Kamis, 31 Januari 2013

LOVE STORY

Sebuah kepopuleran bisa mengubah segalanya, termasuk kepribadian seseorang. Termasuk Hans......... Nama Hans tiba-tiba saja menjadi bahan perbincangan publik. Televisi, radio, media cetak dan internet selalu diwarnai berita tentangnya. Seorang cowok berbakat yang mempunyai suara emas....... Semenjak Hans mengikuti audisi pencarian penyanyi yang diadakan sebuah label rekaman, dari situlah semua berawal. Hans terpilih untuk menyanyikan sebuah single baru, dan lambat laun namanya mulai dikenal publik. Lagu dan suara Hans banyak disukai. Dan dalam waktu sekejap saja popularitasnya melesat bagai roket. Tawaran menyanyi dalam acara-acara musik mengalir deras padanya. Ia selalu sibuk bahkan kuliahnya juga terbengkalai...... ~~~~~~ Vinda mengemasi buku-buku di hadapannya. Langit tampak mulai menghitam. Perpustakaan sebentar lagi juga akan tutup. Gadis itu berangsur mengembalikan buku-buku ke dalam raknya semula. Dengan langkah ringan ia keluar dari perpustakaan lantas menuju kearah halte tak jauh dari tempat itu. Matanya menatap ke langit . Ke arah segerombolan awan berwarna pekat, yang sebentar lagi akan jatuh menjadi butiran-butiran hujan. Ia harus segera pulang sebelum hujan benar-benar turun dan membasahi tubuhnya. Namun mendadak ia teringat akan Hans. Biasanya ia dan Hans selalu pulang bersama. Menaiki bus yang sesak dan dipenuhi dengan berbagai macam aroma. Tapi sama sekali tak mengurangi keceriaan dan semangat dalam diri mereka. Vinda rindu saat-saat seperti itu. Ia rindu pada Hans. Pada canda dan tawa renyahnya. Sekian tahun bersahabat dengan Hans, sekalipun mereka tak pernah terpisah. Mereka selalu pergi berdua dan menghabiskan waktu bersama-sama. Dan Vinda merasa sangat kehilangan sosok Hans semenjak ia menjadi populer. Tapi Vinda juga ikut andil dalam masalah itu. Vinda sendiri yang memaksa Hans untuk ikut audisi meski cowok itu sudah menolak. Vinda menelan ludah. Titik gerimis mulai berjatuhan, padahal bus yang ia tunggu belum juga muncul.... Kini Hans mulai jauh darinya. Jadwal pentas dan wawancara yang padat membuat Hans tak punya waktu lagi untuk Vinda. Bahkan cowok itu juga jarang menderingkan ponsel Vinda, meski itu hanya sebuah pesan singkat "selamat malam". Dengan kepopuleran namanya pasti banyak gadis yang menyukai Hans. Dan jika Hans mau ia bisa mendapatkan gadis manapun yang ia suka. Yang lebih cantik, kaya dan sempurna. Vinda merutuki dirinya sendiri. Sepertinya hujan telah mengkontaminasi pikirannya. Kenapa ia bisa berpikir seperti itu tentang Hans? Sejak awal sampai sekarang tidak ada hubungan istimewa diantara mereka. Hubungan mereka tak pernah lebih dari sekedar sahabat. Mana mungkin Hans menyukai gadis kekanak-kanakan seperti dirinya. Jika Hans menyukainya pasti sejak dulu ia menyatakan cintanya. Tapi sampai sekarangpun sama sekali tidak ada pernyataan cinta yang terlontar dari bibir Hans untuknya. Dasar bodoh, makinya dalam hati. Kenapa pula ia mesti jatuh cinta pada sahabatnya sendiri? Dan tampaknya Hans juga mulai menjauh dari persahabatan yang mereka jalin selama lima tahun terakhir......... ~~~~~~ "Kuliah di luar negeri.......?"gumam Vinda. Gadis itu menemukan selembar brosur pendidikan luar negeri di atas meja kerja papanya. Ia melihatnya sekilas. Namun sebuah ide langsung terlintas di benaknya. Vinda buru-buru berlari ke teras dimana papa dan mamanya tengah menikmati senja disana. Ditemani seduhan teh hijau dan pai apel. "Pa.... Vinda ingin kuliah diluar negeri" ucap Vinda mengejutkan keduanya. Beberapa waktu yang lalu Vinda mati-matian menolak untuk kuliah diluar negeri, tapi tiba-tiba saja ia berubah pikiran. Ada apa dengan anak itu, batin kedua orang tuanya terheran-heran. "Apa kamu nggak salah Vin? Bukannya kamu nggak suka pergi jauh dari rumah."sahut mama Vinda. "Ah mama... Vinda kan pingin belajar mandiri. Lagian nggak semua orang punya kesempatan kuliah diluar negeri, betul kan Pa?" tanya Vinda mencari dukungan papanya. Disambut anggukan papanya. "Tapi dulu kamu menolak kuliah diluar negeri, kenapa berubah pikiran secepat ini?" desak mamanya. "Mama ini.... Setiap orang bisa berubah pikiran setiap saat kan?" Vinda membela diri. "Kamu yakin pada keputusanmu?" sela papa. "Hm" sahut Vinda cepat sebelum berubah pikiran lagi. "Tapi kamu harus janji untuk belajar sungguh-sungguh..."sambung papa meminta keseriusan putrinya. "Sip..." ~~~~~~ Vinda duduk resah di bangkunya sembari menatap lalu lalang orang-orang di bandara. Ia melihat ada pertemuan dan perpisahan yang terjadi di tempat itu. Sebagian untuk sementara dan mungkin sebagian lagi untuk selamanya. Sedang ia sendiri akan pergi untuk jangka waktu dua tahun ke depan. Semua bentuk perpisahan pasti sulit pada awalnya, namun akan menjadi hal biasa pada akhirnya. Gadis itu menghela nafas sejenak. Pesawat menuju Australia akan take off beberapa saat lagi dan ia harus segera bergegas. Ia akan pergi tapi dalam hatinya masih berharap jika Hans tiba-tiba saja datang dan mencegah kepergiannya. Lantas Hans akan mengatakan alasan kenapa ia tidak ingin Vinda pergi adalah karena ia mencintai Vinda. Sempurna sekali rencana Vinda. Tapi ini bukanlah sebuah drama. Dan Vinda bukanlah seorang sutradara yang bisa mengatur jalan cerita ini semaunya . Bodoh! maki Vinda dalam hatinya. Ia sudah membulatkan tekad untuk pergi keluar negeri untuk kuliah sekaligus melupakan perasaannya pada Hans. Tapi kenapa disaat ia hendak masuk kedalam pesawat hatinya terus bergumam tentang Hans. Tidak boleh! cegah batinnya. Ia harus konsisten pada rencana semula. Apapun yang akan terjadi nanti bisa ia lihat dua tahun mendatang............ ~~~~~~ Dua tahun kemudian....... Vinda baru saja tiba kemarin. Isi kopernya pun masih belum sempat dibongkar. Rasa penat masih mendera tubuhnya usai penerbangan lintas negara. Australia _ Indonesia....... " Apa kabar Vin?" tegur Hans tiba-tiba. Membuyarkan lamunan sorenya. Cowok itu telah berdiri di hadapannya dengan tampilan manis. Sebuah celana jeans hitam berpadu dengan sweater berwarna krem membalut tubuhnya. Vinda tersenyum kaku. Takjub akan kemunculan cowok itu. Ia sama sekali tidak menduga Hans akan menemuinya secepat ini. " Ba..Baik Hans." sahut Vinda kikuk. Kenapa tiba-tiba saja ia merasa canggung bertemu Hans. Dan ia juga mendapati separuh hatinya hancur manakala menyadari ia masih menyimpan perasaan untuk Hans. Saking canggungnya gadis itu hampir saja lupa untuk mempersilakan cowok itu untuk segera duduk. Namun ketika ia hendak mengambilkan minuman untuk Hans, cowok itu mencegahnya. " Kenapa saat itu kamu nggak bilang ingin pergi , Vin?' tanya Hans beberapa menit kemudian. "Sorry Hans......." tandas Vinda lirih. Gadis itu tertunduk menatap lantai teras. "Terus terang aku sangat kecewa, Vin... Tapi aku juga sadar, kegiatanku sangat padat waktu itu. Sampai-sampai aku nyaris melupakan persahabatan kita." ucap Hans seraya tersenyum pahit. Sahabat? Jadi Hans benar-benar tidak punya perasaan apapun untuknya, dan menganggap Vinda hanya sebatas sahabat? batin Vinda getir. "Bagaimana karirmu sekarang Hans? Kamu sudah mengeluarkan album?"tanya Vinda mengubah topik pembicaraan . Hans tertawa renyah. Membuat Vinda bertanya-tanya, apa pertanyaan yang ia ajukan pada Hans salah? "Aku nggak pernah merilis sebuah albumpun, Vin."tandas Hans datar. Membuat Vinda terhenyak. Selama kuliah di Australia ia sama sekali tidak pernah mengikuti perjalanan karir Hans melalui internet. 'Aku ikut audisi itu bukan karena keinginanku sendiri. Itu semua adalah keinginanmu. Kamu yang ingin aku menjadi seorang penyanyi, Vin. Kupikir untuk apa aku jadi penyanyi jika kamu malah pergi. Aku sudah melepaskan semua itu , Vin...." tutur Hans panjang. Tanpa ekspresi menyesal sama sekali. Vinda terbelalak mendengar pengakuan Hans. Ia tak percaya dengan apa yang Hans telah lakukan. Padahal tidak mudah untuk meraih kepopuleran seperti itu.... "Hans......" ucapan Vinda terpotong. "Aku baru sadar setelah kamu pergi Vin... Ternyata aku merasakan sesuatu yang sangat menyesakkan didalam dadaku saat kamu nggak ada disisiku. Tapi pastinya kamu nggak pernah merasakan hal yang sama. Buktinya kamu bisa hidup dengan baik diluar negeri. Aaahh....mungkin saja aku terlalu mendramatisir keadaan."Hans tergelak di ujung kalimatnya. Namun Vinda malah menganggap hal itu bukanlah sebagai sesuatu yang layak untuk di tertawakan. "Sejujurnya aku pergi karena aku takut kamu melupakanku Hans..."ujar Vinda pelan. Hans tercekat. Ia mengamati raut wajah gadis itu lekat-lekat. "Maksudmu?" tanya Hans tidak mengerti. "Aku takut kepopuleran membuatmu menjauh dariku Hans. Makanya aku pergi untuk membunuh perasaanku sendiri. Karena saat itu aku mulai merasa nggak mengenalmu lagi....." terang Vinda terbata. Hans tersenyum tipis. Ia tidak pernah menduga bahwa Vinda bisa berterus terang seperti itu padanya. Tentang perasaannya pada Hans.... "Aku nggak menyangka ternyata pendidikan di Australia bisa mengubahmu menjadi sedewasa ini." ucap Hans bermaksud menggoda. Karena wajah gadis itu tampak terlalu serius. "Hans!"teriak Vinda manja. Ia menepuk bahu Hans keras-keras hingga cowok itu meringis kesakitan. Ternyata sifat kekanak-kanakan itu masih melekat pada diri Vinda, tapi itulah yang membuat Hans senantiasa merindukan gadis itu. "Aku sayang kamu Vin....." tandas Hans jujur. Akhirnya pernyataan yang lama di pendamnya terucap sore itu. Setelah melalui proses yang panjang dan melelahkan........

