Minggu, 30 Juni 2013

PESAN CINTA


Anne tertegun dibangkunya sembari menggenggam erat undangan ulang tahun Mika yang baru saja dibagikan oleh Henry beberapa menit yang lalu. Bukan ia saja yang mendapat undangan itu, tapi seluruh penghuni kelas itu tanpa terkecuali.
Sementara disudut sana beberapa siswi tengah berbincang penuh semangat tentang pesta ulang tahun Mika. Mereka sibuk membahas gaun apa yang akan mereka pakai pada pesta nanti. Sepatu, tas dan aksesories apa yang pantas dipadupadankan dengan pakaian mereka. Huh, menyebalkan! batin Anne sendirian.
Kenapa juga Mika mesti mengundangnya ke pesta, sesalnya kembali. Cowok paling kaya seantero sekolah itu memang populer. Dan wajahnya juga tampan. Sepertinya ia memang ditakdirkan untuk menjadi seorang pangeran. Tapi kenapa Anne mesti sekelas dengannya?
Susah payah gadis itu masuk ke sekolah ini melalui bea siswa prestasi, bukannya melegakan tapi malah menyiksa perasaannya sendiri. Karena ia adalah siswa termiskin disekolah itu! Dan itulah masalahnya. Meski ia selalu menyembunyikan jati diri keluarganya tetap saja suatu saat keadaan pasti akan berbalik menyerangnya. Dan peristiwa seperti ini adalah salah satu contohnya.
Gadis itu buru-buru mengeluarkan bukunya lantas berpura-pura sibuk belajar. Ia takut jika ada temannya yang bertanya tentang kostum apa yang akan ia pakai pada pesta ulang tahun Mika.
Karena Anne tidak akan datang. Tidak akan pernah!
Gadis itu tak punya gaun maupun sepatu. Apalagi tas atau aksesoris mahal seperti yang teman-temannya miliki. Tidak mungkin ia memaksakan diri datang dengan memakai celana jeans yang sudah pudar warnanya dengan tshirt murahan yang dibelinya di pasar bukan?
Kenapa hidup ini begitu sulit?gerutunya kesal.
"Selamat pagi,"
Sapaan itu membuyarkan lamunan Anne. Gadis itu baru sadar jika guru favoritnya telah tiba dikelas. Yeah, Anne memang menyukai Pak Johan. Guru muda itu memang mengagumkan dimata Anne. Ia pandai, ramah dan gaya mengajarnya mengasyikkan. Itulah kenapa Anne sangat menyukai pelajaran Kimia meski pelajaran itu tergolong sulit.
~~~##~~~
"Kalau kamu capek sebaiknya kamu istirahat, Ne."
Anne tersenyum mendengar kalimat ibunya. Gadis itu masih asyik mengaduk adonan kue.
"Nggak kok, Bu,"sahut Anne. "Ibu saja yang istirahat, biar Anne yang ngerjain ini. Lagian besok kan hari Minggu,"
Ibunya tertegun seraya menatap putri semata wayangnya. Ada tersirat rasa haru bercampur iba terpancar dari sinar matanya.
Kasihan Anne, batinnya. Jika saja ayah Anne tidak pergi begitu saja meninggalkan mereka berdua, pasti Anne tidak akan seperti ini. Kehidupan mereka pasti lebih baik dari sekarang. Ia tak perlu bersusah payah membuat kue untuk memenuhi kebutuhan hidup. Juga Anne tidak kekurangan kasih sayang dari ayahnya.
"Kenapa Ibu melihat Anne seperti itu?"sentak Anne heran. Tatapan mata ibunya dirasa aneh dan tak seperti biasanya.
Ibu Anne tersenyum.
"Ibu minta maaf, Ne,"ucap ibunya sejurus kemudian. "Karena ibu nggak bisa memberimu kehidupan yang lebih baik dari ini."
"Ibu ini bicara apa sih,"timpal Anne cepat."Buat Anne melihat senyum Ibu itu udah cukup. Anne bahagia kok, meski hidup kita seperti ini,"tandas gadis itu mencoba membesarkan hati ibunya.
"Ibu juga sangat bersyukur punya kamu,"sahut ibunya. Lagi-lagi ia mengembangkan senyum di bibirnya. Namun kali ini senyumnya lebih cerah dari sebelumnya.
Anne balas tersenyum.
"Ibu pergi ke toko sebentar membeli bahan. Kalau kamu capek, tinggalkan saja biar ibu nanti yang meneruskan,"seru ibunya. Wanita itu pergi dari hadapan putrinya karena harus pergi membeli bahan ke toko.
"Ya Bu," sahut Anne.
Anne meneruskan pekerjaannya kembali. Namun ia teringat sesuatu.
Saat ini teman-temannya pasti sedang bersenang-senang di rumah Mika. Anne hanya bisa membayangkan sebuah pesta di tepi kolam renang. Ada kue ulang tahun berukuran jumbo, minuman beraneka warna. Dan ada lampu warna warni menghiasi pesta. Seandainya ia bisa hadir disana.....
Bodoh! gerutunya. Kenapa ia bisa berkhayal seperti itu. Adonan kuenya hampir saja tumpah karena keasyikan berkhayal.
~~~##~~~
Hari Senin pagi...
Anne merasa ada sesuatu yang aneh pagi ini. Semua teman sekelasnya menatap dirinya dengan tatapan aneh. Bahkan sempat terdengar bisik-bisik diantara mereka.
Anne paham. Mereka pasti sedang membicarakan absennya Anne di pesta ulang tahun Mika malam Minggu kemarin. Tapi Anne mencoba menepis perasaannya sendiri. Toh mereka tidak akan pernah mengerti apa yang dialami Anne.
"Kok kamu nggak datang ke pesta Mika sih?"
Tiba-tiba saja Sherly mendekat ke bangku Anne. Si ratu gosip itu pasti sedang mengajukan interogasinya pada Anne. Jelas ia sedang mencari bahan gosip untuk diedarkan ke seluruh penjuru sekolah.
"Kamu tahu nggak, cuma kamu saja yang nggak datang malam itu. Harusnya kamu malu pada Mika karena melewatkan acara sepenting itu,"tuturnya dengan nada angkuh. Dan ia memang pantas bersikap angkuh seperti itu. Ayahnya seorang pejabat daerah yang cukup ternama.
Anne hanya bisa tertunduk menghindari tatapan sinis Sherly. Ia tak ingin berdebat atau mencari masalah dengan gadis itu.
"Apa jangan-jangan gosip tentang kamu benar?"pancing Sherly kemudian. Ia ingin melihat reaksi Anne selanjuutnya.
Dan Anne mulai bereaksi. Gadis itu mendongakkan wajahnya.
"Gosip?"ulang Anne seraya mengernyitkan dahi.
"Iya, gosip,"sahut Sherly senang. Usahanya berhasil.
"Gosip apa?"
Namun belum sempat Sherly melanjutkan pembicaraan mereka, tiba-tiba saja guru Fisika masuk kedalam kelas. Dan buyarlah pertemuan kecil itu.
Gosip? batin Anne bingung. Gosip tentang apa?
Mika muncul. Cowok itu kerap terlambat masuk kelas. Namun tak ada teguran maupun sangsi dari guru. Belakangan Anne tahu sekolah itu adalah milik kakek Mika. Cowok itu benar-benar kaya dan hebat.
~~~##~~~
Dengan langkah terburu Anne mendekat ke arah tempat Mika berdiri. Kebetulan cowok itu sedang berdiri sendirian di depan pintu gerbang sekolah. Tampaknya ia sedang menunggu jemputan.
Anne ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk meminta maaf pada Mika mengenai masalah pesta ulang tahun itu. Ia merasa tak enak hati pada cowok itu. Sekaligus untuk meredam suasana di kelas yang mulai memojokkan dirinya.
Mumpung sekolah sudah sepi dan Mika hanya sendirian,batinnya. Karena ia tak mungkin meminta maaf pada Mika di kelas.
"Mika,"panggilnya setelah dekat. Dan cowok itupun menoleh padanya.
Mika tak menyahut. Namun dari sorot matanya Anne tahu cowok itu sedang bertanya padanya.
"Aku ingin minta maaf,"ucap Anne memberanikan diri. Karena selama tiga bulan sekelas dengan Mika, ia sama sekali belum pernah berbincang dengan cowok itu. Menyapapun tidak.
"Maaf?"ulang Mika belum paham maksud ucapan Anne.
"Iya,"sahut Anne." Maaf karena aku nggak datang ke pesta ultahmu. Aku....."
"Oh,"potong Mika cepat. Ia tersenyum pahit.
Lantas Mika melanjutkan kalimatnya....
"Jadi kamu orang yang digosipkan itu?"tanya Mika seperti baru saja menyadari sesuatu.
Anne terhenyak. Gosip? batinnya heran. Apa yang dimaksud Mika? Gosip yang dibicarakan Sherly tadi pagi?
"Gosip apa?"tanya Anne ragu.
Mika tersenyum lagi.
"Kamu nggak datang ke pesta karena kamu nggak punya baju dan sepatu. Karena kamu orang miskin,"ucap Mika dengan nada sinis.
Kontan saja ucapan Mika membuat Anne kaget sekaligus menyinggung perasaannya.
"Kamu marah?"sindir Mika kemudian."Kenapa? Berarti gosip itu benar?"
Mika tertawa sejurus kemudian. Membuat Anne bertambah kesal.
"Apa hebatnya menjadi orang kaya?"tanya Anne seraya menahan gejolak emosi yang nyaris meledak didalam dadanya. "Orang kaya selalu bersikap angkuh dan memandang rendah pada orang miskin. Itulah kenapa aku membenci orang-orang seperti kalian,"tegas Anne.
Namun ucapan Anne ditanggapi senyum sinis oleh Mika.
"Jadi kamu bisa ngomong juga?"sindirnya."Aku pikir kamu cuma bisa mojok di perpustakan dan membaca buku-buku menyebalkan itu,"tandas Mika menyinggung perasaan.
Jadi Mika tahu kebiasaan Anne selama ini??
"Mika!!"
Seruan itu membuat keduanya serempak menoleh ke jalan. Seorang wanita berumur empat puluhan yang masih tampak cantik dan anggun turun dari sebuah mobil mewah. Ia tampak tersenyum.
"Mami?"seru Mika kaget. "Kenapa mami yang menjemput ke sekolah?"
Jadi wanita anggun itu mami Mika? batin Anne takjub.
"Iya,"sahut wanita itu cepat."Dia pacarmu?"tanya mami Mika sejurus kemudian saat ia menatap ke arah Anne.
"Dia..."kalimat Mika terpotong.
"Kenapa kamu nggak cerita sama mami?"potong wanita itu."Selera kamu lumayan bagus. Tapi mami nggak lihat kamu di pesta ultah Mika. Apa kalian sedang bertengkar?"cecar mami Mika cerewet.
"Bukan Tante..."Anne mencoba menjelaskan namun mami Mika memotong lagi.
"Jangan dipikirin,"ucap mami Mika sembari merangkul bahu gadis itu."Mika memang orangnya cuek. Dia paling nggak bisa mengungkapkan perasaannya. Oh ya, siapa namamu?"
"Anne..."
"Wow, nama yang bagus,"sahutnya girang."Mari tante antar pulang sekalian,"
Mami Mika menyeret tangan gadis itu dengan paksa. Anne tak sempat berbuat sesuatu untuk mencegahnya. Sementara Mika juga sama. Cowok itu menggerutu kesal melihat kelakuan ibunya yang sok tahu.
~~~##~~~
Buku yang dicari Anne sudah ketemu. Namun gadis itu malah bersandar pada rak buku, bukannya mencari tempat duduk. Ia lebih senang berdiri dibalik rak buku daripada duduk bersama pengunjung perpustakaan yang lain.
Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Ia ingat ucapan Mika kemarin. Jadi cowok itu juga tahu kebiasaannya bersembunyi di pojokan perpustakaan untuk membaca buku daripada pergi ke kantin seperti yang lain.
"Aku sudah mennduga kamu pasti ada disini."
Anne tercekat dan langsung menoleh.
Mika datang. Cowok itu bersikap angkuh. Seperti kemarin.
Anne tersenyum sinis.
"Kenapa?"desaknya tak sabar."Kamu belum puas menghinaku?"
Mika menghela nafas. Ia menatap ke sekeliling. Takut jika ada yang melihat mereka berdua.
"Mamiku mengundangmu makan malam,"ucap Mika datar. Namun ia tampak serius dengan ucapannya.
"Apa?"Anne kaget setengah mati mendengar kalimat Mika."Kenapa kamu nggak bilang aku bukan pacarmu?"tanya Anne setengah berbisik. Takut ada yang mendengar.
Mika tersenyum pahit.
"Aku sudah mencoba menjelaskan ribuan kali tapi mamiku tetap nggak percaya. Kamu nggak tahu mamiku orang seperti apa,"jelas Mika dengan berbisik pula.
"Itu bukan urusanku. Aku nggak mau tahu. Pokoknya kamu harus menyelesaikan kesalahpahaman ini sendiri,"tandas Anne tegas. Ia hendak pergi tapi tangan Mika menarik lengannya secepat kilat. Gadis itu kaget dan tubuhnya nyaris menubruk tubuh Mika.
Anne terpana untuk beberapa detik lamanya. Ia begitu dekat dengan Mika. Dan ia tidak pernah sedekat ini dengan cowok manapun sebelum ini.
Anne menepis tangan Mika beberapa saat kemudian. Ia tampak gugup.
"Kamu nggak bisa pergi begitu saja,"ucap Mika kemudian.
"Lalu aku harus bagaimana? Nggak mungkin aku berpura-pura jadi pacar kamu kan?"Anne sewot.
Mika mendesah berat.
"Aku juga nggak tahu,"gumam Mika pasrah.
"Bilang saja kita sudah putus. Masalah selesai,"ucap Anne setelah berpikir beberapa saat.
Mika tak menyahut.
Bahkan saat Anne berlalu dari hadapannya ia masih tertegun sendirian. Bel telah berbunyi.....
~~~##~~~
"Anne!"
Mami Mika tergesa mengejar langkah Anne yang hendak keluar dari pintu gerbang sekolah. Gadis itu membalikkan badan begitu mendengar namanya dipanggil seseorang.
Ada apa mami Mika mencarinya? Apa Mika belum bisa menyelesaikan kesalahpahaman diantara mereka?
"Kenapa kamu nggak datang semalam?"cecar mami Mika seraya menepuk pundak Anne."Padahal Tante sudah masak buat kamu. Kamu malah nggak datang,"imbuhnya tampak kecewa.
"Maaf Tante...."
"Bagaimana kalau Tante traktir kamu makan? Kamu pasti belum makan kan?"tawar mami Mika sejurus kemudian. Tanpa menunggu jawaban Anne, wanita itu langsung menyeret tangan Anne pergi.
Anne tidak pernah mendapat kesempatan untuk bicara. Mami Mika sangat cerewet dan selalu mendominasi pembicaraan. Seolah-olah mami Mika tahu segalanya. Pantas saja Mika tidak berkutik di hadapan maminya.
"Bagaimana makanannya?"tanya mami Mika usai mereka melahap makan siang di sebuah restoran sea food."Restoran ini adalah tempat favorit Tante,"ucapnya lagi.
Anne hanya tersenyum kaku.
"Bukannya tante tadi ingin menjemput Mika?"tanya Anne.
Mami Mika menggeleng.
"Tante ingin ketemu kamu,"ungkap mami Mika."Oh ya, sebenarnya dulu tante sangat mengharapkan punya seorang anak perempuan. Tapi nggak kesampaian. Dan Mikalah korbannya."
