Jumat, 30 Oktober 2015

Tuhan, Aku Jatuh Cinta!


"Karen?!"
Suara itu terdengar tak yakin saat meneriakkan namaku.Namun aku menoleh juga dengan gerak refleks dan urung memenuhi keranjang belanjaanku dengan minuman bersoda.
"Kamu Karen kan?"tanya seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap dihadapanku.Tersenyum manis dengan kedua alis yang nyaris bertaut.
Aku mengangguk kecil.Ingatanku tidak begitu buruk dan aku masih bisa mengenali sesosok tubuh yang kini berdiri tepat dihadapanku sekarang.
"Alan?"gumamku.
Ia manggut-manggut.Sedang senyum telah terhapus dari bibirnya.
"Nggak nyangka kita bisa ketemu disini setelah sekian tahun lulus SMU,"ucapnya.Sepasang matanya lurus menatap kearahku.Mulai dari ujung rambut hingga sepatuku.
Aku tak ingin menyahut.Pertemuan kecil sekaligus tak sengaja seperti ini membuatku sedikit tak nyaman.
"Aku rasa aku harus pergi sekarang.Mungkin lain kali kita bisa..."ucapanku terpotong olehnya dengan cepat.
"Apa ada yang sedang menunggumu dirumah ataukah kamu sengaja menghindariku?"
Pertanyaan Alan tepat mengena dihatiku.Seolah ingin menjatuhkan rasa percaya diriku.
Aku mencoba mengembangkan seulas senyum pahit menutupi kekikukanku.
"Apa kamu buru-buru ingin pulang ke Indo?"aku mengajukan pertanyaan yang kurasa sedikit pantas untuk kuajukan pada Alan ketimbang menjawab pertanyaannya.
"Apa kamu akan bersikap seperti ini pada semua teman lama yang kamu jumpai di negara asing ataukah hanya padaku saja?"
Oh God! Kenapa dia harus membalasku dengan pertanyaan yang memojokkan seperti ini?
"Kenapa berpikir seperti itu?"aku berusaha santai agar sedikit bisa mengurangi ketegangan suasana.
"Apa penolakanku saat masih SMU dulu membuatmu membenciku sampai sekarang?"
Aku tertawa seketika meski dengan terpaksa.Berusaha menertawakan dirinya padahal aku sadar sedang menertawakan diriku sendiri.
"Untuk apa membencimu hanya karena soal cinta monyet seperti itu,"cetusku masih dengan tergelak."Aku bukan anak remaja lagi Al,"tandasku sembari menepuk pundaknya.
"Yeah, kamu bukan remaja lagi sekarang.Aku sudah tahu itu,"sahutnya cepat.Lagi-lagi ia menelusuri tubuhku dengan sorot matanya yang tajam.
Dan ia berhasil membuatku merasa terpojok.Aku mendesah pelan sekedar untuk menghilangkan kecemasan yang sedari tadi merayap pelan kedalam hatiku.
"Aku kasihan padamu Ren..."
Alan ganti menepuk pundakku yang terbuka.
"Hubungi aku jika kamu butuh teman untuk berbagi,"Alan menyelipkan selembar kartu nama kedalam genggaman tanganku sebelum menghilang beberapa detik kemudian.
Aku tertegun dan tak lepas mengawasi punggungnya yang bergerak menjauh.Berhenti sejenak dimeja kasir lantas benar-benar pergi dari supermarket itu.
Kemudian segerombol kenangan masa lalu berbondong-bondong melintas dikepalaku.Saat-saat remaja yang penuh dengan cerita...
$$$$$
Aku mencermati seraut wajah pucat yang tersamarkan make up tebal didalam cermin riasku.Sepasang mata cekung yang dihiasi eyeliner berwarna hitam dan polesan eyeshadow berwarna cokelat gelap, pipi yang merona akibat sapuan blush on pink dan bibir yang terolesi lipstick merah hati.Padahal dulu wajah itu tampak polos dan sama sekali tak pernah tersentuh make up.Tapi gadis pemilik wajah itu tak sepolos tampak diluarnya.Dia pernah memukul teman sekelasnya hingga babak belur.Membolos, terlambat masuk sekolah, dimarahi guru dan seabrek pelanggaran disekolah pernah ia lakukan.Dan gadis itu adalah aku.Mungkin karena itulah Alan menolak cintaku semasa SMU dulu.
Siapapun juga tak akan menerima cinta seorang gadis bengal sepertiku.Apalagi cowok sebaik Alan.Ah.. kenapa dunia ini menjadi begitu sempit ya Tuhan.
Dan aku juga tidak pernah memperbaiki diri.Meski aku telah tumbuh menjadi seorang gadis dewasa tapi aku tetap saja berkelakuan buruk.
Andai saja aku merubah diriku,apa Alan akan berubah pikiran padaku?
Aku mau berubah jika saja Alan menerimaku..
$$$$$
Kakiku melangkah gontai menyusuri trotoar yang panas.Matahari menyengat dimusim panas yang sangat panas ini.Harusnya aku tak pergi keluar dari apartemen dan membiarkan kulit tubuhku terbakar matahari.Tapi selembar kartu nama yang diberikan Alan minggu lalu menggelitik rasa penasaranku.Aku mencari alamat yang tercantum disana meski pada awalnya aku sempat mencampakkan benda itu kedalam keranjang sampah milikku.
Namun aku telah membuang kertas itu kejalanan beberapa menit yang lalu setelah rasa penasaranku terjawab tuntas.
Akhirnya aku kembali kecewa.Untuk yang kedua kali setelah penolakannya kala itu.Kedua mataku adalah saksi bisu penolakan Alan.Laki-laki yang pernah menjadi cinta pertamaku itu telah mempunyai keluarga kecil sekarang.Seorang istri yang cantik dan seorang bayi mungil telah melengkapi hidup Alan.Perfect!
Bahkan ia telah membuatku benar-benar membenci semua laki-laki setelah ayahku.Ayah yang tega membuang keluarga kami.Dan Alan telah menyempurnakan rasa kecewaku.
Aku goyah.Dan aku merasa sangat terpuruk sekarang.Tinggal dinegara asing sendiri tanpa ada yang bisa kuandalkan selain diriku sendiri.Tak ada satupun yang mencintaiku.Bahkan ibuku sendiri terlalu sibuk untuk memberiku sedikit perhatian.
Lantas apa gunanya aku hidup didunia ini???
$$$$$
Seorang gadis kecil berlari menyambut kedatanganku didepan pintu apartemen.Rambut pirangnya berjuntai seperti ekor kuda.
"Karen!"gadis kecil itu menghambur kepelukanku.Memaksaku untuk berjongkok dihadapannya agar tangannya yang kecil bisa menjangkau tubuhku.
Aku hanya tersenyum saat ia merengkuh tubuhku.
"You crying?"gumamnya tak begitu terdengar.Tangan mungilnya mengusap pipiku yang tak sadar telah basah.
"No.."sahutku seraya menggeleng pelan.
"Emma!"
Teriakan itu spontan membuyarkan kemesraan kami.Nyonya Ann datang tergopoh-gopoh mencari keberadaan putri kecilnya.Wanita itu langsung membawa Emma pergi setelah terlebih dulu menyapaku.
Dan aku sendiri lagi, batinku seraya melempar tubuhku keatas tempat tidur.
Berharap mataku segera terpejam dan mimpi indah hadir dalam tidurku.
"Ting tong!"
Suara bel pintu apartemenku berbunyi beberapa kali.Entah itu bagian dari mimpiku atau bukan namun cukup mengganggu kenyamananku.
Setengah limbung aku berjalan kearah ruang tamu.Mungkin Nyonya Ann atau tetangga lain yang ingin bertemu denganku.Tapi apa tidak bisa besok saja?
Sesosok tubuh berdiri didepan pintu apartemenku.Nyaris membuat mataku melek seketika.
"Kak Abi?"gumamku gemetar ketakutan.
"Aku datang,"ucapnya dengan suara datar.Parau.
Tiba-tiba saja bibirku terkunci rapat.Rasa takut kian menjadi dalam hatiku.Tanpa bertanyapun aku sudah tahu maksud kedatangannya kesini.
"Aku nggak mau pulang,"gumamku gugup.Perlahan aku berangsur menuju ruang tengah.
"Kamu pasti tahu apa yang akan aku lakukan kalau kamu menolak untuk pulang,"ucapnya tegas.
Kak Abi menempati salah satu sofa disudut ruang tengah sedang aku duduk disudut lainnya.Aku hanya tertunduk kearah lantai dan tidak berani menatap sepasang mata elang Kak Abi yang tampak ingin menerkamku.
"Mau jadi apa kamu kelak hah?!"suara lantang Kak Abi memenuhi ruangan."Apa kamu mau melupakan jati dirimu sebagai orang timur?Rambut merah, kuku yang dicat warna-warni dan berpakaian minim kemana-mana.Apa universitas disini mengajarimu cara berpakaian seperti itu?"
"Cukup Kak,"potongku."Ini hidupku dan aku berhak melakukan apa saja dengan hidupku,"ucapku kemudian.Semula aku tak bermaksud melawan tapi aku tak tahan juga meski air mata mulai menggenang dipelupuk mataku.
"Kakak tahu apa yang ada didalam hatimu Ren,"tandasnya."Kakak peduli denganmu makanya Kakak datang untuk menjemputmu.Pulanglah.."
Aku menggeleng cepat.
"Didunia ini nggak ada yang menyayangi Karen,"gumamku terisak."Bahkan ibu juga lebih mementingkan pekerjaan ketimbang Karen.Dan Kak Abi bukan kakak kandung Karen,jadi nggak usah sok peduli padaku."
"Kakak tahu itu.Kakak hanya anak yatim piatu yang diadopsi ibumu.Tapi sedikitpun kakak nggak pernah menganggap kamu adik tiri..."
"Aku mencintaimu Kak!"teriakku tak sadar.
"Karen!"Kak Abi balas berteriak saking terkejut atas pernyataanku.Pernyataan jujur yang menghancurkan segalanya.
"Itulah alasannya Karen nggak bisa pulang.Bukan karena ibu yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya.Bahkan aku sudah tak peduli lagi semua itu.Tapi Kak Abi-lah yang membuatku nggak bisa pulang.Karena Karen nggak bisa hidup dengan memendam rasa suka pada saudara sendiri.Karen nggak bisa..."
Tangisku pecah.Semua penderitaan yang kusimpan selama ini terkuak sudah.Satu-persatu kenyataan ini pasti akan membunuhku...
$$$$$
Kak Abi tampak terlelap disebelah kursiku.Ia pasti sangat lelah harus terbang lagi usai mendarat dua hari lalu.Sementara penerbangan kami masih sepuluh jam lagi.
Kak Abi akhirnya berhasil menyeretku pulang.Segala perasaanku terhadapnya ia abaikan begitu saja.Bahkan ia menganggap perasaanku tak pernah ada.Laki-laki itu benar-benar acuh dan dingin.Mungkin itulah yang membuatnya begitu istimewa dimataku.
Sedang ia menganggapku anak-anak yang sama sekali belum dewasa meski fisikku sudah menunjukkan tanda-tanda itu.Aku sudah dua puluh tahun...
Perjalanan panjang dan melelahkan akhirnya kami lalui dengan selamat.Rasanya sudah terlalu lama aku meninggalkan tanah air,batinku sembari menebarkan pandangan kesekeliling.Kearah orang yang lalu lalang di bandara.
Kenapa aku merasa asing dinegara sendiri?
Seorang laki-laki sebaya Kak Abi menjemput kami.Kak Abi memperkenalkan ia sebagai Didan, teman karibnya.
Namun kejutan yang sebenarnya telah menantiku dirumah.Laki-laki yang paling kubenci didunia ini telah bersiap menyambut kedatanganku.Dia adalah ayahku...
Laki-laki itu berdiri persis disebelah ibu.Tersenyum seolah bersiap memeluk putri kesayangannya yang baru saja pulang kuliah dari Amerika.Seolah tak pernah ada masa lalu yang sangat menyakitkan.Sementara ibu bersikap sama.Ada apa ini?batinku tertegun.Menahan langkahku masuk kedalam rumah.Kenapa mereka bersikap seolah tak pernah terjadi apa-apa beberapa tahun yang lalu dimana seorang laki-laki pergi meninggalkan keluarganya tanpa secuil kata perpisahan hanya demi seorang wanita ketiga dalam rumah tangganya.
Sedang ibu juga sama sekali tak menunjukkan ekspresi penyesalan diwajahnya.Seorang ibu yang siang dan malam sibuk mengurusi bisnis perhiasan dan mengabaikan putrinya yang kesepian dan sendirian.
Ada apa sebenarnya?batinku bingung.
$$$$$
Aku jatuh sakit setelah aku tahu kedua orang tuaku ternyata telah berdamai dan sepakat untuk memulai hidup yang baru.Seolah dengan mudahnya melupakan luka lama yang menggores tajam.Tapi aku bukan seorang pemaaf baik hati yang dengan mudahnya memberi maaf dengan cuma-cuma.Dan sayangnya aku masih menyimpan dendam lama itu. Aku belum siap menerima kenyataan seolah semuanya baik-baik saja.Kertas yang koyak tak mungkin bisa direkatkan persis seperti sedia kala.Pasti akan ada cacat yang terlihat.
Tubuhku lemah dan hanya bisa terbaring tanpa daya diatas tempat tidur.Ditemani ibu yang kerap membujukku untuk makan sesuap bubur.
Andai saja aku punya pilihan saat ini, aku pasti akan memilih mati...
Luka ini terlalu sakit buatku.
Dan sesaat lalu aku baru mengetahui jika sebenarnya aku telah dijodohkan dengan Didan, teman baik Kak Abi.
Apa lagi ini ya Tuhan,keluhku tak henti.
"Cepat sembuh Ren, jangan seperti ini terus..."
Gumaman ibu terdengar lirih didekat telingaku.Sesekali wanita itu sesenggukan menahan tangis.
"Maafkan ibu dan ayahmu..Beri kami satu kesempatan untuk menebus kesalahan kami,"ucapnya sembari mengusap kepalaku berkali-kali.
"Biarkan aku pergi,"balasku bergumam.
"Maksudmu apa?"
"Biarkan aku mati."
"Astaga Karen!"pekik wanita itu kaget."Bicara apa kamu ini?"
Aku diam.Tak menyahut sama sekali.Aku sudah cukup lelah dengan semua yang telah terjadi dalam hidupku.
Dulu tak ada satupun yang menyayangiku, tapi sekarang semua orang berbalik mengatakan menyayangiku.Tapi mereka tak mempedulikan perasaanku.Apa yang kurasakan selama beberapa tahun belakangan.Disaat aku merasa hancur dan kesepian apa ada yang mempedulikan keadaanku? Apa mereka merasa khawatir akan kesehatanku? Dan sekarang mereka mengatakan penyesalannya dengan begitu mudah seperti tak pernah terjadi apa-apa...
$$$$$
"Kenapa kamu mau dijodohkan denganku?"tanyaku pada Didan yang duduk persis disebelah tempat tidurku. Laki-laki itu tampak bodoh dan polos.Tentu saja hanya orang bodoh yang mau dijodohkan dengan orang yang belum pernah dikenalnya.
Tapi laki-laki bodoh itu mengembangkan senyum.
"Abi sudah terlalu banyak cerita tentang dirimu,"tandasnya."Dan aku merasa sudah mengenalmu meski belum pernah bertemu denganmu sebelumnya."
Ia menghela nafas sejenak.Membuatku tak sabar menunggu kalimatnya.
"Dulu aku sama denganmu,"lanjutnya kemudian."Bahkan aku lebih parah. Padahal orang tuaku sangat baik dan nggak pernah berhenti mengingatkan aku untuk berubah.Tapi aku terus menghancurkan diriku sendiri.Hingga suatu saat mereka pergi selamanya, saat itulah aku merasa sangat menyesal.Aku sama sekali belum pernah membahagiakan mereka yang selama ini kuanggap terlalu egois mengatur hidupku.Aku nggak ingin kamu mengalami nasib yang sama denganku Ren," ungkapnya.
"Apapun kesalahan orang tua kita, merekalah yang menyebabkan kita ada didunia ini.Nggak ada salahnya kita memaafkan dan memberi kesempatan pada mereka.Karena kita sebagai anak pasti pernah melakukan kesalahan tapi semua orang tua pasti akan memaafkan kesalahan anaknya,"ujarnya kembali.
Aku tersenyum pahit.
"Jangan menceramahiku seperti itu,"tandasku ketus.
"Sampai kapan kamu akan menyimpan dendam seperti itu? Seumur hidup kamu?"tanyanya tampak tegas.
Aku mulai kesal melihat tingkahnya yang sok menggurui itu.
"Lepaskan egomu Ren,"ujarnya kemudian."Ego hanya akan menggerogoti pikiran baikmu."
"Pergilah..."
"Kenapa? Apa ucapanku mengusik hatimu?"sindirnya tajam.
"Sebaiknya kamu pergi sebelum aku benar-benar marah,"ancamku.
"Baiklah,"sahutnya segera."Oh ya, aku lupa mengatakan sesuatu. Kamu cantik Ren.Selamat malam..."
Aku nyaris melempar bantal kearah laki-laki itu.Laki-laki bodoh yang kehadirannya begitu mengusik pikiranku.
$$$$$
Ayah tampak tertidur di sofa dengan selembar koran yang nyaris terlepas dari genggamannya.Sementara ibu kulihat sibuk mencuci peralatan memasak.Kedua orang itu tampak baik-baik saja setelah semua peristiwa yang kami alami.Seolah keluarga kami sempurna dan tak pernah pecah sekalipun.
Mereka tampak hidup normal, tidak seperti aku yang masih berkutat dengan pikiran masa lalu yang menyakitkan itu.Kenapa hanya aku yang masih merasakan sakit itu? Kenapa mereka tidak merasakan hal yang sama denganku? Adilkah ini?
"Mau kemana Ren?"tegur Kak Abi mengejutkanku. "Bukankah kamu harus istirahat.Kamu kan masih sakit,"ucapnya seraya menyentuh bahuku.
Aku berusaha menepis tangan kak Abi sesegera mungkin.Sekaligus menepis perasaan yang kurasakan pada kakak angkatku itu.
"Jangan pedulikan aku,"sahutku datar.
"Karen..."ayah terbangun oleh suaraku.Laki-laki itu tergopoh-gopoh mendekat kearahku."Kamu mau kemana nak? Kamu kan masih sakit."
Huh, mereka berdua membuatku muak.
"Kemana saja kalian saat aku sendirian dan kesepian?!"teriakku keras."Apa pernah kalian ada saat aku butuh tempat untuk bersandar? Apa pernah kalian peduli saat aku terpuruk? Nggak pernah sekalipun!"
Emosiku meledak seketika. Perasaan marah yang kupendam beberapa hari terakhir ini terluapkan sudah.
"Karen sayang..."ibu datang dan menengahi suasana."Tenanglah..."
Tangisku tak terbendung setelah itu.Kepalaku terasa panas.Pasti darah ditubuhku telah naik ke otakku dengan cepat.Darah tinggiku kumat.
Kepalaku serasa berputar tiba-tiba dan aku nyaris ambruk jika saja seseorang tidak menangkap tubuhku dengan cepat.
"Didan?!"aku terperangah kaget.Detik kemudian tubuhku jatuh dalam pelukannya.
Ya Tuhan.Duniaku serasa berhenti seketika itu juga.Saat aku berada dalam pelukan cowok yang selalu kupandang sebelah mata itu.
Aku baru tahu jika berada dalam pelukan seorang cowok sehangat dan senyaman ini.Apa aku jatuh cinta?Secepat ini? Lalu dimana emosi yang sempat memuncak tadi?Lenyapkah?
"Kamu baik-baik saja?"
Aku tersadar.Aku melepaskan tubuh Didan dengan tersipu.Pasti pipiku semerah semangka sekarang ini...
"Ya,"sahutku cepat.
Aku buru-buru kembali kekamarku dengan perasaan tak karuan.
Aku masih tak habis pikir dengan diriku sendiri.Apa yang sedang menimpaku sekarang?Jika ini cinta , apa harus datang secepat ini?
Padahal Didan adalah satu-satunya orang yang paling harus aku hindari tapi kenyataan malah berbalik menyerangku.
Bahkan aku sanggup melupakan dendamku pada semua orang.Inikah keajaiban cinta?
Aku tersenyum kecil.Tuhan...aku jatuh cinta!

