang .
Oh.... Kakiku terantuk sebuah batu berukuran sedang . Aku terjatuh dan lututku menimpa sesuatu yang keras . Batu . Lututku langsung mengeluarkan cairan berwarna merah .
"Rio......" isakku sedih . Disaat seperti ini aku hanya ingin ia ada di sisiku .
Namun ternyata harapanku terkabul secepat ini .
"Mey , kau tidak apa-apa ?"
Aku mendongakkan wajahku . Rio telah ada dihadapanku tanpa terduga . Ia nampak cemas melihat keadaanku .
"Aku tadi pergi sebentar untuk membeli sesuatu . Kulihat kau masih tidur . Maaf jika membuatmu cemas ."ucapnya .
Aku menatap Rio dengan tatapan tak percaya . Aku hampir mati ketakutan karenanya . Bagaimana aku bisa mengalami perasaan semacam ini , padahal sebelumnya aku selalu mengabaikan keberadaan Rio . Apa yang salah dengan otakku ? Normalkah ini ? Ataukah kehadiran Rio perlahan menggeser posisi Theo dihatiku ? Jawaban mana yang benar ?
######
"Apa liburanmu menyenangkan ?"sambut mama seraya mengambil alih tas dari genggaman tanganku .
"Lumayan ." sahutku pendek . Aku tak begitu mempedulikan ucapan mama . Tubuhku sudah lelah dan ingin segera direbahkan di atas tempat tidur yang nyaman . Aku ingin segera tidur .
"Tidak makan dulu , Mey ?"seruan mama terdengar saat aku hendak membuka pintu kamarku .
" Tadi kami sudah makan di jalan ." jelasku .
Mama tak menyahut . Namun ia muncul dari balik pintu manakala aku hendak merebahkan tubuhku diatas tempat tidur .
" Mama lihat Rio sangat memperhatikanmu ." tandas mama membuatku sedikit canggung . Apa mama melihat Rio menciumku tadi sewaktu di depan rumah ? batinku .
"Mama dan papa sudah merestui hubungan kalian ."imbuh mama kemudian .
"Maksud mama....."
"Rio mencintaimu , Mey . "timpal mama . "Dan dia baik ."
"Tapi Ma , hubungan kami tidak seperti yang mama bayangkan ."elakku berusaha menghindari investigasi mama . Namun mama malah tergelak dengan pembelaanku yang pasti terdengar konyol di telinga mama .
" Mey , mulut memang pandai berbohong . Tapi hati pasti akan berkata jujur . Coba kau tanya hatimu sendiri ." cakap mama bijak .
Benarkah seperti itu ? Apa mulutku tadi telah mengeluarkan sebuah kebohongan ?
"Lupakan semua yang telah berlalu . Rio adalah orang yang tepat untukmu . Camkan perkataan mama . "
Mama tersenyum lantas bangkit dari tepian tempat tidurku .
Apa maksud mama yang sesungguhnya ? Ia tampaknya memaksaku dengan cara halus untuk menerima Rio . Tapi anehnya aku seperti terhipnotis dengan ucapan mama .
Sesungguhnya aku ingin lepas dari belenggu hitam masa lalu . Tapi apakah bayangan masa lalu akan membiarkanku lepas untuk memulai hidup yang baru ?
######
"Kenapa Rio lama sekali ?"gumamku seraya menatap nanar ke jalan . Sembari berharap mobil Rio segera muncul diantara para pengguna jalan . Apa dia tidak membaca pesan singkatku ?
Langit tampak gelap . Mendung berwarna kelabu tampak berkumpul di atas kepalaku . Sarat dengan volume air yang berkondensasi dan sebentar lagi akan tercurah ke bumi sebagai hujan . Dan aku tidak mau basah karena air hujan .
Ah , sial ! Baterai ponselku habis . Bagaimana aku bisa menghubungi Rio dalam keadaan seperti ini ?
Ada sesuatu yang baru saja kusadari tatkala mengingat Rio . Akhir-akhir ini aku selalu bergantung pada laki-laki itu . Ada masalah sekecil apapun pasti aku minta bantuan pada Rio . Sebentar-sebentar aku mengirimkan pesan singkat ke ponselnya padahal tidak penting. Rupanya pikiranku telah terkontaminasi oleh ucapan mama .
Hujan mulai turun . Tetes-tetes air mulai berjatuhan ke tanah . Tak cukup lama bertahan sebagai gerimis , karena tiba-tiba hujan deras telah menggantikannya . Sementara Rio belum juga muncul . Dan aku sudah jenuh berdiri di teras sebuah toko .
Mataku terus menatap ke jalan yang telah basah kuyup tertimpa air hujan . Aku sudah memikirkan kalimat-kalimat apa yang akan ku lontarkan pada Rio jika ia muncul nanti . Namun sesosok tubuh mendadak muncul dari balik derasnya hujan . Sesosok tubuh laki-laki tampak berjalan tertatih menuju ke arahku . Aku menajamkan penglihatanku untuk bisa menembus air hujan agar dapat mengenali sosok laki-laki yang tampaknya tidak asing buatku .
"Mey , ikutah denganku...."ucap laki-laki itu bersaing dengan riuh air hujan . Tangannya terulur hendak menggapai tanganku .
Theo ! jeritku tersadar . Laki-laki itu tampak kusut dan pakaiannya berlumuran darah . Ia tampak berdiri menantiku datang mendekat padanya .
"Bukankah selama ini kau ingin pergi ke tempatku , Mey ."tandasnya menyadarkan keterkejutanku . Ia melambaikan tangannya padaku .
Ada sebuah kekuatan misterius yang menggerakkan kakiku untuk bergegas melangkah ke arah Theo . Aku sudah kehilangan kontrol atas pikiranku sendiri. Lambaian tangan Theo begitu memikat hatiku . Padahal tadi aku sudah berniat tidak mau basah karena air hujan . Tapi aku sudah lupa dengan tekadku itu . Yang ada di pikiranku hanya Theo dan Theo . Ia datang untuk menjemputku dan inilah saat yang tepat untukku pergi untuk mempertanggungjawabkan semuanya .
"Awas Mey !!!"
Tiba-tiba saja ada seseorang yang menarik tubuhku dengan cepat . Dan dua detik kemudian aku tersadar telah berada dalam pelukan Rio .
"Apa kau gila ,Mey ?! Apa yang kau lakukan ? Bagaimana jika mobil tadi menabrakmu ?" seru Rio dibawah guyuran air hujan . Ia tampak sangat marah .
"Theo memanggilku . Dia ada disana dan sedang menungguku ,Rio ." ucapku terbata . Sementara ujung telunjukku mengarah ke seberang jalan .
"Theo?!"teriak Rio . "Itu hanya halusinasimu saja , Mey ! Pikiranmu yang telah menciptakan bayangan Theo . "tandasnya tegas .
Aku menatap Rio dengan pandangan penuh tanya . Sedang otakku berusaha bekerja mencerna ucapan Rio .
"Hapus dia dari pikiranmu, Mey . Bayangan Theo selalu muncul karena kau belum mengikhlaskan kepergiannya .Biarkan dia tenang disana tanpa terbebani olehmu ."
Aku seolah tersentak dari lamunan panjang manakala mendengar penuturan Rio . Aku tergagap begitu menyadari semuanya . Dan tiba-tiba saja mataku terasa perih . Kelenjar air mataku telah penuh dan siap tertumpah .
Aku meraih tubuh Rio kembali untuk mencurahkan air mataku .
Entah apa yang akan terjadi andai Rio tak datang tepat waktu . Aku berhutang nyawa padanya untuk kedua kali . Dan aku akan menyerahkan sisa hidupku padanya . Karena dia aku hidup , dan untuknya aku hidup .......

Rabu, 20 Februari 2013

UNSAID SORRY

Andai boleh memilih , aku tidak mau dilahirkan sebagai anak kembar..........


Aku menemukan sebuah boneka kelinci berbulu putih diatas meja belajar sepulang dari tempat les sore ini. Pasti Keisha , tebakku seraya meraih boneka itu lantas melemparnya dengan keras ke dinding. Kemarin ia menaruh sebatang cokelat di atas meja belajarku, hari ini boneka , lalu besok apa lagi?

Apa karena aku tidak punya kekasih lantas ia memberi benda-benda seperti itu padaku ? Karena ia ingin pamer kalau Angga memberinya banyak hadiah. Konyol sekali, batinku kesal. Aku bisa membeli barang-barang seperti itu, gumamku geram.

"Kak Kayla....." mendadak Keisha muncul dari balik pintu. Saudara kembarku itu terkejut begitu melihat boneka kelinci itu dalam posisi terbalik diatas lantai. Ia segera meraihnya dan menaruhnya diatas tempat tidurku. "Bonekanya jatuh Kak..."

"Aku yang membuangnya." ucapku datar. Dingin dan tanpa perasaan. Sengaja melukai hati Keisha.

"Kenapa ? Apa Kakak tidak suka ? Kalau begitu Kakak bisa menukarnya dengan punyaku." tawar Keisha dengan polos. Namun dimataku tampak seperti orang bodoh.

"Tidak perlu."timpalku cepat. Aku segera membalikkan tubuh dan melepaskan jaket yang melekat ditubuhku. Berusaha menghindari percakapan dengannya.

Aku membenci Keisha . Bahkan sejak dulu. Karena ia lebih ketimbang diriku. Wajah kami mirip , tapi ada begitu banyak hal yang membuat kami berbeda. Keisha yang pandai dalam semua mata pelajaran , dan disukai banyak orang karena sifatnya yang hangat dan terbuka. Sementara aku tak begitu pandai , dan juga tak sehangat Keisha. Dan saat Keisha berpacaran dengan Angga aku semakin membencinya. Karena aku yang terlebih dulu mengenal Angga , tapi justru Keisha yang dipilih oleh Angga. Buatku ini benar-benar tidak adil!

Mama dan papa pun bersikap pilih kasih. Terlebih beberapa minggu terakhir ini. Mereka begitu memanjakan Keisha . Ah.... aku begitu mencemburui saudaraku sendiri....

"Kak....."panggil Keisha . Gadis itu tampak merebahkan tubuhnya diatas tempat tidurku. Aku hanya menggumam sembari sibuk mengganti pakaianku.

" Malam ini apa boleh aku tidur disini?" tanya Keisha membuatku terkejut. Sudah bertahun-tahun lamanya kami tidur terpisah , tapi kali ini Keisha mengajukan permintaan itu. Buatku ini terdengar aneh . Karena terus terang aku tidak suka tidur bersama "rival" ku.

"Tumben..."sahutku. "Ada apa nih?" aku duduk di sisi tempat tidur seraya mengamati gerak gerik Keisha.

"Nggak pa pa." balas Keisha seraya tersenyum. " Sudah lama kita nggak tidur bersama kan? Aku kangen Kak Kayla....."

Kangen ? batinku tergelak. Setiap hari kami bertemu dan dia mengatakan kangen padaku . Apa karena aku yang selalu sibuk dengan berbagai macam les yang menyebalkan itu sehingga kami jarang berkomunikasi.

"Kamu aneh Kei...." olokku seraya menertawakannya. "Kita bukan anak kecil lagi."

