Kamis, 09 Oktober 2014

PERJODOHAN ROMANTIS


Maura masih tak bergerak. Gadis berseragam putih abu-abu itu bahkan tidak ingin menyentuh benda-benda dihadapannya. Koleksi novel terbaru yang terpajang rapi didalam rak toko buku. Padahal dirinyalah yang mengusulkan pada Radit untuk mampir di toko buku sepulang sekolah. Tapi entah kenapa tiba-tiba saja gadis itu malah tidak bersemangat untuk mencari novel kesukaannya.
Maura menatap ke seberang. Pada cowok yang tengah sibuk melihat-lihat majalah otomotif. Seperti ada sesuatu yang ia lamunkan tentangnya. Cowok berkulit putih dan berpostur tinggi. Wajahnya lumayan tampan. Nyaris sempurna. Dialah Radit. Kekasih Maura.
Sebenarnya bukan keinginan Radit atau Maura sendiri mereka berpacaran seperti sekarang. Tapi karena mereka telah dijodohkan. Tepatnya semenjak tiga bulan yang lalu.
Kakek Radit dan Maura adalah sahabat baik sejak kecil. Saking baiknya hubungan mereka berdua, sampai-sampai suatu hari mereka sepakat untuk menjodohkan putra putri mereka kelak. Tapi sayangnya anak-anak mereka berjenis kelamin sama.Mereka terlahir sebagai laki-laki. Maka perjodohan itu batal terlaksana. Tapi rupanya mereka telah menyiapkan rencana cadangan. Yakni mereka sepakat untuk menjodohkan cucu-cucu mereka.
Hasilnya Maura dan Radit-lah korban dari kesepakatan yang sempat gagal itu. Tapi bukannya menentang, Maura malah menerima kesepakatan itu begitu saja. Tanpa syarat.
Alasannya?
Sejak pertama melihat Radit, Maura merasa langsung jatuh hati pada cowok itu. Selain penampilannya yang kalem dan tampak baik itu, ternyata Radit bersekolah di sekolah yang sama dengan Maura. Reputasi Radit di sekolah juga baik. Meski tak begitu populer dan prestasinya juga tidak menonjol, Radit termasuk siswa yang bersih. Tidak terlibat dengan kasus-kasus yang sering dialami siswa lain. Semisal bolos atau tawuran. Itulah kenapa Maura merasa Radit adalah cowok yang sesuai dengan tipenya.
Raditpun tampaknya menerima perjodohan itu tanpa pertentangan. Tapi Maura tidak tahu alasannya sama sekali tentang itu.

Kembali ke toko buku....
Maura masih menatap ke arah Radit. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan cowok itu. Ia baik. Dan ia juga melakukan perannya sebagai pacar Maura. Mengantar jemput gadis itu ke sekolah atau kemana Maura ingin. Saat akhir pekan Radit juga kerap mengajak Maura jalan-jalan atau nonton bioskop. Tapi permasalahannya Radit melakukan semua itu seolah seperti sebuah kewajiban terhadap Maura. Tanpa ada perasaan gembira atau menikmati semua yang mereka lak
ukan berdua. Saat Radit mengajak Maura makan, bahkan nyaris tak ada obrolan sama sekali diantara keduanya. Radit hanya akan bicara jika Maura yang bertanya atau jika ia ingin mengajak Maura pulang.
Dan saat usai menonton film, tak ada pembahasan sama sekali tentang film yang baru saja mereka tonton. Dan yang lebih parah lagi, saat menonton film komedi sekalipun, Radit bahkan tidak tersenyum apalagi tertawa.
Cowok itu begitu dingin dan datar. Seolah tak punya ekspresi untuk menunjukkan suasana hatinya. Ia pendiam dan cenderung misterius. Maura tidak tahu apa yang cowok itu pikirkan saat mereka menghabiskan waktu bersama-sama.
Namun Maura pernah melihat Radit berkumpul bersama teman-temannya di sekolah. Maura melihat perbedaan yang mencolok dalam diri cowok itu. Radit yang selalu dingin berubah menjadi pribadi yang hangat dan menyenangkan. Bahkan ia sanggup tertawa lepas dan bercanda seperti manusia biasa lainnya.
Maura hampir-hampir tak mengenali Radit saat itu. Radit yang berada di ujung matanya dan Radit yang setiap hari menjemputnya kesekolah seperti dua pribadi yang berbeda jauh. Apa Radit bersikap sedingin itu hanya saat bersama Maura saja? Karena ia tak menyukai Maura?
Sebenarnya seperti apa pribadi Radit yang sebenarnya? Kenapa ia menjadi pribadi yang lain saat bersama Maura?
"Udah ketemu bukunya?"
Maura tergagap saat dipergoki oleh teguran Radit. Ia tidak menyangka jika Radit akan mengoyak lamunannya dengan cara seperti itu.
"Udah,"sahut Maura cepat. Gadis itu buru-buru menyambar sebuah novel persis dihadapannya dengan kecepatan super.
"Yuk pulang,"ajak Radit kemudian. Cowok itu bergegas melangkah menuju ke meja kasir.
Sementara Maura masih tegak di tempatnya berdiri. Ia baru menyadari kelakuan bodoh yang baru saja ia lakukan. Mengambil novel secara acak karena gugup adalah sebuah kesalahan terbodoh yang pernah ia lakukan.
Bagaimana tidak, Maura mengambil novel yang salah. Tidak seharusnya ia mengambil novel detective dihadapannya, tapi harusnya ia mengambil novel disebelahnya. Novel remaja bertema cinta.
Hufft.
Gadis itu buru-buru mengejar langkah Radit ke kasir.....