My Neighbour


Tak ada yang berbeda dari biasanya.Rumah diseberang tampak sepi nyaris seperti tak berpenghuni. Pemiliknya adalah seorang wanita paruh baya yang tinggal disana bersama seekor anjing kesayangannya.Wanita itu tampak sangat menikmati hidupnya.Mengasingkan diri dari kehidupan sosial dan lebih memilih tinggal berdua saja dengan hewan piaraannya.
Tapi kehidupan seperti itu tampak tidak normal seperti kelihatannya.Aku mendengar desas desus jika wanita itu sering melakukan hubungan intim dengan anjing piaraannya.Hhh...aku bergidik jika membayangkan hal itu.
Kenapa ada orang seperti itu didunia ini?
Sementara rumah disebelah rumah wanita itu yang berjarak sekitar sepuluh meter tampak terbuka pintu gerbangnya.Dan beberapa menit yang lalu seorang laki-laki tampak keluar dari sana dengan wajah merah penuh amarah.Sudah bisa dipastikan ia baru saja bertengkar dengan istrinya.Aku sudah hafal dengan kejadian seperti itu.Sementara kedua anak mereka yang masih kecil hanya bisa meraung-raung melihat kedua orang tua mereka bertengkar.Kasihan anak-anak tak berdosa itu...