"Ayolah Kak..... Please."rayu Keisha memelas. Ia tampak sangat serius dengan ucapannya. Menggelikan , batinku. Mau tak mau aku meluluskan permintaannya malam ini . Meski aku tak menyukai hal ini..........

~~~~~~~~`

Uh..... sebentar lagi hujan, keluhku saat malihat ke arah langit yang tampak tertutup kabut hitam pekat . Beberapa menit lagi dipastikan hujan akan segera mengguyur seisi kota.

Aku baru saja keluar dari tempat les dan hanya bisa menatap teman-temanku yang bersiap akan pulang. Mereka tak perlu berpayah-payah berdiri di halte bus sepertiku , karena sudah ada jemputan yang menunggu . Tak seperti diriku yang harus sendirian jika ingin pergi kemana-mana. Menyebalkan.......

Aku merasa diriku orang yang paling malang di dunia ini......

Tetes-tetes air hujan mulai jatuh tertumpah dari langit tatkala mataku mulai berkabut. Air mata nampaknya mulai membendung di dalam kelenjar mataku. Hampir saja tertumpah jika saja seseorang tidak berteriak memanggil namaku.

"Kayla!"

Aku tercekat menatap kedatangan Angga yang tergopoh-gopoh berlari menuju ke tempatku berdiri. Aku hampir tak mempercayai keberadaannya di tempat ini. Kebetulankah ini?

"Yuk kuantar pulang..."tawarnya ketika sampai di hadapanku.

"Apa?" tanyaku spontan . Kaget. Benarkah ia sedang menawarkan bantuannya untuk mengantarku pulang? batinku.

"Kenapa ? Nggak mau ?" ia mengernyitkan dahinya .

"Bukan begitu... Hanya saja ini terdengar aneh. Nggak biasanya kamu datang kesini."ucapku seraya tersenyum kaku.

"Keisha yang menyuruhku."tandasnya kemudian . Menyurutkan senyum di wajahku seketika itu juga.

"Ohhh..."gumamku kecewa. Jadi Keisha yang menyuruh Angga untuk menjemputku. Ada motif apa dibalik ini semua ? tanya hatiku.

"Ayo Kay......" desak Angga seraya menarik ujung tasku. Sementara hujan bertambah deras dari sebelumnya.

Namun aku menggeleng . Aku tidak mau menerima kebaikan Angga jika Keisha yang menyuruhnya. Aku tidak akan suka menerimanya .

"Kenapa ? Hujan sudah turun tuh...."tunjuknya.

Biar. Aku malah lebih suka kebasahan daripada diantar Angga. Lain ceritanya jika Angga sendiri yang berinisiatif untuk menjemputku...

"Aku pulang sendiri saja...."tolakku tegas. Membuat Angga terkejut. "Aku sudah terbiasa pulang sendiri kok......."

"Tapi Kay....."

Aku melangkahkan kakiku menembus curahan air hujan dan membiarkan teriakan Angga yang memanggil namaku. Membiarkan perasaanku terluka sendirian dibawah derasnya air hujan......

~~~~~~~~~

"Apa-apaan kamu Kei?!" teriakku sembari membentangkan pintu kamar Keisha lebar-lebar. "Ini nggak lucu sama sekali!".

Keisha bangkit dari atas tempat tidur. Ia tampak tercengang melihat seluruh tubuhku basah kuyup karena air hujan .

"Apa maksudmu menyuruh Angga untuk menjemputku ? Bukankah dia pacarmu , kenapa kamu melakukan itu padaku?" cecarku geram.

"Kak......" Keisha melangkah mendekat . " Aku hanya ingin Kak Kayla nggak kehujanan . "tandasnya pelan. "Aku minta maaf kalau Kakak nggak suka....."

Aku tersenyum sinis. Konyol sekali pikiran adikku itu....

"Lucu sekali....." sindirku penuh kebencian.

"Bukankah Kak Kayla menyukai Angga?" tanya Keisha membuatku terpojok. Keisha tahu perasaanku pada Angga ? "Jika Kakak mau , aku akan memberikannya pada Kakak."

Aku terhenyak. Gila! Apa yang sedang dipikirkan anak itu sebenarnya? Sikapnya terlalu aneh. Sebuah kebaikan yang sangat berlebihan dan tidak masuk akal.

"Oh .. jadi begitu? " aku tersenyum pahit . "Setelah kamu bosan kamu memberikan Angga padaku ? Juga hadiah-hadiah darinya yang nggak kamu suka, kamu berikan padaku. Begitukah ?"

"Bukan begitu...."

"Bukan begitu apanya ?!" teriakku lantang. Aku sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk menjelaskan maksud hatinya. " Semua sudah jelas , Kei . Kenapa mesti menyangkal ?" desakku tidak sabar.

"Apa-apaan ini ?!" sentak mama yang tiba-tiba muncul dari balik pintu." Kayla , kenapa bertengkar dengan adikmu? Bukannya cepat ganti baju , nanti kamu sakit bagaimana?"

"Mama ini....."gerutuku kesal. Aku buru-buru pergi dari kamar Keisha.

Aku sudah muak dengan sikap Keisha. Mama juga sama menyebalkan seperti Keisha. Mama lebih membela Keisha daripada menanyakan apa yang sedang kami perdebatkan. Huh.... Aku benci dengan semua orang!!!!!!

~~~~~~~~~

"Apa kamu harus pergi?" tanya mama seraya mengawasi gerak gerikku yang sedang sibuk mengemasi pakaianku ke dalam travel bag. Tampaknya mama sedikit keberatan dengan rencana liburanku akhir semester ini.

" Mam.... Aku hanya pergi ke puncak bukan keluar negeri . Lagipula cuma tiga hari kok. " sahutku masih seraya memasukkan pakaianku ke dalam travel bag.

"Kasihan Keisha , nanti dia pasti kesepian jika kamu pergi." ucap mama. Sepertinya mama sedang mencari-cari alasan agar aku tidak pergi. Aneh sekali....

"Mam..." kali ini aku menghentikan kegiatanku . Aku menatap wajah mama. Ada sesuatu yang aneh di wajah mama , namun entah apa itu. "Ada apa dengan mama ? Aku sudah delapan belas tahun , Keisha juga . Nggak selamanya kami kami harus bersama-sama." tandasku mencoba memberi pengertian pada mama. Dan ku harap ia mau mengerti.

"Tapi Kay......."

"Mam....."potongku cepat. "Bukankah selama tiga hari ke depan nggak akan ada pertengkaran diantara kami , dan itu akan lebih baik ?"

"Tetap saja mama nggak suka kamu pergi......"

Aku tersenyum pahit . Sebenarnya siapa yang mama cemaskan , Keisha atau aku ? Kenapa sikap mama sangat berlebihan seperti ini , seolah-olah aku akan pergi selamanya saja.

"Biarkan Kak Kayla pergi , Ma...."sela Keisha yang mendadak muncul dari balik pintu kamarku. Ia masih memakai piyama merah muda kesayangannya. Tampaknya ia akan menikmati liburan akhir semester ini hanya dengan bermalas-malasan di rumah. Tampangnya juga kusut karena baru saja bangun tidur.

"Jadi apa yang mama cemaskan sekarang ?" timpalku . " Keisha saja nggak keberatan kok ."ulasku enteng. Aku melanjutkan kegiatanku berkemas karena satu jam lagi aku harus berangkat.

~~~~~~~~~

Tiga hari yang menyenangkan..... Udara pegunungan yang sejuk membuatku kembali fresh sebelum menyambut semester baru. Aroma daun teh , bunga melati , dan kegembiraan yang kami bagi disana benar-benar membuatku lupa akan segalanya. Aku berharap suatu saat akan pergi ke tempat itu lagi.

Aku menyeret travel bag milikku dengan pelan. Tubuhku lelah dan mataku juga didera kantuk yang teramat sangat . Tadi malam kami mengadakan acara barbeque sampai dini hari . Aku hanya ingin segera sampai di rumah dan mandi sepuasnya sebelum merebahkan tubuh di atas tempat tidurku. Tapi aku sebelum itu aku ingin menceritakan pada Keisha betapa menyenangkannya liburanku kali ini , dan betapa bodohnya dia yang hanya menghabiskan liburan dengan bermalas-malasan dirumah.

Tapi begitu sampai dirumah , aku hanya bisa tertegun di depan pintu rumahku yang terkunci. Mobil papa juga tidak ada di dalam garasi. Kemana mereka semua ? Atau jangan-jangan mereka bertiga mengadakan acara liburan sendiri tanpaku ? Sial , gumamku kesal.

"Kayla!"

Aku membalikkan tubuh tatkala mendengar teriakan seseorang memanggil namaku. Dan aku mendapati Angga sedang terburu berlari ke arahku. Wajahnya tampak panik . Membuatku bertanya-tanya. Ada apa ?

"Kita harus pergi sekarang !" ajaknya seraya menyeret tanganku dengan paksa.

"Kemana?" tanyaku bingung.

