Senin, 10 Februari 2014

ROMANTISME PERJODOHAN


Tembang recycle "Mantan Terindah" yang dinyanyikan Raisa mengalun merdu dari cd player dikamar Icha. Gadis itu tampak melamun seraya menerawangkan pandangan matanya keluar jendela yang sedang terbuka. Sementara hujan sedang mengguyur riuh diluar sana. Menerbangkan pikiran gadis berambut panjang itu entah kemana.
Namun beberapa menit kemudian lamunan gadis itu jatuh berantakan manakala terdengar suara menegurnya.
"Cha! Lagi ngapain?"
Icha melenguh pelan. Lagi-lagi cowok sialan itu mengganggunya.
Yudhis tampak menyembulkan kepalanya dipintu kamar Icha. Cowok itu melongok kedalam kamar dan menemukan Icha sedang termangu sendirian di sudut seraya menekuk kedua lututnya.
"Gue laper nih..."keluh Yudhis meminta perhatian Icha.
"Gue kan udah bilang gue nggak bisa masak. Kenapa loe nggak beli aja diluar,"sahut Icha santai.
"Loe liat sendiri kan diluar lagi ujan deras,"timpal Yudhis tidak mau kalah. "Lagian tugas seorang istri kan masak buat suaminya. Kalo nggak bisa masak loe kan bisa browsing di internet atau belajar sama mama."
Icha mendengus. Gadis itu mematikan mesin playernya beberapa detik kemudian.
"Kenapa loe nggak nyewa pembantu aja daripada bawel kayak nenek-nenek ompong gitu,"tukas Icha cepat. "Lagian siapa juga yang mau menjadi istri loe. Perjodohan kita kan bukan gue yang mau,"imbuhnya sinis.
Duh, batin Yudhis sambil menggaruk-garuk kepalanya. Nih cewek kerjaannya ngajak berantem melulu. Bisa-bisa perang dunia dimulai lagi.
"Loe bener sih, gue juga nggak mau jadi suami loe,"balas Yudhis menyerang Icha. "Tapi gue laper banget nih..."
"Didapur cuma ada mie instant sama sayuran doang. Loe bikin mie rebus sana gih,"suruh Icha kemudian.
"Loe jadi cewek males banget,"olok Yudhis kesal. Bukannya dia yang menyuruh dibuatkan makanan, tapi kenapa ia yang malah balik disuruh, gerutunya. "Ntar gue aduin mama baru tahu rasa loe,"ucapnya setengah mengancam.
"Hei!"teriak Icha terbangun dari duduknya. Gadis itu bermaksud mengejar Yudhis yang telah duluan menutup pintu kamarnya dan hendak pergi.
"Loe mau apa?"tegur Yudhis pura-pura. Cowok itu sedang melenggang dengan santainya kearah dapur.
"Dasar penjilat!"maki Icha sambil menimpuk punggung Yudhis tanpa ampun.
"Awwww...."Yudhis meringis menerima pukulan Icha. Ternyata cewek bertangan kurus itu punya tenaga luar biasa juga, batinnya.
"Makanya jangan macem-macem sama gue,"ujar Icha mendahului langkah Yudhis. Gadis itu membuka lemari dapur dan mengambil dua bungkus mie instant. "Loe mau rasa apa? Mie goreng atau soto?"tawarnya beberapa detik kemudian.
Yudhis geleng-geleng melihat Icha. Ternyata ancamannya mempan juga.
"Terserah,asal nggak pake sawi aja,"sahut Yudhis.
"Heh, mie instant tuh banyak bahan kimianya. Jadi harus diimbangin dengan sayuran,"cerocos Icha cerewet.
"Iya gue juga tahu,"tukas Yudhis sewot. "Loe kayak nenek-nenek ompong aja, cerewetnya minta ampun,"makinya membalas olokan Icha tadi.
Icha tak membalas kali ini. Gadis itu sibuk menyalakan kompor lantas merebus air. Sedang Yudhis menuangkan bumbu mie nstant kedalam mangkuk meski tanpa disuruh.
Mereka berdua memang selalu begitu. Semenit berantem, semenit akur. Susah menyatukan keduanya.
Meski mereka telah berstatus sebagai suami istri, namun kehidupan mereka lebih seperti teman kadang juga lawan.
Perjodohan tanpa cinta. Begitulah awal dari semua ini......

~~~@@~~~

"Mama??!"
Icha memekik kaget saat mendapati mama Yudhis telah berdiri didepan pintu rumahnya dengan kantung-kantung belanjaan yang tampak menggantung di tangannya. Sungguh, ini kejutan yang sama sekali tidak ia harapkan.
"Kamu lagi ngapain?"cecar mama Yudhis seraya menerobos masuk kedalam. Memperhatikan sekeliling ruang tamu dan ruang tengah. Lantas mama Yudhis melangkah ke dapur dan meletakkan belanjaannya diatas meja makan.
"Mama tadi mampir ke supermarket deket sini, jadi sekalian aja belanja buat kamu,"ujar mama Yudhis. Dengan cekatan tangannya mengeluarkan belanjaan dari dalam kantung. Sementara Icha berusaha membantunya.
"Harusnya mama nggak usah repot-repot kayak gini,"sahut Icha berbasa-basi.
"Oh ya Cha, bantuin mama masak. Kamu kupas bawang dan sayurannya. Biar mama nyiapin daging ayamnya,"suruh mama Yudhis bersiap memasak.
"Tapi Yudhis nggak suka sayur Ma,"sahut Icha seraya melaksanakan perintah mama Yudhis.
"Tuh anak emang susah dibilangin,"gerutu mama Yudhis. "Tapi mama berusaha memaksa dia untuk makan sayur. Mau nggak mau."
Disaat mereka tengah berbincang, tiba-tiba saja Yudhis muncul. Cowok itu baru saja pulang dari tempat kerja.
"Loh, mama kok ada disini,"ucap Yudhis setengah terkejut.
"Kenapa? Kamu nggak suka mama datang,"celutuk mamanya sewot.
"Ya nggak gitu Ma,"sahut Yudhis kelabakan.
"Bukannya kamu sering bilang sama mama kalau Icha nggak bisa masak. Makanya mama datang sekalian ngajarin dia masak,"tandas mama Yudhis sembari tangannya sibuk memotong-motong daging ayam.
Icha melotot pada Yudhis saat mendengar aduan mama Yudhis perihal dirinya. Sedang Yudhis pura-pura tidak melihat kearah Icha.
"Kalian akur-akur aja kan?"sentak mama Yudhis beberapa detik kemudian. Karena anak dan menantunya saling diam.
"Tentu aja akur,"sahut Yudhis cepat manakala mamanya menatap keduanya. "Ya kan sayang?"tanya Yudhis seraya merangkul pundak Icha mesra.
Icha yang tidak menduga akan diperlakukan seperti itu hanya bisa tersenyum senatural mungkin.
"Kalau gitu cepet bikinin cucu buat mama,"tandas mama Yudhis lagi. Membuat Yudhis dan Icha kaget setengah mati.
"Ma, kami kan baru menikah sebulan. Masa langsung punya anak sih,"protes Yudhis. "Lagian kami kan belum siap."
"Biar mama nanti yang merawat anak kalian,"usul mama Yudhis membuat keduanya panik.
"Nggak bisa gitu dong Ma,"seru Yudhis ngotot. "Kami masih ingin menikmati semuanya berdua. Apalagi kami nggak sempat pacaran dulu,"imbuh Yudhis mencari alasan. Dan Icha merasa terselamatkan untuk sementara waktu karena mama Yudhis menunjukkan penerimaannya atas alasan yang diajukan putranya.
"Baiklah baiklah..."sahut mama Yudhis kemudian. Mengalah akan sikap anaknya.
"Mama mau menginap disini?"tanya Yudhis mengalihkan topik.
"Nggak usah. Ntar yang ada mama ganggu kalian,"cetus mama Yudhis. "Oh ya Yud, jagain Icha baik-baik. Mama nggak mau mendengar kamu menyakiti hati Icha atau bikin dia nangis. Kamu harus janji sama mama,"ucap mama Yudhis kemudian.
Yudhis dan Icha saling berpandangan untuk beberapa saat usai mendengar permintaan mam,a Yudhis. Ini janji toh?
"Iya Ma,"ucap Yudhis terbata. "Yudhis janji."

