Rabu, 08 Oktober 2014

YES, I'M A VAMPIRE


Zen benar-benar memenuhi janjinya untuk menculik Ara. Cowok cool dari kalangan bangsawan vampir yang berambut merah itu menyekap Ara di kamar pribadinya. Dan Zen telah menggigit leher Ara sesaat setelah ia berhasil menculik gadis manis itu.
Dan imbasnya Ara pingsan selama tiga hari berturut-turut. Ia mengalami demam yang sangat tinggi setelah itu. Pertanda proses perubahan statusnya dari manusia menjadi vampir sedang berlangsung.Dan inilah yang diharapkan oleh Zen. Ia ingin Ara menjadi bangsa vampir seperti dirinya agar ia bisa punya alasan kuat untuk memiliki gadis itu seutuhnya. Agar perbedaan yang semula menghalangi niatnya hilang.
Cinta benar-benar sungguh ajaib! Dan Zen telah menciptakan keajaibannya sendiri.
"Selamat datang di dunia kami, Ara!"
Teguran itu terdengar sesaat setelah Ara tersadar dari pingsannya. Gadis itu kaget mendapati tubuhnya tengah terbaring lemah di atas tempat tidur besar nan mewah. Ia mencoba bangkit dengan sisa tenaga yang dimilikinya.
"Apa yang kamu lakukan padaku?"tanya Ara sedikit cemas.
Gadis itu melangkah perlahan ke depan cermin besar yang terpajang di dinding. Betapa terkejutnya saat ia melihat pantulan wajahnya didalam cermin.
Wajah pucatnya terlukis samar didalam cermin. Dan lihatlah, rambutnya yang semula hitam telah berubah menjadi kemerahan. Ara baru tahu jika Zen benar-benar telah merubah statusnya. Dan bekas luka itu masih tampak jelas dilehernya.
"Luka itu akan hilang empat hari lagi,"beritahu Zen seraya mendekat ke tempat Ara berdiri.
"Aku tidak menduga kamu benar-benar melakukannya. Kenapa mesti aku Zen?! Kenapa?!" teriak Ara kencang. Ia berbalik dan memukul dada cowok itu bertubi-tubi untuk melampiaskan kekesalan hatinya.
Zen diam seperti patung. Ia sudah menduga Ara akan marah padanya.
"Kenapa kamu tidak pernah menerima perbedaan kita?"tanya Ara mulai meredakan pukulannya lantas berhenti sama sekali. Digantikan tangis yang mulai merebak diwajahnya.
"Bagi vampir seperti kami hidup sekali, mencintai juga sekali. Memiliki atau mati. Itu adalah prinsip kami,"tandas Zen tegas. Sifat kebangsawanannya tampak dari gaya bicaranya yang elegan saat mengucapkan prinsip hidup bangsa vampir.
"Tapi kalian pembunuh...."
"Kami hanya minum darah hewan ternak. Meski kami sangat ingin minum darah manusia, tapi kami sekuat tenaga tidak melakukannya. Memang ada sebagian dari bangsa kami yang berburu darah manusia, tapi kami tidak,"jelas Zen.
Ara tersenyum pahit.
"Jadi ada etika di dunia kalian?"sindir Ara sinis.
"Dunia kita, Ara,"tukas Zen meralat ucapan Ara.
"Aku tidak mau menjadi bagian dari kalian. Aku ingin menjadi manusia kembali. Aku ingin pulang,"tegas Ara. Gadis itu hendak meninggalkan kamar Zen tapi dicegah oleh cowok tampan itu.
"Kamu tidak bisa pergi!"seru Zen cepat. Membuat gadis itu mengurungkan niatnya.
"Kenapa?"tanya Ara cepat."Apa ada mantra tertentu untuk keluar dari tempat ini?"
"Bukan. Tapi sinar matahari akan membakar tubuhmu hingga menjadi abu,"ungkap Zen mengejutkan Ara.