"Maksudnya?"
"Sejak kecil tante mendidik Mika seperti anak perempuan. Bahkan tante sering memakaikannya baju anak perempuan. Barulah ia masuk sekolah tante berhenti melakukan kebiasaan itu. Tante takut Mika tumbuh nggak normal. Tapi setelah tahu ia punya pacar, tante senang sekali. Ternyata ketakutan tante nggak terbukti. Yeah, memang kadang-kadang sikapnya menyebalkan. Dia cuek setengah mati, dan angkuh. Tapi tante yakin ia akan berubah karena kamu,"tutur mami Mika panjang.
Anne menyimak penjelasan mami Mika baik-baik. Jadi itu sebabnya? batin Anne sembari manggut-manggut.
"Oh ya jaga Mika baik-baik,"ucap mami Mika ketika mereka telah sampai di depan gang rumah Anne."Jangan terlalu sering bertengkar,"imbuhnya lagi seraya tersenyum.
"Baik Tante,"sahut Anne menurut.
Bodoh, gerutunya sendiri tatkala mobil mami Mika telah melesat pergi. Kenapa ia bersikap seolah-olah ia adalah pacar Mika?
~~~##~~~
Anne terhenyak. Pagi ini Mika telah berdiri didepan gang rumahnya. Sementara motornya diparkir didepan warung kopi tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Aku disuruh mami untuk menjemput kamu,"ucap Mika sebelum Anne bertanya.
Gadis itu tampak memasang wajah sewot.
"Kenapa kamu mau?"timpal Anne sekenanya. "Aku nggak mau ada yang tahu kita berduaan seperti ini,"
"Sebaiknya kita pergi sekarang. Kita hampir telat,"ajak Mika mengabaikan ucapan Anne.
"Kamu duluan saja, aku bisa pergi sendiri kok,"tolak Anne terus terang.
"Sudah, naik saja,"suruh Mika yang telah bersiap diatas motornya.
Anne terpaksa menuruti perintah Mika. Dengan menggerutu pula.
Namun rupanya Mika tak melajukan motornya ke sekolah. Mereka berhenti di depan taman kota yang nampak sepi.
"Kamu sudah gila? Kenapa kamu malah mengajakku kesini?"seru Anne marah.
"Bukannya kamu bilang nggak mau ada yang tahu kita berduaan?"tanya Mika datar.
"Iya, tapi nggak begini caranya...."
"Kenapa kita nggak coba pacaran seperti yang mamiku inginkan?"tanya Mika sesaat kemudian. Membuat Anne nyaris menjerit karena terlalu kaget.
"Apa?"seru Anne lantang."Kamu sama gilanya dengan mami kamu."
"Kenapa?"desak Mika kalem."Harusnya kamu bangga bisa pacaran denganku, bukannya histeris seperti ini."
"Bangga?"ulang Anne seraya tersenyum sinis."Aku malah muak dengan oang kaya yang sombong sepertimu."
Mika tak menyahut. Cowok itu terdiam sembari menerawangkan matanya ke langit yang berwarna biru.
"Aku dengar kamu masuk ke sekolah itu dengan bea siswa,"tandas Mika setengah bertanya.
Suasana lebih mereda ketimbang sebelumnya. Anne juga telah meredam amarahnya ketika Mika terdiam dan tidak meresponnya.
"Karena aku miskin,"ucap Anne."Ibuku hanya seorang penjual kue. Dan hasilnya nggak seberapa. Nggak mungkin aku mengandalkan penghasilannya untuk bersekolah. Maka dari itu aku harus belajar keras demi sebuah bea siswa. Karena aku ingin melanjutkan kuliah di universitas."
Mika agaknya tersentuh dengan penuturan gadis di sebelahnya. Ia menatap gadis itu dalam-dalam.
"Aku serius, Ne."
Anne menoleh pada Mika dan bertanya apa maksud dari ucapannya.
"Aku ingin kita pacaran,"tandas Mika mantap.
Namun Anne malah terbahak mendengarnya.
"Secepat ini kamu jatuh cinta padaku?"timpal Anne."Atau karena kamu kasihan padaku? Itu bukan cinta namanya. Tapi rasa iba,"tutur Anne.
"Aku sungguh-sungguh...."
"Hentikan,"potong Anne cepat."Lupakan semuanya. Aku nggak mau terlibat masalah yang berhubungan denganmu. Sebaiknya kita menjalani hidup kita masing-masing seperti sebelumnya. Dan satu lagi, bilang sama mamimu kita nggak ada hubungan apa-apa."
Dan Anne meninggalkan tempat itu usai mengakhiri kalimatnya.
~~~~##~~~
Mami Mika sakit? batin Anne lebih mempertajam pendengarannya. Henry dan beberapa orang teman Mika sedang membicarakan cowok itu. Pantas saja Mika absen hari ini.
Berita itu membuat hati Anne tidak tenang. Ia khawatir sakitnya mami Mika ada hubungannya dengan Anne.
Maka siang itu Anne nekat pergi ke rumah sakit dengan niat untuk menjenguk mami Mika. Akhirnya setelah bertanya ke meja resepsionis ia bergegas menuju ke kamar mami Mika dirawat.
Itu Mika, batinnya ragu. Ia menghentikan pergerakan sepatunya. Cowok itu tampak duduk tertegun di ruang tunggu sendirian. Sepertinya ia benar-benar dilanda kecemasan yang teramat parah.
"Mika..."
Cowok itu menoleh begitu Anne memanggil namanya.
Anne bergerak mendekat.
"Apa yang terjadi?"tanya Anne pelan. Gadis itu mengambil tempat duduk disamping Mika.
"Darimana kamu tahu mamiku sakit?"Mika malah balik bertanya.
"Aku mendengarnya dari teman-temanmu,"jawab Anne.
Mika mendesah berat.
"Mamiku mencoba bunuh diri kemarin,"ungkap Mika lirih. Wajahnya tampak melukiskan sebuah kesedihan yang teramat dalam.
Anne tercekat. Ia tidak mempercayai apa yang baru saja ia dengar.
Gadis itu ingin bertanya namun urung karena Mika melanjutkan kalimatnya.
"Mamiku tahu papi berselingkuh. Karena itulah dia melakukan hal bodoh itu,"ulas Mika.
Anne terdiam. Ia hanya membayangkan seraut wajah mami Mika yang cantik dan sikapnya yang energik. Benarkah mami Mika orang yang serapuh itu?
"Mami adalah orang mudah sekali depresi,"lanjut Mika lagi. "Sekali dia tersakiti dia pasti langsung drop. Dia pernah melakukan ini sebelumnya."
"Tapi aku lihat dia sangat energik dan ceria...."
Mika tersenyum pahit.
"Itu hanya untuk menutupi kesedihannya. Dia orang yang kesepian dan selalu berpura-pura bahagia,"tandas Mika lagi.
"Bagaimana kondisinya sekarang?"desak Anne cemas.
Mika menggeleng.
"Dia koma,"sahut Mika tanpa semangat. "Aku nggak tahu dia masih bisa bertahan atau nggak. Tapi aku yakin dia nggak ingin bertahan,"ucap Mika putus asa.
"Kamu nggak boleh bicara seperti itu,"potong Anne cepat. Ia menatap cowok itu dalam-dalam.
"Kenapa? Kamu mulai menyukaiku setelah mendengar kisahku?"tanya Mika cepat."Itu bukan cinta, tapi rasa iba."Mika sengaja mengulangi ucapan Anne kala itu.
"Mika!"seru Anne kesal. Ucapan Mika menusuk perasaannya.
Mika tak menyahut. Ia enggan untuk mendebat Anne.
Anne hanya bisa terpekur seraya menatap ke lantai.
Ternyata Mika juga punya penderitaan sendiri. Mungkin lebih berat dari yang ia alami selama ini.
"Menjadi orang kaya nggak selalu menyenangkan,"gumam Mika nyaris tidak terdengar.
"Aku tahu..."sahut Anne.
Namun ada satu janji yang sempat ia ucapkan pada mami Mika, bahwa ia akan menjaga Mika. Itu janji yang sebenarnya ataukah hanya sekedar ucapan spontan yang terlontar begitu saja?
Gadis itu mulai bersimpati pada Mika. Tapi seperti ucapannya terdahulu, itu bukan cinta. Melainkan rasa iba.
Tapi bukankah cinta bisa berawal dari rasa iba? Huh, membingungkan! gerutunya dalam hati.
"Maaf Mika..."
Seorang dokter tiba-tiba keluar dari kamar maminya dirawat. Ekspresinya tampak menyesal. Mungkinkah....
Mika terpana ditempatnya. Ia tak bertanya pada dokter itu apa maksud dari ucapannya. Mika sudah tahu. Maminya sudah pergi.
Anne pun sama. Gadis itu menyentuh pundak Mika perlahan. Untuk memberi dukungan padanya.
Mika berbalik lantas meraih tubuh Anne.Ia ingin membagi sedikit kesedihannya dengan gadis itu.
Mami Mika tahu ia tidak bisa menjaga Mika lebih lama. Mungkin karena itulah ia bersikeras untuk menjodohkan Anne dan Mika dengan caranya sendiri. Begitu pikir Anne.
"Dia pergi Ne,"ucap Mika getir.
Anne hanya mengangguk.
"Dan aku sudah berjanji padanya akan menjagamu...."tandas Anne seraya berbisik.

Rabu, 26 Juni 2013

AJARI AKU MENCINTAIMU


Aku terbangun dari rasa kantuk yang sempat menidurkanku meski sejenak. Lantas kupandang lagi kaca jendela pesawat sama seperti saat aku belum tertidur tadi. Namun pemandangan yang kulihat berbeda dari sebelumnya. Kini aku bisa melihat awan-awan yang berwarna putih. Seputih kapas.
Perjalanan masih panjang. Dan aku mulai merasa bosan.
"Kamu lapar?"
Teguran itu datang dari kursi disebelahku. Namun tak ingin kusahut. Bahkan aku tak menoleh padanya. Sama sekali.
Laki-laki itu bernama Alex. Kelak aku akan memulai hidup yang baru di negeri asing bersamanya.
Aku masih ingat kejadian tiga hari yang lalu. Ia menyeretku pergi dari hadapan Rio. Dengan paksa. Meski aku tak ingin pergi, namun aku tak kuasa untuk menolak. Maafkan aku, Rio.
"Kinanti....."
Alex menegurku kembali. Usai aku mengabaikan pertanyaannya sebelumnya.
Aku memalingkan wajahku sebentar padanya. Sekedar memberi respon ala kadarnya.
"Aku nggak lapar..."tandasku nyaris tak terdengar. Tanpa ekspresi.
"Tapi semenjak kita meninggalkan bandara, kamu belum makan, Kin."
Aku terdiam. Bahkan aku sudah lupa kapan terakhir kali aku menelan makanan.
"Makanlah,"ucapnya seraya menyodorkan sandwich yang beberapa saat lalu diberikan oleh seorang pramugari cantik.
Aku menggeleng pelan.
"Tapi...."
"Sudah kubilang aku nggak lapar,"potongku ketus. Secara refleks tanganku menepis sandwich yang dipegang Alex. Dan insiden kecil namun sangat memalukan itu terjadilah.
Roti isi itu jatuh berantakan dilantai pesawat. Membuat para penumpang lain yang sempat melihat kejadian itu menatap kami dengan tatapan aneh. Dan seorang pramugari datang tergopoh-gopoh untuk membersihkan lantai kabin pesawat. Membuat Alex merasa menyesal dengan melontarkan maaf berkali-kali pada pramugari itu.
~~~##~~~
Aku melemparkan tubuhku begitu sampai di apartemen milik Alex. Apartemen itu adalah tempat tinggalnya sewaktu menuntut ilmu di Canada. Dan untuk beberapa tahun kedepan, kami akan menempatinya berdua. Mungkin juga untuk selamanya andai kontrak kerjanya diperpanjang.
Kepalaku pusing. Perbedaan waktu dan suhu udara membuat tubuhku bereaksi.
"Istirahatlah dikamar,"suruh Alex membuatku sedikit terkejut. Aku nyaris tertidur tadi.
Aku tak menjawab,namun aku menuruti ucapannya. Aku beranjak masuk ke dalam kamar milik Alex.
"Aku buatkan sesuatu yang hangat,"tandasnya kemudian pergi.
Laki-laki itu tampak baik dan perhatian semenjak kami meninggalkan bandara. Tak seperti sebelumnya. Saat aku masih bersama Rio.
Laki-laki itu sering menunjukkan kecemburuannya dihadapanku. Tapi ia memang licik. Ia membawaku pergi ke seberang benua untuk menjauhkanku dari Rio. Otaknya memang jenius. Dengan begitu ia bisa memilikiku tanpa takut bersaing dengan siapapun.
Ia berhasil mengikatku dengan sebuah cincin pernikahan. Tapi tidak dengan hatiku. Karena aku telah meninggalkan hatiku di Makassar. Pada sebuah hati milik seorang laki-laki bernama Rio.
"Minumlah, Kin,"suara Alex terdengar lagi. Membuatku tersadar dan segera mengusap air mata yang tanpa sadar jatuh begitu saja ke atas bantal.
"Aku membuatkanmu mi instant,"imbuhnya."Maaf, kulkasku masih kosong."
Aku bangkit dan meraih cangkir teh dari genggamannya. Aku meneguk isinya yang hangat. Tiba-tiba saja perutku menunjukkan gejala kelaparan, padahal aku sama sekali tak punya selera makan.
Aku melahap mi instant buatannya. Cuaca dingin diluar agaknya memaksaku untuk segera mengisi perut untuk bertahan agar kuat melawan suhu udara.
~~~##~~~
Aku jatuh sakit. Mungkin karena aku belum bisa beradaptasi di tempat baru. Mungkin juga karena hati dan fisikku yang kelelahan.
Alex merawatku dengan sabar. Tampaknya ia sedang mencari simpatiku dengan menunjukkan perhatian lebih. Tapi semua itu tidak akan merubah apapun. Hatiku tidak akan jatuh begitu saja hanya karena ia bersikap baik padaku.
"Apa kamu sudah merasa baikan?"
Ia menegurku pagi ini. Saat itu aku tengah menikmati cahaya matahari yang menembus kaca jendela kamar. Tampaknya musim telah berubah.
"Aku harus pergi,"tandasnya seraya mendekat."Pekerjaan sudah menungguku."
"Pergilah," sahutku tanpa menoleh.
"Tapi aku nggak bisa meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini,"ucapnya.
Aku tersenyum pahit.
"Kalau begitu pulangkan aku,"ucapku spontan. Kalimat itu sama sekali tak terpikirkan olehku sebelumnya.
Aku sadar jika kata-kataku tadi bisa memicu pertengkaran diantara kami berdua. Tapi sebuah pertengkaran kecil mungkin akan justru membuatku merasa lebih baik.
Namun setelah beberapa detik lamanya, Alex tak menunjukkan reaksi apapun. Ia hanya menatapku tanpa melontarkan sepatah kalimatpun.
"Lex..."aku menyentaknya."Kamu tahu kan, aku mencintai orang lain,kenapa kamu...."
Namun kalimatku terpotong olehnya.
"Kin, aku harus pergi sekarang. Aku sudah menyiapkan makanan di meja makan. Jika kamu butuh sesuatu kamu bisa menelponku. Kamu tahu kan harus menelpon kemana,"
Laki-laki itu mengecup keningku dengan cepat. Lantas ia beranjak pergi dari hadapanku. Meninggalkanku yang masih tertegun menatap sikapnya.
