Senin, 30 Desember 2013

PAKAR CINTA


"Winda!"
Teriakan itu menggema ke segenap penjuru ruang kelas. Membuat beberapa siswa mengalihkan matanya ke arah Sassy yang terbirit-birit menuju ke bangku yang terletak di pojok paling belakang. Dimana sobatnya yang tercinta si Winda duduk manis dan sedang menekuni novel romannya. Tapi sepertinya Winda merasa sangat baik-baik saja dan tidak terpengaruh oleh panggilan Sassy.
"Win, tolongin gue dong,"ucap Sassy begitu tiba di bangku Winda. Suaranya sedikit manja.
Tapi si Winda masih cuek dan tampak menikmati bacaannya. Padahal Sassy tampak sedang membutuhkan bantuannya.
"Win... loe denger gue dong,"rengek Sassy seraya merebut novel itu dari genggaman Winda.
"Apa-apan sih loe Sas?!"teriak Winda berang. Ia buru-buru merebut novel itu kembali dari Sassy dengan kekuatan penuh yang dimilkinya.
Sassy pasrah. Winda memang paling benci jika diganggu saat dia sedang membaca novel. Tapi Sassy sedang mengalami kondisi gawat darurat sekarang ini.
"Abisnya loe dipanggil nggak jawab sih,"sahut Sassy sewot. Membela harga dirinya.
"Loe kan tahu kalau gue paling nggak suka diganggu saat membaca,"timpal Winda bersungut-sungut. "Emang ada apa sih?"
"Gue lagi galau nih Win,"adu Sassy kemudian.
Winda mesem. Ternyata Sassy yang manis dan imut itu juga bisa galau juga rupanya, batin Winda.
"Emang ada apa?"tanya Winda kalem.
"Gue lagi berantem ama cowok gue Win,"tuturnya dengan raut wajah ditekuk. "Tolongin gue dong,"rengeknya.
"Loe berantem ama cowok loe?"ulang Winda menautkan kedua alisnya. "Kok loe minta tolong ama gue sih? Bukannya loe yang harus nyelesaiin masalah loe ama dia?"
"Loe kan sobat gue satu-satunya Win. Loe kan tahu banyak tentang hal beginian. Loe juga yang nyomblangin gue ama Adit. Masa loe nggak mau bantuin gue sih?"
"Gue bukan nggak mau bantuin loe Sas,"timpal Winda. "Tapi apa dulu masalahnya sampai kalian berantem?"
Sassy menoleh ke kanan ke kiri. Siapa tahu ada siswa lain yang menguping pembicaraan mereka berdua. Kan bisa gawat.
"Adit marah ke gue,"ucap Sassy sedikit memperkecil volume suuaranya. "Dia bilang gue terlalu kekanak-kanakan dan terlalu manja ama dia. Padahal gue ngelakuin itu karena gue sayang banget ama dia. Gimana dong Win? Apa yang mesti gue lakuin sekarang? Eh tapi menurut loe apa gue emang kekanak-kanakan?"tanya Sassy berderet seperti gerbong kereta api.
"Ehm,"Winda berdehem sebelum bicara. "Adit emang bener Sas. Loe emang kekanak-kanakan. Cowok manapun nggak bakalan suka ama cewek yang kayak gitu. Kebanyakan cowok tuh suka cewek yang kalem dan anggun,"tutur Winda sok serius.
"Yang bener Win?"tanya Sassy tampak bego.
Winda mengangguk mantap.
"Menurut novel yang gue baca selama ini emang gitu sih,"sahut Winda enteng.
"Terus gue harus gimana dong?"tanya Sassy memaksa.
Winda tersenyum.
"Loe mau bayar dimuka, cash atau nyicil?"tanya Winda seraya mengedipkan sebelah matanya.
Sassy mengernyitkan keningnya. Tak paham maksud pertanyaan sobatnya.
"Maksud loe apa? Gue nggak ngerti...."
"Semua jenis konsultasi ada tarifnya. Tergantung loe mau bayar pake apa,"sahut Winda.
"Dasar loe!"maki Sassy sembari menimpuk punggung Winda dengan gemas. "Masa ama temen sendiri loe tega sih,"gerutunya.
Winda cekikikan.
"Loe mau dibantuin nggak? Kalau nggak mau ya udah..."
"Mau mau,"sahut Sassy seperti robot. "Emang loe mau dibayar pake apa?"tanya Sassy pasrah.
"Ehmmm,"Winda berpikir sebentar. "Traktir gue makan mie ayam di kantin selama sebulan. Gimana?"
"What?!!"pekik Sassy keras. "Itu namanya pemerasan Win. Mending loe bunuh gue aja daripada di suruh nraktir sebulan. Bisa-bisa gue bangkrut dong.."
Winda terbahak mendengar reaksi sahabatnya.
"Gimana kalau gue potong menjadi seminggu aja?"tawar Winda bernegosiasi.
"Boleh, asal saran dari loe mujarab,"tukas Sassy setuju.
"Siip,"sahut Winda seraya mengacungkan jempolnya. "Gue nggak akan ngecewain pasien gue. Pokoknya dijamin pelayanan dari gue nggak bakalan mengecewakan,"ujar Winda sambil tersenyum.
"Terus, gue mesti ngapain nih?"tanya Sassy kembali pada topik semula.
"Hanya ada satu cara,"ucap Winda tampak super serius.
"Apaan tuh?"desak Sassy penasaran.
"Loe harus berubah menjadi lebih dewasa,"ucap Winda. Tangannya segera menyusup kedalam tas untuk mencari sebuah novel yang pas untuk Sassy.
"Apaan nih?"tanya Sassy heran. Tapi Winda memaksanya untuk menerima novel itu.
"Pokoknya loe baca aja tuh novel sampai abis,"suruh Winda cepat.
"Tapi gue kan nggak suka baca novel Win..."
"Udah.. pokoknya loe baca aja. Ntar loe bisa tahu gimana cara menjadi cewek yang anggun dan dewasa."
"Bukannya ini novel bercerita tentang putri bangsawan,"gumam Sassy seraya membolak-balik halaman novel itu.
"Emang,"timpal Winda cepat. "Loe tahu kan kalau putri bangsawan nggak ada yang kekanak-kanakan?"
"Loe bener juga,"sahut Sassy tampak seperti orang tolol. "Loe pinter banget Win. Kayaknya loe berbakat jadi pakar cinta deh,"ujar Sassy setengah memuji Winda.
"Pakar cinta?"gumam Winda linglung. "Masa sih?"tanyanya tidak yakin sama sekali.
"Iya,"angguk Sassy.
Winda tertegun. Memikirkan ucapan Sassy yang konyol itu. Apa benar ada istilah pakar cinta didunia ini? Terus kriterianya apa dong?
Sassy ada-ada aja...
"Hai Sassy..."
Tiba-tiba saja Donny muncul dan mengacaukan perbincangan seru itu. Gayanya yang sedikit urakan membuat Donny lebih dicap sebagai trouble maker di kelas. Tapi ada juga yang menyebutnya si biang onar. Padahal dua istilah itu kan sama.
Sassy dan Winda mendengus barengan.
"Kok tampang kalian kayak gitu sih? Nggak seneng ya ngeliat gue,"tegur Donny seraya mengambil tempat duduk di samping Winda. Mungkin agar lebih leluasa menatap Sassy. Karena bukankah ia menyapa Sassy duluan, dan bukan Winda?
"Nggak!"sahut Winda dan Sassy kompak.
"Idih, kompak banget,"gerutu Donny. "Lagi ngapain sih? Pasti ngomongin cowok, bener nggak?"tebaknya.
"Kok loe tahu sih?"sahut Sassy antusias. "Loe paranormal ya?"
Donny melepaskan tawanya mendengar pertanyaan Sassy.
"Bukan paranormal, tapi dukun,"cerocos Donny setelah meredakan tawanya. "Emang kalian pada ngomongin siapa sih? Bukan gue kan?"
"Dasar ge-er!"olok Winda seraya menimpuk pundak Donny dengan novel ditangannya. Membuat cowok itu meringis kesakitan.
"Cewek kok tenaganya kayak cowok,"gerutunya seraya melirik Winda.
"Rasain tuh,"ucap Winda diiringi gelak tawa.
"Tega loe Win,"keluh Donny memelas.
"Eh, udah dong berantemnya,"sela Sassy menengahi. Mereka berdua selalu berantem kalau bertemu. Semacam anjing dan kucing. Tak pernah akur.
"Iya Sassy manis,"sahut Donny sambil tersenyum pada Sassy. Winda yang tahu hal itu langsung mendengus sewot. Dasar playboy! batinnya sebal.
"Eh, kalau Donny punya bakat ngeramal dan Winda sang pakar cinta, kalau gitu gue beruntung dong. Gue punya dua sobat yang hebat,"ujar Sassy ngawur.
"Pakar cinta?!"sentak Donny kaget.Tawanya meledak sedetik kemudian.
"Dasar Sassy bego,"olok Winda. "Ngapain juga nyebut gue pakar cinta,"gumamnya menyesali ucapan Sassy. Si tukang resek Donny pasti akan menertawakannya habis-habisan karena julukan ini.
"Sejak kapan si kutu novel ini jadi pakar cinta?"tanya Donny antusias ingin mengejek Winda. "Dia aja nggak punya cowok dan nggak ada yang naksir dia karena gayanya yang kelewat tomboy. Mungkin juga dia belum pernah pacaran. Masa dia dapet julukan pakar cinta hanya karena dia suka baca novel?"protes Donny terang-terangan ingin menjatuhkan harga diri Winda di hadapan Sassy.
Ampun nih anak, batin Winda geram. Kalau saja dia seorang cowok pasti sudah dihajarnya si Donny sialan itu.
"Ih, enak aja ngatain gue,"maki Winda berang. "Emang loe punya cewek? Jomblo karatan gitu..."
Donny mati kutu. Winda berhasil membalas serangannya dengan sempurna. Sial, gerutunya sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Lima tahun bertetangga dengan Winda namun tak pernah sekalipun akur. Paling-paling juga pas lebaran mereka berdamai. Selebihnya kembali ke bentuk semula.
Untung saja bel berbunyi dan menyelamatkan mereka dari perdebatan yang lebih panjang lagi.

@@@@@

"Baiklah, kita bercerai saja!"
Itu suara mama, batin Winda dibalik tembok. Gadis itu sengaja menguping pertengkaran kedua orang tuanya.
Pertengkaran semacam itu sudah sering terjadi. Namun tampaknya kali ini mama serius dengan ucapannya. Mungkin ia sudah lelah dan enggan untuk mempertahankan rumah tangganya.
Winda tak bisa berbuat apa-apa selain menghela nafasnya yang terasa sesak.
Gadis itu berlari keluar rumah dan baru berhenti di taman bermain di tengah-tengah komplek perumahan. Ia mengambil tempat duduk di tepi lapangan basket yang ada di taman itu.
Winda masih ingat julukan yang diberikan Sassy kemarin padanya.
Pakar cinta?
Winda tersenyum pahit memikirkan sebaris kata itu. Dari mana Sassy dapat ide konyol seperti itu. Atau Winda sendiri yang terlalu sok tahu tentang persoalan asmara Sassy.
Ah, bahkan Winda tak tahu arti kata cinta. Disekeliling Winda tak ada satupun orang yang mengajarinya tentang bagaimana mencintai dan dicintai. Orang tuanya hanya bertengkar dan bertengkar. Karena papa sering pulang malam dan berselingkuh, itulah kenapa mamanya selalu marah.
Lantas bagaimana Winda bisa memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapi Sassy sementara ia sendiri tidak bisa mendamaikan kedua orang tuanya sendiri.
Ucapan Donnny juga benar. Bahkan Winda belum pernah pacaran meski umurnya sudah nyaris menginjak tujuh belas tahun. Lagipula siapa yang akan naksir pada orang tomboy seperti dirinya.
Mungkin akan lebih menyenangkan jika dirinya adalah Sassy....
"Awas!!!"
Terlambat. Teriakan itu sama sekali tak berguna karena bola basket itu melayang lebih cepat dari reaksi Winda.
Duk...
Bola basket itu mengenai jidat Winda dengan keras. Membuat gadis itu kaget sekaligus merasakan sakit luar biasa di keningnya.
"Aduh.."rintih Winda seraya memegang keningnya. Sial, batinnya kesal.
"Loe nggak pa pa?"tegur Donny yang buru-buru menghampiri tempat duduk Winda.
"Loe yang ngelempar bola itu?"tanya Winda saat tahu Donny berlari menuju arahnya.
"Sorry, gue nggak sengaja,"ucap Donny cepat. "Sakit banget ya?"tanya Donny seraya memeriksa jidat Winda yang sudah tampak memerah.
"Ya sakit lah,"timpal Winda sebal.
"Sini biar gue obati,"tawar Donny kemudian. Namun Winda menepis tangan Donny secepat mungkin.
"Nggak usah,"tukas Winda tegas. "Gue baik-baik aja kok."
"Yang bener?"tanya Donny setengah tak percaya.
"Iya bener,"tandas Winda.
"Lagian ngapain juga loe duduk bengong sendirian disini,"sesal Donny sembari mengambil tempat duduk di sebelah Winda. "Biasanya loe kan main bareng kita."
"Gue lagi males,"sahut Winda tanpa semangat.
"Kenapa?"desak Donny penasaran. "Nggak biasanya loe males kayak gini. Atau jangan-jangan loe takut kalah lagi ngelawan gue?"
"Enak aja,"sahut Winda sewot.
Beberapa hari yang lalu mereka bertanding satu lawan satu dan Donny yang berhasil memenangkan pertandingan. Tapi bukan karena kekalahan itu yang membuat Winda enggan turun ke lapangan.
Untuk beberapa saat lamanya mereka saling diam. Winda sibuk dengan lamunannya, sementara Donny menebak-nebak apa gerangan yang menimpa sahabat sekaligus musuhnya itu.
"Emang bener loe pakar cinta?"tanya Donny memcah kesunyian mereka berdua.
"Siapa bilang. Itu kan karangan Sassy. Bocah bego itu emang suka ngawur kalau ngomong,"cerocos Winda menyahut.
Donny terbahak.
"Kirain beneran. Padahal gue juga mau konsultasi ama loe,"ujar Donny belagak serius.
"Emang loe mau curhat apa? Loe lagi jatuh cinta ya? Ama siapa?"cecar Winda tampak antusias.
"Banyak banget pertanyaan loe. Kayak nenek rombeng aja,"timpal Donny.
"Namanya juga penasaran..."
"Tapi nggak gitu juga kali..."
"Ya maaf. Emang loe beneran lagi jatuh cinta nih?"cecar Winda masih dengan antusiasme tinggi.
Donny menghela nafas sejenak.
"Tapi gue nggak yakin dia suka gue,"tandas Donny beberapa detik kemudian. "Dia tuh gayanya cuek banget. Jutek banget lagi..."
Winda tertegun mendengar penuturan Donny dengan tampang serius.
"Tapi setahu gue Sassy nggak kayak gitu deh..."timpal Winda setengah bergumam.
"Emang tadi gue bilang Sassy?!"teriak Donny kesal. Perasaan tadi dia tidak menyinggung nama Sassy sama sekali.
"Bukan Sassy ya?"tanya Winda seraya menggaruk-garuk kepalanya.
"Dasar bego!"maki Donny sewot. Dua sahabat sama-sama begonya, batinnya menggerutu. Cowok itu meninggalkan tempat duduknya tanpa pamit.
"Lho.. kok sewot sih? Emang gue salah apa?'gumam Winda tak mengerti.