"Benarkah? Bukankah kamu selalu bepergian di siang hari?"timpal Ara.
"Beberapa puluh tahun yang lalu bangsa kami terkena radiasi bahan kimia. Menyebabkan gen bangsa kami bermutasi sehingga kami tidak terbakar meski terpapar sinar matahari. Radiasi itu juga menyebabkan warna bola mata kami menjadi abu-abu,"tutur Zen menjelaskan.
"Tapi kenapa aku berbeda?Bukankah aku sudah menjadi vampir?"tanya Ara heran.
"Belum,"sahut Zen."Kamu masih setengah manusia. Setelah menikah denganku kamu akan menjadi vampir seutuhnya."
"Oh.....lucu sekali. Dunia kalian benar-benar membingungkan,"Ara menyunggingkan senyum kecutnya.
"Malam ini ada pesta di ballroom hotel. Aku akan memperkenalkanmu sebagai calon istriku pada semua orang. Jadi kamu harus bersiap-siap. Seseorang akan mengantar gaunmu. Jangan lupa untuk berdandan yang cantik,"Zen tersenyum sebelum meninggalkan kamar itu.
Zen sialan! Ia telah menjebakku, gerutu Ara kesal.
~~~%%~~~
Ara tampak cantik mengenakan gaun malam hasil rancangan designer Eva. Ia adalah designer terkenal langganan bangsawan vampir. Tentu saja karena Eva juga berasal dari kalangan vampir.
Bagi Ara ini adalah pesta yang paling membosankan yang pernah ia datangi. Semua orang tampak sibuk dengan kenalan masing-masing seperti sedang bernegosiasi bisnis.
"Sebenarnya mereka sedang pesta atau rapat?"gumam Ara sendirian. Sementara Zen sedang mengambilkan minuman untuknya.
"Ada apa?"tanya Zen seraya menyerahkan segelas minuman untuk Ara.
"Apa ini?"tanya Ara seraya mengamati isi gelas yang ada dalam genggaman Zen."Bukankah kita tidak minum sirup?"tanya Ara heran.
"Kamu setengah manusia, Ara,"bisik Zen."Lagipula di tempat ini ada banyak sekali manusia. Dan juga vampir. Kami menyembunyikan identitas kami dari mereka,"imbuhnya masih dengan berbisik.
Ara mengerti sekarang.
Malam itu Zen memperkenalkan Ara sebagai tunangannya kepada semua hadirin. Sorak sorai terdengar riuh menyambut kedatangan Ara.
Bahkan Zen juga mengumumkan hari pernikahan mereka berdua minggu depan. Tentu saja Ara protes dengan keputusan sepihak ini. Setelah ia menculik Ara dan menjadikannya manusia setengah vampir, kini ia memutuskan untuk menikahi Ara tanpa minta pertimbangan gadis itu terlebih dulu. Bisa-bisanya ia melakukan itu padaku, batin Ara kesal.
"Rasa-rasanya aku mencium aroma aneh disini,"tegur seorang cowok berpakaian jas lengkap kepada Ara yang sedang berdiri disudut ruangan sendirian. Zen pamit sebentar untuk berbincang dengan genk vampir dari kalangan bangsawan.
Ara kaget melihat sosok cowok keren dihadapannya. Rambut cowok itu berwarna pirang, tapi bola matanya abu-abu. Ia pasti vampir juga, batinnya menebak.
"Kamu siapa? Dan apa maksudmu?"tanya Ara sedikit ketakutan. Bagaimanapun juga ia adalah orang asing di dalam ruangan itu.
Cowok itu tertawa manis.
"Perkenalkan namaku Kay. Aku adalah sepupu Zen,"tandas cowok itu memperkenalkan diriya.
Ara tergagap saat dipaksa berjabat tangan dengan Kay.
"Selera Zen lumayan juga. Pantaslah dia melakukan ini padamu,"sindir Kay."Tapi aku masih mencium harum darah manusia disini,"bisiknya seraya menyeringai.