Senin, 28 Januari 2013

SEBENING CINTA UNTUK DANISA

Danisa tertegun seraya bersandar pada tembok belakang sekolah. Matanya menerawang kosong kedepan. Sementara itu Indra, teman dekatnya juga ikut-ikutan diam membisu seperti yang Danisa lakukan. Berita tentang penangkapan papa Danisa telah menyebar luas bahkan menjadi headline news di hampir semua surat kabar ibukota. Mereka menuliskan "Seorang wakil rakyat terlibat kasus penggelapan dana...." Danisa sangat terpukul melihat kenyataan. Seorang sosok ayah yang selalu menjadi panutannya selama ini ternyata adalah seorang koruptor!! Padahal ia sangat mengagumi jiwa kepemimpinan papanya, dan karena papanya pula ia bersedia mencalonkan diri sebagai kandidat ketua OSIS di sekolahnya. Tapi apa yang malah diperbuat oleh papanya disaat ia sudah resmi memangku jabatan itu?Papanya telah menghancurkan semunya. Ia telah mencoreng nama baik Danisa. Padahal ada begitu banyak ide dan program-program ekskul yang ingin ia wujudkan . Dan semua siswa yang dulu mati-matian mendukungnya kini berbalik arah menghujatnya. Sanjung puji yang dulu kerap mampir di telinganya kini berubah menjadi cibiran dan cacian. Sorot mata tajam dan penuh penghinaan juga didapatnya dari semua siswa. Hanya Indra-lah satu-satunya orang yang masih bersedia bersimpati padanya. Danisa sangat berterima kasih pada sahabatnya itu.... "Gue akan mundur Ndra..." tandas Danisa lirih. Memecah kebisuan di belakang sekolah. Indra tercekat mendengar keputusan gadis itu. Ia mengenal Danisa hampir dua tahun dan bukan sifat gadis itu untuk menyerah begitu saja. Gadis yang biasa berkuncir kuda itu selalu tangguh dan mandiri, tapi sekarang.......... "Apa lue akan menyerah begitu aja ? Soal bokap lue nggak ada hubungannya dengan lue Nis....." sahut cowok berkaca mata minus itu. " Gue tahu Ndra."potong Danisa cepat. " Tapi lue lihat sendiri kan , gimana tanggapan semua siswa di sekolah kita? Mereka semua memojokkan gue. Dan cepat atau lambat mereka pasti akan menuntut pengunduran diri gue. Jadi, sebelum mereka melakukannya, gue akan mengundurkan diri. Bukankah itu akan lebih terhormat?" tutur Danisa panjang. "Tapi mereka nggak bisa melakukan itu tanpa alasan Nis." ujar Indra mencoba mendebat pernyataan Danisa. Tapi gadis itu malah tersenyum pahit . Ia tahu bahwa sebenarnya Indra hanya ingin membelanya. "Mereka yang milih gue jadi ketua OSIS ,Ndra. Jadi mereka punya hak sepenuhnya untuk membatalkan dukungannya...."tandas Danisa. Indra terdiam untuk beberapa waktu lamanya. Mencoba mencari cara untuk mengubah pemikiran Danisa. " Tapi belum tentu bokap lue terlibat. Belum ada bukti-bukti yang memberatkannya kan?" tanya Indra kemudian. Danisa menggeleng pelan. " Tapi bukti itu pasti akan segera ditemukan , Ndra" ucap Danisa datar. "Maksud lue?" tanya Indra tak mengerti. Alisnya tampak bertaut. "Gue baru sadar... Selama ini keluarga gue hidup dalam kemewahan semenjak ayah jadi wakil rakyat. Bukankah itu salah satu petunjuk?" Indra membisu mendengar pengakuan Danisa. Otaknya berputar. Berpikir........ *********** Mama Danisa terdiam. Matanya tampak basah usai Danisa mengajukan sebaris pertanyaan padanya. "Mama tahu sesuatu kan? Mama tahu jika papa korupsi , tapi kenapa mama diam saja tanpa memperingatkan papa?" desak Danisa memojokkan posisi mamanya. "Cukup Danisa!" teriak mamanya. Ia merasa hilang kesabaran karena terus didesak putrinya."Kamu tahu, apa yang papa lakukan juga demi kamu. Demi pendidikanmu. Tanpa papa melakukan itu kamu tidak akan bisa masuk sekolah elite. Bukankah kelak kamu juga ingin kuliah?"jelas mama Danisa mengungkapkan semuanya. Danisa terhenyak mendengar pengakuan mamanya. Jadi semua yang tertulis di surat kabar itu benar adanya? Papanya adalah seorang koruptor!! Mata Danisa basah. Air mata bening mulai berjatuhan ke atas pipinya. Ia ingin sekali mengingkari apa yang baru saja didengarnya. Tapi semakin ia mencoba, ia semakin tidak bisa menghindari kenyataan. "Danisa nggak ingin sekolah di sekola elite, Ma. Danisa juga nggak ingin kemewahan jika didapat dengan cara seperti itu. Buat Danisa cukup kalian berdua. Karena kebahagiaan nggak semata diperoleh dari uang..."tandas Danisa di sela isaknya. Mama Danisa terharu mendengar kalimat yang dilontarkan putrinya. Ia memeluk tubuh gadis itu lantas keduanya hanyut dalam tangis. Semua telah terjadi. Menyesalpun tak berguna.... ************* Gadis berseragam putih abu-abu itu berdiri kaku di atas podium. Lututnya gemetar dan serasa ingin goyah.Tapi ia harus berdiri disana untuk mengatakan sesuatu meski hanya dua menit. Sementara semua pasang mata tengah menatap ke arahnya, menunggu pernyataan sang ketua OSIS. Danisa menghela nafas beberapa saat sembari berdoa. Sebelum akhirnya ia memulai pidato singkatnya. . "Pagi ini saya berdiri disini untuk menyatakan pengunduran diri saya sebagai ketua OSIS." ucap Danisa langsung pada tujuannya." Mungkin saya tidak layak untuk menduduki jabatan itu, tapi saya sangat berterima kasih kepada teman-teman dan semua pihak yang telah mendukung saya selama ini. Saya minta maaf atas semua kekurangan yang ada pada diri saya....... Dan sekali lagi saya ucapkan banyak terima kasih" tandas Danisa mengakhiri pidato singkatnya. Gadis itu segera turun dari atas podium usai menyampaikan pengunduran dirinya. Danisa tahu ia tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi untuk berdiri disana. Ia takut jika tiba-tiba saja air matanya tumpah disaat ia menyampaikan pidatonya di depan teman dan guru-gurunya. Padahal selama ini ia selalu tegar menghadapi persoalan apapun termasuk saat ia harus berkampanye untuk mendapatkan dukungan pada pemilihan ketua OSIS empat bulan yang lalu. Tapi semua kerja keras itu harus dilepasnya begitu saja. Tak ada gelar ketua OSIS lagi di pundaknya.... ************ Mata Indra terbelalak begitu ia menghentikan motornya di depan rumah Danisa. Rumah itu telah disegel oleh polisi. "Sial....."gumamnya kesal. Sudah dua hari Danisa tidak masuk sekolah tanpa izin, dan gadis itu pergi juga tanpa memberi kabar padanya. Nomor ponselnya pun juga tidak aktif. Teman-teman , tetangga tidak ada satupun yang tahu kemana Danisa pindah. Gadis itu benar-benar menghilang tanpa jejak. Indra hanya bisa tertegun mengingat Danisa. Kasihan dia, gumamnya sendirian. Harusnya disaat seperti ini ia ada disisi Danisa untuk memberi dukungan moral padanya. Tapi kenapa ia malah menghilang begitu saja tanpa jejak. Padahal ada sesuatu yang ingin ia sampaikan pada gadis kuncir kuda itu. Sebuah perasaan yang selama dua tahun ini di pendamnya untuk gadis itu. Perasaan kasih yang bening untuk Danisa..............