"Nanti kamu juga akan tahu." jawabnya seraya memaksaku untuk segera masuk ke dalam mobilnya. Sementara aku yang bingung , menurut saja ajakannya. Bahkan aku juga meninggalkan travel bag ku begitu saja di depan pintu rumah. Ada apa sebenarnya ? Apa yang terjadi ? tanya hatiku bertubi-tubi. Kenapa tiba-tiba saja aku menjadi ketakutan seperti ini?

~~~~~~~~~

Tanganku gemetar . Lututku juga serasa goyah . Kedua mataku tak bisa melihat dengan jelas karena kabut yang mendadak menutupinya........

Tubuh Keisha terbujur kaku diatas tempat tidur. Sebuah jarum infus menusuk pembuluh darah di tangannya. Juga sebuah ventilator terpasang untuk membantu pernafasannya. Sebuah monitor terdapat disisi kepalanya untuk mendeteksi denyut jantungnya. Gadis itu diam tak bergerak , tapi aku tahu ia masih bernafas.

"Apa yang terjadi dengan Keisha?" tanyaku terbata seraya mengalihkan pandanganku ke arah mama dan papa. Namun keduanya hanya terdiam membisu. Membuatku jengkel. "Apa yang terjadi dengan Keisha ?!!!" teriakku geram.

"Dia koma , Kay..."jawab papa lirih. " Keisha sakit parah."

Apa?! Aku terhenyak kaget.

"Sakit apa ?"tanyaku cepat. "Sejak kapan ? Kenapa kalian merahasiakan ini dariku?"

"Keisha yang meminta kami merahasiakan penyakitnya darimu . Dia nggak ingin melihatmu bersedih ." tandas papa dengan nada pilu. "Hidupnya nggak akan lama lagi...."

Tubuhku lemas. Aku ambruk ke lantai karena tak bisa menyangga berat tubuhku lagi....

"Keisha......"isakku tak tertahan. Air mata berhamburan jatuh ke wajahku.

Jadi ini alasanmu melakukan semua untukku ? Sebatang cokelat , boneka kelinci berbulu putih , juga saat dia meminta untuk tidur bersamaku .Bahkan dia memberikan Angga padaku ... Lelucon yang tidak lucu, Kei. Kenapa kamu melakukan itu padaku ? Harusnya kamu bilang kalau kamu sakit ,agar aku mengasihanimu dan tidak memancing perdebatan denganmu . Tapi kenapa kamu malah merahasiakan penyakitmu dariku ? Ini tidak adil , Kei ! Aku yang selalu membencimu dan menganggapmu sebagai sainganku , kenapa harus kamu yang sakit ? Kenapa bukan aku saja yang berhati jahat ini? Kenapa ???!!!

Senin, 18 Februari 2013

MY BOYFRIEND IS A VAMPIRE

Aneh....
Setiap istirahat tiba aku selalu melihat cowok itu duduk disana . Di dekat tembok belakang sekolah. Dengan posisi yang sama dan sebuah buku tebal selalu ada dalam genggaman tangannya. Padahal tempat itu sangat sepi dan sedikit kumuh. Disana ada beberapa tanaman perdu  berbunga  ungu yang sedikit mempermanis tempat itu.

Aku baru melihat cowok itu  tiga hari yang lalu, persis saat aku mulai masuk di sekolah ini. Saat itu  aku  hanya bermaksud berkeliling lingkungan sekolah untuk  sedikit menyesuaikan  diri  dengan tempat ini. Tapi keberadaan cowok itu di belakang  sekolah cukup menyita perhatianku. Kupikir aneh mendapati seseorang di belakang sekolah dengan sebuah buku tebal di tangannya. Apa kebiasaan seperti itu tidak terdengar membosankan?

Entah kenapa aku ingin mendekat kesana dan sedikit berbincang dengan cowok itu....

"Hai...."sapaku pada cowok misterius itu. Mencoba bersikap hangat dan ramah.

Cowok itu menghentikan kegiatannya membaca. Lantas mendongakkan dagunya untuk menatapku. Barulah aku bisa melihat seraut wajah pucat dan sepasang mata berwarna cokelat gelap tengah menatapku dengan tatapan heran. Oh..mungkin saja sikapku lancang mengganggu kesibukan orang lain, batinku bersalah.

"Maaf..."ucapku cepat. "Mungkin aku mengganggumu....."

Namun apa yang kudapati jauh dari dugaanku. Cowok itu menggeleng perlahan. Mengisyaratkan bahwa perlakuanku tidak cukup dikatakan mengganggunya. Melegakan hatiku.

"Boleh aku duduk?" tanyaku kemudian. Langsung disambutnya dengan sebuah anggukan kecil. Aku mengambil tempat duduk tak jauh darinya.

"Sedang membaca buku apa?" tanyaku seraya melirik sampul buku didalam genggaman tangannya.

"Cuma buku sejarah."jawabnya sembari memperlihatkan sampul buku yang tengah dibacanya."Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya. Apa kamu siswa baru disini?" tanya cowok itu lebih lanjut.

Aku mengangguk.

"Aku sudah menduganya."sahutnya datar.

"Kenapa? Apa aku terlalu mencolok sebagai orang asing?"

Ia tersenyum pahit. "Karena tidak ada seorangpun siswa di sekolah ini yang mau menegurku apalagi duduk bersebelahan denganku seperti ini." tandasnya terdengar aneh. Kenapa? batinku bertanya. "Tidak ada seorangpun yang mau berteman dengan orang aneh sepertiku."

"Kurasa kamu bukan orang aneh..."ucapku.

Ia menderaikan tawanya. Membuatku menyadari bahwa ia punya senyum yang manis.

"Kamu lihat wajahku kan?"tanyanya seraya menunjuk wajah pucatnya. "Semua orang mengatakan aku monster yang kekurangan darah. Apa kamu tidak takut suatu saat aku menghisap habis darahmu?"

Aku tertawa mendengar ucapannya. Kurasa cowok itu punya selera humor yang tinggi. Ternyata ia tidak sekaku penampilannya.

"Sepertinya kamu orang yang menyenangkan. Mereka tidak mau berteman denganmu karena mereka tidak tahu itu."ucapku kemudian.

Ia hanya tersenyum tipis mendengar ucapanku . Tak berkomentar lagi.

"Aku Mica. Kamu?" tanyaku seraya mengulurkan jabat tanganku padanya.

Ia tampak ragu menerima uluran tanganku.Tapi akhirnya ia menyambutnya juga." Reo."ucapnya.

"Mulai sekarang kita berteman?"

"Apa kamu yakin?" tanya Reo. Sepasang mata cokelatnya menatapku tak percaya. Namun aku segera mengangguk yakin. Kupikir orang sepertinya butuh teman....

^^^^^^^^^^^

Aku dan Reo berteman sejak hari itu. Setiap hari kami menghabiskan jam istirahat berdua di belakang sekolah. Kami membaca buku, berdiskusi dan belajar bersama. Aku banyak bertanya padanya tentang pelajaran yang tidak ku kuasai. Dan Reo yang satu tingkat diatasku ternyata punya otak yang jenius.

Aku sering berpikir banyak hal tentangnya. Senyumnya, sorot matanya yang sayu juga sikapnya yang hangat. Tanpa sadar aku mulai mengaguminya, bahkan aku merindukannya saat jauh dari Reo. Aku rasa aku jatuh cinta pada Reo. Namun aku tidak tahu bagaimana perasaan Reo padaku. Apa dia juga mencintaiku?

"Aku tidak suka kamu terlalu dekat dengannya."

Aku menoleh mendengar suara Nick. Raut wajahnya tenang dan pandangannya masih fokus ke depan kemudi.

"Maksudmu Reo?"tanyaku memastikan. Dan Nick mengiyakan dengan sebuah anggukan saja. "Kami hanya berteman , Nick." tandasku kemudian. Mencoba untuk meyakinkannya. Namun tampaknya aku tidak pandai mengelabuinya.

"Tapi aku tidak melihatmu menganggapnya sebagai teman."sahut Nick. "Matamu tidak bisa berbohong. Kamu menyukainya kan?"desak Nick berusaha memojokkanku.

"Nick....."
,
"Kamu pindah kesini karena kita akan menikah setelah kamu lulus nanti, apa kamu lupa hal itu?"potongnya cepat. Ia menghentikan mobil dengan mendadak , membuatku kaget. Untung saja aku selalu memakai safety belt ,kalau tidak apa jadinya.....

Nick marah. Aku melihat amarah terlukis jelas di wajahnya. Tapi ia masih bersikap tenang seperti biasa.

"I love you , honey....."ucapnya kemudian. Masih seromantis biasanya. " Kita berdua memang dijodohkan , dan aku sadar tidak mudah membuatmu mencintaiku. Tapi jangan berbuat seperti ini padaku."ucapnya membuatku merasa bersalah.

Aku memang menyukai Reo dari awal bertemu dengannya. Tapi apa aku tega mencampakkan tunanganku demi seseorang yang biasa ku temui dibelakang sekolah yang selalu sibuk dengan buku tebal di tangannya. Aku tidak punya hati untuk menyakiti Nick....

"Dia tidak baik untukmu ." ucap Nick kemudian. Aku tercekat mendengarnya . Karena rasa cemburu ia bisa berkata seperti itu padaku.

"Dia baik padaku , Nick. Dia juga sering mengajariku mata pelajaran yang tidak aku kuasai...."

"Jadi sekarang kamu membelanya?! Karena kamu sudah jatuh cinta padanya?!" teriak Nick.

"Nick!!!" aku balas berteriak. Amarahnya turut memancing emosiku. Aku buru-buru keluar dari mobil Nick . Lama-lama aku muak berada disana dengannya. Aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pulang dengan berjalan kaki. Tak peduli teriakannya memanggil namaku........

^^^^^^^^^

Hembusan angin mempermainkan ujung rambutku.........

Reo sibuk mengerjakan pekerjaan rumah Fisika milikku. Dan aku hanya terdiam di sebelahnya sembari menatap wajah pucatnya dari sisi samping. Ia benar-benar membuatku kehilangan akal akhir-akhir ini. Kenapa Tuhan? batinku.

"Sudah selesai..." ucapan Reo membuatku kelabakan. Tangannya menyodorkan kembali buku fisika milikku. "Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Reo . Rupanya ia memergokiku yang sedang memperhatikannya.

"Oh.. Aku..... aku...." kenapa bibirku jadi kaku seperti ini?

"Ada apa Mica?" tanya Reo lagi.

"Tidak apa-apa..."sahutku cepat. Aku buru-buru memeriksa buku Fisika milikku untuk memeriksa hasil pekerjaannya. Apa tingkahku begitu mencurigakan?

Namun tiba-tiba Reo menarik tanganku dengan paksa. Dan kejadian itu berlangsung begitu singkat. Saat ia mendaratkan bibirnya di pipiku........

"Maaf...."ucapnya cepat. Giliran Reo yang salah tingkah sekarang. "Aku tahu kamu menyukaiku..."tandasnya membuatku tercekat. Ternyata begitu mudah membaca gerak-gerikku. Bahkan Nick pun tahu apa yang kupikirkan.

"Apa kamu juga menyukaiku?"tanyaku sedikit ragu. Aku takut ia tidak menyukaiku.

Reo menganggukkan kepalanya. Begitu melegakan hatiku. Aku senang. Ternyata perasaanku tidak bertepuk sebelah tangan. Tapi raut wajah Reo tampak tak begitu gembira.

"Tapi kita tidak boleh saling menyukai, Mica..." tandasnya lirih. Kenapa? batinku bertanya. "Karena kita berbeda....." ucapnya seolah tahu apa yang sedang kupikirkan.

"Kita berbeda? Apa maksudmu? Apa karena status sosial atau karena ....."aku menggantung kalimatku. Aku bingung harus menebak apa.

Reo menghela nafas berat.
"Aku tidak bisa menjelaskannya..."

Aku tersenyum pahit.
"Bagaimana aku bisa mengerti kalau kamu tidak mengatakannya?" desakku.

Reo terdiam. Tak menyahut ucapanku. Entah apa yang ia pikirkan sekarang.

"Baik. " ucapku seraya bangkit dari tempat dudukku. "Lebih baik kamu tidak mengatakannya. Agar aku lebih cepat membunuh perasaan ini..."

"Mica!!" ia berteriak sembari menarik lenganku dengan cepat. "Jangan berkata seperti itu padaku. Kumohon..." kini ia mendekap tubuhku dengan erat. Tapi aneh. Kenapa tubuhnya begitu dingin?

"Apa kamu sakit?" tanyaku sedikit cemas.

"Aku tidak sakit.."sahutnya. "Inilah diriku yang sebenarnya. "

"Maksudmu apa? Aku tidak mengerti..."aku melepaskan tubuh Reo perlahan lantas menatap kedua matanya yang bersinar redup. Ia masih sepucat saat pertama kali aku melihatnya. Mungkinkah ia sedang sakit parah?

"Apa kamu percaya ada vampir di dunia ini?"tanya Reo kemudian. Membuatku ingin tertawa.

"Jadi kamu ingin mengatakan kalau kamu adalah seorang vampir?"tanyaku sembari tergelak.

"Aku tidak sedang bercanda."tegasnya.

"Ini tidak lucu, Reo." aku hendak melangkah pergi namun tertahan oleh cekalan tangan Reo. Tampaknya ia benar-benar serius dengan ucapannya dan ingin aku percaya.

"Aku tidak pernah mengatakan ini pada siapapun, kecuali padamu." tandasnya seraya menatapku lekat-lekat. "Karena kamu adalah satu-satunya orang yang tidak menganggapku aneh. Karena kamu adalah cinta pertamaku......"

Aku terhenyak dan hampir tidak bisa menahan berat tubuhku lagi. Sorot mata Reo sangat jujur dan tidak tersirat kebohongan sama sekali. Jadi.... mau tidak mau aku harus mempercayainya. Begitukah?

"Tidak , Reo."sangkalku. "Ini tidak masuk akal sama sekali. Ini konyol..."

"Tapi ini adalah kenyataan. Kamu harus percaya padaku......"

"Tapi aku mencintaimu Reo..."

"Aku juga."sahutnya. "Tapi ada sebuah dinding tebal diantara kita, dan kita tidak akan pernah bisa menghancurkan dinding itu. "

"Apa tidak ada cara lain?" pertanyaanku langsung disambut gelengan kepala oleh Reo.

"Kodrat kami adalah berburu manusia. Karena kami bisa melangsungkan hidup dengan minum darah. " tandas Reo. Ia terdiam beberapa waktu lamanya. " Sebaiknya mulai sekarang kamu menjauhiku ...."

"Tidak Reo. Aku tidak bisa...."

^^^^^^^^^

Ada sebuah dinding tebal yang berdiri kokoh diantara aku dan Reo.....

Reo tidak masuk hari ini. Ada apa dengannya? Apa ia mulai membentangkan jarak diantara kami berdua ? Tapi kenapa secepat ini ?

"Mica...."

Aku ternganga takjub. Baru saja aku berpikir tentang Reo , tiba-tiba saja ia muncul didepan jendela kamarku dari balik semak-semak.

"Aku tahu kamu merindukanku..."ucapnya sembari tersenyum. "Karena itu aku datang."

"Benarkah?" sambutku gembira. "Kamu bisa mendengar pikiranku?"

"Itu kelebihan kami."tandasnya. "Aku benar-benar merindukanmu........" Reo meraih tubuhku dan mendekapnya erat. Membuatku nyaris tak bisa bernafas.

"Aku tidak bisa bernafas, Reo....."keluhku mencoba melepaskan diri dari dekapan Reo. Tapi Reo malah mempererat pelukannya dan apa yang ia lakukan padaku? Oh Tuhan....! Reo menggigit leherku !

Aku berusaha memberontak sekuat tenaga agar lepas darinya.Tapi tubuhku kian melemah. Tenagaku berangsur habis. Disaat itulah Reo baru melepaskanku.

Aku mundur beberapa langkah ke belakang. Aku melihat darah segar menghiasi ujung bibir Reo.Ia menyeringai saat melihatku jatuh tersungkur ke tanah. Sementara dari leherku masih mengucurkan sisa-sisa darah yang masih tersimpan dalam tubuhku. Perlahan-lahan pandangan mataku mulai kabur. Dan aku juga mulai kehabisan tenaga.

"Reo........"hanya sebaris nama itu yang terucap dari bibirku sebelum aku benar-benar tak bisa membuka mataku lagi..............

Kamis, 14 Februari 2013

SANDS OF TIME


"Adik loe kenapa Ga?"tanya Dion seraya menunjuk ke arah Anne yang tertegun sendirian diatas pasir. Matanya menatap kosong ke arah pantai. Seperti sedang berpikir. Mungkin sedang melamun...

Ega menoleh ke arah adiknya. Ia dapat melihat keanehan pada gadis itu. Tidak biasanya Anne sependiam sekarang. Biasanya ia girang jika diajak berlibur. Ada apa dengannya?

" Gue suka adik loe..."tandas Dion kemudian. Mengejutkan Ega. Ia sama sekali tidak menduga jagoan taekwondo itu ternyata menyimpan perasaan untuk adiknya.

"Gue pergi dulu. Kasihan Anne, dia pasti kesepian sendirian......"pamit Ega sesaat kemudian. Mengundurkan diri dari gerombolan teman-temannya dan bergegas ke tempat Anne .

"Ne....... Kok nggak gabung sama kita-kita? Malah bengong sendirian. Ntar kesambet jin laut gimana?' tegur Ega bercanda. Tapi sayangnya candaannya tak membuat Anne tertawa. Gadis itu menatap sekilas ke arah kakaknya lantas beralih menatap ke laut lagi. Membuat Ega heran bercampur cemas.

"Sorry.. kalau liburan kali ini nggak menyenangkan. Biasanya kita kan pergi berdua....."tandas Ega menunjukkan penyesalannya. Mungkin karena itulah Anne merasa bosan.

"Bukan..."tukas Anne cepat." Entah kenapa saat melihat laut hatiku merasa aneh. Aku merasa sedih tanpa sebab." ucap gadis itu pelan. Tatapannya masih lurus ke arah laut.

"Makanya jangan bengong sendirian. Udah yuk, kita gabung sama temen-temen..."ajak Ega sembari menarik tangan adiknya. Dan Anne hanya bisa menurut saja.......