Sial, gerutuku. Padahal aku sengaja memancing perdebatan dengannya, tapi ia malah mengalihkan topik pembicaraan.
Ia memang hebat. Ia telah merencanakan semua ini dari awal. Aku baru tahu jika ia punya trik jitu untuk membuatku takluk padanya. Tapi aku pastikan semua rencananya tidak akan berhasil. Aku tidak akan tertipu olehnya. Tidak akan!
~~~##~~~
Aku duduk memeluk lutut diatas sofa. Acara televisi tak ada satupun yang kusuka. Namun aku masih menatap layar persegi itu dengan pandangan kosong.
Alex belum pulang. Padahal jam dinding menunjuk angka tujuh. Aku tidak tahu berapa jam orang biasanya bekerja disini. Tapi hari ini adalah hari pertamanya bekerja.
Dan aku mulai dilanda kebosanan. Entah sampai kapan aku akan menjalani kehidupan seperti ini.
Namun aku membuka mataku yang nyaris terpejam manakala aku mendengar suara detak sepatu. Alex pulang.
"Maaf aku telat,"ucapnya sebelum aku bertanya."Aku sedikit sibuk hari ini. Tapi setelah beberapa hari aku akan pulang lebih cepat,"jelasnya.
Memangnya aku bertanya? batinku kesal. Aku tidak peduli ia akan pulang jam berapa.
"Kamu sudah makan?"Alex bertanya seraya melepas sepatu dan dasinya.
Aku hanya menggeleng. Malas untuk bersuara.
"Kalau begitu biar aku buatkan sesuatu,"tandasnya seraya beranjak dari tempat duduknya lantas ia berangsur ke dapur.
"Kamu mau nasi goreng?"serunya dari arah dapur.
Nasi goreng? batinku. Memangnya ia bisa memasak? Tapi aku sangat suka nasi goreng. Lagipula aku sudah bosan dengan western food.
Dan sepuluh menit kemudian dua porsi nasi goreng terhidang di atas meja makan.
"Bagaimana?"tegur Alex menanyakan pendapatku tentang hasil masakannya.
Masakannya enak juga. Bahkan aku sama sekali tidak bisa memasak. Tapi aku tidak berkomentar apapun. Aku takut jika ia besar kepala nanti.
"Jika kamu bosan tinggal dirumah terus, kita bisa pergi jalan-jalan akhir pekan nanti,"tawar Alex. Ia mencuci peralatan makan seusai makan malam berakhir. Sementara aku masih duduk di kursi sembari menikmati segelas yogurt.
Aku tidak pernah melakukan pekerjaan rumah tangga apapun disini. Karena aku memang tidak ingin melakukannya.
"Aku malas,"sahutku.
"Kenapa? Kamu bisa membeli sesuatu,"sahutnya."Baju atau sepatu misalnya,"tandasnya tak kehabisan opsi.
"Simpan saja uangmu,"gumamku. Aku bangkit dan meninggalkan tempat dudukku. Untuk kesekian kalinya aku mengabaikan dirinya. Sama seperti yang biasa aku lakukan.
~~~##~~~
Aku terbangun tiba-tiba. Sesuatu mendesak didalam perutku dan ingin segera dikeluarkan. Aku merasa mual dan ingin muntah.
Dengan tergesa aku menuruni tempat tidur dan berlari ke kamar mandi. Namun saat aku hendak membuka pintu kamar mandi, mendadak Alex muncul didepan pintu. Membuatku kaget dan hampir menjerit.
Laki-laki itu baru saja keluar dari kamar mandi dan sialnya ia tidak memakai pakaian. Hanya selembar handuk yang melilit di pinggangnya. Rambutnya masih basah begitu juga tubuhnya.
Aku buru-buru memalingkan wajahku darinya. Entah kenapa tiba-tiba saja aku merasa risih melihatnya seperti itu. Aku malu memergokinya bertelanjang dada.
Aku menyeruak masuk kedalam kamar mandi secepat mungkin lantas memuntahkan semua yang sejak tadi mendesak perutku.
"Kamu kenapa, Kin?"
Ah, laki-laki itu lagi batinku kesal. Ia menyusulku kekamar mandi.
Ia memijit-mijit tengkukku namun segera ku tepis. Aku benar-benar tidak nyaman berada sedekat ini dengannya usai melihat sebagian tubuhnya tadi. Terlebih aroma wangi sabun mandi miliknya membuat imajinasiku pergi kemana-mana.
Sial. Kenapa pikiranku melantur kemana-mana.
Aku kembali ke kamar diikuti olehnya.
"Kamu sakit lagi?"desaknya."Kita ke rumah sakit saja,"usulnya kemudian.
Aku tak menyahut. Bahkan untuk melihatnyapun aku malu. Aku hanya memejamkan mataku seraya menyembunyikan tubuhku dibawah selimut.
"Kin...."
"Aku nggak pa pa,"tandasku lirih."Mungkin aku masuk angin,"jelasku.
"Tapi kamu harus ke dokter..."
"Kubilang nggak usah,"ucapku ketus. Lama-lama aku kesal dibuatnya. "Sebaiknya kamu pergi ke kantor sekarang. Aku mau istirahat"
"Nggak,"balasnya tegas."Kita harus pergi ke rumah sakit. Kamu sudah terlalu sering sakit semenjak tiba disini,"ia mencoba memaksakan keinginannya. Dan ini untuk pertama kalinya.
"Aku baik-baik saja, Lex,"aku mencoba ngotot.
Tapi ia telah bersiap-siap untuk mengantarku ke rumah sakit.
Aku merasa baik-baik saja. Toh aku tidak sedang hamil.Mungkin aku hanya masuk angin.
Aku baru menyadari sesuatu. Tiga bulan telah berlalu semenjak kami menikah. Tapi sampai saat ini aku masih menjaga jarak dengannya. Kami belum melakukan ritual malam pertama!
Rupanya aku keracunan yogurt yang kuminum semalam. Mungkin minuman itu sudah kedaluwarsa.
~~~##~~~
Aneh, batinku. Aku melihat Alex tampak termenung sendirian seraya menatap keluar jendela malam ini. Pantas saja aku tidak mendapatinya di atas tempat tidur.
Laki-laki itu.....
Ah, bodoh. Aku merutuki diriku sendiri. Peristiwa tadi pagi melintas lagi di pikiranku. Imajinasiku juga terbang kemana-mana. Padahal aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. ,
"Kamu belum tidur?"tegurku pelan agar tidak membuatnya kaget.
Alex membalikkan tubuhnya. Dan aku bisa melihat keanehan tersirat diwajahnya. Sama sekali tidak ada kesan licik atau penipu terpancar dari sorot matanya seperti yang selalu aku gambarkan. Ia tampak kacau.
"Kamu sendiri kenapa bangun dari tempat tidur? Memang kamu sudah baikan?"ia malah mengkhawatirkanku.
Aku mengangguk.
"Kamu kenapa?"desakku ingin tahu.
Ia menghela nafas panjang. Terdiam sejenak lantas mengutarakan isi hatinya.
"Aku baru saja berpikir,"ucapnya.
"Berpikir tentang apa?"kejarku.
"Mungkin aku akan mengakhiri semuanya," tandasnya terdengar berat. Membuatku semakin bingung dibuatnya.
"Aku baru saja menyadari sesuatu barusan.Bahwa selama bersamaku kamu nggak pernah bahagia,"lanjutnya kemudian."Kamu juga sering sakit-sakitan. Semua karena aku. Karena aku nggak pernah bisa membuatmu bahagia. Harusnya aku nggak pernah merebutmu dari Rio. Kalau saja aku nggak begitu egois untuk memilikimu,mungkin sekarang kamu bahagia bersama Rio. Maafkan aku...."
Aku terhenyak mendengar penuturannya. Kalimatnya seperti guncangan badai yang menghantam dadaku tiba-tiba.
"Aku akan mengantarmu pulang. Karena aku sadar hatimu bukan disini. Sudah seharusnya kamu kembali ke tempat yang semestinya,"lanjutnya lagi.
Oh Tuhan, jerit hatiku. Aku membuang pandanganku ke tempat lain.
Harusnya aku senang mendengar penyesalannya. Karena ia akan melepaskanku. Tapi kenapa hatiku merasa aneh. Aku sedih mendengar kalimat-kalimat bernada pilu yang baru saja ia lontarkan.
"Besok lusa aku akan mengantarmu ke Indo,"
Aku tak merespon ucapannya. Aku malah bergerak pergi kembali ke kamar. Lantas meringkuk dibawah selimut. Membelakangi tempat Alex berdiri. Tapi aku tidak memejamkan mata. Pikiranku mengembara entah kemana.
Tanpa sadar bantalku telah basah beberapa detik kemudian.
~~~##~~~
Aku duduk tertegun di tepian tempat tidur sembari membuang pandanganku keluar jendela. Meski aku hanya bisa melihat segumpal awan berwarna putih disana.
Alex sedang sibuk mengemasi barang-barangku dan memasukkannya kedalam koper. Aku memang sengaja tak membantunya karena sesungguhnya aku tak ingin pulang.
Aku mulai betah tinggal di tempat asing ini. Aku juga mulai terbiasa menjalani hari-hariku bersamanya. Bahkan aku hendak membangun sebuah perasaan tulus untuknya. Tapi tiba-tiba saja ia berniat meruntuhkan semuanya.
Apa ini adil untukku? batinku.
Apa setelah semua kembali ke tempat semula, aku dan Alex akan baik-baik saja?
Tapi aku hanya wanita rapuh yang mudah sekali hanyut oleh perasaan. Haruskah aku mengatakan apa yang menghuni di pikiranku sekarang ini?
"Penerbangan kita jam dua siang ini. Kamu sudah siap, Kin?"
Alex menoleh ke arahku.
"Kin....."ia menegurku seperti biasa saat aku mengacuhkan ucapannya.
Aku menatapnya dalam-dalam.
"Apa aku bisa nggak pergi sekarang?"tanyaku padanya.
"Kenapa?"desaknya."Bukankah kamu selalu bilang ingin pulang?"
"Perutku sakit,"ucapku lirih. Ini adalah sebuah kebohongan yang baru pertama aku lakukan padanya. Untuk menunda kepergianku.
"Benarkah?"Alex bergegas mendekat dan meneliti wajahku."Kamu sudah minum obat? Sebaiknya kamu istirahat,"
Lihatlah betapa ia sangat mencemaskan keadaanku. Bagaimana jika kelak aku jauh darinya? Apa ia tidak akan mati karena mencemaskanku?
~~~##~~~
Aku tidak tahu kemana kakiku menuju. Ia melangkah terus dan terus menyusuri jalanan.Senja telah merapat dan aku belum juga meumutar arah kembali.
Mungkin aku sedang tersesat di tempat asing ini. Tapi entah kenapa pikiranku tidak ketakutan sama sekali.
Akhirnya aku menghentikan langkahku begitu mendapati sebuah bangku taman yang kosong. Aku berhenti disana untuk beristirahat.
Sekelilingku nyaris menggelap.
Di kejauhan tampak sepasang muda mudi tengah berdebat kecil. Membawa ingatanku pada Alex.
Ah, sebaris nama itu pernah sangat kubenci. Namun pada akhirnya aku menyerah pada kegigihannya mencintaiku. Aku rasa aku telah jatuh.
Ia telah membuktikan perasaannya begitu tulus padaku. Dan cintanya melebihi besar cinta Rio padaku. Bagaimana aku bisa mengacuhkannya meski itu hanya berpura-pura.
"Kinanti!"
Aku terkesiap. Teriakan itu membuyarkan lamunanku seketika .
Aku menoleh dan tiba-tiba saja Alex menubruk tubuhku.
"Kenapa kamu pergi sendirian? Kamu kan nggak kenal daerah ini. Bagaimana kalau kamu tersesat? Mana kamu nggak bawa handphone lagi,"ucapnya tampak cemas. Raut wajahnya sepucat bulan kesiangan.
Aku menatap wajahnya dalam-dalam. Secemas inikah dirinya?
"Kamu mencemaskanku?"tanyaku seraya mengamati ekspresi wajahnya.
"Tentu saja,"sahutnya cepat.
"Kalau kamu mencemaskanku kenapa kamu membiarkanku pergi?"tanyaku berusaha memojokkannya.
Alex tercekat. Ia menatapku seperti tak percaya.
"Apa aku membebanimu?"tanyaku lagi.
Alex menggeleng.
"Karena kamu hanya akan menderita jika bersamaku,"ucapnya.
Aku tersenyum pahit mendengar ucapannya.
Menderita? Konyol sekali ucapannya. Bahkan ia telah membuatku tak bisa hidup tanpanya.
"Kita pulang sekarang?"
Alex menarik tanganku. Sama seperti saat ia menyeretku pergi dari hadapan Rio kala itu. Namun perasaanku saat ini dengan kala itu berbeda.
~~~##~~~
Aku meringkuk dibawah selimut. Namun mataku masih terbuka. Sejak tadi malam aku tak beranjak dari atas tempat tidur. Aku sengaja mogok makan dan bicara.
Bantalku juga basah. Karena semalaman air mataku tak mau berhenti keluar. Padahal aku sudah mencoba menghentikannya.
"Kamu sakit?"
Suara Alex menyapaku. Seperti biasa selalu mencemaskan keadaanku. Padahal aku merasa baik-baik saja.
Aku sengaja mendiamkan pertanyaannya.
"Kin..."
Lagi-lagi ia menegurku dengan nada yang sama. Tangannya bergerak meraba keningku. Memeriksa suhu badanku.
"Aku baik-baik saja, Lex,"aku menepis tangannya secepat kilat sebelum berhasil menyentuh kulitku.
"Tapi Kin..."
"Sudah jangan pedulikan aku,"ucapku ketus."Pergi saja ke kantor."
"Kamu marah?"
"Untuk apa aku marah?"sahutku seraya membalikkan posisi berbaring. Agar aku bisa membelakangi tubuhnya.
"Aku minta maaf jika aku salah..."
Aku mendengus kesal. Aku paling benci mendengarnya mengucapkan maaf.
Aku bangkit dan duduk menghadapnya. Mencoba menyelami teduh telaga didalam sepasang mata beningnya.
"Apa kamu masih mencintaiku?"tanyaku beberapa saat kemudian.
Alex mengangguk pelan.
"Lalu kenapa kamu bersikeras ingin mengantarku pulang?"desakku lagi."Kamu bodoh tahu nggak?!"seruku kesal.
Dan laki-laki itu hanya diam melihat reaksiku.
Aku dan Alex sedekat ini tapi kami tak pernah saling memiliki satu sama lain. Apa aku harus mengutarakan isi hatiku padanya?
Entah kenapa tiba-tiba saja mataku kembali berkabut. Memaksaku menundukkan wajah di hadapannya. Keangkuhan yang selama ini kugenggam erat dihatiku luruh seketika dihadapannya.
"Kamu menangis?"tanya Alex seraya menyentuh kepalaku.
"Apa kamu mau memelukku sebentar saja?"pintaku kemudian.
Alex meraih tubuhku sejurus kemudian. Rasa hangat dan nyaman menjalari tubuhku. Aku ingin selamanya berada dalam dekapannya seperti ini.
"Kumohon jangan biarkan aku pergi..."bisikku."Karena aku ingin belajar untuk mencintaimu."

Senin, 17 Juni 2013

SENYUM DARI UJUNG LANGIT


"Lebih baik kecelakaan itu membunuhku......"
"Aiko!"
Ibu Aiko berteriak kaget mendengar gumaman yang meluncur dari bibir putrinya.