Minggu, 27 Januari 2013

WINTER DREAM


Langkah-langkah kecil Yoona menapaki lapisan salju. Sisa hujan salju semalam. Bahkan serpihan salju juga mulai berjatuhan ketika gadis berwajah oval itu tiba di tempat tujuannya. Pohon sakura itu masih berdiri tegak di tempatnya.Tepat di belakang bekas sekolahnya dulu. Ia tampak kurus hanya dengan ranting-ranting kosong yang menengadah pasrah ke arah langit. Mencoba bertahan dari musim. Yoona terpaku . Matanya menatap kosong ke arah sebatang pohon yang berdiri kaku dihadapannya. Sedang pikirannya mengembara bagai mesin waktu. Menjelajah beberapa waktu silam. Dimana ia masih berumur belia dan polos. Di tempat itu ia pernah menghabiskan separuh masa kecilnya bersama seseorang. Mereka tertawa , bermain dan berbagi segalanya kala itu. Saat musim dingin singgah, maka akan ada sepasang boneka salju berdiri di tempat itu. Juga ada tawa riang diantara bola-bola salju yang melayang di udara. Kenangan itu seakan masih terkubur di bawah pohon sakura yang menjadi satu-satunya saksi bisu masa kecil itu. Dan kedatangan Yoona kali ini untuk menggali kembali kenangan silam itu. Tapi ada separuh dari kenangan itu yang tidak ia dapati di tempat itu. Sosok laki-laki pemilik kenangan itu... Jung Hyun.... Pemilik kenangan itu, entah dimana keberadaannya sekarang. Semenjak kelulusan Yoona tak pernah mendapati kabar tentangnya. Rumahnya telah kosong ketika ia mencoba mencarinya kesana. Jung Hyun telah pergi tanpa meninggalkan jejak untuk dilacak. Yoona tidak pernah menyadari perasaan kehilangan yang ditinggalkan Jung Hyun untuknya adalah sebuah cinta. Sebuah cinta pertama yang baru disadarinya tiga hari setelah laki-laki itu pergi dari hidupnya. Tapi ia telah kehilangan cinta pertamanya itu yang mungkin untuk selamanya. Yoona mendesah berat. Ia hendak melepaskan beban berat yang menyesaki dadanya. Tapi sulit. Beban itu masih ada disana. Dan akan membuatnya susah bernafas ketika mengingat sebaris nama Jung Hyun. Kenapa begitu sulit melupakan kenangan terindah itu, gumamnya lirih.Sedang mungkin Jung Hyun telah menghapus tuntas kenangan itu. Gadis itu mulai menggigil. Suhu udara turun terlalu drastis tanpa disadarinya. Namun tak cukup untuk memaksanya beranjak pergi dari tempatnya berdiri. Ia membiarkan serpihan salju berjatuhan diatas mantel yang melekat di tubuhnya. Membekukan tubuh rapuhnya...... ####### Hipotermia...... tandas dokter beberapa saat yang lalu, tepat disaat Yoona membuka mata. Raut wajah gadis itu masih tampak beku meski ruang rumah sakit yang ia tempati sekarang terasa hangat. ''Apa yang kamu lakukan di tempat seperti itu?'' pertanyaan itu bernada datar. Menyadarkan Yoona bahwa Lee Joon sedang mengawasinya dari sudut kamar. Wajahnya terlihat dingin meski dalam hatinya sangat mencemaskan keadaan Yoona. Ia melangkah ke samping tempat tidur sesaat kemudian. Yoona mengatupkan bibir. Enggan menanggapi pertanyaan laki-laki tampan di sisinya. ''Kamu ingin membeku disana?!'' tanya Lee Joon setengah berteriak. Geram melihat sikap acuh tak acuh yang ditunjukkan gadis itu. ''Kak....'' ucap Yoona lirih. ''Aku hanya ingin mengunjungi sekolah lamaku sebelum pulang ke Seoul.''tandas Yoona mencoba meredam kemarahan di ujung mata Lee Joon. Lee Joon menghela nafas. Ia ragu akan alasan yang dilontarkan gadis itu. Tapi ia membungkam mulutnya. Tak ingin memperpanjang persoalan. ''Istirahatlah...''suruh Lee Joon sebelum meninggalkan ruangan. Masih dengan sikap dingin. Bahkan ia sama sekali tak menyentuh gadis itu meski sekedar untuk memeriksa suhu tubuhnya. ####### Dalam perjalanan menuju Seoul.... Yoona masih merasa gundah manakala melihat ekspresi di wajah Lee Joon. Meski ia telah terbiasa melihat wajah beku itu. '' Aku ingin minta maaf...'' ucap Yoona lirih. Memecah kesunyian di dalam mobil. Memulai percakapan. '' Aku tahu kakak mencemaskanku....''imbuh Yoona lagi. Lee Joon menoleh sebentar ke arah Yoona, lantas berkonsentrasi lagi pada kemudi. '' Kakak masih marah padaku?'' tanya Yoona hati-hati. ''Tidak.''sahut Lee Joon pendek. Dengan nada datar. Begitulah sifat laki-laki itu. Selalu dingin dan tanpa ekspresi. Yoona sedikit merasa lega mendengar jawaban Lee Joon. Ia juga tidak suka membuat laki-laki itu merasa disusahkan olehnya. ''Lain kali kau harus menjaga diri baik-baik, jangan membuat orang lain cemas.'' tandas Lee Joon kemudian. Menunjukkan perhatiannya. ''Baiklah''sahut Yoona. Mendadak ponsel Lee Joon berdering. Memutus percakapan kecil diantara keduanya. '' Halo.....Apa?....Bagaimana keadaannya?.....Baiklah aku akan segera mkkesana...'' Lee Joon mengakhiri hubungan telepon. Tampaknya sesuatu telah terjadi. Entah apa dan pada siapa. Yoona hendak bertanya, tapi urung begitu melihat ekspresi wajah Lee Joon. ''Masuklah , aku ada urusan lain'' suruh Lee Joon begitu mobil mereka berhenti di depan rumah. ''Kak....'' Namun Lee Joon telah melajukan mobilnya pergi menjauh. Tanpa menjelaskan sesuatupun pada Yoona. Gadis itu hanya bisa terpaku dalam tanda tanya... ###### Presdir sakit....begitu ucap pelayan siang tadi.Karena itulah Lee Joon pergi. Tapi ia sama sekali tak berkata apapun pada Yoona. Meski ayahnya sakit sekalipun. Kenapa? batin Yoona risau. Lee Joon selalu bersikap seperti itu. Selalu tertutup dan lebih suka memendam semua sendirian, padahal Yoona ingin sebaliknya. Lee Joon datang. Yoona tergopoh-gopoh menyambutnya di depan pintu. Ia tampak cemas melihat laki-laki itu. Namun tak begitu dengan Lee Joon. ''Apa yang terjadi Kak? Bagaimana keadaan ayah?'' serbu Yoona seraya mengekor langkah Lee Joon masuk ke dalam kamar. ''Dia baik-baik saja'' jawab Lee Joon. Laki-laki itu melepaskan jas yang melekat di tubuhnya. ''Kenapa Kakak tidak berterus terang padaku dan menyimpan semuanya sendirian? Aku juga mencemaskan keadaan ayah....''tandas Yoona. Lee Joon membalikkan tubuh dan menghadap Yoona. ''Kau tidak perlu cemas...'' ucap Lee Joon ringan ''Tapi...''kalimat Yoona menggantung. Karena gadis itu baru menyadari bahwa posisinya terlalu dekat dengan Lee Joon. Membuatnya merasa tidak nyaman. ''Jika aku yang sakit, apa kau juga akan mencemaskanku?'' pancing Lee Joon kemudian. Memojokkan Yoona di sudut sempit. Gadis itu tak berkutik. Bibirnya terkunci seketika. Lee Joon tersenyum pahit. ''Kau tidak bisa menjawabnya?''desak Lee Joon. ""Kenapa? Apa pertanyaanku terlalu sulit untuk kau jawab?''tanya Lee Joon geram. Membuat tubuh Yoona gemetar. Gadis itu menghindari tatapan mata Lee Joon yang terus mengejarnya. Lee Joon menghela nafas berat.''Karena itulah aku lebih suka memendamnya sendiri. Karena kau tidak pernah mencintaiku.'' tandas Lee Joon kecewa. Lantas meninggalkan Yoona yang terpojok kaku pada dinding dan tengah menatap punggung Lee Joon dengan mata berkabut.... ###### Yoona membenahi letak selimut yang tengah menutupi tubuh ayah mertuanya. Ia sudah berada di ruang rumah sakit semenjak beberapa menit yang lalu. Dengan izin Lee joon. Ia menjaganya untuk beberapa waktu. Seorang dokter masuk ke dalam ruang itu beberapa saat kemudian . Menyentak lamunan gadis itu. Ia tertegun menatap seorang laki-laki muda yang berpakaian putih itu. Ia merasa tak asing dengan seraut wajah itu. Benarkah ia pemilik kenangan musim dingin di bawah pohon sakura belakang sekolah yang selama ini selalu lekat dalam ingatannya? "Kak Jung Hyun...''panggil Yoona ragu. Ia sedikit takut salah mengenali orang. Dokter itu mengerutkan dahinya seraya berusaha mengingat identitas gadis itu. ''Yoona....''ucapnya.''Benarkah kau Yoona teman masa kecilku?''tanyanya kurang yakin. ''Ya''sahut Yoona seraya mengangguk pasti.'' Kakak masih ingat aku?'' tanya Yoonalagi. ''Tentu saja. Aku tidak menyangka kau sudah dewasa dan setinggi ini. Cantik pula. Padahal dulu kau pendek dan gemuk'' ujar dokter itu sembari tersenyum. Begitu juga dengan Yoona. Namun reuni kecil itu terusik begitu Lee Joon mendadak muncul dan mengacaukan segalanya. ''Oh Dokter Kim...'' sapa Lee Joon hangat . Disambut hangat pula oleh dokter itu. ''Bagaimana keadaan ayah saya? Apa dia sudah lebih baik?'' tanya Lee Joon. ''Dia sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Mungkin dua hari lagi sudah bisa pulang'' ucap dokter Kim memberi keterangan. Namun dokter