Jumat, 22 Maret 2013

RENDEZVOUZ


Tiba-tiba saja kakiku tak bisa ku gerakkan . Terpaku di atas lantai keramik berwarna cokelat persis di depan toko roti langgananku . Lututku serasa goyah dan gemetar . Aku tertegun menatap ke seberang sana........
Seorang pemuda berbalut mantel kehitaman sedang berdiri tegak di ujung mataku . Ia sama tertegun menatap ke arahku . Ia juga tak bergerak dan hanya terpaku di tempatnya .
Aku hanya tak ingin mempercayai pemandangan di ujung sana . Namun apa yang kulihat sekarang memang sebuah kenyataan yang tak boleh ku abaikan . Sosok itu benar-benar dirinya . Ia memang Bagas !
Aku meratap pada Tuhan saat itu juga . Takdirkah atau Tuhan sengaja ingin menguji perasaanku . Kenapa aku mesti dipertemukan lagi dengan orang yang pernah hadir dalam hidupku , lantas menghilang begitu saja tanpa berita . Selama bertahun-tahun pula .
Tak banyak yang berubah darinya . Ia masih setampan yang dulu . Hanya saja raut mukanya lebih tegas dan dewasa .
Bagaimana kabarnya sekarang ? Apa yang telah terjadi padanya lima tahun terakhir ? Kenapa saat itu ia menghilang begitu saja tanpa pernah mengirimi ku secuil kabar ? Dan .... masihkah ia mencintaiku seperti dulu ?
Beribu pertanyaan mengendap di kepalaku . Rasanya ingin meledak . Tapi bibirku tak sanggup untuk berkata meski hanya untuk sekedar berucap "hai" sekalipun .
Aku pernah sangat mencintainya , juga sekaligus membencinya . Setelah ia mencampakkanku tanpa setitik harapan . Andai ia tahu betapa aku sangat menderita setelah ia menghilang begitu saja dari hidupku . Pernahkah itu melintas dalam pikirannya ? Mungkin tidak !
Aku pernah menghabiskan beberapa tahun dalam hidupku bersamanya . Membagi canda , tawa , dan masa-masa remaja yang terindah . Tapi itu dulu . Sebelum ia menghilang tanpa alasan . Masih pantaskah aku memaafkan orang seperti dia ?
Entahlah , tiba-tiba saja perasaan dendam yang pernah membara di dalam dadaku surut seketika saat aku melihat sosoknya berdiri beberapa jengkal di hadapanku . Amarah dan benci yang pernah menumpuk segunung dihatiku turut meleleh begitu ia hadir kembali menampakkan dirinya .
Aku masih mencintainya ! begitu suara hatiku berkata . Benarkah ? Nyatanya aku masih menemukan kekaguman yang mendalam pada sosok itu . Andai aku punya keberanian , mungkin aku sudah berlari ke dalam pelukannya dan melupakan semua yang telah terjadi . Tapi alas sepatuku sepertinya sudah melekat erat pada permukaan lantai . Itu kenapa aku tak melakukannya sejak tadi .
Aku ingin bertanya banyak padanya sekaligus mengadukan semua penderitaan yang pernah ku alami karena kepergiannya . Tapi tampaknya Tuhan tidak memberikan kekuatan dan energi sedikitpun padaku untuk bisa melakukan keinginanku .
Mendadak mataku perih . Segumpal kabut telah turun dan menutupi pandanganku dari Bagas .
Jangan sekarang , batinku . Aku tidak ingin menumpahkan air mata setetespun sekarang ini di hadapannya . Aku tidak ingin tampak lemah dan rapuh dihadapannya . Meski aku tak sekuat yang tampak diluar .
Ia hendak melangkahkan kakinya ke arahku . Karena sudah cukup lama kami diam dan saling tertegun menatap satu sama lain . Mungkin ia hendak menyapaku terlebih dulu , sebelum kami sama-sama bosan dan meninggalkan tempat itu tanpa berbincang terlebih dulu .
" Maaf membuatmu terlalu lama menunggu....."
Suara itu terdengar di telingaku tiba-tiba . Membuatku tercekat sekaligus menghentikan gerakan kaki Bagas yang hendak melangkah ke arahku .
"Yuk kita pulang ."
Tangan Damar menyambar genggamanku sesaat kemudian . Menghancurkan drama pertemuan antara aku dan Bagas . Laki-laki itu membuatku terpaksa mengikuti langkahnya pergi meninggalkan teras toko roti . Aku menoleh ke arah tempat Bagas berdiri dan masih menemukan pemuda itu terpaku disana dengan raut terkejut .
Maafkan aku Bagas , batinku sedih . Orang tuaku yang telah menjodohkan aku dengan Damar tanpa sepengetahuanku . Dan kamu juga telah meninggalkan aku tanpa kalimat putus .
Antara kita pernah saling memiliki , tapi takdirlah yang menentukan . Aku pernah mencintaimu dan sekarangpun masih mencintaimu . Tapi cintaku padamu tak lebih besar dari cintaku pada Damar.......