Mata pelajaran terakhir dibatalkan karena gurunya sedang sakit. Bagi para siswa ini adalah sebuah anugerah terindah karena mereka bisa bolos sekolah. Tapi ini sebuah dilema bagi Maura. Gadis itu bingung. Apa ia harus pulang kerumah sekarang ataukah ia akan rela menunggu selama dua jam sampai kelas Radit usai. Tapi jika ia harus menunggu Radit selama itu, apa ia tidak akan tampak seperti orang tolol?
"Nggak pulang Ra?"tegur Poppy, sahabat Maura yang kebetulan sebangku dan satu geng dengannya. Tampaknya Poppy melihat kebimbangan itu karena Maura masih belum beranjak dari bangkunya.
"Ya, aku juga mau pulang nih,"sahut Maura. Ia pura-pura sibuk mengemasi buku-bukunya.
"Tapi kok kayaknya males gitu,"celutuk Poppy."Jalan-jalan yuk,"ajak Poppy kemudian.
"Kemana?"tanya Maura ogah-ogahan.
"Ke mal. Aku dengar Afgan mau tampil di acara musik live. Bukannya kamu suka banget sama dia?""rayu Poppy semanis mungkin.
"Yang bener?"tanya Maura tampak antusias.Binar matanya mulai cerah bercahaya."Tapi gimana kalau Radit nyariin?"Tanya Maura ragu.
"Emang kamu mau nungguin dia selama dua jam? Udah, sms aja dia. Bilang kalau kamu pulang duluan. Beres kan?"timpal Poppy memberi solusi.
Poppy benar, batin Maura. Gadis itu buru-buru mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Tapi sebelum ia sempat mengirim sms untuk Radit, Poppy telah menyeret tangannya keluar dari kelas.
Mungkin tak apa tak memberi tahu Radit, ia pasti tahu jika kelas Maura telah usai tanpa mata pelajaran terakhir, batin Maura.
Gadis itu baru menyadari, tiga bulan bersama Radit tidak cukup menyenangkan buatnya. Bahkan gara-gara perjodohan itu, Maura nyaris kehilangan kebersamaannya bersama Poppy. Persahabatan yang telah mereka jalin selama dua tahun ini sedikit merenggang karenanya. Dan pergi bersama Poppy seperti ini telah mengembalikan diri Maura kembali seperti tiga bulan lalu. Bebas lepas dan gembira. Itulah yang Maura rasakan. Berbeda sekali saat ia bersama Radit.
Maura dan Poppy menonton acara musik di mal sepulang sekolah hingga sore. Baru mereka pulang kerumah setelah berburu kuliner siomay Bandung dan spagheti favorit Maura.