~~~~~~

Resort di tepi pantai itu tampak terang benderang. Ramai oleh obrolan yang sesekali diselingi canda dan gelak tawa.....

"Perut gue kenyang nih.' ucap Shandy seraya memegang perutnya. Tampaknya perutnya telah penuh oleh ikan dan udang bakar yang baru saja ia makan. Begitu juga dengan Leo dan Chikko, juga mengeluhkan hal yang sama.

"Makanya jangan makan banyak-banyak, tahu sendirikan akibatnya." tukas Dion setengah mengolok.

"Yeah.... Mumpung liburan , kapan lagi bisa makan besar plus gratis kayak gini..."timpal Shandy enteng. "Untung kita punya temen tajir kayak Ega, betul nggak?"

"Betul banget..."sahut Leo dan Chikko serempak. Mereka bertiga sepakat dengan ucapan Shandy.

Sementara Dion hanya bisa nyengir melihat kekompakan ketiga sahabatnya. Tapi bicara soal Ega, dimana anak itu?

"Ega mana?"tanya Dion seraya meneliti ke sekeliling.

"Duh..... Dion ini, nggak ngeliat kakak iparnya sebentar aja udah bingung. Tuh, dia lagi nemenin adiknya di kamar. Kasihan, kayaknya dia bosen tuh...."timpal Chikko.

Dion mati kutu. Semua teman dekatnya sudah tahu kalau ia menyukai Anne, tapi upayanya mendekati adik Ega itu malah belum menunjukkan perkembangan sama sekali. Bagaimana tidak, sejak tiba di resort gadis itu lebih banyak diam dan lebih sering berada di samping Ega. Bagaimana ia bisa mendekati gadis itu?

~~~~~~~

Sementara itu didalam kamar Anne......

"Aku lihat semenjak kita tiba disini kamu diam terus. Ada apa sebenarnya Ne? Kamu sakit?"tegur Ega seraya menyentuh bahu adiknya pelan.

Anne menghela nafas. Selama ini ia selalu berterus terang pada kakaknya apapun yang sedang ia rasakan. Karena ia dan kakaknya begitu dekat,dan hubungan keduanya sangat akur hampir tak pernah ada pertengkaran berarti.

"Entah kenapa setiap melihat laut aku merasa ada sesuatu yang aneh. Seperti ada sesuatu yang mengikatku dengan laut, tapi setiap aku mencoba untuk berpikir atau mengingatnya kepalaku selalu merasa sakit. Aku seperti kehilangan memori masa kecilku. Apa kakak tahu sesuatu?"

Ega terdiam mendengar penuturan adiknya. Lantas cowok itu mengembangkan senyum beberapa detik kemudian.

"Tahu apa maksudmu?"tanya Ega seraya tersenyum. "Sudahlah....... sebaiknya kamu istirahat. Besok pagi kita harus pulang."suruh Ega seraya mengusap rambut panjang milik Anne yang tergerai. Setengah acak-acakan....

Anne mendengus kesal. Percuma bicara jika Ega tak menanggapi serius ucapannya....batin Anne seraya menatap punggung kakaknya sampai menghilang dibalik pintu.

~~~~~~~~~

"Kalian lihat Anne? Dia nggak ada dikamarnya...." seru Ega pagi ini. Wajahnya tampak pucat karena dihantui rasa cemas. Ia celingak celinguk mencari keberadaan adik satu-satunya. Sementara kawan-kawannya yang baru saja keluar dari kamar masing-masing merasa kaget.

Namun disaat mereka tengah berpikir, tiba-tiba saja seorang petugas resort datang tergopoh-gopoh ke tempat itu. Ia membawa kabar kalau ada seorang pengunjung yang tenggelam di laut, dan dikhawatirkan jika orang itu adalah salah satu dari rombongan Ega.

Ega dan teman-temannya segera bergegas menuju pantai. Dan kecemasan Ega benar-benar terbukti. Anne telah terbujur kaku dengan tubuh basah kuyup. Pakaiannya masih sama dengan semalam. Tubuhnya tampak pucat. Gadis itu tak bergerak sama sekali. Apa ia sudah meninggal....?

Anne dibawa ke rumah sakit terdekat saat itu juga. Tak terbayangkan betapa cemas hati Ega saat ini. Bagaimana jika terjadi sesuatu dengan Anne? Padahal orang tuanya sudah berkali-kali mengingatkan Ega untuk selalu menjaga Anne dimanapun ia berada. Gadis itu terlalu lemah fisiknya. Ia mudah sekali jatuh sakit dan tak boleh terlalu lelah. Lantas apa yang Ega perbuat dalam situasi seperti sekarang, bukankah Anne adalah tanggung jawabnya?

~~~~~~~

Ega hanya termangu di depan tubuh Anne yang terbaring lemah. Gadis itu tidak sadarkan diri dan belum siuman sampai detik ini. Detak nafasnya sangat lemah. Itupun harus dibantu dengan ventilator.

Kecemasan Ega pecah manakala orang tuanya datang...

"Bagaimana ini bisa terjadi? Bukankah ayah sudah berkali-kali memperingatkan kamu untuk selalu menjaga adikmu. Bagaimana jika terjadi sesuatu dengannya?!" seru ayah Ega marah. Ia dan istrinya tampak cemas melihat keadaan Anne. Sementara Ega hanya bisa tertunduk menyesali semua yang menimpa Anne.

"Kejadian itu terulang lagi....."gumam ayah Ega beberapa saat kemudian. Ia menghela nafas berat. Pikirannya terseret ke masa beberapa tahun silam.....

"Dia sudah melewati masa krisis......"ucap seorang dokter yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar itu." Mungkin sebentar lagi dia sadar. Bapak dan ibu tidak perlu cemas."tandas dokter itu mencoba menenangkan mereka.
Penjelasan dokter itu cukup melegakan hati mereka, meski masih ada sedikit kekhawatiran yang menyelubungi hati ayah dan ibu Ega.....

~~~~~~~~~~

Semenjak peristiwa itu kelakuan Anne berubah total. Tak ada keceriaan yang biasa menghiasi wajah manisnya. Ia lebih pendiam dan sering mengurung diri di dalam kamar. Juga tampak sering melamun seraya menatap kosong keluar jendela.

Kedua orang tua Anne sangat cemas melihat keadaan putrinya. Mereka mencoba menghibur hati gadis itu, namun hasilnya nol. Ia tetap tak berubah kembali seperti semula. Ega pun sama cemasnya dengan mereka. Ia juga kerap merayu Anne, tapi gadis itu tetap tak berubah.