itu buru-buru pamit dari ruangan itu. Menyisakan perasaan tak tentu dalam diri Yoona... ###### Akhirnya Yoona bisa mencuri waktu untuk menemui dokter Kim Jung Hyun, sekedar mencairkan kerinduan yang selama ini mendera hati dan jiwanya. Sembari menikmati segelas kopi panas di lorong rumah sakit... ''Maaf...aku tidak sempat berpamitan saat itu'' ucap Jung Hyun mengawali percakapan.''Kami terburu-buru pindah ke Seoul. Aku juga tidak sempat kesana setelah itu. Aku sangat sibuk dengan pendidikanku.Ku dengar kau sudah menikah dengan Tuan Lee. Selamat atas pernikahanmu. Tampaknya laki-laki itu baik. Kalian pasangan yang serasi.''tuturnya panjang. Yoona menghela nafas. Kenapa Kak Jung Hyun bicara begitu panjang disaat mereka mulai berbincang? batinnya sedikit kecewa. ''Apa kakak masih ingat dengan pohon sakura di belakang sekolah?" tanya Yoona mengalihkan topik perbincangan. ''Tentu saja. Dulu kita sering bermain disana.'' sahut Jung Hyun dengan tersenyum. ''Apa kakak tahu setelah kakak pergi, aku selalu menunggu disana. Berharap kakak pulang menemuiku. Bahkan saat musim dingin ibu selalu memarahiku karena aku hampir membeku kedinginan disana. Tapi kakak tidak pernah pulang...'' tutur gadis itu terbata. Ada segumpal kabut menghalangi tatap matanya. ''Yoona......'' Jung Hyun merasa tidak enak hati mendengar penuturan Yoona.Ia merasa bersalah terhadap gadis itu. ''Apa kak Jung Hyun tahu,aku mencintaimu kak...''tandas Yoona mengejutkan. Jung Hyun terbelalak mendengar pengakuan Yoona. Ia sama sekali tidak menduga bahwa kenangan masa kecil itu begitu lekat di benak Yoona.Terlebih lagi gadis itu telah menikah... "Yoona...Apa yang kau bicarakan? Aku selalu menganggapmu sebagai adikku, bahkan sampai sekarang...'' ujar Jung Hyun menanggapi perasaan Yoona. Yoona tercekat. Air mata telah meleleh di pipinya. Kesedihan tak bisa ia sembunyikan dari wajah pucatnya.Ia pikir Jung Hyun punya perasaan yang sama dengannya,ternyata tidak. ''Maafkan aku Yoona...aku tidak bermaksud membuatmu terluka.'' ucap Jung Hyun sekedar ingin meredam kesedihan Yoona. Tapi tampaknya kesedihan itu terlampau dalam... Gadis itu beranjak dari tempat duduknya lantas pergi meninggalkan Jung Hyun yang tertegun menatapnya. Tanpa kalimat namun air mata telah mengungkapkan segala kepedihan hatinya.... ###### ''Kau baru pulang?'' Pertanyaan dari bibir Lee Joon menghentikan langkah Yoona yang hendak menaiki tangga. "Ya.''sahutnya pendek. Tanpa menoleh. Ia sengaja menyembunyikan raut wajahnya dari penglihatan Lee Joon. Gadis itu hendak melanjutkan langkahnya kembali namun suara Lee Joon menghentikannya untuk yang kedua kali. ''Jadi karena laki-laki itu kau sanggup untuk membekukan tubuhmu?'' tanya Lee Joon dengan nada datar. Namun terdengar sinis. Yoona terperangah. Ia menoleh ke arah Lee Joon yang kini bergerak mendekatinya.Ia tampak terkejut dengan pertanyaan Lee Joon. Rupanya ia mendengar semua pembicaraannya dengan Jung Hyun di rumah sakit tadi. ''Aku tahu kau tidak pernah mencintaiku. Tapi aku sangat mencintaimu. Bahkan aku rela mati demi dirimu. Mungkin aku sudah gila.Tapi bagiku kau adalah satu-satunya wanita yang membuatku ingin hidup.''tutur Lee Joon dingin. Sementara Yoona hanya bisa tertunduk menyembunyikan matanya yang telah basah dalam beberapa detik saja. ''Apa tidak bisa kau berpura-pura mencintaiku meski cuma sehari saja?!!!'' teriak Lee Joon tiba-tiba. Amarahnya telah meledak . ''Kak....''isak Yoona seraya mencoba menggenggam lengan Lee Joon.Mencoba meredam amarah laki-laki itu dengan tangisnya.Ia hendak meminta maaf, tapi tak sanggup jika melihat kemarahan di wajah Lee Joon. Laki-laki itu menghempaskan tangan Yoona dengan kasar. Membuat gadis itu kaget hingga mundur beberapa langkah. ''Simpan air mata palsumu itu!'' tandas Lee Joon. Lantas ia pergi dari ruangan itu tanpa mempedulikan Yoona. Entah pergi kemana. Sementara Yoona jatuh terduduk di atas lantai dengan air mata yang kian menderas. ####### Lee Joon tak pulang semenjak hari itu. Bahkan saat presdir dibawa pulang kerumahpun, ia tak kunjung nampak. Mungkin ia terlalu marah pada Yoona dan enggan untuk melihat gadis itu lagi. Namun justru sikap Lee Joon menyisakan penyesalan dan rasa bersalah yang mendalam di hati Yoona. Tapi ia tidak tahu harus berbuat apa untuk memperbaiki suasana hati Lee Joon. Bahkan laki-laki itu mungkin telah kehilangan rasa pada Yoona, juga kepercayaan pada gadis itu. Yoona tertegun. Meratapi salju yang berjatuhan dari langit. Meresapi kesedihannya sendiri. Sembari melukis wajah dingin Lee Joon. Entah dimana gerangan dirinya. Namun selembar surat cerai telah ia kirimkan pagi tadi. Masih tergeletak di atas meja. Yoona tak bisa membayangkan jika Lee Joon akan secepat itu mengambil keputusan untuk bercerai. Yoona hampir tak bisa bernafas saat membayangkan ekspresi wajah Lee Joon saat terakhir kali mereka bertemu. Ternyata berpikir tentang kehilangan Lee Joon begini melukai perasaannya. Serpihan salju telah singgah di kepala gadis itu tatkala ia menapakkan kakinya keluar dari rumah Lee Joon. Dingin merambat ke tubuhnya dengan cepat.Namun sama sekali tak di pendulikannya. Mungkin jika ia mati beku semua perasaan menyesal dan bersalah itu akan terhapus begitu saja,batinnya dengan terus melangkah. Tak peduli salju kian gencar menyerang tubuhnya..... ###### "Yoona sakit" tandas Jung Hyun di depan meja kerja Lee Joon. Berharap laki-laki itu akan segera bangkit dan berlari ke rumah sakit. Tapi harapannya sia-sia. Laki-laki itu tidak bereaksi sama sekali. "Apa hubungannya denganku? Orang yang dia cintai adalah kau. Pasti dia lebih senang jika kau yang ada disana'' tandas Lee Joon acuh tak acuh. ''Dia sakit karena dirimu.Dia mengalami hipotermia dan dia sama sekali tidak mau makan.Apa kau akan membiarkannya begitu saja? Dia bisa mati setiap saat, kau tahu itu?!''tandas Jung Hyun keras. Menggugah hati Lee Joon. ''Dia sudah bukan istriku lagi. Jadi dia sakit atau tidak itu bukan urusanku''ucap Lee Joon teguh pada pendiriannya. Ia masih tampak tenang pada sikapnya semula. ''Ku pikir kau orang yang baik untuk Yoona, tapi ternyata aku salah. KasihanYoona, pengorbanannya sia-sia.''tandas Jung Hyun terdengar kecewa. Lee Joon hanya termenung setelah Jung Hyun pergi. Batinnya bergulat. Bayangan Yoona tampil di dalam benaknya. Gadis manis itu telah memporak-porandakan keangkuhan egonya. Karena senyum gadis itulah untuk pertama kalinya ia merasa jatuh . Ia jatuh cinta pada Yoona. Cinta pertama..... Ia dilanda dilema. Yoona tidak pernah mencintainya. Gadis itu terjebak dalam kenangan masa lalunya. Tapi sekarang ia tengah sekarat. Betulkah ia melakukan hal itu demi Lee Joon?? ###### Tubuh itu tampak rapuh dan lemah. Wajahnya tirus dan pucat. Ia terbaring kaku diatas tempat tidur dengan jarum infus menancap di tangannya. Seolah tak ada kehidupan dalam dirinya... Lee Joon menatap wajah Yoona dengan hati miris. Kenapa ia begitu bodoh sampai-sampai menyiksa dirinya sendiri?batin Lee Joon seraya meraih tangan Yoona yang kurus dan dingin. ''Bodoh.....''maki Lee Joon lirih.''Kenapa kau melakukan ini? Kau tahu kan, kalau aku benci melihatmu membeku. Kenapa kau masih melakukannya juga?! Bangun Yoona !!!'' teriak Lee Joon didekat telinga Yoona. Meski telah dicobanya untuk membendung air mata, tetap saja tak bisa. "Aku mencintaimu.....Bangunlah.''ucap Lee Joon lirih. "Aku tidak serius saat membuat surat cerai itu. Aku hanya marah saat itu. Tapi aku sudah tidak marah lagi sekarang....'' Namun tubuh Yoona masih belum bergerak juga.Membuat Lee Joon bertambah cemas melihatnya. Ia hanya bisa menggenggam jemari gadis itu erat-erat, seraya berdoa agar Yoona segera bangun. ''Apa kakak baik-baik saja?'' suara lemah itu menyadarkan tidur Lee Joon. Ia bergegas membuka mata dan mendapati Yoona telah sadar. ''Bodoh... Kau hampir mati dan masih sempat bertanya apa aku baik-baik saja,'' maki Lee Joon pelan. Ia segera mendekap tubuh Yoona dan berbisik padanya. ''Kelak jangan melakukan ini lagi. Kau mengerti?'' ####### Musim mulai beralih. Salju berangsur mencair. Matahari bersinar cerah. Suhu udara juga bertambah hangat. Musim semi telah tiba. Menggantikan musim dingin juga mengakhiri mimpi-mimpi masa lalu.....

Kamis, 17 Januari 2013

BASKET BOY


Lapangan basket sepi. Tidak ada siapa-siapa disana kecuali Donny dan bola basket miliknya yang dibiarkan tergeletak begitu saja diatas lantai. Cowok kelas 3SMU itu tengah duduk tertegun. Sementara peluh masih membasahi kening dan lehernya.Bahkan kaos tim basket sekolah yang melekat di tubuhnya juga basah pada bagian punggungnya. Serentetan omelan dan makian yang dilontarkan oleh pelatih tim basket sekolah pada sesi latihan tadi masih berputar di kepalanya. Bahkan ia bisa mengingat dengan jelas kata-kata kasar yang pelatih itu lontarkan padanya. Semua karena Donny tidak bisa fokus pada bola. Perhatiannya pecah.Terbagi entah kemana. Padahal pertandingan tinggal seminggu lagi. Sebagai pemain inti,harusnya Donny lebih serius ketimbang biasanya.Karena pertandingan minggu depan menentukan masa depannya sebagai pemain basket.Bukankah ia ingin menjadi pemain basket nasional seperti yang selalu ia cita-citakan selama ini? Donny menghela nafas panjang.Seolah-olah ingin menghempaskan semua beban yang memberati pikirannya. ######## Semua berawal dari perdebatannya dengan Rheina yang terjadi tiga hari yang lalu . Selisih pendapat yang pada akhirnya mengungkap kenyataan pahit tentang kisah cintanya. ''Aku cuma ingin kamu nonton aku main, Rhein.'' tandas Donny kala itu. Dengan nada rendah , agar gadis itu tidak salah paham dengan ucapannya. Rheina mendengus. Ia tampak tidak suka dengan ucapan Donny. ''Aku nggak suka basket, Don,'' sahut Rheina cemberut. Donny mendesah pelan mendengar alasan yang dilontarkan kekasihnya. ''Meski demi aku sekalipun?''pancing Donny . Sengaja ingin menguji gadis itu. Tapi gadis itu tak menyahut. Ia diam sembari membuang pandangannya jauh ke arah rumput-rumput ilalang yang tumbuh liar di belakang gedung sekolah mereka. ''Aku tahu kamu nggak suka basket,'' ucap Donny beberapa detik kemudian. Menyambung kalimatnya. ''Aku nggak memintamu selalu nonton aku main''lanjutnya.''Aku cuma ingin sekali-sekali kamu menyisihkan waktumu untuk nonton aku main. Sekali saja, Rhein.'' ucap Donny setengah memohon. Karena seingatnya, belum pernah sekalipun Rheina menontonnya main basket. Meski ia tidak suka basket, apa ia tidak bisa mengorbankan sedikit waktunya untuk melihat Donny main. Tapi Rheina masih saja mengunci bibirnya rapat-rapat. Seolah tak peduli pada perasaan Donny. ''Terus terang aku kecewa padamu,Rhein.'' lanjut Donny lagi. Kali ini ia mulai hilang kesabaran setelah melihat sikap pasif gadis cantik itu.'' Atau kamu memang benar sudah nggak mencintaiku lagi?'' desak Donny sedikit ketus. Memaksa Rheina untuk segera angkat bicara. ''Memang sejak dari awal aku nggak pernah mencintaimu.'' tandas Rheina tiba-tiba. Mengguncang hati Donny seketika.''Kupikir berpacaran dengan cowok populer dan banyak diperebutkan cewek-cewek di sekolah ini akan sangat menyenangkan. Tapi nyatanya nggak seperti yang kukira. Ternyata berpacaran denganmu sangat membosankan.'' Donny menatap seraut wajah di hadapannya. Ia tidak percaya gadis manis itu bisa mengatakan hal itu padanya. Rheina yang cantik dan populer , yang bisa mendapatkan hati cowok manapun termasuk dirinya.Apa Rheina memang seperti itu? Karena fisiknya yang sempurna lantas bisa mempermainkan hati cowok sesuka hatinya? ''Benarkah kamu orang seperti itu, Rhein?'' tanya Donny masih belum bisa mempercayai kenyataan yang baru saja diungkap oleh Rheina.'' Aku nggak percaya kamu bisa melakukan itu padaku, Rhein. Padahal aku sangat mencintai kamu.Apa nggak bisa kamu berusaha mencintaiku, atau berpura-pura mencintaiku sekalipun?!'' tanya Donny kesal. Geram. Emosinya mulai meluap. Raut wajahnya merah padam karena amarah . Namun dicobanya untuk tidak terbawa emosi. '' Maafkan aku,Don,'' ucap Rheina. Wajahnya sama sekali tak menunjukkan ekspresi bersalah. Pribadi macam apa Rheina sebenarnya?batin Donny heran. Rheina pergi menjauh. Meninggalkan Donny yang kian tenggelam dalam kekecewaan. ######## Donny belum beranjak dari tempat duduknya . Pikirannya masih dipenuhi dengan bayangan Rheina. Benarkah pacaran dengannya sangat membosankan seperti ucapan Rheina? batinnya. Dan gadis itu mau pacaran dengannya hanya karena ia populer di sekolah, bukan karena Rheina menyukainya. Sementara ia hanya memilih Rheina diantara sekian banyak gadis cantik yang mengincarnya. Mungkin saja ia terlalu bodoh dan hanya terpaku pada kecantikan fisik Rheina hingga ia mencintai gadis itu setengah mati. Padahal dari semula Rheina hanya ingin mempermainkannya. Donny tersenyum pahit. Menertawakan kebodohannya sendiri. Hanya demi seorang Rheina , ia bisa kehilangan konsentrasi latihan. Bukan hal yang penting untuk meratapi gadis macam Rheina.Basket jauh lebih penting dari apapun, tak terkecuali gadis bernama Rheina. ''Don! Nggak pulang?!'' Teriakan Indra menyadarkan cowok itu. Ia bergegas menyambar bola basket miliknya dan berlari ke arah sahabatnya. Ia telah berjanji untuk segera melupakan pecundang bernama Rheina dan lebih fokus pada pertandingan minggu depan........