"Kay!"Zen datang.
Dan Kay langsung menyingkir dari hadapan Ara begitu mengetahui sepupunya datang.
"Apa yang dia katakan padamu Ara?"tanya Zen agak cemas."Jangan dengarkan dia..."
"Aku ingin pulang sekarang,"pinta Ara seraya menarik lengan jas Zen.
~~~%%~~~
Hari pernikahan Ara dan Zen digelar dalam sebuah pesta mewah dan meriah. Meski ini bukan yang Ara inginkan tapi gadis itu tak bisa menghindar. Ia menganggap ini adalah bagian dari jalan hidupnya. Ia akan kehilangan statusnya sebagai manusia usai melakukan ritual malam pertamanya dengan Zen.
"Kamu menyesal?"tanya Zen saat matahari baru saja merekah di ufuk timur.
Ara terbaring membelakangi tubuh Zen. Dan air mata membasahi pipinya yang pucat.
"Aku minta maaf Ara,"bisik Zen. "Aku melakukan ini karena aku teramat sangat mencintaimu,"imbuhnya lagi.
Zen mencium punggung Ara yang terbuka dengan lembut.
"Sudah terlambat untuk menyesal,"Ara membalikkan tubuhnya dan menatap wajah suaminya."Apa sekarang mataku sudah berwarna abu-abu?"
Zen mengangguk.
"Rambutmu juga sudah berubah merah,"ucap Zen.
Ara tertegun membayangkan dirinya sekarang.
"Mulai sekarang kita bisa menikmati sinar matahari tanpa takut terbakar,"ujar Zen sambil berangsur turun dari atas tempat tidur. Lantas ia mengambil sebuah gelas dari atas meja dan menyodorkannya ke hadapan Ara.
"Apa ini?"gumam Ara heran.
"Ini minuman pertamamu,"jawab Zen."Ini darah domba segar,"jelasnya.
"Darah?"ulang Ara sembari mengamati cairan merah pekat didalam gelas. Harusnya ia jijik saat mencium aroma amis dari gelas itu, tapi nyatanya tidak. Ia malah mencium wangi yang aneh dan menerbitkan air liurnya.
Perlahan Ara meneguk minuman itu. Ternyata minuman itu terasa menyegarkan.
"Aku pasti sudah gila,"gumam gadis itu usai meneguk habis minumannya. Sedang Zen menyeka sisa-sisa minuman itu dari bibir Ara.
"Kamu tidak gila sayang,"sambung Zen."Ini adalah sebuah permulaan."
~~~%%~~~
Kay, saudara sepupu Zen memang seorang pengacau. Diam-diam cowok itu menaruh hati pada Ara. Suatu kesempatan datang padanya untuk mendekati Ara. Tentu saja hal ini membuat Ara kesal.
Begitu Zen mengetahui perihal ini, ia marah dan melakukan pembalasan pada saudara sepupunya.
"Apa yang kamu inginkan, Kay?"tantang Zen menantang kejantanan Kay. Mereka berhadapan satu lawan satu dan siap untuk berduel.
Kay menyeringai. Ia sangat paham dengan tantangan yang diajukan Zen.
"Kalau aku katakan apa yang aku inginkan, apa kamu akan memberikannya padaku?"balas Kay dengan angkuhnya.
"Tentu, tapi setelah kamu melangkahi dulu mayatku,"tegas Zen pada puncak emosinya.
"Jadi kamu benar-benar ingin mengadu kekuatan denganku? Baik, akan aku layani,"sahut Kay. Iapun mulai bersiap mengumpulkan segenap energi yang ia miliki.
"Bukan aku yang memulai semua ini, jadi jangan menyesal jika terjadi apa-apa denganmu,"ancam Zen.
"Kita lihat saja nanti,"
Mereka berdua mulai mengeluarkan kekuatan masing-masing. Dari telapak tangan Zen keluar seberkas cahaya hijau yang ia arahkan ke tubuh Kay bertubi-tubi. Sementara dari telapak tangan Kay keluar seberkas cahaya oranye.