"Bicara apa kau ini?"bentaknya kemudian. "Harusnya kau bersyukur karena masih selamat dari kecelakaan itu. Bukannya mengharapkan sebaliknya. Kau tahu, ibu sangat menyayangimu Aiko,"tandas ibu Aiko seraya mendekat ke tempat tidur putrinya. Lantas menyodorkan beberapa butir obat kepada Aiko.
"Minum dulu obatmu,"suruh ibu Aiko. Namun gadis itu menggelengkan kepalanya.
"Aiko...."keluh ibunya melihat reaksi Aiko. Sejak kecil Aiko memang paling susah jika disuruh untuk minum obat.
"Aiko ingin pulang,"gumam Aiko kembali. Lirih.
Ibu Aiko mendesah pelan mendengar ucapan Aiko.
"Kau masih sakit sayang,"sahut ibunya dengan nada halus.
Aiko tak menyahut. Ia masih membuang pandangannya ke samping. Menghindari tatapan mata ibunya.
Disaat itu muncullah dokter Hoshiko.
"Selamat pagi,Aiko,"sapa dokter Hoshiko hangat."Bagaimana kabarmu hari ini?"
Dokter itu tak menunggu jawaban Aiko. Ia segera melaksanakan tugasnya memeriksa kondisi pasien.
"Dia sudah lebih baik, Dokter?"tanya ibu Aiko tak sabar mendengar perkembangan kesehatan putrinya.
"Begitulah,"sahut dokter Hoshiko. "Tapi ia harus menjalani pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui kondisi kakinya."
"Apa dia akan sembuh Dokter?"tanya ibu Aiko lagi.
"Kita akan tahu setelah Aiko menjalani tes,"jawab dokter itu. Ia telah selesai memeriksa pasiennya. "Kau harus rajin minum obat, Aiko,"ucap dokter Hoshiko saat mengetahui butiran obat milik Aiko masih utuh tergeletak di tempatnya.
Dokter itu meninggalkan kamar Aiko beberapa saat kemudian.
Aiko masih bergeming seperti sebelumnya. Wajahnya juga masih selayu bunga kering. Sorot matanya tak bercahaya sama sekali. Menimbulkan iba yang mendalam di hati ibunya.
Kasihan Aiko,batin ibunya. Wanita itu membenahi letak selimut Aiko.
Harusnya hari ini Aiko mengikuti kompetisi ballet. Namun karena kecelakaan itu Aiko kehilangan kesempatan untuk menjadi ballerina. Latihan yang ia lakukan hampir sepanjang usianya sia-sia. Kecelakaan itu telah merenggut kaki Aiko. Gadis itu tak bisa menggerakkan kedua kakinya dan hanya bisa berbaring di atas tempat tidur. Entah sampai kapan.
"Jika kamu bosan, ibu bisa menemanimu jalan-jalan,"tandas ibu Aiko berusaha menghibur."Diluar sangat cerah, Aiko. Ibu lihat ada sebatang pohon sakura ditaman. Bukankah kau sangat menyukainya?"
Aiko menggeleng pelan. Bahkan gadis itu enggan untuk melihat kursi roda disudut kamar yang telah dipersiapkan untuknya.
"Kau adalah satu-satunya harta ibu, Aiko,"ucap ibu Aiko kemudian."Ibu tahu kesedihanmu. Tapi jangan seperti ini. Kau harus yakin kau bisa sembuh, sayang."
"Aiko ingin sendiri, Bu,"sahut gadis itu lirih. Tanpa menatap ke arah ibunya.
"Baiklah,"sahut ibunya cepat."Panggil ibu jika kau butuh sesuatu."
Aiko perlu waktu untuk menerima semua ini, batinnya seraya menutup pintu kamar Aiko.
~~~%%~~~
Pagi dimusim semi yang cerah. Kelopak-kelopak bunga sakura bermekaran.Cantik.
Aiko sangat menyukai bunga itu. Dulu ia sering merayakan hanami bersama teman-temannya. Tapi kini ia hanya bisa duduk tertegun diatas kursi roda seraya menikmati musim semi di taman rumah sakit. Sendirian.
Tubuhnya kini tak ubahnya sebatang pohon yang rapuh. Padahal dua minggu yang lalu ia masih bisa meliukkan tarian angsa di atas panggung aula sekolah.
Tidak. Ia tak mau mengingat semua itu. Ingatan itu hanya akan melukai hatinya.
Pemeriksaan telah dilakukan kemarin. Hasilnya tak begitu memuaskan. Kata dokter kemungkinan ia bisa berjalan kembali sangat kecil. Tapi harapan akan selalu ada selama kita masih berusaha,tandas dokter Hoshiko. Jika keajaiban itu tidak datang maka Aiko sendiri yang harus menciptakan keajaiban itu sendiri.
Keajaiban seperti apa yang bisa kuciptakan?batin Aiko.
Serangkaian terapi dan latihan harus ia lakukan mulai besok. Namun gadis itu sama sekali tak punya keyakinan pada dirinya sendiri jika ia bisa sembuh.
Tiba-tiba seorang gadis kecil berusia 7 tahun menghampiri kursi roda Aiko. Ia tersenyum seraya mengamati wajah Aiko.
"Kakak pasien baru disini?"tanya gadis kecil itu ramah."Aku tidak pernah melihat Kakak sebelumnya."
Aiko menatap anak kecil itu dengan tatapan kesal. Ia paling tidak suka diganggu jika sedang sendiri. Apalagi oleh anak kecil yang tampaknya cerewet itu.
"Ya,"akhirnya Aiko menyahut meski dengan nada malas.
Gadis kecil itu tersenyum sembari menyodorkan jabat tangannya.
"Namaku Yuri. Nama kakak siapa?"tanya anak itu.
Aiko mendesah.
"Aiko."
"Mulai sekarang kita berteman. Kak Aiko mau kan?"tawar Yuri manis.
Sebenarnya Aiko enggan untuk menanggapi pengganggu kecil itu, namun entah kenapa senyum polos Yuri seperti menghipnotis dirinya. Membuat Aiko mengiyakan tawaran Yuri untuk berteman dengannya.
Yuri mengeluarkan sebatang lollypop dari saku gaunnya. Lantas mengulurkannya pada Aiko.
"Ini untuk hadiah persahabatan kita,"ucap Yuri.
"Terima kasih,"sambut Aiko mulai lunak.
"Kakak sakit apa?"tanya Yuri kemudian. Ia mengambil tempat duduk di bangku taman tepat menghadap kursi roda Aiko.
"Kaki kakak sakit dan kakak tidak bisa berjalan. Maka dari itu kakak harus duduk di kursi roda ini,"jelas Aiko."Kau sendiri sakit apa?"tanya Aiko.
Yuri menggeleng.
"Yuri tidak tahu,"ucap Yuri."Tapi Yuri tahu sebentar lagi Yuri akan pergi ke langit. Apa Kak Aiko tahu seberapa jauh langit itu?"tanya gadis kecil itu dengan polos.
Aiko terhenyak mendengar ucapan Yuri. Ia sangat paham akan maksud ucapan Yuri, tapi apa gadis kecil itu serius dengan apa yang baru saja ia katakan?
"Maksudmu apa?"tanya Aiko.
Namun tiba-tiba saja seorang perawat datang dan mengajak Yuri kembali ke kamarnya. Menghentikan percakapan mereka berdua.
Aiko hanya bisa menatap kepergian Yuri dengan penuh tanda tanya.
Bukankah pergi ke langit berarti mati?batinnya. Tapi Yuri sakit apa?
~~~%%~~~
"Pelan-pelan, Aiko,"ucap seorang terapis. Ia membantu gadis itu berlatih berjalan.
Tangan Aiko mencengkeram pada sebatang besi disisi kanan dan kirinya. Ia berusaha menjejakkan kakinya ke lantai seraya berpegangan. Tapi kakinya sakit manakala menyentuh lantai. Membuatnya nyaris menyerah.
Ibu Aiko ikut memberi dukungan pada putrinya. Ia tak pernah letih menyemangati Aiko.
"Aku lelah,"keluh Aiko beberapa saat kemudian. Padahal belum sepuluh menit ia melakukan sesi latihan.
"Cobalah sekali lagi,"suruh sang terapis.
Aiko mencoba untuk kembali melangkah namun pegangan tangannya tak cukup kuat. Gadis itu terjatuh.
"Aiko!"teriak ibunya panik. Ia terburu-buru menolong Aiko.
Sesi terapi untuk hari ini selesai. Aiko dibawa kembali ke kamar. Ia harus istirahat dan minum obat.
"Kak Aiko!"
Teriakan kecil itu menahan laju kursi roda Aiko masuk ke kamarnya. Yuri tampak berlari kecil ke arah gadis itu.
"Yuri? Apa yang kau lakukan disini?"cecar Aiko.
Yuri mengembangkan senyumnya.
"Kata dokter Hoshiko, Kak Aiko adalah seorang penari ballet. Apa itu benar?"tanya Yuri. Gadis kecil itu mengiringi laju kursi roda Aiko yang semula terhenti.
"Tapi itu dulu,"sahut Aiko pelan.
"Kak Aiko harus sembuh. Yuri ingin sekali melihat Kak Aiko menari ballet,"ucapnya.
Aiko hanya tersenyum kecil mendengar permintaan kecil Yuri.
"Yuri!"
Lagi-lagi seorang perawat datang menghampiri Yuri.
"Yuri, kenapa kau selalu kabur dari kamarmu?"keluh perawat itu seraya menarik tangan anak itu kembali ke kamarnya.
Namun begitu Yuri masih sempat melambaikan tangannya ke arah Aiko.
"Dia teman barumu?"tanya ibu Aiko seraya membantu gadis itu naik ke atas tempat tidurnya.
"Iya,"sahut Aiko."Kemarin kami bertemu di taman."
"Oh, jadi dia yang memberimu lollypop itu?"tanya ibunya lagi. Disambut Aiko hanya dengan anggukan kecil. Namun Aiko tak mengatakan apa yang diucapkan Yuri kemarin padanya.
"Aiko ingin makan sesuatu,"ucap gadis itu kemudian."Apa ibu membawa makanan dari rumah?"
"Tentu saja,"tukas ibunya cepat."Ibu paling tahu kau benci makanan rumah sakit."
"Karena masakan ibu adalah masakan paling enak didunia,"puji Aiko merajuk.
"Kau ini...."
~~~%%~~~
"Dia terkena leukimia,"terang dokter Hoshiko setelah Aiko mendesak pria itu untuk mengatakan tentang penyakit Yuri. Sebenarnya dokter itu sudah mengatakan bahwa ia tidak boleh memberi tahu kondisi pasien pada orang lain. Tapi Aiko memang keras kepala dan terus mendesaknya.
"Apa dia bisa sembuh?"desak Aiko penasaran.
Dokter Hoshiko menatap Aiko.
"Kenapa tiba-tiba kau begitu peduli padanya?"dokter itu malah mengajukan pertanyaan.
Aiko menggeleng ragu.
"Aku tidak tahu, tapi aku merasa begitu dekat dengannya,"gumam Aiko. Perasaannya pada Yuri memang tak biasa. Entah kenapa ia merasa ada sebuah ikatan batin antara mereka berdua, tapi ia tak tahu ikatan seperti apa. Mungkin ikatan batin sesama pasien. Atau mungkin juga ucapan Yuri membuatnya penasaran.
"Kondisimu semakin membaik,"tandas dokter Hoshiko mengalihkan percakapan. Ia tampaknya enggan mengatakan kondisi Yuri."Baiklah, kalau begitu istirahatlah,"
Dokter Hoshiko bergegas keluar dari kamar Aiko usai memeriksa kondisi gadis itu.
Aiko memejamkan matanya. Gadis itu hendak melanjutkan istirahatnya namun tiba-tiba saja pintu kamarnya terkuak kembali. Tapi bukan dokter Hoshiko yang muncul, melainkan Yuri.
"Bagaimana terapinya, Kak? Apa menyenangkan?"tegur gadis kecil itu seraya menghampiri tempat tidur Aiko.
"Kau kabur lagi dari kamarmu?"Aiko malah mengajukan pertanyaan lain.
Yuri tak menjawab. Gadis itu tak selincah biasanya. Wajahnya juga sedikit pucat. Apa mungkin penyakitnya sudah parah?
"Kak Aiko harus sembuh, karena Yuri ingin sekali melihat Kak Aiko menari ballet. Nanti kalau Yuri sudah pergi ke langit, Yuri tidak akan bisa melihat Kak Aiko lagi,"ucapan polos Yuri keluar begitu saja dari bibir mungilnya.
Aiko terpana mendengar ucapan gadis kecil itu. Perasaannya tidak karuan merenungkan penuturan Yuri.
"Yuriko,kau disini?"
Seorang pria paruh baya muncul tiba-tiba.
"Maaf,"ucapnya cepat."Aku ayah Yuri,"ia memperkenalkan diri sebagai ayah Yuri.
Lagi-lagi Yuri mesti dijemput.Anak itu benar-benar bandel.
~~~%%~~~
Nama pria itu adalah paman Takeda. Ia adalah ayah Yuri. Pagi ini pria itu sengaja menemui Aiko di taman rumah sakit. Sekedar berbagi cerita tentang gadis kecilnya yang menderita leukimia.
"Dia sangat manis kan?" tanya paman Takeda sembari tersenyum pahit. Kala itu kelopak-kelopak bunga sakura mulai berguguran ke tanah.
Aiko menyahutnya dengan sebuah anggukan kecil. Ia bisa merasakan kepedihan yang pria itu rasakan. Pasti berat menerima sebuah kehilangan.
"Dia selalu ceria dan menebarkan senyum,"lanjut paman Takeda. "Dia juga tidak pernah mengeluh tentang penyakitnya. Betapapun sakit yang ia rasakan, ia tak akan mengatakannya."
"Dia anak yang tegar,"gumam Aiko. Berbeda dengan Aiko yang pernah mengeluh soal kecelakaan yang menimpa dirinya.
"Kau benar,"ucap paman itu."Dia selalu mengatakan akan pergi ke langit. Itulah yang membuat paman sedih, Aiko,"tuturnya.
"Berapa lama lagi waktu yang tersisa?"tanya Aiko.
Paman Takeda menggeleng.
"Paman tidak tahu pastinya, tapi dokter mengatakan sekitar tiga sampai lima bulan lagi,"jelasnya. Dengan getar pilu.
Aiko tercekat. Secepat itukah? Padahal ada satu permintaan Yuri yang diajukan padanya. Yuri ingin melihat Aiko menari untuknya. Tapi apa mungkin masih ada waktu untuk memnuhi keinginan Yuri, sementara ia masih menjalani terapi. Dan entah kapan ia bisa berjalan lagi. Apa sang pemilik waktu akan berbaik hati mengabulkan permintaan terakhir Yuri?
"Padahal Yuri ingin melihatku menari untuknya ,"gumam Aiko lirih. Seperti penuh penyesalan. Seolah permintaan itu tidak akan pernah bisa ia wujudkan.
"Benarkah?"tanya paman Takeda terkejut.
"Entah aku bisa mewujudkannya atau tidak,"tandas Aiko berat.
"Jangan memaksakan diri,Aiko,"timpal pria itu sembari menepuk pundak Aiko.
Aiko terdiam. Seperti sedang termenung.
"Aiko,"
Teguran itu membuat keduanya menoleh seketika. Ibu Aiko telah berdiri di belakang kursi roda Aiko. Wanita itu tampak terkejut melihat Aiko bersama seorang pria.
Aneh. Paman Takeda juga tampak sama terkejutnya dengan ibu Aiko. Seolah mereka pernah bertemu sebelumnya.
"Kau?"paman Takeda menatap ibu Aiko tanpa berkedip. Ibu Aiko pun sama.