"Kita harus bagaimana Yah? Ibu cemas melihat keadaannya."tandas ibu Anne. Sementara suaminya tampak berpikir.

"Apa kita harus ke psikiater?" tanya istrinya kembali, karena suaminya masih belum menjawab.

"Untuk apa ke psikiater segala? Memangnya anak kita tidak waras?!"bentak suaminya. Kesal. "Dia hanya mengalami trauma Bu."

"Peristiwa itu pasti sangat berat untuknya" gumam ibu Anne kemudian. "Saat berumur sepuluh tahun dia harus kehilangan orang tua karena kecelakaan kapal. Ibu tidak bisa membayangkan peristiwa itu, bagaimana tubuh kecilnya harus berjuang melawan arus air......"ucap ibu Ega mengenang peristiwa sepuluh tahun yang lalu, dimana terjadi sebuah kecelakaan kapal yang menewaskan orang tua Anne.Sementara itu Anne selamat dan diadopsi oleh kedua orang tua Ega yang kebetulan adalah sahabat ayahnya. Pasca kecelakaan itu Anne mengalami trauma yang menyebabkan ia kehilangan sebagian memori masa kecilnya. Itulah sebabnya tiap kali ia menatap ke arah laut dan mencoba mengingat masa kecilnya, ia seperti masuk kedalam lubang hitam yang menyebabkan kepalanya sakit.

Anne terhenyak dibalik pintu. Gadis itu mendengar percakapan kedua orang tuanya tanpa sengaja. Jadi itu jawabannya? batinnya gusar. Air mata mulai menitik perlahan ke atas permukaan pipinya.

"Anne...."tegur Ega tiba-tiba. Memergoki keberadaan gadis itu. "Apa yang sedang kamu lakukan disini?"

"Kakak sudah tahu semuanya kan? Kenapa selama ini kakak nggak pernah berterus terang padaku?" tanya Anne seraya memandang mata Ega lekat-lekat. Biasanya tidak pernah ada rahasia diantara mereka berdua, tapi kenapa untuk masalah sebesar ini Ega justru menyimpannya rapat-rapat. "Aku kecewa Kak....."

"Anne..... Dengarkan aku," teriak Ega. Namun Anne terlanjur berlari meninggalkan tempatnya berdiri.....

~~~~~~~~

"Ne......."

Gadis itu masih belum menoleh ke arah kakaknya.Ia baru saja menyadari sesuatu yang selama ini ia rasakan. Kebaikan dan perhatian Ega padanya memang berlebihan dan membuatnya terlalu nyaman bersama kakaknya. Ia selalu bergantung padanya dan tak pernah berada jauh dari Ega. Perasaan itu bukan antara kakak dan adik, namun lebih dari itu. Harusnya perbedaan antara dirinya dan Ega ia sadari semenjak dahulu. Meski ia merasa lega memiliki perasaan itu pada orang yang ternyata bukan kakak kandungnya. Tapi pantaskah ia mencintai kakak angkatnya?
"Apa kamu kecewa karena kami bukan keluarga kandungmu?" tanya Ega pelan. Cowok itu duduk persis didepan Anne meski gadis itu tak sedang menatapnya kini."Karena aku bukan kakak kandungmu?"


Anne menggeleng pelan sekali. Selama ini ia merasa bahagia bersama mereka, dan tidak ada penyesalan sama sekali untuk itu. Tapi kenapa ia justru merasakan sakit didadanya manakala menatap wajah Ega usai mengetahui segalanya?

"Jangan bersikap seperti ini lagi, Ne.Kamu tahu, ayah dan ibu sangat mencemaskan keadaanmu."tutur Ega lagi.

"Apa kakak juga mencemaskanku?"tanya Anne lirih.

"Tentu saja."sahut Ega cepat."Karena kami semua menyayangimu....."

Tapi aku mulai mencintaimu , Kak....batin Anne.

~~~~~~~~~

"Kakak menyukainya?" tanya Anne. Tangannya menunjuk ke arah dinding kamar Ega yang terpasang sebuah poster besar bergambar penyanyi country berparas cantik, Taylor Swift.

Ega menatap ke arah yang ditunjuk Anne. Lantas mengiyakan tanpa kata. Hanya sebuah anggukan kecil. Lantas ia sibuk kembali dengan laptopnya.

"Kakak mencintainya?"tanya Anne lagi.

Ega tersenyum tipis. Pertanyaan Anne terdengar aneh di telinganya. Tidak biasanya ia menanyakan hal seperti itu. Namun dijawabnya juga pertanyaan Anne.
"Mengagumi dan mencintai adalah dua hal yang berbeda, Ne." tandasnya. "Tapi kenapa kamu bertanya seperti itu?"

"Nggak pa pa ."sahut Anne cepat."Hmmm.... Apa kakak punya pacar?"tanya Anne kembali. Kali ini Ega menderaikan tawanya. Anne benar-benar tak biasa.Apa anak itu salah makan? batinnya konyol.

"Nggak."sahut Ega. "Tapi ada seseorang yang aku suka sejak dulu."ucapnya kemudian. Membuat hati Anne langsung menciut.

"Siapa? Apa aku kenal dengannya?" cecar Anne penasaran. Meski sisi hatinya merasakan sakit karena cemburu.

Ega tertawa ngakak. Sementara Anne malah memasang tampang cemberut.

"Kamu aneh hari ini, Ne."ucap Ega masih sembari tergelak."Kenapa kamu tiba-tiba ingin tahu siapa pacarku? Nggak biasanya kamu seperti ini."tandasnya seraya mengusap rambut panjang milik Anne yang tergerai setengah acak-acakan.

Anne tak menyahut. Masih dengan muka ditekuk, gadis itu menepis tangan Ega lantas keluar dari kamar kakaknya.

Ega selalu memperlakukannya seperti itu, seolah ia adalah adik kecilnya yang manja. Anne merasa sakit hati kali ini...

~~~~~~~

Badan Anne panas. Sejak kemarin ia terserang demam. Padahal tidak ada angin atau hujan, tapi mendadak ia sakit. Dulu ia juga sering mengalaminya. Dan saat Ega memberinya sebatang cokelat pasti panasnya akan turun. Tapi umur Anne sekarang sudah dua puluh tahun. Apa hanya dengan sebatang cokelat lantas demamnya akan segera turun?

Semua orang cemas. Lebih-lebih Ega. Malam itu ia berbincang dengan Anne, dan gadis itu tampak aneh. Dan paginya Anne jatuh sakit. Apa ada hubungannya dengan sikap-sikap Anne yang dirasanya sangat aneh malam itu?

"Kamu kenapa Ne? Kamu ingin apa, biar kakak belikan. Atau kamu ingin cokelat seperti biasa?" bujuk Ega seraya mengusap tangan Anne yang dingin. Gadis itu memejamkan matanya. Namun bibirnya tampak bergerak-gerak seperti menggumam. Mengigau nama Ega terus menerus. Membuat Ega semakin bertambah cemas. Namun ia tak tahu apa yang mesti ia lakukan agar Anne sembuh.

Namun gadis itu tak jua membuka kedua matanya, hanya igauannya yang terdengar lemah.

"Kita bawa Anne ke rumah sakit saja Yah.."usul ibu Ega kemudian pada suaminya. Dan tampaknya ayah Ega menyetujui usul istrnya.

Ega turut menyetujui usul ibunya. Karena panas tubuh Anne tak kunjung berangsur turun meski sudah dikompres dan diberi obat. Padahal Anne sangat takut dengan jarum suntik, namun apa boleh buat. Semua demi kesembuhan Anne....

~~~~~~~~

"Ada apa Ne? Semenjak pulang dari rumah sakit aku lihat kamu selalu murung dan nggak mau bicara padaku. Apa kamu marah padaku?" teguran Ega menyentak lamunan Anne. Gadis itu diam sembari menatap keluar jendela.

Anne hanya menggeleng pelan. Tanpa menoleh.Membuat Ega merasa diacuhkan olehnya.

"Lantas kenapa kamu memperlakukanku seperti ini? Apa aku berbuat salah padamu?" desak Ega mulai geram. Ia mulai naik darah melihat sikap Anne yang demikian acuh tak acuh padanya. Padahal Anne selalu bersikap manja padanya, tapi sekarang.....

Anne menoleh. Ia bisa melihat kemarahan yang tersirat di wajah kakaknya. Ia memang sedikit merasa kecewa pada Ega, tapi tanpa diduga Ega akan semarah ini padanya.

"Apa kamu mulai membenciku sekarang?!"seru Ega lantang.

"Kak!!"teriak Anne kaget.

"Aku bukan kakakmu!" balas Ega seraya menepis tangan Anne yang hendak menyentuh lengannya. Anne hanya terperangah melihat sikap Ega yang benar-benar diluar kebiasaanya. Selama ini mereka tidak pernah bertengkar sama sekali, tapi sekarang justru Ega yang seolah-olah menyulut api pertengkaran.

"Ne... kamu nggak tahu betapa sedihnya aku saat kamu mengacuhkanku seperti ini...."tandas Ega lirih beberapa waktu kemudian. "Aku takut kamu membenciku karena aku bukan kakak kandungmu."

Anne terdiam. Ega masih mencemaskan hal itu dan mengabaikan perasaannya. Ia juga masih menganggapnya sebagai adik.....

"Aku sayang kamu, Ne.... Apa kamu nggak mengerti perasaanku juga?" tanya Ega lagi. Masih mendominasi percakapan.

Anne tahu. Kalau Ega menyayangi dirinya. Tapi bukankah ada perbedaan antara kata sayang dan cinta? Rasa sayang Ega padanya hanya sebatas antara hubungan adik kakak belaka , bukan yang lain.

"Kamu masih ingat percakapan kita malam itu?"tanya Ega. Dan Anne mengernyitkan keningnya sembari mengingat sesuatu. "Aku bilang dari dulu aku menyukai seseorang. Kamu ingin tahu siapa dia kan?" Ega menarik nafasnya dalam-dalam sebelum mengungkap rahasianya. "Dia punya wajah yang manis, tapi dia bandel dan manja. Setiap hari aku selalu menghabiskan waktu bersamanya. Bahkan saat malam haripun dia selalu mendatangi kamarku dan mengeluh nggak bisa tidur. Lalu aku akan meminjamkan bantalku padanya. Barulah dia bisa tidur. Dialah satu-satunya gadis yang membuatku jatuh cinta. Dialah cinta pertamaku...." tutur Ega panjang.

Anne terperangah tak percaya. Aku? batin gadis itu tak percaya. Jadi selama ini..............

Rabu, 06 Februari 2013

BEAUTIFUL LIAR

Tiba-tiba saja gadis yang bernama Winda  itu hadir dalam hidup Fabian saat hatinya merasa kosong. Perceraian kedua orang tuanya membuatnya benar-benar mengerti arti kata broken home. Harta benda yang melimpah, fasilitas lengkap dan kesempurnaan fisik  memang sempat membuat Fabian angkuh. Namanya juga menduduki tangga kopopuleran teratas di sekolah.

Ia mengenal Winda tanpa sengaja. Gadis itu datang kerumah Fabian untuk mengembalikan dompet cowok itu. Fabian mengira gadis itu hanya mengharap imbalan darinya, namun dugaan Fabian salah. Gadis itu menolak dengan tegas saat ia hendak memberinya uang. Barulah ia tahu ada sesuatu yang tidak bisa dinilai dengan uang, yakni ketulusan.