Pertarungan itu sangat menegangkan. Sesekali Kay terjerembab ke belakang mendapat serangan cahaya hijau dari telapak tangan Zen. Begitu juga dengan Zen. Berkali-kali cowok itu terjatuh terkena serangan Kay.
Pertarungan itu menimbulkan percikan-percikan cahaya dilangit malam. Sangat menakjubkan. Kekuatan kedua vampir muda nan keren itu seimbang. Nyaris semalaman mereka bertarung namun sampai menjelang pagi belum ada tanda-tanda salah satu dari mereka yang memenangkan duel tersebut.
Namun untunglah keributan itu terdengar sampai ke telinga tetua vampir. Dan atas perintah tetua pertarungan itu terpaksa dihentikan atau keduanya akan mati sia-sia karena kehabisan tenaga.
Sidang darurat komite persatuan vampir digelar keesokan harinya untuk menyelesaikan pertikaian antara Zen dan Kay. Setelah mendengar pembelaan masing-masing dan juga kesaksian Ara, maka Kay dinyatakan bersalah.
Kay akan dijatuhi hukuman setimpal. Ia harus menjadi pelayan di kerajaan vampir selama setahun penuh. Dan setelah itu ia akan dijodohkan dengan gadis dari kalangan vampir juga.
Zen dan Ara bernafas lega mendengarnya. Sepertinya Kay pantas mendapatkan hukuman itu.....
~~~%%~~~
"Aku merindukan mereka,"gumam Ara nyaris tak terdengar. Ia berbaring membelakangi Zen.
Sudah nyaris sebulan Ara tinggal bersama Zen.....
Zen mengernyitkan dahi. Tak paham maksud ucapan istrinya.
"Mereka siapa?"tanya Zen seraya mengusap rambut Ara yang terjuntai di atas bantal.
"Orang tuaku, adik-adikku..."gumam Ara lagi.
Zen agak kaget mendengar ungkapan hati istrinya.
"Kamu tidak boleh kesana apalagi menemui mereka, Ara..."
"Aku tahu,"sambung Ara.
Namun Ara terlalu merindukan keluarganya. Sehingga pada suatu malam ia menyelinap keluar saat Zen sedang pergi. Ia hanya ingin melihat keluarganya dari kejauhan, begitu tekadnya dalam hati.
Dari balik kegelapan malam, Ara dapat melihat meski dengan samar keluarganya tengah berkumpul di ruang tengah.
Mereka tampak berbincang dengan raut wajah yang tidak begitu gembira. Ayah, Ibu dan kedua adik kecilnya. Ara ingin sekali berlari ke arah mereka dan memeluk tubuh mereka satu persatu.
Namun Ara hanya bisa menitikkan bulir-bulir air mata dari matanya tanpa bisa berbuat sesuatu.
Mereka pasti sangat mencemaskanku,batin Ara seraya membalikkan tubuhnya dan berangsur pergi.
Langkah-langkahnya lemah seperti lelah. Meski ia tak lelah. Malam semakin larut dan ia harus segera kembali sebelum Zen memergokinya tidak ada dirumah saat ia pulang nanti.
Langkah Ara terhenti. Seorang anak kecil tampak duduk berjongkok tak jauh dari tempatnya berdiri. Anak itu sedang menangis sendirian disana. Dibawah lampu taman yang bersinar redup.
Ara mencoba mendekat. Ia menegur anak itu dengan suara lembut.
"Kenapa kamu ada disini sendirian? Dimana rumahmu?"tegur Ara sembari mengusap rambut anak kecil itu.
Anak kecil itu mengangkat wajahnya dan menatap Ara. Ia tak menjawab. Sementara sisa-sisa air mata masih tampak di pipinya.
Ara menatap anak itu tanpa berkedip. Ada sesuatu yang mulai merasuki dirinya. Hidungnya menangkap aroma harum sesuatu dari tubuh anak kecil itu. Membangkitkan hasrat dalam dirinya.