"Ada apa? Apa kalian saling mengenal?"tanya Aiko menyadari ada sesuatu diantara mereka berdua.
Ibu Aiko tak menjawab. Bibirnya terkunci rapat. Namun ia berencana mendorong kursi roda Aiko pergi dari taman.
"Apa dia putriku?"tanya paman Takeda seraya melirik ke arah Aiko. Membuat Aiko semakin bingung.
Ibu Aiko masih diam.
"Maksud paman apa?"sela Aiko seraya menatap paman Takeda dan ibunya secara bergantian.
"Dia bukan putrimu. Ayahnya telah meninggal,"tandas ibu Aiko ketus. Ia hendak mendorong kursi roda Aiko namun tangan paman Takeda menghalanginya secepat kilat.
"Dia putriku kan?"tanya paman Takeda mendesak.
"Kenapa kau merasa dia putrimu?"tanya ibu Aiko kesal."Bukankah dulu kau pernah mencampakkanku? Untuk apa kau bertanya tentang putriku?"
"Aku akui aku memang salah,"ucap paman Takeda."Aku menyesal."
Raut penyesalan tampak jelas terlukis di wajah paman Takeda. Aiko sempat melihat pria itu menatapnya tanpa henti manakala ibunya membawa kursi rodanya pergi dari tempat itu.
~~~%%~~~
Jadi paman Takeda adalah ayah Aiko? Dan Yuri adalah adiknya?
Aiko terus berpikir malam ini. Ibunya telah menjelaskan segala tentang dirinya dimasa lalu. Tentang paman Takeda yang meninggalkannya saat ia tengah mengandung Aiko. Ia yang harus berjuang mati-matian demi membesarkan Aiko seorang diri. Itulah sebabnya ibu Aiko selalu mengatakan jika ayah Aiko telah meninggal. Karena ibu Aiko tidak mau mengingat kembali kejadian 18 tahun yang lalu. Juga ia tidak mau mewariskan rasa dendam dan kebencian pada Aiko.
Tapi Aiko telah terlanjur membenci ayah kandungnya. Sama seperti ibunya membenci orang itu. Bagaimana mungkin seorang ayah tega menelantarkan istri dan anaknya. Kejam!
Dan Yuri?
Gadis kecil itu tak bersalah. Pantas saja selama ini Aiko merasa ada sebuah ikatan batin diantara mereka berdua. Karena dalam diri mereka mengalir darah pria itu.
"Kau tidak tidur?"teguran ibu Aiko memecah kesunyian malam.
Aiko hanya mendesah pelan.
"Besok kau harus menjalani terapi lagi,"tandas ibunya seraya membenahi letak selimut yang menutupi tubuh putrinya."Kata dokter perkembangan terapimu bagus."
Tapi Aiko tak tertarik sama sekali dengan ucapan ibunya.
"Kenapa ibu tidak pernah bercerita tentang ayah?"tanya Aiko pelan. Namun posisi tubuhnya membelakangi ibunya.
Ibu Aiko menghela nafas panjang. Enggan untuk menjawab pertanyaan putrinya.
"Dia orang seperti apa?"tanya Aiko lagi. Memojokkan ibunya.
"Ibu mohon jangan bertanya lagi tentangnya,"sahut ibunya geram. Wanita itu tak tahan lagi mendengar pertanyaan Aiko. Ia melangkah meninggalkan kamar putrinya dengan hati sedih.
Aiko tercekat melihat reaksi ibunya. Gadis itu menyesali ucapannya.
~~~%%~~~
Aiko hampir bisa berjalan lagi sekarang. Ia mulai berlatih menggunakan tongkat untuk berjalan. Sebuah keajaiban besar yang diberikan Tuhan untuknya. Tapi apa Tuhan juga akan memberikan keajaiban pada Yuri Sementara penyakitnya semakin parah. Dan sudah terlambat untuk melakukan operasi karena sangat sulit menemukan sumsum tulang belakang yang cocok untuknya.
Aiko hanya menatap dari balik kaca. Yuri sedang terbaring lemah. Gadis itu memejamkan matanya. Bagaimana jika ia tidak membuka matanya kembali?
Aiko menelan ludahnya. Gadis itu menatap sepasang kaki miliknya.
Ia ingin sekali menari untuk Aiko sebelum dia pergi untuk selamanya. Tapi masih adakah waktu untuk Yuri?
Aiko berjalan tertatih ke kamarnya seraya berpikir.
"Ibu?"Aiko terkejut melihat ibunya mengemasi pakaian milik Aiko.
"Kita akan pulang sore ini,"jelas ibunya.
"Apa?"ulang Aiko kaget.
"Kau sudah jauh lebih baik sekarang,"tandas ibunya masih sibuk mengemasi barang-barang putrinya."Untuk terapi,kau akan melakukannya seminggu dua kali."
Aiko terdiam. Ia masih belum ingin pergi. Ia masih ingin menemani Yuri disaat-saat terakhirnya.
"Kenapa? Apa kau tidak ingin pulang?"tanya ibunya melihat kediaman Aiko. Harusnya gadis itu gembira, tapi reaksinya malah sebaliknya."Oh ya, ibu dengar ada kompetisi lagi bulan depan. Tapi mungkin kau belum bisa ikut,"imbuh ibunya lagi.
"Benarkah?"tanya Aiko cepat. Tampaknya ia sangat tertarik mendengar berita itu. Ada secercah harapan yang tersirat didalam sorot matanya.
Aku harus sembuh, batinnya bertekad.
~~~%%~~~
Beberapa hari terakhir ini Aiko berlatih siang dan malam. Langkah-langkah kakinya belum seimbang, namun dipaksanya juga untuk menari. Membuat ibunya kesal. Ia takut jika Aiko keseleo atau sakit kakinya.
"Sudahlah, Aiko,"suruh ibunya."Tidak usah memaksakan diri begitu, nanti kakimu malah tambah sakit."
Aiko menghentikan gerakan kakinya. Ibunya benar. Ia memang belum secepat itu sembuh. Ia saja yang terlalu memaksakan diri.
Aiko menghempaskan tubuhnya diatas tempat tidur. Lelah mendera seluruh tubuh gadis itu.
"Makan dulu , Aiko,"suruh ibunya saat meletakkan piring berisi irisan buah apel diatas meja.
"Aiko tidak bisa menari lagi,"gumamnya nyaris tak terdengar.
"Bagaimana kalau kau melukis saja?"usul ibunya kemudian. Memberi ide.
"Apa ayah juga seorang pelukis?"tanya Aiko. Namun tak ada jawaban. Ibunya telah berlalu pergi dari kamarnya.
Namun beberapa saat kemudian ia mendengar suara ibunya tengah berteriak. Seperti sedang bertengkar dengan seseorang.
Aiko beranjak dari tempat tidurnya dan melihat apa yang terjadi di ruang tamu. Ia kaget melihat ayah kandungnya sedang bersitegang dengan ibunya. Ada apa? batinnya seraya mendekat.
Pria itu kaget melihat Aiko yang sekarang telah bisa berjalan lagi. Dan ia segera mengutarakan maksud kedatangannya pada Aiko.
"Yuri ingin bertemu denganmu, Aiko,"ucap pria itu.
"Sudah kukatakan untuk pergi dari sini..."sela ibu Aiko tak sabar.
"Pergilah,"ucap Aiko. "Ibu tidak mengizinkanku kemana-mana."
Ayah Aiko tercengang mendengar jawaban putrinya. Tiba-tiba saja gadis itu berubah.
"Aku mengerti,"ucap ayah Aiko."Tapi ini bukan untukku, ini untuk seorang anak kecil yang sekarat dan hampir mati,"lanjutnya dengan mimik memelas.
Aiko ragu. Ia menatap ibunya. Meminta pertimbangan.
"Dia tidak akan pergi kemana-mana,"tandas ibu Aiko.
"Kau ingin membalasku dengan cara seperti ini?"sela pria itu dengan sorot mata tajam ke arah ibu Aiko.
"Dia bisa menemui putriku saat kompetisi ballet tiga hari lagi. Bukankah dia sangat ingin melihat Aiko menari?"ucap ibu Aiko kemudian. Membuat Aiko terhenyak.
"Bisa-bisanya kau melakukan ini?!"sentak ayah Aiko."Dia nyaris mati, kau tahu itu?!"
"Ibu! Apa ibu sudah gila?"protes Aiko. Ia tidak mengerti akan sikap ibunya.
"Masuk kedalam kamarmu, Aiko!"teriak ibunya. Memaksa gadis itu.
Aiko menuruti perintah ibunya. Ia tak mengerti apa yang tengah ibunya pikirkan. Kenapa ia bisa sekejam itu? Padahal ia tahu Yuri sedang sekarat sekarang. Lagipula Aiko belum bisa menyeimbangkan langkah-langkahnya, bagaimana ia bisa ikut kompetisi itu?
Kasihan Yuri...
~~~%%~~~
Itu Yuri, batin Aiko. Gadis kecil itu duduk diatas sebuah kursi roda. Tubuhnya tampak lemah dan kurus. Wajahnya pucat dan matanya cekung. Keadaannya benar-benar memprihatinkan.
Tapi Yuri masih bertahan sampai hari kompetisi. Ini benar-benar sebuah keajaiban.
Aiko ragu. Ia tidak yakin pada kemampuannya sendiri. Tapi ketika namanya dipanggil kedepan, ia sempat melihat Yuri tersenyum padanya.
Semua demi Yuri, batinnya. Ia melangkah maju ke panggung dan memantapkan langkah-langkahnya.
Aiko mulai meliukkan tubuhnya. Tarian angsa yang selama ini ia pelajari ia tarikan sesempurna mungkin. Meski ia tahu ia tak akan memenangkan kompetisi, tapi ia melakukan semua itu demi adiknya, Yuri.
Tepuk tangan terdengar riuh mengakhiri pertunjukan Aiko. Gadis itu membungkukkan badan usai menari.
Dengan bergegas ia segera mencari keberadaan Yuri di antara barisan penonton. Lantas ia memeluk gadis itu dengan erat.
"Terima kasih telah datang,"ucap Aiko tak kuasa menahan haru.
"Tarian Kak Aiko bagus,"gumam Yuri lemah. Namun ia sempat menyunggingkan senyumnya.
Aiko tersenyum pahit.
"Sebenarnya tidak juga. Kau tahu, tarian itu sangat mudah. Tapi Kak Aiko saja yang tidak terlalu pandai," celutuk Aiko seraya tersenyum untuk menyegarkan suasana yang kaku itu.
"Yuri juga ingin bisa menari ballet seperti Kak Aiko,"sahut Yuri."Tapi sayangnya Yuri tidak punya banyak waktu."
"Yuri apa yang kau katakan ?"potong Aiko cepat."Kau pasti sembuh, kau tahu itu? Tuhan akan memberikan keajaiban seperti pada kak Aiko. Kau lihat kan, Kak Aiko bisa berjalan lagi."
Yuri terdiam. Tak menyambung percakapan.
~~~%%~~~
"Dia pasti sudah bahagia disana,"tandas ayah Aiko . Keduanya sama-sama menatap langit malam ini.
"Ya,"sahut Aiko pendek.
"Dan dia pasti sudah bertemu dengan ibunya,"lanjut pria itu lagi.
Aiko terhenyak.
"Maksudnya...."
"Ibu Yuri telah meninggal saat dia berumur tiga hari,"ungkap ayah Aiko.
Aiko terkejut. Jadi Yuri tidak punya ibu?
"Makanya dia selalu kabur dari kamarnya,"kenangnya."Karena ayah sibuk bekerja dan tidak punya waktu yang banyak untuk menemaninya."
Aiko hanya tercenung seraya membayangkan seraut wajah manis diujung langit. Wajah yang dihiasi senyum cerah.
"Kau mau memberi ayah kesempatan?"
Aiko menoleh dan menatap seraut wajah yang penuh harap. Wajah ayah kandungnya.
"Aiko ingin sekali memberi kesempatan. Tapi Aiko lebih memilih mendengarkan apa kata ibu. Kami akan pindah minggu depan,"jelas Aiko.
Ayah Aiko tersenyum pahit. Wajahnya menyembunyikan kepedihan yang mendalam.
"Jangan lupa untuk menghubungi ayah, Aiko."
Aiko tersenyum. Lantas menatap ke arah langit lagi dan melukis sebuah wajah manis disana. Wajah Yuri yang sedang tersenyum.
Dia telah menemukan kebahagiaan dan juga ibunya......

Selasa, 11 Juni 2013

BABY, I'M NOT A MONSTER


Namaku Azzam.Aku berusia 18 tahun.Aku adalah sulung dari dua bersaudara.Aku dibesarkan dalam keluarga yang berada secara materi.
Namun aku tak seperti cowok lain pada umumnya.Ada yang berbeda dariku.Aku terlahir sebagai albino.
Seluruh tubuhku berwarna putih karena kulitku tidak memiliki pigmen warna kulit.Rambutku juga berwarna putih.Saat terpapar sinar matahari maka kulitku akan langsung berubah kemerahan.
Mama tidak merasakan apa-apa saat mengandung diriku.Juga tidak ada firasat apapun saat itu.
Tapi untungnya adik perempuanku terlahir normal dan cantik.
Keadaan ini membuatku sering merasa minder.Aku rendah diri dihadapan teman-teman sebayaku.Aku jarang bergaul dan lebih senang menghabiskan waktu dirumah.Membaca buku dan menonton televisi merupakan kegiatan rutinku sepulang sekolah.Tak heran jika aku selalu mendapatkan gelar juara disekolah.
Aku tidak punya banyak teman.Mungkin mereka enggan berteman dengan orang aneh sepertiku.Bahkan anak-anak kecil disekitar rumahku sering meneriakiku "bule".
Aku tidak marah pada mereka.Karena aku juga tidak pernah meminta untuk dilahirkan dalam keadaan seperti ini.Kalaupun aku bisa meminta pada Tuhan,aku juga ingin terlahir normal seperti mereka.
Dan satu lagi kekuranganku.Aku menderita penyakit asma sejak kecil.Maka dari itu aku selalu membawa obat inhaller dalam tasku kemanapun aku pergi.Karena tanpa obat itu aku tak akan bisa hidup.
Aku menjalani hidup dan rutinitas yang sama setiap hari.Aku merasa seperti robot.
Hingga pada suatu hari aku melihat seorang gadis yang rumahnya tak jauh dari tempat tinggalku.Ia pindahan dari kota lain.
Entah kenapa saat melihatnya untuk yang pertama kali,aku merasa ada yang aneh dalam diriku.Tiba-tiba saja jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya.Tapi ini bukan gejala asma.Penyakit itu tidak kambuh hanya karena aku melihat seorang gadis cantik.
Aku merasa ia berbeda dari gadis-gadis lain yang pernah kutemui selama ini.Parasnya yang menawan dengan senyum manis tersungging dibibirnya membuatku selalu membayangkan dirinya saat memejamkan mata.Aku seperti orang gila saja.
Aku menyadari satu hal.Aku sedang jatuh cinta!
Aku tidak bisa membendung perasaan ini.Meski sejak awal aku selalu melarang diriku sendiri untuk jatuh cinta.Karena aku takut akan ditolak karena fisikku.
Dari adikku,Syafira akhirnya aku tahu gadis itu bernama Nina.Ia sekelas dengan adikku.
Tapi aku takut mengutarakan isi hatiku padanya.Bahkan pada adikku sendiri aku tak mau bercerita apapun tentang perasaanku.