~~~@@~~~

"Jadi loe ngadu sama mama kalo gue nggak bisa masak?"protes Icha geram. Padahal mobil mama Yudhis baru saja keluar dari pintu gerbang rumah mereka.
"Emang kenyataannya gitu. Masa gue bilang kalo loe pinter masak padahal loe nggak bisa masak,"bela Yudhis sengit.
"Ya nggak usah diceritain dong sama mama,"tukas Icha kesal. "Terus maksud loe apa ngerangkul gue tadi? Loe sengaja nyari kesempatan kan?"
Yudhis ternganga mendengar pertanyaan Icha.
"Eh, gue tadi kan cuma pura-pura biar mama nggak curiga sama kita. Atau loe lebih suka kalo gue bilang yang sebenernya? Kalo tiap hari kita berantem terus?"Yudhis balik menyerang Icha dengan tampang serius.
Icha mendesah berat.
"Tapi loe nggak perlu ngerangkul gue kayak gitu...."
"Loe kan istri gue, ya nggak pa pa dong. Lagian itu kan cuma akting didepan mama doang,"ucap Yudhis bermaksud kabur kekamarnya.
"Dasar anak mama,"olok Icha menggerutu.
Gadis itu merasa dipermainkan oleh Yudhis. Eh, tapi tadi Yudhis kan sudah berjanji pada mamanya tidak akan menyakiti hati Icha.
"Loe tadi kan udah janji sama mama nggak akan nyakitin hati gue,"seru Icha sebelum Yudhis berhasil masuk ke kamarnya.
Yudhis terhenti persis didepan pintu kamarnya.
"Emang kapan gue nyakitin hati loe?"pancing Yudhis dengan nada malas.
Icha tak merespon. Tiap hari berantem dengan Yudhis dan tak pernah menang. Percuma melanjutkan perdebatan yang nanti ujung-ujungnya berakhir pada olok-olok nenek ompong.
"Loh... mau kemana? Nggak mau berantem sama gue?"tanya Yudhis heran. Karena Icha malah membalikkan tubuhnya 180 derajat.
"Gue mau tidur,"balas Icha malas. Gadis itu menutup pintu kamarnya beberapa detik kemudian.
"Dasar tukang tidur,"gumam Yudhis kesal. Cowok itu masuk kedalam kamarnya setelah melihat Icha masuk kedalam kamarnya sendiri.
Selama ini mereka memang tidur terpisah. Makanya saat mama Yudhis meminta cucu, mereka kalang kabut. Dan yang lebih parahnya lagi mereka menyembunyikan hubungan mereka yang kelewat buruk. Sampai kapan mereka akan seperti itu?

~~~@@~~~

Yudhis heran. Sepulang dari tempat kerja harusnya Icha sudah menyiapkan makanan untuknya. Tapi meja makan masih kosong. Hanya ada beberapa butir buah jeruk dan apel disana yang kemarin dibawa oleh mama Yudhis.
Yudhis beranjak pergi ke kamar Icha. Pasti ia ketiduran atau lupa kalau ia punya tanggung jawab untuk mengurus suami.
"Cha...."teguran Yudhis tersendat. Sedianya ia ingin mengomeli gadis itu habis-habisan namun demi melihat sikap Icha ia mengurungkan niatnya semula.
Icha tampak menelungkupkan wajahnya ke atas bantal. Terdengar suara tangisnya sesenggukan.
Yudhis kaget. Tak biasanya Icha seperti itu. Meskipun mereka pernah bertengkar hebat, tapi tak pernah sekalipun Icha meneteskan air matanya. Sebenarnya apa yang terjadi?
"Loe kenapa?"tanya Yudhis kalem. Cowok itu menghampiri tempat tidur Icha lantas mengusap kepala gadis itu perlahan sampai akhirnya Icha bangkit dan memperlihatkan wajahnya pada Yudhis. Tampaklah kedua matanya yang merah karena sembab. Sama sekali tak terbersit dalam hati Yudhis untuk memancing pertengkaran dengan Icha demi melihat kondisi gadis itu.
"Gue sedih banget Yud,"keluh Icha masih dengan sesenggukan. Air matanya kembali turun kepipi.
"Iya tapi kenapa?"desak Yudhis tak sabar.
"Gue udah dikhianati Yud,"tutur Icha. Gadis itu mengusap air mata yang jatuh ke atas pipinya. "Padahal gue sayang banget sama dia..."
Hah? Yudhis hanya bisa melongo mendengar pengakuan gadis itu. Ia tak berkomentar. Namun ia ingin mendengar penjelasan yang lebih detail lagi dari mulut Icha.
"Gue tadi buka facebook dia, dan gue baru tahu kalo dia udah punya cewek lain. Pantesan sms dan telpon gue nggak pernah dibales. Mention gue di twitter juga nggak dibales. BBM apalagi...."ungkap Icha. Kali ini ia tak lagi sesenggukan. Nada suaranya terdengar kesal dan wajahnya tampak kecewa.
"Padahal dia bilang ke gue kalo dia sayang banget sama gue. Dan dia juga bersedia nunggu gue sampai berpisah dari loe. Tapi dia mengkhianati gue, Yud. Padahal cuma dia satu-satunya cowok yang gue sayang,"lanjut Icha kembali. Dengan nada melankolis.
Yudhis menghela nafas. Permasalahan cinta, batinnya maklum.
"Sekarang gue mesti gimana?"tanya Icha menyentak kediaman Yudhis.
"Ya gimana lagi,"timpal Yudhis cuek. "Lupain dia. Kan dia udah punya cewek lain,"imbuhnya enteng.
"Nggak bisa. Gue sayang banget sama dia..."
"Terus loe mau apa?"tanya Yudhis. "Loe udah punya suami. Harusnya loe mikirin suami loe yang kelaparan ini. Bukannya ngurusin cowok lain,"tandas Yudhis sewot.
Icha jadi tersadar kalau harusnya ia menyiapkan makanan untuk Yudhis seperti biasa. Tapi waktunya telah tersita untuk menangisi mantan kekasihnya.
"Loe pesen pizza aja. Gue males masak,"ucap Icha seraya kembali berbaring.
"Gue nggak doyan pizza. Gue mau loe masak buat gue,"sahut Yudhis setengah memaksa.
"Tapi gue lagi sedih dan nggak mood masak. Loe masak mie instant sana gih,"suruh Icha tak kurang akal.
"Bukannya loe bilang mie instant banyak bahan kimianya,"timpal Yudhis tak mau kalah.
Aaarrggghh!
Icha menggerutu kesal.
"Dasar nenek-nenek ompong bawel,"olok Icha geram. Gadis itu bangkit dan bergegas pergi ke dapur untuk memasakkan makanan untuk Yudhis yang bawelnya minta ampun itu.
Kena loe, batin Yudhis girang. Akhirnya ia yang memenangkan pertempuran kali ini. Icha memang mudah sekali dikalahkan dalam perdebatan.