Selasa, 15 Januari 2013

MEMORY OF SENGGIGI


Senggigi.... Matahari sudah tergelincir beberapa derajat dari atas kepala. Sinarnya juga sudah berkurang, tak seterik tadi. Angin semilir berhembus sejuk dari arah pantai. Segerombolan awan putih serupa kapas tampak bergerak lambat ke arah barat. Menjemput senja. Hans meletakkan papan selancarnya diatas pasir. Rasa penat memaksanya mengambil tempat duduk untuk beristirahat usai beraksi dengan papan selancarnya diatas ombak Senggigi. Cowok itu melepaskan lelah ditubuhnya seraya menerawangkan pandangan matanya ke arah pantai Senggigi. Menanti senja bergulir. '' Sendirian ?'' Sebuah sapaan lembut mengoyak lamunan Hans. Cowok itu mengangkat dagunya dan seorang gadis cantik bergaun putih telah berdiri di sebelahnya. Dengan senyum manis terkembang di bibirnya. Membuat cowok itu terkesima karena takjub. Gadis itu serupa bidadari yang jatuh dari langit. Cantik luar biasa ! '' Iya.'' sahut Hans tergagap. Lantas dengan salah tingkah ia menyilahkan gadis itu untuk duduk di sebelahnya. Dan tampaknya gadis itu juga menyambutnya dengan gembira. Aroma bunga segera menyapa hidung Hans begitu gadis itu duduk di sebelahnya. Membuat dada cowok itu bergetar tak karuan. Gadis cantik itu telah mencuri hatinya dalam hitungan detik saja! ''Liburan ?'' tegur gadis itu kembali. Ujung gaun putihnya dibiarkan jatuh terjuntai ke atas pasir. '' Hm.'' Hans mengangguk. '' Kamu sendiri?'' ia membalikkan pertanyaan. '' Sekedar mencari udara segar. Jakarta terlalu panas.'' sahut gadis cantik berambut panjang itu. Hans tertawa renyah. Kebetulan yang indah karena mereka berdua sama-sama tinggal di ibukota. Bukankah ada seribu kesempatan yang terbuka lebar untuk mengenal gadis itu lebih jauh lagi. Siapa tahu juga ia bisa mendapatkan hati gadis cantik itu, batin Hans berkhayal. '' Aku Martina. Kamu ?'' gadis itu memperkenalkan dirinya beberapa saat kemudian. '' Hans.'' sahut Hans pendek. Gadis itu tersenyum seraya mengamati raut wajah Hans. Entah apa yang sedang ia cari disana. '' Kenapa menatapku seperti itu ? Apa ada yang salah dengan wajahku ?'' sentak Hans pada gadis yang bernama Martina itu. Gadis itu tersenyum kecil. '' Rasanya kamu mirip dengan seseorang.''tandas Martina. '' Siapa ? Cowok kamu ?'' tebak Hans tanpa basa basi. Namun hanya senyum manis yang ia dapati di bibir Martina. Padahal ia sedikit penasaran dengan kehidupan pribadi bidadari manis itu. '' Kamu sering kesini ?'' tanya Martina kemudian. Mengalihkan topik permasalahan. '' Baru sekali ini.''sahut Hans.'' Entah kenapa tiba-tiba saja aku ingin pergi ke tempat ini. Semacam ada panggilan dari sana. '' papar Hans seraya menunjuk ke arah laut. Martina menatap arah yang di tunjuk Hans.Lantas ia menggumam, '' Pantai ini adalah tempat favoritku. Setiap kali aku punya masalah, aku pasti datang kesini.'' tandas Martina. '' Berarti saat ini kamu punya masalah.'' tebak Hans berani. Tanpa berpikir akan menyinggung perasaan si gadis. '' Tidak juga.'' sahut Martina pelan .'' Aku hanya sedang rindu pada seseorang, makanya aku datang kesini.'' imbuhnya. '' Kekasihmu?'' tanya Hans penasaran. Gadis itu mengangguk. Dan Hans bisa merasakan kecemburuan mulai menghinggapi hatinya. Betapa beruntungnya cowok yang bisa mendapatkan hati Martina. Seandainya ia bisa merebut Martina dari cowok itu........ '' Apa yang sedang kamu pikirkan ?'' tanya Martina tiba-tiba. Membuat Hans gelagapan seketika. Seolah gadis itu bisa membaca pikirannya. Sialan, batin Hans kesal. '' Tidak ada.'' sahut Hans cepat. Kikuk. '' Kekasihmu dimana? Apa dia tidak ikut kesini?'' desak Hans kemudian. Mengalihkan perhatian Martina sekaligus mengorek kehidupan pribadi gadis itu. '' Dia menikah dengan gadis lain.'' jawab Martina lirih. Penuh luka dan kecewa. Oh my God! teriak hati Hans. Gadis secantik itu dikhianati kekasihnya sendiri ?Betapa bodoh laki-laki yang telah mencampakkan Martina. Lagipula dimana otaknya , sampai-sampai tega membuang bidadari secantik Martina. Hans memaki-maki sendiri dalam hatinya. Entah pada siapa. '' Kasihan,'' gumam Hans nyaris tak terdengar. Namun ia merasa sedikit lega. Berarti kesempatan untuk mendekati gadis itu terbuka lebar baginya. '' Aku baik-baik saja Hans.'' ucap Martina pelan. Seraya tersenyum tipis. Namun gadis itu tak bisa menutupi secercah luka yang terpancar dari kedua bola mata beningnya. Menumbuhkan rasa iba yang mendalam di hati Hans. Sementara itu matahari telah bergerak ke barat. Menandakan senja telah tiba. '' Aku harus pergi sekarang, Hans.''ucap Martina berpamitan. Gadis itu bangkit dari tempat duduknya. Diikuti oleh Hans. ''Apa kita akan bertemu lagi setelah ini?'' tanya Hans. '' Tentu,'' sahut Martina sembari tersenyum. Membuat Hans berteriak girang dalam hatinya. Hans menatap punggung Martina yang bergerak menjauh pergi. Dan ia sendiri masih bertahan di tempat itu.Mungkin menanti matahari tenggelam sembari menyusun rencana mendekati Martina. Terlebih ia sudah mengantongi alamat gadis misterius itu. ~~~~~~~~~~~~ Benarkah ini rumah Martina, si gadis misterius yang ia temui di pantai Senggigi tiga hari yang lalu? batin Hans takjub. Cowok itu telah berdiri di depan sebuah rumah mewah bergaya Eropa di kawasan perumahan elite di tengah kota. Tapi alamat yang diberikan Martina memang mengarah pada rumah itu. Hans menghirup nafas dalam-dalam dan mencoba menata hatinya.Ia berusaha mengusir rasa gugup yang mendadak muncul tepat disaat ia hendak menekan bel pintu pagar rumah Martina. Setelah ia berhasil menenangkan perasaannya sendiri, cowok itu bergegas menekan bel seraya berdoa semoga Martina yang muncul dan membuka pintu pagar rumah mewah itu. Tapi rupanya doa Hans belum terkabul. Seorang pelayan tampak tergopoh-gopoh menuju ke pagar. '' Mau cari siapa ?''tanya pelayan itu tanpa membuka pintu pagar. '' Benar ini rumah Martina ?''tanya Hans balik. Namun pelayan berumur paruh baya itu mengernyitkan keningnya. Tanpa sepotong kalimatpun ia bergegas pergi dari hadapan Hans yang masih berdiri terpaku dibalik pagar. Sial, batin Hans jengkel. Cowok itu merasa kesal karena pelayan itu bersikap acuh tak acuh padanya. Sebagai seorang tamu , ia merasa di abaikan.Padahal ia juga bersikap baik, tapi.... Pelayan itu muncul kembali beberapa menit kemudian dan dengan serta merta ia membuka pintu pagar. Lantas menyuruh Hans untuk mengikuti langkahnya. Hans bingung dengan sikap pelayan itu. Namun ia merasa lega karena pada akhirnya ia bisa masuk ke dalam rumah Martina. Hans takjub begitu masuk ke dalam rumah itu. Berbagai perabotan mahal tampak mengisi ruang demi ruang rumah itu. Hans tak menyangka, ternyata Martina sekaya itu... ''Ehm...'' Hans terkejut. Ia baru menyadari jika ada seseorang didalam ruangan itu. Seorang wanita tua sedang duduk diatas sebuah kursi roda. Ia mengamati sosok Hans dari ujung kepala hingga ujung kaki. Mungkin dia adalah nenek Martina, batin Hans.Cowok itu buru-buru memberi salam pada wanita tua itu sebelum ia di anggap tidak sopan. '' Kamu siapa?''tanya wanita tua itu. Raut mukanya tampak serius. '' Saya teman Martina,'' tandas Hans berusaha sopan. ''Teman Martina?'' tampaknya wanita tua itu meragukan ucapan Hans. Terbukti dengan kerutan di dahinya yang sengaja ia lipat. Hans tersenyum kaku. ''Sebenarnya kami cuma bertemu sekali,'' jelas Hans kemudian. '' Kapan?'' tanya wanita tua itu cepat. '' Kapan kamu bertemu dengan Martina?'' ulangnya lagi. '' Tiga hari yang lalu.'' sahut Hans. ''Kebetulan kami bertemu di pantai Senggigi. Dan dia memberi alamat rumah ini.'' Wanita tua itu tampak kaget. Seolah-olah baru saja mendapat serangan jantung. Raut mukanya juga tak bisa menyembunyikan keterkejutan yang teramat sangat. Giliran Hans yang bingung. Ia menjadi merasa bersalah telah mengatakan pertemuannya dengan Martina. Mungkin seharusnya ia tidak mengatakan hal itu jika akan membuat wanita tua itu terguncang. '' Apa anda baik-baik saja?'' tanya Hans sedikit cemas usai melihat reaksi wanita tua itu. '' Ya.'' sahut wanita tua itu. '' Aku baik-baik saja.'' Hans menarik nafas lega. Ia sempat khawatir tadi. ''Kalau boleh tahu , dimana Martina sekarang? Apa dia baik-baik saja?'' tanya Hans kemudian. Hati-hati. Takut menyinggung. Wanita tua itu tak langsung menjawab. Hanya sorot matanya yang sayu menatap lekat-lekat ke arah Hans. Entah apa yang di lihatnya dalam diri Hans. '' Apa kamu benar-benar ingin tahu dimana Martina sekarang?''tanya wanita tua itu pelan. Hans mengangguk tanpa ragu. Tentu saja ia ingin tahu keberadaan bidadari cantik itu. Wanita tua itu menarik nafas panjang sebelum berkata-kata. '' Yang kamu temui tiga hari yang lalu bukanlah Martina.'' tandasnya membuat Hans kaget. Kalau yang ia temui saat itu bukan Martina, lantas siapa gadis itu? Siapa Martina yang sebenarnya? ''Martina sudah meninggal dua puluh tahun yang lalu.'' tandas wanita tua itu. Seketika membuat Hans terguncang hebat.'' Dia menenggelamkan diri di Senggigi. Dan tiga hari yang lalu adalah hari kematiannya,'' paparnya. Hans tertegun mendengar penuturan wanita tua di hadapannya. ''Martina datang padamu, karena kamu sangat mirip dengan kekasihnya. Kamu adalah satu-satunya orang yang di datangi arwah Martina setelah dua puluh tahun kematiannya.'' lanjut wanita tua itu kembali. ''Siapa nama kekasih Martina?'' desak Hans penasaran. '' Frans Darmawan.'' Hans tercekat. Bukankah itu adalah nama ayahnya? Jadi Martina adalah mantan kekasih ayahnya yang ia campakkan hanya demi untuk menikah dengan ibunya. ''Sebenarnya apa yang terjadi pada mereka berdua?'' tanya Hans kemudian. Sekaligus mengorek masa lalu ayahnya. ''Martina sangat mencintai Frans. Tapi sayangnya Frans tidak pernah membalas cinta Martina. Tepat di hari pernikahan Frans, Martina kabur dan menenggelamkan dirinya di pantai Senggigi. Itulah sebenarnya yang terjadi pada Martina.'' Hans mengerti sekarang. Sungguh malang nasib Martina. Namun ia juga menyayangkan sikap yang diambil gadis itu. Tidak seharusnya ia mengakhiri hidupnya sendiri dengan cara seperti itu. Cowok itu meninggalkan rumah Martina dengan dipenuhi berbagai macam pikiran tentang gadis misterius itu. Haruskah ia menceritakan pengalamannya bertemu dengan arwah Martina pada ayahnya??