@@@@@

Sassy datang dan meletakkan mangkuk bakso dihadapan Winda. Sesuai permintaannya, tanpa mie dan saus.
"Loe nggak makan?"taya Winda saat melihat Sassy tak membawa makanan untuk dirinya sendiri.
"Kalau gue beli dua mangkuk uang jajan gue bakalan ludes sebelum akhir minggu,"ucap Sassy memelas.
Winda cekikikan. Sesuai perjanjian mereka sebelumnya, Sassy akan mentraktir Winda selama seminggu penuh jika Sassy dan cowoknya baikan kembali. Tapi Winda tidak tega juga melihat sahabatnya itu kelaparan gara-gara mentraktir dirinya. Makanya ia menyodorkan mangkuk baksonya agar Sassy bisa ikut makan dengannya.
Dengan suka cita Sassy menerima mangkuk bakso itu.
"Loe baik banget Win..."puji Sassy seraya menyenduk kuah bakso.
"Gue terpaksa. Daripada loe ntar pingsan dijalan,"timpal Winda sekenanya.
Sassy hanya tersenyum mendengarnya.
"Eh Sas,"ucap Winda teringat sesuatu."Menurut loe Donny gimana?"tanya Winda setengah berbisik.
Uhuk...
Sassy nyaris tersedak mendengar nama cowok itu disebut Winda.
"Loe suka Donny?"tanya Sassy dengan ekspresi sangat terkejut. Matanya membulat karena sedang melotot kepada Winda.
"Bukan,"timpal Winda cepat. "Kayaknya Donny punya perasaan ama loe. Itu maksud gue,"tutur Winda memperjelas maksudnya.
"Hah??"Sassy melongo mendengar pernyataan sahabatnya. "Dari mana loe tahu?"tanya Sassy sangat penasaran.
"Donny yang bilang kemarin,"sahutnya seraya memperkecil suara. "Dia bilang ke gue kalau dia suka ama seseorang. Emang dia nggak bilang ama siapa, tapi kalau bukan loe siapa lagi..."
"Masa sih?"gumam Sassy sembari berpikir. "Bukannya dia suka ama loe?"
Winda melepaskan tawanya mendengar pertanyaan Sassy. Mana mungkin seorang Donny suka padanya. Bukankah selama ini mereka bermusuhan dan lagipula tampaknya Donny sangat memperhatikan Sassy.
"Hei! Kenceng banget ketawanya. Emang nih kantin punya nenek moyang loe apa?"
Winda langsung menghentikan tawanya usai mendengar suara Donny menegurnya.
Nih anak panjang juga umurnya, batin Winda.
"Biarin! Kantin ini juga bukan punya nenek moyang loe,"sahut Winda sewot. "Gue balik ke kelas dulu Sas, takutnya ntar gue muntah kalau kelamaan disini."
"Apa?! Awas loe ya!"teriak Donny mengancam.
Sementara itu Winda mempercepat langkahnya dan segera kabur dari kantin sebelum dijitak Donny.

@@@@@

Sassy kelimpungan. Pasalnya sudah dua hari Winda tidak masuk sekolah. Tanpa kabar pula. Bukan kebiasaannya bolos sekolah seperti ini.
"Don, loe tahu Winda kemana nggak?"tanya Sassy seraya menghampiri bangku Donny. Cowok itu sedang menyalin catatan di papan tulis ketika Sassy datang.
"Nggak tuh,"sahut Donny enggan. "Paling-paling dia lagi sakit. Kualat ama gue,"cerocos Donny sekenanya.
Tapi Sassy malah mendesah pelan mendengar jawaban Donny. Jawaban versi Donny kan tidak akurat sama sekali.
"Loe kan tetangganya, masa nggak tahu sih..."
Donny meletakkan bolpoinnya lantas menghadap wajah Sassy yang tampak resah gelisah itu.
"Eh non, gue emang tetangganya tapi gue bukan emaknya. Mana gue tahu dia pergi kemana. Lagian rumah kita nggak deket-deket amat kok,"ujar Donny dengan gaya cueknya.
"Gue takut dia pindah Don,"sahut Sassy cepat.
"Pindah kemana?"timpal Donny setengah kaget.
"Setahu gue orang tua Winda akan bercerai. Kalau mereka bercerai, otomatis Winda harus memilih ikut siapa. Bisa aja dia ikut mamanya pindah..."
"Kenapa nggak bilang dari tadi,"sentak Donny. Cowok itu buru-buru mengemasi buku-bukunya.
"Loe mau kemana Don?"tanya Sassy saat Donny bersiap meninggalkan bangkunya.
"Gue mau cabut ke rumah Winda. Loe ikut nggak?"
Tanpa ba bi bu lagi mereka berdua langsung cabut dari kelas dan segera meluncur ke rumah Winda dengan menaiki vespa butut milik Donny.
Sassy heran kenapa cowok sekeren Donny mau naik vespa butut itu. Padahal dirumahnya ada dua mobil sedan yang terparkir di garasi. Penyamaran ataukah pengiritan ?
Mereka telah sampai di depan rumah Winda lima belas menit kemudian. Rumah Winda tampak sepi. Sepertinya penghuni rumah sedang tidak ada disana. Pintunya pun terkunci.
"Jangan-jangan mereka udah pindah..."gumam Sassy terdengar khawatir.
"Emang dia nggak bilang apa-apa ama loe?"tanya Dony menginterogasi. Namun Sassy hanya menggeleng pelan.
"Dia jarang curhat ke gue soal pribadinya kalau nggak gue tanya,"ungkap Sassy.
"Dia kan sahabat loe, mestinya loe tahu semua tentang dia. Nggak kayak gini jadinya kalau loe care ama sahabat loe. Kalau gini loe mau nyari dia kemana coba?"Donny tampak sangat kesal.
"Kok loe marah sih, emang Winda sahabat siapa? Sahabat gue kan? Kok loe jadi khawatir ama dia? Dan sejak kapan loe peduli ama Winda? jangan-jangan...."
Kalimat Sassy terputus.
"Hei, kalian ngapain disini? Emang nggak sekolah?!"
"Winda!!"teriak Sassy histeris ketika melihat sahabatnya itu datang. Sassy buru-buru memeluk Winda sementara Donny hanya bisa bengong di tempatnya.
"Apa-apan sih?"protes Winda seraya melepaskan pelukan Sassy.
"Gue takut loe pindah Win, makanya kita kesini..."tutur Sassy.
"Terus dia ngapain disini?"tanya Winda seraya mengarahkan telunjuknya ke arah Donny.
"Dia juga mencemaskan loe,"sahut Sassy.
"Eh, siapa bilang?"timpal Donny membela diri. "Gue kesini nganterin Sassy doang kok...."
"Emang loe darimana Win? Kok nggak masuk sekolah sih?"tanya Sassy mengabaikan penjelasan Donny.
"Gue abis nganterin mama,"jawab Winda. "Oh ya, yuk masuk. Gue bikinin jus,"tawar Winda kemudian.
"Nggak usah deh, gue balik aja,"sahut Donny menolak.
"Terserah, nggak ada yang maksa kok,"sahut Winda jutek.
"Kok loe gitu sih..."bisik Sassy sambil menepuk lengan Winda.
"Ya udah, gue pergi,"pamit Donny ogah-ogahan.

@@@@@

Sepasang mata Winda menatap lurus ke arah anak-anak yang sedang bermain basket. Sementara angin sore mempermainkan juntaian rambutnya yang dikuncir kuda.
"Jadi cewek cuek dan jutek yang loe suka itu gue?"tanyanya tanpa menoleh ke arah cowok disampingnya.
Donny mendehem.
"Menurut loe?"ia malah balik tanya.
"Mana gue tahu,"sahut Winda sewot.
"Kalau iya, apa loe mau nerima cinta gue?"tanya Donny tanpa basa-basi. Ia menatap cewek tomboy yang sedang duduk manis di sebelahnya.
Winda tertegun sejenak. Mungkin sedang berpikir mencari kalimat yang tepat untuk menyambung ucapan Donny.
"Sebenernya gue tipe orang yang nggak percaya pada cinta,"tandas Winda lirih.
Donny mengernyitkan dahi namun tak bertanya alasan Winda.
"Udah puluhan novel roman yang gue baca dan gue semakin tahu kalau nggak ada cinta yang berakhir bahagia. Semuanya berakhir dengan perpisahan dan kesedihan,"tandas Winda datar.
"Nggak ada orang yang jatuh cinta karena ingin patah hati Win..."sahut Donny.
Winda menghela nafasnya.
"Kenapa loe suka gue? Bukankah gue selalu maki-maki loe seenaknya? Apa yang loe lihat dari gue?"
Pertanyaan Winda berderet seperti ingin menguji perasaan Donny.
Cowok itu tersenyum.
"Gue nggak bisa milih siapa yang mesti gue suka,"tandas Donny. "Tapi loe adalah cewek pertama yang gue lihat pas gue pindah kesini. Dan gue masih inget saat itu loe main basket bareng anak-anak. Saat itulah gue jatuh cinta ama loe,"papar Donny mengungkapkan perasaannya.
"Loe...."Winda terhenyak mendengar pengakuan Donny.
"Ya, dan gue sering memancing pertengkaran dengan loe karena gue pingin deket ama loe,"ungkap Donny lagi. Membuat Winda terheran-heran. Ternyata dugaannya pada Donny yang ia kira menyukai Sassy adalah salah. Ternyata begitu cara Donny mengungkapkan perasaan rahasianya.
Winda tersenyum tipis. Ia merasa senang mendengar kalimat-kalimat Donny. Semua yang pernah mereka bagi bersama melintas di pikirannya seperti nostalgia.
"Orang tua gue udah bercerai Don,"tandas Winda beberapa waktu kemudian. "Dan gue harus ikut mama pindah ke Semarang."
Donny tercekat.
"Apa loe harus pergi?"desaknya sedikit takut.
Winda mengangguk.
"Sebenernya gue nggak pingin pergi, tapi gue harus,"ujar Winda. "Tapi gue janji gue akan selalu inget loe dan Sassy, karena kalian berdua adalah sahabat terbaik gue."
Sahabat? batin Donny. Cuma sebatas itukah?
"Apa loe nggak punya sedikitpun perasaan ke gue?"tanya Donny hati-hati. "Paling nggak loe bisa ngasih harapan ke gue..."
Winda tersenyum tipis.
"Gue pingin ngasih harapan itu ama loe,"ucapnya. "Tapi gue nggak bisa. Gue nggak punya sedikitpun perasaan sama loe ataupun ke yang lain. Gue nggak pernah jatuh cinta...."
Astaga! Ya Tuhan...
Sebenarnya terbuat dari apa hati cewek itu, batin Donny seraya melambaikan tangannya ke arah Winda.Mungkin itulah terakhir kalinya ia bisa melihat senyum Winda.
Kenapa ada cewek seperti itu? Terlalu keraskah hatinya ataukah cinta yang belum memberinya kesempatan untuk jatuh?
Semoga di tempatnya yang baru kelak, Winda menemukan orang yang tepat. Yang akan mengajarinya tentang cinta dan kehidupan.
Namun Donny akan selalu mengenang cewek itu selama ia bisa. Entah sampai kapan....

Rabu, 18 Desember 2013

SNOWY HEART


"Kak Bella! Kevin lagi berantem tuh di belakang gedung lab Kimia!"
Aku nyaris tersedak mendengar laporan dari Gladys. Aku langsung meninggalkan tempat dudukku di kantin. Juga mie bakso favoritku yang tinggal separuh.
Aku menyusul langkah Gladys menuju tempat kejadian perkara.
Benar. Aku melihat Kevin tengah beradu otot dengan seorang siswa yang tubuhnya jauh lebih besar dari Kevin. Yang ku kenali sebagai Radit, siswa kelas 12.
Kevin tampak kewalahan. Dari ujung bibirnya tampak mengeluarkan darah. Mukanya juga biru lebam. Tapi anehnya para siswa yang berada di tempat itu bukannya melerai, malah menonton pertunjukan gratis itu.
"Hentikan!"aku berteriak sekuat tenaga.
Semua mata beralih menatapku. Kevin dan Radit juga menghentikan adu jotos itu.
"Apa-apaan kalian ini?!"teriakku marah. Aku melotot tajam ke arah Kevin. "Kamu ingin jadi jagoan disini?"tanyaku berang pada Kevin.
Kevin tak menjawab. Cowok itu malah membuang mukanya dariku. Membuatku bertambah kesal padanya.
"Ayo kita pergi,"ajakku seraya menarik tangan Kevin dengan paksa pergi dari tempat itu. Aku tidak mau Kevin menjadi tontonan para siswa.


"Kamu mau jadi jagoan?"cecarku saat mengoleskan obat ke wajah Kevin. "Kapan kamu akan bisa bersikap dewasa?"
Kevin tak menjawab. Ia masih diam namun sama sekali tak mau menatap ke arahku.
Sudah berulang kali kejadian seperti ini terjadi. Dan sudah berulang kali pula aku menasihatinya sampai bosan.
Kevin yang dingin dan angkuh, yang merasa dirinya paling hebat di sekolah ini, sering terlibat perkelahian di sekolah. Mungkin karena posisinya yang istimewa di sekolah ini lantaran kakeknya adalah pendiri yayasan sekolah. Ia memanfaatkan semua itu untuk berbuat sekehendak hatinya. Terlebih guru-guru tidak ada yang berani menegurnya. Kepala sekolah juga.
Semua takut pada Kevin yang dikenal temperamen.
"Kamu nggak tahu dia rajin latihan taekwondo?"tanyaku kemudian. "Tapi kenapa juga kamu terlibat perkelahian dengan dia?"tanyaku menepis emosi.
"Udah deh Kak,"ucap Kevin seraya menepis tanganku yang hendak mengoleskan obat di wajahnya. "Kak Bella diem aja, nggak usah banyak tanya."
Cowok itu bangkit dari tempat duduknya dan bergegas keluar dari ruang kesehatan sekolah. Ia membanting pintu dengan keras. Sengaja menunjukkan kekesalan hatinya padaku.
"Kevin!" teriakku sia-sia.
Selalu berakhir begitu. Aku yang berusaha mengajaknya bicara baik-baik selalu mendapat lampiasan emosi Kevin. Entah kapan ia bisa bersikap dewasa dan melepaskan keangkuhan dari dirinya. Aku bahkan tidak tahu apa yang dipikirkannya sekarang.


Penantianku terbayar sudah. Ku lihat beberapa anggota klub taekwondo keluar dari gedung latihan. Aku segera mencari sosok Radit diantara mereka.
"Radit!"panggilku begitu cowok itu tampak didepan mataku.
Cowok itu mengernyitkan kening saat melihatku. Memang ini bukan hal yang biasa kulakukan. Tapi aku harus melakukannya demi seseorang.
"Bisa kita ngobrol sebentar?"tanyaku setelah cowok itu berdiri beberapa jengkal dariku.
"Denganku?"tanya Radit sembari menunjuk hidungnya sendiri. Pasti ia tidak percaya aku mencarinya hanya untuk mengobrol. Kami kan tidak saling kenal sebelum ini.
"Iya,"sahutku cepat.
"Nama kamu Bella kan?"tanyanya ragu.
Aku mengiyakan.
"Darimana kamu tahu namaku?"balasku bertanya.
Radit mengembangkan senyum.
"Siapa sih yang nggak tahu namamu,"ucapnya kemudian. "Kamu pasti nggak merasa kalau namamu paling populer di sekolah."
"Benarkah?"gumamku tak percaya. "Kamu juga populer kok,"balasku memuji.
Tentu saja ia populer karena ia telah beberapa kali mengharumkan nama sekolah di kejuaraan taekwondo tingkat SMU. "Aku pingin minta maaf soal Kevin kemarin,"ucapku beberapa saat kemudian. Mengutarakan maksudku yang sebenarnya. "Aku tahu pasti dia yang mencari masalah duluan denganmu. Sikapnya memang kekanak-kanakan..."
"Kenapa kamu yang meminta maaf untuk Kevin?"potong Radit. "Kenapa bukan dia sendiri yang datang?"
"Iya,aku..."aku bingung dengan pertanyaan Radit. Ia memang benar. Harusnya Kevin yang datang dan meminta maaf pada Radit, bukan aku.
"Apa kamu selalu melakukan hal ini saat dia terlibat masalah?"tanya Radit mengejutkan kegugupanku. "Kamu kan bukan orang tuanya."
"Dia adikku Dit,"tandasku.
"Semua orang tahu kalian bukan saudara. Kalian hanya dua orang yang sangat dekat. Itu saja,"ungkap Radit seolah ingin membuka mataku. Tentang hubunganku dengan Kevin.
"Dia itu cowok Be,"ucap Radit menambahi. "Harusnya dia yang menjaga kamu, bukan sebaliknya. Meski dia menganggapmu sebagai kakaknya tetap aja dia harus mandiri."


Ucapan Radit ada benarnya juga, pikirku sepanjang perjalanan pulang.
Aku dan Kevin memang tumbuh besar bersama. Karena kedua orang tua kami bersahabat baik sejak mereka belum menikah. Dan kedekatan kami semakin erat setelah prahara menimpa keluarga kami.
Orang tuaku bercerai. Papa memilih tinggal di rumah istri barunya, sementara mama jarang sekali pulang ke rumah.
Dan Kevin juga mengalami hal yang sama denganku. Kedua orang tuanya bercerai. Dan Kevin lebih memilih tinggal di rumah kakeknya ketimbang tinggal bersama mama atau papanya.
Kami berdua sama-sama kesepian. Kami kehilangan kasih sayang dari orang tua masing-masing.
Namun Kevin tidak sama denganku yang bisa bersikap dewasa dalam menghadapi semua permasalahan hidup. Ia berubah setelah semua yang terjadi.
Ia menjadi dingin dan tertutup. Sifatnya juga angkuh dan temperamen. Ia tidak punya tempat untuk bertumpu beban batinnya. Dan hanya akulah satu-satunya orang yang bisa ia andalkan untuk semua itu.
Lambat laun aku menjadi sosok yang merasa harus bertanggung jawab atas dirinya. Mungkin karena aku lebih tua dua tahun darinya, aku memposisikan diriku sebagai seorang kakak untuk dirinya. Yang harus menjaga dan melindungi Kevin.
Tapi tidak selamanya kamu harus bertanggung jawab atas dirinya, ucap Radit sore tadi. Dia seorang cowok dan dia sudah dewasa untuk menjaga dirinya sendiri. Itulah kalimat yang masih melekat di pikiranku sampai sekarang.
Tapi semua butuh proses kan? tanyaku pada diri sendiri. Mungkin butuh waktu yang sedikit lambat untuk merubah seseorang.


"Darimana Kak?"
Aku nyaris terloncat mendengar teguran Kevin. Aku baru saja membuka pintu rumahku dan tiba-tiba saja ia telah muncul di belakangku. Sore telah berubah menggelap saat itu.
"Kamu menungguku sejak tadi?"tanyaku datar.
Kevin mengikuti langkahku masuk kedalam rumah. Tanpa menjawab pertanyaanku.
"Kamu udah makan?"seruku seraya melangkah menuju dapur. Tak kudapati mama disana. Ia belum pulang. Seperti biasa.
Namun tak kudengar sahutan Kevin. Mungkin ia tak mendengar seruanku.
Aku membuka pintu kulkas dan segera menuang orange juice ke dalam gelas lantas meminumnya.
"Gimana kalau kita makan diluar?"tanya Kevin tiba-tiba. Cowok itu telah berdiri dibelakangku. Membuatku kaget setengah mati.
"Kevin!"seruku kesal. "Kamu mau aku mati mendadak karena serangan jantung?"
Aku menimpuk bahu Kevin dengan keras. Namun bukannya kesakitan, ia malah tertawa.
Ternyata sulit merubah kebiasaannya yang satu ini. Padahal aku sudah berkali-kali mengingatkannya agar tidak mengagetiku seperti itu. Karena aku punya kecenderungan sakit jantung.
"Mau nggak Kak?"tanya Kevin meminta kepastianku.
"Males ah,"sahutku. Lagipula aku baru saja pulang, tidak mungkin aku pergi keluar lagi. "Mau minum?"tawarku kemudian seraya menyodorkan gelasku padanya.
Kevin menggeleng.
"Gimana kalau kita pesen delivery pizza aja?"tawar Kevin kemudian.
Huh, dengusku. Bukankah dia selalu memesan pizza yang diantar setiap datang ke rumahku? Membuatku bosan dengan jenis makanan yang satu itu. Lagipula aku lebih suka makanan lokal ketimbang internasional.
"Aku kan nggak suka pizza..."
"Tapi aku suka Kak,"ucap Kevin bernada manja. Tangannya menarik ujung pakaianku. Persis anak-anak yang sedang merengek pada ibunya.
Aku menutup pintu kulkas dan beralih menghadap Kevin.
"Kamu sudah tujuh belas tahun Vin,"tandasku seraya menatap kearah matanya lekat-lekat."Jadi stop bersikap kekanakan kayak gitu,"tegasku.
Kevin tampak tertegun mendengar ucapanku yang mungkin baginya aneh dan sedikit berlebihan. Tapi aku melakukan itu agar ia bisa merubah sikapnya menjadi sedikit lebih dewasa.
"Baiklah, kalau gitu aku pergi keluar sebentar,"ucapnya bergegas. "Kak Bella suka martabak kan?"
Tetap saja, batinku. Sulit untuk merubah anak itu. Malah aku merasa dipermainkan olehnya.


"Bangun dong Kak..."
Uh, gerutuku dari balik selimut. Hari masih terlalu pagi dan hawa dingin membuatku malas untuk membuka mata. Tapi suara-suara itu mengusik tidurku yang nyaman.
"Apaan sih Vin,"gerutuku kesal. "Kalau mau olah raga pergi aja sendiri, nggak usah ngajak aku. Aku ngantuk banget nih. Lagian hari ini kan libur,"ucapku malas.
"Ayolah Kak..."lagi-lagi Kevin meluncurkan jurus rayuannya. Tangannya menarik-narik selimutku.
"Biarin aku tidur Vin, aku ngantuk banget nih,"ucapku lagi.
Lagipula kenapa pagi-pagi ia sudah ada di rumahku? batinku heran. Eh, tapi kenapa juga ia berhenti memaksaku untuk olah raga?
Aku bangun dan melihat apa yang sedang Kevin lakukan.
Oh, anak itu membuatku kesal saja.
"Sini!"teriakku seraya berusaha merebut ponsel milikku yang berada dalam genggaman Kevin. Tapi sial. Rupanya ia lebih gesit dari yang kuperkirakan.
"Akan ku kembalikan setelah kita olah raga,"ucapnya seraya tersenyum.
Aku kalah lagi oleh permainannya. Dengan terpaksa aku menuruti permintaannya kali ini. Atau ia akan melakukan sesuatu pada ponselku.


"Ayo dong! Masa segitu aja udah capek?!"
Teriakan Kevin membuatku bertambah kesal. Ia telah berlari beberapa meter lebih cepat di depanku. Meninggalkan aku yang telah kelelahan dengan perut kram.
Sial, gerutuku geram. Aku memang paling benci dengan kegiatan olah raga. Dan Kevin sangat tahu itu, tapi ia masih saja memaksaku untuk melakukannya. Benar-benar tidak punya perasaan!
"Kamu duluan aja,"suruhku sambil mencari tempat duduk disekitar tempat itu. Rasanya aku ingin pingsan.
Kevin berbalik dan melangkah ke tempatku.
"Ayo,"ucapnya seraya mengulurkan tangannya kepadaku.
"Aku capek Vin. Aku pingin istirahat sebentar,"ucapku menolak ajakannya.
"Kalau gitu aku cari minum dulu yah,"ucapnya bergegas. Ia berlalu dari hadapanku beberapa detik kemudian.
Aku membiarkannya pergi. Toh ia yang harus bertanggung jawab atas diriku sekarang ini.
Aku istirahat seraya menatap ke sekeliling. Ke arah para pengunjung taman yang juga sedang melakukan aktifitas sepertiku. Ada yang berlari, bersepeda dan jalan kaki.
Aku jarang sekali berolah raga seperti ini. Ternyata udara disini jika pagi hari sangat menyegarkan pernafasan. Menyehatkan tubuh.
"Sedang olahraga juga Be?"
"Hah?"
Aku terkejut ditegur oleh seseorang yang tak lain adalah Radit. Kebetulankah ini? batinku serentak bangkit dari tempat dudukku.
Radit tersenyum manis.
"Kamu sering olahraga disini?"tanya Radit.
"Nggak, baru kali ini,"ungkapku jujur. Kalau saja Kevin tidak memaksaku tadi, tak mungkin aku berada disini sekarang. "Kamu sering olahraga disini?"aku balik tanya.
"Ya,"sahutnya cepat. "Kamu sendirian?"
"Nggak,"jawabku pendek. Dan Radit manggut-manggut mendengar jawabanku. Sepertinya ia bisa membaca dengan siapa aku datang ke tempat ini. Karena cowok itu buru-buru meminta pamit padaku.
Oh Tuhan, kenapa aku merasakan sesuatu yang tidak biasa saat bertemu dengan cowok itu? Ada perasaan yang tak menentu manakala ia tersenyum manis padaku. Dan ini yang pertama kali kurasakan.
"Kak..."
Aku terhenyak kaget saat Kevin tiba-tiba menepuk pundakku. Ditangannya ada dua buah botol minuman isotonik dingin dan segera diulurkannya padaku.
"Kok bengong?"tanya Kevin tampak curiga.
Aku meneguk minumku segera sesaat setelah melepaskan tutupnya.
"Kak Bella kok tumben nggak marah?"desak Kevin lagi. "Emang tadi abis ngobrol sama siapa?"
"Aaah, berisik banget,"gerutuku seraya bergegas melangkah pulang. "Kamu nggak mau ikut pulang?!"teriakku saat Kevin belum mengikuti langkahku.


Setelah hari itu aku semakin sering bertemu dengan Radit. Entah di sekolah, perpustakaan juga ditoko buku. Karena kami intens bertemu itulah hubungan kami menjadi semakin dekat. Meski belum ada tanda-tanda ia akan menembakku, tapi aku merasa senang bisa menghabiskan waktu bersamanya.
Radit adalah sosok yang dewasa dan bertanggung jawab. Ia juga baik dan sering memberiku perhatian lebih. Aku merasa nyaman saat bersamanya. Karena aku merasa terlindungi dan terjaga. Berbalik dengan saat aku bersama Kevin.
Aku menikmati hari-hariku belakangan ini. Dengan sangat bahagia dan berbunga-bunga pastinya.
"Darimana?"tegur Kevin sore itu. Rautnya tampak ditekuk. Tak gembira.
"Dari toko buku,"sahutku heran.
"Bukannya pergi kencan?"timpalnya sedikit ketus.
Aku menghela nafas. Rasanya aku tidak mau merusak suasana hatiku dengan berdebat.
"Kamu udah makan Vin?"seruku seraya melangkah ke dapur. Tapi Kevin sama sekali tak menyahut.
Aku melihat Kevin terduduk lesu di atas sofa ruang tengah. Tangannya sibuk menekan tombol-tombol remote televisi.
Ada sesuatu yang berbeda darinya. Pasti sesuatu telah terjadi.
"Ada apa?"desakku seraya meletakkan segelas orange juice dan sekotak biskuit ke hadapannya. "Kamu berantem lagi?"
Kevin menggeleng pelan. Sepasang matanya menatap lurus ke arah layar televisi yang sedang menayangkan acara kartun anak-anak.
"Lalu kenapa kamu diem? Nggak biasanya kamu kayak gini,"ucapku masih fokus menatap wajahnya.
Kevin tak menyahut. Ia membaringkan tubuhnya dan lebih berkonsentrasi pada layar televisi ketimbang berbincang denganku.
Aku tahu ada yang tak beres dengannya. Karena aku paling hafal sifatnya. Dia tidak akan mendiamkanku jika tidak ada sesuatu yang terjadi. Tapi aku tidak bisa memaksanya untuk bicara jika bukan dia yang menginginkannya.
"Atau jangan-jangan kamu sedang berantem dengan Gladys,"tebakku kemudian. "Aku lihat dia cewek yang baik dan dia suka sama kamu. Kalian serasi...."
"Kak!"teriak Kevin marah. Menghentikan ocehanku yang terdengar sok tahu. "Kak Bella bisa diem nggak sih? Cerewet banget,"gerutunya lagi.
Aku mendengus kesal. Kenapa aku yang dimarahi, batinku.
Aku beranjak ke kamarku dan meninggalkan Kevin sendirian di ruang tengah. Ia tak perlu ditemani saat marah seperti sekarang. Nanti ia akan pulang setelah bosan disana.


"Untukmu,"ucap Radit. Tangannya mengulurkan sebuah boneka Teddy bear berwarna merah jambu kepadaku.
Oh, aku ternganga tak percaya cowok itu memberiku hadiah istimewa hari ini. Pantas saja ia ngotot mengajakku pergi ke mal sepulang sekolah.
Dan sepuluh menit yang lalu ia pamit padaku untuk pergi ke toilet. Nyatanya ia pergi membeli boneka itu untukku. Manis sekali.
"Thanks,"ucapku seraya meraih boneka itu dari tangan Radit.
"Kamu suka?"tanyanya.
"Tentu saja,"sahutku girang.
"Gimana kalau kita cari makan dulu, aku udah laper banget nih,"ucapnya mengelus perut.
"Boleh,"sahutku setuju. "Tapi kita makan apa?"
"Kamu suka apa?"tawar Radit. Tangannya menyeretku menjelajah isi mal yang ramai oleh pengunjung.
"Apa aja deh,"ucapku pasrah.
"Gimana kalau kita makan mie goreng aja? Kebetulan aku pingin banget makan mie goreng nih,"ucapnya.
"Boleh juga."
Kami memasuki restoran yang terdapat di mal. Tepatnya di lantai food court. Radit memesan dua porsi mie goreng special dan dua milk shake cokelat.
"Apa Kevin tahu kita pacaran?"tanya Radit saat menunggu pesanan kami datang.
Memangnya kita sedang pacaran? batinku bodoh. Radit kan belum menembakku...
"Hei, kok malah bengong,"sentak Radit mengejutkanku.
"Emang kita sedang pacaran?"tanyaku belagak bodoh. Sesungguhnya aku hanya ingin kepastian saja tentang perasaan Radit padaku.
"Emang nggak?"ia balik tanya. "Terus selama ini kita ngapain?"
"Emang kamu sayang sama aku?"tanyaku terbata. Gugup setengah mati.
"Ya iyalah non. Kamu nggak merasa ya, kalau aku sayang banget sama kamu,"tandasnya sembari tersenyum.
Sementara aku hanya tersipu mendengarnya. Pasti pipiku semerah tomat saat itu...


Aku bernyanyi kecil saat membuka pintu kamarku. Sementara bonekaTeddy bear pemberian Radit masih erat dalam pelukanku. Aku bahagia dan rasanya hatiku dipenuhi dengan bunga-bunga...
"Darimana?"
Teguran itu terdengar lagi seperti biasa. Kali ini bukan mengejutkanku saja, tapi membuyarkan kegembiraanku juga.
Oh...
Kevin telah berdiri di balik pintu kamarku. Sejak kapan? Kenapa ia menungguku disana? Bukan didepan rumah seperti biasa.
"Kenapa kamu disitu?"tanyaku masih dalam keadaan terkejut.
"Aku tanya darimana?!"seru Kevin keras. "Apa Kak Bella tahu berapa lama aku menunggumu disini? Aku juga meneleponmu berkali-kali tapi nggak ada jawaban. Apa Kak Bella pergi bersama orang itu?"tanya Kevin seraya melirik boneka Teddy bear yang sedang berusaha ku sembunyikan di balik punggungku.
Aku terpaku di tempatku. Aku tidak pernah melihat Kevin semarah ini padaku. Ia biasa memperlakukanku dengan sifat kekanakannya. Tapi sekarang ia seperti orang lain dimataku.
Jika aku orang lain mungkin ia sudah menghajarku habis-habisan.
"Aku pergi bersama Radit,"ungkapku jujur. Dengan suara rendah. Terus terang aku merasa takut saat ia melihat ke arahku seperti itu.
"Jadi benar, Kak Bella pacaran sama dia?"tanya Kevin dengan tersenyum pahit.
"Maaf Vin,"ucapku cepat. "Aku tahu kalian pernah terlibat masalah..."
"Aku benci dengan orang itu,"ucap Kevin tampak menyimpan dendam.
Aku tahu,batinku. Tapi aku menyukainya terlepas dari permasalahan yang terjadi diantara mereka berdua.
"Maafkan aku...."tandasku. "Tapi aku mencintainya."
Kupikir aku sudah terlalu berani mengungkapkan cintaku pada Radit didepan Kevin. Dan ia tampak sangat marah mendengar pengakuanku.
"Cinta?"ejek Kevin sembari tersenyum sinis. "Memang apa hebatnya dia?"
"Vin,"ucapku tak sabar. "Sebenarnya apa yang terjadi antara kalian berdua? Kenapa kamu sangat membencinya?"desakku penasaran.
Kevin tak menyahut.
"Kevin!"teriakku lantang. Aku benci saat penasaran seperti ini hanya diam yang yang kudapati darinya.
"Dia adalah anak tiri papa,"tandasnya pelan.
Oh Tuhan, pekikku tertahan. Aku terkejut bukan kepalang.
Aku jatuh terduduk ke atas tempat tidur. Sementara boneka pemberian Radit terlepas begitu saja dari genggamanku.
Kenapa tiba-tiba saja aku merasa terjebak didalam sebuah lubang seperti ini?
Aku baru menyadari bahwa aku tidak mengenal Kevin dengan baik seperti dugaanku selama ini. Kupikir akulah satu-satunya orang yang mengenalnya lebih baik dari siapapun. Tapi nyatanya aku tidak pernah tahu apa saja yang terjadi dalam hidupnya.
Dan hubunganku dengan Radit pasti sangat menyakiti hatinya.
"Tapi aku mencintainya Vin,"gumamku lirih. Pasti itu terdengar sangat egois di telinga Kevin. Tapi apa cinta bisa dicegah saat kita merasakan sebuah perasaan pada orang lain.
"Putuskan dia,"ucap Kevin tegas. "Atau Kak Bella lebih suka menyakiti hatiku?"
Kevin???
Tolong, jangan memberiku pilihan yang sulit seperti ini...


"Yuk kuantar pulang Be,"tawar Radit siang itu. Saat aku berdiri terpaku didepan pintu gerbang sekolah dan sedang meratapi langit yang tiba-tiba saja berubah gelap."Bentar lagi ujan tuh."
Langkahku menuju arah Radit tertahan. Tangan Kevin telah lebih dulu mencekal lenganku kuat-kuat. Mencegahku bergerak menuju ke arah cowok yang kusukai itu.
"Kevin?"pekikku kaget. Ia bergegas menyeretku menjauh dari tempat itu dan meninggalkan Radit tanpa basa basi sama sekali. Tapi kupikir Radit akan mengerti situasi yang sedang kualami sekarang.
Kevin menyodorkan helmnya kepadaku begitu sampai di tempat dimana motornya diparkir. Aku menurut perintah Kevin tanpa bertanya. Aku berusaha mengerti tentang apa yang ia rasakan sekarang.
Hujan turun saat motor Kevin meluncur kencang di jalanan yang telah berubah menjadi basah. Harusnya ia tidak melajukan motornya dengan kecepatan tinggi disaat hujan seperti ini. Betapapun marahnya dia tentang kejadian tadi.
Sementara aku hanya diam tanpa bisa mengajukan protes padanya. Aku tak ubahnya patung yang tidak punya pendirian dan kekuatan.
Aku hanya memeluk pinggang Kevin seraya menikmati tetesan hujan yang jatuh di tubuh kami. Toh jika kami mengalami kecelakaan, kami akan celaka berdua...


Aku melemparkan tubuhku ke atas tempat tidur sesaat setelah mengganti seragamku yang basah.
Aku juga telah memberikan sebuah handuk dan sebuah t shirt pada Kevin. Terakhir yang kulihat ia tampak terpekur di ruang tengah. Seperti sedang berpikir tentang banyak hal.
Entah darimana datangnya tiba-tiba saja mataku basah. Bantalku yang semula kering ikut-ikutan basah karenanya.
Aku masih ingat, terakhir kali aku menangis adalah saat mama dan papa bercerai. Itu sekitar lima tahun yang lalu. Setelah itu aku tidak pernah meneteskan air mata sampai hari ini.
Ternyata aku tidak setegar yang kukira. Semua karena cinta. Cinta yang membuatku tertawa bahagia dan cinta pula yang membuatku meneteskan air mata.
Perlahan seseorang mengelus punggungku.
Lagi-lagi Kevin, batinku. Aku buru-buru mengusap air mataku dan menyembunyikan wajahku darinya.
"Lupakan dia,"ucap Kevin perlahan. Tapi tetap saja mengguncang perasaanku.
Radit adalah cinta pertamaku. Dia juga yang membuatku merasa berarti dan dihargai. Yang bisa membuatku nyaman dan aman saat bersamanya. Bagaimana aku bisa mencampakkan orang yang kusukai disaat aku mulai jatuh cinta padanya?
"Kenapa semua ini terjadi padaku?"gumamku lirih.
"Kak Bella menyesali semua ini?"tanya Kevin cepat. "Apa Kak Bella juga menyesali keberadaanku?"
"Bukan begitu maksudku..."
Aku bangkit dan duduk dihadapan Kevin.
"Apa cinta Kak Bella padanya begitu egois? Apa Kak Bella lebih suka menyakitiku daripada memutuskannya?"desak Kevin emosi.
"Bukan begitu!"potongku. "Kupikir kita bisa berdamai..."
"Berdamai?"Kevin tersenyum pahit. "Kak Bella hanya memikirkan kebahagiaan Kak Bella sendiri tanpa pernah memikirkan perasaanku. Kak Bella egois tahu nggak?!"
"Dia cinta pertamaku Vin!"teriakku dengan emosi pula.
"Dan kak Bella adalah cinta pertamaku!"
Aku terperangah seketika.
Kevin mendaratkan sebuah ciuman tepat diatas bibirku sedetik kemudian. Membuatku linglung untuk beberapa saat lamanya. Aku seperti kehilangan akal. Kejadian itu begitu mendadak dan sangat cepat...


"Kak Bella! Kevin berantem lagi tuh!"
Gladys tampak terengah-engah begitu sampai didepan mejaku. Laporannya sama seperti beberapa waktu yang lalu. Kevin berkelahi. Lagi.
Aku menghela nafas panjang. Aku sudah bosan mendengar hal yang sama.
Kevin bukan anak kecil lagi. Dia sudah dewasa.
"Kak Bella..."tegur Gladys membuyarkan kebisuanku.
Padahal sebelum ini aku akan bergegas lari begitu mendengar Kevin terlibat sebuah perkelahian. Tapi kali ini aku hanya bengong dan tidak melakukan apapun meski aku tahu Kevin sedang terlibat masalah.
"Biarin aja,"ucapku beberapa saat kemudian. Cuek.
"Tapi...."
Kevin udah dewasa. Dia bukan anak kecil lagi. Dia pasti tahu apa yang sedang dia lakukan,"tandasku.
Aku menyuruh Gladys pergi. Mungkin dia pergi untuk melihat keadaan Kevin sekarang.
Aku dan Kevin tak bicara sejak insiden sore itu. Tepatnya tiga hari sampai sekarang.
Aku sedang marah padanya. Dan aku yang memutus komunikasi secara sepihak. Sms dan telepon dari Kevin tak ada satupun yang kujawab.
Aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang terjadi diantara kami berdua. Dan apa yang mesti kulakukan padanya?
Terus terang aku belum bisa menerima kenyataan jika Kevin mencintaiku....


Apa aku semarah itu? batinku seraya mengaduk mie bakso milikku yang masih utuh. Belum kusantap sama sekali.
Mungkin masih wajar jika aku membiarkan Kevin berkelahi. Tapi apa aku akan tetap membiarkan Kevin seolah-olah aku benar-benar tidak peduli lagi padanya?
Kevin absen sekolah empat hari ini. Dia juga tidak pulang kerumah . Tanpa kabar sama sekali. Dia menghilang!
Apa aku masih tidak peduli padanya? Bukankah semua ini karena aku?
"Kamu mencemaskannya kan Be?" tegur Radit menggoyahkan bangunan lamunan yang baru saja kubuat.
"Eh... kamu nanya apa?"tanyaku sedikit gugup.
Aku benar-benar tidak fokus pada perbincangan kami.
"Aku merasa kamu sangat meyayanginya. Karena sejak tadi kamu bengong terus. Pasti kamu sedang memikirkannya. Apa dugaanku benar?"tanya Radit sembari menatap mataku lekat-lekat.
Aku terperangah. Apakah pikiranku begitu mudah terbaca olehnya?
"Kami tumbuh bersama Dit,"ujarku. "Dan dia udah kayak adikku sendiri....."
"Tapi aku nggak mau cewek yang kusuka mikirin cowok lain saat bersamaku,"timpal Radit seraya meraih genggaman tanganku. Membuatku tersadar dari rasa bersalah.
"Maaf,"ucapku pelan.
"Andai kamu disuruh memilih antara aku dan Kevin, siapa yang akan kamu pilih?"tanya Radit. Memojokkanku pada sebuah dilema.
"Kenapa memberiku pilihan yang sulit..."
"Jawab aja,"paksa Radit.
"Aku nggak bisa."
Radit manggut-manggut mendengar keberatanku atas pertanyaannya. Lantas ia tersenyum.
"Mungkin Kevin sangat berarti buatmu,"ujarnya lirih. "Mungkin dia juga lebih membutuhkanmu ketimbang aku. Tapi aku bisa menunggumu Be,"tandas Radit.
Oh Tuhan, kenapa aku bisa terjebak dalam situasi sulit seperti ini? Siapa yang mesti kupertahankan agar tetap berada disisiku?


Aku berlari seraya menebar pandangan ke sekeliling. Bandara sangat ramai dipenuhi orang-orang yang akan berangkat dan baru saja datang.
Aku menerima sms dari Kevin sejam yang lalu...
"Aku ikut penerbangan ke New York jam 2 siang ini. Datanglah kalau kamu ingin melihatku untuk yang terakhir kali...."
Oh, akhirnya aku menemukan sosok Kevin di antrian check in pesawat setelah berkeliling selama setengah jam.
Dasar bodoh! Setelah menghilang selama beberapa hari, sekarang ia akan pergi jauh. Memangnya apa yang akan ia lakukan disana?
"Kak Bella datang?"tanya Kevin seperti tak percaya melihat kehadiranku.
"Bodoh!"makiku sambil menimpuk bahunya kuat-kuat. "Memangnya apa yang kamu pikirin sekarang? Dan apa yang akan kamu lakukan disana? Memangnya anak manja kayak kamu bisa hidup sendirian?"cecarku bertubi-tubi.
Namun Kevin malah tersenyum mendengar celotehanku.
"Aku pasti akan merindukan suara cerewet Kak Bella,"gumamnya. Ia tampak seperti orang lain.
"Maafin aku..."akhirnya permintaan maaf itu terlontar juga dari bibirku. "Selama ini aku nggak pernah menganggapmu lebih dari seorang adik."
"Tapi aku ingin lebih..."
"Nggak Vin. Aku nggak bisa,"timpalku cepat. "Kamu tahu kan aku sangat menyayangimu, tapi aku..."
"Aku tahu,"sahut Kevin seraya menghela nafas berat. Entah apa yang ia pikirkan saat itu."Kurasa aku harus pergi sekarang,"ucap Kevin kemudian.
"Kamu benar-benar akan pergi?"tanyaku heran. "Apa kamu sangat kecewa padaku?"tanyaku hati-hati.
"Sejujurnya iya,"sahutnya tampak sungguh-sungguh. "Tapi aku tetap akan pergi."
"Sampai kapan?"
"Entahlah, aku belum tahu,"jawabnya. "Mungkin 3 atau 5 tahun. Bukankah kak Bella ingin aku belajar menjadi dewasa? Aku pasti akan kembali saat aku merasa telah menjadi dewasa dan mandiri. Dan jika saat itu tiba aku akan merebut Kak Bella dari Radit,"ujarnya.
Aku tak tahu mesti berkata apa saat itu. Aku hanya merasa aneh berada pada posisi seperti itu.
Aku membiarkan tubuhku dipeluk Kevin sebelum ia pergi.
Tak ada kata perpisahan yang terucap dari bibirku. Semua berlangsung tanpa perbincangan.
Meski sebenarnya aku tak ingin ia pergi, tapi aku juga tak bisa berbuat apapun. Aku pasti akan merasa sangat kesepian dan sangat merindukannya. Tapi aku pasti akan menunggunya kembali. Entah sebagai diriku yang sekarang atau sebagai pasangannya kelak. Aku tidak tahu....
Tapi kuharap waktu dan musim yang berganti merubahnya menjadi dewasa dan mencairkan gunung es didalam hatinya.

Selasa, 17 Desember 2013

PSIKOPAT


Mataku terus menerus mengawasi para penumpang yang baru saja tiba di jalur kedatangan. Pesawat dari Manado baru saja tiba beberapa saat yang lalu. Tapi sampai detik ini aku tak menemukan sosok mama diantara para penumpang itu. Membuatku bertambah was-was. Apa ia tidak datang hari ini? Ataukah ia menaiki pesawat yang lain?
Huh, dengusku kesal.
Tetap saja nihil. Mama tidak pernah datang. Sama seperti kemarin.
Aku kembali ke tempat duduk di ruang tunggu.
Kakiku sudah lelah. Aku tak sempat menghitung berapa lama aku menghabiskan waktu untuk menunggu mama.
"Irin! Sedang apa disini?"
Aku menoleh begitu mendengar seseorang memanggilku.
"Josh?"gumamku lirih. Laki-laki itu bergerak mengambil tempat duduk di sebelahku. "Aku sedang menunggu mama. Tapi dia tidak datang,"paparku bernada kecewa.
Laki-laki itu tertegun menatapku.
"Ayo kita pulang,"ajaknya beberapa saat kemudian. Setengah memaksa.
"Tidak Josh,"tolakku cepat. "Aku ingin menunggu mama. Mungkin dia ikut penerbangan berikutnya,"ucapku meski tidak yakin.
"Rin,"desah Josh agak kesal. "Bukankah kemarin kamu juga menunggu mamamu disini, dan dia tidak datang. Hari inipun dia tidak akan datang. Ayolah, kita pulang. Jangan habiskan waktumu sia-sia disini,"tandas Josh kemudian.
"Josh...."
Josh menatapku lekat-lekat. Menusuk jantungku seketika. Membuatku merasa takut saat hendak balas menatap matanya.
Tanpa banyak basa-basi Josh meraih tanganku dan langsung menyeretku keluar dari lantai bandara. Sementara aku hanya bisa mengikuti langkahnya tanpa perlawanan sama sekali.
"Aku tidak mau pulang ke rumah itu Josh...."gumamku lirih. Mengungkapkan perasaanku saat aku sudah memasang sabuk pengaman di tubuhku dan Josh hendak menyalakan mesin mobil.
"Kita tidak akan pulang ke rumah papamu. Kita pulang ke apartemenku,"tandasnya tenang. Laki-laki itu menyalakan mesin mobilnya dan segera meluncur ke jalan raya.
Aku merasa lega saat Josh mengatakan hal itu. Sungguh, aku tidak mau pulang kerumah papa. Karena ada istri muda papa disana.
Dan karena wanita itulah papa mencampakkan mama. Sehingga mama pulang ke kampung halamannya di Manado. Dan mama tidak pernah kembali meski hanya untuk menjengukku sekalipun.

~~@@@~~~

Aku memasuki apartemen milik Josh. Rasanya aku terlalu sering menginap disana akhir-akhir ini. Bahkan seluruh pakaianku menghuni isi lemari di kamar Josh.
"Istirahatlah Rin,"suruh Josh. "Aku akan membuatkanmu makanan."
"Aku ingin makan mie instant Josh!"seruku saat tahu laki-laki itu berjalan ke dapur.
Tapi Josh tak menyahut.
Aku masuk ke dalam kamar Josh dan melemparkan tubuhku yang penat di atas tempat tidur. Rasanya aku sangat lelah. Mungkin juga untuk melanjutkan hidupku.
Aku tak tahu kenapa, namun aku sering berpikir untuk berhenti dari kehidupan ini. Aku bosan dengan semua yang terjadi padaku. Tapi Josh selalu datang bak malaikat dan menyelamatkan hidupku.
"Makanlah Rin,"suruh Josh membangunkanku.
Aku bangkit dan mendapati sepiring spagheti disodorkan Josh untukku.
"Aku tadi minta mie instant Josh..."
Josh menggeleng.
"Sudah lama mie instant tidak diperbolehkan dimasak disini,"tandasnya tegas. "Itu tidak baik untuk kesehatanmu Rin. Kamu tahu mie instant mengandung banyak bahan kimia dan pengawet,"tuturnya menceramahiku seperti biasa.
"Sekali ini Josh..."aku merengek seperti anak kecil padanya.
"Tidak. Makanlah yang telah aku buat untukmu dan berhentilah merengek seperti anak kecil,"ucapnya terdengar kesal.
Josh memang sangat tegas padaku. Bahkan papaku sendiri tak setegas itu. Dialah satu-satunya orang yang bisa mengendalikan hidupku lebih baik.
"Kamu tidak bekerja hari ini?"tanyaku seraya melahap makananku. Sementara Josh tampak sibuk dengan laptopnya. Mungkin memeriksa pekerjaannya.
"Hm... karena aku harus menjemput seseorang di bandara hari in,"ucapnya tanpa menoleh.
Seseorang itu pasti aku, batinku.
"Maafkan aku,"ucapku dengan rasa bersalah.

~~@@@~~

Gawat! Aku terlambat bangun pagi ini.
Aku buru-buru turun dari tempat tidur dan berlari ke dapur. Aku ingin membuatkan sesuatu untuk Josh sebelum ia pergi ke kantor.
Josh?
Laki-laki itu tampak sedang sibuk memasak dengan santai di dapur. Apa ia tidak bekerja? batinku seraya mendekat.
"Apa tidurmu nyenyak semalam?"sapanya ketika melihatku muncul.
"Ya,"sahutku pendek. "Apa yang sedang kamu lakukan? Harusnya aku yang memasak untukmu..."
"Apa kamu tahu, kalau masakanku jauh lebih enak dari masakanmu,"ucapnya.
"Ya aku tahu,"sahutku pelan.Tapi aku juga ingin memasak sesuatu untukmu.
"Ayo makan,"ajaknya kemudian."Jangan berdiri saja disitu."
Aku melangkah ke meja makan sesuai perintah Josh.
"Kamu tidak pergi ke kantor hari ini?"tanyaku disela-sela acara makan.
"Hm, tapi agak siang,"sahutnya ringan.
"Karena aku?"tanyaku lebih lanjut.
Josh menghentikan suapannya.
"Kalau saja kamu tidak pergi kemana-mana dan tetap tinggal dirumah, aku akan tenang bekerja,"ucapnya seraya menatap tajam ke arahku.
"Maaf,"gumamku lirih. Mungkin aku membebani Josh akhir-akhir ini.
"Berhentilah minta maaf dan berjanjilah kamu akan tinggal dirumah dan akan baik-baik saja sampai aku pulang. Apa kamu mengerti?"
Aku mengiyakan ucapan Josh.

~~@@@~~

Apa Josh belum berangkat, batinku setelah keluar dari kamar mandi dan mendapati jas milik Josh masih tergeletak diatas tempat tidur.
"Josh..."
Aku menyambar jas milik Josh dan bermaksud memberikannya pada laki-laki itu. Barangkali dia masih mengerjakan sesuatu di dapur.
Oh, rupanya Josh sedang menelepon seseorang...
"Ya Pa, dia baik-baik saja."
Aku mendengar suara Josh sedang berbincang di telepon. Membuatku urung untuk memberikan jas miliknya.
"Dia pergi ke bandara lagi kemarin,"lanjut Josh.
Rupanya Josh melaporkan keadaanku pada papa, batinku tersentak.
"Ya Pa, tentu saja. Aku akan menjaganya baik-baik seperti keinginan papa. Papa tidak usah khawatir."
Josh menutup teleponnya sesaat kemudian.
Jadi begitu, batinku bimbang. Selama ini Josh begitu baik dan perhatian padaku karena ia disuruh papa? Bukan karena dia mencintaiku seperti dugaanku sebelumnya? Memang berapa banyak uang yang ia dapat dari papa untuk menjagaku? Aku kan bukan anak kecil yang mesti diawasi selama 24 jam penuh...
"Irin?"
Aku tersentak mendapat teguran dari Josh. Aku buru-buru tersenyum dan menyodorkan jas miliknya.
"Ini,"ucapku.
"Terima kasih,"balasnya.
"Kamu mau berangkat sekarang?"tanyaku berbasa-basi.
"Iya,"sahutnya pendek. "Tapi kamu harus janji tetap tinggal dirumah sampai aku kembali."
Josh mendaratkan kecupannya di keningku sebelum ia pergi.

~~@@@~~

Josh...
Kenapa ia melakukan itu padaku? Padahal aku sangat mencintai dirinya melebihi apapun di dunia ini. Padahal aku menggantungkan seluruh hidupku pada laki-laki itu.
Tapi ternyata perasaannya tidak sama dengan perasaanku. Dia melakukan semua ini karena mendapat imbalan dari papa. Ini terdengar sangat menyakitkan untukku.
Air didalam bath tube telah meluber keluar. Aku segera mematikan keran air dan masuk kedalam bath tube untuk merendam tubuhku.
Hari telah menggelap dan Josh belum juga pulang. Pergi kemana dia?
Oh,untuk apa aku memikirkannya sekarang? Bukankah aku sudah tahu kenyataannya jika dia hanyalah seorang yang dibayar papa untuk menjagaku. Karena papa sudah tidak mau menjagaku. Karena dia sudah memiliki keluarga baru. Dengan begitu papa bisa menyingkirkanku perlahan.
Betapa kejam hidup ini. Bahkan orang-orang disekitarku sudah tidak menyayangiku lagi.
Hanya mama yang sempat ku andalkan. Tapi ternyata mama tidak pernah datang untuk menjemputku.
Perlahan aku memasukkan kepalaku ke dalam air. Aku ingin mati sekarang. Biar rasa sakit di hatiku lenyap.
Nafasku mulai sesak. Air mulai memenuhi rongga hidung dan dadaku.
Aku hanya ingin mati dan tidak merasakan sakit hati lagi,tapi.....
"Irin!"
Teriakan itu begitu keras terdengar di telingaku. Seiring itu pula tubuhku terangkat ke atas dengan paksa.
Aku terbatuk. Air yang sempat terminum olehku keluar tiba-tiba.
"Apa-apaan ini?!"teriak Josh membuatku kaget dan tersadar kalau aku telah berada dalam pelukannya. "Apa yang sedang kamu lakukan? Bukankah aku tadi berpesan kamu harus baik-baik saja sampai aku pulang. Kenapa kamu melanggarnya?!"
Tubuhku gemetar mendengar gertakan Josh. Kenapa aku begitu ketakutan melihat kemarahan yang sedang meledak dalam dirinya?

~~@@@~~

Tubuhku menggigil dibalik selimut saat Josh mengulurkan gelas berisi cokelat panas. Amarahnya sudah mulai mereda sekarang, tapi tetap saja aku masih takut untuk menatap matanya.
"Sebenarnya ada apa denganmu?"tanya Josh sembari duduk di tepian ranjang. Persis didepanku. "Kenapa kamu selalu melakukan hal-hal yang menyakiti dirimu sendiri?"
Selalu? batinku tercekat. Bukankah aku baru melakukan ini sekali saja?
"Kamu masih ingat penyebab luka ini?"tanya Josh seraya menarik tanganku dan menunjukkan bekas luka goresan pada pergelangannya. Aneh, kenapa luka ini ada disini? batinku bingung.
"Kamu pernah mencoba bunuh diri tiga bulan yang lalu,"ungkap Josh seolah tahu kebingunganku. "Kamu sering menyakiti dirimu sendiri saat sedih dan kecewa. Lantas apa yang membuatmu kecewa sekarang ini?"
Aku tak menyahut. Aku tak kuasa berbicara pada Josh tentang pemikiranku.
"Maafkan aku..."gumamku lirih.
Sementara Josh hanya mendesah mendengar permintaan maafku. Pasti dia sangat kesal padaku saat ini.
Tiba-tiba saja aku teringat sesuatu. Saat insiden bath tube itu...
"Josh,"ucapku. "Apa kamu melihat semuanya?"tanyaku hati-hati.
"Hm?"Josh mengernyitkan kening. "Melihat apa maksudmu?"tanyanya masih tak mengerti.
"Benar kamu tidak mengerti ucapanku?"tanyaku tak percaya.
"Memang apa yang kulihat?"timpal Josh datar.
"Melihat..."aku menggantung kalimatku dengan sengaja seraya menunjuk hidungku sendiri.
"Oh,"Josh tampak sudah mengerti sekarang."Itu? Aku sudah sering melihatnya. Kenapa?"
Apa? tanyaku dalam hati. Kaget bukan kepalang.
"Kapan?"desakku seraya menarik lengan sweater Josh.
"Sudahlah, pergilah tidur sekarang. Nanti kamu sakit,"suruh Josh memaksa.
"Josh...."

~~@@@~~

Aku mendengar suara gaduh pagi ini dan sangat mengusik lelapnya tidurku. Aku terbangun dan mencari sumber kegaduhan.
Oh, pekikku kaget.
Rupanya Josh telah menyuruh seseorang untuk membongkar bath tube di kamar mandi.
"Josh?"
"Oh,"laki-laki itu membalikkan tubuhnya manakala aku berdiri di belakangnya. "Kamu sudah bangun?"
"Apa yang mereka lakukan Josh? Kenapa mereka membongkar bath tube itu?"tanyaku sedikit cemas.
"Aku menyuruh seseorang untuk membongkar bath tube itu,"jelas Josh membuatku tercekat."Aku tidak mau peristiwa kemarin terulang lagi."
"Tapi Josh..."
"Aku tidak mau kamu celaka hanya karena bath tube itu Rin,"tandasnya.
"Aku tidak akan melakukan hal itu lagi Josh. Aku janji..."
Entah kenapa aku merasa tidak rela jika bath tube itu dibongkar begitu saja.
"Siapa yang akan menjamin kamu tidak akan melanggar janjimu sendiri?"tanya Josh menyudutkanku.
"Tapi Josh, aku..."air mataku mulai merebak tanpa sebab.
"Rin,"Josh mencengkeram kedua pundakku. "Aku tidak mau kamu menyakiti dirimu sendiri. Dan aku tidak mau kehilangan kamu. Kamu mengerti?"
Josh meraih tubuhku. Dan air mataku mulai merembes membasahi kemeja putihnya.
Kenapa aku begitu lemah dihadapan Josh? Aku seperti bukan diriku sendiri saat aku bersamanya. Dan aku juga tidak mengenali diriku sendiri...

~~@@@~~

Dadaku sesak. Sesuatu telah menindihnya dan membuatku terjaga dari tidurku malam ini.
Josh! pekikku tersendat.
Oh Tuhan! Laki-laki itu tengah menyandarkan kepalanya didadaku. Sementara ia tak memakai sehelai benangpun. Begitu juga denganku.
Apa itu artinya aku dan Josh.....
"Ada apa Rin? Kamu mimpi buruk?"
Josh terbangun dan menyalakan lampu diatas meja beberapa detik kemudian. Matanya masih menyipit menahan kantuk.
"Apa yang telah kita lakukan?"tanyaku terbata. Tubuhku sudah gemetar.
"Apa maksudmu?"Josh malah balas bertanya. "Kita sudah menikah tiga bulan lalu Rin. Apa hal itupun kamu juga sudah lupa?"
"Hah?"
"Ya,"timpal Josh cepat. "Kita memang sudah menikah."
Tapi kenapa aku tidak ingat sama sekali? Juga peristiwa-peristiwa lain yang pernah terjadi dalam hidupku. Aku tidak bisa mengingatnya sama sekali. Ada apa denganku?
"Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa aku tidak bisa mengingat apapun tentang diriku?"tanyaku gusar.
Josh menghela nafasnya. Laki-laki itu menyandarkan kepalanya ke atas bantal. Persis disampingku.
"Sesuatu memang telah terjadi,"ucapnya."Semua berawal saat mamamu meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat menuju Manado. Pesawat itu meledak dan jatuh ke laut. Tidak ada satupun penumpang yang selamat dalam kecelakaan itu. Bahkan bangkai pesawatnyapun tidak pernah ditemukan. Kamu tidak bisa menerima kenyataan kalau mamamu telah meninggal. Itulah sebabnya kamu selalu pergi ke bandara untuk menjemput mamamu. Dan satu lagi, kamu juga sangat membenci papamu karena dia menikah lagi setelah mamamu meninggal."
Aku terhenyak mendengar penuturan Josh.
"Benarkah aku seperti itu?"gumamku.
"Ya,"sahut Josh cepat. "Makanya kamu harus cepat tidur karena kita akan pergi ke psikiater besok pagi."
"Untuk apa?"tanyaku cepat. "Aku tidak gila Josh."
"Aku tahu. Tapi kita harus pergi karena aku mencintaimu Rin. Karena aku ingin kamu hidup normal seperti orang lain. Agar kamu tidak melupakanku suatu saat nanti. Karena aku lelah mengulang cerita ini lagi,"tutur Josh membuatku terpana.
"Josh..."aku kehilangan kata-kataku. "Maafkan aku. Karena aku seperti ini dan aku sama sekali tidak menyadari apa yang telah kulakukan selama ini. Aku tidak tahu kalau aku separah ini..."
Josh tersenyum seraya memelukku.
"Disaat sendirian hanya kamu satu-satunya orang yang setia mendampingiku. Bahkan disaat aku berada di titik terendah sekalipun kamu selalu ada untukku. Dan sekaranglah saatnya aku membalas semua itu. Karena aku sangat mencintaimu,"tutur Josh.
Aku juga....

Senin, 16 Desember 2013

HOPELESS ROAD


"Lho, sarapannya kok belum dimakan...."
Aku terbangun oleh suara mama. Wanita itu menyeruak masuk kedalam kamarku kembali setelah 30 menit yang lalu ia datang untuk meletakkan sarapan pagiku diatas meja.
"Cuaca diluar sangat cerah,"ucap mama lagi seraya menyibakkan tirai jendela sehingga sinar matahari pagi leluasa menerobos masuk dan menerpa wajahku. Mengusik kenyamanan tidurku.
"Kapan kamu akan bangun? Apa kamu akan tidur terus sepanjang hari?"
Mama mendekat dan menyibak selimut yang baru saja kubentangkan untuk menutupi kepalaku. Membuatku kesal saja.
"Udara disini sangat sejuk dan bersih,"tandas mama dengan suara lembut. "Apa kamu nggak ingin pergi keluar dan menikmati pemandangan? Sepertinya jalan-jalan di perkebunan teh akan sangat menyenangkan,"sambungnya meluncurkan jurus rayuan.
"Males Ma,"gumamku lirih. Aku membuka mataku sebentar dan memejamkannya kembali.
Kudengar mama mendesah usai mendengar jawabanku.
"Kita sudah pindah ke vila ini sejak tiga hari yang lalu. Tapi kamu terus mengurung diri dikamar. Apa kamu nggak bosan?"desak mama lagi. Tampaknya wanita itu belum puas sebelum aku membuka mata dan pergi keluar rumah seperti harapannya.
Aku tidak menyahut. Mataku masih terpejam. Tapi aku tak bisa melanjutkan tidurku lagi. Sinar matahari rupanya cukup membuatku terusik. Juga suara mama yang berderet seperti barisan semut.
"Oh ya,"mama melanjutkan kalimatnya kembali. "Mama banyak mendapat keluhan dari teman-temanmu. Mereka bilang sama mama, kalau nomer hpmu nggak aktif. Apa kamu sengaja melakukan itu? Kenapa ? Mereka pasti sedih dan kebingungan mencarimu..."
Memang berapa banyak temanku? Apa mereka layak disebut sebagai teman? Lagipula mereka mencariku hanya untuk mengeluh tentang pekerjaan dan kehidupan pribadi mereka. Tapi disaat aku butuh teman, mereka tidak pernah ada untukku. Aku selalu sendirian.
"Kamu tidur?"tegur mama beberapa waktu kemudian.
Aku tak menyahut. Agar mama mengira aku tidur dan ia menghentikan ocehan paginya. Tapi ternyata usahaku gagal. Mama malah melanjutkan kalimatnya. Lagi.
"Cepat bangun dan makan sarapanmu,"suruhnya. "Setelah itu minum obatmu."
Aku membuka mata.
"Mama cerewet banget sih,"gerutuku kesal. "Udah deh, mama pergi aja dari sini. Aku masih ngantuk dan ingin tidur,"ucapku sedikit ketus.
"Bimo!"teriak mama. Wanita itu tampak kaget mendengar gertakanku.
Aku menghela nafas berat.
"Ma,"ucapku. "Umurku nggak akan lama lagi. Jadi biarin aku berbuat sesuka hatiku. Setelah aku mati, mama nggak akan terbebani lagi olehku."
"Kamu ngomong apa sih?"bentak mama cepat. Menahan emosi. "Mama nggak suka kamu ngomong seperti itu..."
"Itu kenyataan Ma,"timpalku dengan nada tinggi. "Jadi berhentilah menyuruhku macam-macam. Aku nggak makan, nggak minum obat, nggak jalan-jalan.. Toh semuanya akan sia-sia. Semua akan berakhir sama. Aku tetap akan mati,"tandasku kesal.
"Bimo!!"teriak mama lebih kencang dari sebelumnya. Sepasang mata wanita itu tiba-tiba berubah merah.
"Maafin Bimo Ma,"ucapku beberapa detik kemudian. Sungguh, aku tidak bermaksud membuat wanita itu marah. Apalagi bersedih. "Emosiku sedikit labil akhir-akhir ini...."
Aku menyesali ucapanku pada mama pagi ini. Aku benar-benar tidak bermaksud untuk menyakiti hati wanita itu. Aku hanya kesal pada diriku sendiri. Aku kecewa. Tapi tidak seharusnya aku melampiaskannya pada mama.
Akhirnya aku keluar rumah setelah tiga hari mengurung diri didalam kamar. Biasanya aku meghabiskan waktu dengan melamun dan tidur. Tapi kali ini aku mencoba memenuhi keinginan mama. Aku pergi jalan-jalan di sekitar area perkebunan teh sekedar untuk mencari suasana segar.
Mama benar, batinku seraya menghirup udara dalam-dalam. Udara ditempat ini memang bersih dan sejuk. Melegakan pernafasan. Tapi apa untungnya buatku? Udara ini tidak akan bisa membuatku kembali sehat. Aku tetap akan mati. Entah esok atau lusa. Mungkin juga enam bulan lagi seperti vonis dokter kala itu.
Aku sudah tidak punya harapan. Penyakit itu telah menggerogoti kehidupanku dari hari ke hari. Dan apapun yang kulakukan sekarang tidak akan ada gunanya lagi. Aku sudah tidak berguna. Mati hari ini atau esok akan sama bagiku.
Kasihan mama. Wanita itu masih tampak tegar dan baik-baik saja sampai hari ini. Seolah aku masih akan hidup lebih lama darinya.
Ia memperlakukanku sama seperti biasa. Ia tetap marah saat aku bangun kesiangan dan telat makan atau lupa minum obat.
Tapi sesungguhnya mama terluka jauh di lubuk hatinya. Aku bisa membaca raut wajahnya, jika ia sangat takut kehilanganku. Namun ia berusaha sekuat tenaga untuk menyembunyikannya dariku.
Dan aku selalu memperlakukan wanita itu dengan buruk. Bahkan aku sering melontarkan kata-kata kasar padanya. Tapi akuu selalu menyesalinya beberapa detik kemudian. Harusnya aku memperlakukannya lebih baik dari sebelumnya. Karena aku tidak punya waktu lebih banyak untuk hidup didunia ini...

~~~~**~~~~

"Bimo, sedang apa?"
Mama menegurku. Wanita itu datang mendekat untuk melihat apa yang sedang kukerjakan.
"Aku lagi nyuci Ma,"sahutku ringan. "Aku kasihan melihat mama. Mama pasti capek ngurusin aku dan mengerjakan pekerjaan rumah sendirian,"jelasku seraya membilas cucian.
Padahal dulu aku sama sekali tidak pernah melakukan pekerjaan ini.
"Mestinya kamu nggak usah repot-repot melakukan ini,"ucap mama dengan nada menyesal. "Sini, biar mama yang melakukannya."
Mama hendak mengambil alih pekerjaanku, namun aku melarangnya.
"Biarin Ma, tinggal sedikit kok,"ucapku. "Lagian kapan lagi aku bisa mencuci pakaianku sendiri,"sambungku seraya tergelak.
Namun mama tidak ikut tertawa mendengar candaanku. Wajahnya langsung berubah murung.
"Ma, kenapa jadi sedih gitu?"ucapku sesaat kemudian. "Aku tadi sudah sarapan dan minum obat seperti perintah mama. Harusnya mama senang dong, bukan cemberut seperti itu."
"Kamu membuat mama takut Bim..."
Aku tersenyum sembari menyentuh pundak mama.
"Aku baik-baik aja Ma,"tandasku untuk menenangkan hati wanita itu. "Aku merasa sehat hari ini."
Mama menghela nafas panjang.
"Didepan ada Febby,"beritahu mama membuatku spontan terkejut. "Dia mencarimu."
Febby? ulangku tanpa sadar. Bagaimana gadis itu bisa melacak keberadaanku? batinku bertanya-tanya.
"Sebaiknya kamu cepat temui dia,"suruh mama. "Kasihan dia sudah datang jauh-jauh kesini hanya untuk menemuimu."
Aku bergegas menuruti perintah mama untuk menemui Febby di depan. Dengan perasaan yang tak tentu.
Gadis itu tampak berdiri kaku di teras seraya melempar tatapan jauh ke arah perkebunan teh yang terbentang luas didepan sana. Dia masih tampak cantik seperti dulu. Dengan penampilan sederhana dan menawan seperti biasa.
Oh Tuhan, gadis inilah yang membuatku nyaris tak bisa bernafas manakala aku berada di hadapannya.
"Hai Feb,"sapaku hati-hati. Takut membuatnya terkejut.
Febby membalikkan tubuhnya usai ku tegur. Matanya membulat sempurna saat melihatku.
"Bimo..."
Aku mengembangkan senyum selebar mungkin untuk menunjukkan sebuah ekspresi gembira padanya.
"Apa kabar?"sapaku kemudian. Mencoba untuk terdengar sehangat mungkin.
Febby mendekat. Gadis itu menatapku dengan pandangan aneh. Mungkin saja ia telah menemukan sesuatu yang membuatku tampak berbeda dari biasanya.
"Apa ini yang disebut sebagai teman?"cecarnya tiba-tiba. Membuatku terhenyak. Ada apa dengan gadis ini? batinku.
Bukankah harusnya ia bertanya kabar padaku, bukan mencecarku dengan pertanyaan semacam itu.
Aku tersenyum kaku.
"Apa maksudmu?"tanyaku bingung. Dan tampak bodoh pastinya.
"Kenapa kamu tiba-tiba menghilang seperti ini? Tanpa pamit, bahkan kamu mematikan ponselmu juga. Ada apa sebenarnya? Apa kamu ada masalah? Atau kamu sengaja menghilang untuk membuat kami semua bingung?"tanya Febby bertubi-tubi dengan menahan geram karena ulahku.
Oh, aku hanya nyengir mendengar omelan gadis manis itu.
"Aku nggak bermaksud menghilang kok..."
Pembelaanku terputus.
"Apa kamu sedang sakit?"tanya Febby sembari mengamati wajah dan tubuhku dengan tatapan mata bulatnya.
Aku menderaikan tawa mendengar pertanyaannya.
"Apa aku tampak seperti orang sakit?"aku berbalik tanya padanya. "Aku sehat kok. Malahan aku sedang mencuci tadi,"ucapku meyakinkannya dengan menunjukkan lipatan lengan sweaterku yang sedikit basah.
Febby tertegun setelah mendengar pengakuanku.
"Lantas... kenapa kamu pindah kesini tanpa memberitahuku?"tanya Febby tak ingin kehilangan kalimat.
Yeah, Febby dan aku memang berteman baik semenjak masuk universitas. Dia satu-satunya teman wanitaku. Dan persahabatan kami berlanjut sampai sekarang karena kami bekerja di perusahaan yang sama. Kami sangat akrab dan saling terbuka . Tapi aku malah membentangkan jarak diantara kami akhir-akhir ini.
"Jadi kamu mencemaskanku?"tanyaku di iringi gelak tawa. Aku ingin tampak ceria seperti biasa.
"Aku nggak pingin bercanda Bim..."keluhnya tampak kesal.
"Hm... oke,"sahutku santai."Apa yang pingin kamu dengar dariku sekarang?"tanyaku mulai serius.
"Kenapa kamu berbuat seperti ini pada kami? Apa kamu tahu teman-teman dikantor kebingungan mencarimu. Mereka kaget setelah tahu kamu mengundurkan diri dari perusahaan. Pekerjaan dikantor juga jadi berantakan setelah kamu pergi,"tuturnya.
Begitukah? batinku. Tentu saja mereka kebingungan mencariku. Karena aku adalah tempaat mengeluh tentang pekerjaan. Saat mereka menemukan kendala dalam pekerjaan, akulah yang selalu menemukan solusinya. Pantas jika mereka mendapat kesulitan setelah aku mengundurkan diri dari perusahaan.
"Jadi begitu,"gumamku seraya manggut-manggut.
"Bim... kembalilah,"pinta Febby memohon.
"Feb,"sahutku cepat."Kamu lihat perkebunan teh itu?"aku menunjuk pada perkebunan teh yang membentang luas di kejauhan.
Gadis itu mengangguk pelan.
"Aku mendapat kepercayaan untuk mengelola perkebunan teh itu,"ucapku mengarang sebuah kebohongan yang tiba-tiba saja terlintas di benakku tiga detik lalu. "Lumayan kan? Sekalian liburan dan menenangkan diri. Lagipula udara disini bersih dan sejuk. Mamaku sangat suka tinggal disini. Kupikir itu sangat baik untuk kesehatannya."
"Benarkah?"gumam Febby seraya menatapku.
Apa aku tampak sedang berbohong? Atau kemampuan aktingku kurang meyakinkan gadis manis itu?
"Sorry, kalau aku nggak sempat berpamitan sama kalian. Karena semua serba terburu-buru saat itu. Dan kami harus berkemas secepatnya,"tuturku menambahi. "Eh, kamu bilang mereka bingung mencariku. Tapi kenapa kamu datang sendiri?"tanyaku mengalihkan tema.
"Mereka sibuk. Setelah kamu pergi kami harus lembur setiap hari. Makanya aku yang disuruh datang kesini,"jelas Febby kemudian.
Begitu rupanya, batinku. Padahal aku tadi sempat berangan-angan bahwa gadis itu datang mencariku karena inisiatifnya sendiri. Karena ia merindukanku.Tapi ternyata dugaanku salah. Dasar tolol. Kenapa aku punya pemikiran sekonyol itu?
"Sebenarnya aku kesini ingin memberitahukan sesuatu sama kamu. Juga ingin meminta sedikit bantuanmu. Kamu masih sahabatku kan?" sentak Febby membuyarkan lamunan yang sempat bertandang ke pikiranku.
"Boleh,"sahutku cepat. "Tapi ada komisinya kan?"gurauku sambil tergelak.
Febby tersenyum seraya menimpuk bahuku.
"Kamu ini, nggak berubah dari dulu,"oloknya.
Aku meringis kesakitan. Gadis ini punya tenaga yang luar biasa, batinku.
"Memang apa yang bisa kulakukan untukmu?"tanyaku beralih pada topik semula.
"Aku akan menikah bulan depan Bim,"ungkapnya seketika membuatku terperanjat kaget dan nyaris jatuh pingsan. "Aku ingin kamu menjadi saksi dalam pernikahanku nanti."
Oh Tuhan,bisikku dalam hati. Hentikan detak jantungku saat ini juga,pintaku. Daripada aku mendengar kabar terburuk dalam hidupku ini.
Hatiku hancur berkeping-keping. Luluh lantak saat gadis itu menanyakan kesediaanku.
"Aku nggak bisa janji Feb,"ucapku berusaha menutupi perasaanku yang sebenarnya. Namun aku mencoba tersenyum senormal mungkin. "Aku nggak bisa ninggalin mama sendirian disini."
Huh... Lagi-lagi mama yang kuandalkan sebagai alasan.
"Oh.."gumam Febby gusar. Gadis itu tampak kecewa mendengar jawabanku.
Kalaupun aku bisa datang, aku juga tidak akan datang. Aku takut melihat kenyataan gadis yang kucintai menikah dengan orang lain. Aku takut terluka...

~~~~**~~~~

Aku tidak bangun dari tempat tidurku pagi ini meski matahari sudah tinggi. Seluruh persendianku terasa sakit. Nyeri.
Sarapan yang disediakan mama belum kusentuh sama sekali. Tapi aku telah meminum obat anti kankerku.
Aku tahu obat itu hanya menghambat penyakitku tapi tidak bisa menyembuhkannya. Tapi aku memang sangat membutuhkannya terutama disaat seperti ini. Obat itu cukup manjur mengurangi rasa sakit yang sesekali datang mendera tubuhku.
Mama datang. Kali ini tanpa ocehan sama sekali. Wanita itu menyibakkan tirai jendela sebagian. Mungkin agar sinar matahari tidak menerobos dengan leluasa dan mengusik tidurku.
Mama mendekat ke tempatku dan mulai menegurku.
"Makan dulu Bim,"ucapnya menyuruhku dengan nada lembut.
"Aku nggak berselera Ma,"sahutku dari balik selimut.
Mama tak menyahut ucapanku. Namun aku mendengar helaan panjangnya.
"Apa yang dilakukan papa di saat-saat terakhirnya Ma?"tanyaku seraya membuka mata. Lalu aku duduk tepat dihadapan mama. "Apa dia mengisi hari-harinya dengan bergembira bersama mama?"
Mama menatapku dengan sayu. Matanya tampak redup tanpa semangat.
"Ya,"sahut mama lirih. "Kami mengisi hari-hari itu dengan kebahagiaan dan cinta. Seolah-olah kami nggak akan berpisah setelah itu,"papar mama. Sepasang matanya tampak menerawang ke masa lalu.
Aku tersenyum mendengar uraian mama. Pasti sangat menyenangkan, batinku.
"Berapa lama lagi sisa waktuku?"tanyaku kemudian. "Karena aku juga ingin menghabiskan sisa waktuku dengan kebahagiaan bersama mama,"tandasku pelan.
"Kamu masih punya waktu banyak Bim,"timpal mama. Meski aku tahu itu hanya sebuah kebohongan namun aku mencoba tersenyum saat itu."Kenapa kamu berbohong pada Febby kemarin? Mama tahu kamu kamu nggak ingin ada yang tahu tentang penyakitmu, tapi seseorang harus tahu tentang ini Bim,"ujar mama mengalihkan topik yang mengharukan itu.
"Nggak Ma,"tukasku cepat. "Aku nggak ingin mengatakan ini pada siapapun. Aku nggak mau dikasihani. Lagian aku juga nggak punya banyak teman. Mama tahu sendiri kan, aku hanya punya teman-teman dikantor."
"Lantas Febby?"tanya mama terlihat curiga. "Mama rasa kamu menyukai gadis itu,"ucap mama mengungkapkan dugaannya.
Firasat seorang ibu pasti sangat peka, batinku sembari mengangguk. Toh sebentar lagi aku akan mati, jadi kupikir berbagi perasaanku pada mama jauh lebih baik daripada memendamnya sampai akhir.
"Dia cinta pertamaku Ma,"tuturku memulai cerita. "Dan pastinya dia cinta terakhirku. Aku menyukainya sejak pertama kami bertemu di kampus. Mama tahu kan, gadis itu cantik dan penampilannya sederhana. Sikapnya hangat dan ramah pada siapapun juga. Maka dari itu banyak yang menyukainya. Dan aku hanya salah satu penggemarnya,"aku tersenyum kemudian. Membayangkan betapa bodohnya mimpiku untuk memiliki gadis itu.
"Kamu tahu, papamu juga begitu,"tandas mama menyambung obrolan kami. "Mama adalah cinta pertama dan terakhir papamu. Dia sosok yang cerdas dan berwibawa. Tapi mama hanya seorang wanita yang biasa saja. Mama juga nggak tahu kenapa papa bisa mencintai mama sedalam itu."
"Mama pasti sangat mencintainya..."
"Ya,"angguk mama. "Itulah kenapa mama tetap bertahan sendirian sampai sekarang."
"Dan apa yang akan mama lakukan setelah aku nggak ada nanti?'tanyaku hati-hati.
Wanita itu menggeleng.
"Mama nggak tahu,"sahutnya. Matanya berkaca-kaca. Membuatku semakin bertambah sedih.
Aku merengkuh tubuh mama beberapa detik kemudian.
Oh Tuhan, beberapa waktu yang lalu aku sangat ingin cepat meninggalkan dunia ini. Tapi sekarang aku berubah pikiran. Aku ingin diberi kesempatan hidup sekali lagi. Demi mama. Aku ingin menjaga mama sepanjang hayatnya.
Tapi aku tahu aku tak punya waktu lebih panjang dari yang Kau berikan untukku...
Saat aku pergi nanti tolong jaga mama ya Tuhan....