Kesederhanaan dan keramahan Winda diam-diam telah memikat hatinya. Padahal, menurut kabar yang ia dengar dari teman-teman Winda,gadis itu adalah anak dari seorang konglomerat. Tapi Winda tidak pernah memakai fasilitas-fasilitas mewah milik orang tuanya.Ia tampil sebagai siswi sederhana meski ia bersekolah di sekolah elite. Hal inilah yang membuat Fabian semakin mengagumi kepribadian gadis itu.....

######

"Kamu mau boneka apa Win?"tanya Fabian seraya menyeret tangan Winda kesebuah toko boneka.Mereka baru saja pulang dari sekolah, bahkan seragam abu-abu putih masih melekat di tubuh keduanya.

"Bonekaku udah banyak dikamar, nggak perlulah beli lagi....."tolak Winda halus. Tapi tampaknya Fabian tidak menerima alasan apapun dari gadis itu.

"Tapi ini kan lain Win...."tandas Fabian seraya melihat-lihat boneka beruang yang berjajar rapi didalam etalase kaca. Ia tampak sibuk memilih boneka mana yang cocok untuk Winda.

"Tapi....."

"Win.... Aku ingin memberimu hadiah. Karena aku sayang kamu........"tegas Fabian meyakinkan kekasihnya.. Sedang Winda hanya bisa menurut saja manakala Fabian menyodorkan sebuah boneka beruang kedalam genggamannya.

Usai membeli boneka, mereka makan disebuah restoran cepat saji. Namun saat Fabian hendak mengantar gadis itu pulang, Winda menolak. Seperti biasa, setiap kali cowok itu menawarkan diri untuk mengantar Winda pulang , ia selalu menolak. Ada-ada saja alasan yang dibuatnya. Fabian juga bingung akan sikap gadisnya yang sedikit tak wajar. Tapi tak apalah, batinnya. Yang penting Winda juga menyayanginya....


#######

Tak terasa tiga bulan telah terlewat bersama dengan Winda. Fabian merasa sangat bahagia. Ia yang semula merasa terpuruk dan sendirian kini tampak lebih bersemangat dan ceria. Ia menganggap gadis itu adalah penyelamat jiwanya. Karena itulah ia sangat mencintai Winda.......

Winda tampak melangkah gontai menyusuri koridor. Langkahnya berat dan tak bersemangat. Gadis itu tampak baru saja keluar dari ruang BP. Entah ada urusan apa...

"Win.... Yuk pulang" ajak Fabian tiba-tiba. Suaranya terdengar pelan namun Winda sangat terkejut. Gadis itu tak selincah biasanya. Ada apa dengannya?

"Fabian......"

"Ya sayang.... Ada apa?"tanya Fabian seraya menjajari langkah Winda.

Winda menghentikan langkahnya.

"Aku ingin putus..."tandas Winda pelan. Namun cukup membuat Fabian kaget. Selama ini mereka tak punya masalah apapun, tapi mendadak Winda minta putus. Apa sebenarnya yang terjadi?

"Kenapa...?

Winda menghela nafas. Wajahnya sudah kusut sejak tadi. Ia terdiam, belum memberi penjelasan apa-apa pada Fabian.

"Ada apa Win? Apa yang terjadi?"cecar Fabian bertubi-tubi. Cowok itu mengguncang bahu Winda pelan. Memaksa gadis itu agar bicara.

"Karena aku nggak pantas buat kamu..."

Fabian tersenyum pahit. Apa yang baru saja Winda ucapkan adalah sebuah alasan klise. Sangat tidak masuk akal.....

" Apa-apaan ini?"ujar Fabian bingung. Sikap Winda sangat aneh. "Kalau kamu sudah nggak mencintaiku lagi, bilang saja......"tandas Fabian geram.

Winda terdiam. Bisu. Sampai akhirnya Fabian berteriak lagi. Dan gadis itu mulai angkat bicara...

"Apa kamu mau dengar apa sebenarnya yang terjadi ?"tanya Winda lirih. Sementara Fabian yang sudah terlalu antusias langsung menganggukkan kepalanya.

Dan Winda-pun mulai bercerita....

"Sebenarnya aku bukan anak orang kaya, Fabian...."tutur Winda membuat Fabian terhenyak. Namun ia tak ingin menyela ucapan Winda. " Ibuku hanyalah seorang buruh cuci, sedang ayahku bekerja sebagai supir taksi. Aku memaksakan diri sekolah disini karena ingin dianggap sebagai orang kaya.Karena aku malu menjadi orang miskin...... Itulah kenapa aku melakukannya."ujar Winda terbata.

"Aku selalu bilang pada teman-teman kalau ayahku adalah seorang konglomerat."lanjut Winda sembari tertunduk. "Aku minta maaf Fabian.... Saat itu memang sengaja mencuri dompetmu. Aku sudah merencanakan semua dari awal. Perkenalan kita, sampai kita pacaran hanyalah akal busukku untuk mendapatkan pacar orang kaya. "tetes air mata Winda telah beruraian dari kedua matanya. Beribu penyesalan tampak terlukis di wajah cantiknya.

Fabian lemas. Ia tampak sangat terpukul dengan uraian yang baru saja dilontarkan Winda. Ia tak pernah menduga semua ini...

"Aku telah dikeluarkan dari sekolah karena sudah tiga bulan ini telat membayar uang sekolah."lanjut Winda lagi."Maafkan aku Fabian......."gadis itu hendak melangkah pergi.

"Apa cintamu juga palsu?'seru Fabian mencegat langkah Winda.

Tidak, ucap Winda dalam hatinya. Namun bibirnya terkunci rapat. Gadis itu tetap melanjutkan langkahnya tanpa menoleh lagi. Sudah terlalu banyak dusta yang ia beri pada cowok itu. Dan ia tidak ingin menyakiti orang yang sangat ia cintai itu....

#######

Fabian hanya terdiam seraya melihat dari kejauhan....

Baju seragam Winda penuh dengan berbagai kotoran. Tepung, telur dan tanah telah bercampur di atas tubuh gadis itu. Semua teman-teman sedang menghakiminya sekarang di tengah lapangan. Mereka melemparinya tanpa ampun seraya melontarkan kata-kata kotor padanya. Itulah hukuman yang pantas diterima penipu seperti Winda.

Winda hanya bisa pasrah. Meski tubuhnya hancur sekalipun, gadis itu tetap bergeming ditempatnya berdiri menerima hukuman. Penyesalan dan dosa berputar di benaknya. Ia tak akan mengharapkan belas kasihan dari siapapun kali ini, termasuk Fabian sekalipun.

Ibu... Ayah.... Maafkan anakmu. Sesaat kemudian gadis itu ambruk karena tak tahan lagi menerima siksaan dari teman-temannya.......

Selasa, 05 Februari 2013

THE EYES

Kecelakaan itu telah merenggut sepasang  penglihatan Giska....

Semua orang turut  bersedih. Orang tua, kakek dan nenek, juga kerabat  Giska sangat prihatin atas  perihal yang menimpa gadis enam belas tahun itu. Padahal gadis itu sangat  manis  dan lincah. Dimana ia berada  pasti ada keceriaan yang  ia tularkan.

Tapi seminggu  kemudian, kabar  mengejutkan datang. Seorang dokter spesialis mata mengatakan ada  seseorang yang bersedia mendonorkan kedua kornea matanya untuk Giska. Kabar ini sangat  menggembirakan   Giska dan keluarganya.Namun sayangnya si pendonor tidak ingin diketahui identitasnya.

Operasi berjalan tanpa kendala. Akhirnya penglihatan   Giska kembali seperti semula. Keceriaan itu juga telah kembali pada dirinya. Harapan dan semangat  semakin terpancar dari sorot mata barunya.

"Jaga mata itu baik-baik, Gis... "ucap  dokter  menyampaikan  pesan dari sang  pendonor  misterius itu.

Giska berjanji akan menjaga mata itu baik-baik dan tak lupa ia mengucapkan banyak terima kasih kepada  pemilik mata itu.

Semenjak  memiliki mata baru, ada yang berubah pada diri Giska. Gadis itu mulai menyukai kegiatan membaca. Ia mulai mengumpulkan buku-buku, terutama novel   bertema cinta. Disamping itu ia juga rajin membaca buku pelajaran.Meski hal  ini tampak aneh, tapi kedua orang tua Giska merasa bersyukur karena sebelum ini Giska  tergolong anak yang sedikit malas belajar. Mungkin si pemilik mata sebelumnya adalah  seorang kutu buku. Tapi bukankah itu bagus untuk Giska?


#######

Sepulang dari sekolah , Giska kerap mampir di toko buku atau perpustakaan. Kadang bersama teman-temannya, tapi siang ini Giska sendirian. Gadis itu memasuki toko buku seperti biasa. Mencari novel terbaru untuk dibaca akhir pekan nanti...


Sedang sibuk-sibuknya mencari novel, tanpa sengaja Giska menubruk punggung seseorang. Dan seperti sepenggal kisah dalam novel, ia dan cowok itupun berkenalan. Mula-mula bertanya nama, lantas saling bertukar nomor telepon.Tampaknya sebuah hubungan selalu menarik jika diawali dengan tanpa kesengajaan seperti itu.


Nama cowok itu Didan. Seorang mahasiswa jurusan ilmu hukum Trisakti semester lima. Berpostur tinggi dan berkulit sawo matang. Penampilannya rapi dan sederhana. Tampaknya hatinya baik , menilik sikapnya yang ramah dan sopan.


Giska langsung terpukau pada sosok dihadapannya. Ia merasakan ada getaran aneh yang menjalari tubuhnya manakala melihat cowok itu. Seolah-olah ada sesuatu yang menusuk jantungnya saat menatap kedalam mata bening Didan.


Sejak itulah mereka mulai dekat. Makan, nonton, pergi menjelajah isi toko buku sampai diskusi musik sering mereka lakukan berdua.Menambah keakraban keduanya. Membuat Giska semakin menyukai sosok kedewasaan pada diri Didan. Dan ia semakin meyakini bahwa apa yang selama ini ia rasakan untuk Didan adalah cinta.


"Mata kamu bagus Gis..."puji Didan pada suatu siang. Mereka berdua tengah melepas penat usai mengunjungi perpustakaan kota.


Giska yang semula hendak menuang es cendol ke dalam mulutnya urung melakukan keinginannya semula. Gadis itu malah diam tertegun seraya menatap ke jalan. Entah kenapa tiba-tiba saja ia merasa aneh dengan sanjungan Didan. Bukan ia tidak suka pada pujian itu, tapi jika cowok itu tahu kalau mata itu bukan miliknya, apa Didan masih akan memujinya? batin Giska gundah.


"Sorot mata kamu mengingatkan aku pada seseorang..."ucap Didan kemudian. Dan tiba-tiba saja dinding hati Giska retak. Didan hendak menceritakan tentang kekasihnyakah? tanya Giska cemas.


"Siapa? Kekasih Kak Didan?"tanya Giska kaku. Namun ia masih mencoba tersenyum untuk menutupi rasa cemburu yang mulai menyeruak dalam hatinya. Mungkin saja selama ini Didan hanya menganggapnya sebagai adik, apalagi sampai saat ini cowok itu belum pernah menyatakan cintanya, batin Giska pedih.Gadis itu mulai menyadari kemungkinan-kemungkinan yang selama ini tidak pernah terpikirkan olehnya.