~~~@@~~~

"Yang ini bagus nggak?"tanya Icha seraya mematut sebuah gaun biru muda dan berpotongan simple di tubuhnya. Dari tadi ia sibuk memilih-milih gaun didalam butik. Sedang Yudhis menunggunya dengan tidak sabar. Pasalnya Yudhislah yang berinisiatif mengajak Icha jalan-jalan di mal untuk menghilangkan kegalauan hatinya. Tapi ternyata Icha hanya berkutat di butik itu sejak sejam yang lalu hanya untuk memilih sepotong pakaian saja.
"Ya udah, loe pilih aja sesuka hati loe,"tandas Yudhis enggan.
"Beneran ini bagus?"ulang Icha masih tampak ragu.
"Iya, yang itu juga nggak pa pa,"sahut Yudhis kesal. "Loe cepetan dikit dong, gue udah laper nih,"suruhnya kemudian.
"Bawel banget sih,"gerutu Icha. Gadis itu bergegas melangkah ke kasir untuk membayar pakaian yang dibelinya sebelum Yudhis bertambah marah.
Usai keluar dari butik, sedianya mereka akan makan di food court. Tapi Yudhis sudah tidak tahan ingin ke toilet, jadinya cowok itu menyuruh Icha untuk mennggunya didepan pintu toilet.
"Gue kebelet nih,"keluh Yudhis dengan ekspresi panik. Ia telah bersiap kabur ke toilet.
"Ya udah, loe ke toilet sana gih. Gue tunggu disini,"ucap Icha santai.
"Tunggu gue didepan pintu toilet. Jangan kemana-mana,"pesan Yudhis sebelum pergi ke toilet.
Sepuluh menit kemudian Yudhis keluar dari dalam toilet. Namun ia tak mendapati Icha didepan pintu toilet. Cowok itu celingak celinguk mencari Icha kesekeliling tempat itu, tapi hasilnya nihil. Icha tak ada.
Yudhis mencoba menghubungi nomor ponsel Icha tapi hasilnya juga mengecewakan. Icha tak mengangkat panggilan Yudhis.
Kemana sih tuh anak, batin Yudhis mulai cemas. Apa mungkin dia diculik?
"Yud!!"
Teriakan itu terdengar lantang didekat telinga Yudhis. Hampir saja jantungnya copot karenanya.
"Sorry, gue tadi abis dari toilet. Abisnya loe lama banget sih,"ucap Icha seolah tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Yudhis menghela nafas. Kesal bukan main.
"Loe nggak tahu betapa paniknya gue tadi?!"seru Yudhis kesal. "Kalo loe diculik gimana?"
Icha melongo. Namun sejurus kemudian gadis itu terkekeh. Diculik? batinnya geli.
"Loe tuh aneh Yud,"ujar Icha masih seraya tergelak. "Mana ada orang yang mau nyulik gue siang-siang gini? Di dalam mal lagi...."
Yudhis tak ikut tertawa seperti yang dilakukan Icha. Cowok itu masih tampak geram dengan sikap Icha tadi.
"Loe marah sama gue?"tanya Icha seraya meneliti raut mukaYudhis yang ditekuk.
"Gue nggak marah,"elak Yudhis sewot. "Ngapain juga marah sama nenek-nenek ompong kayak loe."
"Huh dasar!"maki Icha sambil menimpuk punggung Yudhis dengan kepalan tinjunya. Menyebabkan cowok itu menjerit kesakitan.
"Rasain loe,"gumam Icha puas.

~~~@@~~~

"Beneran loe tadi panik gara-gara gue menghilang?"tanya Icha begitu mereka berdua sampai dirumah.Icha langsung memasukkan es krim yang ia beli tadi di supermarket kedalam lemari es.Sementara Yudhis hendak masuk kedalam kamarnya.
Hari sudah malam dan gelap. Sementara hujan mulai turun diluar sana. Sesekali kilat dan petir menyambar di angkasa. Beruntung mereka telah sampai dirumah sebelum hujan benar-benar mengguyur bumi.
Yudhis mendengar pertanyaan Icha. Tapi cowok itu malas menanggapinya, karena bahan perbincangan seperti itu bisa berbuntut perdebatan.
"Loe masih marah sama gue?"
Mendadak Icha muncul dibalik pintu kamar Yudhis. Tepat disaat cowok itu hendak melepas tshirt-nya.
"Loe apa-apaan sih?"bentak Yudhis kaget melihat kemunculan Icha dikamarnya. "Masuk kekamar orang seenaknya....."
"Duh.. galak amat,"olok Icha kalem. "Dasar nenek-nenek ompong,"imbuhnya lagi.
"Loe keluar sana. Gue mau mandi nih,"suruh Yudhis mengusir paksa Icha. Ia mendorong tubuh gadis itu keluar dari kamarnya.
"Iya iya. Tapi nggak usah dorong-dorong gitu dong,"gerutu Icha sewot.
Yudhis menutup pintu kamarnya setelah Icha berhasil didorongnya keluar dari kamar. Dasar cewek bawel, makinya dalam hati.
Baru saja ia hendak melepaskan tshirtnya kembali, tiba-tiba lampu dikamarnya padam seiring terdengar petir menyambar dengan keras.
Pasti instalasi listriknya kesambar petir, batin Yudhis menduga.
Sejurus tadi telinga Yudhis menangkap suara jeritan Icha dikamarnya berbarengan dengan padamnya listrik dirumah mereka. Gadis itu pasti sangat terkejut saat mendadak gelap beberapa menit yang lalu.
Rasain loe, gumam Yudhis seraya terkekeh. Sepertinya dendamnya terbalaskan oleh alam.
Tapi tidak enak juga gelap-gelapan seperti ini, pikir Yudhis seraya melangkah dengan hati-hati keluar dari kamarnya. Cowok itu bermaksud ingin mengambil lilin diruang tengah. Ia ingat menyimpan lilin dan korek didalam laci lemari disana.
"Cha!"
Dengan berbekal sebuah lilin yang menyala ditangannya, Yudhis melangkah menuju kamar Icha. Karena gadis belum juga keluar dari kamarnya padahal suasana sangat gelap.
Yudhis terperanjat begitu sampai dikamar Icha. Gadis itu tampak menekuk kedua lututnya seraya bersandar di sudut kamar. Tubuhnya gemetar dan keringat dingin keluar dari pori-pori keningnya. Sedang kedua matanya tampak basah.
"Loe kenapa Cha?"seru Yudhis panik. Ia menghampiri tempat duduk Icha dan berusaha menolong gadis itu.
Icha tak menyahut. Bibirnya seperti terkunci. Gadis itu tampak panik. Mungkin juga ketakutan. Tapi apa yang membuatnya ketakutan seperti ini?
"Cha, loe baik-baik aja kan?"tanya Yudhis bingung. Karena tiba-tiba saja Icha meledakkan tangisnya.
"Tenanglah.... Gue ada disini buat loe,"ucap Yudhis menenangkan hati Icha. Cowok itu mendekap tubuh Icha beberapa saat kemudian.....