Maura menggigit ujung pensilnya. Seperti biasa saat ia melamun atau bingung memikirkan sesuatu. Padahal soal nomor satu belum ia selesaikan tapi pikirannya sudah pergi mengembara entah ke dimensi dunia mana.
Maura mengira Radit akan menginterogasinya pagi ini atas peristiwa kemarin. Bahwa Maura pulang duluan tanpa mengirim sms atau meneleponnya. Bahkan Radit sama sekali tidak bertanya apapun pada Maura . Cowok itu menjemput Maura seperti biasa.Tanpa percakapan sama sekali.
Apa mungkin Radit sudah tahu jika Maura pulang duluan karena mata pelajaran terakhir kosong? Tapi kenapa ia tidak bertanya apapun? Paling tidak ia harus bertanya pada Maura, kenapa tidak memberi kabar jika pulang duluan. Atau jika perlu, Radit sedikit memarahi Maura atas masalah kecil itu. Nyatanya tidak.Radit sama sekali bereaksi apapun.
Yang Maura inginkan hanyalah perhatian dari Radit, meski itu hanya sedikit. Atau paling tidak, ia harus tahu kabar Maura sekarang, sedang apa dan dimana. Tapi hal sekecil itupun tidak pernah ia lakukan. Pacar macam apa itu?
Oh, Maura lupa. Status mereka kan hanya sebatas formalitas saja. Tanpa arti sama sekali bagi Radit. Pasti seperti itu. Karena Radit sama sekali tidak menyukai Maura. Maka dari itu ia bersikap pasif dan dingin seperti itu.
Baiklah jika seperti itu, batin Maura. Maura pun akan bersikap sama.Toh untuk apa berpura-pura menjalin hubungan jika sama sekali tak ada cinta untuk Maura. Kelak Maura sendiri yang akan terluka.Lagipula pernikahan yang dimulai dengan cara seperti itu tidak akan membuahkan rasa bahagia.
"Pop, ntar ke mal lagi yuk,"ucap Maura sesaat kemudian. Usai lamunannya berhenti.
Poppy yang sedang sibuk mengerjakan soal, menoleh ke arah sebelahnya dengan dahi berkerut.
"Mau ngapain? Kemarin kan udah,"sambung Poppy.
"Aku pingin shopping nih,"ucap Maura beralasan.
"Kan ada Radit? Kenapa nggak minta diantar dia?"
"Nggak enak belanja bareng cowok. Lagian kita kan udah lama nggak shopping bareng,"sahut Maura.
"Boleh juga. Tapi gimana dengan Radit? Emang dia nggak marah?"
Maura menggeleng.
"Oke deh, tapi kamu harus nraktir aku di Hokben. Setuju?"
Hufft....gerutu Maura. Belum-belum sudah ditodong traktiran, batinnya.
"Ya deh,"sahut Maura pasrah.
"Asyik,"seru Poppy kegirangan.

Lagi-lagi Radit bersikap sama. Pasif.
Cowok itu seperti sengaja membiarkan Maura pulang sekolah duluan tanpa memberi kabar pada Radit. Ia tidak marah,bahkan bertanyapun tidak ia lakukan.
Maura jenuh atas sikap acuh Radit. Gadis itu merasa kecewa berat pada cowok itu. Radit benar-benar tidak peduli padanya. Ia baru berpikir jika perjodohan mereka adalah sebuah kesalahan fatal.
Maura ingin berhenti. Ia ingin mengakhiiri semua sebelum terluka lebih dalam lagi. Tak ada gunanya mempertahankan hubungan yang tidak dilandasi rasa cinta sama sekali.
Maura mulai menjaga jarak dengan Radit mulai saat itu. Bahkan ia selalu kabur setiap pulang sekolah, meski setiap pagi Radit masih rutin menjemputnya. Maura sering pergi jalan-jalan bersama teman-temannya, entah itu ke mal, berburu makanan enak , kebioskop atau nonton konser musik.
Maura lebih menikmati hidupnya sekarang. Ketimbang bersama Radit. Ia bisa bergembira, tertawa sepuasnya tanpa perlu merasa terbebani oleh keberadaan Radit. Namun kegembiraan itu akhirnya terkoyak juga.
Saat itu hari telah menggelap. Maura baru saja tiba dirumah. Dan ia langsung disambut kemarahan ayahnya.
"Darimana?"hardik ayahnya.Tampaknya ia siap melancarkan kemarahannya pada Maura.
"Dari jalan-jalan bareng teman,"sahut Maura sedikit takut.
"Jalan-jalan?"ulang ayahnya sambil mengerutkan kening. "Kamu tahu, Radit nungguin kamu seharian ini. Tapi kamu malah nggak pulang-pulang. Mau kamu apa sebenarnya?"bentaknya kemudian.
"Radit kesini?" tanya Maura tak percaya.
"Iya, dia nungguin kamu,"tiba-tiba ibu Maura muncul dan menyela pembicaraan itu."Harusnya kamu nggak berbuat seperti itu. Apa kalian sedang bertengkar?"
Maura menggeleng pelan. Ia menjadi seperti orang linglung mendengar penuturan orang tuanya.
Radit datang kesini dan menungguku? batin Maura heran. Tidak biasanya ia berbuat seperti itu....