"Miley..."
Selembar selimut menutup kedua pundakku yang terbuka dengan tiba-tiba.Angin yang masuk melalui jendela dihadapanku sudah membuatnya nyaris beku karena dingin.
Jay beralih menutup daun jendela setelah itu.
"Berhentilah mengawasi mereka,"tandasnya seraya mengamati wajahku sekilas.
"Mereka punya kehidupan sendiri dan kitapun sama,"imbuhnya lantas mendorong kursi rodaku beralih ketempat tidur.
Aku sudah tahu.Bahkan sudah ratusan kali ia mengatakan hal yang sama.
"Kehidupan seperti apa yang aku punya?"gumamku."Bahkan aku tak lebih dari seorang zombie."
Roda kursiku berhenti mendadak.
"Kenapa tak berhenti mengeluh dan mencoba melakukan sesuatu yang lebih baik untuk memperbaiki hidupmu?"
Nada bicara Jay terdengar kesal.Laki-laki itu baru saja menyelesaikan pekerjaannya diruang sebelah dan langsung menemuiku.Namun aku sudah melontarkan kata-kata yang sedikit banyak pasti melukai hatinya.
"Aku tidak ingin melakukan apapun.Aku hanya ingin mengakhiri semua penderitaan ini,"ucapku geram.
"Miley!"
Teriakan Jay tertahan.Jika saja aku sedang tegak berdiri dihadapannya pasti sebuah tamparan keras sudah mendarat dipipiku sekarang.Tapi sayangnya aku hanya teronggok tak berdaya diatas kursi roda sialan itu.
"Aku tak akan bisa berjalan lagi selamanya Jay! Terimalah kenyataan itu!"aku setengah berteriak meski suaraku tak bisa terdengar lantang.
"Berhentilah mengutuk apapun tentang hidupmu,"tandasnya."Masalah ini sudah sering kita bahas dan aku tidak mau lagi membahasnya sekarang atau kapanpun.Apa kau paham?"
Jay mengangkat tubuhku dan membaringkannya dengan kasar.Tak sehalus biasanya.Membuat punggungku yang penat seharian duduk diatas kursi roda terhempas keatas tempat tidur.
"Jangan berpikir apa-apa dan lekaslah tidur,"suruh Jay.Tangan-tangannya cekatan menata selimut untuk menutupi separuh tubuhku.
Tanpa menatapku sama sekali.
Kenapa masih bertahan untuk mengurusi mayat hidup sepertiku? Jay yang bodoh!
Tapi sekeras apapun batinku berteriak Jay tidak akan pernah bisa mendengarnya.Karena ia tak punya kekuatan super untuk mengetahui isi hatiku.
#####

"Kenapa mengkhianatiku Ben? Apa kekuranganku dibanding gadis itu?!"aku berteriak lantang diantara suara musik yang mengalun pelan dari tape mobil milik Ben.Tapi laki-laki itu tetap diam pada tempatnya.Tangan kokohnya erat mencengkeram kemudi.Mengabaikan pertanyaan-pertanyaan gusarku.
"Ben!"aku berteriak kembali.Setengah gila."Jangan tinggalkan aku atau aku akan melompat keluar dari mobil ini!"
Ancamanku tepat sasaran.Tanganku yang semula hendak membuka handle pintu mobil tertahan seketika.Meski itu hanya gertakan bodoh tetap saja Ben mencegah kenekatanku.
"Jangan gila Miley!"
Teriakan Ben membuatku sedikit bergembira atas kemenanganku.Namun itu hanya berlangsung dua detik saja. Detik selanjutnya terjadi begitu cepat.Karena tangan Ben berusaha meraih tanganku yang hendak meraih handle pintu membuat kemudi yang ia pegang sedikit tak terarah.Sedang dari arah berlawanan sebuah truk melaju dengan kencang.Dan waktu serasa terhenti pada sekian detik sesudah itu....

"Ben..."
Aku hanya bisa mengerang lemah saat terjaga dari mimpi buruk itu.Mimpi yang sama setiap malam.Dan selalu menghantui tidur malamku.
Kecelakaan setahun yang lalu itu masih membekas kuat di ingatanku.Tak pernah bisa aku lupakan meski sudah ribuan kali aku mencobanya.Menyisakan kematian Ben dan mematikan seluruh syaraf dikedua kakiku.
Tempat disebelahku kosong tanpa tubuh Jay yang biasa berbaring disana.Mungkin ia sudah terlalu lelah mendapati aku yang selalu terjaga ditengah malam buta.Terbangun dengan mimpi yang sama.
"Jay..."gumamku tersendat.Tenggorokanku kering.Dan tanganku tak mampu menjangkau gelas di ujung meja.Jay tadi menaruhnya terlalu jauh dari jangkauan tanganku.
Pyaar!!
Gelas itu terjatuh ke lantai begitu ujung jariku menyentuh dinding gelas.Memaksaku untuk menyesali keadaan yang menimpaku.
Aku tak akan menangis hanya karena insiden seperti ini.Kejadian seperti sudah berulang kali terjadi dan semua karena kakiku tak bisa digerakkan.Sial!
"Astaga Miley!"seruan Jay memecah kesunyian malam.Mengoyak pikiran dan lamunanku.
Laki-laki itu tergopoh mendekat.Memeriksa kedua tanganku untuk memastikan semuanya baik-baik saja dan tidak tergores sedikitpun.
"Maaf, aku tadi terlalu lelah dan ketiduran dimeja kerjaku,"jelasnya meski aku tak bertanya.
"Bukan karena kau lelah menjagaku?"tanyaku dengan menyunggingkan senyum pahit.
Sepasang mata milik Jay membulat tegang.Menatapku seperti hendak menerkamku.
"Jangan bicara seperti itu lagi, kumohon," pintanya memaksa.
"Aku tidak mau kau terpaksa merawatku hanya karena iba melihat keadaanku,Jay.Aku tidak berguna sama sekali.Dan aku tidak lebih baik dari seonggok sampah..."
"Ssstt..."Jay meraih tubuhku tiba-tiba kedalam dekapannya."Aku menikahimu bukan karena kasihan atau rasa kemanusiaan tapi karena aku mencintaimu Miley.Apapun adanya dirimu, kau sudah tahu itu kan?"
Air mataku meleleh tiba-tiba.Aku sudah pernah mendengar kalimat ini jauh-jauh hari sebelumnya.Tapi entah mengapa kalimat ini terdengar lain dari sebelumnya.
Aku sadar jauh dilubuk hati aku adalah wanita yang rapuh.Mungkin terapuh didunia.Terpuruk dan menderita.
"Aku sudah menghubungi dokter ternama yang biasa menangani penyakit seperti yang kau derita sekarang.Kita bisa mencoba pengobatan lagi,Miley"ucap Jay sejurus kemudian.
Tapi aku diam tanpa mengajukan protes seperti yang sudah-sudah.Percuma.Apapun upaya yang dilakukan hasilnya akan tetap sama.Tidak ada perubahan sama sekali.Aku tidak akan pernah bisa berjalan lagi.Selamanya...
"Kau sudah tidur?"Jay mengguncang tubuhku pelan.Aku menyahutinya dengan gumaman kecil.
Aku tidak ingin mendengar apa-apa Jay.Aku hanya ingin tidur sekarang.Didalam pelukanmu...

#####
Ah...
Aku tersentak dari tidur kecilku.Dan tersadar jika aku masih berada diatas kursi rodaku.Ponsel yang semula berada diatas pangkuanku terjatuh bersamaan dengan terbukanya mataku.
Baterai ponselku terlontar dari tempatnya.Dan benda itu serupa serpihan tak berguna.
Uh seharusnya aku berhati-hati tadi.Harusnya aku tidak menjatuhkannya...
Oh...laki-laki diseberang rumah tampak keluar dengan membawa sebuah koper besar dan tergesa-gesa pergi.Sementara sang istri tidak tampak mengejar kepergian laki-laki itu.Mungkin ini adalah akhir dari kebersamaan mereka berdua.Menyedihkan.
Lantas bagaimana dengan anak-anak mereka kelak?
Untuk beberapa detik perhatianku teralihkan dari serpihan ponselku. Jay membekaliku benda itu selama ia pergi keluar untuk berbelanja beberapa kebutuhan pokok.Mengantisipasi jika sesuatu terjadi padaku.
Malam telah merayap namun Jay belum kembali.Tak biasanya ia pergi selama ini.Kenapa aku merasakan ada sesuatu yang terjadi padanya.Jay...
Ohh...
Tubuhku terjatuh dari atas kursi roda saat tanganku hendak menjangkau ponselku.Tanganku tak mampu menjangkau benda itu,sial.
Tangan kananku sakit.Mungkin terkilir saat aku berusaha menjangkau ponselku.
Lap!
Oh Tuhan...pekikku tertahan.Listrik diruangan itu mendadak padam.Padahal tak ada angin ataupun hujan.
Padahal aku sangat benci dengan kegelapan.
Tanganku berhasil meraih ponsel tapi aku tak bisa memasang baterai yang telah terlepas tadi.Tanpa bantuan cahaya mataku sulit untuk melihat.
Perasaanku mendadak aneh.Angin dingin bertiup dibelakang tengkukku.Apa ini gerangan?Hantukah atau halusinasiku karena tak bisa melihat dalam kegelapan.
Jantungku serasa berhenti berdetak saat itu juga.Sesuatu yang dingin entah itu apa tapi yang pasti merayap dari ujung kakiku dan bergerak keatas.
Jay...gumamku gemetar.Tolong aku!
Namun ia tak berhenti disitu.Ia bergerak terus sampai keleherku dan perlahan berhenti disana.
Aku terbatuk.Dan nafasku mulai sesak saat tangan misterius itu mencekik leherku.
Aku tak melihat apapun kecuali gelap.Tanganku juga tak bisa menyentuh apapun sesuatu yang menyerangku itu.Tanganku hanya bisa menggapai tak tentu.
Tolong aku Jay! Mungkin ini permintaanku yang terakhir sebelum tangan-tangan misterius itu berhasil menghabisiku perlahan-lahan.
Tubuhku nyaris tak berdaya.Nafasku juga tinggal satu-satu.Mungkin ini adalah akhir penderitaanku...
#####