Didan tersenyum pahit sebelum menuturkan kisahnya pada Giska.


"Namanya Kayla..."tutur Didan memulai kisahnya." Dia gadis yang cantik dan lembut. Dia sangat suka membaca novel. Sama sepertimu. Kami sempat berpacaran selama dua tahun.Tapi....." Didan tak melanjutkan kalimatnya. Sepertinya cowok itu menyimpan kenangan yang buruk tentang gadis bernama Kayla itu.


"Tapi apa Kak?"sela Giska. Penasaran.


"Tepatnya enam bulan yang lalu tiba-tiba saja Kayla memutuskanku tanpa alasan yang pasti. Dan setelah itu dia menghilang begitu saja. Tanpa pesan dan tanpa jejak. Dia seperti hilang ditelan bumi. Teman-temannya juga tidak ada yang tahu kemana dia pergi." Didan menghela nafas panjang. Tampaknya cowok itu masih sangat terpukul dengan kepergian Kayla yang begitu mendadak. Pasti sulit baginya menerima kehilangan orang yang dicintainya.


Giska hanya terpekur mendengar pengakuan Didan. Ternyata kebersamaan mereka selama ini hanyalah obat kesepian Didan belaka. Saat bersama Giska hanya bayangan Kayla yang ada di pelupuk mata Didan. Didan mau berteman dengan Giska hanya karena sorot mata gadis itu mirip sorot mata Kayla. Karena mereka sama-sama suka novel. Bukan karena diri pribadi Giska, tapi karena ada sebagian dari diri Kayla yang ia temukan dalam Giska. Padahal Giska terlanjur menjatuhkan hati pada Didan.....


########

Giska melangkah gontai sepulang sekolah. Padahal matahari bersinar terik siang ini, tapi ia tidak peduli. Ia terus menjejakkan kakinya kejalanan yang berdebu. Pikirannya sedang kacau...


Sebenarnya ia sangat merindukan cowok itu.Tapi penuturan Didan tentang gadis bernama Kayla itu telah meruntuhkan segala kepercayaan diri yang ada padanya. Apalah arti dirinya bila dibandingkan dengan gadis itu. Melihat cara Didan saat menyebut nama gadis itupun Giska sudah bisa menebak berapa dalam cintanya untuk Kayla. Lantas untuk apa Giska berharap pada cowok yang masih terobsesi pada mantan kekasihnya.Sementara ia juga tidak mau dimiripkan dengan gadis itu.


Semenjak seminggu yang lalu Giska mulai menjauh dari Didan. Perlahan namun pasti. Sms, telepon atau ajakan-ajakan Didan untuk pergi berburu novel mulai ia abaikan dengan dalih yang dibuat-buat. Sibuk mengerjakan tugas sekolah atau menemani mami pergi ke salon atau apalah. Yang penting ia bisa menghindar dari Didan. Toh Giska juga bukan pacar Didan.


Langkah Giska terhenti tepat didepan sebuah gedung megah. Ditempat itulah ia pernah mendapat perawatan pasca kecelakaan beberapa bulan yang lalu. Entah mengapa mendadak ia ingin pergi menemui dokter yang telah mengoperasi matanya. Giska ingin bertanya tentang identitas pendonor misterius itu.Mungkin ia akan menemukan jawaban atas misteri sorot mata yang Didan bilang mirip dengan Kayla. Atau ia malah akan sia-sia saja pergi kesana...


######

Giska hanya bisa mendengus kesal saat keluar dari ruangan dokter spesialis mata. Percuma saja memaksa dokter itu agar mengungkap identitas si pendonor. Melanggar kode etik sebagai dokter,begitu ucapnya.


Giska masih berdiri tak jauh dari ruang praktek dokter itu. Matanya berkeliling menatap sekitar. Ia baru menyadari perutnya terasa melilit pedih. Lapar. Apa ia harus makan di kantin rumah sakit? batinnya. Yang benar saja!


"Kayla..."


Giska tercekat saat mendengar seseorang meneriakkan sebaris nama gadis yang mirip dengan mantan kekasih Didan. Gadis itu membalikkan tubuhnya. Dan tampaklah dokter mata itu keluar dari ruang prakteknya untuk menyambut seorang gadis tuna netra. Gadis itu cantik dan bertubuh langsing. Hanya satu saja kekurangannya.....


Giska terkesima. Serentetan kisah tentang mantan kekasih Didan tiba-tiba saja melintas dalam benaknya. Ia mulai menebak-nebak . Giska mendekat sekedar untuk mencuri dengar.....


"Bagaimana kabarmu? Apa matamu baik-baik saja?"tanya dokter itu pada gadis yang ia panggil Kayla itu.

"Aku baik-baik saja dok" sahut Kayla sembari tersenyum."Oh ya, bagaimana kabar anak itu? Apa dia baik-baik saja?"

"Dia baik.Malah dia baru saja dari sini. Dia bertanya tentang kamu."jelas dokter itu.


"Benarkah?'tanya Kayla antusias."Apa dokter mengatakan sesuatu padanya?"

"Tidak."jawab dokter itu pendek."Sebagai dokter kami dilarang melanggar kode etik, kau tahu itu kan. Jadi kau tidak usah khawatir identitasmu terbongkar."

"Syukurlah......"ucap Kayla tampak bernafas lega."Untung saja anak itu baik-baik saja dan mendapatkan penglihatannya kembali. Aku tidak dapat membayangkan jika terjadi sesuatu dengan anak itu."

"Tapi kau telah mengorbankan segalanya demi anak itu, Kay..."

"Karena aku yang telah menabraknya Dok..... Lebih baik aku yang menanggung semua karena aku yang bersalah."tandas Kayla setengah ngotot.

"Tapi apa kau harus melepas Didan juga?"

Tubuh Giska luruh jatuh ke atas lantai dibalik tembok. Air mata gadis itu sudah berderai bak hujan. Apa yang ia dengar tadi adalah jawaban yang selama ini ia cari. Ternyata Kayla-lah yang telah menabraknya sehingga ia kehilangan penglihatannya. Dan ia juga yang telah mendonorkan matanya untuk menebus rasa bersalahnya pada Giska. Sementara tangan-tangan ajaib takdir telah mempertemukannya dengan Didan, kekasih Kayla yang sengaja ia campakkan karena gadis itu akan kehilangan penglihatannya. Oh Tuhan....... tangis Giska tak terbendung.