~~~@@~~~

Saat berumur sepuluh tahun Icha pernah diculik oleh seorang penjahat. Ia disekap didalam sebuah lemari sempit dan gelap selama dua hari. Dari peristiwa itulah semuanya berawal.
Meski polisi telah menangkap penjahat yang telah menculik Icha, namun dampak psikologis akibat peristiwa itu masih ia rasakan sampai sekarang. Setiap berada di ruang gelap ia akan merasakan ketakutan luar biasa mengusai dirinya. Padahal kedua orang tua Icha telah berusaha berkonsultasi dengan dokter, tapi ternyata tidak mudah untuk menghilangkan trauma itu.
Begitulah yang diungkapkan mama Icha perihal putrinya saat Yudhis mencari tahu tentang kejadian yang menimpa Icha semalam.
"Loe udah bangun?"tegur Yudhis heran. Ia melihat Icha keluar dari kamarnya dan langsung pergi mengambil es krimnya dari dalam kulkas.
"Loe baik-baik aja?"tanya Yudhis seraya menyusul langkah Icha ke meja makan.
Icha mengangguk kecil. Gadis itu tak langsung membuka tutup es krimnya.
"Sorry ya,"gumam Icha lirih. "Semalem gue udah nyusahin loe...."
Yudhis melihat ketulusan terpancar dari dalam mata Icha. Baru kali ini ia melihatnya.
"Gue ngerti kok..."sahut Yudhis kalem.
"Loe nggak marah kan sama gue?"
Yudhis tersenyum.
"Ngapain gue mesti marah,"sahutnya. "Gue nggak marah kok."
"Apa bener yang loe bilang semalem?"tanya Icha sejurus kemudian.
Yudhis mengerutkan dahinya. Mencoba mengingat sesuatu.
"Emang gue bilang apa semalem?"Yudhis malah balas bertanya.
"Beneran loe nggak ingat?"tanya Icha heran.
"Nggak,"gumam Yudhis sambil menggelengkan kepalanya kekiri dan kanan.
"Dasar nenek-nenek ompong,"gerutu Icha kesal.
"Loh, nenek ompong kok dibawa-bawa sih..."
"Abisnya loe tuh ngeselin banget,"ucap Icha ngambek. Gadis itu segera membuka tutup es krim dan menyenduk isinya.
Yudhis terkekeh mendengar ucapan Icha.
"Minta dong..."ucap Yudhis merajuk manja.
"Nggak. Ini kan punya gue. Loe beli aja sendiri sana,"ucap Icha sewot.
"Tapi loe punya gue, dan gue sayang sama loe...."ucap Yudhis lantas mendaratkan sebuah kecupan kejutan ke pipi Icha. Lalu ia kabur entah kemana. Meninggalkan Icha sendirian dalam posisi tertegun kaget. Benarkah Yudhis yang menciumnya tadi? batinnya linglung.
Icha mencubit lengannya sendiri. Dan ternyata cubitannya terasa sakit. Berarti itu tadi bukan mimpi dan benar-benar nyata.
Icha mengelus pipinya sendiri bekas ciuman Yudhis tadi. Ia menoleh ke sekeliling dan tak mendapati Yudhis.
Gadis itu tersenyum sendiri.
Gue juga sayang sama loe Yud, batinnya bahagia.........