Jay!!!
Aku memekik kuat-kuat namun tertahan di tenggorokan.Tanganku tak menangkap angin kosong belaka.
Tanganku mencengkeram erat-erat lengan Jay.Sementara tangan kokoh itu masih menyentuh leherku meski bukan lagi berbentuk sebuah cekikan.
Apa yang kau lakukan padaku Jay? tanya batinku.Namun hanya pergerakan bola mataku saja yang bisa mengatakan pertanyaan itu.
"Kau ingin membunuhku?"meski sedikit tersendat akhirnya bibirku bisa mengatakan sebuah pertanyaan pada Jay.
Jay menghembuskan nafas.Antara gelisah dan kacau.Tangannya telah tersingkir dari leherku beberapa detik lalu.
Laki-laki itu tampak bingung.
Dan sikapnya telah memberiku jawaban atas pertanyaan yang kuajukan tadi.
"Kenapa tidak kau lakukan saja?"gumamku gemetar.Aku sadar apa yang baru saja kukatakan padanya.
"Tidak Miley..."
"Kenapa Jay?!"aku berteriak histeris."Kau sangat tahu aku sudah lelah dengan semua ini.Kenapa tidak menghabisiku sekalian.Biar aku tidak merasakan penderitaan ini seumur hidupku.Bunuh aku Jay..."
Kedua tanganku mencengkeram kerah jaket ditubuh Jay seraya mengguncangnya keras-keras.
Tangisku pecah tak tertahan saat itu juga.Sementara Jay malah menarikku kedalam pelukannya meski aku berontak sekuat tenaga untuk menghindarinya.
"Bunuh aku Jay..."aku bergumam dalam tangisan.
#####
Tubuhku meringkuk dibalik selimut tebal yang diletakkan Jay beberapa waktu yang lalu.Kedua mataku masih basah sementara Jay mengusap kepalaku perlahan secara berkala.Laki-laki itu berbaring dibelakang punggungku tanpa suara.
Entahlah.Bukan hangat dan nyaman yang kudapati sekarang.Melainkan rasa takut dan gelisah terus melanda dadaku.
Aku seperti berbaring didalam dekapan sayap iblis yang siap menghunjamkan maut kedalam dadaku kapan saja.Padahal selama ini aku telah menganggapnya seperti seorang malaikat yang sempurna namun tanpa sayap.Jay...
"Aku tidak bermaksud seperti itu,"gumamnya disertai kecupan ringan keatas keningku.
Ia terbukti mencekikku tapi masih bisa mengatakan tidak bermaksud melakukan itu padaku.Sudah gilakah dirinya?
"Aku tahu kau lelah menjagaku Jay,"aku balas bergumam."Kalaupun aku mati ditanganmu, aku tidak akan pernah menuntut dosa padamu."
"Miley..."laki-laki itu memeluk punggungku kemudian.Lantas samar-samar kudengar isakan tangis dari belakang telingaku.Jay menangis?batinku tak percaya.
Sebenarnya apa yang bergejolak dipikirannya saat ini?tanya hatiku gelisah.Kenapa aku sama sekali tidak bisa menduganya?
Tinggal bersamanya selama setengah tahun terakhir membuatku perlahan menyukai Jay.Kepribadian dan kebiasaannya sudah begitu akrab dipikiranku.Dan aku berhasil menumbuhkan cinta dihatiku padanya.
Tapi saat ini aku lebih merasa laki-laki itu menjadi sosok terasing yang pernah kukenal.Bahkan aku nyaris tak mengenali karakter dan kepribadiannya saat ini.
"Maafkan aku Miley..."desahnya sejurus kemudian.Setelah ia berhasil meredakan isak."Akulah orang yang paling bertanggung jawab atas apa yang menimpamu."
Aku sedikit terhenyak mendengar ucapannya.Dan aku juga tidak mengerti maksudnya.
"Apa maksudmu?"tanyaku.
Tapi bukan jawaban yang ia berikan.Jay hanya mempererat pelukannya ke tubuhku.Desah nafasnya berhembus hangat kewajahku.
"Kau kenapa Jay?Aku merasa tak mengenalimu lagi sekarang.Kau bukan Jay yang biasanya.Ada apa sebenarnya?Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?"aku bertanya kembali.
Beberapa detik telah berlalu namun hanya sepi yang mengisi kamar kami.Mencekam.
"Akulah yang telah merencanakan semua ini dengan Ben,Miley..."
Aku tertegun sejenak.Kemana arah pembicaraan ini sebenarnya?
"Aku tidak mengerti apa..."senyum pahitku tersendat.
"Ben dan aku hanya memanfaatkanmu Miley,"tandas Jay bergetar.Laki-laki itu melepaskan tubuhku lantas duduk bersandar pada tumpukan bantal.Kini aku bisa melihat betapa kacaunya wajah Jay.
Dan aku masih diam ditempat menunggu penjelasan berikutnya.
"Kami bertaruh untuk mendapatkanmu saat itu hanya demi sepasang sepatu olah raga.Mulanya aku hanya bercanda.Tapi Ben menanggapinya dengan serius,"papar Jay berterus terang.Sedang aku hanya melongo tanpa ekspresi ditempatku.
"Tapi kau lebih menyukai Ben.Ben yang cerdas, mapan dan keren.Ben memang selalu begitu.Digilai cewek-cewek.Berbeda denganku yang sederhana dan biasa-biasa saja,"sambungnya kembali."Dan perlu kau ketahui jika Ben sudah punya kekasih saat itu.Dan kau menduga Ben-lah yang berselingkuh.Padahal kaulah selingkuhan Ben."
"Dan kecelakaan itu?"gumamku tanpa sadar.
"Itu murni kecelakaan,"sahutnya dengan menoleh padaku."Aku sama sekali tidak terlibat dalam kecelakaan itu."
Iyakah?batinku tak percaya.Mengingat ia nyaris membunuhku beberapa jam yang lalu.
"Lalu kenapa kau merawatku?Apa karena kau merasa bertanggung jawab atas kejadian itu?"tanyaku kemudian.Menyembunyikan gemuruh didalam dadaku.
Jay mendesah gelisah.
"Apa yang dimiliki Ben tidak pernah bisa kumiliki sebelumnya.Tapi akhirnya aku bisa membuktikan pada dunia bahwa aku bisa memiliki apa yang pernah menjadi milik Ben,"jawab Jay membuatku tercengang.
Jadi...
Tubuhku terasa lemas mendadak.Aku tersadar pada kenyataan.Jadi selama ini aku hidup dengan seorang psikopat yang semula kuanggap malaikat itu?
Orang yang sanggup meluluhkan hatiku disaat aku mengalami depresi akut adalah seorang yang mengalami gangguan jiwa?Laki-laki yang kuanggap yang terbaik dan bisa menerima semua kekuranganku itu ternyata tak lebih dari seorang gila yang iri terhadap teman baiknya?
Ternyata sayap yang kuanggap sayap malaikat itu adalah sayap iblis yang siap menusukkan pisau kematian kedalam dadaku...
#####
Aku masih terbaring diatas tempat tidur.Meringkuk malas dibalik selimut tebal dan enggan beranjak dari sana.Bahkan tirai jendela dikamarku masih tertutup rapi.Dan kali ini aku tidak ingin mengetahui apa yang sedang terjadi dibalik tirai itu.Tentang tetanggaku yang selalu menjadi pusat perhatian mataku disetiap waktu senggang.
Aku bahkan enggan mendekat meski hanya untuk menyibakkannya agar sinar matahari bisa menerobos masuk kedalam kamarku.
"Miley..."
Ah, suara yang begitu akrab ditelingaku akhir-akhir ini terdengar asing kini.Entah mengapa...
Selembar roti tebal berlapis krim keju dan segelas susu kedelai Jay letakkan diatas meja dekat tempat tidur.
Sarapan pagi rutinku...
"Makanlah, sejak semalam kau tidak makan sama sekali Miley..."
Aku mendesah kecil mendengar suara Jay.Seperti itulah kebiasaannya setiap hari.Melayani semua kebutuhanku dari pagi hari hingga malam.
"Aku belum lapar Jay,"gumamku malas.
Namun laki-laki itu malah menyibakkan rambut yang menutup dahiku lantas mendaratkan sebuah kecupan disana.
"Makanlah selagi hangat,"suruhnya."Aku harus menyelesaikan pekerjaanku dan kau harus sudah menghabiskan sarapanmu saat aku kembali nanti,"ucapnya lembut.Aku hanya menanggapinya dengan anggukan kecil.
Jay menepuk pipiku lembut lantas beranjak pergi ke ruangan disebelah kamarku untuk mengerjakan pekerjaannya.
"Panggil aku jika kau butuh sesuatu!"teriaknya sebelum keluar.
Dan Jay tidak akan pernah menutup pintu kamarku saat aku sendirian berada didalam kamar.
Tapi mataku kembali terpejam tanpa kusadari.Alam bawah sadarku mengajak berimajinasi ke dunia mimpi yang indah dan belum pernah kudatangi sebelumnya...
#####
"Kenapa kau tidak menyentuh makananmu sama sekali?"
Aku tersentak dari tidurku.Suara Jay terdengar sedikit kasar dari biasanya.Menyadarkanku jika perkataannya benar.Aku sama sekali belum menyentuh makanan yang ia hidangkan beberapa waktu yang lalu.
"Aku belum begitu lapar Jay," gumamku seraya berusaha bangkit untuk menyandarkan kepalaku diatas bantal yang lebih tinggi.
Jay melangkah mendekat.Wajahnya tak seramah tadi pagi.Ada apa gerangan?batinku heran.
"Kau tahu,susah payah aku menyiapkan semua ini untukmu.Tapi kau sama sekali tidak menghargai jerih payahku.Jangan memperlakukanku seperti ini.Miley...!" tangan kanan Jay tiba-tiba meraih menarik kepalaku dengan paksa.Membuat rambutku tertarik paksa kuat-kuat.
Aku menjerit kecil sembari menahan rasa sakit dikepalaku.
"Sakit Jay..."rintihku agar ia melepaskan tangannya.Aku tahu takkan bisa melawannya dengan kekuatan fisikku.
"Aku sudah lelah Miley!"teriaknya lantang."Aku tidak mau menghabiskan hidupku hanya untuk merawat orang cacat sepertimu.Aku baru sadar jika sekarang aku menyesal membuat taruhan itu.Aku benar-benar menyesal Miley!"tiba-tiba Jay menyentakkan tangannya dan aku merasa kesakitan luar biasa pada area kepalaku.
Ada apa dengannya?Ia seperti kerasukan setan.Tak biasanya ia sekasar ini padaku.Apa jangan-jangan ia seorang psikopat?
Siapapun juga pasti akan mengalami hal yang sama dengan Jay.Mungkin ini adapah puncak dari semuanya.Stress, lelah dan bosan karena harus terus menjaga orang cacat seperti diriku.Dan aku baru menyadari hal ini sekarang.
Maaf Jay...
"Bunuh aku Jay,"ucapku kemudian.Antara sadar dan tidak.Aku sudah tidak tahu apa yang harus kuperbuat sekarang.
"Ya tentu,"sahut Jay seraya menyeringai.Laki-laki itu berubah dalam sekejap mata.
Laki-laki yang ada dihadapanku bukanlah Jay yang kukenal baik dan lembut.Melainkan iblis jahat yang akan mengantarku pada kematian.
Tangan Jay beralih cepat ke leherku.Mencekikku tanpa ampun dan aku membiarkannya begitu saja tanpa perlawanan.
Mungkin aku sudah terlalu lelah dengan hidup yang kujalani selama ini.
"Hentikan!"
Aku terbatuk saat mendengar suara itu.Bersamaan dengan terlepasnya cengkeraman tangan Jay di leherku.
Seorang laki-laki yang berpakaian polisi menghambur masuk kedalam kamar kami.Menodongkan sebuah pistol dan beberapa anggota polisi lain juga ikut menghambur masuk untuk meringkus Jay.
"Anda baik-baik saja Nyonya?"seorang polisi menanyakan keadaanku sesaat setelah Jay diborgol dan dibawa pergi.Kujawab hanya dengan sebuah anggukan kecil."Kami mendapat laporan dari tetangga Anda kalau mereka mencurigai suami Anda telah menyekap istrinya dan kerap melakukan kekerasan fisik.Apa itu benar?"
Aku hanya terperangah.Tetanggaku?batinku takjub.Bukankah selama ini aku sering memata-matai mereka, tapi kenapa justru mereka yang lebih mengetahui keadaanku?
"Kau baik-baik saja?"seorang wanita mendadak muncul sesaat sebelum sepasang suami istri masuk kedalam kamarku.Wanita itu yang selalu kupikir pernah berhubungan intim dengan anjing piaraannya.Dan sepasang suami istri itu yang kupikir selalu bertengkar sepanjang waktu.Ah, aku hanya bisa menertawai keadaanku sendiri yang tidak lebih baik dari mereka.
"Aku baik-baik saja,"sahutku sesaat setelah petugas medis datang untuk membawaku ke rumah sakit....