Kamis, 21 Maret 2013

SLIP TIME


Aku terbangun dan mendapati sakit pada kepalaku . Aku tak pernah mengalami ini sebelumnya . Mungkin cuaca dinginlah penyebab utamanya .
Aku bangkit dari atas tempat tidur lantas keluar dari kamar . Aku ingat masih menyimpan beberapa buah obat sakit kepala didalam laci meja di ruang tengah . Namun aku terkejut ketika sampai disana .
Bim tampak duduk tertegun di atas sofa . Wajahnya tertunduk ke permukaan lantai . Sepertinya tengah risau , mungkin juga sedang bersedih karena wajahnya tampak ditekuk . Tapi apa yang tengah mendera batinnya sampai ia sesedih itu .
"Pagi sekali kau datang ?" sindirku sedikit sinis . Meskipun aku memberinya nomor kode pintu apartemenku ,tetap saja kedatangannya tanpa pemberitahuan seperti ini membuatku merasa kesal . Apalagi hubungan kami sedang bermasalah akhir-akhir ini . Pertengkaran-pertengkaran kecil sering terjadi di antara kami . Membuatku kerap berpikir untuk mengakhiri semuanya .
Tapi Bim tampak tercekat melihatku . Matanya terbelalak . Aneh , kenapa ekspresinya begitu luar biasa manakala menatapku pagi ini . Apa karena aku baru saja bangun tidur dan penampilanku yang acak-acakan membuatnya seperti itu ? Tapi kupikir itu sangat berlebihan .
"Erin !!" teriaknya . Laki-laki itu seketika bangkit dari atas tempat duduknya dan langsung menghambur ke arahku . Ia menarik tubuhku secepat kilat lantas mendekapnya dengan erat .
"Erin , kau baik-baik saja ? " desaknya seperti orang panik .
"Apa yang kau lakukan Bim ? Kau membuatku tidak bisa bernafas ." ucapku kesal . Aku mendorong tubuhnya sekuat tenaga hingga ia terpental ke belakang .
"Ini benar kau kan ?" tanya Bim lagi . Kali ini ia mengguncang bahuku kuat-kuat . Membuatku marah dan langsung melayangkan sebuah tamparan keras ke wajahnya .
"Apa kau sudah gila ?! " teriakku marah . "Apa yang terjadi denganmu Bim ? Kau ingin mengajakku bertengkar lagi ?"
Bim tak menyahut pertanyaanku . Ia malah bengong . Seperti kehilangan akal . Matanya tak berhenti mengawasiku . Entah setan mana yang merasuki dirinya .
"Kau aneh Bim ." ucapku malas . Aku meninggalkan tempatku berdiri karena aku sudah ingat bahwa aku hendak mengambil obat sakit kepala didalam laci .
"Hari ini tanggal berapa ?"
Bim mengajukan pertanyaan dengan nada datar . Tak lagi bersikap dramatis seperti tadi .
"Tanggal sepuluh ." sahutku . "Kenapa ? Apa kau punya janji dengan seorang gadis ?" pancingku dengan sengaja . Namun tak ada sahutan sama sekali darinya . Bim benar-benar aneh pagi ini . Entah apa yang membuatnya seperti itu .
Aku meminum obatku lantas kembali ke dekat Bim . Laki-laki itu tampak terpekur di atas sofa . Seperti sedang berpikir , atau mungkin juga melamun .
"Maaf ."gumamku pelan . Aku menyesal telah menampar Bim . "Apa kau baik-baik saja ?"
Bim menghela nafas pelan .
"Aku ingin mulai dari awal lagi ." cakapnya lirih . Sontak membuatku tercekat .
Aku menatapnya tak percaya . Benarkah apa yang ia ucapkan ? Kami bisa memulai dari awal lagi ?
"Aku sadar kalau aku benar-benar mencintaimu . " tandasnya .
"Berapa kali kita seperti ini . " ucapku . "Kita bertengkar , lantas berbaikan kembali . Kita sudah berkali-kali melakukan ini , Bim . Dan aku sudah lelah dengan semua ini ." berat rasanya mengatakan ini , tapi aku harus mengungkapkan isi hatiku juga .
"Rin..." tangan Bim mengenggam jemariku . " Aku tahu . Tapi kita ...."
"Bim...." aku memotong kalimat Bim . "Kurasa aku tidak siap . Mungkin kita harus berpisah untuk sementara waktu sebelum memulai kembali ." tandasku .
"Tidak Rin." Bim mulai ngotot .
"Kau tahu sifatku , Bim."sahutku cepat . "Aku orang yang sangat egois dan emosional . Aku selalu berbuat sesukaku dan selalu ingin menang sendiri . Kau juga sering mengeluh tentang itu padaku . Aku tidak mau lagi membebanimu , Bim ." tuturku .
"Itu bukan beban untukku ."balasnya . "Karena aku mencintaimu ."
Aku tersenyum pahit .
"Sudahlah ." ucapku hendak mengakhiri perdebatan ringan itu . " Kepalaku sakit . Aku ingin tidur seharian ini ."pamitku seraya beranjak ke kamar .
Sikap aneh Bim tak sampai disitu saja . Laki-laki itu sangat memperhatikanku dua hari belakangan . Membuatku merasa aneh meski sejujurnya aku suka dengan perhatiannya yang berlebih . Dan pagi ini ia datang kembali ke apartemenku . Masih dengan sikap anehnya seperti yang lalu .
Saat itu aku tengah berkemas .
"Jangan pergi , Rin !" serunya mengagetkan . Tangannya telah menyambar tas jinjingku dengan cepat . "Kau tidak boleh pergi ke Manado sekarang ."
Aku terperangah . Bahkan aku tidak pernah memberitahukan rencanaku ini pada siapapun , tapi bagaimana Bim tahu ? Apa ia bisa membaca pikiranku .
"Kau tahu aku akan pergi ke Manado ? Bagaimana bisa kau tahu ? Apa kau punya indera keenam ?" sahutku seraya tertawa .
"Tidak penting darimana aku tahu , yang jelas kau tidak boleh pergi kemana-mana hari ini ." tegasnya . Ia membongkar paksa tasku dan mengeluarkan seluruh isinya .
Aku tak percaya melihat kelakuan Bim yang menurutku sudah keterlaluan ini .
"Apa yang kau lakukan Bim ?!" teriakku lantang . " Apa kau sudah gila ? Aku harus pergi ke Manado sekarang karena pekerjaan ini sangat penting buatku "jelasku .
Tapi Bim tak menyahut . Membuatku bertambah marah .
"Bim ! Kenapa kau jadi seegois ini sekarang ? " tanyaku tak sabar . "Kenapa aku tak boleh pergi ? Apa kau takut aku tidak akan kembali ?"pancingku .
"Ya!!" balas Bim berteriak . "Karena aku sangat takut kau tidak akan kembali ."
Aku tersenyum .
"Aku pergi kesana cuma dua hari , Bim . Aku harus menghadiri seminar karena aku yang terpilih mengikutinya . Dan kesempatan seperti ini sudah lama ku tunggu . Mengertilah , Bim ."
"Tidak . Aku tidak mau mengerti . Lebih baik kau membenciku daripada kau pergi ."
"Ada apa denganmu Bim ?" gumamku kesal . Sikapnya bertambah aneh akhir-akhir ini .
"Kumohon jangan pergi , Rin ." Bim meraih tubuhku . " Aku akan menyesal seumur hidupku jika kau benar-benar pergi ."
"Kau terlalu egois , Bim ." aku menghempaskan tubuhnya , namun dengan cepat ia meraih tubuhku kembali dalam pelukannya . Memelukku erat hingga membuatku tak bisa bergerak .
" Kau ingin membunuhku , Bim ?"tanyaku lirih . Nafasku sesak karena Bim belum juga melepaskan pelukannya . Laki-laki itu tak bergerak . Namun aku mendengar sesuatu yang keluar dari mulut Bim .
"Kau menangis , Bim ?" tanyaku heran .
"Jangan bergerak . Aku hanya ingin memelukmu sampai puas ." ucapnya .
~~~~~~~~~~~~~~
Aku tertegun . Selembar koran jatuh dari genggaman tanganku . Koran itu ku temukan didalam laci kamar Bim sementara laki-laki itu belum pulang ke apartemennya .
Mendadak aku bergerak ke ruang tengah setelah teringat sesuatu . Aku langsung menyalakan televisi di ruang itu .
Oh Tuhan !! pekikku .
Jadi ini jawaban dibalik sikap aneh Bim selama ini ? batinku tercekat . Selembar koran itu mestinya terbit esok hari , tapi Bim telah memilikinya sebelum kejadian itu terjadi . Dan peristwa kecelakaan pesawat menuju Manado baru saja terjadi dua jam yang lalu . Aku masih ingat di koran itu ada namaku tercantum sebagai korban meninggal dunia .
Apa ini sebuah mesin waktu ? Atau aku yang telah menembus dimensi waktu sehingga aku bisa kembali ke masa lampau ? Aku masih tak mengerti dengan semua itu , tapi aku sangat memahami sikap Bim sekarang . Ia melakukan semua itu untuk menyelamatkanku dari kematian .
Aku terdiam . Larut dalam lamunan panjang tak berbatas . Misteri ini tak bisa ku pecahkan sendirian .
"Bim...."
Aku menoleh saat laki-laki itu masuk . Ia terkejut melihatku disana . Ia pasti tak menyangka aku akan mengetahui semuanya . Tapi aku sangat berterimakasih padanya . Aku mendekat ke arah Bim dan langsung mendekap tubuh laki-laki itu tanpa bertanya apapun .

Selasa, 19 Maret 2013

BALADA RUMAH POHON


Mataku nanar menatap ke sekeliling . Ke arah pegunungan yang berbaris rapi dan menjulang tinggi ke langit . Warnanya biru kehijauan dibawah langit yang berwarna biru muda . Sementara perkebunan teh membentang luas di hadapanku . Lengkap dengan para pemetik daun teh yang sedang tekun bekerja di bawah sinar mentari .
Aku menghirup nafas dalam-dalam . Meresapi kesejukan hingga rongga dadaku berasa nyaman .
Sudah terlalu lama aku tidak menikmati pemandangan alam dan suasana pegunungan seperti ini . Nyaris lima belas tahun lamanya semenjak orang tuaku menyeret paksa aku untuk pindah ke kota .
Aku lahir dan menghabiskan masa kanak-kanakku di tempat ini . Aku sering mengisi waktu dengan bermain di sungai kecil dibawah bukit . Juga di perkebunan teh . Tapi ada satu tempat yang menjadi favoritku semasa kecil , yaitu rumah pohon .
Langkahku sedang bergerak menuju ke sana . Sedang ingatanku mencoba mengorek kembali kenangan-kenangan yang pernah ku ukir di rumah pohon .
Dulu sewaktu aku masih kecil , aku sering menjadi bahan ejekan teman-temanku . Karena tubuhku yang kurus dan pendek , juga kulitku yang hitam . Ditambah lagi rambut ikalku , membuat aku merasa rendah diri di hadapan teman-temanku .
Entahlah , apa saja yang telah aku buat kala itu . Aku selalu dimusuhi dan dijauhi oleh mereka . Tak jarang aku menumpahkan air mataku usai mereka menyakitiku . Namun aku selalu berusah menyembunyikan air mataku dari penglihatan mereka . Karena hanya menangis yang bisa aku perbuat . Aku tak punya keberanian sama sekali untuk melawan karena nyaliku memang kecil .
Oh , rumah pohon itu rupanya masih ada , batinku girang . Aku telah menemukan tempat favoritku semasa kecil .
Rumah pohon itu sudah usang dan tampak lapuk dimakan usia . Meski begitu aku bahagia bisa melihat rumah pohon itu lagi . Karena rumah pohon itu adalah tempat persembunyianku kala menangis .
Aku mengeluarkan ponselku dan mengambil gambar rumah pohon itu beberapa saat kemudian . Bagaimanapun aku termasuk tipe orang yang sangat menghargai kenangan .
Aku masih ingat di rumah pohon itu aku tidak sendiri . Ada seorang anak laki-laki yang selalu menemaniku disana . Ia pernah memergokiku sedang menangis disana . Ia tak mengucapkan sepatah kalimatpun . Ia menungguku dengan tekun sampai aku berhenti menangis , barulah ia bicara padaku . Ia tak bertanya kenapa aku menangis . Ia hanya berbicara , tepatnya bercerita tentang gunung-gunung , sungai dan alam . Sekali waktu ia pernah berkisah tentang cita-citanya di masa depan . Jika aku tidak salah mengingat , ia bercita-cita ingin menjadi seorang arsitek .
Entah dimana laki-laki kecil yang sekarang pasti sudah menjadi laki-laki dewasa itu . Apa ia sudah menggapai cita-citanya ? Apa ia masih mengingatku juga rumah pohon yang kini telah melapuk dimakan usia itu . Apa ia masih menyimpan kenangan kami berdua di dalam hatinya ?
Rasanya baru kemarin aku masih menapaki tangga menuju rumah pohon itu . Ternyata waktu berlalu begitu cepat . Pohon itupun tampak dua kali lebih besar dari terakhir yang aku lihat .
Rena.....
Aku meraba permukaan kulit pohon dihadapanku . Sebaris namaku sengaja ku goreskan disana kala itu . Saat itu aku tengah menunggu laki-laki kecil itu datang . Aku merasa bosan dan muncullah ide segar untuk menuliskan sebaris namaku disana , setelah laki-laki kecil itu datang aku menyuruhnya untuk turut menuliskan namanya dibawah namaku .
Aku tersenyum kecil mengingat kenangan itu . Padahal kenangan seperti ini tak selalu penting untuk dikenang . Terkadang usang begitu saja termakan usia . Dan laki-laki itu pasti telah melupakannya .
Aku menoleh tatkala mendengar langkah kaki berderap mendekat ke tempatku berdiri . Seorang laki-laki berpakaian kemeja putih berpadu dengan celana katun berwarna hitam sedang bergerak ke arahku .
"Apa Anda investor yang ingin membeli tanah ini ?" tanyanya langsung tanpa berbasa-basi terlebih dulu . " Maaf , kami sama sekali tidak berniat untuk menjual tanah ini ." tandasnya .
Aku bengong . Apa tampangku seperti seorang investor kaya yang ingin membeli tanah ? batinku kesal .
"Bukan ." jawabku kemudian .
"Lantas Anda siapa ?"tanyanya kemudian .
"Bukan siapa-siapa . "sahutku seolah menjadikan diriku sebagai sosok misterius di hadapannya . "Aku hanya ingin mengunjungi rumah pohon ini . " tuturku .
Laki-laki itu mengerutkan dahinya .
"Kenapa ? Apa rumah pohon ini sangat menarik ?" cecarnya ingin tahu .
Aku menghela nafas sejenak . Sebenarnya aku tidak terlalu tertarik untuk menceritakan kisah rumah pohon itu pada orang asing , tapi mungkin aku bisa membagikan sedikit kenangan itu padanya .
"Aku lahir dan besar di tempat ini . "ucapku . "Semasa kecil aku pernah bermain di rumah pohon ini bersama seseorang . Kebetulan aku berkunjung ke tempat ini , jadi aku menyempatkan diri untuk ke rumah pohon ini . "
"Oh...." laki-laki itu manggut-manggut . "Lalu dimana teman Anda , apa dia tidak ikut ?" tanyanya lagi .
Aku menggeleng .
"Aku tidak tahu dimana dia sekarang ." jelasku .
"Apa Anda tidak ingin mencarinya ? Kalau Anda mau saya bisa mengantar Anda mencari teman Anda . Kebetulan saya hafal daerah ini ." tawarnya .
"Tidak perlu ." sahutku . " Aku tidak lama disini . Besok aku akan pulang ke kota . " tandasku .
"Begitukah ?" gumamnya tak begitu jelas .
Perbincangan terhenti . Buntu . Rasanya topik pembicaraan telah habis begitu saja . Aku juga tidak tertarik untuk bertanya pada laki-laki asing itu . Untung saja Pak Udin datang disaat yang tepat . Penjaga vila itu datang tergopoh-gopoh ke arah kami .
"Non Rena......" serunya . " Vilanya sudah siap . Apa Non mau beristirahat sekarang ?" tawarnya dalam logat Jawa yang kental .
Aku belum sempat menjawab pertanyaan penjaga vila itu , saat tiba-tiba ia menyapa laki-laki asing di sebelahku itu dengan akrabnya .
"Mas Ardi .... sedang apa disini ?" sapanya .
"Sedang jalan-jalan Pak Udin .... " sahut laki-laki asing itu sembari tersenyum .
Aku melongo menatap laki-laki itu . Lantas membaca sebaris nama yang tertulis dibawah namaku di permukaan kulit pohon . Ardi.....
Apa laki-laki asing itu adalah Ardi , teman masa kecilku yang selalu bermain bersamaku di rumah pohon itu ?
"Non Rena ingin pulang sekarang ?"
Pertanyaan Pak Udin tak ku gubris sama sekali . Aku hanya ingin memastikan laki-laki itu adalah Ardi teman rumah pohon ku .
"Apa kamu Ardi , teman masa kecilku ? Benarkah itu kamu ?' desakku penasaran . Aku mencoba mengingat sosoknya semasa kecil . Tapi aku tak berhasil mengingatnya . Wajah itu telah memudar sama sekali dari ingatanku .
Laki-laki itu tersenyum tipis .
"Bukan . Anda pasti salah orang ."sahutnya .
Aku tercekat . Benarkah aku salah orang ? batinku . Harapan yang sempat melambung kini luruh lagi ke tanah setelah ia mengingkari jika dia bukan Ardi teman masa kecilku .
"Kita pulang sekarang Pak ." ucapku seraya membalikkan tubuh . Aku memutuskan pergi daripada menghayal lebih jauh lagi tentang teman masa kecilku . Toh yang memiliki nama Ardi banyak sekali di dunia ini .
Pak Udin mengiyakan . Ia menyusul langkahku kembali ke vila seraya berceloteh kesana kemari .
"Sebenarnya tanah itu akan dibeli dengan harga tinggi , tapi Mas Ardi tidak bersedia menjualnya . sayang sekali ya Non ..." tutur Pak Udin .
"Kenapa ?" sahutku . Meski tak begitu antusias dengan cerita itu , tapi aku seperti berkewajiban untuk bertanya alasannya pada Pak Udin .
"Alasannya karena rumah pohon itu . Kata Mas Ardi , dia tidak mau rumah pohon itu dihancurkan . Katanya dia punya banyak kenangan masa kecil di rumah pohon itu . Padahal rumah pohon itu sudah jelek begitu ."
Penuturan Pak Udin membuatku tercekat dan sekaligus menghentikan langkahku . Aku membalikkan tubuh lantas berlari kembali ke rumah pohon itu .
Laki-laki itu masih berdiri di sana . Tapi tangannya telah mendarat di permukaan kulit pohon dimana dua baris nama tergores disana .
"Kenapa kamu menyangkal jika kamu adalah teman masa kecilku ?" tegurku mengagetkannya .
Ia tampak tertegun . Namun tak cukup lama .
"Karena kupikir kamu akan mengenaliku meski aku tidak mengatakan siapa diriku ."tandasnya .
Aku tersenyum kecut .
"Bodoh !"makiku . "Mana mungkin aku bisa mengenalimu setelah bertahun-tahun lamanya ?"
Ia mengembangkan senyum .
"Maaf ." ucapnya . Aku tertawa melihatnya merasa bersalah seperti itu .
"Apa kamu masih mengingat semua kenangan masa kecil itu ?" tanyaku langsung disambut anggukan olehnya . " Aku juga masih mengingatnya ." ucapku .
"Tapi kamu datang kesini bukan untuk menangis kan ?"
Aku menggeleng .
"Bukan ."jawabku . " Sebenarnya aku datang untuk melihat rumah pohon ini , dan juga mencarimu . Tapi aku tidak tahu harus mencari kemana . Lagipula aku tidak yakin apa kamu masih mengingatku ."tuturku sedikit canggung . Jujur dari hatiku yang terdalam .
"Aku juga terus menunggumu di rumah pohon ini . Meski aku tidak yakin kamu akan datang , tapi setidaknya aku masih bisa mengenang kisah kita di rumah pohon ini ." cakapnya .
"Benarkah ?" sahutku tak percaya .
Ia mengangguk cepat .
"Apa kamu sudah menikah ?" tanyanya kemudian . "Maaf... kenapa aku jadi bertanya seperti itu ?" gumamnya malu-malu . Membuatku tertawa geli melihatnya .
"Belum ." jawabku .
"Benarkah ?" sambutnya dengan mata berbinar . Ada sejuta asa yang tersirat di dalam matanya . Terlukis bak pelangi yang melengkung gemerlap usai hujan turun . Membiaskan rasa bahagia dan gambaran masa depan yang gemilang .
Rena ..... Ardi ....

Sabtu, 16 Maret 2013

FORBIDDEN LOVE STORY


"Kenapa tidak dimakan , Jean ? Bukankah ini makanan kesukaanmu ." tegur Rendy membuatku seketika mengangkat dagu . Tanganku pun berhenti menggerakkan garpu di atas piring saji .
"Oh.... " aku kelabakan dan tak berhasil menemukan jawaban yang tepat atas pertanyaannya .
"Kalau kamu tidak suka kita bisa ganti makanan yang lain ."ucapnya hendak melambaikan tangan memanggil pelayan restoran .
" Tidak usah ." sahutku cepat . Mencegah niatnya untuk memanggil pelayan restoran . "Aku suka makanan ini kok ." tandasku seraya bergegas melahap makanan dari atas piring .
Aku berpura-pura menikmati makanan dihadapanku saat mata Rendy mengawasi gerak-gerikku . Pasti dimatanya aku tampak sangat aneh . Mungkinkah ia sedang membaca sandiwaraku ? batinku cemas .
"Maaf..." cakapnya beberapa waktu kemudian . "Akhir-akhir ini aku sibuk . Aku hampir tidak punya waktu luang untuk mengajakmu pergi . Kuharap kamu mengerti ."
Aku menundukkan wajah . Sungguh , bukan itu yang sedang ku risaukan saat ini . Tapi aku mulai merasakan sesuatu ketidaknyamanan saat bersamanya . Entah bagaimana cara melukiskan perasaan ini . Namun aku merasa canggung saat bersama Rendy seperti ini . Kami merasa asing satu sama lain . Apa ini efek dari kurangnya intensitas kami dalam berkomunikasi ? Ataukah jarak usia diantara kami yang membuat kami menyadari bahwa kehidupan kami juga berbeda jauh . Apa lima tahun adalah jarak yang cukup jauh ? Atau kegiatan kami sehari-hari yang memungkinkan kami punya kehidupan sendiri-sendiri ? Aku yang selalu sibuk dengan dunia kampus dan enggan beranjak dari kehidupan remaja , sementara Rendy yang selalu sibuk bekerja di kantor dengan kehidupan mapan juga pemikiran yang menurutku terlalu dewasa dibanding denganku . Apa semua itu penyebabnya ?
"Kamu tidak marah kan , Jean ?" sentaknya cukup pelan . Namun tetap saja bisa membuyarkan lamunanku di meja makan . Tanganku telah berpindah ke dalam genggaman tangannya yang hangat .
Aku menggelengkan kepalaku dua kali .
"Aku tidak marah . Aku sangat mengerti , kok ." ucapku seraya mengembangkan senyum untuknya . Kuharap senyumku cukup melegakan hatinya .
"Terima kasih ." ucapnya balas tersenyum .
Beberapa saat selanjutnya ia mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jasnya . Aku terperangah begitu melihat Rendy mulai memakaikan sebuah cincin berwarna putih berhiaskan sebuah kristal berlian di jari manis tangan kiriku . Persis sebuah cincin pertunangan . Apa ia sedang melamarku ? batinku sedikit cemas .
"Apa ini , Ren ?" tanyaku hati-hati .
"Ini hadiah dariku . Apa kamu lupa hari ini adalah tepat setahun kita jadian ?" ia tersenyum kembali .
Oh my God ! Begitu tololnya diriku sampai melupakan hari bersejarah ini . Kenapa aku tidak ingat sama sekali ? Ternyata aku dan Rendy telah bersama selama setahun . Dan aku seperti disadarkan olehnya betapa dinginnya sikapku padanya . Terutama akir-akhir ini . Begitu banyak cinta dan pengorbanan yang telah ia berikan padaku , tapi apa yang telah kuberikan padanya ? Tidak ada sama sekali alias nol . Bahkan aku mulai meragu , apa aku benar-benar mencintainya ataukah ia hanya sebagai pelengkap statusku belaka . Apa aku yakin mau hidup dan menua bersama dia ?
"Tapi Ren , ini terlalu berlebihan . Mestinya kamu memberiku setangkai mawar , itu sudah cukup buatku ."protesku . Canggung menerima hadiah semahal itu darinya .
"Tidak , Jean . Ini tidak mahal ." ia mencoba ngotot . Tapi aku tahu benda itu sangat mahal . Dan aku merasa sangat tidak pantas menerima cincin itu .
"Tapi Ren..."
"Jeanny..... "potongnya ." Aku akan sangat senang jika kamu memakai benda pemberianku ." ucapannya pelan namun mengandung sebuah pemaksaan tanpa mengkompromi penolakan apapun .
Aku tak bisa menolak . Pemberiannya sangat berharga tapi malah membuatku merasa bersalah terhadapnya .
Aku merasa sangat berdosa malam itu .....
##@@##
"Jeanny !!"
Aku kaget namaku dipanggil sebegitu kerasnya . Aku segera mencari asal sumber suara itu .
Seorang berpakaian tshirt oblong berwarna hitam plus celana jeans biru tua yang sobek pada bagian lututnya , rambut cepak , dan sebuah kalung besi melingkar pada lehernya , sedang berlari ke arahku .
Dasar Joyce , batinku kesal . Gadis itu benar-benar tak tampak sebagai seorang perempuan . Tubuhnya yang nyaris tanpa lekukan itu membuatnya tampak seperti laki-laki . Tomboy kampus . Semua orang yang belum mengenalnya pasti mengira ia seorang laki-laki .
"Aku mencarimu seharian ." lapornya sesampainya dihadapanku dengan nafas terengah-engah . Tangannya mengeluarkan dua batang permen lollypop dari dalam tas ranselnya . Satu untukku , sedang yang sebuah lagi untuk dirinya sendiri .
"Kenapa mencariku ?" tanyaku sembari membuka bungkus lollylop yang ia berikan , lantas menjilatinya .
"Kamu kan belahan jiwaku , wajar jika aku mencarimu ." tandasnya ringan .
Aku tersenyum kecut mendengar leluconnya yang ku anggap basi .
"Aku mau nonton nanti malam ." ucapnya kemudian . " Barangkali kamu mau ikut ."
"Boleh , asal kamu yang traktir ." sahutku dengan maksud memancing .
"Tidak masalah ." balas Joyce tanpa protes . Tidak biasanya ia mau mentraktirku seperti ini tanpa embel-embel minta balas jasa . Mungkin ia sedang berbaik hati ,batinku senang .
"Baik . Kita bertemu di depan bioskop jam tujuh ."
"Setuju ." sahutnya menyetujui penawaranku .
Sudah lama aku tidak nonton bersama Rendy , batinku tiba-tiba teringat pada kekasihku yang super sibuk itu . Tapi pergi bersama Joyce lebih menyenangkan ketimbang bersama Rendy . Penampilan Joyce yang nyaris mirip laki-laki ada untungnya juga buatku . Aku merasa nyaman dan aman karena tidak akan ada laki-laki yang berani menggoda atau melirikku .
"Kamu beli cincin baru , Jeann ?" pertanyaan Joyce mengoyak lamunan kecilku .
"Oh , ini ? Rendy yang memberikannya . " sahutku .
"Dia melamarmu ?" tanya Joyce dengan kening berkerut . Penasaran .
Aku menggeleng .
"Tidak . Ini cuma hadiah setahun kami jadian ."jelasku .
Joyce tak menyambung pembicaraan . Namun kepalanya manggut-manggut .
"Aku lapar , Jeann . Kita pergi ke kantin yuk ." ajak Joyce beberapa saat kemudian . Aku belum sempat menyetujui ajakannya tapi gadis tomboy itu telah menyeret tanganku .
"Joyce !!! Pelan-pelan !"
##@@##
Malam terlalu larut untuk pulang ke rumah . Aku tak berani pulang sendirian kerumah , meski naik taksi sekalipun akan sangat beresiko.. Aku juga tidak mau menyusahkan Rendy . Dia pasti sudah terlalu lelah dan sedang beristirahat sekarang .
Aku memutuskan untuk menginap di rumah Joyce malam ini sepulang dari bioskop . Lagipula rumah Joyce terlalu besar jika ditinggali berdua saja dengan ibunya . Ayah dan ibu Joyce telah bercerai setahun lalu .
"Pakai saja ini , Jeann . "suruh Joyce sembari menyodorkan sebuah tshirt tanpa lengan dan sebuah celana pendek padaku . "Kalau kamu tidak mau biar aku pinjam daster ibuku ."imbuhnya setelah melihat keenggananku memakai pakaiannya .
"Tidak usah ."cegahku . Lebih baik aku memakai pakaian Joyce daripada memakai daster ibunya ."Aku pakai ini saja ." ucapku seraya bergegas berganti pakaian .
Kami tak bercakap terlalu panjang malam itu . Hanya perbincangan ringan seputar kuliah , lantas kami tertidur setelah itu . Malam bertambah larut dan dingin . Mataku juga sudah terlalu lelah .
Antara setengah sadar aku merasakan ada sesuatu yang aneh pada diriku . Sebuah perasaan asing yang menjalar di sekujur tubuhku . Aku tidak begitu tahu apa hingga aku membuka mata .
Joyce !!!! pekikku di tengah malam itu . Namun hanya tersendat di tenggorokanku . Mataku terbelalak menyaksikan apa yang tengah terjadi pada diriku .
Gadis tomboy itu sangat terkejut melihat aku terbangun . Ia buru-buru menyingkirkan tangannya dari dalam pakaianku . Juga bibirnya yang tampaknya baru saja singgah diwajah dan bibirku . Ia telah kepergok olehku sedang berbuat tidak senonoh terhadapku .
"Apa yang kamu lakukan , Joyce ?!" tanyaku lantang . " Apa kamu sudah gila ?" aku berusaha menjauhkan tubuhnya dariku .
"Tenang Jeann ." ucapnya seraya berusaha mendekat . Namun aku selalu menepis tangan Joyce ketika ia hendak menyentuhku . Ia benar-benar membuatku gemetar ketakutan .
"Aku tidak akan menyakitimu , Jeann....."bujuknya .
"Menjauhlah dariku , Joyce . Kumohon...."pintaku memohon .
"Jeann...." ia berusaha menyentuh wajahku , namun aku menepis tangannya . Aku merasa tak mengenali sosok sahabatku sendiri .
"Apa yang kamu inginkan dariku ?" tanyaku cemas .
"Aku hanya ingin kamu mendengarkanku . " ucapnya ." Aku menyukaimu , Jeann . Tidak , aku mencintaimu sejak kita bertemu pertama kali ." paparnya membuatku tercekat .
Jadi selama dua tahun ini aku bersahabat dengan seorang penyuka sesama jenis ? Ingatanku berputar , mengulang masa-masa kebersamaan kami . Kami pernah sangat dekat , seperti saudara kembar . Berbagi makanan , minuman , bergandengan tangan dan berpelukan . Bahkan aku tanpa canggung berganti pakaian di hadapannya , karena aku berpikir ia juga seorang perempuan . Tapi setelah mengetahui sisi lain gadis tomboy itu aku berubah menjadi jijik melihatnya .
"Kamu sudah gila , Joyce ." ucapku memakinya .
"Tidak , Jeann. Aku hanya memiliki perasaan padamu , dan aku tidak merasa bahwa itu adalah sebuah kesalahan ." elaknya .
Ia benar-benar sudah gila , batinku . Aku bermaksud meninggalkan tempat itu namun tangan Joyce meraih tanganku secepat kilat . Aku berteriak dan meronta . Pergulatanpun terjadilah . Joyce memang memiliki tenaga lebih besar daripadaku , tapi aku juga harus pandai memanfaatkan kesempatan . Saat ia tampak lengah aku menendang perutnya dengan sekuat tenaga lantas aku berlari sekencang-kencangnya keluar dari rumah itu .
###@@###
"Jeann ??"
Rendy tampak sangat terkejut begitu membuka pintu apartemennya dan mendapati aku sedang berdiri kaku dihadapannya . Tanpa alas kaki dan dengan pakaian seadanya . Saat dini hari pula .
"Apa yang terjadi Jeann ? Kamu baik-baik saja kan ?" tanya Rendy cemas seraya mengguncang bahuku pelan . Ia meneliti sekujur tubuhku dari atas sampai bawah .
"Aku baik-baik saja . " ucapku kaku .
Ia menyuruhku untuk segera masuk dan membuatkanku secangkir teh panas . Selembar selimut tebal ia bentangkan untuk menutup tubuhku .
"Kamu sudah tenang sekarang ?" tegurnya usai aku meneguk minuman buatannya . Sorot matanya masih menunjukkan kecemasan padaku .
"Aku ..." aku masih ragu untuk mengatakan sesuatu padanya . "Aku , apa aku boleh menginap disini malam ini ?"sebenarnya bukan itu ujung kalimat yang hendak ku ucapkan tadi .
"Tentu ." sahutnya .
"Aku sangat merindukanmu ." tandasku kemudian . Dengan mata berkaca-kaca . Karena aku teringat kembali pada Joyce dan semua perlakuannya padaku .
Rendy hanya menatapku . Ia pasti sudah bisa membaca ketidakberesan yang tergambar di wajahku . Ia mendekat lantas meraih kepalaku dan mendekapnya . Akhirnya air mataku tumpah juga di piyamanya . Meski aku tak ingin membasahi dadanya , tapi aku yakin di tempat itulah kelak aku menyandarkan semua kegelisahan dan kegundahanku kelak .
"Aku mencintaimu..."bisikku sembari melingkarkan tanganku ke tubuhnya .
"Aku tahu...."

Kamis, 14 Maret 2013

KEMELUT


Malam kian larut . Beku dan sunyi memenuhi ruang kamar kami . Jam dinding berdetak lirih . Gelisah . Seperti hati yang didera cemas yang teramat sangat .
Aku terjaga dari lelap beberapa detik yang lalu . Ketika membuka mata hanya punggung Sam yang bisa terlihat olehku . Memaksaku menghela nafas berat .
Beberapa malam yang lalu aku masih bisa melihat wajah lelaki itu . Tapi malam-malam yang bergulir mengalihkan wajah itu dari penglihatanku . Bahkan tanganku segan untuk singgah didadanya . Juga untuk menyentuhnya .
Aku tahu dan mengerti . Juga sangat memahami kehidupan Sam . Akhir-akhir ini ia sangat sibuk . Sebagai seorang aktor drama yang sedang menapaki karir , memaksanya bekerja keras siang dan malam . Waktu untuk beristirahatpun sangat minim . Juga waktu untuk bersamaku mesti berkurang banyak .
Tapi apakah semua itu mesti mengalihkan dunianya dariku ? Seorang wanita biasa yang pernah ia kejar cintanya beberapa tahun lalu . Dan saat dunianya berganti dengan mudahnya ia mencampakkan wanita itu ke jalanan . Padahal wanita itu telah menyerahkan seluruh hidupnya pada lelaki itu .
Oh...
Sebutir air mata bergulir jatuh ke atas bantal . Air mata itu entah yang keberapa kuteteskan selama bersamanya . Meski susah payah ku coba bendung tetap saja ia bisa meluncur bebas keluar dari kelenjar air mataku .
Aku tak ingin tampak cengeng dan rapuh , terlebih saat di depan Sam . Aku ingin dia melihatku sebagai wanita yang tegar dan mandiri meski aku bukan wanita yang luar biasa . Sama seperti dulu saat aku belum mengenalnya .
Tapi apa aku bisa membohongi diriku sendiri , meski aku bisa berpura-pura di hadapan Sam......
~~~@@~~~
Tanganku bergetar saat meletakkan sebuah tabloid ke atas meja . Wajah Sam yang menghias sampul depan tabloid itu sengaja ku taruh dibawah dengan maksud supaya aku tidak melihatnya . Tapi meski begitu tetap saja pikiranku masih terbayang olehnya . Otakku terlalu pandai menyimpan data yang baru saja ku terima .
Dadaku sesak jika mengingat kembali kalimat-kalimat yang tercantum di tabloid itu . Sam ditengarai dekat dengan salah satu aktris cantik lawan mainnya dalam sebuah drama . Sebuah foto ikut memperkuat berita itu .
Aku benar-benar terbakar cemburu . Aku marah ,takut dan cemas . Tapi aku hanya bisa diam tanpa berbuat apapun . Aku bisa saja bertanya pada Sam tentang berita ini , tapi aku takkan mungkin sanggup jika harus mendengar jawabannya .
Aku memang wanita bodoh . Yang bersedia menutup mata dan telinganya hanya untuk mempertahankan seorang lelaki agar tetap berada di sisinya , meski tak pernah memiliki seutuhnya . Seperti itulah diriku , padahal diriku yang dulu tak sepertiku yang sekarang . Waktulah yang mengubahku sedemikian hebatnya .
Aku menderita . Hati dan jiwaku serasa telah mati meski aku masih hidup . Sampai kapan aku akan menjalani hidup seperti ini layaknya zombie . Aku mati meski hidup . Dan aku hidup dalam kematian .
Separah inikah hidupku sekarang ? tanyaku seraya menelusuri seraut wajah pucat pasi didalam cermin riasku . Wajah yang dulu merona merah manakala Sam mendaratkan kecupan di pipiku . Tapi wajah ini berwarna pucat dan beku sekarang tanpa kecupan Sam .
Juga tak ada seulas senyum terlukis di ujung bibirku . Bahkan sorot mataku tanpa cahaya sama sekali .
Oh Tuhan.....jeritku . Kenapa cinta justru menjerumuskanku dalam penderitaan seperti ini ? Bukankah cinta harusnya membawa kebahagiaan ?
~~~@@~~~
Aku duduk di sudut kamar mandi . Padahal air di dalam bath tube sudah meluber keluar . Tapi aku masih enggan untuk menggerakkan tubuhku . Lamunan panjang masih menghuni benakku sampai ketukan di pintu kamar mandi membuyarkannya .
Sam berteriak memanggil namaku berulang kali disertai ketukan pada pintu kamar mandi . Seperti tergesa-gesa .
Aku bangkit dan membuka pintu kamar mandi . Aku mendapati seraut wajah Sam berhiaskan kecemasan . Ia menatapku dengan pandangan aneh , seperti telah bertahun-tahun tidak melihat wajahku .
"Ada apa Sam ?" tanyaku datar . "Seperti melihat hantu saja . "candaku .
"Aku tidak ingin bercanda sekarang ."tegasnya .
Aku tersenyum pahit .
"Lantas ? Kenapa wajahmu secemas itu ? Kau takut aku bunuh diri ?" pancingku masih dengan nada bercanda .
"Aku tidak sedang bercanda !"
"Lantas kenapa berteriak padaku ?! " sahutku dengan nada tinggi . Membalas balik teriakannya .
Aku kesal diperlakukan seperti itu .
"Apa kau bisa menjelaskan ini ?" tanya Sam seraya menunjukkan sebuah botol obat kehadapanku . Membuatku terhenyak kaget . "Apa ini ?! Jelaskan padaku !" desaknya geram .
Aku mencoba untuk menyambar botol obat itu dari tangan Sam , tapi gagal . Gerakan tangan Sam secepat angin untuk menggagalkan usahaku . Membuatku geram seketika .
"Itu hanya vitamin biasa ." ucapku beberapa saat kemudian . Seraya menghindari tatapan matanya yang terus mengejarku .
"Vitamin katamu ?!" tanyanya sembari tersenyum sinis .
Aku menghela nafas . Mencoba menenangkan diriku sendiri .
"Kau tidak perlu tahu itu . "tandasku kemudian . "Kembalikan benda itu padaku ." pintaku .
"Apa kau sangat membutuhkannya ? Apa tanpa ini kau tidak bisa tidur ?" lagi-lagi ia menyudutkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak ingin ku jawab . "Ada apa sebenarnya denganmu ? Sejak kapan kau jadi pecandu obat tidur seperti ini ?"
Aku mendengus geram . Harusnya ia bisa menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya tanpa harus bertanya padaku .
"Irish !!" ia berteriak setelah tak mendapatkan sepatah jawabanpun dari mulutku . "Apa yang membuatmu menjadi seperti ini ?"
Aku tersenyum pahit .
"Kenapa kau tidak bertanya pada dirimu sendiri ?" aku bertanya .
"Apa ?" ulangnya . "Kau banyak berubah akhir-akhir ini ."
Lucu sekali , batinku .
"Bukan aku yang berubah , tapi kau Sam ." tunjukku pada lelaki dihadapanku . "Kau bukan Sam yang dulu lagi ."
"Karena sekarang aku populer dan banyak beredar berita miring tentangku ? Apa itu yang membuatmu berubah menjauh dariku ?" tanya Sam seraya mencekal bahuku kuat-kuat .
Aku yang menjauh darinya ? Apa aku tidak salah dengar ?
"Kau tidak mencintaiku lagi , Sam . Aku tahu itu ."tandasku seraya berusaha melepaskan cekalan tangan Sam dari bahuku .
"Kata siapa ? Apa kata koran yang setiap pagi kau baca itu ?" cecarnya . Ia mulai mengejar langkahku ke dalam kamar mandi .
"Aku mempercayai apa yang kulihat , Sam ."ucapku tegas .
"Apa yang kau lihat tidak selamanya benar ."
"Tapi aku mempercayainya . "ucapku . Aku mendorong tubuh Sam keluar dari kamar mandi lantas membanting pintu keras-keras .Aku menangis di balik pintu setelah itu . Sedang suara Sam terdengar memanggilku dari balik pintu kamar mandi , tapi sengaja ku biark an .
~~~@@~~~
Riuh . Mataku menatap ke sekeliling . Ke arah orang-orang yang tampak sibuk lalu lalang di hadapan tempat dudukku . Aku merasa seperti sedang terdampar di tempat yang asing . Bandara .
Aku sudah jenuh . Bosan dengan kehidupan yang kulewati akhir-akhir ini bersama Sam . Terlebih setelah pertengkaran kami kemarin , aku semakin yakin harus mengakhiri kemelut di antara kami . Dan jalan yang ku pilih adalah pergi jauh .
Aku masih mencintai Sam . Aku juga tak bisa hidup tanpanya . Tapi pikiranku tak bisa bertahan dengan keadaan yang membosankan ini. Mungkin aku bisa gila setelah berpisah dengannya . Namun aku bukan wanita yang teguh pada satu pendirian . Keadaan bisa merubah pikiranku setiap saat .
Aku sangat sedih harus meninggalkannya . Bahkan aku tahu akan menyesalinya setelah ini . Aku akan menangis sepanjang waktu dan mungkin akan melakukan hal-hal bodoh diluar kebiasaanku . Tapi aku sudah bertekad akan pergi meski dengan resiko apapun .
Dari suara informasi ku dengar pesawat yang akan ku tumpangi terbang satu jam lagi . Dan aku harus bergegas sekarang juga sebelum aku sempat berubah pikiran .
Sial , gerutuku kesal . Kemana tiket pesawat milikku ? Aku memeriksa seluruh isi tasku tapi tak mendapati lembaran tiket itu . Apa aku lupa memasukkannya tadi ? batinku seraya mengingat kembali apa yang telah kulakukan tadi .
"Apa ini yang kau cari ?"
Aku tertegun . Sam telah berdiri didepanku seraya melambaikan selembar tiket pesawat ditangannya . Rupanya aku lupa tidak memasukkannya ke dalam tas dan akhirnya Sam menemukan benda itu . Benar-benar bodoh diriku , makiku . Padahal aku sedang ingin kabur tapi karena kebodoanku sendiri rencanaku jadi gagal total .
"Kau ingin pergi kan ? Pergilah ." suruh Sam seraya menyodorkan selembar tiket milikku .
Aku diam . Sam ingin aku pergi ?
"Kenapa diam ? Bukankah kau ingin kabur dan mencampakkanku ? Lakukan apa yang kau inginkan ." ucapnya datar . Ucapannya malah seperti ingin memojokkanku di ujung jurang .
Tanganku gemetar saat hendak meraih ujung lembaran tiket dari genggaman Sam . Apa aku sanggup melakukan ini ? batinku bimbang . Hatiku serasa hendak goyah saat itu juga .
"Kenapa masih diam ? Pergilah !!" teriak Sam mengagetkan . Tangannya mendorong puggungku dengan kasar .
"Sam... apa yang kau lakukan ?"
"Bukankah kau ingin mencampakkanku ? Jadi kenapa masih disini ?!' serunya marah . Aku tidak menyangka ia akan semarah ini padaku . " Akhir-akhir ini aku memang sering mengabaikanmu , tapi aku tidak pernah berhenti mencintaimu , Irish . Dan kau sendiri selalu diam tanpa pernah mengajukan protes padaku . Kupikir kau baik-baik saja selama ini . Kenapa kau menyimpan bebanmu sendirian ? Harusnya kau mengeluh dengan pekerjaanku agar aku bisa mengurangi pekerjaanku . Atau jika kau ingin aku bisa berhenti dari pekerjaanku . Asal kau bahagia , aku akan melakukan apa saja untukmu , Irish . Tapi kumohon jangan seperti ini . Jangan pernah meninggalkanku , karena aku tak mungkin bisa menjalani hidupku jauh darimu ."
Aku menatap seraut wajah lelaki di hadapanku . Lelaki yang sama yang setiap malam kulihat punggungnya . Lelaki yang pernah mendekap tubuhku di malam-malam yang beku dan sunyi . Satu-satunya lelaki yang bisa membuatku jatuh cinta . Lelaki yang membuatku tahu alasan kenapa aku lahir ke dunia ini . Lelakiku ....

Rabu, 13 Maret 2013

HUJAN


Senja temaram . Tak ada lukisan berwarna jingga keemasan di atas sana . Hanya mendung berwarna kelabu yang tampak memenuhi ruang kosong di awang-awang . Padahal kemarin aku masih bisa mendapati suasana itu di langit . Tapi seperti inilah musim . Mesti berganti sesuai siklusnya .
Dan seperti yang kugambarkan sebelumnya , hujan mulai menetes saat aku keluar dari pelataran kampus . Mula-mula hanya turun sebagai gerimis , dan itupun tak bertahan cukup lama . Karena titik-titik air semakin bertambah volumenya . Hujan lebat mengguyur bumi beberapa menit kemudian .
Hans......
Apa kau lihat hujan sedang turun dan menimpa kepalaku ? Bukankah kau sangat menyukai hujan ? Tapi kau paling benci jika hujan mengguyur tubuhku . Membuatku basah kuyup dan mengundang demam tinggi ke tubuhku esok hari .
Katamu hujan mempunyai daya magis . Dibalik hujan ada begitu banyak misteri dan inspirasi . Begitu ucapmu kala itu . Saat itu hujan sedang turun dan kita berteduh di halte depan kampus .
Karena hujan sebuah puisi bisa tercipta . Bahkan penggalan sebuah novel roman pun bersetting dibawah hujan . Saat hujan pikiran kita bisa terhanyut merenungi setiap tetes air yang tercurah dari langit , membawa lamunan kita kembali ke suatu masa . Semisal masa lalu , saat kita pernah mengukir kenangan bersama orang yang kita cintai .
Itu yang kau tuturkan padaku kala itu , Hans . Apa kau masih ingat ucapanmu sendiri ? Gayamu bicara mengalahkan dosen kita, Pak Tito . Dosen yang selalu kau bilang manusia Mars karena penampilannya yang sangat nyentrik . Tapi dia sangat jenius , Hans . Kau tahu itu .
Kau sangat lucu , Hans . Juga konyol . Tapi terkadang kau romantis . Apa kau masih ingat saat kau pertama kali menyatakan cinta padaku ? Aku masih mengingatnya sampai kini , Hans . Bahkan sampai kapanpun .
Saat itu persis dengan sekarang ini . Hujan turun dengan lebat dan tubuhmu sudah hampir kuyup . Kau berlari ke dekatku . Kau menitipkan sebuah novel roman padaku dengan dalih tak mau benda itu basah karena terguyur air hujan . Dan kau sendiri langsung kabur menerobos hujan yang sedang turun . Padahal aku belum menyetujui permintaanmua .
Aku membuka novel itu sesampainya di rumah . Kupikir aku bisa membaca gratis karena aku memang salah satu kutu buku di kampus . Tapi saat aku membuka-buka halaman novel itu selembar kertas jatuh dari dalamnya . Karena penasaran aku membuka lipatan kertas misterius itu dan membaca isinya .
"I love you , Sarah ."
Hanya sebaris kalimat itu yang kudapati disana . Tegas dan singkat . Aku sangat memahami maknanya . Tapi aku sangat bahagia saat itu , Hans . Karena kau adalah satu-satunya orang yang menyatakan cinta dengan cara unik seperti itu . Dan aku sangat menyukainya . Aku juga menyukaimu , Hans .
Kita menjalani hari demi hari setelah itu dengan sangat bahagia . Ada banyak canda tawa yang kita bagi berdua . Obrolan ringan terkadang menjadi sebuah perdebatan panjang . Cerita tentang dosen-dosen jenius yang super menyebalkan , apa kau masih mengingat semua itu , Hans ? Sedikitpun aku tak pernah melupakannya .
Tentangmu juga . Senyum dan deraian tawa renyahmu . Caramu berbicara , meski kadang menyebalkan tapi kerap membuatku tertawa geli . Kau sering menautkan kedua alismu manakala menjelaskan teori-teori yang tak kupahami . Caramu berpakaian , celana jeans dipadu dengan tshirt bewarna putih dengan sebuah jaket berwarna biru tua . Penampilan yang sederhana tapi aku sangat menyukainya . Aku merindukan semua itu , aku merindukanmu Hans .....
Apa kabarmu disana , Hans ? Apa yang sedang kau lakukan ? Apa kau merindukanku , Hans ? Kau tahu , aku sangat merindukanmu terlebih saat hujan turun seperti sekarang ini . Karena kau sangat menyukai hujan . Dan aku yakin setiap hujan turun kau akan datang untuk mene ngokku dari balik awan . Betul kan , Hans ?
"Sarah....kenapa hujan-hujanan sih ? Ntar kamu sakit gimana ? "
Dia Rion , Hans . Tunanganku . Tapi aku tidak mencintainya . Karena aku hanya mencintaimu , Hans .
Kami dijodohkan , Hans . Tepat setelah setahun kematianmu . Dia sangat baik , Hans . Dia sangat mempehatikanku . Dia sangat dewasa dan bisa diandalkan dalam segala hal . Sampai-sampai aku sangat bergantung padanya . Aku tak ingin seperti itu , Hans . Tapi aku tak bisa mencegah diriku , karena kehilanganmu sangat menyakitkan dan aku butuh sandaran . Dan dia selalu ada saat aku ingin bersandar .
Maafkan aku , Hans . Jika membuatmu merasa aku adalah seorang pengkhianat . Karena aku tak mungkin bisa menjalani hidupku seorang diri . Kau tahu aku sangat rapuh . Aku bahkan tidak bisa menghapus air mataku sendiri . Tapi setiap hujan turun aku akan selalu mengenangmu , wahai cinta pertamaku yang hilang .
I love you , Hans............

Sabtu, 09 Maret 2013

SEOUL'S DRAMA


"Apa kau tidak mendengar berita perselingkuhan Jun Seung ?" tanya Min Ah . Matanya menatap lurus ke arah Hye Rin yang masih sibuk melahap mie panas dari dalam panci . Gadis itu seperti tak acuh dengan apa yang sedang di cemaskan sahabat terbaiknya .
"Aku tahu ."sahut Hye Rin sementara mulutnya penuh dengan makanan . "Sudah makan saja ." imbuhnya lagi .
Min Ah heran dengan sikap Hye Rin . Dia makan begitu lahap seperti orang kelaparan padahal diluar sana tersiar kabar jika suaminya berselingkuh . Gadis macam apa dia , gerutunya .
"Apa di rumah mewah itu tidak ada mie instant ?" tanya Min Ah kesal . Ia ikut-ikutan melahap mie instant rebus panas dari dalam panci .
"Tidak ada. Kau tahu , bahkan makanan seenak kimchi pun tidak ada di meja makan . Makanya aku ingin makan sepuasnya ."celoteh Hye Rin dengan cepat .
Min Ah tak membalas ucapan Hye Rin . Selama beberapa menit mereka sibuk melahap mie instant rebus itu hingga tak bersisa . Setelah panci kosong , barulah Hye Rin membuka suara .
"Kenyang !" serunya tampak gembira . Ia memegang perutnya yang penuh dan hampir meledak itu . "Aku tidak pernah makan sekenyang ini ." ucapnya .
"Kau benar-benar tidak cemburu pada Jun Seung ? Ku dengar dia berselingkuh dengan seorang bintang film . "tutur Min Ah membahas kembali permasalahan sahabatnya . Ia ingin membahas tuntas kabar berita yang akhir-akhir ini beredar di internet . Tentang Jun Seung , suami Hye Rin yang konon pewaris tunggal salah satu hotel besar di Seoul .
"Tidak ."jawab Hye Rin ringan . Cukup untuk membuat Min Ah tercengang keheranan .
"Kau tidak cemburu sama sekali ? Apa kau sudah gila ?" desak Min Ah dengan mata melotot .
Hye Rin memperbaiki posisi duduknya sebelum mengutarakan cerita .
"Aku dan Jun Seung menikah karena dijodohkan . Sewaktu kecil ayahku pernah menyelamatkan ayah Jun Seung saat ia tenggelam di sungai . Dan ayah Jun Seung berjanji akan membalas jasa ayahku . Dan pernikahan inilah balas jasa yang ia janjikan kala itu . Jadi pernikahan ini bukan kami yang menginginkannya . Dan diantara kami sama sekali tidak ada cinta . Juga tidak ada cemburu . Kau mengerti ?" tandas Hye Rin menjelaskan .
"Aku tahu kau menikah karena dijodohkan ."sahut Min Ah bersemangat . " Tapi gadis mana yang tidak jatuh cinta melihat ketampanan Jun Seung ? Apa kau terlalu bodoh , Hye Rin ?"
Hye Rin meledakkan tawanya mendengar penuturan sahabatnya .
"Apa aku harus jatuh cinta pada orang seperti dia ?"ucap Hye Rin masih dengan tergelak . "Orang tuaku miskin dan aku masih mempunyai adik yang mesti dibiayai . Jadi asal aku bisa memberi mereka uang, itu sudah cukup untukku . Jadi aku tidak pernah berpikir untuk jatuh cinta pada Jun Seung .Lagipula aku tidak cantik dan tidak seksi . Juga bodoh . Mana mungkin Jun Seung akan jatuh cinta padaku . Perlu satu juta keajaiban untuk membuatnya jatuh cinta padaku . Kau tahu , wanita itu adalah kekasih Jun Seung . Jadi bisa dikatakan akulah wanita ketiga diantara mereka ."papar Hye Rin panjang lebar . Mata gadis itu tampak menerawang ke dinding saat menuturkan kalimat-kalimat itu .
"Kau benar , Hye Rin ."sahut Min Ah . Ia ikut tenggelam dalam cerita sahabatnya . "Gadis itu juga terlalu cantik , mana mungkin kau bisa menang bersaing dengannya ."imbuhnya lagi . "Tapi kau harus tetap bersemangat Hye Rin ."
"Semangat!"seru Hye Rin sembari mengepalkan jemarinya ke udara seperti yang dilakukan Min Ah .
Keduanya tertawa bersamaan .
"Aku harus kembali ke istana besi itu sekarang , Min Ah ." cakap Hye Rin sembari menyambar tasnya . Gadis itu baru tersadar jika malam telah tiba dan ia harus segera pulang kerumah . "Oh aku akan terlambat ! Sampai jumpa !"teriak Hye Rin seraya berlarian keluar dari rumah Min Ah dengan tergesa-gesa .
~~~~~~
"Nona dari mana saja ? Tuan besar mencari Anda sejak tadi ." cakap pelayan Yu menyambut kedatangan Hye Rin di depan pintu .
"Benarkah ? Apa Jun Seung sudah pulang ?"
"Belum . Tuan muda belum pulang .Sebaiknya Anda menemui Tuan besar . Beliau ada di ruang kerjanya sekarang ." pelayan Yu mengantar Hye Rin pergi ke ruang kerja ayah mertuanya .
Hye Rin berhenti didepan pintu . Ia mengatur nafasnya sebelum mengetuk pintu . Sekedar untuk membuang ketakutan dan keraguan yang mulai mengusik hatinya .
"Ayah , aku Hye Rin . Apa aku boleh masuk ?" seru Hye Rin . Setelah mendapat persetujuan , barulah Hye Rin berani membuka pintu ruang kerja ayah mertuanya .
"Ayah mencariku ?" tanya Hye Rin seraya mendekat ke tempat ayah mertuanya yang sedang duduk tanpa melakukan sesuatupun .
"Kau darimana ?"tegur ayah mertua Hye Rin .
"Aku pergi kerumah Min Ah ."sahut Hye Rin seraya tersenyum ."Apa ayah sudah makan ?"
"Sudah ."jawab ayah mertua Hye Rin ."Apa kau baik-baik saja ? Maksud ayah......"
"Maksud ayah berita yang beredar di internet tentang Jun Seung ?" timpal Hye Rin cepat . Lantas gadis itu tersenyum kecil . "Aku baik-baik saja , Ayah . Ayah tidak perlu khawatir . Itu hanya isu , belum tentu kebenarannya ." ucap Hye Rin tenang .
"Apa benar seperti itu ?" laki-laki itu tampak masih ragu akan ucapan menantunya .
"Tentu saja , Ayah . Aku percaya pada Jun Seung , jadi Ayah juga harus percaya padanya ." tegas Hye Rin . Mencoba membujuk ayah mertuanya .
"Baiklah jika begitu . Sebaiknya kau kembali ke kamarmu dan istirahat . "suruh Ayah Jun Seung .
"Baik , Ayah . Ayah juga harus istirahat . Selamat malam ."pamit Hye Rin di iringi senyum di ujung bibirnya . Sementara ayah Jun Seung ikut tersenyum senang melihat menantunya yang pandai memenangkan hatinya .
Hye Rin kembali ke dalam kamarnya dan ternyata Jun Seung telah lebih dulu tiba disana .
"Kau sudah pulang ?" tegur Hye Rin datar . Bahkan gadis itu hanya melihat suaminya sekilas .
"Kau benar-benar tidak terganggu dengan berita itu ?" tanya Jun Seung mengikuti langkah Hye Rin ke tempat tidur . Gadis itu lantas membuka mantel tebal yang membalut tubuhnya .
"Kau menguping percakapan kami ?" tanya Hye Rin . Dibalas anggukan kecil oleh Jun Seung . " Tentu saja aku tidak terganggu . Aku tidak punya waktu untuk mencemburui seseorang yang tidak ku cintai ." ,ucap Hye Rin terdengar acuh dan datar .
"Syukurlah ." sahut Jun Seung bersyukur .
"Kau sudah selesai ? "tanya Hye Rin kesal . "Menyingkirlah , aku ingin tidur sekarang ."usir Hye Rin memaksa Jun Seung untuk menyingkirkan tubuhnya dari hadapan Hye Rin .
Benar-benar gadis aneh , batin Jun Seung saat melihat Hye Rin langsung merebahkan tubuhnya tanpa berganti pakaian atau mencuci kakinya terlebih dahulu .
~~~~~~
Langkah kaki Hye Rin terhenti di depan pintu toko roti . Gadis itu terpana saat melihat kerumunan paparazzi telah menantinya diluar toko roti . Mereka langsung membidikkan lampu blizt kameranya ke arah Hye Rin bertubi-tubi saat mengetahui gadis itu telah keluar dari tempat itu .
"Apa aku sudah seterkenal ini ?" gumam Hye Rin tercengang melihat barisan wartawan telah menghadang langkahnya .
Hye Rin berusaha menerobos kerumunan pencari berita itu , namun justru bungkusan kue yang sedianya akan ia berikan untuk ayah mertuanya terjatuh ke dekat kakinya .
Mereka juga mengajukan berbagai macam kalimat pertanyaan kepada Hye Rin tentang kabar perselingkuhan Jun Seung . Mereka mendesak maju ke arah Hye Rin , memaksa gadis itu mundur ke belakang . Dan malangnya gadis itu terjatuh dan tepat saat itu terjadilah insiden kecil . Seorang wartawan ikut terjatuh dan menimpa tubuh Hye Rin yang telah lebih dulu terjatuh ke lantai teras toko .
Hye Rin pingsan setelah kepalanya terbentur ke lantai . Darah mengalir dari bagian belakang kepalanya .
Gadis itu dilarikan ke rumah sakit beberapa menit kemudian .
Peristiwa ini beredar di internet dengan cepat . Dukungan dan simpati banyak berdatangan ke pihak Hye Rin . Dan sebaliknya hujatan pun banyak dilontarkan kepada Jun Seung yang telah dituduh berselingkuh , juga tidak bisa menjaga istrinya dengan baik .
Nama Hye Rin melesat cepat bak roket . Di seluruh Korea nama Hye Rin mendadak terkenal dan menjadi kata yang paling banyak dicari di internet .
Gadis itu tersadar dari pingsan beberapa jam kemudian . Ia harus mendapat dua jahitan di kepalanya akibat peristiwa itu .
Saat ia bangun telah ada ayah mertuanya yang setia menunggu . Juga ibu Jun Seung . Tapi Jun Seung malah tidak ada disana . Ia masih ada rapat di hotel . Pihak investor mulai gelisah akan nilai saham hotel dikarenakan berita yang beredar di internet tentang perselingkuhan Jun Seung .
"Maafkan aku Ayah , Ibu..." gumam Hye Rin lirih .
"Apa yang kau katakan ?" sentak ayah mertuanya . " Kau adalah korban , kenapa mesti minta maaf ?"
"Benar ."sahut ibu Jun Seung menambahi ."Jun Seung yang harus dipersalahkan , bukan kau Hye Rin ." belanya lagi .
"Sebaiknya kau istirahat ."saran ayah Jun Seung kemudian .
~~~~~~
"Aku minta maaf ." ucap Hye Rin pelan . Matanya baru saja terbuka dan telah mendapati Jun Seung sedang duduk tertegun didekat tempat tidurnya . "Harusnya mereka tidak menyalahkanmu seperti itu ."tandasnya lebih lanjut .
"Hye Rin..."
"Kau atau aku tidak bersalah ."potong Hye Rin cepat . Ia ingin mendominasi pembicaraan saat ini ." Kita hanya alat balas budi . Jika tahu akan berakhir seperti ini , sejak awal aku tidak akan menerima perjodohan ini ."
"Kau masih sakit , Hye Rin . Sebaiknya kau istirahat dan tidak banyak bicara ."cakap Jun Seung menyela .
"Kau mencintainya bukan ?" tanya Hye Rin beralih topik perbincangan .
Jun Seung terdiam . Mencoba memahami maksud Hye Rin yang sebenarnya .
"Aku akan mengakhiri semuanya agar kau bisa bersamanya . Kau tidak perlu khawatir . "
"Apa maksudmu yang sebenarnya ?"tanya Jun Seung bingung .
"Aku akan pergi dari hidupmu . Dan kita kembali ke kehidupan kita sebelumnya , seolah semua ini tidak pernah terjadi . Bagaimana ? Apa kau setuju ?" tawar Hye Rin seraya tersenyum . Ia tampak ceria seolah tidak pernah terjadi apapun dalam kehidupannya .
"Apa kau sudah gila ?" seru Jun Seung seraya tersenyum pahit . Menertawakan kebodohan dan kepolosan Hye Rin . "Apa kau pikir mudah untuk mengembalikan semua seperti semula , seperti tidak pernah terjadi apapun ?"
Hye Rin membisu . Ia menyadari kebodohannya . Cara berpikirnya terlalu sederhana , padahal masalah ini sudah mencapai puncaknya .
"Lalu apa yang harus kita lakukan ?" tanya Hye Rin polos .
"Aku tidak tahu ."jawab Jun Seung tak bersemangat .
Kasihan Jun Seung . Dialah yang tampak paling menderita saat ini , batin Hye Rin terharu melihat wajah Jun Seung yang tampak kusut . Ia hanyalah korban . Ia terjebak pada situasi yang sulit . Apa yang harus ia lakukan untuk mengeluarkan Jun Seung dari semua masalah ini ?
Gadis itu mulai memupuk rasa simpati pada penderitaan Jun Seung perlahan-lahan dan tanpa ia sadari pula .
~~~~~~
Jun Seung tidak mendapati Hye Rin di kamar rumah sakit pagi ini . Kamar itu kosong . Bekas jarum infus tergeletak di atas tempat tidur . Seperti di cabut paksa . Apa Hye Rin kabur ?
Jun Seung begegas memeriksa kamar mandi , tapi hasilnya nol . Jun Seung melanjutkan pencariannya ke sekeliling rumah sakit dan taman . Tapi Hye Rin tak nampak sama sekali .
Ia masih berusaha menghubungi keluarga , bawahan juga teman-teman Hye Rin . Tapi tak ada satupun yang tahu dimana keberadaan gadis itu . Ia benar-benar menghilang .
Tak terbayangkan betapa marahnya Ayah Jun Seung setelah mengetahui menantunya hilang . Jun Seung lah yang menjadi sasaran amarah ayahnya . Sedang ia juga tak bisa berbuat apa-apa .
Jun Seung menemui Min Ah keesokan harinya , tapi sahabat Hye Rin itu juga tidak tahu menahu keberadaan Hye Rin . Ia malah baru tahu jika Hye Rin menghilang .
"Apa kau tahu sesuatu , mungkin sebuah petunjuk ?" desak Jun Seung setengah memaksa .
Namun Min Ah hanya menggeleng .
"Dia tidak pernah kabur sebelumnya ."ucap Min Ah . "Tapi dulu sewaktu kami sekolah , dia selalu bercanda ingin menjadi biarawati . Tapi bukan berarti dia ingin menjadi biarawati , bukan ?"
"Dia pasti merasa sangat bersalah atas keadaan yang menimpa kami berdua ."imbuh Jun Seung .
"Kenapa kau begitu mencemaskannya ? Bukankah lebih baik jika Hye Rin tidak ada ?"
"Aku tidak tahu kenapa aku mencemaskannya . Biasanya aku melihat Hye Rin setiap hari . tapi tiba-tiba saja dia tidak ada . Aku merasa ada sesuatu yang hilang ."ungkap Jun Seung terdengar jujur .
"Kau mencintainya ?" cecar Min Ah cepat .
Jun Seung menggeleng perlahan .
"Aku tidak tahu ."sahutnya pendek .
"Bodoh !" maki Min Ah . Gadis itu tertawa getir . "Lebih baik Hye Rin tidak pernah kembali . Bukankah sia-sia saja dia kembali jika tidak ada yang mencintainya ."tutur Min Ah terdengar sinis . Ia geram melihat Jun Seung yang seperti tak punya pendirian . Gadis itu beranjak dari tempat duduknya usai meminum habis kopi di cangkirnya . Tanpa basa basi ia meninggalkan Jun Seung yang tengah tertegun dengan lamunannya sendiri .
~~~~~~
Hye Rin tengah tekun menatap ke segerombolan anak-anak yang sedang bermain sepak bola di halaman panti asuhan . Sesekali bibirnya tersenyum melihat kegembiraan anak-anak yang tak punya keluarga itu .
Hye Rin menetap di panti asuhan itu sekaligus menjadi pekerja sosial disana . Ia membantu ibu panti membersihkan tempat itu , juga membantu anak-anak belajar . Dengan begitu ia mendapat sebuah kepusan tersendiri didalam hatinya .
Dua bulan telah berlalu . Dan Hye Rin merasa bahagia meski ia telah kehilangan sesuatu . Ia tak ingin menengok ke belakang . Dan ia juga membangun dunianya sendiri disana , tanpa pernah mendengar informasi apapun tentang Jun Seung . Meski terkadang ia merindukan sikap angkuh laki-laki itu .
"Kak Hye Rin !!"
Teriakan anak-anak itu memporak-porandakan lamunan gadis itu . Ia segera bangkit dan berlari ke arah kerumunan anak-anak yang sedang menunggunya untuk ikut bergabung dengan mereka .
Hye Rin tak pernah tahu apa yang telah terjadi di Seoul semenjak kepergiannya saat itu . Ia hanya ingin melepaskan belenggu yang menjerat Jun Seung selamanya .
Namun tiba-tiba ibu panti tergopoh-gopoh mendekat ke arah Hye Rin . Di tangannya ada sebuah surat kabar yang akan ia tunjukkan pada Hye Rin .
"Hye Rin , kau harus membaca ini ." suruh ibu panti pada gadis itu .
Hye Rin bingung namun akhirnya ia membaca berita yang tertulis di surat kabar itu . Matanya tampak terbelalak mengetahui isi berita itu .
~~~~~~
Hye Rin terpaku didepan pintu rumah Jun Seung . Ia ragu untuk masuk , tapi surat kabar itu menyebutkan jika ayah Jun Seung tengah sakit sementara hotel juga di ambang kebangkrutan .
"Nona Hye Rin !" teriak pelayan Yu kaget melihat kedatangan Hye Rin yang tiba-tiba . Seperti terjatuh dari langit saja. "Kemana saja Nona selama ini ? Kami semua mencemaskan Anda ."
Hye Rin belum sempat menyahut ketika Ayah Jun Seung mendadak muncul dengan menaiki kursi roda .
"Akhirnya kau datang juga setelah mencampakkan Jun Seung ?" tanya ayah mertua Hye Rin terdengar geram . "Sekarang untuk apa kau datang kesini ?"
"Ayah .." Hye Rin melangkah mendekat ."Hye Rin minta maaf ."
"Minta maaf ?"ulang laki-laki itu . "Setelah menghilang begitu saja kau ingin minta maaf ? Apa kau tidak tahu kami semua mencemaskan keadaanmu saat itu ? Kau sama sekali tidak memberi kabar , dimana perasaanmu Hye Rin ?!'teriaknya kemudian .
Hye Rin tak menjawab . Gadis itu tertunduk . Sementara titik-titik air matanya mulai menetes menjelaskan segenap penyesalannya .
"Apa yang kau inginkan sekarang ? Perceraian ?" sentak ayah Jun Seung tiba-tiba .
"Ayah , Hye Rin tidak bermaksud seperti itu ." ucap Hye Rin ."Saat itu Hye Rin hanya merasa menjadi beban untuk Jun Seung . Karena kehadiran Hye Rin , Jun Seung harus berpisah dengan kekasihnya . Hye Rin hanya ingin mengembalikan semuanya ke awal ."
"Tapi kau tidak bisa mengembalikan semua ke awal , Hye Rin !"
Hye Rin tercekat . Ia berbalik dan Jun Seung telah berdiri dihadapannya .
"Jun Seung ..."
"Sebaiknya kau kembali kerumahmu . Karena kau sudah tidak diterima disini lagi ." tandas Jun Seung tegas .
Hye Rin tercekat . Ia hampir tak mempercayai apa yang baru saja didengarnya .
Begitukah ? batinnya pedih . Kedatangannya kali ini hanya untuk dicampakkan ? Setelah ia pernah menghilang begitu saja , padahal ia berharap kedatangannya akan disambut baik oleh mereka semua . Tapi kenyataan jauh dari apa yang ia harapkan .
Hye Rin mulai menggerakkan kakinya tanpa sanggup berkata sepatahpun . Tak ada lagi yang perlu dijelaskan . Jun Seung yang selama ini ia cemaskan ternyata tak pernah merindukannya . Padahal ia sangat ingin memperbaiki hubungan mereka yang tak pernah baik selama ini .
Hye Rin berjalan dan terus berjalan tanpa tujuan . Bersama air mata yang tak berhenti mengalir dari kedua matanya .
Inilah yang disebut takdir , batinnya . Yang mesti ia jalani suka atau tidak suka .
~~~~~~
Hye Rin jatuh sakit setelah kejadian itu . Namun dokter tak pernah tahu apa penyakit yang mendera tubuhnya . Gadis itu kian hari kian kurus saja . Ayah dan ibunya sangat mencemaskan keadaan anak gadisnya . Tapi mereka tak bisa berbuat banyak untuk mengobati Hye Rin .
"Hye Rin bisa meninggal jika dibiarkan terus seperti ini , yah ." ucap Ibu Hye RIn lirih . Matanya tampak berkaca-kaca menatap Hye Rin yang sedang terlelap .
"Apa yang bisa kita lakukan agar Hye Rin sembuh ,Bu ?' tanya suaminya sedih .
"Cobalah untuk menemui Jun Seung dan bicara padanya , Ayah . Ibu yakin jika Jun Seung datang , putri kita akan sembuh ."ucap istrinya .
"Mereka sudah mengusir Hye Rin ,Bu. Mana mungkin ayah datang kesana dan mengemis pada mereka ? Ayah tidak mau melakukannya ."
"Tapi semua demi putri kita , Yah . Anak kita satu-satunya ..."sambung ibu Hye Rin .
"Ayah , Ibu....." tiba-tiba Hye Rin terbangun dan ikut menyela percakapan itu . " Hye Rin baik-baik saja , kalian tidak perlu cemas ."tandas Hye Rin
"Tapi Hye Rin....."kalimat Ibu Hye Rin terpotong .
"Ibu...." Hye Rin merangkul bahu ibunya ."Hye Rin janji , Hye Rin akan baik-baik saja selam bersama kalian ." ucap nya mencoba memberi keyakinan pada kedua orang tuanya . Terutama pada ibunya yang sangat mencemaskan keadaannya .
~~~~~~

Kamis, 07 Maret 2013

DAISY


Daisy berjalan terhuyung memasuki kamarnya . Lantas ia melempar tubuhnya ke atas tempat tidur begitu saja tanpa melepas stilleto yang melekat di ujung kakinya terlebih dahulu . Kepalanya terasa tiga kali lebih berat dari biasanya .
"Daisy !" seru Bibi Caroline seraya membuka pintu kamar Daisy . Wanita paruh baya itu terkejut melihat keadaan keponakannya .
"Kau mabuk ?" cecar Bibi Caroline saat mendekat dan mendapati aroma alkohol tercium dari tubuh Daisy .
"Aku hanya minum wine sedikit , Bi."gumam Daisy tak begitu jelas . Meski ia telah memejamkan mata , namun telinganya masih cukup baik untuk mendengar ucapan Bibi Caroline .
"Kau mabuk ." tandas Bibi Caroline seraya bergerak melepas sepatu yang masih melekat di ujung kaki Daisy . Begitu juga jaket di tubuh gadis itu .
Pukul tujuh tadi Daisy pamit untuk pergi menghadiri pesta ulang tahun sahabatnya . Tapi siapa sangka ia akan pulang selarut ini dan dalam keadaan mabuk pula .
"Ibumu menelepon tadi ." beritahu Bibi Caroline kemudian .
"Wanita itu menelepon lagi ?" sahut Daisy sembari membuka matanya . Ia tampak jenuh mendengar hal yang sama berulang kali .
"Dia ibumu , Daisy ." tandas Bibi Caroline . " Sebaiknya kau pulang menjenguknya . Tampaknya dia benar-benar sakit ."
"Tidak ." sahut Daisy tegas .
"Tapi....." kalimat Bibi Caroline terputus .
"Bibi lihat ini kan ?" timpal Daisy cepat . Gadis itu bergegas bangun dan menunjukkan beberapa bekas luka di tangan juga bagian tubuhnya yang lain . "Luka ini akan selamanya membekas di tubuhku , Bi . Meski luka ini sudah mengering tapi luka di hatiku tidak akan pernah bisa hilang . "ucap Daisy dengan sorot mata tegas . Ada sepercik dendam dan amarah yang tersirat disana .
Bibi Caroline menghela nafas panjang .
Daisy masih berumur sepuluh tahun ketika ayahnya meninggal . Semenjak itu hidupnya berubah total . Ibu Daisy menderita depresi berat . Wanita itu kerap melampiaskan emosinya pada Daisy dengan menyiksa fisik gadis kecil itu tanpa ampun . Dan suatu ketika Daisy jatuh sakit karena tubuh rapuhnya sudah tidak mampu menahan siksaan fisik yang diberikan oleh ibunya . Dan pada akhirnya Bibi Caroline tahu apa yang menimpa Daisy . Wanita itu membawa Daisy pergi ke Kanada ,dimana ia dan suaminya tinggal .
Dengan susah payah ia merawat Daisy serta membantunya melupakan trauma masa lalu . Daisy yang polos sedikit mengalami kesulitan bergaul namun akhirnya gadis itu bisa bangkit dan mengejar ketertinggalan dalam pendidikan . Namun beberapa waktu terakhir ini , Ibu Daisy memberi kabar jika dirinya sedang sakit . Hal inilah yang membuat Daisy sedikit mengalami perubahan beberapa hari terakhir . Dan Bibi Caroline sangat memahami masalah ini .
"Bibi mengerti ."tandas Bibi Caroline sesaat kemudian . "Bibi tidak bermaksud menyuruhmu untuk kembali kesana . Bibi hanya ingin kau pulang untuk menjenguk ibumu . Setelah itu kau boleh kembali lagi kesini ."jelas Bibi Caroline memberi pengertian . Memang tidak mudah untuk membujuk Daisy , tapi Bibi Caroline tidak pernah letih mengingatkannya .
"Aku tidak mau ."tegas Daisy masih bersikukuh pada pendiriannya semula .
Bibi Caroline terdiam . Percuma memaksakan kehendak di saat seperti ini , bisa-bisa akan menjadi sebuah perdebatan panjang nantinya .
Sementara Daisy sudah tak kuasa menahan sakit kepala yang menderanya kini . Gadis itu perlahan terlelap dibawah pengaruh alkohol yang ia konsumsi beberapa saat yang lalu .
~~##~~
"Daisy!!"
Daisy mendengus kesal . Namun ia menghentikan langkah kakinya tatkala mendengar suara Shane yang berteriak memanggil namanya .
Gadis itu tak perlu membalikkan tubuhnya karena Shane telah ada dihadapannya kini . Laki-laki itu tampak mengatur nafasnya sebelum mengutarakan maksudnya .
"Aku mencarimu sejak kemarin . Tapi kata Bibimu kau pergi semalam ."tutur Shane .
"Aku pergi ke pesta ulang tahun Tiffany semalam ."tandas Daisy datar . "Ada masalah ?"
Shane menggeleng pelan .
"Tidak ."ucap Shane tampak santai . "Aku hanya ingin tahu keadaanmu ."
Daisy tersenyum getir . Menertawakan pengakuan Shane yang terlalu dibuat-buat .
"Sekarang kau lihat aku baik-baik saja kan ? Minggirlah , aku masih ada kelas ."Daisy hendak melangkah meninggalkan tempat itu . Menghindari pertemuan yang sangat dibencinya itu .
"Ku dengar ibumu sakit ."
Langkah kaki Daisy benar-benar terhenti persis seperti harapan Shane . Gadis itu bahkan membalikkan tubuhnya hanya untuk sekedar memastikan asal pertanyaan Shane tentang ibunya .
"Jadi kau sudah banyak tahu tentang hidupku ?" tanya Daisy dengan tatapan mata sinis . "Seberapa banyak kau tahu ? Apa Bibi Caroline sudah mengatakan semuanya padamu ?" desak Daisy tampak geram .
"Daisy......"
Daisy segera menepis tangan Shane yang hendak menyentuh lengannya .
"Tidak usah mencampuri hidupku , Shane . Kau bukan kekasihku atau keluargaku ."
"Tapi aku peduli padamu ."tegas Shane .
Daisy tertawa .
"Lucu sekali ."ucap Daisy terdengar menghina . "Kenapa mesti aku yang kau pedulikan ? Bukankah selama ini kau selalu dekat dengan gadis pirang itu ?"
"Maksudmu Jessi ?"tanya Shane memastikan dugaannya ."Jadi kau mencemburui kedekatanku dengan Jessi ? Karena itu kau selalu menghindariku ?' desak Shane memojokkan posisi Daisy . Gadis itu tampak salah tingkah dibuatnya . Berarti dugaan Shane memang benar .
"Aku tidak cemburu ."tegas Daisy cepat .
"Tapi matamu mengatakan sebaliknya ." timpal Shane juga tak kalah cepat . "Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Jessi . Kau harus tahu itu ."
"Aku tidak peduli !" teriak Daisy seraya berangsur pergi dari hadapan Shane . Sikap Daisy justru meyakinkan Shane jika gadis itu sedang mencemburui dirinya dengan Jessi .
"Aku tahu kau menyukaiku ." gumam Shane sembari menatap punggung Daisy yang bergerak menjauh .
~~##~~
"Bibi tidak suka kau pulang malam , Daisy ." cakap Bibi Caroline saat melihat keponakannya baru tiba dirumah menjelang pukul dua belas malam .
"Aku tidak mabuk , Bi ."sahut Daisy seraya bergerak masuk ke dalam kamarnya . "Bibi tidak usah khawatir ." tandasnya kemudian . Gadis itu melepaskan jaket dari tubuhnya .
"Ibumu menelepon lagi ." ucap Bibi Caroline memberitahu .
Daisy membalikkan tubuh dan bertanya .
"Lagi ?" tanyanya heran . "Dia belum menyerah juga ?" tanya Daisy heran .
"Dia ingin melihatmu untuk yang terakhir , Daisy ." ucap Bibi Caroline tampak serius .
Daisy tak menyahut . Tiba-tiba saja ia seperti kehilangan kalimat .
"Pulanglah , Daisy . Bibi akan menemanimu , jika kau mau ." tawar Bibi Caroline menawarkan bantuannya . "Jangan sampai kau menyesal kelak ."
"Aku tidak bisa , Bi ."ucap Daisy lirih .
"Kenapa ? Apa yang kau takutkan ? "desak Bibi Caroline . "Dia sedang sakit parah . Apa yang bisa dilakukan olehnya ? Dia tidak akan menyakitimu , Daisy ."bujuk Bibi Caroline lagi . Wanita itu bisa melihat kebimbangan yang terpancar dari mata Daisy . Ia bisa merasakan jika hati gadis itu mulai goyah saat mendengar ibunya sakit . Hubungan batin antara seorang anak dan ibunya tak bisa terpisahkan oleh dendam sekalipun .
"Apa aku harus pergi ?" tanya Daisy meminta pertimbangan .
Bibi Caroline mengangguk pelan .
"Bibi tidak akan memaksamu untuk pergi . Keputusan ada ditanganmu . Dengarkan saja apa kata hatimu ." kata Bibi Caroline bijak .
Daisy tak memberi respon . Gadis itu hanya menatap mata Bibi Caroline untuk mencari jawaban atas kebimbangan hatinya .
~~##~~
Daisy duduk memeluk lututnya sendiri untuk melawan hawa dingin yang menyerang tubuhnya . Rasa kantuk perlahan mendera kedua mata gadis itu .
Ia tersentak dari kantuk saat mendengar suara langkah kaki berderap menuju ke arahnya . Ia buru-buru bangkit dan berdiri untuk menyambut kedatangan orang yang ditunggunya selama dua jam itu .
"Daisy ! Apa yang sedang kau lakukan disini ?" cecar Shane kaget mendapati gadis itu menunggunya di depan rumah . Ia hendak mengajak Daisy untuk masuk , namun gadis itu menolak .
"Besok aku akan pergi ke California untuk menjenguk ibuku ." tutur Daisy mengungkapkan maksud kedatangannya .
"Apa kau ingin aku mengantarmu ?" tanya Shane cepat .
"Tidak ." tolak Daisy . "Aku akan pergi sendiri ."
"Kapan kau akan kembali ?" tanya Shane sedikit cemas . Ia takut jika Daisy tidak akan pernah kembali lagi ke Kanada .
Daisy menggeleng perlahan .
"Aku tidak tahu ."cakapnya .
"Tapi kau pasti kembali bukan ?"
"Ya ." sahut Daisy yakin . "Paling lambat seminggu lagi aku akan kembali . Apa kau masih mau menungguku ?"
"Tentu ." sahut Shane bersemangat .
"Sebenarnya aku tidak tahu kenapa aku memberitahumu tentang kepergianku ini . Mungkin karena aku takut tidak bisa kembali untuk melihatmu lagi ."tandas Daisy sembari tersenyum . Ia merasa malu untuk mengakui perasaannya pada Shane .
"Kau pasti akan kembali , Daisy . Pasti ."tandas Shane penuh keyakinan . Laki-laki itu meraih tubuh Daisy ke dalam pelukannya . Sudah lama ia ingin mendekap tubuh gadis itu dan baru sekarang ia bisa melakukannya .
~~##~~
Tak banyak yang berubah dari rumah itu . Hanya saja halamannya lebih bayak ditumbuhi rerumputan liar . Dinding-dindingnya pun tampak kusam tak terawat . Pasti ibu tak sempat untuk melakukan itu semua , batin Daisy seraya berjalan ke arah teras rumah .
Sepi . Seperti tak ada kehidupan didalam rumah itu . Kemana ibu , batin Daisy sembari meneliti ke seluruh ruangan . Apa dia dirawat di rumah sakit ataukah dia telah.....
Tidak . Ibu tidak boleh pergi sebelum aku melihatnya , gumam Daisy .
Dengan langkah tergesa Daisy berjalan ke arah kamar ibunya yang terletak di lantai dua . Ia berteriak memanggil ibunya berkali-kali .
"Kau sudah datang , Daisy ?"
Daisy membalikkan tubuhnya serta merta begitu ia mendengar sebuah teguran yang ia kenali sebagai suara ibunya . Gadis itu terbelalak kala melihat seorang wanita berpakaian lusuh berdiri di ambang pintu kamar itu .
"Ibu ??" gumam Daisy dengan bibir gemetar .
Wanita itu menyeringai .
"Apa kabar sayangku , Daisy ?" tanya ibu Daisy seraya berjalan mendekat ke arah gadis itu .
Tubuh Daisy gemetar melihat wanita itu mendekat ke arahnya . Wanita itu tampak baik-baik saja , dan Daisy mulai mengerti kenapa ia menyuruh Daisy untuk pulang ke rumah .
"Apa yang akan Ibu lakukan padaku ?" tanya Daisy . Matanya tak lepas mengawasi sebilah pisau yang melekat dalam genggaman tangan ibunya .
"Tentu saja ingin membunuhmu ." jawab ibu Daisy seraya mengarahkan pisau itu ke dekat wajah putrinya . Sementara Daisy beringsut mundur perlahan . "Apa kau takut ?"
Daisy tak membalas . Namun ia bersiaga dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi kapan saja .
"Ibu sudah lama menantikan saat-saat ini , Daisy ."tutur ibu Daisy kemudian . "Kau tahu kenapa aku ingin membunuhmu ? Kau ingin tahu ?!" teriaknya keras di dekat telinga Daisy .
Daisy masih membisu . Menantikan kalimat ibunya .
"Hari itu adalah hari ulang tahunmu . Dan kau terus menerus menelepon ayahmu untuk segera pulang . Ayahmu mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi karena ingin segera sampai dirumah untuk mengucapkan selamat ulang tahun padamu . Dan terjadilah kecelakaan itu ." papar Ibu Daisy seraya menerawang kembali ke masa lalu . "Kaulah pembunuh ayahmu Daisy !!" teriak ibu Daisy histeris .
Daisy tertegun mendengarkan cerita ibunya . Ia sama sekali tidak mengingat peristiwa itu .
Tiba-tiba saja ibu Daisy mengayunkan pisau di tangannya ke arah perut Daisy . Tapi gadis itu rupanya cukup sigap untuk menghindar . Dengan gerakan cepat ia merebut pisau itu dari tangan ibunya dan perebutan senjatapun terjadi dengan dramatis . Dalam pergulatan itu , ibu Daisy terus menyerang putrinya dengan membabi buta . Pada suatu kesempatan Daisy berhasil menghindari serangan ibunya , namun apa yang terjadi ? Ibu Daisy tertusuk pisau yang kini telah berpindah ke tangan Daisy .
Daisy terjatuh ke atas lantai . Gadis itu tak sadar jika pisau itu lebih dulu melukai tubuhnya sebelum menghunjam ke perut ibunya .
"Ibu..."panggil Daisy lemah. Ibunya telah terkulai di sampingnya tanpa bergerak sama sekali .
~~##~~
"Kita pulang sekarang ?"
Shane menyentuh bahu Daisy . Gadis itu tertegun terlalu lama di depan makam ibunya . Air matanya bahkan tak berhenti berderai semenjak sepuluh menit yang lalu .
"Kau masih harus istirahat , Daisy ." ucap Shane memperingatkan kekasihnya .
Daisy mengangguk lantas mengikuti ucapan Shane . Mereka meninggalkan area pemakaman sore itu dengan berjalan bergandengan .
Maafkan aku , Ibu . Karena aku ayah mengalami kecelakaan itu. Tapi aku bersumpah tidak bermaksud untuk mencelakakan ayah. Aku hanya anak kecil yang selalu merengek manja pada orang tuanya. Andai waktu bisa di tempuh ke belakang...batin Daisy pilu .
Ibu pasti sudah bertemu ayah disana . Apa ibu bahagia sekarang ? Kuharap seperti itu , ucap Daisy seraya menoleh ke makam ibunya kembali .
Sesosok tubuh seorang wanita tampak berdiri di samping makam . Ia tampak melambaikan tangannya pada Daisy sembari mengembangkan senyum tipisnya . Dialah ibu Daisy...........