Minggu, 08 Desember 2013

MORE THAN JUST LOVE


"Aku jatuh cinta padanya,"tandas Chris menggugah lamunan kecilku. "Dia lembut dan baik padaku. Dia juga memahamiku apa adanya."
Benarkah? Pertanyaanku tersendat di tenggorokan.
Jadi gadis pilihan orang tua Chris jauh lebih baik dariku, dan Chris juga menyukainya?
Entah kenapa tiba-tiba saja suasana coffe shop itu berubah menjadi mencekam. Lagu " Someone like you" juga terdengar sesaat kemudian. Seolah seseorang sengaja memutarnya untuk mengejek perasaanku. Ada apa sebenarnya? Apa perpisahanku dengan Chris adalah sebuah lelucon yang pantas untuk di tertawakan? Aku memang kalah dalam percintaan ini. Orang tua Chris-lah yang menang. Mereka telah berhasil memisahkan aku dan Chris dengan menghadirkan seorang gadis yang levelnya jauh di atasku ke hadapan Chris. Dan Chris yang kupikir hanya mencintaiku seorang ternyata serapuh kayu yang lapuk. Dengan mudahnya ia jatuh cinta pada seorang gadis hanya dalam waktu singkat saja. Dan aku tercampakkan begitu saja....
Aku tersenyum pahit. Sekedar menutupi kegelisahan yang mulai menyesaki dadaku.
"Syukurlah, jika kamu sudah menemukan kebahagiaanmu,"ucapku berdusta. Padahal hatiku hancur lebur bagai serpihan debu di udara.
"Kamu juga harus menemukan kebahagiaanmu,"balas Chris sembari menggenggam tanganku.
"Tentu saja,"sahutku berusaha tampak tegar.
Aku meninggalkan halaman coffe shop sore itu dengan langkah yang kian merapuh. Dan aku tak menoleh lagi ke belakang. Padahal Chris masih duduk di tempatnya semula.
Hujan gerimis datang tak terundang. Membasahi sebagian rambut dan pakaianku. Menambah dramatis patah hatiku.
Rasanya aku ingin menangis sejadi-jadinya. Tapi tak kulakukan. Air mataku hanya merembes perlahan berbaur dengan air hujan.
Ahhh..
Kenapa cinta begitu rumit buatku? Bukankah seharusnya Chris memperjuangkan cinta kami dan meyakinkan orang tuanya tentang diriku. Bahwa aku adalah satu-satunya orang yang ia cintai. Tapi laki-laki itu hanya diam saja saat orang tuanya menjodohkan Chris dengan gadis lain. Bahkan setelah tiga bulan menikahi gadis itu, ia sanggup mengatakan padaku bahwa ia mencintai gadis itu.
Kenyataan konyol macam apa itu? Itu tidak adil buatku kan?
Apa karena aku miskin dan tidak sederajat dengan keluarganya, maka dari itu aku tidak pantas bersanding dengannya? Karena aku pribumi dan ia seorang Tionghoa...?

~~~~~~~

"Kak Rasti baik-baik saja?"
Aku menoleh begitu mendengar teguran itu. Rupanya Galih, juniorku di tempat kerja itu telah berdiri disebelahku.
Ia tampak sibuk dengan catatan di tangannya. Begitu juga denganku.
"Apa yang kamu lakukan disini?"balasku bertanya. Aku telah mendapat tugas untuk memeriksa barang-barang di gudang dan tidak mungkin ia melakukan hal yang sama denganku.
"Jawab saja pertanyaanku,"timpalnya dengan nada memaksa.
"Kamu lucu sekali,"sindirku mengejek. "Aku sudah mendapat tugas untuk memeriksa barang-barang digudang..."
"Dan aku disuruh untuk belajar memeriksa barang di gudang. Karena aku yang akan menggantikan tugas senior memeriksa barang digudang,"jelasnya tegas.
Aku tak menyahut. Aku melanjutkan pekerjaanku dan berusaha menghindari komunikasi dengannya.
"Aku melihat ada sesuatu yang tidak beres dengan Kak Rasti hari ini,"ucapnya sejurus kemudian.
Aku terusik juga mendengar kata-katanya.
"Kerjakan saja pekerjaanmu,"timpalku sedikit ketus.
"Pertama, mata Kak Rasti bengkak dan disertai dengan lingkaran hitam. Kedua, wajah Kak Rasti pucat. Pasti Kak Rasti tidak sarapan hari ini,"ucapnya menjelaskan analisa tentang diriku hari ini."Apa yang terjadi? Apa tentang Chris lagi?"
"Tahu apa kamu tentang aku dan Chris?"tanyaku sewot. Kurasa Galih telah mengetahui diriku lebih dari siapapun.
"Hei,"ucap Galih. "Aku mengenal Kak Rasti dan Chris sejak masuk SMU. Apa Kak Rasti lupa hal itu?"protesnya.
"Iya, aku ingat,"sahutku cepat. "Kamu yang mendapat hukuman dari Chris saat orientasi siswa baru karena kamu terlambat masuk kelas."
"Iya, iya,"sahutnya bernada kesal."Aku terlambat karena ban sepeda motorku bocor dan kalian menghukumku tanpa memberi kompensasi apapun. Padahal itu kan bukan di sengaja,"tuturnya mengenang kembali peristiwa beberapa tahun silam.
Aku tersenyum mendengar ucapannya. Tanpa komentar.
"Kak Rasti masih mencintainya?"tegur Galih beberapa saat kemudian.
"Hm?"
"Sebaiknya lupakan dia,"ucap Galih. "Itu lebih baik buat Kak Rasti daripada menangisinya setiap malam."
Aku menghela nafas panjang. Konsentrasiku pada catatan barang gudang sudah buyar akibat ucapan Galih yang cukup mengusik pikiranku.
"Aku baik-baik saja, Lih,"sahutku untuk menghentikan rasa ingin tahunya tentang masalah pribadiku.
"Tapi Kak Rasti tampak tidak baik-baik saja. Aku bisa melihat itu,"ucapnya ngotot.
"Hentikan Lih,"tegasku tak sabar."Sudah cukup. Tidak usah mempedulikan urusanku. Aku bukan kakakmu atau keluargamu."
"Tapi aku peduli denganmu!"serunya menimpali. "Chris sudah menikah dan tidak ada gunanya kamu mengharapkannya. Kamu tahu itu kan?!"
"Aku tahu,"balasku cepat. "Aku hanya butuh waktu untuk melupakannya. Kamu tidak usah mengkhawatirkan aku. Aku akan baik-baik saja."
"Baiklah,akan aku ingat ucapan Kak Rasti,"sahut Galih. Kali ini lebih pelan dari sebelumnya. Ia membalikkan tubuhnya lantas keluar dari dalam gudang tanpa berkata apapun padaku.
~~~~~~

"Jadi seperti ini suasana hati Kak Rasti?"
Tiba-tiba saja Galih menerobos masuk kedalam rumah kontrakanku yang sempit. Ia segera berkeliling meneliti ke setiap sudut layaknya seorang pengawas.
Piring dan segala macam peralatan makan yang masih kotor berserakan diatas meja belum kucuci sejak kemarin. Juga pakaian kotorku masih menggantung di balik pintu, sebagian lagi masuk kedalam keranjang. Juga belum sempat kucuci. Plastik kemasan mie instan, kaleng minuman bersoda, dan beberapa kemasan makanan lain juga menambah suasana kumuh didalam rumahku.
Membuatku sadar betapa malasnya diriku. Tidak. Bukan malas, tapi aku belum sempat membereskan semuanya.
"Aku baru akan membereskannya hari ini,"ucapku cepat. "Hari ini kan hari Minggu...."
"Bukankah Kak Rasti bilang akan baik-baik saja,"ucapnya mengingatkanku akan ucapanku sendiri beberapa waktu yang lalu. "Apa ini yang disebut baik-baik saja?"sindirnya sengaja.
Aku mendengus kesal. Galih memang paling pandai memojokkanku.
"Apa kamu datang kesini untuk membantuku?"tanyaku berkelit.
"Aku sudah menduga bahwa Kak Rasti akan seperti ini,"tandasnya seolah tak terpengaruh. "Perkataan baik-baik saja menunjukkan keadaan yang sebaliknya."
Aku tersenyum kecut.
"Maksudmu apa?"tanyaku santai. Aku mulai membereskan meja makan terlebih dahulu sembari meladeni ucapan Galih.
"Ada seseorang yang dicampakkan pasangannya, dan ia memaksakan dirinya untuk tetap baik-baik saja. Tapi keadaan justru berbalik menyerangnya. Dia terkena depresi berat dan ujungnya dia mengalami gangguan mental,"tutur Galih kemudian.
Aku tertegun menatapnya. Siapa yang dia maksud? batinku penasaran.
"Aku tidak mau Kak Rasti menjadi seperti itu,"sambungnya lagi. "Maka dari itu aku datang agar Kakak tidak menjadi seperti orang itu. Aku ingin Kak Rasti bangkit dari keterpurukan dan melupakan masa lalu."
"Memangnya siapa orang itu?"desakku.
"Nanti Kak Rasti juga akan tahu,"sahutnya berteka-teki.
"Kamu ini..."olokku seraya meninju bahunya. "Jangan sok lebih tua dariku. Aku bisa mengatasi permasalahanku sendiri."
"Menurut Kak Rasti begitu?"
"Tentu saja,"timpalku. "Sudah, cepat bantu aku membereskan ini,"paksaku seraya menyodorkan piring-piring kotor ke tangannya.
"Hei, aku datang kesini bukan untuk mencuci piring,"protesnya.
"Jangan protes!"seruku. "Kerjakan saja!"
Kena kamu,batinku girang. Sekarang dia tidak bisa menceramahiku lagi karena ia harus mencuci piring-piring kotor.

~~~~~~

Aku dan Galih bersahabat dekat. Bisa dikatakan kami bersaudara, karena aku lebih tua dua tahun darinya dan dia selalu memanggilku dengan sebutan kakak. Begitulah hubungan diantara kami.
Kami bertemu pertama kali saat orientasi siswa baru. Dia adalah adik kelasku di SMU. Namun saat itu kami belum terlalu akrab. Kami terpisah setelah aku lulus dan secara tidak sengaja kami dipertemukan kembali tiga bulan yang lalu di perusahaan. Galih bekerja di tempat yang sama denganku. Dan semenjak itulah kami menjadi akrab.
Aku tidak tahu kenapa aku begitu terbuka dengannya tentang masalahku dengan Chris. Mungkin karena dia juga pernah mengenal Chris, dan aku tidak punya teman untuk mencurahkan isi hatiku. Mungkin juga karena aku sudah menganggapnya sebagai adikku sendiri.
Tapi Galih berbeda denganku. Selama ini aku tidak menyadari kalau aku terlalu banyak berkeluh kesah padanya tentang kehidupan pribadiku. Sedang Galih seperti sengaja menyimpan kehidupan pribadinya rapat-rapat. Aku tidak tahu dimana tempat tinggalnya, siapa keluarganya dan siapa saja teman-temannya. Juga siapa orang yang ia sukai.
Sungguh, aku tidak tahu sama sekali tentang dirinya. Ini tidak adil kan?
Dia tahu semua hal tentangku sedang aku tidak tahu tentang dirinya. Sahabat macam apa aku ini? Bahkan aku sama sekali tidak pantas untuk menjadi kakaknya.
Suatu kali aku sempat menanyakan hal yang menyangkut pribadinya. Tapi Galih bungkam. Dia akan menutup mulutnya rapat-rapat. Jika aku memaksa dia hanya akan berkata bahwa sama sekali tidak ada yang menarik tentang dirinya.
Begitulah sifat Galih. Dia tidak akan membiarkanku berlarut-larut dalam sebuah masalah, tapi ia tidak akan membiarkanku mengetahui masalahnya.

~~~~~~~

Sebatang lilin menyala di atas kue tart di hadapanku. Sebaris nama Chris tertulis diatasnya.
Hari ini memang hari ulang tahun Chris. Dan aku sengaja membeli kue tart itu sekedar untuk merayakan ulang tahun Chris. Sendirian.
Setahun yang lalu tepat di tanggal ini aku dan Chris merayakan hari ulang tahunnya berdua. Kami meniup lilin bersama.
Aku juga menyiapkan hadiah kejutan untuknya. Sebatang cokelat dan sebuah jam tangan sebagai hadiah ulang tahunnya. Entah ia masih mengingatnya atau bahkan telah melupakannya. Sama sekali.
Aku merindukan Chris. Itulah kenyataannya sekarang.Sungguh.
Meski aku tahu ia telah bersama orang lain dan harusnya aku membencinya sekarang, tapi entah kenapa aku tak bisa melakukannya. Aku tak bisa membenci Chris, malah yang ada aku sangat merindukannya.
Aku terlalu mencintai Chris....
"Apa yang sedang Kak Rasti lakukan disini?"
Aku terperanjat dan menghapus lamunanku begitu mendengar teguran itu.
Galih menerobos masuk kedalam rumahku tanpa permisi dan tengah menatapku dengan pandangan aneh. Ia sempat melihat kue tart itu dan pastinya ia juga membaca sebaris nama Chris disana.
"Apa-apaan ini?"tanyanya seraya tersenyum pahit. Membuatku tampak bodoh dihadapannya.
Aku belum sempat menjawab pertanyaannya namun ia telah mencecarku kembali dengan kalimat-kalimatnya.
"Aku mencari Kak Rasti dikantor tadi, tapi katanya Kak Rasti tidak masuk hari ini. Aku menelepon kak Rasti berkali-kali tapi tidak diangkat. dan ternyata Kak Rasti disini sedang mengenang laki-laki itu seperti orang gila. Bukankah aku sudah pernah bilang, lupakan dia!"ucap Galih penuh emosi. Ia pasti marah melihatku seperti ini.
"Kumohon, aku ingin sendirian. Aku janji untuk hari ini saja biarkan aku mengenangnya. Setelah hari ini aku akan melupakannya,"ucapku.
"Aku tidak tahu jalan pikiranmu. Dia sudah bahagia bersama orang lain, mestinya kamu berusaha mencari kebahagiaanmu sendiri. Bukannya mengenangnya seperti ini,"Galih masih tampak marah padaku.
"Kumohon, Lih.Untuk kali ini saja..."ratapku memohon.
"Tidak!"tegas Galih. Tangan Galih tiba-tiba mencengkeram lenganku."Hapus air matamu dan buang benda itu sekarang juga,"paksanya.
"Kenapa kamu semarah ini?"tanyaku kemudian."Aku sudah bilang akan melupakannya setelah hari ini."
"Karena kamu tidak akan menepati perkataanmu sendiri,"ucapnya keras. "Aku sudah pernah bilang, aku tidak mau melihatmu menderita karena dia. Apa kamu mengerti?"
"Aku tahu,"potongku. "Karena kamu sangat peduli padaku, tapi tolong beri aku waktu untuk melupakannya."

~~~~~~~

Aku mencengkeram jaket Galih erat-erat saat aku duduk diatas boncengan motor miliknya. Berpacu diantara para pengguna jalan raya lain.
Sebenarnya pertengkaran kami belum berakhir tadi. Tapi mendadak Galih menyeretku keluar dan mengajakku pergi. Entah kemana. Saat aku bertanya ia hanya bilang bahwa aku akan tahu setelah tiba disana nanti.
Aku sering bertengkar dengan Galih hanya karena masalah seperti ini. Dan sesaat kemudian suasana akan mereda dengan sendirinya. Tapi kali ini ia benar-benar marah padaku. Hingga ia mengajakku pergi entah kemana.
Sebenarnya ada apa dengan Galih? Ia tampak berbeda hari ini. Bahkan ia menyebutku dengan kata "kamu". Padahal ia tidak pernah melakukan ini sebelumnya.
Kami bertengkar tadi dan aku baru sadar kalau kami mirip sepasang kekasih. Galih marah karena terbakar cemburu. Tapi perasaan Galih tidak seperti itu padaku. Mungkin aku saja yang terlalu percaya diri dengan pemikiran konyol seperti itu.
"Kita sudah sampai."
Aku tersadar dari lamunanku dan buru-buru melepaskan tanganku dari jaket Galih.
Aku takjub begitu tahu kami telah berada didepan sebuah rumah besar lengkap dengan halaman yang luas. Membuatku bertanya-tanya. Rumah siapa ini? Galih-kah?
Tapi kenapa Galih bekerja di perusahaan sebagai karyawan biasa jika ia punya rumah sebesar ini?
Galih menyuruhku untuk mengikutinya masuk kedalam rumah besar itu. Ada banyak pertanyaan yang mengganggu benakku tapi tak sempat ku tanyakan padanya.
Isi rumah itu jauh lebih indah dari yang kubayangkan sebelumnya. Perabotan yang serba mahal mengisi seluruh sudut ruang demi ruang.
Tapi kenapa Galih tidak pernah bercerita tentang ini padaku sebelumnya? Sepertinya ia sengaja menyembunyikan jati dirinya dariku.
"Masuklah..."
Aku melangkah masuk kedalam sebuah ruangan sesuai permintaan Galih. Ternyata ruangan itu adalah sebuah kamar tidur. Aku tersentak saat tahu didalam kamar itu tinggallah seorang wanita paruh baya yang sedang duduk diam diatas sebuah kursi roda.
Wanita itu tampak sedang tidak sehat. Kulihat wajahnya pucat dan kusut. Tangannya juga tampak kering. Rambutnya juga. Siapa dia? Sedang sakit apa dia?
"Ma.... Ini gadis yang selalu kuceritakan pada mama."
Aku terhenyak kaget. Jadi wanita itu adalah mama Galih?batinku tak percaya.
Aku menoleh kearah Galih. Untuk meminta sebuah penjelasan ringkas tentang apa yang sedang kulihat sekarang.
"Dia mamaku,"tandas Galih kemudian. Laki-laki itu mendekati mamanya dan bersimpuh didepan kursi rodanya. "Mama baik-baik saja hari ini?"tanya Galih kemudian.
Tapi aneh. Mama Galih tak bereaksi sama sekali. Bahkan ia tak bergerak. Hanya sepasang mata cekungnya menatap kosong kedepan.
Ada apa dengannya? Aku menjadi tidak mengerti dengan semua ini.
~~~~~~~

"Sebenarnya maksudmu apa dengan membawaku kesini?"cecarku tak sabar.
Beberapa detik yang lalu aku menyeret Galih keluar dari kamar mamanya. Aku butuh penjelasan untuk semua ini.
"Aku sengaja membawamu kesini untuk menunjukkan kondisi mamaku padamu agar kamu tidak menjadi seperti itu. Apa kamu sudah mengerti?"
"Kenapa?"tanyaku masih bingung."Memang apa yang terjadi dengan mamamu?"
Galih menghela nafasnya.
"Papaku mencampakkan mama,"tuturnya membuatku tercekat."Salama bertahun-tahun mama mencoba untuk membodohi dirinya sendiri dengan berpura-pura bahwa ia baik-baik saja. Dia memendam lukanya sendirian tanpa pernah berusaha untuk mengobatinya atau membaginya dengan orang lain. Dan seperti yang kamu lihat dia terkena depresi berat. Dia tidak mau bicara sama sekali. Sepanjang hari ia akan diam seperti itu. Dia tidak bisa merawat dirinya sendiri. Bahkan untuk makanpun dia harus disuapi. Pernah suatu kali dia tidak mau makan sama sekali dan dokter terpaksa harus memberinya infus agar dia tetap bertahan hidup. Bukan itu saja, mama bahkan pernah mencoba untuk bunuh diri dengan memotong urat nadinya sendiri."
Aku tertegun dan tak bisa berkata apa-apa begitu mendengar kisah mama Galih.
"Bagaimanapun juga, dia tetaplah mamaku,"lanjut Galih lagi."Meski dia seperti itu aku tetap menyayanginya. Dan aku tidak mau kamu menjadi seperti mamaku. Apa kamu sudah paham?"tanya Galih. Tangannya telah mencengkeram bahuku dan mengguncangnya pelan.
"Aku janji aku tidak akan seperti itu,"gumamku lirih.
"Siapa yang bisa menjamin?'desaknya memaksa.
Aku tak mampu menjawab pertanyaannya kali ini.
Aku bisa merasakan luka yang diderita mama Galih. Galih juga pasti sangat terluka dengan kenyataan yang menimpa mamanya.
"Kenapa selama ini kamu tidak pernah menceritakan ini padaku?"tanyaku beberapa detik kemudian. "Kita sudah sedekat ini dan kamu masih menyembunyikan rahasia sebesar ini dariku. Ini tidak adil, Lih,"ucapku.
Galih diam. Tampaknya dia enggan untuk menjawab pertanyaanku.
"Kamu tahu semua tentangku,"lanjutku kemudian. "Tapi aku tidak tahu apapun tentangmu. Siapa sangka Galih yang kukenal ternyata adalah seorang kaya raya.Kenapa kamu mesti merahasiakan semua ini dariku? Juga tentang mamamu. Aku merasa dibodohi olehmu selama ini. Aku benar-benar kecewa, Lih. Aku merasa dikhianati oleh orang yang sudah kuanggap sebagai adikku sendiri,"ucapku penuh penyesalan.
"Maafkan aku..."
Aku mendesah berat. Tiba-tiba saja dadaku terasa sesak. Menambah luka yang pernah digoreskan Chris padaku.
"Aku ingin pulang,"pamitku kemudian.
"Aku akan mengantarmu..."tawar Galih hendak menyusul langkahku.
"Tidak perlu,"tolakku cepat."Aku bisa pulang sendiri."
"Tapi..."
"Kubilang aku bisa pulang sendiri!"teriakku lantang. Tangan Galih yang hendak menyentuh pundakku juga kutepis secepat kilat.
Aku pulang dengan hati yang hancur dan kecewa.
~~~~~~

"Aku tahu kamu sangat marah dan kecewa padaku,"ucap Galih tiba-tiba.
Aku yang sedang tertegun sendirian di sudut gudang menjadi terusik karena kehadirannya yang tiba-tiba.
"Aku minta maaf atas semua yang kulakukan..."
"Kamu tahu,"timpalku cepat. "Dikhianati oleh orang yang kamu cintai dan dikhianati oleh sahabatmu sendiri sama sakitnya. Membuatmu merasa sangat bodoh dan membuatmu sesak setiap kamu mengingat orang itu."
"Aku minta maaf,"ulangnya sekali lagi. "Harusnya aku tidak melakukan itu..."
"Tidak,"potongku cepat. "Harusnya aku yang minta maaf. Harusnya aku menghargai kehidupan pribadi sahabatku sendiri dan tidak memaksanya untuk mengungkapkannya padaku.Dan mungkin aku yang salah telah memilihmu sebagai sahabatku."
"Kak Rasti?!"
"Berhentilah memanggilku dengan sebutan kakak. Aku bukan kakakmu dan kamu bukan adikku. Dan sebaiknya kita tidak sedekat ini lagi mulai sekarang. Kita berteman biasa saja sama seperti yang lain,"tandasku tegas.
"Aku tahu kamu sangat marah padaku. Dan aku sungguh-sungguh minta maaf, tapi kumohon jangan melakukan ini padaku. Jangan menyuruhku untuk menganggapmu sebagai teman seperti yang lain. Aku tidak bisa melakukannya,"ucap Galih mengiba.
Mungkin aku juga tidak bisa melakukannya, batinku.
"Kamu pasti bisa,"
"Kak...."
"Mulai sekarang kita harus menjaga jarak..."
"Apa kamu semarah itu padaku?!"teriak Galih keras. Mengurungkan niatku untuk pergi dari hadapannya.
Aku tercekat mendengar teriakan Galih yang penuh dengan amarah.Aku menemukan raut wajah penuh dendam saat aku menatap kearahnya.
"Kenapa kamu melakukan ini padaku tapi tidak pada Chris?"sentaknya masih bernada emosi. "Bukankah Chris sudah mencintai orang lain, tapi kenapa kamu masih mencintainya? Sedang aku hanya tidak jujur padamu, lantas kamu tidak ingin berhubungan lagi denganku. Apa ini adil buatku?!"
Aku terhenyak kembali.Ucapan Galih seakan menyinggung perasaanku. Apakah yang kulakukan padanya keterlaluan?
"Aku tidak tahu,"ucapku cepat. Aku buru-buru berlari meninggalkan tempatku berdiri.
Galih memang pandai menjebakku dengan pertanyaan yang menyudutkan. Tapi apa tindakanku padanya keterlaluan?
Beri aku waktu untuk berpikir.
~~~~~~

"Chris?!"pekikku kaget. Aku mendapati mantan kekasihku itu berdiri kaku selarut ini didepan pintu rumahku. Ini terasa aneh buatku. Ada apa sebenarnya? Aku melihat sesuatu yang tidak beres diwajahnya.
"Ada apa Chris?"cecarku kemudian. Tanpa menyuruhnya untuk masuk terlebih dahulu.
"Aku ingin jujur padamu, Ras,"gumamnya lirih. Membuatku bertanya-tanya.
"Jujur tentang apa?"tanyaku penasaran.
Chris terdiam untuk beberapa detik lamanya. Mungkin ia sedang berpikir tentang apa yang hendak diucapkannya padaku.
"Aku tidak bahagia, Ras,"tuturnya membuatku tercekat. "Sebenarnya gadis itu sama sekali tidak lebih baik darimu. Aku berbohong saat aku bilang aku jatuh cinta padanya. Aku berkata seperti itu agar kamu melupakanku. Tapi nyatanya aku sendiri yang terluka. Aku minta maaf atas semua itu,"ucap Chris dengan mata berkaca-kaca.
Aku terhenyak. Tak percaya akan penuturan Chris. Jadi itukah kenyataan yang sebenarnya.
"Aku tidak tahu apa mengatakan ini padamu adalah hal yang benar. Tapi aku terus dihantui rasa bersalah padamu,"sambungnya kembali.
Aku tertegun seraya menatapnya. Tak ada yang bisa aku katakan sekarang. Kalimat yang ingin kukatakan hilang entah kemana.
Ini seperti dilema. Sebuah pilihan yang sulit. Disatu sisi aku masih sangat menyukai Chris, tapi kami tidak mungkin melanjutkan hubungan kami. Karena dinding yang terbentang diantara kami begitu kokoh dan tinggi. Dan kami tidak mungkin bisa menghancurkannya.
"Aku masih mencintaimu...."
Aku tahu, batinku. Tapi...
"Apa yang kamu lakukan disini?!"
Aku dan Chris tersentak mendengar teguran keras itu. Galih tiba-tiba muncul entah dari mana.
"Kamu bilang kamu mencintainya? Kenapa dulu kamu tidak mempertahankannya jika kamu akan menyesali semua ini?"seru Galih kemudian. Melampiaskan kemarahan pada Chris.
"Kenapa kamu ada disini?"tanya Chris bingung.
"Harusnya aku yang bertanya kenapa kamu ada disini? Bukankah kamu sudah punya istri tapi kamu malah mendatangi gadis lain,'tunjuk Galih padaku.
"Apa maksudmu?"Chris benar-benar bingung dengan sikap Galih.
"Lih, apa-apaan kamu..."selaku menengahi ketegangan itu.
"Pergilah, tidak seharusnya kamu berada disini. Rasti bukan milikmu lagi sekarang,"ucap Galih bermaksud mengusir Chris. "Dia sdah cukup menderita selama ini, jangan menambah bebannya dengan mengatakan kamu masih mencintainya."
Chris mengalah. Dengan berat hati ia beranjak dari tempatnya. Mungkin ia tidak mau berdebat dengan Galih dan mempermalukan dirinya sendiri.
Setelah Chris pergi...
"Kenapa kamu datang?"tanyaku pada Galih. Dengan nada datar.
"Apa aku tidak boleh datang dan hanya Chris yang boleh datang kesini?"timpalnya ketus.
Lagi-lagi perdebatan dimulai.
"Bukan itu,"sahutku. "Tapi kita sudah sepakat akan berteman seperti orang lain....
"Itu kesepakatan yang kamu buat sendiri,"sahutnya tangkas.
Aku mendesah pelan. Aku mulai kalah dalam perdebatan ini.
"Aku tidak suka caramu datang seperti ini,"ucapku kemudian. Mencari celah kesalahannya.
"Kenapa? Apa aku datang tidak tepat pada waktunya? Karena ada Chris disini? Karena kamu masih mencintainya dan ingin kembali pada Chris? Begitu kan maksudmu? Apa kamu tidak sadar kalau kamu itu egois?"cecarnya bertubi-tubi.
Egois? batinku heran.
"Ya, mungkin aku egois seperti ucapanmu,"sahutku kesal. "Tapi kumohon jangan campuri kehidupan pribadiku..."
Galih tersenyum kecut mendengar ucapanku.
"Kamu memang bodoh,"ucapnya menyinggung perasaanku. "Apa kamu ingin tahu sebenarnya kenapa aku berbuat seperti ini? Karena aku menyukaimu."
Aku terhenyak dan nyaris tak percaya pada pendengaranku sendiri. Apa yang Galih katakan tadi? Dia menyukaiku?
"Kamu bercanda kan Lih?" gumamku pelan.
"Apa aku tampak seperti sedang bercanda?"timpal Galih. "Memang pada awalnya aku hanya menganggapmu sebagai seorang kakak, tapi belakangan aku sadar kalau perasaanku padamu lebih dari itu. Aku menyukaimu sebagai seorang wanita,"tandasnya kemudian.
"Tidak mungkin,"gumamku tak sadar. Meski aku pernah dan sempat berpikir tentang hal itu, tapi begitu mendengar hal yang sebenarnya rasanya aku tak bisa untuk mempercayainya.
"Aku mencintaimu, Ras,"sentak Galih seraya menyentuh bahuku.
"Tidak, ini tidak mungkin,Lih," ucapku seraya berusaha menghindarinya. "Ini tidak benar."
"Apanya yang tidak benar?"potongnya cepat.
"Aku tidak bisa melakukan ini.Aku...."
"Apa tidak ada sedikitpun perasaan untukku?"tanya Galih menagih perasaanku padanya.
Perasaan? Perasaan seperti apa yang kurasakan pada Galih? Aku benar-benar tidak tahu...

~~~~~~~~

Aku hanya bisa menatap Galih dari kejauhan. Ia tampak berbeda dari biasanya. Bukan karena setelan jas berwarna hitam yang kini membalut tubuhnya. Tapi ia tampak kusut dan wajahnya tertutup mendung kelabu. Sepasang matanya tampak sembab dan rautnya pucat. Sepanjang acara pemakaman mamanya, ia hanya tertunduk dan sesekali mengusap mataya yang basah.
Sesungguhnya aku ingin datang mendekat padanya untuk sekedar memberikan sandaran berbagi duka, tapi aku tidak bisa. Sebab seluruh keluarga Galih ada disana, juga para petinggi perusahaan. Belakangan aku baru tahu jika presdir perusahaan adalah kakek Galih. Satu lagi rahasia Galih yang ia sembunyikan dariku terungkap.
Aku merasa sedih dengan kejadian yang menimpa Galih. Ia sangat menyayangi mamanya dan kini ia harus kehilangan dirinya. Aku bahkan belum sempat menyapa mama Galih. Dan aku sangat menyesal untuk itu.
Setelah hari pemakaman itu aku tak lagi melihat Galih di perusahaan. Bahkan ia tak menelepon atau mengirim pesan singkat padaku sama sekali. Ia juga tak muncul di rumahku sejak saat itu.
Sampai dua bulan berikutnya, Galih seperti menghilang begitu saja. Atau ia benar-benar sengaja ingin menghilang. Karena terlalu kecewa dan sakit hati pada apa yang baru saja ia alami. Aku tidak tahu.
Tapi ini benar-benar mengusik perasaanku. Aku seperti kehilangan sesuatu. Aku merasa tak lengkap meski ia bukan belahan jiwaku. Karena kami sudah terlalu dekat dan sering menghabiskan waktu bersama-sama.
Aku berusaha mencari informasi tentang Galih. Namun yang kudengar ia tidak lagi bekerja diperusahaan tanpa pemberitahuan sama sekali. Apa mungkin dia pergi keluar negeri atau kemana? Atau dia sedang pergi ke suatu tempat untuk menenangkan diri?

~~~~~~~~

Aku sedikit terkejut mendengar keterangan pelayan dirumah Galih ketika ia bilang Galih ada dirumah. Tapi aku mengikutinya manakala ia mengantarku kekamar Galih.
Kenapa bukan Galih yang menemuiku, malah aku yang disuruh datang kekamarnya? batinku heran. Apa ia sedang sakit?
Aku nyaris menjerit begitu sampai dikamar Galih. Bagaimana aku tidak terkejut saat melihat laki-laki itu duduk tertegun di atas kursi dan tak bergerak sama sekali. Pandangan matanya kosong menerawang ke luar jendela. Seperti sedang berpikir tentang sesuatu. Sebenarnya apa yang dilihat oleh sepasang mata cekung itu?
Aku seperti melihat dua orang yang berbeda. Galih yang selama ini kukenal bukanlah orang yang sedang duduk disana. Galih yang kukenal adalah orang yang energik dan aktif. Yang suka bicara dan sok berlaku lebih tua dariku.
Dan orang yang sedang duduk dihadapanku tak ubahnya seperti zombie.
Oh Tuhan, apa yang terjadi dengannya? Kenapa sikap Galih seperti mamanya?
"Galih..."panggilku seraya mendekat. Aku lantas bersimpuh didekat tempat duduknya.
Galih tampak terkejut melihat kedatanganku.
"Kenapa kamu seperti ini? Kamu seperti bukan orang yang ku kenal,"ucapku seraya mengamati perawakannya. Dari atas hingga kebawah. "Lih..."
"Kenapa datang kesini?'tanya Galih tak suka.
"Kenapa bertanya seperti itu?"tanyaku heran.
"Karena Galih yang kamu cari sudah mati,"tandasnya ketus.
"Galih!"teriakku tak sadar. "Bukankah dulu kamu yang selalu memberiku semangat untuk tetap bertahan, tapi sekarang kamu sendiri malah seperti ini. Ini tidak adil, Lih."
"Adil atau tidak kurasa itu tidak penting,"sahutnya dingin. "Aku yang menjalani hidupku dan aku yang berhak menentukannya. Sebaiknya kamu pergi dari sini..."
"Tidak,"tolakku tegas. "Aku tidak akan pergi dan membiarkanmu sendirian seperti ini."
"Terserah, kamu mau pergi atau tidak. Itu bukan urusanku,"Galih beranjak dari tempat duduknya dan hendak melangkah pergi.
Namun aku bergerak secepat kilat dan langsung menubruk punggung kurusnya.
"Kumohon jangan seperti ini, Lih,"bisikku seraya memeluk punggung Galih erat-erat. "Aku tahu rasanya kesepian dan sendirian. Itu rasanya sangat menyakitkan. Seperti ada lubang besar didadamu. Dan jantungmu serasa berhenti berdetak."
"Rasti..."
"Kumohon jangan bergerak,"ucapku saat Galih hendak membalikkan tubuh. "Biarkan aku memelukmu sebentar lagi."
"Aku tidak mau kamu kasihani..."
"Aku tidak sedang mengasihanimu,"potongku cepat. "Aku sedang mengasihani diriku sendiri. Sudah terlalu lama aku tidak melihat dan mendengar suaramu. Dan aku sudah terlalu rindu padamu."
"Ras..."Galih membalikkan tubuhnya dan menatapku lekat-lekat. "Hapus air matamu,"suruhnya.
"Maaf,"aku buru-buru mengusap air mataku yang keluar tanpa aku sadari.
"Apa benar kamu merindukanku ?"tanyanya tak mempercayai ucapanku.
Aku mengangguk pelan.
"Sebesar apa?"
"Apa?"tanyaku bingung.
"Bodoh,"makinya pelan. "Sebesar apa rindumu padaku? Apa sebesar ini?"tanyanya seraya mengepalkan tangannya.
"Aku tidak tahu,"sahutku malu-malu.
"Kalau begitu pasti sebesar ini,"ucap Galih seraya membentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Lantas ia menarik tubuhku masuk kedalam pelukannya....