Pagi ini Radit juga mendiamkan kejadian kemarin. Maura dan Radit pergi kesekolah tanpa pembahasan sama sekali. Seperti biasa. Inilah yang membuat Maura semakin lama semakin muak pada cowok itu. Ia tak ubahya seperti patung yang tak punya perasaan.
Setidaknya ia bisa bertanya pada Maura pergi kemana ia kemarin. Tapi Radit tidak melakukannya. Ini benar-benar mengherankan Maura.
Sebenarnya hati Radit terbuat dari apa?
Saat istirahat tiba, Maura mengirimkan pesan singkat pada Radit agar menemuinya di belakang gedung lab kimia. Gadis itu ingin bicara empat mata dengan Radit.
"Aku ingin mengakhiri hubungan kita,"tandas Maura memulai perbincangan mereka.Langsung pada pokok pembahasan.
"Kenapa?" tanya Radit.Ia tampak kaget mendengar keputusan Maura.
Maura menghela nafas panjang. Cowok ini bego atau tolol sih, batinnya kesal. Harusnya ia bisa membaca situasi yang terjadi diantara mereka berdua.
"Karena kita nggak cocok,"sahut Maura datar. "Sebenarnya aku udah capek pacaran denganmu,"lanjut Maura lebih jelas.
Radit terdiam. Mungkin ia belum ingin menyela ucapan gadis dihadapannya.
Dan Maura pun melanjutkan kalimatnya karena Radit seolah memberinya kesempatan untuk mengungkapkann isi hatinya.
"Aku udah capek dengan semua ini. Kamu begitu dingin dan aku merasa menjadi seperti orang bodoh saat didekatmu. Kita nggak bicara dan kita nggak saling mencari tahu satu sama lain. Kita seperti dua orang asing bahkan saat berdua sekalipun.
Aku nggak tahu seperti apa dirimu yang sebenarnya. Kamu menjadi pribadi yang lain saat bersama teman-temanmu. Dan kamu menjadi seperti ini saat bersamaku. Mungkin itu karena kamu nggak nyaman bersamaku. Aku bisa mengerti itu,"tutur Maura panjang. Gadis itu menghela nafas sebelum melanjutkan kalimatnya.
"Aku nggak bisa hidup dengan orang yang nggak peduli denganku. Dan aku nggak mau bertahan lebih lama lagi. Aku ingin mengakhirinya sekarang juga sebelum melangkah lebih jauh lagi. Kamu juga menginginkan hal yang sama kan?"
Mata Maura tampak berkaca-kaca. Gadis itu tak bisa menyembunyikan kesedihan dan rasa kecewa yang selama ini dipendamnya. Tapi ia harus mengatakan semua itu pada Radit walau ia akan terluka sekalipun.
"Aku pernah terluka sebelum ini,"kali ini Radit mulai angkat bicara. Matanya menatap ke arah Maura. "Aku pernah dikhianati oleh gadis yang kucintai. Aku terluka dan aku menutup hatiku rapat-rapat sejak itu. Karena aku nggak mau terluka untuk yang kedua kalinya. Itulah kenapa aku bersikap dingin sama kamu. Karena aku takut jatuh cinta dan akhirnya terluka. Hatiku sangat rapuh, Ra. Kamu nggak tahu itu kan?"
Maura terhenyak mendengar penuturan Radit yang benar-benar mengejutkan dirinya itu. Benarkah seperti itu?
"Aku sempat membenci semua cewek, karena aku menganggap mereka semua sama. Tapi beberapa hari terakhir ini hatiku mulai goyah. Aku mulai cemas saat kamu selalu pulang duluan. Kupikir kamu udah menemukan cowok lain. Tapi akhirnya aku tahu kamu melakukan itu karena kamu kecewa sama aku. Aku minta maaf atas semua sikapku selama ini,"ucap Radit melanjutkan kalimatnya.
"Jadi sekarang kamu udah sadar kalau kamu udah menyakiti hatiku?" tanya Maura kesal.
"Aku minta maaf,"ulang Radit. "Aku nggak tahu kalau kamu akan terluka karena sikapku."
"Aku sayang kamu, Dit,"tandas Maura kemudian."Bahkan sejak pertama kita bertemu, aku udah suka sama kamu."
"Yang bener Ra?"tanya Radit ternganga. Tak percaya.
Maura mengangguk pelan.
"Tapi kenapa kamu mau dijodohkan denganku kalau kamu benci semua cewek? Bukankah kamu bilang takut terluka?"tanya Maura.
"Memang aku menyetujui perjodohan itu. Karena aku ingin membalas sakit hatiku. Mungkin dengan membuat seseorang menderita saat bersamaku aku akan merasa puas. Nyatanya nggak. Aku malah merasa bodoh setelah menyadari sesuatu."
"Sesuatu?"tanya Maura bingung.
"Ya,"sahut Radit. "Bukankah aku udah bilang kalau hatiku rapuh. Aku nggak bisa melihat seseorang di sampingku terluka karena sikapku."
"Harusnya kamu menyadari hal itu sejak dulu,"timpal Maura kesal.
"Kamu benar. Aku memang bodoh dalam hal ini. Maafkan aku. Aku nggak akan membuatmu merasa terabaikan lagi sekarang. Karena aku juga sayang kamu....."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar