Rabu, 18 Desember 2013

SNOWY HEART


"Kak Bella! Kevin lagi berantem tuh di belakang gedung lab Kimia!"
Aku nyaris tersedak mendengar laporan dari Gladys. Aku langsung meninggalkan tempat dudukku di kantin. Juga mie bakso favoritku yang tinggal separuh.
Aku menyusul langkah Gladys menuju tempat kejadian perkara.
Benar. Aku melihat Kevin tengah beradu otot dengan seorang siswa yang tubuhnya jauh lebih besar dari Kevin. Yang ku kenali sebagai Radit, siswa kelas 12.
Kevin tampak kewalahan. Dari ujung bibirnya tampak mengeluarkan darah. Mukanya juga biru lebam. Tapi anehnya para siswa yang berada di tempat itu bukannya melerai, malah menonton pertunjukan gratis itu.
"Hentikan!"aku berteriak sekuat tenaga.
Semua mata beralih menatapku. Kevin dan Radit juga menghentikan adu jotos itu.
"Apa-apaan kalian ini?!"teriakku marah. Aku melotot tajam ke arah Kevin. "Kamu ingin jadi jagoan disini?"tanyaku berang pada Kevin.
Kevin tak menjawab. Cowok itu malah membuang mukanya dariku. Membuatku bertambah kesal padanya.
"Ayo kita pergi,"ajakku seraya menarik tangan Kevin dengan paksa pergi dari tempat itu. Aku tidak mau Kevin menjadi tontonan para siswa.


"Kamu mau jadi jagoan?"cecarku saat mengoleskan obat ke wajah Kevin. "Kapan kamu akan bisa bersikap dewasa?"
Kevin tak menjawab. Ia masih diam namun sama sekali tak mau menatap ke arahku.
Sudah berulang kali kejadian seperti ini terjadi. Dan sudah berulang kali pula aku menasihatinya sampai bosan.
Kevin yang dingin dan angkuh, yang merasa dirinya paling hebat di sekolah ini, sering terlibat perkelahian di sekolah. Mungkin karena posisinya yang istimewa di sekolah ini lantaran kakeknya adalah pendiri yayasan sekolah. Ia memanfaatkan semua itu untuk berbuat sekehendak hatinya. Terlebih guru-guru tidak ada yang berani menegurnya. Kepala sekolah juga.
Semua takut pada Kevin yang dikenal temperamen.
"Kamu nggak tahu dia rajin latihan taekwondo?"tanyaku kemudian. "Tapi kenapa juga kamu terlibat perkelahian dengan dia?"tanyaku menepis emosi.
"Udah deh Kak,"ucap Kevin seraya menepis tanganku yang hendak mengoleskan obat di wajahnya. "Kak Bella diem aja, nggak usah banyak tanya."
Cowok itu bangkit dari tempat duduknya dan bergegas keluar dari ruang kesehatan sekolah. Ia membanting pintu dengan keras. Sengaja menunjukkan kekesalan hatinya padaku.
"Kevin!" teriakku sia-sia.
Selalu berakhir begitu. Aku yang berusaha mengajaknya bicara baik-baik selalu mendapat lampiasan emosi Kevin. Entah kapan ia bisa bersikap dewasa dan melepaskan keangkuhan dari dirinya. Aku bahkan tidak tahu apa yang dipikirkannya sekarang.


Penantianku terbayar sudah. Ku lihat beberapa anggota klub taekwondo keluar dari gedung latihan. Aku segera mencari sosok Radit diantara mereka.
"Radit!"panggilku begitu cowok itu tampak didepan mataku.
Cowok itu mengernyitkan kening saat melihatku. Memang ini bukan hal yang biasa kulakukan. Tapi aku harus melakukannya demi seseorang.
"Bisa kita ngobrol sebentar?"tanyaku setelah cowok itu berdiri beberapa jengkal dariku.
"Denganku?"tanya Radit sembari menunjuk hidungnya sendiri. Pasti ia tidak percaya aku mencarinya hanya untuk mengobrol. Kami kan tidak saling kenal sebelum ini.
"Iya,"sahutku cepat.
"Nama kamu Bella kan?"tanyanya ragu.
Aku mengiyakan.
"Darimana kamu tahu namaku?"balasku bertanya.
Radit mengembangkan senyum.
"Siapa sih yang nggak tahu namamu,"ucapnya kemudian. "Kamu pasti nggak merasa kalau namamu paling populer di sekolah."
"Benarkah?"gumamku tak percaya. "Kamu juga populer kok,"balasku memuji.
Tentu saja ia populer karena ia telah beberapa kali mengharumkan nama sekolah di kejuaraan taekwondo tingkat SMU. "Aku pingin minta maaf soal Kevin kemarin,"ucapku beberapa saat kemudian. Mengutarakan maksudku yang sebenarnya. "Aku tahu pasti dia yang mencari masalah duluan denganmu. Sikapnya memang kekanak-kanakan..."
"Kenapa kamu yang meminta maaf untuk Kevin?"potong Radit. "Kenapa bukan dia sendiri yang datang?"
"Iya,aku..."aku bingung dengan pertanyaan Radit. Ia memang benar. Harusnya Kevin yang datang dan meminta maaf pada Radit, bukan aku.
"Apa kamu selalu melakukan hal ini saat dia terlibat masalah?"tanya Radit mengejutkan kegugupanku. "Kamu kan bukan orang tuanya."
"Dia adikku Dit,"tandasku.
"Semua orang tahu kalian bukan saudara. Kalian hanya dua orang yang sangat dekat. Itu saja,"ungkap Radit seolah ingin membuka mataku. Tentang hubunganku dengan Kevin.
"Dia itu cowok Be,"ucap Radit menambahi. "Harusnya dia yang menjaga kamu, bukan sebaliknya. Meski dia menganggapmu sebagai kakaknya tetap aja dia harus mandiri."


Ucapan Radit ada benarnya juga, pikirku sepanjang perjalanan pulang.
Aku dan Kevin memang tumbuh besar bersama. Karena kedua orang tua kami bersahabat baik sejak mereka belum menikah. Dan kedekatan kami semakin erat setelah prahara menimpa keluarga kami.
Orang tuaku bercerai. Papa memilih tinggal di rumah istri barunya, sementara mama jarang sekali pulang ke rumah.
Dan Kevin juga mengalami hal yang sama denganku. Kedua orang tuanya bercerai. Dan Kevin lebih memilih tinggal di rumah kakeknya ketimbang tinggal bersama mama atau papanya.
Kami berdua sama-sama kesepian. Kami kehilangan kasih sayang dari orang tua masing-masing.
Namun Kevin tidak sama denganku yang bisa bersikap dewasa dalam menghadapi semua permasalahan hidup. Ia berubah setelah semua yang terjadi.
Ia menjadi dingin dan tertutup. Sifatnya juga angkuh dan temperamen. Ia tidak punya tempat untuk bertumpu beban batinnya. Dan hanya akulah satu-satunya orang yang bisa ia andalkan untuk semua itu.
Lambat laun aku menjadi sosok yang merasa harus bertanggung jawab atas dirinya. Mungkin karena aku lebih tua dua tahun darinya, aku memposisikan diriku sebagai seorang kakak untuk dirinya. Yang harus menjaga dan melindungi Kevin.
Tapi tidak selamanya kamu harus bertanggung jawab atas dirinya, ucap Radit sore tadi. Dia seorang cowok dan dia sudah dewasa untuk menjaga dirinya sendiri. Itulah kalimat yang masih melekat di pikiranku sampai sekarang.
Tapi semua butuh proses kan? tanyaku pada diri sendiri. Mungkin butuh waktu yang sedikit lambat untuk merubah seseorang.


"Darimana Kak?"
Aku nyaris terloncat mendengar teguran Kevin. Aku baru saja membuka pintu rumahku dan tiba-tiba saja ia telah muncul di belakangku. Sore telah berubah menggelap saat itu.
"Kamu menungguku sejak tadi?"tanyaku datar.
Kevin mengikuti langkahku masuk kedalam rumah. Tanpa menjawab pertanyaanku.
"Kamu udah makan?"seruku seraya melangkah menuju dapur. Tak kudapati mama disana. Ia belum pulang. Seperti biasa.
Namun tak kudengar sahutan Kevin. Mungkin ia tak mendengar seruanku.
Aku membuka pintu kulkas dan segera menuang orange juice ke dalam gelas lantas meminumnya.
"Gimana kalau kita makan diluar?"tanya Kevin tiba-tiba. Cowok itu telah berdiri dibelakangku. Membuatku kaget setengah mati.
"Kevin!"seruku kesal. "Kamu mau aku mati mendadak karena serangan jantung?"
Aku menimpuk bahu Kevin dengan keras. Namun bukannya kesakitan, ia malah tertawa.
Ternyata sulit merubah kebiasaannya yang satu ini. Padahal aku sudah berkali-kali mengingatkannya agar tidak mengagetiku seperti itu. Karena aku punya kecenderungan sakit jantung.
"Mau nggak Kak?"tanya Kevin meminta kepastianku.
"Males ah,"sahutku. Lagipula aku baru saja pulang, tidak mungkin aku pergi keluar lagi. "Mau minum?"tawarku kemudian seraya menyodorkan gelasku padanya.
Kevin menggeleng.
"Gimana kalau kita pesen delivery pizza aja?"tawar Kevin kemudian.
Huh, dengusku. Bukankah dia selalu memesan pizza yang diantar setiap datang ke rumahku? Membuatku bosan dengan jenis makanan yang satu itu. Lagipula aku lebih suka makanan lokal ketimbang internasional.
"Aku kan nggak suka pizza..."
"Tapi aku suka Kak,"ucap Kevin bernada manja. Tangannya menarik ujung pakaianku. Persis anak-anak yang sedang merengek pada ibunya.
Aku menutup pintu kulkas dan beralih menghadap Kevin.
"Kamu sudah tujuh belas tahun Vin,"tandasku seraya menatap kearah matanya lekat-lekat."Jadi stop bersikap kekanakan kayak gitu,"tegasku.
Kevin tampak tertegun mendengar ucapanku yang mungkin baginya aneh dan sedikit berlebihan. Tapi aku melakukan itu agar ia bisa merubah sikapnya menjadi sedikit lebih dewasa.
"Baiklah, kalau gitu aku pergi keluar sebentar,"ucapnya bergegas. "Kak Bella suka martabak kan?"
Tetap saja, batinku. Sulit untuk merubah anak itu. Malah aku merasa dipermainkan olehnya.


"Bangun dong Kak..."
Uh, gerutuku dari balik selimut. Hari masih terlalu pagi dan hawa dingin membuatku malas untuk membuka mata. Tapi suara-suara itu mengusik tidurku yang nyaman.
"Apaan sih Vin,"gerutuku kesal. "Kalau mau olah raga pergi aja sendiri, nggak usah ngajak aku. Aku ngantuk banget nih. Lagian hari ini kan libur,"ucapku malas.
"Ayolah Kak..."lagi-lagi Kevin meluncurkan jurus rayuannya. Tangannya menarik-narik selimutku.
"Biarin aku tidur Vin, aku ngantuk banget nih,"ucapku lagi.
Lagipula kenapa pagi-pagi ia sudah ada di rumahku? batinku heran. Eh, tapi kenapa juga ia berhenti memaksaku untuk olah raga?
Aku bangun dan melihat apa yang sedang Kevin lakukan.
Oh, anak itu membuatku kesal saja.
"Sini!"teriakku seraya berusaha merebut ponsel milikku yang berada dalam genggaman Kevin. Tapi sial. Rupanya ia lebih gesit dari yang kuperkirakan.
"Akan ku kembalikan setelah kita olah raga,"ucapnya seraya tersenyum.
Aku kalah lagi oleh permainannya. Dengan terpaksa aku menuruti permintaannya kali ini. Atau ia akan melakukan sesuatu pada ponselku.


"Ayo dong! Masa segitu aja udah capek?!"
Teriakan Kevin membuatku bertambah kesal. Ia telah berlari beberapa meter lebih cepat di depanku. Meninggalkan aku yang telah kelelahan dengan perut kram.
Sial, gerutuku geram. Aku memang paling benci dengan kegiatan olah raga. Dan Kevin sangat tahu itu, tapi ia masih saja memaksaku untuk melakukannya. Benar-benar tidak punya perasaan!
"Kamu duluan aja,"suruhku sambil mencari tempat duduk disekitar tempat itu. Rasanya aku ingin pingsan.
Kevin berbalik dan melangkah ke tempatku.
"Ayo,"ucapnya seraya mengulurkan tangannya kepadaku.
"Aku capek Vin. Aku pingin istirahat sebentar,"ucapku menolak ajakannya.
"Kalau gitu aku cari minum dulu yah,"ucapnya bergegas. Ia berlalu dari hadapanku beberapa detik kemudian.
Aku membiarkannya pergi. Toh ia yang harus bertanggung jawab atas diriku sekarang ini.
Aku istirahat seraya menatap ke sekeliling. Ke arah para pengunjung taman yang juga sedang melakukan aktifitas sepertiku. Ada yang berlari, bersepeda dan jalan kaki.
Aku jarang sekali berolah raga seperti ini. Ternyata udara disini jika pagi hari sangat menyegarkan pernafasan. Menyehatkan tubuh.
"Sedang olahraga juga Be?"
"Hah?"
Aku terkejut ditegur oleh seseorang yang tak lain adalah Radit. Kebetulankah ini? batinku serentak bangkit dari tempat dudukku.
Radit tersenyum manis.
"Kamu sering olahraga disini?"tanya Radit.
"Nggak, baru kali ini,"ungkapku jujur. Kalau saja Kevin tidak memaksaku tadi, tak mungkin aku berada disini sekarang. "Kamu sering olahraga disini?"aku balik tanya.
"Ya,"sahutnya cepat. "Kamu sendirian?"
"Nggak,"jawabku pendek. Dan Radit manggut-manggut mendengar jawabanku. Sepertinya ia bisa membaca dengan siapa aku datang ke tempat ini. Karena cowok itu buru-buru meminta pamit padaku.
Oh Tuhan, kenapa aku merasakan sesuatu yang tidak biasa saat bertemu dengan cowok itu? Ada perasaan yang tak menentu manakala ia tersenyum manis padaku. Dan ini yang pertama kali kurasakan.
"Kak..."
Aku terhenyak kaget saat Kevin tiba-tiba menepuk pundakku. Ditangannya ada dua buah botol minuman isotonik dingin dan segera diulurkannya padaku.
"Kok bengong?"tanya Kevin tampak curiga.
Aku meneguk minumku segera sesaat setelah melepaskan tutupnya.
"Kak Bella kok tumben nggak marah?"desak Kevin lagi. "Emang tadi abis ngobrol sama siapa?"
"Aaah, berisik banget,"gerutuku seraya bergegas melangkah pulang. "Kamu nggak mau ikut pulang?!"teriakku saat Kevin belum mengikuti langkahku.


Setelah hari itu aku semakin sering bertemu dengan Radit. Entah di sekolah, perpustakaan juga ditoko buku. Karena kami intens bertemu itulah hubungan kami menjadi semakin dekat. Meski belum ada tanda-tanda ia akan menembakku, tapi aku merasa senang bisa menghabiskan waktu bersamanya.
Radit adalah sosok yang dewasa dan bertanggung jawab. Ia juga baik dan sering memberiku perhatian lebih. Aku merasa nyaman saat bersamanya. Karena aku merasa terlindungi dan terjaga. Berbalik dengan saat aku bersama Kevin.
Aku menikmati hari-hariku belakangan ini. Dengan sangat bahagia dan berbunga-bunga pastinya.
"Darimana?"tegur Kevin sore itu. Rautnya tampak ditekuk. Tak gembira.
"Dari toko buku,"sahutku heran.
"Bukannya pergi kencan?"timpalnya sedikit ketus.
Aku menghela nafas. Rasanya aku tidak mau merusak suasana hatiku dengan berdebat.
"Kamu udah makan Vin?"seruku seraya melangkah ke dapur. Tapi Kevin sama sekali tak menyahut.
Aku melihat Kevin terduduk lesu di atas sofa ruang tengah. Tangannya sibuk menekan tombol-tombol remote televisi.
Ada sesuatu yang berbeda darinya. Pasti sesuatu telah terjadi.
"Ada apa?"desakku seraya meletakkan segelas orange juice dan sekotak biskuit ke hadapannya. "Kamu berantem lagi?"
Kevin menggeleng pelan. Sepasang matanya menatap lurus ke arah layar televisi yang sedang menayangkan acara kartun anak-anak.
"Lalu kenapa kamu diem? Nggak biasanya kamu kayak gini,"ucapku masih fokus menatap wajahnya.
Kevin tak menyahut. Ia membaringkan tubuhnya dan lebih berkonsentrasi pada layar televisi ketimbang berbincang denganku.
Aku tahu ada yang tak beres dengannya. Karena aku paling hafal sifatnya. Dia tidak akan mendiamkanku jika tidak ada sesuatu yang terjadi. Tapi aku tidak bisa memaksanya untuk bicara jika bukan dia yang menginginkannya.
"Atau jangan-jangan kamu sedang berantem dengan Gladys,"tebakku kemudian. "Aku lihat dia cewek yang baik dan dia suka sama kamu. Kalian serasi...."
"Kak!"teriak Kevin marah. Menghentikan ocehanku yang terdengar sok tahu. "Kak Bella bisa diem nggak sih? Cerewet banget,"gerutunya lagi.
Aku mendengus kesal. Kenapa aku yang dimarahi, batinku.
Aku beranjak ke kamarku dan meninggalkan Kevin sendirian di ruang tengah. Ia tak perlu ditemani saat marah seperti sekarang. Nanti ia akan pulang setelah bosan disana.


"Untukmu,"ucap Radit. Tangannya mengulurkan sebuah boneka Teddy bear berwarna merah jambu kepadaku.
Oh, aku ternganga tak percaya cowok itu memberiku hadiah istimewa hari ini. Pantas saja ia ngotot mengajakku pergi ke mal sepulang sekolah.
Dan sepuluh menit yang lalu ia pamit padaku untuk pergi ke toilet. Nyatanya ia pergi membeli boneka itu untukku. Manis sekali.
"Thanks,"ucapku seraya meraih boneka itu dari tangan Radit.
"Kamu suka?"tanyanya.
"Tentu saja,"sahutku girang.
"Gimana kalau kita cari makan dulu, aku udah laper banget nih,"ucapnya mengelus perut.
"Boleh,"sahutku setuju. "Tapi kita makan apa?"
"Kamu suka apa?"tawar Radit. Tangannya menyeretku menjelajah isi mal yang ramai oleh pengunjung.
"Apa aja deh,"ucapku pasrah.
"Gimana kalau kita makan mie goreng aja? Kebetulan aku pingin banget makan mie goreng nih,"ucapnya.
"Boleh juga."
Kami memasuki restoran yang terdapat di mal. Tepatnya di lantai food court. Radit memesan dua porsi mie goreng special dan dua milk shake cokelat.
"Apa Kevin tahu kita pacaran?"tanya Radit saat menunggu pesanan kami datang.
Memangnya kita sedang pacaran? batinku bodoh. Radit kan belum menembakku...
"Hei, kok malah bengong,"sentak Radit mengejutkanku.
"Emang kita sedang pacaran?"tanyaku belagak bodoh. Sesungguhnya aku hanya ingin kepastian saja tentang perasaan Radit padaku.
"Emang nggak?"ia balik tanya. "Terus selama ini kita ngapain?"
"Emang kamu sayang sama aku?"tanyaku terbata. Gugup setengah mati.
"Ya iyalah non. Kamu nggak merasa ya, kalau aku sayang banget sama kamu,"tandasnya sembari tersenyum.
Sementara aku hanya tersipu mendengarnya. Pasti pipiku semerah tomat saat itu...


Aku bernyanyi kecil saat membuka pintu kamarku. Sementara bonekaTeddy bear pemberian Radit masih erat dalam pelukanku. Aku bahagia dan rasanya hatiku dipenuhi dengan bunga-bunga...
"Darimana?"
Teguran itu terdengar lagi seperti biasa. Kali ini bukan mengejutkanku saja, tapi membuyarkan kegembiraanku juga.
Oh...
Kevin telah berdiri di balik pintu kamarku. Sejak kapan? Kenapa ia menungguku disana? Bukan didepan rumah seperti biasa.
"Kenapa kamu disitu?"tanyaku masih dalam keadaan terkejut.
"Aku tanya darimana?!"seru Kevin keras. "Apa Kak Bella tahu berapa lama aku menunggumu disini? Aku juga meneleponmu berkali-kali tapi nggak ada jawaban. Apa Kak Bella pergi bersama orang itu?"tanya Kevin seraya melirik boneka Teddy bear yang sedang berusaha ku sembunyikan di balik punggungku.
Aku terpaku di tempatku. Aku tidak pernah melihat Kevin semarah ini padaku. Ia biasa memperlakukanku dengan sifat kekanakannya. Tapi sekarang ia seperti orang lain dimataku.
Jika aku orang lain mungkin ia sudah menghajarku habis-habisan.
"Aku pergi bersama Radit,"ungkapku jujur. Dengan suara rendah. Terus terang aku merasa takut saat ia melihat ke arahku seperti itu.
"Jadi benar, Kak Bella pacaran sama dia?"tanya Kevin dengan tersenyum pahit.
"Maaf Vin,"ucapku cepat. "Aku tahu kalian pernah terlibat masalah..."
"Aku benci dengan orang itu,"ucap Kevin tampak menyimpan dendam.
Aku tahu,batinku. Tapi aku menyukainya terlepas dari permasalahan yang terjadi diantara mereka berdua.
"Maafkan aku...."tandasku. "Tapi aku mencintainya."
Kupikir aku sudah terlalu berani mengungkapkan cintaku pada Radit didepan Kevin. Dan ia tampak sangat marah mendengar pengakuanku.
"Cinta?"ejek Kevin sembari tersenyum sinis. "Memang apa hebatnya dia?"
"Vin,"ucapku tak sabar. "Sebenarnya apa yang terjadi antara kalian berdua? Kenapa kamu sangat membencinya?"desakku penasaran.
Kevin tak menyahut.
"Kevin!"teriakku lantang. Aku benci saat penasaran seperti ini hanya diam yang yang kudapati darinya.
"Dia adalah anak tiri papa,"tandasnya pelan.
Oh Tuhan, pekikku tertahan. Aku terkejut bukan kepalang.
Aku jatuh terduduk ke atas tempat tidur. Sementara boneka pemberian Radit terlepas begitu saja dari genggamanku.
Kenapa tiba-tiba saja aku merasa terjebak didalam sebuah lubang seperti ini?
Aku baru menyadari bahwa aku tidak mengenal Kevin dengan baik seperti dugaanku selama ini. Kupikir akulah satu-satunya orang yang mengenalnya lebih baik dari siapapun. Tapi nyatanya aku tidak pernah tahu apa saja yang terjadi dalam hidupnya.
Dan hubunganku dengan Radit pasti sangat menyakiti hatinya.
"Tapi aku mencintainya Vin,"gumamku lirih. Pasti itu terdengar sangat egois di telinga Kevin. Tapi apa cinta bisa dicegah saat kita merasakan sebuah perasaan pada orang lain.
"Putuskan dia,"ucap Kevin tegas. "Atau Kak Bella lebih suka menyakiti hatiku?"
Kevin???
Tolong, jangan memberiku pilihan yang sulit seperti ini...


"Yuk kuantar pulang Be,"tawar Radit siang itu. Saat aku berdiri terpaku didepan pintu gerbang sekolah dan sedang meratapi langit yang tiba-tiba saja berubah gelap."Bentar lagi ujan tuh."
Langkahku menuju arah Radit tertahan. Tangan Kevin telah lebih dulu mencekal lenganku kuat-kuat. Mencegahku bergerak menuju ke arah cowok yang kusukai itu.
"Kevin?"pekikku kaget. Ia bergegas menyeretku menjauh dari tempat itu dan meninggalkan Radit tanpa basa basi sama sekali. Tapi kupikir Radit akan mengerti situasi yang sedang kualami sekarang.
Kevin menyodorkan helmnya kepadaku begitu sampai di tempat dimana motornya diparkir. Aku menurut perintah Kevin tanpa bertanya. Aku berusaha mengerti tentang apa yang ia rasakan sekarang.
Hujan turun saat motor Kevin meluncur kencang di jalanan yang telah berubah menjadi basah. Harusnya ia tidak melajukan motornya dengan kecepatan tinggi disaat hujan seperti ini. Betapapun marahnya dia tentang kejadian tadi.
Sementara aku hanya diam tanpa bisa mengajukan protes padanya. Aku tak ubahnya patung yang tidak punya pendirian dan kekuatan.
Aku hanya memeluk pinggang Kevin seraya menikmati tetesan hujan yang jatuh di tubuh kami. Toh jika kami mengalami kecelakaan, kami akan celaka berdua...