Minggu, 13 Januari 2013

CINDERELLA JATUH CINTA


Laki-laki itu berdiri tegak.Terpaku beberapa jengkal dari tempatku berdiri. Ia diam, namun matanya lurus menatap ke arahku.Tanpa kalimat. Seolah hanya ingin memandangku tanpa ingin bertanya sesuatu.Tentang kabar sekalipun. Akupun sama takjubnya dengan laki-laki itu.Seperti terjebak di dalam lubang mimpi.Rasanya masih seperti kemarin, aku melihat sosoknya terakhir kali.Padahal lima tahun telah berlalu semenjak saat itu. Kami pernah bersama selama beberapa rentang waktu. Kami saling mencintai kala itu. Namun kami sama-sama punya ego yang tangguh. Dan karena ego itulah kami memulai perdebatan dan mengakhirinya dengan perpisahan. Kurun waktu lima tahun tampaknya telah mengubah dirinya menjadi pribadi yang lebih dewasa. Itulah yang bisa ku tangkap dari sorot matanya tatkala menatapku. Mungkin ego itu juga telah luruh dari hatinya. Ia tampak sedikit kurus, dan garis wajahnya juga tampak lebih tajam. Tapi ia tampak sehat dan baik-baik saja. Entah bagaimana hatinya sekarang. Apa ia sudah menemukan tambatan hatinya? '' Apa kabar Mey?'' sapanya datar. Mungkin ia sedikit takut untuk mengembangkan senyum. '' Baik.''jawabku lirih. Aku tidak tahu bagaimana menyambung pembicaraan ini agar lebih luwes lagi. Padahal dulu kami sering berdebat panjang lebar tentang suatu masalah. Tapi rasanya tidak mungkin mengulangi perdebatan kecil semacam itu. Entah mengapa suasana menjadi sekaku ini. Apa karena lima tahun berpisah membuat kami kehilangan chemistry itu? Sesungguhnya aku ingin sekali bertanya tentang kehidupannya selama ini. Tapi aku sama sekali tak punya keberanian. Aku takut akan menyinggung perasaanya. Mungkin juga aku takut akan melukai perasaanku sendiri. '' Mey!!'' Teriakan itu membuatku tercekat dan memaksaku membalikkan tubuh seketika. Sosok laki-laki lain telah hadir di hadapanku. Ia tampak tergesa berlari ke arahku. Dan aku tak berani untuk membalikkan tubuh untuk menatap sosok laki-laki di belakang punggungku. Sosok mantan kekasihku.... ''Sorry Mey,'' ucapnya. '' Udah lama nunggu?'' Aku menggeleng dan bergegas menyusul langkahnya menuju ke tempat parkir mobil. Tanpa menoleh lagi ke belakang, dimana sosok dari masa laluku masih berdiri disana. Padahal aku belum bertanya sesuatupun padanya. ######## Bayangan-bayangan masa lalu itu kembali mengusik pikiranku. Padahal kenangan bersama laki-laki itu telah ku kubur semenjak lima tahun lalu. Namun perlahan timbul kembali semenjak pertemuan tanpa sengaja kami siang tadi di depan supermarket. Masihkah aku mencintainya ? Hanya pertanyaan itu yang terus menerus berputar di kepalaku semenjak tadi. Setelah aku melihat sosoknya hadir kembali dalam hidupku. Sementara sekarang aku telah dimiliki oleh orang lain. Penyesalankah ini ? Aku tak mampu menemukan jawaban atas pertanyaanku sendiri. Lantas siapa yang bisa menjawab pertanyaan ini , jika bukan hatiku sendiri. Lamunanku pecah. Suara langkah kaki membuatku bergegas mengemasi lamunan. Aku menoleh dan mendapati Rendy telah berdiri di sampingku. '' Kamu sedang mikirin dia ?'' tegurnya. Entah menyindir atau menebak. Namun cukup menyinggung perasaanku. '' Maksudmu apa?'' tanyaku datar. Tak ingin memancing perdebatan sekecil apapun. '' Jadi benar apa yang orang-orang katakan tentang kamu?'' Aku mengernyitkan dahi. Tak mengerti arah pembicaraan Rendy. ''Bahwa kamu tidak pernah mencintaiku.'' Lanjut Rendy lagi. '' Bahwa kamu menikah denganku hanya demi hartaku saja. Benarkan Mey, kamu cuma Cinderella ?'' Cinderella? batinku geram.Laki-laki itu menyebutku sebagai Cinderella yang mengharapkan kekayaan belaka.Kenapa dia bisa melontarkan ucapan sekasar itu padaku? ''Sampai sekarangpun kamu belum bisa melupakan laki-laki itu. Oh, atau mungkin kamu menyesal dengan pernikahan kita?'' desaknya lagi. Ingin memojokkan posisiku. '' Cukup!'' aku berteriak lantang. Aku sudah tidak tahan mendengar olok-olokannya yang menurutku sudah keterlaluan. ''Orang tuaku memang miskin.'' tandasku. '' Kami tidak punya apa-apa untuk di banggakan. Kami makan seadanya dan tidak punya uang lebih untuk membeli barang-barang mewah sepertimu. Maka dari itui aku mau menikah denganmu, karena kamu kaya. Sekarang kamu puas ?!'' ucapku geram. Dengan nada tinggi pula. Tanpa menunggu jawaban Rendy, aku bergegas berlalu dari hadapannya. Emosiku sudah meledak. Aku tidak akan berkata apa-apa lagi hanya untuk membela diri. Toh dia tidak akan percaya pada apa yang aku ucapkan. Kekecewaan didalam dadaku sudah bertumpuk dan membuatnya sesak ketika aku bernafas. Meski aku tidak ingin menumpahkan cairan apapun dari mataku , tetap saja air mata cengeng itu mengalir juga dari sana. Sialan. Kenapa aku menjadi selemah ini? ####### Petang sudah tampak meremang. Sebentar lagi malam menjelang. Menutupi seisi kota dengan kegelapan. Bus yang ku tumpangi perlahan meluncur keluar dari terminal kota. Aku merebahkan kepalaku ke atas sandaran kursi sembari melemparkan pandangan keluar kaca jendela. Meski hanya pemandangan lampu-lampu yang ku dapati disana, tapi cukup untuk menghibur hatiku yang tengah dilanda kegalauan. Aku pergi diam-diam. Bukan. Mungkin lebih tepatnya kabur. Entah apa yang kupikirkan saat itu. Namun akhirnya jalan pintas itu yang kuambil. Meski bukan jalan penyelesaian yang sebenarnya, tapi ini mungkin yang paling bisa menenangkan pikiranku. Aku tidak tahu kemana bus ini akan menuju. Aku tidak melihat jurusan yang tertulis di papan tadi saat naik kendaraan ini. Aku hanya ingin merenung dan menelaah kembali pikiranku. Juga anggapan Rendy tentang diriku. Benarkah aku seperti yang dituduhkannya . Aku adalah Cinderella, seorang gadis miskin yang pada akhirnya bisa menikahi seorang pangeran. Namun terselip materialisme dihatiku. Benarkah aku orang seperti itu? Aku tidak tahu menahu. Pikiranku kosong. Bahkan aku tidak membawa apapun dari rumah Rendy. Ponselpun tidak. Aku hanya ingin menghilang dari hidupnya. Bukankah itu yang ia inginkan? Rasa kantuk mulai menyerang mataku perlahan. Tak bisa ku lawan. Aku hanya menyandarkan kepalaku senyaman mungkin lantas memejamkan mata.Aku tertidur setelah itu. ######## Aku baru terbangun saat bus yang ku tumpangi berhenti di sebuah terminal kecil di dekat sebuah kampung nelayan.Aku ikut turun dari atas bus seperti penumpang-penumpang lain lakukan. Meski aku tidak tahu menahu apa yang akan aku lakukan disana. Mungkin aku telah menyesatkan diriku sendiri. Pagi tiba. Matahari baru mengintip dari balik horison pantai. Indah. Pemandangan yang baru ku temui sekali ini. Udara dingin berhembus menembus kulitku. Bahkan jaketpun tak kubawa dari rumah. Para nelayan baru saja pulang dari melaut. Mereka tampak membawa hasil tangkapan kepada para tengkulak yang telah siap membeli hasil laut para nelayan itu. Aroma amis tersebar kemana-mana. Mengusik hidungku yang sensitif. Pemandangan matahari terbit yang kulihat dari tempat itu juga sangat indah. Membuatku sejenak lupa akan semua masalah yang dua hari ini datang bertubi-tubi dalam hidupku. Rasanya aku akan cocok tinggal di tempat ini, batinku. '' Apa yang sedang kamu lakukan di tempat seperti ini?'' Aku menoleh tatkala suara yang tak asing itu menyapa telingaku. Oh Tuhan!pekikku begitu tahu Rendy telah ada disampingku. Bagaimana dia bisa sampai di tempat ini? batinku heran. ''Aku mengikutimu dari rumah,'' ungkapnya. Tampaknya ia bisa membaca tanda tanya dimataku tentang keberadaannya ditempat ini. Aku membuang pandangan dari wajahnya. Jujur, aku masih merasa kecewa dengan ucapannya beberapa waktu yang lalu. ''Kenapa ?'' tanyaku kemudian. '' Kenapa mengikutiku ?'' '' Mey...'' ia mendekat dan meraih genggaman tanganku. Namun aku segera menepisnya. '' Aku minta maaf atas ucapanku kemarin,''' Aku tersenyum pahit mendengar permintaan maafnya. Beginikah sifat pribadinya ? Memojokkanku lantas meminta maaf seolah semua ini hanya sandiwara belaka. '' Apa yang kamu harap dari seorang Cinderella sepertiku ?'' tanyaku dengan nada sinis. '' Apa kamu tidak takut aku menghabiskan seluruh kekayaanmu ?'' Rendy menggeleng. '' Aku lebih takut kehilanganmu, Mey,'' tandasnya. Tanpa keraguan sedikitpun. Rayuan apa yang sedang ia lontarkan padaku ? Agar aku kembali padanya setelah ia menuduhkan macam-macam terhadapku ? Dan ia berharap aku percaya padanya. '' Apa kamu setakut itu kehilanganku ?'' pancingku dilandasi rasa tak percaya. '' Ya.'' sahutnya singkat. Kenapa mencintaiku sedalam itu ? batinku. Entah kenapa aku menjadi merasa sangat sedih begitu memikirkan laki-laki yang kini berdiri di hadapanku. Aku pernah tidak mencintainya. Bahkan mempermainkan perasaannya. Aku memang Cinderella seperti ucapan orang-orang.Aku pernah berpikir menikahinya atas dasar materialistis. Namun begitu aku jauh melihat kedalam matanya, aku baru menyadari apa yang telah kurajut selama dua bulan bersamanya. Meski tanpa kusadari. aku benar-benar merajut sebuah perasaan bernama cinta untuknya. Aku ingin sekali mengingkari perasaanku sendiri. Tapi tidak bisa. Terlebih saat aku melihat ke dasar telaga bening miliknya. Aku merasa semakin tenggelam kedalam nya. Aku jatuh cinta padanya.... Sebutir bening cairan keluar dari mataku. Entah karena alasan apa. Namun yang aku tahu, aku juga tak ingin kehilangan dirinya. '' Kenapa menangis ?''sentak Rendy mengejutkanku. Aku menggeleng perlahan seraya buru-buru mengusap air mataku. '' Kita pulang sekarang?'' tawarnya kemudian. Aku mengangguk kecil. Mengiyakan tawarannya.

Rabu, 09 Januari 2013

DIARY TERAKHIR

Tiga bulan...... Aku melangkah lesu keluar dari ruang dokter.Dengan hati kacau pula.Memangnya siapa dokter itu? Dia bukan tuhan,tapi bisa-bisanya dia membual dan memvonis umurku hanya tinggal tiga bulan.Aku sakit parah? Kanker otak!!! Aku terhenti.Kepalaku serasa berputar. Aku memang sering merasakan sakit seperti sekarang, tapi aku selalu mengabaikannya dan menganggapnya sebagai imbas dari kelelahan. Kadang aku juga menganggapnya sebagai anemia ringan. Tapi hasil diagnosa dokter ternyata berbeda dengan apa yang ku pikirkan. Apa yang harus aku lakukan ? batinku kalut. Pandangan mataku juga mulai berkabut. Rupanya kelenjar air mataku sudah penuh dan siap ingin mengalirkan tangis. Orang-orang disekitarku menatapku dengan pandangan aneh.Mungkin iba melihat air mata yang kini mulai berjatuhan bak gerimis di wajahku. Adilkah ini Tuhan? tanyaku dalam hati. Bukan, batinku menentang. Ini bukan masalah keadilan , Rin! Ini tentang takdir. Tuhan yang telah menuliskannya, manusia mana yang bisa menolaknya?Bukankah keterbatasan manusia hanya berusaha dan berdoa ? Sampai di situ otakku berhenti dan tak berpikir lagi. Toh percuma berpikir terlalu jauh.Hanya akan memperparah penyakitku saja. Lantas sekarang bagaimana??? Apa aku harus mengatakan tentang ini pada semua orang dan mengharap belas iba mereka. Termasuk pada Gio juga? Entahlah, aku tidak tahu. Sekarang aku hanya ingin pulang dan merebahkan punggungku di atas tempat tidur.Meski mungkin aku takkan bisa memejamkan mataku malam ini....... ************** Coretan-coretan tanganku diatas buku diary tak serapi tiga hari yang lalu. Juga tak ada nama Gio disana. Padahal selama dua tahun terakhir ini nama cowok itu tak pernah absen menghias lembar-lembar diary milikku. Mungkin besok aku akan menuliskannya kembali disana..... Gio datang! Cowok itu tampak sempurna dengan balutan sweater biru ditubuhnya. Seperti biasa ia menebarkan salam hangat kepada setiap orang yang ditemuinya. Tak terkecuali padaku. Ah, tapi kenapa hatiku tak merasa begitu gembira melihat senyumnya kali ini? "Hai Rin..." sapanya manis. Kusambut hanya dengan senyum kaku. Berteman dengan Gio selama dua tahun menumbuhkan perasaan khusus dihatiku. Sikapnya yang hangat dan penampilan sederhana telah membuatku menjatuhkan hati padanya. Dia juga yang telah membuatku rajin mengisi buku diary. Coretan puisi, lagu semua melukiskan perasaanku terhadapnya. " Lagi ngapain? " tanya Gio." Nulis diary ?" tebaknya kemudian. Aku mengangguk. Mengiyakan tebakannya. " Ohhh....." ia manggut-manggut melihat jawabanku. Berada sedekat ini dengan Gio membuat hatiku tak karuan. Tapi tiga bulan lagi aku akan pergi jauh dan takkan bisa melihat Gio . Juga sapa hangat dan senyum manisnya. Aku akan kehilangan itu semua.Oh Tuhan,kenapa mesti aku? Padahal aku belum mengatakan semua perasaanku padanya. Aku buru-buru memasukkan diary milikku ke dalam laci meja. Biarlah perasaanku tersimpan disana, diantara lembar-lembar buku diary. Mungkin sampai aku tiada nanti.... *************** Huh...... Aku hanya bisa mendengus kesal. Aku merasa seperti terjebak di dalam penjara. Kamar rumah sakit lengkap dengan bau obat-obatan yang membuatku mual tak ubahnya seperti penjara buatku. Kenapa aku mesti menghuni ruangan ini jika pada akhirnya aku akan mati? Mati.........Ah, kata itu sangat menakutkan buatku. Aku takut kehilangan semuanya. Aku tidak dapat membayangkan aku menghilang dari dunia ini.Aku takut..... Mama datang. Digenggamannya ada sebuah benda milikku, diary. Ia meletakkan benda itu di atas meja lantas duduk di tepi ranjang. Ia tampak lelah namun di sembunyikannya di balik senyum. " Mama sudah mengurus pengunduran dirimu dari sekolah seperti permintaanmu, " ucapnya datar. Aku tak menyahut dan hanya menatap wajah mama. Wanita itu tampak tegar, padahal ia akan kehilangan putrinya. Sama sekali tak tampak kekecewaan di matanya . " Apa mama akan baik-baik saja?" aku bertanya lirih. Namun mama tersenyum. Ia meraih kepalaku dan mendekapnya. Tanpa kalimat. Tapi aku bisa merasakan beban yang kini tengah mendera batinnya. " Maafkan Rin , ma...." tandasku. Untuk semuanya, batinku menambahkan. ***************** Aku menutup diary milikku usai menuliskan beberapa kalimat disana. Tentang kemoterapi yang ku jalani hari ini. Semua melelahkan, namun terpaksa ku jalani. Demi mama ..... Bintang-bintangpun tampak mengintip dari balik jendela. Mungkin saja mereka sedang resah menunggu kedatanganku. Karena setahuku orang yang telah meninggal akan menjadi bintang. Mungkin saja itu hanya dongeng untuk anak-anak, atau mungkin juga benar. Aku sadar tak akan bisa bertahan lebih lama lagi. Entah esok, lusa atau minggu depan aku akan pergi untuk selamanya. Aku sudah pasrah dan melepaskan semua, harapan, impian, cita-cita juga Gio. Cowok sederhana dan hangat yang padanya ku jatuhkan hatiku. Ia adalah cinta pertama sekaligus terakhir ku. Meski ia tak pernah ku miliki walau hanya sehari saja. Cukup aku, Tuhan dan diary yang tahu tentang perasaanku. {08 Januari 2013}