Sore itu Nina datang kerumah.Ia mencari Syafira.Dan aku hanya menjadi pecundang karena aku bahkan tidak turun dari lantai atas meski hanya untuk "say helo"padanya.Aku bersembunyi dibalik kaca jendela kamarku sembari mengintip keluar.Ke halaman belakang dimana gadis itu sedang berbincang dengan adikku.
Ah Nina....
Aku hanya menelan ludahku sendiri manakala membayangkan gadis itu.Senyumnya, kerlingan matanya, gerak-gerik tubuhnya,semua yang ada pada diri gadis itu aku suka.Aku benar-benar menyukainya! Dan perasaan seperti ini membuatku nyaris gila.
Oh Tuhan,andai saja aku punya keberanian menampakkan diriku dihadapannya sekedar untuk menyapanya.
Namun ketakutanku lebih besar.Bahkan Nina belum tahu jika Syafira punya kakak laki-laki albino sepertiku.Aku takut jika ia jijik melihatku.Kuatkan hamba-Mu Ya Gusti....
"Temenmu udah pulang?"aku pura-pura mengambil air minum dikulkas ketika Syafira masuk kedalam dapur.Padahal aku tahu jika Nina sudah pulang,makanya aku berani turun dari kamarku yang berada di lantai atas.
"Udah,barusan,"sahut Syafira."Tumben Kak Azzam nanya temen Fira,"
Alamak,batinku.Syafira sedikit curiga padaku.Tapi aku harus berakting sebagus mungkin untuk menyembunyikan gelagat aneh ini dari diriku.
"Cuma nanya doang,"sahutku berusaha secuek mungkin."Kalo nggak boleh,bilang dong,"imbuhku seraya melangkah ke ruang tengah.
Aku langsung mengambil remote televisi dan mencari channel yang menyiarkan acara pertandingan sepak bola.
"Dia cantik kan?"rupanya Syafira mengikuti langkahku.Ia mulai menggodaku dengan pertanyaan bawelnya.
"Tapi belum cukup umur,"timpalku sembarangan.
"Heh,dia tuh udah 16 tahun,tau nggak,"cetus Syafira sewot.
"Terus kenapa?"aku bertanya kembali.
"Yeah,siapa tahu Kak Azzam naksir dia.Aku bisa jadi mak comblang lho,"tawar adikku seraya tersenyum manis."Tapi ini nggak gratis alias pake tarif,"imbuhnya.
Aku tertawa geli.Aku segera mengacak-acak rambut adikku dengan gemas.
"Udah sore tuh,cepetan mandi sana,"suruhku kemudian mengalihkan topik pembicaraan.
########
Namun aku tak bisa selamanya menyembunyikan keberadaanku.Suatu sore aku bertemu Nina.Saat itu rumah kosong.Kedua orang tuaku pergi kerumah saudara.Dan Syafira turut bersama mereka.
Sebenarnya aku ragu untuk membuka pintu.Tapi aku tak tega membiarkan gadis itu terlalu lama berdiri didepan pintu.
Gadis itu sangat terkejut saat melihatku membuka pintu.Bukan dia saja,bahkan semua orang juga akan sama terkejutnya saat melihatku pertama kali.
"Maaf,Syafira sedang pergi.Kalo kamu mau,kamu bisa nitip pesen,"ucapku berusaha sesantai mungkin.Meski detak jantungku berdetak tidak karuan.
"Kamu siapa?"tanya gadis itu polos.Bola matanya bergerak melihatku dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Aku Azzam,kakak Syafira,"jelasku.
Aku bisa merasakan tatapan anehnya saat memandang diriku.Namun aku sudah terlalu terbiasa dengan pandangan seperti itu.
"Oh..."gadis itu tersenyum.Manis.Nyaris merontokkan jantungku.
Kamu mau nitip pesen?"ulangku kemudian.
Namun gadis itu menggeleng.Menolak tawaranku.
"Nggak usah.Aku bisa sms dia nanti,"ucapnya."Kalo gitu aku pulang dulu,"pamitnya seperti terburu-buru.
Aku hanya bisa menatap punggung Nina sore itu sampai menghilang dibalik tembok pagar rumahku.
Dia benar-benar belahan jiwaku,gumamku tak sadar.Gadis itu benar-benar seperti gadis impianku selama ini.Tapi apa mungkin orang sepertiku bisa memiliki dirinya.
Aku menutup pintu dan kembali ke kamarku.Seperi biasa.Bergumul dengan buku-buku Kimia dan Fisika.
Tapi bayangan Nina terus menerus berputar di otakku.Membuatku kehilangan konsentrasi belajar.
"Kriiiiing...."
Aku terloncat dari atas tempat tidur dan segera menyambar gagang telepon.
"Halo..."ucapku.
"Zam,"itu suara mama."Kamu mau dibawain oleh-oleh apa?Kita lagi di jalan nih,"
"Terserah mama aja deh,"sahutku malas.Sementara suara Syafira terdengar sedang berceloteh dibelakang telepon.Ia menawarkan berbagai macam makanan seperti pedagang.
"Kok terserah mama?"
"Ya apa aja boleh,yang penting manis,"ucapku akhirnya.
"Oke,"sahut mama."Oh ya jangan lupa nyalain lampu dan kunci pintu pagar,"
Aku segera mengiyakan.Lantas menutup telepon.
#######
"Kak Azzam!"
Teriakan Syafira membuatku seketika terbangun dari tidur siang.Anak itu sering berteriak mengagetkanku,padahal aku sudah sering kali memberitahunya kalau aku paling benci dikagetkan seperti itu.Tapi tetap saja.Kelakuannya tidak berubah.
"Apaan sih Fir?"tanyaku sewot.Aku meraih kaca mataku dari atas meja lantas memasangnya agar bisa melihat adikku itu dengan jelas.
"Aku mau pergi Kak,"lapornya.
"Ya udah pergi sana,"suruhku seraya kembali berbaring.Rasa kantukku belum terpuaskan.
"Aku pergi bareng Nina,"ucapnya kemudian.
"Kalo bareng Nina terus kenapa?"tanyaku cuek.
"Anterin dong Kak,"rayunya.Tangannya menarik ujung tshirt-ku.
"Biasanya juga pergi sendiri kan?Lagian gimana mau boncengnya?"ucapku malas.
"Kan ada mobil papa,"Syafira tak kehilangan akal.
Aku menarik nafas dalam-dalam.Sebenarnya aku ingin pergi mengantar mereka,tapi aku mana punya keberanian bertemu dengan Nina.Aku takut Nina akan malu punya teman yang kakaknya seorang albino.
"Aku ngantuk,"ucapku beralasan.
"Kakak malu?"tanya Syafira mendesakku.
Aku menatap wajah manis milik Syafira.
Iya,batinku.Aku malu.Aku hanya ingin menjaga perasaanmu dan Nina.Semua orang pasti nanti akan melihatku dengan tatapan aneh.Dan itu pasti akan membuat kalian tidak nyaman.
Aku mengembangkan senyum.
"Kan udah Kak Azzam bilang,kalo Kak Azzam ngantuk,"tandasku kemudian.
Syafira terdiam.Gadis itu tampak berpikir.
"Pergilah,ntar kamu telat.Kasihan Nina,"ucapku lagi.
"Kak..."
"Hm?"
"Apa Kak Azzam menyukai Nina?"
Aku tercekat mendengar pertanyaan adikku.Kenapa ia bisa tahu perasaanku?Apa gelagatku begitu mencolok sehingga begitu mudah untuk dicurigai?
Aku tertawa.
"Kak Azzam jangan ketawa,"tukas Syafira membuatku seketika terdiam.Ia tampak serius menatap wajahku.
"Kak Azzam menyukainya kan?"ulang Syafira sekali lagi.Sorot matanya menatapku tajam.Berharap aku menjawab pertanyaannya dengan kata "iya".
"Maksud kamu apa?"aku mulai mengalihkan perhatiannya."Nina itu kan temen kamu,jadi Kak Azzam udah menganggap dia seperti adik Kak Azzam sendiri,"tandasku sok diplomatis.Padahal tidak.
Syafira tersenyum sinis.
"Sejak kapan Kak Azzam pinter berbohong?"desak Syafira.Tiba-tiba saja ia mengeluarkan sebuah benda dari balik punggungnya.Buku harianku!
Duh Gusti,begitu cerobohnya diriku.Kenapa buku itu bisa jatuh ke tangan adikku sendiri?
"Kak Azzam kenapa menyembunyikan semuanya dariku?"
Aku terdiam.Tak berusaha menjawab ataupun merebut buku itu dari tangannya.Toh ia pasti sudah membaca semuanya.Jadi aku tidak perlu mengatakan apapun padanya.
"Kak,"ia mendekat dan lantas duduk di sebelahku."Setiap orang punya kekurangan.Tapi dibalik kekurangan itu Tuhan juga memberi kita kelebihan.Kak Azzam tau itu kan?"
Lanjutnya lagi....
"Selama ini Kak Azzam selalu menutup diri dan bersembunyi.Kak Azzam merasa minder dan nggak percaya diri.Bahkan Kak Azzam berpikir bahwa Kak Azzam nggak pantas untuk dicintai,"ucapnya."Kak Azzam salah jika berpikir seperti itu.Kak Azzam orang yang baik.Kak Azzam tampan dan sempurna.Dan Kak Azzam pantas untuk dicintai.Kak Azzam denger kata Fira kan?"tutur Syafira panjang.Ucapannya seperti orang bijak dan dewasa.Membuatku merasa berbicara dengan orang asing.
Aku tersenyum mendengar ucapannya.
"Darimana kamu belajar kalimat seperti itu?"gurauku."Kamu seperti motivator aja,"
"Kak Azzam!"ia berteriak seraya menimpuk bahuku keras-keras karena kesal.
"Katanya mau pergi,udah cepetan pergi sana,"usirku dengan nada halus.
Usai kepergian Syafira aku hanya bisa tertegun merenungkan ucapannya.
Adikku memang benar.Tapi berbicara seribu kali jauh lebih mudah daripada melakukan.Dan aku termasuk salah satu pecundang yang tidak bisa melakukan apa yang diucapkan Syafira.
######
Kenyataan buatku memang lebih sering terasa menyakitkan.Sekali lagi aku harus menelan pahitnya kenyataan siapa diriku sesungguhnya.Aku manusia albino yang tersisih dari kehidupan.Aku kalah.Aku pasrah.
Nina tiba-tiba saja menjauh dari kami,aku dan adikku.Alasannya?Sudah pasti karena Syafira telah membocorkan rahasia hatiku kepadanya.Tanpa seizinku pula.
Gadis itu seolah dengan sengaja memutus hubungannya dengan Syafira hanya karena alasan aku menyukainya.Kasihan Syafira.Karena aku dia harus kehilangan seorang sahabat.
Syafira tak pernah berkata apapun tentang Nina.Tapi aku tahu dari semua perbuatannya.Ia merasa bersalah karena telah mengungkapkan isi hatiku pada Nina.Sehingga semua ini terjadi begitu saja.
Padahal perasaanku tak perlu balasan yang sama.Perasaan ku tulus tanpa meminta balasan apapun darinya.Karena aku sangat menyadari siapa diriku.
Untuk kedua kalinya aku meyakinkan diriku untuk tidak jatuh lagi pada seorang wanita.Aku tidak boleh jatuh cinta lagi.Namun hatiku terlalu rapuh dan retak lagi saat aku melihat sosok Nina sore itu.
Gadis itu sedang berdiri ditepi jalan seperti sedang menunggu seseorang.Menunggu angkutan-kah ia?batinku.
Aku ragu. Haruskah aku menghentikan motorku dan mengantarnya pulang,ataukah aku berlalu tanpa menghiraukannya.Tapi apa hanya karena ia menolakku lantas aku tidak peduli padanya?Tampaknya ia juga sedang butuh tumpangan.
Akhirnya aku menghentikan motorku juga.Meski dengan resiko apapun.
"Hai,"sapaku ramah.Mencoba mengabaikan segenap sakit hati dan kekecewaan.
Gadis itu tampak kaget melihat kemunculanku.Tentu saja ia tidak berharap akan bertemu denganku.
"Kamu mau pulang?Biar aku anter,"tawarku."Daripada ntar kamu kemaleman,"imbuhku lagi.
"Nggak usah,Kak."Bahasa penolakannya sangat halus dan merdu di telingaku."Aku lagi nunggu jemputan,"tandasnya .
Penolakan yang manis,batinku sembari menelan ludah.Ia pasti jijik naik diboncengan motorku.
"Oh..."aku hanya bisa ber-oh ria.Tanpa bisa mengucapkan komentar apapun.
"Nina!"
Aku dan Nina menoleh serempak ke jalanan.Seorang cowok tampan seumuranku tampak menghentikan motornya lantas turun dan mendekat ke arah kami.Siapa dia?Pacar Nina-kah?
Cowok itu menatapku dengan pandangan aneh dan penuh curiga.Ia mengamati tubuh kurusku dari atas hingga bawah.Seperti sedang menghakimi kekurangan fisikku.
"Jadi ini orang yang suka gangguin kamu?"tanya cowok itu seraya menatapku tajam."Kamu nggak liat siapa diri kamu?Mana pantes kamu jadi pacar Nina?"sindirnya menusuk perasaanku.
"Maaf, aku cuma nawarin tumpangan ke Nina.Apa itu salah?"aku mencoba memberanikan diri berargumen dengan cowok itu.
"Nggak tau diri banget sih kamu,"ucapnya sembari maju selangkah ke hadapanku.Seolah sedang bersiap untuk berkelahi denganku.
"Apa yang ingin kamu lakukan?"tanyaku seraya bersiap untuk membendung serangannya.
Cowok itu tersenyum menyeringai.
"Memberimu pelajaran,"tandasnya.Tiba-tiba saja ia mengepalkan tinjunya ke arah dadaku.
Aku terjerembab ke belakang seketika.Jujur aku tidak punya basic bela diri sama sekali.
Tubuhku juga rapuh.Sekali pukul saja aku sudah kesakitan luar biasa.Namun aku berusaha bangun meski harus menahan sakit didadaku.
Diluar dugaanku,cowok itu malah melanjutkan serangannya terhadapku.Ia melayangkan pukulannya bertubi-tubi ke wajah dan tubuhku. Dan aku tidak bisa menghindar lagi.Aku pasrah dan tak melawan.
Aku terkapar ditanah beberapa menit kemudian.Tanpa daya.
Namun aku sempat melihat Nina berteriak memanggil namaku dan ia berusaha menahan cowok itu agar tidak memukulku lagi.Dan beberapa saat kemudian cowok itu menyeret Nina pergi dari tempat itu.
Dadaku sesak. Sepertinya saluran pernafasanku tersumbat. Penyakit itu kambuh lagi setelah sekian waktu lamanya.
Oh tidak!Aku meletakkan tasku diatas motor.Bagaimana aku bisa menjangkau benda itu sementara aku tak bisa menggerakkan tubuhku barang seinchipun.Pasti tulangku ada yang patah.
Aku nyaris tak bisa menarik nafas.Bagaimana ini?Siapa yang akan menolongku?
Tiba-tiba saja wajah mama, papa, dan Syafira muncul satu persatu di benakku.Hanya merekalah yang benar-benar tulus mencintaiku.
Maafkan aku,batinku tersendat.Aku juga tidak akan menyalahkan Nina atas kejadian ini.
Mataku terpejam perlahan. Begitu juga nafasku terhenti begitu saja.....

Minggu, 09 Juni 2013

WHO'S THE GIRL BESIDE YOU ?