Kamis, 06 Februari 2014

Time Machine


Carla mendapati sesosok tubuh laki-laki terkapar di depan pintu rumahnya pagi ini. Tubuh itu dibalut dengan mantel berwarna biru tua dengan posisi meringkuk. Mungkin semalaman ia bertahan disana dari hawa dingin yang menggigit.
Siapa dia? batin Carla seraya mengamati seraut wajah laki-laki itu.
Gadis itu tertegun untuk berpikir. Mencoba menggali memori ingatannya tentang orang itu. Tapi ia tak menemukan apa-apa. Ia sama sekali tak mengenal laki-laki itu.
Atau orang itu mabuk dan lupa jalan pulang kerumahnya.....
"Tuan...."tegur Carla mencoba membangunkan laki-laki itu. Namun hanya gumaman tak jelas yang keluar dari mulutnya.
Carla membalikkan tubuh laki-laki itu dan ia kaget melihat wajah laki-laki itu yang tampak pucat. Gadis itu segera meraba kening laki-laki itu dan benar dugaannya. Ia demam!
Ya Tuhan! Bagaimana ini? batin Carla bingung. Gadis itu menatap kesekeliling rumahnya yang kosong. Tak ada seorangpun yang tampak untuk dimintai pertolongan.
Gadis itu segera menyeret tubuh laki-laki asing itu masuk kedalam rumahnya. Lantas membaringkan tubuh itu diatas tempat tidur dan membentangkan beberapa lembar selimut diatasnya.
Carla juga mengompres kening laki-laki itu dengan air hangat dan membuatkannya segelas cokelat panas.
Laki-laki itu terbangun sesaat setelah Carla meletakkan minuman itu diatas meja.
"Anda sudah sadar?"tegur Carla seraya memperhatikan raut wajah laki-laki itu dengan teliti. Menilik dari raut mukanya, Carla memperkirakan usianya sepuluh atau lima belas tahun lebih tua darinya. Ia tampak kusut dan lelah.
"Carla?"gumam laki-laki itu menyebut nama Carla. Membuat gadis itu terpana. Bagaimana ia bisa tahu nama Carla sementara mereka belum pernah bertemu sebelumnya.
"Tuan mengenal saya?"tanya Carla bingung.
"Oh..."laki-laki itu tampak salah tingkah. Ia tertegun sejenak seperti sedang memikirkan sesuatu. "Maaf, kepalaku sedikit sakit. Boleh aku minum sekarang?"
Carla menyodorkan gelas berisi cokelat itu ke hadapan laki-laki itu segera.
"Terima kasih,"ucap laki-laki itu sebelum meneguk minumannya.
"Rumah anda dimana? Biar saya telepon taksi..."
Kalimat Carla terpotong. Laki-laki itu menatap wajah Carla dalam-dalam.
"Aku sedang sakit dan kau menyuruhku untuk pergi?"timpal laki-laki itu seraya meletakkan gelasnya yang kosong diatas meja.
Carla terdiam. Kalimatnya memang bernada mengusir laki-laki itu secara halus. Tapi laki-laki itu harus pergi secepatnya dari rumah Carla.
"Maaf, saya hanya..."Carla tertunduk menyadari kekeliruannya.
"Namaku Jim,"ucap laki-laki asing itu memperkenalkan dirinya. "Mungkin aku sedang bermimpi atau mabuk. Entahlah..... Aku sendiri juga tidak tahu kenapa aku bisa sampai berada didepan rumahmu."
"Tapi bagaimana kau bisa tahu namaku?"desak Carla ingin tahu.
"Oh, itu..."Jim tampak bingung dengan pertanyaan Carla. Ia sedikit menggaruk kepalanya.
Carla tak sabar mendengar penjelasan Jim. Tapi tampaknya ia tidak akan mendengar apapun dari bibir Jim. Karena laki-laki itu tampaknya enggan berterus terang pada Carla.
"Maaf Jim, aku harus pergi bekerja sekarang. Kalau kau pergi, tolong taruh kuncinya dibawah pot bunga didepan,"ucap Carla sejurus kemudian. Gadis itu tak punya banyak waktu untuk mendengar penjelasan Jim karena ia harus berkemas sekarang jika tidak ingin terlambat pergi bekerja.
Meski sangat beresiko meninggalkan orang asing dirumahnya, Carla tak bisa berbuat banyak. Gadis itu tak memikirkan lagi seandainya laki-laki itu adalah seorang kriminalitas. Atau bisa saja ia adalah seorang buronan polisi. Huh...

@@@@@

Carla membuka pintu rumahnya yang tak terkunci dengan tergesa. Gadis itu menghambur masuk dengan cepat dan hanya tertegun begitu sampai diruang makan. Sungguh, seharian ini hatinya cemas tak karuan. Dan kecemasannya tak terbukti sama sekali.
"Kau sudah pulang?"
Jim tampak tersenyum melihat kedatangan Carla. Laki-laki itu tampak sehat. Apalagi sebuah celemek berwarna merah muda tampak membalut tubuhnya yang tinggi besar. Pemandangan yang luar biasa bagi Carla.
Gadis itu melihat ada beberapa menu makan malam diatas meja. Pasti Jim yang melakukan semua ini, batin Carla sembari mendekat untuk melihat makan malamnya.
"Aku membuatkan spagheti untukmu,"ucap Jim sejurus kemudian. "Cobalah,"suruhnya mempersilakan.
Carla tak berkomentar. Bahkan beberapa pertanyaan yang sempat ingin ia ajukan tersendat di tenggorokannya. Gadis itu mengambil tempat duduk dan mulai mencicipi hasil masakan tamunya.
"Bagaimana?"tanya Jim antusias. Laki-laki itu melakukan hal serupa dengan Carla.
"Ini enak sekali,"puji Carla seraya tersenyum. Bahkan Carla tak tahu cara memasak spagheti.
"Kau suka?"tanya Jim lagi.
Gadis itu mengangguk dan melanjutkan makan malamnya.
"Apa kau sering melakukan ini dirumah? Maksudku memasak seperti ini..."tanya Carla memulai perbincangan.
Laki-laki itu terdiam sesaat.
"Aku harap seperti itu,"sahutnya tampak tak bersemangat.
"Sebenarnya apa yang terjadi semalam? Dan sejak kapan kau berada disana?"tanya Carla kembali. Bermaksud mengorek asal usul Jim.
"Apa kau bermaksud ingin menyuruhku untuk segera pergi dari sini?"timpal Jim seolah tersinggung dengan pertanyaan Carla.
"Bukan seperti itu...."
"Aku akan pergi kalau kau ingin..."potong Jim cepat sebelum Carla menyelesaikan kalimatnya.
"Tidak,"sahut Carla tak kalah cepat. "Aku tinggal sendiri dan selalu terbiasa melakukan apapun sendirian...."
"Aku tahu,"sahut Jim seolah maklum dengan apa yang diutarakan Carla.
"Sebenarnya kau siapa?"tanya Carla sesaat kemudian. Pertanyaan ini selalu berputar dikepalanya sejak laki-laki itu muncul dirumahnya.
"Apa itu sangat penting buatmu?"Jim malah balas bertanya. "Aku bukan orang jahat. Dan aku tidak akan mengganggumu."
Carla mendesah. Resah. Apa demkian sulit mengatakan sekelumit pribadinya?
"Apa aku boleh tinggal disini beberapa hari lagi?"tanya Jim menggugah lamunan Carla.
Gadis itu terdiam. Ragu.
"Aku akan pergi setelah itu...."
Carla mengangguk. Akhirnya. Setelah bingung untuk memutuskan.