Aku melemparkan tubuhku ke atas tempat tidur sesaat setelah mengganti seragamku yang basah.
Aku juga telah memberikan sebuah handuk dan sebuah t shirt pada Kevin. Terakhir yang kulihat ia tampak terpekur di ruang tengah. Seperti sedang berpikir tentang banyak hal.
Entah darimana datangnya tiba-tiba saja mataku basah. Bantalku yang semula kering ikut-ikutan basah karenanya.
Aku masih ingat, terakhir kali aku menangis adalah saat mama dan papa bercerai. Itu sekitar lima tahun yang lalu. Setelah itu aku tidak pernah meneteskan air mata sampai hari ini.
Ternyata aku tidak setegar yang kukira. Semua karena cinta. Cinta yang membuatku tertawa bahagia dan cinta pula yang membuatku meneteskan air mata.
Perlahan seseorang mengelus punggungku.
Lagi-lagi Kevin, batinku. Aku buru-buru mengusap air mataku dan menyembunyikan wajahku darinya.
"Lupakan dia,"ucap Kevin perlahan. Tapi tetap saja mengguncang perasaanku.
Radit adalah cinta pertamaku. Dia juga yang membuatku merasa berarti dan dihargai. Yang bisa membuatku nyaman dan aman saat bersamanya. Bagaimana aku bisa mencampakkan orang yang kusukai disaat aku mulai jatuh cinta padanya?
"Kenapa semua ini terjadi padaku?"gumamku lirih.
"Kak Bella menyesali semua ini?"tanya Kevin cepat. "Apa Kak Bella juga menyesali keberadaanku?"
"Bukan begitu maksudku..."
Aku bangkit dan duduk dihadapan Kevin.
"Apa cinta Kak Bella padanya begitu egois? Apa Kak Bella lebih suka menyakitiku daripada memutuskannya?"desak Kevin emosi.
"Bukan begitu!"potongku. "Kupikir kita bisa berdamai..."
"Berdamai?"Kevin tersenyum pahit. "Kak Bella hanya memikirkan kebahagiaan Kak Bella sendiri tanpa pernah memikirkan perasaanku. Kak Bella egois tahu nggak?!"
"Dia cinta pertamaku Vin!"teriakku dengan emosi pula.
"Dan kak Bella adalah cinta pertamaku!"
Aku terperangah seketika.
Kevin mendaratkan sebuah ciuman tepat diatas bibirku sedetik kemudian. Membuatku linglung untuk beberapa saat lamanya. Aku seperti kehilangan akal. Kejadian itu begitu mendadak dan sangat cepat...


"Kak Bella! Kevin berantem lagi tuh!"
Gladys tampak terengah-engah begitu sampai didepan mejaku. Laporannya sama seperti beberapa waktu yang lalu. Kevin berkelahi. Lagi.
Aku menghela nafas panjang. Aku sudah bosan mendengar hal yang sama.
Kevin bukan anak kecil lagi. Dia sudah dewasa.
"Kak Bella..."tegur Gladys membuyarkan kebisuanku.
Padahal sebelum ini aku akan bergegas lari begitu mendengar Kevin terlibat sebuah perkelahian. Tapi kali ini aku hanya bengong dan tidak melakukan apapun meski aku tahu Kevin sedang terlibat masalah.
"Biarin aja,"ucapku beberapa saat kemudian. Cuek.
"Tapi...."
Kevin udah dewasa. Dia bukan anak kecil lagi. Dia pasti tahu apa yang sedang dia lakukan,"tandasku.
Aku menyuruh Gladys pergi. Mungkin dia pergi untuk melihat keadaan Kevin sekarang.
Aku dan Kevin tak bicara sejak insiden sore itu. Tepatnya tiga hari sampai sekarang.
Aku sedang marah padanya. Dan aku yang memutus komunikasi secara sepihak. Sms dan telepon dari Kevin tak ada satupun yang kujawab.
Aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang terjadi diantara kami berdua. Dan apa yang mesti kulakukan padanya?
Terus terang aku belum bisa menerima kenyataan jika Kevin mencintaiku....