Seorang pemuda bertubuh kurus dan tinggi datang ke coffe shop siang ini. Sebuah mantel tebal dan kumal membungkus tubuh rapuhnya.Warnanya hitam dan telah memudar.Bekas-bekas salju nampak menempel pada kerah dan lengan mantelnya.
Wajahnya nampak beku dan tekun tertunduk.Sementara kedua telapak tangannya ia sembunyikan didalam saku mantel kumalnya.Sama sekali tidak ada yang istimewa dari dirinya.
Heather telah melihat kunjungan pemuda itu beberapa kali ke coffe shop miliknya.Ia menganggap pemuda itu sebagai langganan semenjak kunjungan keduanya ke tempat itu.
Namun Heather yang tak terlalu sibuk,sering memperhatikan aktifitas para pengunjung coffe shop miliknya.Mulai dari orang tua, remaja bahkan anak-anak sekolah yang sering berkunjung kesana,tak luput dari pengawasan matanya.
Namun beberapa waktu terakhir,Heather sering mengamati seorang pemuda kurus bermantel hitam kumal itu.
Pemuda itu selalu memakai mantel yang sama,ekspresi wajah yang sama.Dan ia juga selalu memesan minuman yang sama, coffe latte tanpa krim.
Sebenarnya tak ada yang aneh atau patut dijadikan alasan curiga.Semua pengunjung juga akan melakukan hal yang sama.Duduk satu atau dua jam seraya menikmati minuman dan suasana hangat didalam coffe shop itu.
Tapi pemuda itu berbeda.
Lima menit setelah pesanannya diantar, sorang gadis berwajah oriental akan datang setelah itu.
Gadis itu tampak cantik memakai cardigan berwarna biru muda.Rambutnya yang hitam dan panjang terurai lepas menjuntai ke punggungnya.Namun sayang wajahnya pucat.Mungkin karena cuaca diluar tidak bersahabat dengannya.Lagipula pakaian yang dikenakannya tak cukup tebal untuk bisa menahan hawa dingin yang dibawa musim tahun ini.
Gadis itu akan duduk tepat disebelah tempat pemuda itu.Ia tak menegur atau mengajak pemuda itu berbincang.Ia akan membisu sepanjang waktu seraya memandangi pemuda itu tanpa henti.
Bagi Heather ini sangat aneh.Karena pemuda itu juga melakukan hal yang sama seperti gadis itu.Pemuda itu hanya diam seraya sesekali meneguk minumannya tanpa pernah menoleh ke arah gadis itu sama sekali.
Setelah ia menghabiskan minumannya ia akan bergegas pergi tanpa mempedulikan gadis itu.Seakan-akan gadis itu tidak pernah ada.Atau mungkinkah gadis itu tidak terlihat oleh pemuda itu?
Hal inilah yang selalu dirisaukan Heather akhir-akhir ini.Sebenarnya ia tidak ingin memikirkannya,tapi pemuda itu selalu datang ke coffe shop miliknya.Bagaimana mungkin hal ini tidak mengusik benaknya.
Mungkinkah ini sebuah misteri?batin Heather saat pemuda itu datang lagi mengunjungi coffe shop.
"Apa kau tidak mencurigai pemuda itu?"tanya Heather berbisik pada Jannet,salah seorang pegawainya.
Jannet mengernyitkan dahi seraya melayangkan pandangannya ke segenap penjuru coffe shop.Mencari sosok pemuda yang dimaksud oleh sahabat sekaligus bosnya.Tapi ada beberapa pemuda yang sedang duduk di bangku pengunjung.
"Pemuda yang mana?"tanya Jannet ingin tahu.
"Pemuda yang memakai mantel hitam,"bisik Heather seraya menunjuk ke sudut ruangan.Seorang pemuda bermantel hitam kumal tengah duduk termenung menunggu minumannya datang.
Jannet mengangguk.
"Kau menyukai pemuda seperti itu?"tanya Jannet penuh kecurigaan.
"Bukan,"sahut Heather seraya menepuk pundak sahabatnya.
"Lantas...."pancing Jannet masih tak mengerti."Apa yang aneh dari orang semacam dia?"tanyanya seraya mengamati pemuda itu dari ujung sepatu hingga ujung rambutnya.Semua terlihat biasa,tak ada yang istimewa.Apa hanya karena pakaian kumalnya lantas Heather menganggapnya aneh?batinnya menebak.
"Perhatikan,"ucap Heather antusias."Lima menit setelah minumannya diantar pasti ada seorang gadis datang dan duduk di sebelah pemuda itu.Gadis itu tidak mengatakan apa-apa dan begitu juga pemuda itu.Mereka saling diam sampai pemuda itu menghabiskan minumannya,dan pergi tanpa pernah berbincang dengan gadis itu.Bahkan pemuda itu sama sekali tidak menatap gadis itu.Seolah gadis itu tidak nampak oleh matanya,"tutur Heather panjang.Penjelasannya cukup rinci dan jelas.
Heather menatap pemuda itu tanpa berkedip seraya menyelesaikan ceritanya.Namun tak ada terdengar respon dari sebelahnya.
"Jannet...."desisnya geram.Gadis bernama Jannet itu telah lenyap dari sisinya.
Sejak kapan ia menghilang?batin Heather kesal.Padahal ia sudah susah payah menceritakan hasil penemuannya,tapi sia-sia.Karena Jannet telah kabur duluan ke toilet.Tanpa pamit pula.
Dugaan Heather benar.Seorang gadis datang dan duduk disebelah pemuda kurus itu.Seperti biasa.Tanpa percakapan sama sekali.Sepertinya mereka terpisah oleh satu dimensi dunia yang berbeda.
Setelah menghabiskan minumannya,pemuda itu pergi begitu saja tanpa melihat ke arah gadis itu.Ia berjalan di bawah salju yang turun dengan langkah lemah dan berat.
Entah kenapa Heather seperti tergelitik untuk mengetahui kehidupan pemuda itu.Sepertinya ada sesuatu yang terjadi pada pemuda itu.Tapi kira-kira peristiwa apa?
"Apa yang hendak kau ceritakan tadi?"Jannet tiba-tiba saja muncul dibelakang tubuh Heather.Membuat gadis itu nyaris melompat karena terkejut.
"Maaf,tadi perutku sakit...."ucap jannet seraya mengejar langkah sahabatnya.
Heather tak menyahut.Ia masih kesal tampaknya.
"Aku minta maaf,"ulang Jannet lebih keras dari sebelumnya.
"Aku lapar.Buatkan aku makanan,"suruh Heather terdengar memaksa.
"Baiklah,"seru Jannet cepat.
~~~~%%~~~~
"Aku akan pergi sebentar!"Heather menyambar mantel miliknya lantas berlari keluar dari coffe shop tanpa menunggu jawaban pegawainya.
Pemuda bertubuh kurus itu tak lepas dari pengawasan mata Heather.Ia membuntuti pemuda itu dari kejauhan.Juga gadis berwajah pucat yang kini melangkah beberapa inchi dibelakang pemuda itu.
Hather berhenti dan buru-buru menyembunyikan tubuhnya dibalik pohon saat pemuda itu sampai di tikungan jalan.
Gadis berpakaian cardigan biru muda itu menghentikan gerakan kakinya.Ia membiarkan pemuda itu melanjutkan langkahnya sendirian.Namun sepasang mata sempitnya mengikuti arah pemuda itu pergi.
Aneh,batin Heather terpukau.Kenapa ia tidak mengikuti pemuda itu sampai rumahnya?
Lantas siapa yang harus Heather ikuti sekarang?Gadis atau pemuda itu?
Namun ketika Heather menoleh kearah gadis oriental itu,mendadak saja ia terkejut.Gadis itu telah lenyap dari tempatnya berdiri.Kemana dia?Kenapa ia menghilang begitu saja?
Heather menoleh kesana kemari mencari keberadaan gadis misterius itu.Ia benar-benar menghilang.Seperti ditelan bumi begitu saja.
Pemuda itu tampak masuk ke dalam sebuah bangunan kecil dan tua saat Heather melanjutkan penyelidikannya.
Heather mengendap-endap.Ia melongok mengintip kedalam melalui sebuah jendela kaca yang sudah tampak buram karena usia dan cuaca.
Didalam sana nampak beberapa lukisan terpasang di dinding.Tidak itu saja.Di lantainya juga ada beberapa buah lukisan bersandar pada tembok.
Rupanya tempat itu adalah sebuah galeri.Semenjak pindah ke daerah ini,ia baru tahu jika ada sebuah galeri lukisan di sekitar tempat tinggalnya.
Karena keingintahuannya yang terlalu mendalam, tanpa sadar gadis itu bergerak perlahan membuka pintu galeri dan menyeruak masuk kedalam.
Heather berdecak kagum melihat lukisan-lukisan yang terpajang disana.Apa pemuda itu yang melukisnya,batinnya mengagumi hasil karya yang tengah ia lihat sekarang.Ternyata dibalik penampilannya yang sangat sederhana tersimpan bakat yang luar biasa.
Tiba-tiba saja mata Heather menumbuk sesuatu disudut ruangan.Ia bergerak mendekat dan tertegun menatap sebuah lukisan yang terpajang disana.
"Lukisan ini...."gumamannya terhenti.
Benar-benar tak bisa dipercaya,batinnya.Seorang gadis cantik berwajah oriental tampak tersenyum kaku tergores sempurna di atas kanvas.Tidak salah lagi.Gadis dalam lukisan itu memang gadis yang sama,yang selama ini datang ke coffe shopnya bersama pemuda itu.
Berarti mereka saling mengenal satu sama lain,tapi kenapa mereka tidak saling bertegur sapa saat bertemu.Apa benar mereka terpisahkan oleh dimensi dunia yang berbeda.
Dan hanya Heather yang bisa melihat gadis itu?
Heather tergagap saat menyimpulkan hal yang mustahil itu.
Tidak mungkin seperti itu,gumamnya tak terdengar.
Gadis itu mundur selangkah demi selangkah.Ia hendak meninggalkan tempat itu setelah menyadari ada beberapa misteri yang tersimpan dalam lukisan itu.Misteri yang seolah ingin menyeretnya lebih jauh lagi.
"Kau siapa?"
Jantung Heather nyaris melompat keluar mendengar sebuah teguran yang mengagetkan dirinya.Ia menoleh dan mendapati pemuda yang sama dengan pemuda yang selalu berkunjung ke coffe shopnya akhir-akhir ini.
Ia tak menyahut.Wajahnya pucat dilanda ketakutan.
Heather buru-buru menerobos keluar dari galeri itu tanpa mengucapkan sepatah katapun.Ia berlari kencang meninggalkan tempat itu dan kembali ke coffe shopnya.
~~~~%%~~~~
Langkah-langkah Heather kian melambat dan akhirnya terhenti sama sekali.Kakinya terpaku kaku di tanah dan tak bisa digerakkan sama sekali. Sepasang matanya menatap lurus kedepan.Ke arah sosok tubuh yang kini berdiri beberapa jengkal darinya.
Gadis bercardigan biru muda itu....
Kaki Heather ingin bergerak melesat sejauh mungkin dari tempat itu.Tapi tak bisa.Ia bahkan tak bisa menggerakkan kakinya barang seinchipun.
"Jangan takut..."ucap gadis misterius itu seraya maju selangkah kedepan.
Tangan dan kaki Heather gemetar karena takut.Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa selain menunggu apa yang akan dilakukan gadis misterius itu.
"Tenanglah,aku tidak akan menyakitimu,"ucap gadis itu mencoba menenangkan hati Heather."Aku hanya ingin meminta tolong padamu,Heather."
Heather menghirup nafas dalam-dalam dan menghilangkan ketakutannya sedikit demi sedikit.Sesaat kemudian mereka telah berpindah tempat ke bangku taman agar bisa berbincang dengan nyaman.
"Namaku Lyn,"ucap gadis oriental itu memperkenalkan diri.Dan rasanya Heather tidak perlu memperkenalkan diri karena Lyn sudah tahu namanya.
"Kau pernah melihatku sebelumnya,"lanjut Lyn tanpa menoleh.
"Iya,"sahut Heather kaku.
"Aku dan pemuda itu saling mencintai,"ungkap Lyn kemudian.Memulai kisahnya."Lima tahun yang lalu kami sempat bertunangan dan ingin menikah.Tapi kenyataan tidak mengizinkan kami untuk bersama.Aku menderita sakit yang parah dan sudah terlambat untuk melakukan pengobatan.Aku meninggal pada suatu hari di musim dingin,"tutur Lyn membuat Heather terkejut seketika.
"Jadi kau....?"
"Kau benar,"timpal Lyn cepat."Aku memang roh yang sedang bergentayangan."
"Tapi kenapa kau bergentayangan?"tanya Heather polos.
"Karena pemuda itu teramat mencintaiku sehingga ia belum bisa menerima kenyataan bahwa aku sudah meninggal.Itulah sebabnya aku belum bisa meninggalkan dunia ini,"jelasnya.
Heather mengernyitkan dahinya.
"Jadi kisah semacam itu benar-benar ada?"tanyanya setengah bergumam.Sementara Lyn mengangguk menanggapi pertanyaan Heather.
"Maka dari itulah aku ingin menitipkan pesan pada pemuda itu,"ucap Lyn kemudian.
"Kenapa kau tidak mengatakan sendiri padanya?"tanya Heather bermaksud menghindari permintaan tolong Lyn.
"Karena dia tidak bisa melihatku,"timpal Lyn cepat.
"Oh,maaf aku lupa,"ucap Heather bodoh."Lalu apa yang ingin kau sampaikan padanya?"
"Aku ingin dia merelakan kepergianku dan memulai hidup baru,"ucap Lyn."Aku ingin ia mencari kebahagiaannya sendiri."
Heather mengerti.
"Baiklah,aku akan menyampaikan pesanmu padanya,"ucap Heather kemudian.
"Terima kasih,"sambut Lyn dengan gembira."Maaf aku tidak bisa membalas kebaikanmu,"
"Tidak masalah,"
Lyn menatap punggung Heather sampai ia masuk kedalam coffe shop.Ada secercah bahagia terbersit dalam senyumnya.
~~~~%%~~~~
Heather mengetuk pintu galeri itu perlahan.Ada rasa ragu dan takut menyelimuti pikirannya,tapi ditepisnya sebisa mungkin.Amanat dari orang yang telah meninggal sangat penting dan tidak boleh diabaikan begitu saja.Lagipula kasihan Lyn....
Pintu galeri terkuak perlahan.Seorang pemuda bertubuh kurus berdiri dihadapan Heather ketika pintu itu telah terbuka.Pemuda yang sama dengan yang biasa ia lihat disudut coffe shop.
Pemuda itu mengernyitkan dahinya manakala menemukan seorang gadis yang kemarin masuk kedalam galerinya tanpa permisi.
"Maaf,"ucap Heather pelan.Ia segera mengajukan maaf mengingat kelakuannya kemarin.
"Kau siapa?"tanya pemuda itu sembari mengamati perawakan Heather."Bukankah kau yang kemarin...."
"Benar,"timpal Heather cepat."Aku ingin meminta maaf atas kelancanganku masuk kedalam galerimu tanpa permisi,"imbuhnya seraya tersenyum kaku.
Pemuda itu tak merespon permintaan maaf Heather.Ia teringat sesuatu.Saat Heather menatap lukisannya dengan sangat serius.Seolah-olah gadis itu mengenal sosok didalam lukisannya.
"Masuklah,"suruh pemuda itu beberapa waktu kemudian."Kau ingin melihat lukisan itu lagi bukan?"ia mulai menebak isi pikiran Heather.
Heather mengikuti langkah pemuda itu masuk kedalam galeri.Tanpa sepatah kata penjelasan.