Ara mulai mendekatkan wajahnya kepada anak kecil itu. Perlahan namun pasti. Ara mulai menggigit leher anak kecil itu sementara kedua tangannya memegangi pundak anak itu agar tidak bergerak barang seinchipun. Ara menghisap darah anak itu terus dan terus seperti orang yang kehausan.
Sampai akhirnya tubuh anak itu terkulai lemas dan tak bergerak lagi. Ia kehabisan darah!
Ara baru tersadar jika anak itu telah meninggal. Ia tertegun menatap wajah anak itu yang tampak keriput.
Aku telah membunuhnya, batin Ara. Tubuhnya gemetar.
"Hei!! Apa yang kamu lakukan?!"
Ara terhenyak mendengar teriakan itu. Ia melihat seorang laki-laki sedang melihat kepadanya dengan pandangan curiga.
Ia panik dan mengambil keputusan secepat mungkin. Ara melarikan diri.
Ia kabur dari tempat itu sebelum ada orang lain lagi yang datang kesana. Ia berlari sekencang-kencangnya.
Aneh! Ara melesat bak angin. Padahal sebelumnya ia tidak pernah bisa berlari secepat ini.
~~~%%~~~
Zen menyambut kedatangan Ara dengan tatapan heran.
"Kamu darimana?"desak Zen tak sabar."Bukankah aku sudah bilang kamu tidak boleh menemui mereka."
Ara tak menyahut. Namun tiba-tiba saja dari kedua pelupuk matanya mengalir tetes-tetes bening.
"Ada apa?"desak Zen.Ia mengguncang bahu Ara pelan.
"Aku membunuhnya,"gumam Ara."Aku membunuhnya,Zen. Aku seorang pembunuh!"
Ara berteriak histeris.
"Tenanglah..."Zen mencoba menenangkan hati Ara.
"Aku membunuh anak itu,Zen. Aku seorang pembunuh!"teriak Ara lagi. Disertai isak tangis.
Zen mengerti. Ia segera meraih tubuh Ara kedalam pelukannya. Untuk menenangkan hati Ara yang tengah bergejolak.
"Tenanglah,"bisik Zen."Semua vampir pasti pernah melakukan itu."
"Tapi kamu tidak pernah kan?"tanya Ara menimpali.
Zen menggeleng. Zen memang belum pernah membunuh satu manusiapun.
"Aku yang telah membawamu keduniaku,"ucap Zen kemudian."Aku akan bertanggung jawab atas apa yang kamu lakukan, Ara. Aku berjanji akan selalu menjagamu. Jadi jangan pernah pergi jauh dari sisiku. Kamu mengerti?"
Ara mengangguk.
"Maafkan aku,"ucap Ara.
"Aku mencintaimu Ara,"bisik Zen mesra didekat telinga Ara. "Karena cinta aku bisa melakukan apapun, termasuk mengubah takdir. Aku tidak tahu cinta bisa membuatku segila ini."
Ara tersenyum tipis.
"Aku tidak pernah mendengarmu mengatakan mencintaiku."Zen melepaskan pelukannya pada Ara. "Apa kamu tidak pernah mencintaiku?"tanya Zen curiga.
Ara menghela nafas.
"Aku tidak tahu,"jawab Ara."Yang aku tahu aku hanya harus hidup dengan baik disisimu."
Zen mengerutkan keningnya.
"Hanya itu saja?"
"Kamu belum puas dengan jawabanku?"
"Lumayan."

2 komentar:

  1. zen sayang banget sama ara .tapi caranya menjadikan ara sebagai istri terlalu sadis .tapi kalau yang namanya cinta ya mau diapakan lagi jika sudah jatuh cinta .

    BalasHapus
  2. Duh...zen setia banget...jadi baper๐Ÿ˜Š๐Ÿ˜‡

    BalasHapus