Minggu, 03 Maret 2013

LOST IN THE WINTER


"Boleh aku masuk ?"
Rebecca sempat terpana beberapa detik lamanya sebelum mempersilakan laki-laki bernama Dawson itu masuk ke dalam apartemen miliknya . Penampilannya tampak kusut . Mantelnya pun tampak lusuh terkena sisa-sisa hujan salju yang masih turun di luar . Ia tampak sedikit menggigil .
"Mau aku buatkan sesuatu yang hangat ?" tawar Rebecca pada sahabatnya . "Kopi atau ...."kalimat penawarannya terputus .
"Apapun ."timpal Dawson tak memilih .
Rebecca bergegas pergi ke dapur untuk membuatkan secangkir kopi hangat untuk Dawson. Seperti biasa .
Laki-laki itu tampak duduk bersandar di sofa ruang tamu ketika Rebecca kembali dengan secangkir kopi di tangannya . Ia tampak lelah teramat sangat menilik raut wajahnya yang muram .
"Apa ada masalah ?" tegur Rebecca seraya menyerahkan cangkir di tangannya pada Dawson .
Dawson menghirup minumannya perlahan setelah menerima cangkir dari tangan Rebecca . Ia tersenyum pahit sesaat setelah itu .
"Tak ada ."sahut Dawson seraya menggelengkan kepalanya dua kali . Ia terdiam beberapa menit lamanya sebelum mengungkap permasalahan yang mendera pikirannya saat ini .
"Brenda...."ucap Dawson kemudian . "Aku melihatnya berselingkuh ." tandasnya terdengar pahit .
Rebecca menghela nafas pelan . Ia sedikitpun tak terkejut dengan pengakuan Dawson . Karena ia telah mengetahui skandal itu jauh sebelum Dawson mengetahuinya . Namun hatinya tak mengizinkan bibirnya untuk menebar berita itu pada Dawson . Dan ia lebih memilih menyimpan hal itu rapat-rapat dalam hatinya . Meski itu membuatnya merasa tidak nyaman manakala bertemu Dawson maupun Brenda .
"Padahal aku berencana untuk melamarnya awal bulan depan . "sesal Dawson terdengar pilu .
"Kalau kau mau aku bisa bicara pada Brenda ."timpal Rebecca menawarkan bantuan . Namun dengan cepat ditolak oleh Dawson .
"Tidak perlu ."sahut Dawson . Membuat Rebecca bertanya dalam hati .
"Lalu apa yang akan kau lakukan ?"pancing Rebecca penasaran . Ia menanti reaksi laki-laki itu terhadap kekasihnya .
Dawson menggeleng . Tampaknya ia belum memikirkan apa yang hendak diperbuatnya pada Brenda .
"Aku belum tahu ."ucapnya . "Mungkin aku akan mempertahankannya ."
Rebecca terhenyak mendengar rencana sahabatnya yang masih ingin mempertahankan hubungannya dengan Brenda yang jelas-jelas telah mengkhianatinya . Tapi ia tersadar kembali jika Dawson teramat sangat mencintai Brenda . Dan wajar jika ia masih ingin mempertahankan gadis itu .
"Mungkin kau harus lebih memperhatikannya ."cakap Rebecca sesaat kemudian . Memberi saran kecil pada sahabatnya .
"Ya , mungkin kau benar ."sahut Dawson tampak lebih baik . Laki-laki itu menghirup sisa kopi yang masih ada dalam cangkirnya . Lantas ia merebahkan punggungnya diatas sofa . Seolah bersiap untuk tidur .
"Rasanya malas sekali pulang kerumah ."gumamnya seraya menguap . Kantuk mulai menyerang kedua matanya perlahan . "Apa aku boleh menginap disini ? Untuk malam ini saja ."
Rebecca tersenyum tipis .
"Tentu saja ."sahutnya cepat . " Bukankah kita sahabat ?"
Dawson tergelak .
"Setiap aku mempunyai masalah aku selalu mengeluh padamu , juga pada Carl . Kalian berdua memang sahabat terbaikku ." tandas Dawson sembari melirik ke tempat duduk Rebecca .
Rebecca tertawa kecil mendengar pujian Dawson tentangnya dan Carl .
"Kita sudah bersahabat selama setahun lebih dan kau baru menyadari kalau kami adalah sahabat terbaikmu ? Kau keterlaluan !" olok Rebecca bermaksud bercanda .
"Maaf..."sahut Dawson diselingi deraian tawa .
"Carl pasti sangat marah mendengar ini ."
"Carl ?" Dawson bangkit dari atas sofa lantas duduk menghadap ke tempat Rebecca . "Bicara soal Carl , apa kalian sedang pacaran ?" tanya Dawson menunjukkan keingintahuannya .
Rebecca tersentak mendengar pertanyaan yang dilontarkan Dawson padanya . Ia sama sekali tak pernah menduga Dawson akan menembaknya dengan pertanyaan semacam itu . Namun gadis itu segera mengubah ekspresi wajahnya secepat mungkin dengan menyunggingkan senyum tipis di ujung bibirnya .
" Carl dan kau sama , kalian sahabatku . "tegas Rebecca mengklarifikasi hubungannya dengan Carl .
"Benarkah ?" tanya Dawson menunjukkan ketidakpercayaannya pada gadis itu . "Tapi aku merasa kalian lebih dari sahabat ."
Tiba-tiba Rebecca menderaikan tawanya .
"Hm.. kau ingin menunjukkan bakat meramalmu padaku ?" gelaknya .
"Aku serius . Carl menyukaimu ."tegas Dawson lebih dari kata serius .
"Lantas....?" pancing Rebecca ringan . Menanggapi pernyataan Dawson dengan gaya acuh tak acuh khasnya .
"Dia menyukaimu , Becc . Kau masih tak menyadarinya juga ?" giliran Dawson yang merasa heran dengan sikap yang ditunjukkan gadis itu .
"Aku tahu ."sahut Rebecca cepat . "Tapi sekarang aku sangat lelah dan ingin cepat tidur . Jangan lupa mematikan lampu karena aku sangat benci pemborosan . Semoga tidurmu nyenyak . Selamat malam ." Rebecca tersenyum seraya melambaikan tangannya sebelum meninggalkan ruang tamu . Gadis itu telah mengakhiri percakapan dengan caranya sendiri .
"Huh....dasar pemalas." gerutu Dawson seraya menatap punggung Rebecca yang sedang bergerak menuju kamarnya . Gadis itu selalu acuh tak acuh pada kehidupan pribadinya sendiri . Padahal jelas-jelas Carl sangat menyukainya , tapi ia selalu berusaha menghindar jika topik pembicaraan jatuh pada Carl . Carl juga pengecut , sampai sekarangpun ia belum berani mengungkapkan perasaannya pada Rebecca .
Dawson menguap kembali . Ia segera meringkuk kembali di atas sofa dan memejamkan kedua matanya yang sudah tidak kuat melawan rasa kantuk .
~~@@~~
Salju sudah berhenti turun semenjak sepuluh menit yang lalu . Menyisakan hawa dingin yang teramat menusuk . Minus lima derajat .
Rebecca masih sibuk di dalam butik . Sedari tadi gadis itu asyik mendandani manekin-manekin yang berjajar rapi di etalase depan . Berbagai macam model pakaian musim dingin rancangan terbaru harus ia pamerkan disana . Padahal jam kerjanya telah melampaui batas dan ia telah terlanjur lupa karena kesibukannya .
Carl tersenyum dari balik kaca . Ia mengamati kegiatan Rebecca sebelum memutuskan untuk melangkah masuk ke dalam butik tempat Rebecca bekerja .
"Permisi nona..."
Rebecca terhenti dari aktifitasnya manakala mendengar sebuah teguran yang ia kira berasal dari seorang pelanggan yang sedang kedinginan dan terpaksa harus membeli baju hangat saat itu juga . Namun dugaannya sama sekali tak benar . Begitu ia memutar badannya yang tampak sosok Carl yang sedang tersenyum ke arahnya .
"Hai Carl."sapa Rebecca datar . Gadis itu segera membenahi sebuah manekin terakhir sebelum ia benar-benar mengakhiri pekejaannya .
"Apa aku mengganggu ?" tanya Carl seraya mendekat lantas meneliti sosok manekin-manekin di hadapan Rebecca .
"Sebentar lagi aku selesai ."tandas Rebecca .
Carl diam . Memberi kesempatan pada Rebecca hingga ia menyelesaikan pekerjaannya .
"Selesai ." ucap Rebecca beberapa saat kemudian .
"Syukurlah ."sahut Carl kemudian . " Apa kau mau pulang sekarang ?" "Ya !"teriak Rebecca seraya membenahi meja kasir dan langsung menyambar tas juga syal miliknya .
"Aku ingin makan sesuatu yang berbau Italy . Kau ingin makan apa malam ini ?" tawar laki-laki itu sembari melangkah keluar butik . Sementara Rebecca bertugas mengunci pintu butik sebelum pulang .
" Aku ingin sesuatu yang berbau kutub ." sahut Rebecca sembari tergelak .
"Maksudmu pinguin ?" desak Carl seraya membuka pintu mobilnya untuk Rebecca .
"Boleh ." cakap Rebecca menanggapi candaan yang ia buat sebelumnya .
"Tapi kau harus bersaing dengan anjing laut lebih dulu . Bagaimana ?"
Rebecca meledakkan tawanya . Carlpun ikut tertawa mendengar tawa Rebecca yang begitu lepas .
Namun setelah mereka menghentikan tawa masing-masing justru keheningan yang menggantikan suasana itu . Rebecca melepaskan pandangannya lurus ke depan .
"Tampaknya musim dingin kali ini akan lebih lama ." gumam Rebecca setelah beberapa saat kemudian . Memecah kekosongan komunikasi yang merenggangkan jarak di antara mereka berdua .
Carl tak menyahut . Hanya berdehem tanpa memberi pendapat .
"Apa kau lelah ? Ku lihat akhir-akhir ini kau selalu sibuk bekerja . Kau juga harus memperhatikan kesehatanmu , Becc .'" Carl mengalihkan topik percakapan sebelumnya .
Rebecca menoleh sembari tersenyum tipis .
"Terima kasih , Carl . Hanya kau yang paling memperhatikanku setahun belakangan ini ." ucap Rebecca berterima kasih .
"Kau sangat berlebihan ."tandas Carl seraya balas tersenyum.
Carl membelokkan mobilnya ke arah pelataran sebuah restoran Italy setelah itu.
"Carl !" sebuah teriakan memanggil nama Carl mengejutkan keduanya ketika memasuki restoran itu .
Rebecca dan Carl sama-sama terkejut saat melihat Dawson dan Brenda telah menghuni salah satu meja di sudut restoran . Dawson melambaikan tangannya mengisyaratkan agar pasangan itu ikut bergabung di mejanya .
"Kebetulan yang menyenangkan bisa bertemu kalian disini ."ucap Carl . Ia mempersilakan agar Rebecca mengambil tempat duduknya terlebih dahulu .
"Hai.." sapa Rebecca pada Brenda . Disambut salam yang sama oleh Brenda .
Apa secepat ini Dawson memaafkan perselingkuhan Brenda , batin Rebecca manakala melihat pasangan itu tampak baik-baik saja .
" Kau mau makan apa ? " tawar Carl membuyarkan lamunan Rebecca . Membuat gadis itu tergagap .
"Terserah ."
"Spaghetty?" tawar Carl lagi .
Rebecca mengangguk .
"Kalian pasangan yang serasi ."cakap Brenda memuji pasangan sahabat itu.
Rebecca dan Carl saling berpandangan .
"Kami berteman ."tandas Carl menjelaskan . Ia tak ingin membebani hati Rebecca dengan dugaan Brenda .
"Benarkah ?" pertanyaan Brenda sama dengan pertanyaan yang diajukan Dawson malam itu . Mereka sama-sama meragukan pasangan Rebecca - Carl . "Tapi kalian seperti sepasang kekasih . Semoga itu bisa terjadi suatu saat nanti ." harap Brenda .
"Aku juga berharap seperti itu ." sambung Dawson tak mau kalah ." Jadi kita bisa melakukan kencan ganda ." Dawson tergelak kemudian . Disusul tawa Brenda , namun Carl hanya tersenyum tipis . Sedang Rebecca hanya membisu .
Rebecca menyesal dalam hatinya . Harusnya ia tidak menuruti keinginan Carl untuk berburu masakan Italy . Mungkin saja Carl telah merencanakan pertemuan ini , duganya .
~~@@~~
"Carl....."
Carl tidak akan bangun secepat ini andai Dawson tidak bertandang ke rumahnya sepagi ini . Terlebih hari ini akhir pekan dan Carl hanya ingin menghabiskan waktu untuk bersantai di atas tempat tidur .
Carl melangkah kembali ke atas tempat tidur usai membuka pintu untuk Dawson tanpa menyuruhnya untuk masuk ke dalam rumahnya . Laki-laki itu bergegas naik ke atas tempat tidurnya seolah tak mempedulikan kedatangan sahabatnya .
"Carl , apa kau tahu kemana Rebecca ? Aku baru saja dari tempatnya tapi tidak ada yang membuka pintu . Telepon genggamnya pun tidak aktif...." papar Dawson cemas . "Aku takut terjadi sesuatu dengannya , Carl ."
"Dia sudah pergi ."cakap Carl tampak enggan . Ia telah lekat dengan bantal empuk kesayangannya .
"Maksudmu apa ?" tanya Dawson dengan nada bingung .
"Dia sudah pergi dari kota ini ."tandas Carl masih dengan aksen enggannya .
"Pergi?"tanya Dawson mengulangi pernyataan Carl . "Katakan Carl , Rebecca pergi kemana ?!"seru Dawson seraya meraih kerah piyama tidur yang dikenakan sahabatnya . Memaksa Carl untuk segera bangun dan mengungkapkan segalanya .
"Singkirkan tanganmu ."suruh Carl sembari menepis tangan Dawson dengan paksa . Dawson pun segera menyingkirkan cengkeraman tangannya pada kerah piyama Carl .
"Dia pergi semalam . "tandas Carl mengawali kisahnya . " Ibunya sakit . Dan dia memutuskan untuk tidak kembali lagi ."
Dawson tercengang karena kaget .
"Dia pergi kemana , Carl ?"tanya Dawson tampak panik . Namun Carl menjawabnya hanya dengan gelengan kepala .
"Aku tidak tahu ."cakap Carl kemudian .
"Kau pasti tahu kemana dia pergi . Katakan Carl !" teriak Dawson memaksa .
"Aku tidak tahu ! "balas Carl berteriak . "Dia hanya mengirimkan pesan ke mesin penjawab tanpa memberitahukan kemana ia pergi . Kalaupun aku tahu kemana dia pergi , aku juga tidak akan pernah mengatakannya padamu .Kenapa kau tampak sangat cemas setelah dia pergi ?"
Dawson tak menyahut . Ia hanya tertegun sembari menatap lantai kamar Carl .
"Rebecca menyukaimu ."ucap Carl sejurus kemudin . Membuat Dawson mengangkat dagunya lantas menatap ke arah Carl . "Kau tahu , dia banyak menyimpan fotomu didalam kamarnya . Bahkan nomor pin kartu kreditnyapun adalah tanggal lahirmu . Setiap ia menatapmu ia melakukannya dengan penuh kekaguman . Tapi kau tidak pernah menyadarinya . Kau hanya terpaku pada Brenda dan Brenda . Padahal orang yang sangat mencintaimu ada di sampingmu . Aku kasihan pada Rebecca . Aku sudah berkali-kali mengingatkannya untuk melupakanmu , tapai ia selalu mengatakan ia tidak bisa melakukannya . Hatiku sakit ketika mendengarnya . Karena aku juga mencintainya , tapi sayangnya ia hanya mencintaimu ...." papar Carl panjang tanpa jeda .
Dawson terpana mendengar penuturan Carl . Pikirannya mulai mencari-cari kebenaran tentang apa yang diungkapkan Carl . Satu persatu ia mulai mendapati fakta itu meski belum ada satupun bukti otentik tentang keterangan Carl . Tapi ia mulai percaya dengan apa yang Carl tuturkan padanya .
" Sayangnya aku tidak tahu kota kelahiran Rebecca..."gumam Carl berikutnya .
Dawson menghela nafas berat . Penuh penyesalan didalamnya .
"Sesungguhnya aku juga menyayanginya..." gumam Dawson lirih .
Carl kaget dengan penuturan sahabatnya .
"Bodoh !!"teriaknya seraya mencengkeram kerah jaket Dawson . "Kenapa kau tidak pernah mengatakannya pada Rebecca ?!" sesal Carl geram .
"Karena kau menyukainya ." jawab Dawson pelan .
Mendengar itu amarah Carl langsung luruh . Ia menyingkirkan tangannya dari kerah jaket Dawson . Lantas ia menyunggingkan senyum pahit di ujung bibirnya . Seolah menertawakan keadaan yang mempermainkan kehidupan mereka berdua .
"Lucu sekali ."gumam Carl masih dengan senyum pahitnya . "Kita berdua sedang dipermainkan takdir ."lanjutnya .
Dawson tertunduk . Sibuk dengan lamunannya . Bibirnya membisu tanpa sepatah katapun terucap .
Sementara serpihan salju diluar sana mulai tampak berjatuhan ke tanah . Menebarkan hawa dingin ke seisi kota .
Tampaknya musim dingin kali ini akan lama........

Sabtu, 02 Maret 2013

KOPI


"Italy ?!" pekik Sandra menunjukkan keterkejutannya . " Kamu mau jadi barista ? Lucu sekali . Apa kamu lebih mencintai kopi ketimbang aku ? " tanya gadis itu kemudian . Lebih bernada menyindir .
Bimo mendesah pelan . Ia mulai bisa meraba arah pemikiran kekasihnya . Tak mudah untuk meyakinkan gadis itu .
"Aku cuma pergi setahun . Apa kamu nggak bisa menungguku selama itu ?" Bimo menatap wajah Sandra yang tampak diliputi keresahan .
Sandra tersenyum pahit .
"Dalam setahun banyak yang bisa terjadi Bim ."seru Sandra . "Aku atau kamu bisa bertemu siapapun yang bisa merusak hubungan kita ."tandasnya .
Bimo tersenyum mendengar kecemasan yang terlontar dari bibir Sandra .
"Apa yang kamu takutkan ? Aku selingkuh ?" tanya Bimo masih dengan senyum tipis tersungging di ujung bibirnya . "Aku bukan tipe orang seperti itu , San . Kamu tahu sendiri kan bagaimana aku . " Tangan Bimo mencengkeram pundak Sandra erat . Mencoba memberi penjelasan .
"Tapi aku tetap nggak setuju kamu pergi ."tegas Sandra .
"Begitu egoiskah cintamu padaku ?" tanya Bimo menyudutkan posisi Sandra .
"Ya." sahut gadis itu tegas dan cepat . "Kalau kamu tetap ingin pergi berarti kita putus . "imbuhnya lagi dengan nada mengancam .
Bimo tercengang . Sandra sedang memberinya sebuah dilema . Sulit untuk Bimo memilih . Dua-duanya sama penting dalam hidupnya .
"Sandra... kamu tahu kan , sejak dulu aku ingin sekali menjadi barista . Harusnya kamu mendukungku bukan memberiku pilihan sulit seperti ini . Aku sayang kamu , San...."
Sandra mendengus kesal .
"Terserah kamu , pilih yang mana ."ucap Sandra enteng . Ia sengaja memberi pilihan yang sulit agar Bimo tetap tinggal disisinya , terlebih ujian akhir nasional akan segera dimulai . Sandra ingin agar Bimo ada saat kelulusan nanti.....
"Aku akan pilih dua-duanya ."tukas Bimo tegas .
Sandra kaget . Namun jawaban Bimo justru membuatnya bertambah kesal .
"San.... sekali ini saja. Beri aku kesempatan...."ratap Bimo memohon pengertian Sandra .
"Terserah !" seru Sandra menyerah . Gadis itu mengakhiri perdebatan dan bergegas dari tempat duduknya lantas berlari kedalam rumah . Ia merasa tercampakkan begitu saja oleh Bimo kala itu .
~~~~~~
Sandra tertegun di sudut perpustakaan . Matanya tak lagi fokus ke buku di hadapannya . Padahal buku itu susah payah ia temukan , terselip diantara buku-buku ekonomi yang bercenti-centi tebalnya .
Pikirannya sedang melayang terbang menembus dimensi waktu . Berkelana mencari-cari sisa kenangan yang pernah ia ukir bersama seorang laki-laki bernama Bimo .
Tanpa terasa waktu berjalan begitu cepat . Nyaris dua setengah tahun , dan belum ada kabar sama sekali tentang Bimo .
Bukan salah Bimo jika tak mengirim kabar ,tapi keegoisan Sandra yang patut di kambing hitamkan . Bukankah Sandra yang memberi pilihan kala itu . Dan kepergian Bimo mengukuhkan berakhirnya hubungan diantara keduanya . Apa lagi yang mesti disesali olehnya ?
Sandra mulai mengerti setelah kepergian Bimo . Sifat keras kepala dan keegoisannya telah menghancurkan hatinya sendiri .
Bimo......
Apa kabarnya laki-laki itu , desah Sandra . Apa mungkin ia masih menyimpan perasaannya untuk Sandra ,meski secuil ? Tapi mana mungkin , sedang gadis-gadis Italy jauh lebih cantik ketimbang dirinya . Masih banyak gadis diluar sana yang bisa mengerti profesi Bimo dan tak seegois dirinya . Jika dipikir kembali , Sandra akan menemukan dirinya terjebak dalam sebuah kecemburuan tak berarti . Mencemburui kopi lebih tepatnya . Mana mungkin Bimo lebih mencintai kopi ketimbang dirinya .
Tapi semua sudah berakhir dengan hebat dan menyisakan luka hitam dihatinya . Memaksa Sandra menutup pintu hatinya rapat-rapat . Gadis itu memilih menyibukkan diri dengan kesibukan kampus , belajar dan membaca buku di perpustakaan . Seolah ia membangun sebuah sekat tipis antara dirinya dan kehidupan diluar sana .
"Maaf , perpustakaan akan tutup sebentar lagi ."
Sandra terbangun dari lamunannya ketika seorang petugas perpustakaan datang dan memberitahu jika tempat itu akan ditutup dalam waktu beberapa menit lagi . Memaksa gadis itu untuk segera angkat kaki dari perpustakaan .
~~~~~~
Sandra melangkahkan kaki-kakinya dengan gerakan gontai . Hari ini kakaknya tak bisa menjemput karena sedang terbaring di rumah sakit . Dan sepulang dari perpustakaan ia berencana mengunjungi kakaknya barang sebentar sekaligus membawakannya cheese cake .
Langkah-langkah gontai itu tiba-tiba saja terhenti ketika berada tepat di depan sebuah coffee shop . Mata Sandra tak berkedip menatap bangunan mungil itu . Karena tempat itu memaksa ingatannya kembali tertuju pada Bimo .
Mungkin Bimo juga akan membuka sebuah coffee shop sepulang dari Italy , batin Sandra . Namun sekuat tenaga ia segera menepis pikiran-pikiran tentang Bimo . Karena ia akan semakin terluka jika terus-menerus mengingat sebaris nama itu .
Tiba-tiba gadis itu tersadar manakala mendengar dering ponselnya . Pasti kakaknya sudah tak sabar ingin mencicipi cheese cake . Gadis itu berbalik dan bersiap melangkah , namun....
"Kamu nggak mau masuk?"
Teguran halus itu menghentikan pergerakan kaki Sandra . Ia berbalik dan mendapati sesosok tubuh telah berdiri dihadapannya .
Sandra tercekat . Kaget luar biasa setelah mengetahui pemilik suara itu adalah Bimo .
Gadis itu tak bisa mengucapkan sepatah katapun .
"Apa kabar ?" tanya Bimo kemudian . Mencoba merangkai komunikasi yang tampaknya sulit dilakukan oleh Sandra .
"Baik ."jawab Sandra pendek . Kaku dan terkesan canggung . Seolah itu bukan Sandra yang biasanya .
"Aku juga baik ."tandas Bimo memberitahu keadaan dirinya . " Kamu nggak mau masuk ke kafeku ?" tawar Bimo kemudian .
Oh , ternyata tempat itu adalah milik Bimo ?batin Sandra . Kebetulan sekali .
" Nggak usah . Mungkin lain kali saja ."tolak Sandra pelan . Ia benar-benar tak begitu mahir menyembunyikan kecanggungannya di hadapan Bimo .
Bimo tak menyahut . Namun ia bisa menangkap berkas-berkas kecanggungan dari balik sorot mata gadis itu . Ia menyadari begitu banyak perubahan pada diri Sandra . Mungkin waktu yang mengubahnya .
"Sayang !"
Teriakan itu membuyarkan segalanya . Seorang gadis berparas cantik tiba-tiba saja keluar dari dalam coffee shop dan menghambur ke dekat Bimo .
Sandra terperangah kaget . Sebuah pukulan berat mendadak menghantam dadanya manakala melihat gadis itu mendekat ke arah Bimo dan sebuah panggilan sayang terlontar dari bibir merahnya . Hati Sandra hancur berkeping-keping saat itu juga .
Gadis itu membalikkan tubuhnya manakala dirasakannya sebutir air mata hendak jatuh ke atas pipinya . Ia melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu tanpa menoleh lagi ke belakang.
Ternyata bukan kopi yang membuatku cemburu kali ini , tapi gadis itu .... gumam Sandra di sela isaknya .