@@@@@

Carla menggeliat lantas merapatkan selimutnya kembali. Udara pagi yang dingin diakhir musim gugur membuatnya enggan untuk meninggalkan tempat tidur. Namun samar-samar gadis itu mencium harum aroma kopi menyapa indera penciumannya.
Kopi? batinnya tersentak. Carla terbangun dari tempat tidurnya tiba-tiba.
Jim yang sedang meletakkan secangkir kopi diatas meja langsung mengembangkan senyumnya begitu melihat Carla terbangun.
"Selamat pagi,"sapa Jim manis. Laki-laki itu tampak jauh lebih segar dari sebelumnya. Carla juga melihat sisi ketampanan pria dewasa dalam diri Jim. Membuat gadis itu merasa sedikit kikuk.
"Harusnya kau tidak memanjakanku seperti ini,"gumam Carla sambil pura-pura menggeliat pelan.
Jim terkekeh.
"Apa tidurmu nyenyak semalam?"tanya Jim kemudian. Laki-laki itu menarik sebuah kursi kayu kedekat ranjang.
"Ya,"sahut Carla. "Tidak seperti malam sebelumnya. Aku terbangun karena suara aneh diatap. Seperti suara benda jatuh. Aku tidak tahu pasti suara apa itu. Tapi untung saja bukan meteor yang jatuh,"papar Carla sembari tersenyum.
"Apa kau tidak takut tinggal sendiri seperti ini?"tanya Jim lirih.
"Aku sudah terbiasa hidup seperti ini,"timpal Carla seraya tertawa kecil. "Apa kau mengkhawatirkanku?"canda Carla.
Jim tersenyum tipis.
"Kau bukan tipe orang yang suka dikhawatirkan. Apa tebakanku benar?"sahut Jim bermain teka-teki.
Carla ganti tersenyum.
"Kau seperti orang yang jatuh dari langit. Tiba-tiba muncul didepan pintu rumahku dan menebak kepribadianku. Dalam beberapa hal kau benar. Aku memang tidak suka orang lain mencemaskanku. Tapi aku bukan orang yang suka kopi,"tutur Carla masih dengan senyum mengembang di ujung bibirnya.
"Maaf..."sahut Jim ikut tergelak. "Aku bisa membuatkanmu minuman lain...."
"Tidak perlu,"cegah Carla. "Aku harus segera bersiap-siap karena aku tidak suka terlambat. Kau boleh meminum kopinya,"seru gadis itu seraya beranjak dari tempat tidurnya.
"Tapi kau harus memakan sarapanmu Carla! Aku sudah membuatkanmu omelet dengan sosis kesukaanmu,"balas Jim dengan berseru pula. Tapi Carla terlanjur pergi kekamar mandi dan telah menutup pintunya.
Huh, ia pasti tak mendengarnya, keluh Jim dalam hati.

@@@@@

"Jim!"
Carla tiba dirumah beberapa menit lebih awal dari biasanya. Gadis itu mendapati dapurnya kosong tanpa Jim. Namun meja makan tampak rapi dengan sebatang lilin dan juga hidangan makan malam.
Sepertinya Jim telah menyiapkan sebuah acara "candle light dinner" bagi Carla. Gadis itu tersenyum manakala melihat kejutan itu.
Jim yang misterius itu ternyata adalah pribadi yang romantis. Apa Jim jatuh cinta padanya? Tapi Jim jauh lebih tua dari Carla....
"Jim!"teriak Carla sekali lagi demi tak mendapat jawaban dari laki-laki itu. Namun langkah Carla terhenti begitu ia mengarahkan kakinya ke kamar mandi.
"Apa kau sedang mandi?"tanya Carla saat telinganya menangkap suara gemercik air dari dalam kamar mandi. Gadis itu berbalik karena merasa pertanyaannya telah terjawab.
Namun begitu Carla tiba diruang tengah ia melihat mantel biru tua milik Jim tergeletak begitu saja diatas sofa. Gadis itu melihat kearah pintu pintu kamar mandi beberapa saat untuk memastikan si pemilik mantel belum keluar dari dalam sana.
Akhirnya Carla meraih benda itu dan memeriksa isi saku ditiap sudut mantel milik Jim. Tangan Carla meraih sebuah benda dari dalam salah satu saku mantel itu. Sebuah potongan artikel surat kabar.....
"Apa ini?"gumam Carla seraya membuka lipatan kertas itu.

........seorang wanita bernama Carla Hawkins (30) ditemukan tewas bersama putranya Jay Hawkins(2) setelah mengalami kecelakaan di jalanan tak jauh dari kediamannya. Diduga korban mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi setelah bertengkar dengan suaminya Jim Hawkins (33).....

Tangan Carla gemetar dan nyaris menjatuhkan potongan kertas koran itu dari tangannya. Gadis itu tercengang dengan apa yang baru saja ia baca.
Di artikel itu tergambar sebuah foto yang sangat mirip dengannya. Tapi Carla tidak pernah mengambil foto itu sebelumya. Foto itu tampak sedikit dewasa dan seorang anak kecil yang konon adalah putranya juga ada dalam dekapannya. Dan foto Jim Hawkins sangat mirip dengan laki-laki yang kini tinggal dirumahnya. Tapi surat kabar itu tertanggal 20 November sepuluh tahun mendatang. Apa arti semua ini? Apa ada hubungannya dengan kemunculan laki-laki misterius di rumahnya?
"Carla?"
Gadis itu tercekat. Potongan kertas koran itu seketika lepas dari genggamannya. Jim telah keluar dari kamar mandi dan tampak kaget melihat Carla yang sedang sibuk membaca potongan artikel miliknya.
"Apa penjelasanmu untuk semua ini?'serang Carla seraya menatap Jim dengan sorot mata tajam. Gadis itu benar-benar butuh penjelasan tentang artikel yang baru saja ia baca.
Jim tak langsung menjawab. Laki-laki itu bergerak melangkah kehadapan Carla.
"Jim...."sepasang mata milik Carla tampak mengiba.
"Apa kau akan percaya padaku kalau aku mengatakan aku datang dari masa depan?"tanya Jim balas menatap mata Carla lekat-lekat.
Gadis itu hanya tertegun dan tak ingin mempercayai ucapan Jim. Tapi artikel koran itu memperkuat maksud Jim.
"Aku datang dari waktu sepuluh tahun mendatang Carla,"tandas Jim mempertegas ucapannya. "Akulah yang jatuh ke atas atap rumahmu malam itu."
Carla masih dalam posisinya semula. Tegang dan tak percaya.
"Lalu untuk apa kau datang kemari?"timpal Carla. "Apa untuk mencegah kematianku?"
Jim mendesah berat. Mungkin Carla terlalu cepat menyimpulkan pendapatnya.
"Aku tidak yakin bisa mencegah kematian. Tapi aku berharap bisa memperbaiki masa lalu,"tutur Jim.
Carla tersenyum pahit. Gadis itu masih belum percaya dan menganggap semua ini hanya lelucon belaka. Atau bahkan ini hanya sebuah mimpi.
"Aku tidak tahu harus percaya atau tidak,"gumam Carla lirih. Gadis itu melangkah pelan menuju kamarnya.
"Aku ingin sendirian sekarang..."
Langkah Jim yang hendak menyusul Carla kekamarnya urung. Gadis itu menutup pintu kamarnya perlahan. Rasa-rasanya ia perlu waktu untuk merenungkan semua ini. Sebelum ia bertanya lebih jauh tentang artikel koran itu....

@@@@@

Salju turun untuk pertama kalinya. Namun Carla masih tertegun seraya menekuk lututnya diatas tempat tidur. Padahal tahun lalu saat salju turun untuk pertama kalinya ia pergi berjalan-jalan menikmati suasana awal musim dingin.
"Kau sangat menyukai salju..."
Gadis itu mendongakkan dagunya begitu Jim muncul dengan segelas susu hangat ditangannya. Laki-laki itu menyeruak masuk kedalam kamar Carla lantas mengambil tempat duduk di tepi ranjang persis dihadapan Carla.
"Minumlah,"suruh Jim sambil menyodorkan gelas ditangannya kepada Carla.
"Bagaimana kita bertemu dan akhirnya menikah?"tanya Carla setengah menggumam. Ia menerima gelas itu dari tangan Jim.
Jim tersenyum kecil. Matanya langsung menatap keluar jendela. Kearah salju yang bergerak turun dari langit.
"Kita bertemu saat hujan salju pertama turun. Tanpa sengaja aku menabrakmu dan aku mengajakmu minum kopi sebagai permintaan maafku. Saat itu aku tidak tahu kau tidak suka minum kopi. Aku baru tahu setelah kita menikah,"tutur Jim seraya menerawang. "Itu terjadi enam tahun lagi."
Carla ikut tersenyum mendengar penuturan Jim. Pasti sangat menyenangkan jatuh cinta disaat hujan salju, batinnya.
"Pribadi seperti apa diriku? Dan kenapa kau menyukaiku?"desak Carla ingin tahu.
Jim tersenyum. Rupanya gadis itu penasaran dengan dirinya sendiri.
"Kurasa kaulah yang paling tahu tentang pribadimu sendiri,"tandas Jim enggan menjelaskan.
"Apa kita saling mencintai?"tanya Carla kembali. "Tapi artikel itu menyebutkan kita bertengkar dan akhirnya aku mengalami kecelakaan...."
Jim mendesah pelan.
"Pertengkaran itu adalah sebuah kesalahan terbesar dalam hidupku,"tutur Jim lirih. Bernada pilu. "Seumur hidup aku tidak akan pernah memaafkan diriku."
"Kenapa? Apa karena aku mengalami kecelakaan setelah itu dan akhirnya aku...."kalimat Carla terhenti dengan sengaja. Gadis itu tak mau meneruskan kalimatnya.
"Aku hanya berharap kalau aku bisa memperbaiki masa lalu dan hanya mencintaimu seorang,"ucap Jim membuat Carla bingung.
Carla mengerutkan keningnya. Gadis itu bisa membaca sebuah penyesalan yang tersirat diwajah Jim. Entah penyesalan seperti apa yang tengah ia rasakan sekarang.
"Aku mengkhianatimu saat itu,"tutur Jim kemudian. Ia mulai menguak rahasia yang membebani dadanya akhir-akhir ini. "Aku bertemu lagi dengan cinta pertamaku. Dan aku merasa masih sangat merindukannya. Padahal aku punya kau dan seorang putra. Tapi aku mulai berpaling darimu dan mengabaikan keberadaanmu. Aku berselingkuh dengannya,"ujar Jim dengan terbata. Matanya mulai berkabut saat itu.
Sementara Carla hanya tertegun menatap seraut wajah dihadapannya. Tanpa menyela.
"Dimalam itu kita bertengkar karena kau tahu aku berselingkuh,"lanjut Jim kembali. "Kita bertengkar habis-habisan dan pada akhirnya kau pergi dengan membawa putra kita. Saat itu kau menangis, dan aku tidak menyangka kalau kau nekad menabrakkan mobilmu ke pembatas jalan,"laki-laki itu tak bisa menahan isak tangisnya.
Carla terharu mendengar penuturan Jim. Gadis itu tak bisa membiarkan Jim menangis sendirian. Ia meraih tubuh Jim dan memeluknya.
"Maafkan aku,"isak Jim saat Carla mendekap tubuhnya. "Aku kembali ke masa lalu hanya untuk mengatakan aku menyesal. Aku memang bodoh. Maafkan aku sayang...."
Carla tak bisa menjawab. Semua itu belum terjadi dan ia tak bisa merasakan apa yang dirasakan Jim.
"Aku mencintaimu Carla...."