Minggu, 03 Februari 2013

BEAUTIFUL TOMORROW

Apartemen senyap. Bahkan suara jam dinding pun terdengar resah. Kamar ku tampak remang-remang. Sementara novel misteri di dalam genggamanku sudah beberapa menit ini terabaikan. Malas untuk ku baca. Meski mataku masih cukup segar untuk menelusuri lembar demi lembarnya.
Malam merayap lambat mendekati dini. Aku kembali memantau jam dinding. Aku hanya bisa mendesah gelisah tatkala tahu jarumnya menunjuk angka dua belas. Sudah terlalu larut untuk berangkat menjemput mimpi. Tapi laki-laki itu belum juga muncul. Radit belum pulang.
Memang bukan untuk pertama kalinya ia pulang terlambat. Mungkin dua atau tiga kali dalam seminggu. Dan selalu tanpa pemberitahuan seperti sekarang. Aku sudah terlalu terbiasa dengan keadaan ini. Tapi aku tidak akan pernah menyatakan protes ataupun keluhan padanya. Bahkan aku tidak pernah menanyakan alasannya. Kemana ia pergi, bersama siapa, apa saja yang ia lakukan diluar sana.
Aku sudah bisa membaca jawaban atas semua pertanyaanku di dalam mata Radit. Bukankah sorot mata lebih jujur daripada perkataan apapun?
Aku tahu semua tentang Radit. Bahkan tentang perasaannya sekalipun. Laki-laki itu tidak pernah mencintaiku. Kami menikah persis seminggu usai berkenalan. Tapi jauh sebelum itu aku telah mengenalnya. Aku kerap melihatnya di perpustakaan. Dan di tempat itu pula kami berkenalan sampai akhirnya menikah.
Aku tidak tahu apa yang kupikirkan saat mengatakan "ya" pada penawarannya untuk menikah dengannya. Jawaban itu terlontar begitu saja seolah permainan kata yang mesti kujawab. Aku seperti menjatuhkan diri kedalam jurang. Aku akan mati atau sekarat. Itulah resikonya....
Aku terjebak pada pernikahan ini. Tapi bodohnya diriku yang tidak pernah berusaha untuk melepaskan belenggu ini dari tubuhku. Aku membiarkan diriku terkurung dalam apartemen dingin ini lengkap dengan segala rutinitas ibu rumah tangga yang mesti ku jalani setiap hari. Padahal sebelum ini aku adalah pribadi yang sangat aktif. Aku bekerja di sebuah perpustakaan umum dan sesekali mengadakan kegiatan sosial bersama teman-teman lama.
Radit datang tepat saat aku hendak merebahkan tubuhku. Aku menawarinya makan malam meski aku tahu ia pasti sudah makan diluar. Aku melayaninya menyiapkan pakaian ganti dan turut membantunya melepaskan kemeja putihnya. Aku rutin melakukan hal ini nyaris setahun . Tanpa keluhan dan tanpa komplain.
Memang ini tampak membosankan. Tapi aku masih menjalaninya sampai detik ini. Meski Radit menganggapku seolah tidak pernah ada. Aku sendiri merasa aneh.Kenapa aku bisa bertahan selama ini ? Juga demi alasan apa , aku sendiri tidak yakin. Aku hanya merasa senang jika bisa melihat sosok Radit setiap hari.
Terkadang aku mengartikan perasaan ini sebagai cinta menurut versiku sendiri. Tapi sesederhana inikah sesuatu yang disebut cinta?
Radit sudah memejamkan matanya. Ia terbaring di sebelahku. Tapi aku bisa merasakan jika hatinya berada jauh entah dimana....
######
Radit pulang. Kali ini jauh lebih awal dari malam sebelumnya. Namun ada sesuatu yang tampak tidak beres di wajahnya.
"Apa kau sakit?"tegurku.
Laki-laki itu mengangguk pelan.
Aku menyentuh dahinya dan benar saja dugaanku.Ia demam. Saat-saat pergantian musim seperti ini banyak penyakit menyerang.Terlebih pada orang-orang yang kurang menjaga kekebalan tubuhnya.Dan Radit salah satunya.Laki-laki itu terlalu banyak menghabiskan waktunya diluar.
Aku menyuruhnya untuk segera berbaring sementara aku pergi mengambil handuk kecil dan air hangat.
"Sebaiknya kau istirahat..."suruhku sembari mengompres keningnya. Namun saat aku hendak pergi mk kotak obat ,ia mencegahku.
"Aku tidak suka minum obat." tandasnya.
"Oh..."Aku tidak tahu kalau Radit termasuk tipe orang yang tidak suka mengkonsumsi obat-obatan. Namun ia kembali mencegah langkahku saat aku hendak pergi ke dapur untuk membuatkannya sup panas.
Ada apa? Mataku yang mengajukan pertanyaan itu. Aku kembali duduk di tepi ranjang. Menunggunya bicara sesuatu.
"Kenapa kau masih bertahan sampai sekarang?"tanya Radit.
Aku langsung tahu maksud pertanyaan Radit usai ia bertanya. Namun tak lantas membuatku bergegas menjawabnya.
"Aku tidak pernah mencintaimu." tandasnya datar. "Pernikahan ini hanya pelampiasanku belaka. Dari rasa sakit hati dicampakkan....." keluhnya terdengar pedih. Seolah ia sedang meminta belas kasihan.
"Aku tahu..."sahutku pada akhirnya. Tanpa emosi dan kecewa.
Radit menatapku gamang. Tak mempercayai apa yang baru saja meluncur dari bibirku. Bibirnya bergerak hendak bicara sesuatu namun dengan sigap ku dahului.
"Mungkin inilah caraku mencintai seseorang"tandasku kemudian. Tanpa bermaksud ingin mencuri perhatiannya. Memang ini terdengar aneh dan polos.Mungkin juga terdengar bodoh baginya.
"Kau mencintaiku?"cecarnya memaksa. Dan aku hanya bisa mengangguk sebagai tanda persetujuanku. Lantas ia tersenyum pahit. "Kenapa? Kenapa mencintaiku? Padahal kau tahu aku tidak pernah mencintaimu. Apa kau terlalu bodoh?!" teriaknya kesal. Membuatku tersentak.
"Aku memang bodoh....."aku tertunduk."Mungkin karena itulah aku masih bertahan sampai sekarang."aku bangkit dari tempat dudukku dan melangkah ke dapur. Air mataku meleleh ketika sampai disana......
######
Mendung kembali menutupi sebagian langit diatas apartemen kami. Muram seperti wajahku kini. Novel di atas pangkuanku masih menyisakan beberapa lembar halaman yang belum ku baca. Tak ada semangat untuk membaca....
Tubuhku penat dan hanya bersandar pada sebuah sofa tunggal. Seraya menatap keluar jendela pikiranku hanya bisa menerawang. Cucianku telah kering. Namun belum sempat ku seterika. Makan malam juga telah siap. Begitulah pekerjaanku setiap hari. Rutinitas yang monoton dan membosankan. Tapi aku tidak pernah menganggapnya sebagai beban manakala melihat sosok Radit berdiri di depan pintu. Aku yang semula seperti mati menjadi hidup kembali. Mungkin begitulah aku memaknai cinta.....
Aku hampir saja tertidur saat merasa ada sesuatu yang keluar dari pangkal hidungku. Darah! pekikku. Cairan kental berwarna merah itu mengalir leluasa dan menetes ke atas novel di pangkuan.ku.
Aku meraih beberapa lembar tissue dari atas meja untuk mengusap hidungku. Keterlaluan, makiku dalam hati. Ini pasti salah satu bentuk protes dari tubuhku. Aku pasti terlalu memforsir tenaga sehingga menderita kelelahan luar biasa seperti ini. Aku harus lebih menjaga diri dan mengurangi aktifitasku setelah ini.
Darah masih juga mengalir hingga beberapa lama. Sepertinya enggan untuk berhenti. Tapi untung saja hidungku berangsur mampat dengan sendirinya. Ah... kondisi tubuh seseorang memang tidak bisa di prediksi, batinku seraya beranjak dari atas sofa. Radit pulang. Dan untung saja aku sudah merasa baik-baik saja sekarang.....
######
Aku berdiri di tepi jalan seraya menatap langit yang telah menghitam pekat.Tanda hujan di pastikan akan segera turun dalam hitungan beberapa menit saja. Namun aku tak terlalu risau akan hujan.
Gedung megah yang berdiri di belakangku adalah sebuah rumah sakit. Beberapa hari terakhir ini aku kerap mengalami mimisan. Tampaknya ada sesuatu yang tidak beres terjadi pada tubuhku, dan kedatanganku ke gedung megah itu semata ingin memeriksakan kondisiku.
Dokter baru saja memeriksaku, dan telah mendiagnosa penyakit apa yang ku idap sekarang. Dokter itu bilang aku terkena leukimia bahkan ia telah memvonis umurku tinggal enam bulan lagi. Sudah terlambat untuk mengobati penyakitku......
Aku tahu tidak mungkin dokter itu bercanda padaku. Apa yang ia katakan adalah berdasar pemeriksaan semata. Tapi apa ia boleh memberiku vonis sisa umurku seperti itu? Bahkan Tuhan saja tidak akan mengizinkannya.
Air hujan turun satu persatu dari langit . Begitupun air mataku juga mulai menetes ke pipiku. Tapi air hujan menyamarkannya sehingga tidak ada seorangpun yang tahu aku sedang menangis sekarang. Tubuhku juga mulai basah tersiram air hujan. Namun tak kuhiraukan. Bukankah akan lebih mudah menyembunyikan tangis di bawah air hujan?
Aku tidak menyesal dengan semua ini. Apapun yang di gariskan Tuhan untukku pastilah yang terbaik. Aku hanya menyesal tak bisa mencintai Radit lebih lama lagi.......
######
"Darimana saja Rin? Aku tidak menemukanmu saat pulang. Kau tahu, aku sangat mencemaskanmu...."cecar Radit saat membuka pintu. "Kau kehujanan Rin..."
Aku terpaku menatap laki-laki itu takjub. Ada apa dengannya?batinku gamang. Ia sedang mencemaskanku? Apa aku tidak salah dengar? Namun tiba-tiba saja ia menarik tubuh basah kuyupku kedalam pelukannya. Ia mendekapku erat !
"Ada apa denganmu?" tanyaku bingung. Aku berusaha melepaskan tubuhku dari pelukannya. Ini terasa begitu aneh bagiku. Aku sudah terbiasa dengan sikap pasifnya, dan tiba-tiba saja ia bersikap hangat seperti ini. Aku malah takut ia sedang mabuk...
"Kumohon jangan bergerak.."ucapnya. "Kau tidak tahu betapa takutnya aku saat tidak menemukanmu tadi. Ponselmu juga tidak aktif. Aku takut kau pergi diam-diam Rin..."
Aku terhenyak mendapati pengakuannya. Jujurkah laki-laki itu? Tapi kenapa ia mengucapkan kalimat itu di saat yang tidak tepat seperti sekarang ini, disaat aku telah divonis oleh dokter.....
Aku melepaskan pelukan Radit lantas menatap sepasang mata laki-laki itu.Aku tidak tahu persis apa yang tengah ia pikirkan tentang diriku. Tapi aku bisa melihat sesuatu yang berbeda manakala ia menatapku.Sesuatu yang ganjil namun polos. Sorot matanya juga terlihat lebih teduh dari biasanya. Mirip sorot mata anak kecil.....
"Aku akan ganti baju..."pamitku tidak langsung. Semacam penghindaran kecil. Dan Radit membiarkan aku pergi tanpa bertanya....
######
"Aku sudah memutuskan akan berpisah denganmu....." tandasku lirih. Aku berbaring membelakangi tubuh Radit. Aku takut tak akan bisa mengucapkan kalimat itu jika melihat sorot mata kanak-kanaknya. Aku sudah berpikir seharian ini dan inilah keputusan yang kupikir terbaik untuk kami.
"Airin......"aku mendengar suaranya tercekat kaget. "Ada apa?"cecarnya cepat."Kau bilang kau mencintaiku, tapi kenapa kau ingin berpisah? Atau kau sudah berubah pikiran?"
Tidak, jawabku dalam hati. Perasaanku tidak berubah sama sekali. Hanya saja keadaan yang akan berubah.
"Airin....." Radit memaksaku untuk bangkit dan bergegas menghadap ke arahnya." Aku minta maaf atas semuanya..... Tapi aku benar-benar tidak mau kau pergi. Aku tidak bisa kehilanganmu, Rin. Aku mencintaimu........"tandas Radit mengungkapkan perasaannya.
Aku terperangah tak percaya. Apa yang ku takutkan semenjak kemarin terjadi sudah. Meski aku sangat bahagia mendengar kalimatnya, tapi rasa khawatirku ternyata lebih besar dari itu. Ini tidak boleh terjadi, batinku......
Aku akan mati, Dit... batinku pedih. Enam bulan dari sekarang. Tapi aku sama sekali tidak punya kekuatan untuk mengatakannya padamu. Aku takut!
"Kau menangis Rin?"tegurnya mengagetkan. Lamunanku langsung buyar saat ia menyentuh pipiku yang basah.
"Mungkin aku terlalu bahagia..."tandasku lirih.
######
Radit telah pergi satu jam lalu....
Aku sibuk. Mengemasi pakaian beserta semua benda-benda milikku. Aku tidak ingin meninggalkan jejak. Seolah-olah aku tidak pernah tinggal di tempat ini. Dan supaya Radit lebih cepat melupakanku...
Semua barang telah masuk koper, apa lagi yang belum? batinku. Aku meneliti seluruh kamar barangkali ada sesuatu yang tertinggal. Tidak ada. Aku bergegas menyeret koperku keluar apartemen.
"Airin!"aku terhenyak mendengar teriakan itu. Tiba-tiba saja Radit ada di hadapanku. Padahal ia sudah berangkat ke kantor semenjak tadi pagi. Kenapa Tuhan mempertemukan kami seperti ini?
"Kau ingin pergi?"desaknya cepat.
Aku menunduk.Aku tak bisa menyangkal dalam keadaan terpojok seperti ini.
"Rin....Kenapa kau melakukan ini padaku? Apa kau tidak ingin memberi kesempatan padaku?" tangan Radit mencengkeram kedua bahuku kuat-kuat.
Bukan, sangkal hatiku. Tapi bibirku hanya terkatup rapat. Membisu. Aku tidak sanggup untuk mengungkapkan isi hatiku meski hanya satu kalimatpun.Meski ia terus memaksa.....
"Pergilah jika kau ingin pergi!!" teriak Radit memecah kebisuanku. Melampiaskan kemarahan yang tiba-tiba saja meledak karena kediamanku. Tapi mungkin ini lebih baik buatnya.Jika ia membenciku akan lebih mudah untuk melupakanku.
Aku menatapnya terakhir kali sebelum melangkah pergi. Mungkin aku tidak akan melihatnya lagi setelah ini.Namun tiba-tiba awan gelap menutupi pandanganku. Kepalaku serasa berputar. Dan kakiku kehilangan kekuatan untuk menyangga tubuhku...
######
Radit telah ada di samping tempat tidurku.Wajahnya tampak letih. Dan ada segumpal mendung hitam bergelayut di dalam matanya. Apa ia sudah tahu semuanya?
"Kau sudah bangun?" tegurnya sembari tersenyum.
Aku mengangguk pelan. "Kenapa merahasiakan ini dariku? Malah sengaja ingin pergi begitu saja.Kau tahu, kau orang yang paling jahat Rin... Tidak seharusnya kau melakukan ini padaku." protes Radit.
Aku hanya menatap Radit yang tengah dilanda kegelisahan.Rasanya hatiku sakit melihatnya seperti ini. Aku hanya tidak ingin membebani hati orang yang kucintai. Karena ia tidak akan punya masa depan dengan orang sepertiku...
"Aku masih punya waktu beberapa lama lagi untuk menemanimu. Jika kau mau........." ucapku.