Kamis, 22 Oktober 2015

JAR OF HEARTS


"Menikahlah dengan Kris..."
Tangan kurus Meyra yang dingin menggenggam tanganku.Sungguh ini adalah satu-satunya pemaksaan halus yang pernah ia lakukan padaku.
"Apakah kau akan menolak permintaan terakhir seseorang yang akan mati?"suara Meyra membuatku tersentak seketika.
"Mey!"pekikku tersendat.Namun gadis itu malah tersenyum simpul.
"Itu kenyataan Rin,"tandasnya seraya melepaskan genggaman tanganku."Aku memang akan mati.Entah besok atau lusa atau mungkin minggu depan.Itupun kalau Tuhan masih memberiku bonus nafas,"imbuhnya seraya tergelak kecil.
Aku tertegun menatap gadis berwajah tirus dihadapanku itu.Bahkan dia masih sempat bercanda disaat seperti ini.Apa dia tidak tahu perasaanku saat ini.Bahkan aku nyaris meledakkan tangis jika saja aku tak bisa menguasai diri.Aku ingin tampak tegar dihadapannya.Hanya untuk kali ini saja.
"Berjanjilah padaku Rin,"Meyra menyentakku."Aku tidak mau saat aku sudah pergi nanti Kris sendirian," gumamnya.
"Tapi idemu ini gila Mey.Sangat sangat gila,"cetusku kesal.
"Aku sadar dengan ucapanku Rin,"tandas Meyra.Wajahnya bertambah pucat dari sebelumnya."Aku tidak tahu berapa lama aku bisa bertahan Rin.Aku nyaris tidak punya waktu lagi."
Aku memeluk tubuh Meyra sore itu.Persis saat gerimis turun diluar rumah sakit.Perasaanku dan perasaan Meyra berkecamuk tak karuan.Andai takdir bisa kami ubah...

#####
Aku tidak tahu bagaimana perasaan Kris saat mengucap ijab kabul dihadapan penghulu.Harusnya nama Meyra yang ia sebut saat itu, bukan namaku.Tapi Meyra telah mengatur semuanya sesuai keinginan hatinya.Meski Kris diam tapi aku yakin ia sangat keberatan dengan permintaan Meyra.Bukankah menolak permintaan orang yang akan meninggal tidak baik?
Dan dihari itu juga Meyra pergi meninggalkan kami semua.Satu jam setelah janji pernikahanku dan Kris, tubuh Meyra ambruk.Ia menghembuskan nafas yang terakhir sebelum sempat dibawa kerumah sakit.Leukimia sialan!
Duniaku dan dunia Kris runtuh seketika.Sahabat terbaikku pergi untuk selamanya.Kenapa mesti ada perpisahan setragis ini Tuhan? Namun ratapanku tak berhasil.Aku jatuh pingsan saat pemakaman Meyra.Sedang aku tidak tahu bagaimana kondisi Kris saat itu.Yang pasti ia lebih hancur dari yang tampak diluar.Pernikahan yang harusnya menjadi hari bahagia mereka berdua berubah menjadi hari pemakaman.
Tuhanku...kuatkan hatiku dan Kris.
#####
Aku dan Kris melanjutkan hidup setelah itu.Aku dan dia sama-sama menyimpan kenangan tentang Meyra meski waktu telah berselang setahun semenjak kepergian Meyra.Tapi kenangan yang disimpan Kris terlampau mendalam untuk gadis yang dicintainya itu.Dan entah kapan ia akan melupakan bayangan Meyra.
Aku pindah ke apartemen Kris semenjak kami berdua menikah.Tapi pernikahan kami tidak layak disebut sebagai pernikahan.Pernikahan itu hanya sebatas perjanjian hitam diatas putih.Tak pernah lebih dari itu.
Kami memiliki kehidupan masing-masing meski kami tinggal berdua.Kami seperti dua orang asing yang sama-sama tersesat dijalan yang sama.Tak ada komunikasi intens seperti layaknya sepasang suami istri.Kami bercakap sekedarnya dan itupun jika perlu.Tak ada kontak fisik sama sekali selama kami menikah.Dan kami sudah menjalani kehidupan seperti ini selama setahun.Entah sampai kapan kami akan hidup seperti ini...
#####
Sekarang aku baru menyadari satu hal tentang Kris.Satu hal yang membuat Meyra jatuh hati bahkan mungkin semua gadis yang mengenal Kris pasti akan merasakan hal yang sama.Begitu juga denganku.Aku jatuh cinta pada Kris perlahan namun pasti.
Laki-laki itu benar-benar telah mencuri hatiku tanpa melakukan sesuatupun.Semua yang ada pada dirinya nyaris sempurna.Dan aku merasa begitu tergila-gila pada sosoknya.Aku merasa beruntung bisa melihatnya setiap hari. Tapi Kris tidak merasakan hal yang sama denganku.Hatinya masih tetap milik Meyra.Dan mungkin untuk selamanya aku tidak akan pernah memiliki cinta Kris.
Aku hanya orang asing yang berada di sekeliling Kris.Yang hanya bisa diam-diam mencintainya.Yang setiap malam hanya bisa memimpikan dirinya.Yang hanya dengan melihat punggungnya saja aku akan bahagia.Ahhh...mencintai seseorang ternyata sesederhana itu namun sangat menyakitkan.
#####

"Rin, belum pulang?!"
Aku tergagap dan buru-buru mengangkat wajahku dari atas meja.Kepalaku sedikit berat hari ini.Mungkin aku kelelahan dengan setumpuk tugas kantor yang mendera kepalaku tiap hari.
"Kamu lembur?"cecar Ricky sembari melangkah ke dekat mejaku.Laki-laki itu melongok jam tangannya sebentar.
"Hmm," gumamku malas.Aku mengangguk sebentar."Kamu mau pulang?Hati-hati ya."
Ricky tergelak seraya mengacak rambutku.
"Mengusirku nih?"tanyanya kemudian.
"No," jawabku."Kupikir kamu akan pulang sekarang,"ucapku.Aku mencoba menegakkan kepala.
"Tadinya begitu.Tapi begitu melihatmu masih disini aku jadi berubah pikiran.Perlu kutemani?"tawarnya manis.
Namun aku menggeleng cepat.
"Aku hampir selesai kok,"balasku.""Kamu pulang duluan saja," suruhku.Tanganku berusaha mendorong tubuh Ricky menjauh namun urung.Mendadak perutku mual.Aku ingin muntah.
"Rin..."Ricky ikut panik melihat perubahan pada diriku."Kamu sakit?"
Aku menggeleng pelan.Aku sendiri tidak tahu apa yang menimpa tubuhku.Mungkin aku masuk angin atau salah makan.
"Kamu hamil Rin?"
Aku tercengang mendengar pertanyaan Ricky.Itu sama sekali tidak benar.Aku bahkan tidak pernah bersentuhan dengan Kris!
Aku tak sempat menjawab pertanyaan Ricky dan segera berlari ke kamar mandi dan menumpahkan apa yang sedari tadi mendesak ingin keluar dari perutku.
#####
Aku tak menemukan Kris diruang tengah begitu aku sampai.Ricky yang mengantarku pulang tadi.
Kris sudah meringkuk pulas di tempat tidurnya.Lagi-lagi aku hanya bisa melihat punggungnya.Namun aku lega mendapatinya sudah ada dirumah.
Laki-laki itu pasti kelelahan bekerja.Apalagi semenjak ia aktif di yayasan kanker tak ada waktu untuk bersantai meski hanya sekedar untuk menonton televisi.Semua itu ia dedikasikan untuk Meyra.
Meyra...Kenapa aku merasa sedikit cemburu padanya? Kris begitu mencintainya dan melakukan apapun untuk mengenang gadis itu tanpa pernah berpikir membuka hati untuk gadis lain.Meyra sangat beruntung memiliki hati Kris.
#####
Entah bagaimana awalnya tiba-tiba saja gosip tentang kehamilanku beredar di kantor.Pasti Ricky sialan itu yang sudah menyebarkan berita itu.Tak masalah jika berita itu benar tapi itu sama sekali tidak benar.Tuhanku...bagaimana ini?
Rekan-rekan dikantorku mendadak heboh dan menyalamiku satu persatu seraya mengucapkan selamat.Aku tak berkutik dan hanya bisa menggeram dalam hati.Tunggu pembalasanku Rick!
"Ampun Rin.Aku keceplosan..."Ricky memelas dihadapanku seraya memasang tampang bersalah.
Aku lemas.Sedianya aku ingin marah tapi aku tidak punya kekuatan untuk memarahinya.Mengingat Ricky-lah satu-satunya sahabat yang aku miliki.
"Sudah terlanjur..."gumamku sembari kembali duduk di kursi.Paling juga gosip akan bertahan beberapa hari.Aku bisa berbohong kalau aku mengalami keguguran dan masalah selesai.
"Kamu marah?"tanya Ricky seraya mengamati ekspresi wajahku.Mencari letak kemarahan yang sempat tersirat disana beberapa detik yang lalu.Namun nihil sekarang.
"Aku tidak marah,"gumamku.Tanganku bergerak memainkan mouse komputer tanpa menghiraukan Ricky.
"Syukur deh,"sorak Ricky pelan."Oh iya,kantor kita akan mengirim staf senior untuk dikirim ke kantor cabang baru di Makassar.Dan berita buruknya tidak ada yang mau dikirim kesana.Semua orang mengajukan alasan masing-masing.Masa harus kita berdua yang harus terbang kesana," celoteh Ricky membuatku tertegun.Biasanya aku tidak tertarik dengan hal-hal seperti itu tapi sekarang...
"Untuk berapa lama?"tanyaku pelan.
"Kamu tertarik pergi kesana?"Ricky balik tanya.Matanya sedikit melotot.
"Rick!"teriakku tak sabar.Aku paling tidak suka pertanyaanku dibalas dengan pertanyaan.
"Dua sampai tiga bulan.Mungkin lebih dari itu.Tidak ada yang tahu,"
Entah kenapa tiba-tiba saja aku tertarik dengan pembicaraan Ricky.
"Kenapa bukan kita saja yang pergi kesana?"usulku seraya menjentikkan jari.
"Hoho...bukannya kamu paling takut ketinggian.Apalagi naik pesawat,"tandas Ricky setengah mengejek.
Aku ingin lari sejenak dari Kris, batinku.Ide itu muncul tiba-tiba.
"Kamu mau menemaniku kan?"rayuku pada Ricky.
"Tapi Kris..."
"Kris akan baik-baik saja.Aku kan cuma pergi beberapa bulan bukannya beberapa tahun,"dalihku.
#####
Dadaku sedikit sesak meski pesawat telah tinggal landas beberapa menit yang lalu.Kulihat Ricky sudah terkantuk-kantuk disebelahku.Dia tampak menikmati penerbangan kami menuju Makassar.Tak sepertiku yang sedikit tegang dengan penerbangan kami.
Akhirnya aku dan Ricky yang menjadi perwakilan dari kantor.Tak biasanya aku bepergian sejauh ini.Tapi kali ini aku ingin pergi.Mungkin untuk melarikan diri dari Kris barang beberapa waktu.
Tapi aku sedikit menyesal karena tak sempat pamit pada Kris.Jadwal penerbangan kami terlalu pagi sedangkan Kris masih terlelap.Dan aku tak mau membangunkannya.Aku hanya meninggalkan sebuah pesan diatas kertas untuknya.
"Rileks Rin,"sentak Ricky mengagetkan.Kupikir dia telah tertidur tadi.
Aku tersenyum.Menutupi lamunan.
"Aku baik-baik saja,"gumamku pelan.
"Kamu rindu pada Kris?"
Aku terdiam dan mengalihkan pandangan kearah pramugari cantik yang tengah menawari minuman pada penumpang pesawat.
Mungkin,batinku.Tapi sia-sia.Kris tidak pernah merindukanku sejauh apapun aku pergi.Dia sibuk sepanjang waktu dan tidak sempat untuk memikirkan diriku.
Tapi Ricky tidak pernah tahu hal itu.Sahabatku itu tidak pernah tahu betapa menderitanya diriku selama ini.Bahkan asal mula pernikahankupun dia tidak tahu.
Biar aku sendiri yang menyimpan keluh kesah ini.Toh Ricky juga akan terbebani nantinya.
#####
Huh...dadaku kian menyesak.Aku tak bisa bernafas ketika pesawat mulai berguncang.Suara riuh mulai terdengar memekakkan telingaku.Mataku hanya terpejam sedang tanganku mencengkeram lengan Ricky kuat-kuat.Pesawat ini sedang bermasalah,batinku ketakutan.Dan satu-satunya kemungkinan adalah....
Tidakkkk!!!
"Hey!"aku tergagap mendengar teriakan itu.Suara itu begitu akrab di telingaku.Aku mencari arah sumber suara itu.
Meyra???
Aku tertegun menatap sahabatku itu.Bukankah dia sudah...
"Apa kabarmu Rin?"sapa Meyra manis.Seperti biasa.
Aku hanya menatap sekeliling untuk memastikan keadaan.Aku sedang bermimpi ataukah aku sudah mati.
"Kenapa kau tidak menjaga Kris dengan baik?"desak Meyra tiba-tiba.Tangannya terulur hendak menyentuh pundakku.
"Maaf Mey.."gumamku gugup.Aku tidak bisa memenuhi janjiku dengan baik.
Namun Meyra malah tersenyum pahit.
"Ikutlah denganku Rin.Aku kesepian disana.Aku butuh teman..."
Tangan Meyra seperti mengandung kekuatan sihir.Membuatku begitu tertarik untuk membalasnya.
"Cepatlah Rin..."bujuknya begitu mengiba.
"Aku datang Mey..."
#####
Beberapa detik kemudian aku tersadar.Tubuhku telah terbaring diatas tempat tidur beralaskan sprei putih.Rumah sakit!
Aku mengumpulkan ingatanku yang tersisa.Terakhir kali yang kuingat adalah saat aku berada didalam pesawat.Iya..lantas bagaimana keadaan pesawat itu?
"Kamu sudah bangun?"teguran Ricky membawaku kembali ke dunia nyata.Sahabatku itu tampak sedikit cemas melihatku.
"Apa yang terjadi?"tanyaku cepat.Kepalaku sedikit pusing .
"Kamu pingsan saat pesawat akan mendarat.Kamu bikin orang cemas aja,"
Oh,batinku.Dan mimpiku tentang Meyra?
"Kamu harus menjalani pemeriksaan Rin.Dokter curiga kamu menderita penyakit serius,"imbuh Ricky kemudian.Tangannya mengusap keningku lembut.
"Penyakit apa?"tanyaku seraya tersenyum kecil."Aku baik-baik saja Rick,"tandasku.
"Kita akan tahu setelah kamu menjalani pemeriksaan,ok?"
Oh Tuhan, aku tidak percaya ini.
"Apa Kris tahu hal ini?"
Ricky menggeleng.
"Belum."
"Jangan beritahu dia masalah ini,"ucapku pelan.
"As your wish,"sahut Ricky.
#####
Mataku menelusuri langit-langit kamar rumah sakit.Hampa.Seperti hatiku sekarang.Menyedihkan memang.Tapi itulah keadaanku sekarang.Aku bahkan nyaris tak ingin beranjak dari tempat ini.Aku sudah terlalu letih dengan hidup yang kujalani sekarang.
"Kamu sudah makan?"
Teguran Ricky bahkan terdengar hambar ditelingaku.
"Rin..jangan seperti ini.Kumohon,"ratapnya memelas.
Aku tak menyahut.Hasil tes dokter minggu lalu sudah cukup membuatku drop.Dan aku bahkan tidak mau lagi berjuang untuk apapun sekarang.Bahkan untuk hidup sekalipun.Aku divonis menderita tumor otak ganas dan operasi sekalipun tak bisa menyembuhkannya.Tumor itu akan tetap tumbuh.
Ah tidak.Ini adalah arti mimpiku beberapa waktu yang lalu.Saat Meyra datang dan mengajakku pergi.
"Rin..."perlahan tangan Ricky mengusap air mataku yang menderas tanpa kusadari.Ia memelukku kemudian untuk beberapa saat lamanya.
"Lakukan operasi Rin,"ucapnya sembari melepaskan tubuhku."Paling tidak kamu bisa bertahan untuk beberapa tahun lalu melakukan operasi kembali."
Aku tak menyahut.Aku membuang pandangan kearah tembok.
"Demi Kris,"imbuhnya."Bukankah kamu sangat mencintainya?"
Aku tersenyum pahit.
Aku tidak mau menarik perhatian Kris dengan mengungkapkan penyakitku padanya.Agar dia bersimpati dan jatuh cinta padaku.Aku tidak sejahat itu Rick,batinku.Aku tidak mau melakukannya.Tidak akan.
"Aku tidak pernah mencintainya,"gumamku pelan.Penuh dusta.
"Rin!"pekik Ricky kaget.Ia begitu terpukul mendengar pernyataanku.
"Kumohon jangan katakan apapun padanya ok?"pintaku setengah memaksa pada Ricky.
Ricky mengangguk ragu.Dasar bodoh.
"Peluk aku Rick,"pintaku kemudian. Aku melampiaskan emosi dan tangisku dalam pelukan Ricky.Satu-satunya sahabat yang aku miliki sekarang.Yang selalu mendampingiku disaat-saat terakhir hidupku.
Dan Kris...biarlah dia mencari kebahagiaannya sendiri.Kebahagiaan yang tidak pernah bisa aku berikan padanya.
Aku mencintaimu Kris...

Let Me Love You

"Mom!!"Raya berteriak kencang ketika mamanya menyibakkan tirai yang menutupi jendela kaca sehingga sinar mentari pagi menerobos masuk kedalam kamar gadis berambut merah itu.
"Sampai kapan kamu akan tidur hah?"sahut mama Raya dengan ketus.Wanita itu kesal melihat anak gadisnya masih meringkuk dibalik selimut padahal jam sudah menunjuk jam tujuh pagi.
"Ssshhh..."Raya mendesis geram."I hate this,"gumamnya.
"Cepat bangun dan sarapan,"suruh mama Raya tak sabar."Adikmu sudah menunggu dibawah."
Raya mendengus.Gadis itu nyaris lupa jika dia sudah kembali ke Indonesia.Dan dia punya keluarga yang juga tinggal serumah dengannya.Raisa, adik kandungnya yang kini duduk dibangku sekolah menengah pertama. Sepuluh tahun tinggal di London membuat Raya sedikit melupakan asal usul dan saudara kandungnya.
Raya tertegun menatap hidangan diatas meja makan.Tak ada omelet sosis kesukaannya disana.Padahal setiap pagi Grandma membuatkan menu kesukaannya itu.
"Makanlah seadanya.Mama cuma bisa bikin nasi goreng dan telur dadar,"ucap mama mengejutkan lamunan Raya.Sedang Raisa sudah melahap nasi gorengnya dari tadi.
Raya terdiam.Ia menatap Raisa sejenak.
"Sampai kapan kamu akan bersikap seperti itu?"tegur mama kesal."Kami adalah keluargamu Ray.Dia adik kandungmu.Jangan bersikap seolah-olah kamu merasa asing dirumah ini,"tandasnya kemudian.
Raya menghela nafas panjang.Gadis itu sadar dengan perkataan mamanya.Tapi sulit untuk beradaptasi kembali setelah sekian tahun lamanya.
"Mama tahu nenek sangat memanjakanmu disana.Dan mama nggak bisa memperlakukanmu seperti itu.Maafkan mama Ray,"imbuh mama beberapa saat kemudian.
Andai Grandma masih hidup,keluh Raya dalam hati.Raya juga tidak akan pernah kembali ke Indo.Kalau saja mama tidak memohon untuk kembali...
Terlalu banyak kenangan buruk disini,dan sulit bagi Raya untuk mengatasi perasaan terlukanya.
Raya masih ingat saat ia duduk dibangku sekolah dasar ia sering menjadi bahan olokan teman-temannya.Ia dibully habis-habisan.Bahkan ia sempat mendapat kekerasan fisik dari teman sekelasnya.Gadis malang itu nyaris kehilangan rasa percaya diri dan sempat dirawat dirumah sakit selama dua minggu penuh karena depresi berat. Trauma masa kecil itu tak akan pernah bisa dilupakan oleh Raya seumur hidupnya.
"Papa akan dinas diluar kota untuk beberapa hari.Mama juga akan sibuk mengurusi toko,"ujar mama dari balik dapur."Kamu nggak pa pa kan dirumah sendirian?"
"Ya,"sahut Raya nyaris tak terdengar.
"Aku berangkat dulu Ma,"pamit Raisa usai menghabiskan segelas susu sapi favoritnya.Membuat Raya mual setiap melihat adiknya meminumnya.
"Dah Kak Raya,"seru Raisa sembari mencium pipi Raya dengan manja.Duh anak itu,batin Raya geram.
Sedang mama Raya hanya bisa tersenyum melihat kedua putrinya.Beberapa menit kemudian wanita itu pergi meninggalkan Raya sendirian.
#####
Grandma...
Uh,Raya mendesis pelan.Gadis itu membuka matanya seketika saat bayangan grandma muncul didalam mimpi siang bolongnya.Entah untuk yang keberapa kalinya.
Tidur Raya telah terusik.Seperti biasa.Semenjak ia tiba dirumah ini ia selalu mengalami hal yang sama.Pasti Grandma kesepian di surga sana,batin Raya seraya berangsur turun dari atas tempat tidurnya.
Udara didalam kamar Raya terasa panas dan pengap.Memaksa gadis itu berjalan kearah jendela disisi tempat tidurnya.Ia memang tidak suka membiarkan jendela kamarnya terbuka tapi apa boleh buat.Mau tidak mau ia harus membukanya agar udara panas segera berganti dengan udara segar dari luar.
Hhhh...hawa segar menerpa wajah pucat Raya seketika saat gadis itu membuka daun jendela kamarnya.
"Oh..shit,"desis Raya beberapa detik kemudian.Gadis itu menyadari jika sepuluh meter didepan matanya terbentang sebuah jendela yang sama-sama tengah terbuka.Letaknya persis dihadapan jendela kamarnya hanya terpisah jarak saja.
Seorang cowok tengah berdiri didepan jendela.Sama seperti yang Raya lakukan sekarang.Bedanya cowok itu masih berpenampilan rapi sementara Raya hanya memakai tank top plus rambut acak-acakan.Benar-benar penampilan sempurna untuk orang yang baru saja bangun dari tempat tidurnya.
Sejak kapan jendela itu ada disana?batin Raya bingung.Semenjak tiba dirumah ini ia memang tak pernah tahu jika diseberang jendela kamarnya ada jendela kamar orang lain.Raya memang tak suka jika mamanya membuka jendela kamarnya.
Raya buru-buru menutup kembali daun jendela dengan kesal.Entahlah, ia merasa kacau seketika itu juga.
Tak masalah jika yang berdiri disana adalah seorang nenek-nenek, tapi ini adalah seorang cowok.Huh...menyebalkan.
#####
"Kamu masih ingat Andra?"sentak mama Raya saat Raya hendak menyuapkan sendok kemulutnya.Gadis itu tertegun sejenak sembari menoleh kearah mamanya.
Rasanya asing mendengar nama itu.Atau memang memori otak Raya yang terlampau buruk sehingga tak bisa mengingat nama-nama dari masa kecilnya.
"No,"sahut Raya menyerah."I guess not."
"Andra adalah teman masa kecilmu.Masa kamu nggak ingat sama sekali?"jelas mama Raya mencoba mengingatkan putrinya.
"Itu lho Kak, yang rumahnya persis disebelah rumah kita,"sahut Raisa tiba-tiba."Masa Kak Raya nggak ingat sih?"
Raya mendesah pelan.Mungkin saat itu kepalanya terlalu keras membentur tembok manakala Sheila dan teman-temannya sedang mem-bully dirinya.Sehingga otaknya sedikit mengalami kerusakan.Karena semenjak keluar dari rumah sakit papa Raya segera mengungsikan putrinya kerumah nenek di London.Dan ia tak sempat lagi bertemu dengan teman-temannya.
"Sewaktu kalian masih kecil, kalian sering bermain bersama.Kalian sangat dekat waktu itu, sampai-sampai saat kamu pergi ke London Andra sempat jatuh sakit selama beberapa hari.Masa kamu nggak ingat sedikitpun?"tutur mama Raya.
Raya mendengus pelan.Otaknya tak mampu mengingat sesuatupun tentang nama itu.Yang ia ingat hanya Sheila dan beberapa teman cewek lain yang pernah menyakiti Raya.
"Stop it Mom!"Raya sedikit berteriak."I don't remember anything,"gumamnya seraya beranjak dari sofa.Wajahnya sedikit ditekuk.Kesal.
Mama dan Raisa hanya terperangah menatap kepergian Raya.
"Dia benar-benar sudah jauh berubah.Bahkan mama hampir tidak bisa mengenali sifat putri mama sendiri,"ucap mama Raya.
Raisa tak berkomentar.Hanya menghela nafas sesaat.
#####
Sepasang mata sendu milik Raya menatap lurus kedepan.Kearah jendela yang tertutup diseberang sana.Mencoba menelusuri sisa-sisa ingatan yang mungkin bisa ia gali disana.
Andra...
Raya menelan ludahnya kembali.Kenapa hanya nama itu yang hilang dari ingatannya.Benarkah cowok yang ia lihat kemarin itu adalah sosok dari masa kecilnya yang hilang dari ingatan Raya.
Huh...kepala Raya sedikit sakit kala mencoba mengingat nama itu.
"Ray...Andra datang!"
Raya nyaris pingsan kala mendengar mamanya berteriak.Gadis itu menoleh dan mendapati mamanya tengah berdiri didepan pintu.
"What?"gumam Raya gemetar.
Untuk beberapa detik lamanya Raya membeku ditempatnya berdiri.
Dan detik berikutnya seorang cowok muncul dari balik pintu.Sosok yang sama yang Raya lihat kemarin dibalik jendela diseberang kamarnya.
Raya terperangah kaget.Inikah sosok Andra sahabat masa kecilnya yang sama sekali tak bisa ia ingat itu?
"Hai,"sapa cowok itu manis.
Raya tergagap.Entah mengapa mendadak ia merasa gugup.
"Kamu masih ingat aku?"cecar Andra sembari mendekat."Aku Andra, sahabat masa kecilmu," imbuhnya.Tangan Andra menjabat tangan Raya yang berubah menjadi dingin seketika.
Raya menggeleng pelan.
Namun Andra malah mengembangkan senyumnya.Cowok itu mencoba maklum keadaan Raya mengingat gadis itu pernah mengalami hal buruk dimasa lalunya.
"Ok...nggak pa pa,"ujar Andra kemudian."Kita bisa memulai persahabatan dari awal lagi."
Raya nyengir.Bagaimanapun gadis itu merasa malu dihadapan Andra.Parah, batinnya.Hal sepenting Andra malah ia lupakan.
"Perkenalkan, namaku Andra Darmawan.Umurku 23 tahun.Hobiku makan, tidur dan..."ucapan Andra terhenti karena gadis dihadapannya mulai tersenyum mendengar perkataannya.
"Apa aku begitu lucu sampai-sampai kamu tertawa seperti itu?"tanya Andra pura-pura sewot.Tapi sebenarnya ia senang melihat senyum dibibir Raya.Karena gadis itu tampak menyimpan banyak beban dalam hidupnya.
"No,"sahut Raya menghentikan tawanya.
Andra tersenyum.Kekakuan yang sempat ada kini mulai mencair perlahan diantara mereka berdua.
"Can we be friends now?"tanya Andra beberapa detik kemudian."Maaf kalau bahasa Inggrisku jelek,"lanjutnya sembari nyengir lucu.
Raya mengangguk.Gadis itu meraih jabat tangan yang diulurkan Andra sekali lagi.
Dan persahabatan mereka dimulai dari awal lagi...
#####
Senyum di bibir Raya merekah saat melihat boneka pinguin yang sedang berdiri anggun diatas meja belajar miliknya.Boneka itu adalah hadiah dari Andra seminggu yang lalu sebagai tanda persahabatan mereka berdua.
Ternyata Andra masih ingat betul apa yang disukai Raya meski mereka pernah terpisah jarak dan waktu sekian lama.
Ah..persahabatan yang manis.
Semenjak saat itu hari-hari Raya kian berwarna.Selalu ada keceriaan yang terlukis dimata sendu itu.Senyum yang semakin sering terukir dibibirnya membuat wajah itu cerah dan cantik.
Raya benar-benar bahagia dengan kehadiran Andra.Dunia baru seakan terbentang lebar dihadapannya.
"I love him..."gumam Raya sembari menjangkau boneka pinguin itu dari atas meja.Lantas memeluknya erat-erat seakan boneka itu adalah Andra.
Gadis itu tersenyum meski telah memejamkan matanya.Lantas sebait doa ia baca dalam hati.Tak lupa permintaan kecil ia panjatkan.Agar ia bisa bertemu dengan Andra dalam mimpinya.
Hidup siapa saja bisa berubah saat ia jatuh cinta...
#####
Mama Raya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya saat melihat putrinya duduk didepan televisi seraya terbahak sendirian.Apa acara kartun itu begitu lucu sampai Raya terbahak segitunya?batin mama heran.Padahal Raya sudah menonton film kartun itu puluhan kali semenjak ia tiba di Indo.Tapi kelakuan anak gadisnya itu tampak sangat berlebihan.Tak biasanya ia gembira seperti itu.
"Tante,"mama Raya nyaris terloncat karena kaget.Karena tiba-tiba saja Andra muncul sembari menepuk pundaknya dari belakang.
"Andra!"pekik mama Raya kesal."Bikin orang kaget aja,"keluhnya.
"Maaf Tante,"Andra nyengir kuda."Ini buat Tante," ucapnya kemudian sembari menyerahkan sebuah keranjang berisi buah-buahan kepada mama Raya.
Belum sempat mengucapkan terima kasih, Andra sudah ngeloyor pergi keruang tengah untuk menemui Raya.
"Raya!"
Andra langsung duduk disebelah gadis itu dan bergegas mengacak rambut Raya dengan gemas.Raya terperangah namun berdecak dalam hati.Oh,prince don't do it again,batinnya kesal.Bagaimanapun juga ia bukanlah seekor anak kucing yang bisa diacak bulunya segemas apapun.
"Nonton apa?"tanya Andra seraya mencomot biskuit cokelat dari atas meja.
Raya tak menyahut.Gadis itu hanya mendehem kecil.
"Ini bagus nggak?"
Sepasang cincin dikeluarkan Andra dari dalam sakunya untuk diperlihatkan pada Raya.Sepasang cincin pernikahan tampaknya.
Raya terpana tak percaya.Secepat inikah,batinnya tak karuan.
"Is it wedding ring?"gumam Raya berdebar.
"Yes,"sahut Andra."Aku akan menikahi seseorang beberapa bulan lagi,"ungkap Andra kemudian.
Raya tertegun setengah panik.
"Who?"tanya Raya.Pelan dan gemetar.Ada sedikit ketakutan dalam nada suaranya.
Andra tersenyum simpul.
"Namanya Stella.Kami telah bertunangan setahun yang lalu.Sekarang dia kuliah di Amerika.Mungkin bulan depan dia akan kembali ke Indo,"papar Andra seraya mengamati sepasang cincin ditangannya.
Oh God!Raya terguncang seketika.Sebuah palu besar seakan telah menghantam dadanya saat itu juga.Raut wajahnya berubah sepucat kertas.Tapi untung Andra tidak mengetahui perubahan diwajah Raya.
Andra bercerita kesana kemari menuturkan tentang kisah cintanya dengan Stella.Dari awal pertemuan mereka dan bla bla bla...
Tapi pikiran Raya telah terbang melayang jauh kedunia yang tak pernah dijamahnya.
Ternyata Raya salah mengartikan kedekatan mereka selama ini.Persahabatan yang kembali terjalin setelah sepuluh tahun terpisah ternyata tak berubah sama sekali.Namanya masih persahabatan.Bukan cinta seperti yang ia impikan selama ini.
Stupid!
#####
"Sudah pagi Ray, kamu nggak bangun?"tegur mama Raya seusai menguak pintu kamar putrinya yang tidak terkunci.Wanita itu melihat Raya masih meringkuk dibalik selimutnya.Padahal matahari telah meninggi.
"Astaga Raya!"pekik mama Raya lantang.Wanita itu berniat membangunkan Raya,tapi begitu tangannya menyentuh kulit gadis itu ia kaget setengah mati.Badan Raya panas.Tidak.Bahkan sangat panas.
Mama Raya panik dan bergegas mencari bantuan.
Setengah jam kemudian Raya dilarikan kerumah sakit terdekat.Papa Raya takut terjadi sesuatu dengan anak gadisnya.
Mama Raya-lah yang paling khawatir dengan keadaan Raya.Padahal Raya baik-baik saja kemarin.Ia tampak sehat dan bahagia.Bahkan ia masih sempat tertawa keras saat menonton film kartun.Tapi sekarang gadis itu terbaring tak berdaya diatas tempat tidur dengan suhu badan yang sangat tinggi.
"Kami masih belum tahu pasti keadaan pasien.Tapi sepertinya ia mengalami guncangan berat.Mungkin semacam depresi akut,"jelas dokter yang baru saja keluar dari ruang pemeriksaan.
"Depresi apa?"protes papa Raya setengah emosi."Raya baik-baik saja sampai kemarin.Nggak ada keluhan sama sekali.Dia bahagia dan..."
Kata-kata papa terhenti.Pria itu tidak sanggup melanjutkan ucapannya.
"Apa kejadian sepuluh tahun yang lalu kembali terulang Pa?"tanya mama Raya seraya menyentuh pundak suaminya.
"Mana mungkin Ma,"sahut papa Raya."Nggak ada kejadian apapun yang memicu trauma Raya.Jadi mana mungkin hal seperti itu terjadi,"sangkal papa Raya.
Mama Raya terdiam.Wanita itu berpikir keras.Tapi sepertinya ia tak menemukan apa-apa.Ia tetap tidak tahu kenapa tiba-tiba Raya jatuh sakit seperti itu.
#####
Tubuh Raya terbaring diatas tempat tidur.Ia sama sekali tak bergerak.Bahkan ia tak merespon saat mama menggenggam tangannya.
Wajahnya pucat dan nafasnya begitu lemah.Gadis itu jatuh koma semenjak pertama kali dibawa ke rumah sakit.
Dan hari ini adalah hari ke-empat ia terbaring disana dalam keadaan koma.Sedang diagnosa dokter sama sekali tak melegakan perasaan semua orang.Raya mengalami guncangan hebat.Depresi berat.Bah... dokter hanya mengatakan omong kosong belaka.Papa hanya bisa mengutuk dokter yang mendiagnosa putrinya.
Obat apapun tak ada gunanya diberikan pada Raya.Gadis itu juga tak mau bangun meski mama, papa ataupun Raisa memohon padanya.Bahkan benda-benda kesayangan Raya sudah diangkut kerumah sakit.Lagu-lagu kesukaan Raya sudah puluhan kali disetel hanya untuk memancing reaksi Raya.Bahkan papa sempat mengiming-imingi gadis itu untuk kembali ke London.Tapi Raya masih bergeming ditempatnya.
Gadis itu sepertinya tidak mau bangun lagi untuk selamanya.
"Bagaimana keadaan Raya,Tante?"
Andra datang membawa seikat bunga mawar merah untuk diletakkan disamping tempat tidur Raya.Karena setahu dia semua gadis didunia ini menyukai mawar.
Mama Raya menggeleng.Seperti menyerah pada takdir.
"Dia seperti nggak mau bangun lagi,"ucap mama Raya sedih.
Andra menghela nafas.Berat.
Terlebih saat mama Raya beranjak pergi dari kamar itu.Meninggalkan Andra berdua saja dengan Raya.
"Sebenarnya apa yang terjadi denganmu Ray?"gumam Andra geram.Tangannya mencengkeram sprei putih dihadapannya.
"Cepat bangun dan katakan apa yang sedang menimpamu? Kamu sakit apa?!"
Suasana sedikit menegang.Namun sunyi setelah Andra menghentikan luapan emosinya.
Raya masih bergeming.Betapapun Andra ingin gadis itu bangun tapi Raya bersikukuh untuk tetap diam.Jari jemarinya juga tak menunjukkan reaksi sama sekali.
"Kamu masih sahabatku kan?Apa kamu tega membiarkan sahabatmu menderita seperti ini?"keluh Andra memelas.
"Wake up Ray,please..."Andra mengguncang tubuh Raya pelan.
Namun keadaan masih sama seperti sebelumnya.Hanya nafas lemah Raya yang masih terdeteksi monitor.
Hening.Hanya tetes air mata Andra yang mengalir pelan kepipinya.
Jangan biarkan sesuatu yang buruk menimpa Raya, ya Tuhan...
#####
Rintik gerimis turun dari langit yang berwarna kelabu.Ini adalah hujan perdana setelah kemarau panjang melanda.
Suasana segar langsung menyerbu wajah Andra begitu cowok itu membuka daun jendela kamarnya.
Wajahnya tengadah keatas dengan maksud agar tetes air sedikit singgah diwajahnya.
Sepintas kemudian wajahnya beralih ke sisi lain.Ke arah jendela kamar Raya yang terletak diseberang sana.Daun jendela kamar itu tak pernah terbuka lagi semenjak kepergian Raya sebulan lalu.
Yah...Raya telah meninggal sebulan yang lalu tanpa pernah tersadar dari komanya.Dan tidak ada satupun yang tahu penyebab gadis itu mengalami koma.Mungkin hanya Tuhan dan Raya saja yang tahu.
"What are you doing there?Are you happy now?"gumam Andra sendirian.Sementara wajahnya tengadah kembali ke langit.Membayangkan jika Raya sedang berada disana seraya sibuk melukis pelangi untuknya.
Kenapa kamu pergi tanpa memberitahuku sebelumnya,keluhnya pasrah.
"She loves you."
Andra terperangah mendengar suara asing itu.Ia berbalik dan mendapati Stella berdiri dihadapannya.
Ya Tuhan! Cowok itu nyaris mati ditempat begitu melihat sosok Stella.Gadis itu sangat berbeda dari yang terakhir ia lihat.Sekarang penampilannya berubah drastis.
Sosoknya benar-benar mengingatkannya pada seseorang.Rambut panjang berwarna merah yang diikat sembarangan,sweater bergambar pinguin...
"Stella!"
Stella terbahak dan bergegas berlari ke pelukan Andra.
"I miss you so much,"ucap Stella girang.
Andra tersadar seketika.Sosok Stella mengingatkannya pada Raya.Cara mereka berpenampilan nyaris sama.Cara bicara yang masih kental dengan bahasa Inggrisnya dan apa yang dikatakan Stella tadi?
She loves you...
Otak Andra membeku.Apakah ucapan Stella adalah sebuah jawaban atas pertanyaan yang selalu menjadi misteri untuknya...
Ya Tuhan!pekik Andra dalam hati.Otaknya merangkai kejadian demi kejadian sebelum Raya mengalami koma.
Sore itu ia berkunjung kerumah Raya.Saat itu ia menunjukkan cincin pernikahan pada Raya.Dan keesokan harinya Raya jatuh sakit tiba-tiba.Benar!
Tubuh Andra lemas.Jadi ini yang menyebabkan Raya meninggal.Karena dirinya? Karena Raya shock setelah mendengar rencana pernikahan Andra.Karena sesungguhnya Raya mencintai Andra...
"Are you ok?"tanya Stella.
Karena tiba-tiba saja wajah Andra berubah pucat.
"Yes,i'm fine."

Sorry Raya...