@@@@@

Carla membuang pandangannya ke arah langit-langit kamarnya. Gadis itu hanya diam dan tak bergerak. Sementara Jim berbaring disebelahnya. Laki-laki itu juga tak bergerak. Mungkin telah tertidur.
Seharian ini mereka menghabiskan waktu bersama-sama. Mungkin sebagai pasangan kekasih.
Berbelanja, memasak, membersihkan rumah dan berjalan-jalan. Mereka melakukannya berdua. Tanpa canggung dan sesekali diiringi canda yang romantis. Bahkan saat berjalan dibawah salju, Jim menggenggam tangan Carla. Dan itu sangat membahagiakan bagi Carla. Tapi kebahagiaan seperti itu mungkin tak bisa berlangsung lama.
"Apa kau bisa tinggal disini selamanya?"gumam Carla seraya menoleh kesamping.
Jim membuka matanya demi mendengar pertanyaan gadis disebelahnya.
"Aku ingin melakukannya, tapi mesin waktu itu mungkin akan menyeretku kembali kemasa depan,"ucap Jim. "Tuhan tidak akan suka dengan apa yang kita lakukan, Carla."
Carla menghela nafas panjang.
"Mesin waktu itu terdengar sangat konyol,"gumam gadis itu kembali. "Karena aku jadi tahu jika masa depanku sangat buruk."
"Kau menyesal dengan semua ini?"
Carla menggeleng.
"Mungkin tidak,"ucapnya. "Karena pada akhirnya aku tahu ada seseorang yang sangat menyesali kematianku. Karena selama hidupku aku tidak pernah mencintai seseorang dengan tulus."
"Kau mencintaiku?"tanya Jim ingin tahu.
"Ya,"sahut Carla singkat.
"Meski sekarang usia kita terpaut 13 tahun?"
"Ya,"jawab Carla kembali.
"Andai aku punya kesempatan kedua, aku pasti tidak akan melakukan ini padamu..."
Gumaman Jim terdengar lirih. Mengakhiri percakapan mereka di tengah malam itu.
Carla sudah terlalu lelah. Kedua matanya pun sudah tak kuasa menahan kantuk yang kian menyerangnya. Begitupun Jim. Laki-laki itu sama lelahnya dengan Carla.
Malam kian larut dan dingin. Melelapkan kedua manusia yang berbeda masa itu.

@@@@@

"Jim....."
Carla terbangun dari tidurnya manakala pagi tiba. Namun ia menemukan tempat tidur disebelahnya kosong tanpa Jim.
Apa ia sudah bangun terlebih dulu? batin Carla seraya bergegas turun dari atas tempat tidurnya. Gadis itu melangkah keluar dari kamarnya untuk mencari keberadaan Jim yang mungkin saja berada didapur.
"Jim...."
Gadis itu melongok ke dapur seraya menyebut nama Jim. Tapi kemanapun ia pergi kesudut rumah, tak didapatinya sosok Jim. Bahkan jejak Jim tak ia temukan sama sekali disana. Semua tampak seperti semula, saat Jim belum datang kerumahnya. Bahkan celemek merah muda miliknya masih terlipat rapi didalam laci dapur.
Didapur, kamar dan ruang tamu. Semua tampak sama seperti semula. Seolah Jim tak pernah datang ke rumah itu.
Carla terduduk lemas diatas lantai. Usai mencari Jim kesemua sudut rumah. Dan gadis itu tak menemukan apa-apa sekalipun jejak laki-laki itu.
Mimpikah ia selama ini? batin Carla risau.
Tapi semuanya begitu nyata. Bahkan semalam ia masih memeluk tubuh laki-laki itu.
Tapi kini ia hilang tak berbekas sama sekali. Hanya kenangan singkat yang masih terpahat rapi di memori ingatan Carla.
Tentang kehidupannya sepuluh tahun mendatang.....
Carla hanya bisa tertegun sembari menerawang ke dinding dihadapannya. Seraya melukis sebuah wajah yang masih lekat dalam ingatannya semalam. Wajah Jim.
Laki-laki itu telah pergi ke tempat yang sangat jauh. Ke tempat dimana waktu bisa diputar kembali.
Dan Carla hanya bisa berharap bisa memperbaiki masa depan. Karena Jim telah berusaha memperbaiki masa lalunya.....

@@@@@

Satu bulan kemudian....
Carla semakin mempercepat langkah kakinya menapaki lapisan salju. Gadis itu harus berpacu dengan waktu atau ia akan terlambat tiba di tempat kerja. Sedang serpih-serpih salju yang berjatuhan ke atas kepalanya sama sekali tak dipedulikannya.
Aww....
Carla meringis kesakitan saat ujung bahunya menyentuh tubuh pejalan kaki lain yang juga sama sedang tergesa seperti dirinya.
"Maaf....."
Gadis itu terpaku menatap seorang laki-laki sedang membungkuk ke arahnya dan meminta maaf atas ketidaksengajaannya menubruk pundak Carla. Rasa sakit yang mendera pundaknya sama sekali tak dirasakannya.
"Jim!! Apa yang kau lakukan? Kita sudah terlambat...."
Seorang gadis seumuran Carla mendadak muncul dan mengacaukan keterpakuan Carla. Ia menyeret lengan laki-laki di hadapan Carla dan bergegas menjauh dari jalanan itu.
Carla termangu menatap kepergian keduanya. Mereka tampak bergerak menuju sebuah gedung lembaga ilmu pengetahuan dan teknologi yang berdiri di seberang jalan.
Oh Tuhan....jerit gadis itu tersendat di tenggorokan.
Wajah laki-laki yang dipanggil Jim itu sangat mirip dengan Jim yang berkunjung ke rumahnya beberapa waktu yang lalu. Jim Hawkins.....