"Oh ya siapa namamu?"tanya pemuda itu.
"Heather."
Gadis itu telah berdiri tertegun didepan lukisan gadis berwajah oriental bernama Lyn yang ia temui kemarin.
Lukisan itu benar-benar mirip,batin Heather kagum.Karena cinta orang bisa melakukan apa saja.
"Siapa dia?"gumam Heather bertanya.Sepasang matanya beralih kearah pemuda itu yang rupanya enggan untuk mendekat ke tempatnya berdiri.
"Bukan siapa-siapa,"sahut pemuda itu datar.Ia pura-pura sibuk membenahi cat minyak yang berserakan di atas meja.
Heather mendesah pelan.Perlahan ia melangkah mendekat ke arah pemuda itu.
"Kau tahu,Lyn sangat benci keadaanmu sekarang,"tandas Heather sengaja memancing.
Pemuda itu mengangkat dagunya dan beralih menatap ke arah Heather.Tatapan matanya penuh dengan sejuta tanda tanya.
"Aku bertemu arwahnya kemarin,"ungkap Heather.
"Apa yang kau katakan?"tanya pemuda itu seraya mengguncang bahu Heather.
"Itu memang benar,"sahut Heather."Makanya aku datang kesini untuk menyampaikan pesannya."
"Pesan apa?"desak pemuda itu tak sabar.
Heather menghela nafas sebelum berbicara.
"Dia hanya ingin kau merelakan kepergiannya dan memulai hidup yang baru,"tandas Heather sembari menatap mata sayu milik pemuda itu.
Pemuda itu tampak terguncang mendengar penuturan Heather.Ia tertegun seraya menatap kosong ke arah lantai.
"Dia ingin kau mencari kebahagiaanmu sendiri,"lanjut Heather.
Pemuda itu belum bergerak dari keterkejutannya.
"Apa yang kau katakan itu benar?"tanya pemuda itu setengah tak percaya.
"Kau tahu,"lanjut Heather lagi."Setiap kau datang ke coffe shop,Lyn juga datang.Dia duduk disebelahmu sampai kau selesai dan pergi."
Pemuda itu menggerakkan bola matanya ke kanan dan ke kiri.Seperti orang kebingungan.Linglung.
"Lyn...."desisnya.Mendadak matanya berkaca-kaca.
Dan Heather hanya bisa tertegun disebelah pemuda itu.Ia bisa merasakan betapa pedih hati pemuda itu.
~~~~%%~~~~
Tiga bulan telah berlalu semenjak hari itu.Dan Heather tidak pernah melihat kehadiran pemuda itu di coffe shopnya.Ia juga tak pernah berkunjung ke galeri itu.Karena ia berpikir tugasnya untuk menyampaikan pesan Lyn telah ia laksanakan.
"Kemana pemuda yang selalu kau bicarakan itu?"suara Jannet mengusik telinga Heather yang tengah termangu dibalik mesin kasir.Gadis itu hanya mendesah mendengar pertanyaan sahabatnya.
Jannet tersenyum pahit.
"Sebaiknya kau telpon Ted dan ajak dia untuk berbaikan kembali,"ucap Jannet kembali.Mengungkit nama mantan kekasih Heather.
"Aku sudah melupakannya,"sahut Heather terdengar ketus.Antara dia dan Ted memang sudah berakhir sejak lama.
Jannet tak bersuara lagi.Ia sedang sibuk meracik kopi.
"Apa kau menyukai pemuda berpakaian kumal itu?"Jannet melanjutkan perbincangan beberapa saat kemudian.
Heather menggeleng.
"Aku hanya ingin tahu keadaannya,"gumam gadis itu.Sesungguhnya ia khawatir jika pemuda itu menghancurkan dirinya atau yang lebih parah bunuh diri.Dan Heather tidak mau itu terjadi.
"Oh ya,aku hampir lupa,"seru Jannet."Ada titipan di meja kerjamu.Sepertinya sebuah undangan.Entah dari siapa,"
Undangan?Heather beranjak ke meja kerjanya dan mendapati selembar kertas putih tergeletak disana.
Pameran lukisan?gumamnya heran.Seingatnya ia tidak punya kenalan pelukis.Tapi namanya jelas-jelas tertulis disana.
"Jannet,"teriaknya."Kau tahu siapa yang mengirimkan undangan ini?"tanya Heather.
"Tidak!"
Heather tertegun seraya memutar otak.Penasaran.
"Sebaiknya kau datang saja kesana agar pertanyaanmu terjawab,"usul Jannet."Lagipula besok kau tidak ada acara kan?"
Jannet benar,batinnya.
"Siapa tahu kau akan bertemu pangeran tampan dan kaya raya disana,"goda Jannet seraya tersenyum.
"Tapi aku bukan Cinderella..."sahut Hether seraya terbahak.
"Oho...aku akan mengubahmu jadi Cinderella!"seru Jannet seraya mengibaskan tangannya seolah ibu peri yang sedang mengayunkan tongkat sihirnya.
Dan meledaklah tawa mereka berdua.
~~~~%%~~~~
"Hai,Heather."
Gadis itu nyaris terlompat karena kaget mendengar teguran asing itu.Semula ia sibuk menatap sebuah lukisan yang terpajang dihadapannya.Karena tidak ada satupun orang yang ia kenal di tempat pameran.
Seorang pemuda tampan memakai jas cokelat berdiri dihadapan Heather.Ia menyunggingkan senyum terbaiknya untuk gadis itu.
Heather tersenyum kaku.Apa ia pangeran tampan dan kaya raya seperti harapan Jannet untuknya?
"Kau masih ingat aku?'tanya pemuda itu mencoba membuka ingatan Heather.
Heather terdiam berpikir.Mencoba mengingat sosok yang kini berdiri dihadapannya.
"Kau...."sepertinya gadis itu telah menemukan ingatannya tentang pemuda itu.
"Ya,ini aku,"ucap pemuda itu senang.
Heather tersenyum.
"Lama tak melihatmu.Apa kabar?'tanya Heather kemudian.
"Baik,"sahut pemuda itu."Kau sendiri?"
"Seperti yang kau lihat.Aku baik-baik saja,"ucap Heather bersemangat.
"Oh ya,selamat datang di pameranku.Kau suka?"Pemuda itu mengajak Heather berkeliling melihat hasil karyanya.
"Suka,"sahut Heather senang."Hm...tapi apa aku boleh bertanya sesuatu?"
"Boleh."
"Sampai sekarang aku belum tahu namamu,"tandas Heather seraya melirik pemuda disebelahnya.
Pemuda itu tertawa renyah.Ia baru menyadari jika ia melewatkan perkenalan dengan gadis itu.
"Maaf,"tuturnya."Perkenalkan,namaku Key.Aku tidak tahu apa yang dipikirkan orang tuaku saat memberiku nama itu.Mungkin saja ketika aku dilahirkan mereka kehilangan kunci rumah,"pemuda itu tergelak usai bercerita.Begitu juga dengan Heather.
"Tapi aku senang melihat keadaanmu jauh lebih baik dari sebelumnya,"ungkap Heather beberapa saat kemudian.
"Benarkah?"tanya Key seraya tersenyum.
"Tentu saja."
"Semua demi Lyn,"ucap Key."Terima kasih telah hadir dan menjadi penghubung diantara kami berdua."
"Sama-sama."
~~~~%%~~~~
Heather sangat antusias saat bercerita tentang Key dan pameran lukisannya pada Jannet.Bahkan matanya tampak berbinar .cerah saat menyebut nama Key.Gadis itu tak pernah seperti ini semenjak putus dari Ted.
"Harusnya kau ada disana,"tutur Heather bersemangat."Kau tahu,dia sangat berbeda dan dia tampan,"ucap Heather setengah berbisik.
Jannet hanya tersenyum tipis seraya melukis sosok seorang pemuda kurus berpakaian kumal di layar benaknya.
"Apa kau menyukai pemuda itu?"tanya Jannet sengaja memancing reaksi Heather.
"Apa?"ulang Heather tercekat.Ia tak menduga Jannet akan menembaknya dengan pertanyaan semacam itu.
"Kau tidak pernah bercerita tentang laki-laki dengan bersemangat seperti ini,Heather,"ucap Jannet mengingatkan sahabatnya.
"Benarkah?"tanya Heather seperti linglung.
Reaksinya malah membuat Jannet meledakkan tawanya.
"Kau tidak menyadarinya?"pancing Jannet.
Heather menggeleng.
"Bodoh,"maki Jannet seraya beranjak dari kursinya.
"Mungkin,"Heather meralat ucapannya secepat mungkin seraya menyusul pergerakan tubuh Jannet.
"Mungkin?"ulang Jannet seraya membalikkan tubuh dan menatap sahabatnya."Kau tidak yakin pada perasaanmu sendiri?'Jannet heran melihat tingkah Heather.Bukan pertama kali ini saja ia jatuh cinta.Kenapa ia tidak bisa mengenali perasaannya sendiri?Ini benar-benar aneh.
"Tapi kabar baiknya Key akan mentraktirku makan malam akhir pekan ini,"tutur Heather setengah bersorak.
"Benarkah?"Jannet mendelikkan matanya.Tak percaya.
"Apa mataku sedang berbohong?"timpal Heather sembari mendekatkan wajahnya ke arah Jannet.
"Kupikir tidak,"sahut Jannet seraya menggeleng.Gadis itu segera meraih tubuh sahabatnya."Selamat,Heather.Semoga kau menemukan pasangan yang tepat,"ucapnya menepuk pundak Heather.
"Semoga begitu,"
~~~~%%~~~~
Jannet tersenyum bahagia melihat Heather dan Key tengah berbincang disudut coffe shop.Sesekali mereka bercanda dan tertawa lepas.Mereka sedang dilanda kasmaran!
Jannet senang, akhirnya Heather menemukan belahan hatinya.Dan ia merasa Key sangat cocok untuk Heather.Begitu juga sebaliknya.Hether memang layak mendapatkan kebahagiaan.Karena gadis itu baik dan sudah sepantasnya ia mendapatkan apa yang ia ingnkan.
"Jannet!"
Jannet terloncat kaget karena tiba-tiba saja Heather memeluk punggungnya dari belakang.Tingkahnya persis seperti anak kecil.
"Kau ingin aku mati mendadak karena serangan jantung?"celutuk Jannet kesal.Ia memasang wajah cemberut.
"Hei,maaf.Aku tidak bermaksud seperti itu,"tandas Heather menyesal."Coba kau tebak,apa yang dikatakan Key padaku tadi,"ucap Heather dengan wajah berseri.
"Memang apa?"
"Dia mengajakku untuk menikah,"seru Heather berbunga-bunga.
Jannet melongo.Tak percaya.
"Benarkah?"tanya Jannet antusias.
Heather mengangguk girang.
"Dan kau menjawab apa?"tanya Jannet lebih lanjut.
"Aku menjawab iya,"kedua sahabat itu berpelukan beberapa saat kemudian.Jannet juga turut bahagia mendengar pengakuan sahabatnya.
"Oho...akhirnya kau akan menikah juga,"ucap Jannet seraya tersenyum senang.
"Ya, akhirnya,"ucap Heather."Setelah setahun berlalu,akhirnya kami akan menikah.Kau tahu,ini seperti mimpi.Dan aku tidak bisa berkata apa-apa lagi karena terlalu bahagia."
Heather tak lepas tersenyum karena terlalu bahagia membayangkan kebahagiaan yang bakal diraihnya bersama Key.Setelah menjalin cinta selama setahun akhirnya Key melamar gadis itu.
~~~~%%~~~~
Heather mematut dirinya di cermin.Ia nyaris tak percaya jika gadis yang sedang mengenakan gaun pengantin itu adalah dirinya.
"Kau benar-benar cantik,"
Pujian itu terdengar dari balik punggung Heather.Gadis itu terkejut namun langsung menyunggingkan senyum termanisnya.Key langsung mendaratkan sebuah kecupan di pipinya.
"Aku gugup,Key,"keluh Heather jujur.Sesaat lagi mereka akan melangsungkan ikrar suci pernikahan.
"Apa kau pikir aku juga tidak gugup?"tanya Key seraya menyentuh pipi gadisnya."Dua orang gugup lebih baik daripada gugup sendirian,kau tahu itu?"
Heather tersenyum mendengar ucapan Key.
"Terima kasih,"ucap Heather kemudian.
"Kenapa berterimakasih?"tanya Key seraya mengerutkan dahinya."Apa aku memberimu sesuatu?"
Dasar Key.Disaat seperti ini ia masih sempat bercanda,batin Heather.
"Terima kasih karena kau telah memberiku kesempatan untuk merasakan saat-saat tegang seperti ini,"ucap Heather serius.Namun justru membuat Key meledakkan tawanya.
"Kenapa tertawa?"tanya Heather sewot.
"Aku tidak tertawa,"sahut Key cepat meredakan tawanya.
"Lantas apa itu bukan tertawa namanya?"tanya Heather sembari menimpuk pundak Key dengan mesra.
"Hei,apa yang sedang kalian lakukan?!"
Teriakan Jannet mengacaukan kemesraan itu.Heather buru-buru menepis tangan Key yang melingkar di pinggangnya.
"Acaranya akan segera dimulai.Cepatlah,"suruh Jannet setengah berteriak.
"Kita harus cepat kesana,"ucap Heather pada Key.Namun mendadak gadis itu merasakan sesuatu yang menusuk diperutnya.
"Kau kenapa Heather?"tanya Key panik manakala melihat gadis itu memegangi perutnya seraya merintih kesakitan.Wajahnya berubah pucat seketika.
"Perutku...."
Tiba-tiba tubuh Heather ambruk ke lantai.Rupanya rasa sakit yang menusuk di perutnya semakin menjadi dan ia tak kuasa untuk menahannya.
"Heather!"
~~~~~%%~~~~
Tubuh Heather masih terbaring di atas tempat tidur.Sebuah selang infus terpasang ditangannya.Ia tertidur dan tidak merasakan kesakitan lagi di perutnya.
Key berdiri terpaku didepan pintu kamar Heather.Dari balik kaca ia melihat gadisnya terbaring lemah.
Dada pemuda itu terasa sesak.Rasanya sulit untuk menghirup nafas dalam-dalam.
Pernikahan mereka tertunda karena Heather harus dilarikan ke rumah sakit secepat mungkin.Bahkan pemuda itu masih mengenakan tuxedo.
Dokter telah memberi tahu diagnosa penyakit Heather padanya.
Kanker usus....
Kejadian ini seperti kembali mengarungi waktu ke enam tahun yang lalu.Lyn juga pernah terbaring disana.Dengan penyakit yang sama.Dan beberapa bulan kemudian ia meninggal.
Apa salahku,Tuhan?gumam Key.Kenapa orang-orang yang kucintai harus menderita penyakit yang sama?Ini sungguh tidak adil.
Sebutir air bening jatuh ke permukaan lantai.Airmata Key.
Berjuta penyesalan mulai menyerang dirinya bertubi-tubi.Kutukan atau hukumankah ini?
Apakah ia akan kehilangan gadis yang ia cintai untuk kedua kalinya?
"Tidak!!"jeritnya seraya mengepalkan jemarinya ke tembok.Takdir tidak boleh merenggutnya begitu saja.Takdir tidak boleh berhenti sampai disini.
Heather tidak boleh mati! Bagaimanapun caranya dan semahal apapun biayanya gadis itu harus sembuh.
"Heather kau harus sembuh,"isak Key ."Kau harus terus hidup dan menjadi ibu dari anak-anakku.Kau dengar itu?"
Pemuda itu jatuh terduduk ke atas lantai dengan uraian air mata yang merembes dipipinya......