Apa aku semarah itu? batinku seraya mengaduk mie bakso milikku yang masih utuh. Belum kusantap sama sekali.
Mungkin masih wajar jika aku membiarkan Kevin berkelahi. Tapi apa aku akan tetap membiarkan Kevin seolah-olah aku benar-benar tidak peduli lagi padanya?
Kevin absen sekolah empat hari ini. Dia juga tidak pulang kerumah . Tanpa kabar sama sekali. Dia menghilang!
Apa aku masih tidak peduli padanya? Bukankah semua ini karena aku?
"Kamu mencemaskannya kan Be?" tegur Radit menggoyahkan bangunan lamunan yang baru saja kubuat.
"Eh... kamu nanya apa?"tanyaku sedikit gugup.
Aku benar-benar tidak fokus pada perbincangan kami.
"Aku merasa kamu sangat meyayanginya. Karena sejak tadi kamu bengong terus. Pasti kamu sedang memikirkannya. Apa dugaanku benar?"tanya Radit sembari menatap mataku lekat-lekat.
Aku terperangah. Apakah pikiranku begitu mudah terbaca olehnya?
"Kami tumbuh bersama Dit,"ujarku. "Dan dia udah kayak adikku sendiri....."
"Tapi aku nggak mau cewek yang kusuka mikirin cowok lain saat bersamaku,"timpal Radit seraya meraih genggaman tanganku. Membuatku tersadar dari rasa bersalah.
"Maaf,"ucapku pelan.
"Andai kamu disuruh memilih antara aku dan Kevin, siapa yang akan kamu pilih?"tanya Radit. Memojokkanku pada sebuah dilema.
"Kenapa memberiku pilihan yang sulit..."
"Jawab aja,"paksa Radit.
"Aku nggak bisa."
Radit manggut-manggut mendengar keberatanku atas pertanyaannya. Lantas ia tersenyum.
"Mungkin Kevin sangat berarti buatmu,"ujarnya lirih. "Mungkin dia juga lebih membutuhkanmu ketimbang aku. Tapi aku bisa menunggumu Be,"tandas Radit.
Oh Tuhan, kenapa aku bisa terjebak dalam situasi sulit seperti ini? Siapa yang mesti kupertahankan agar tetap berada disisiku?


Aku berlari seraya menebar pandangan ke sekeliling. Bandara sangat ramai dipenuhi orang-orang yang akan berangkat dan baru saja datang.
Aku menerima sms dari Kevin sejam yang lalu...
"Aku ikut penerbangan ke New York jam 2 siang ini. Datanglah kalau kamu ingin melihatku untuk yang terakhir kali...."
Oh, akhirnya aku menemukan sosok Kevin di antrian check in pesawat setelah berkeliling selama setengah jam.
Dasar bodoh! Setelah menghilang selama beberapa hari, sekarang ia akan pergi jauh. Memangnya apa yang akan ia lakukan disana?
"Kak Bella datang?"tanya Kevin seperti tak percaya melihat kehadiranku.
"Bodoh!"makiku sambil menimpuk bahunya kuat-kuat. "Memangnya apa yang kamu pikirin sekarang? Dan apa yang akan kamu lakukan disana? Memangnya anak manja kayak kamu bisa hidup sendirian?"cecarku bertubi-tubi.
Namun Kevin malah tersenyum mendengar celotehanku.
"Aku pasti akan merindukan suara cerewet Kak Bella,"gumamnya. Ia tampak seperti orang lain.
"Maafin aku..."akhirnya permintaan maaf itu terlontar juga dari bibirku. "Selama ini aku nggak pernah menganggapmu lebih dari seorang adik."
"Tapi aku ingin lebih..."
"Nggak Vin. Aku nggak bisa,"timpalku cepat. "Kamu tahu kan aku sangat menyayangimu, tapi aku..."
"Aku tahu,"sahut Kevin seraya menghela nafas berat. Entah apa yang ia pikirkan saat itu."Kurasa aku harus pergi sekarang,"ucap Kevin kemudian.
"Kamu benar-benar akan pergi?"tanyaku heran. "Apa kamu sangat kecewa padaku?"tanyaku hati-hati.
"Sejujurnya iya,"sahutnya tampak sungguh-sungguh. "Tapi aku tetap akan pergi."
"Sampai kapan?"
"Entahlah, aku belum tahu,"jawabnya. "Mungkin 3 atau 5 tahun. Bukankah kak Bella ingin aku belajar menjadi dewasa? Aku pasti akan kembali saat aku merasa telah menjadi dewasa dan mandiri. Dan jika saat itu tiba aku akan merebut Kak Bella dari Radit,"ujarnya.
Aku tak tahu mesti berkata apa saat itu. Aku hanya merasa aneh berada pada posisi seperti itu.
Aku membiarkan tubuhku dipeluk Kevin sebelum ia pergi.
Tak ada kata perpisahan yang terucap dari bibirku. Semua berlangsung tanpa perbincangan.
Meski sebenarnya aku tak ingin ia pergi, tapi aku juga tak bisa berbuat apapun. Aku pasti akan merasa sangat kesepian dan sangat merindukannya. Tapi aku pasti akan menunggunya kembali. Entah sebagai diriku yang sekarang atau sebagai pasangannya kelak. Aku tidak tahu....
Tapi kuharap waktu dan musim yang berganti merubahnya menjadi dewasa dan mencairkan gunung es didalam hatinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar