Senin, 27 Januari 2014

BALINESE GUIDE


Akhirnya Tiara menemukan sebaris namanya tertulis pada sebuah papan yang dibawa oleh seseorang yang sedianya menjemputnya di bandara Ngurah Rai. Gadis itu bergegas melambaikan tangannya sembari melangkah menuju kearah seorang cowok berpakaian adat Bali yang sedang menunggunya diantara para penjemput.
"Beauty Bali Resort?"tanya Tiara pada cowok yang sedang membawa papan bertuliskan namanya.
"Tiara Maharani?"cowok itu balas bertanya setelah mengiyakan pertanyaan Tiara.
"Hm,"angguknya seraya tersenyum.
"Perkenalkan nama saya Arya,"ucap cowok itu memperkenalkan diri dalam logat khas Bali."Mbak Tiara mau ke resort sekarang?"tawarnya kemudian.
Tiara menyetujui permintaan guidenya untuk langsung diantar ke resort yang telah dibookingnya melalui internet. Penjemputan ke bandara dan guide itu juga termasuk fasilitas dari resort yang sedang dituju Tiara. Lumayanlah, daripada bepergian sendiri di tempat wisata seluas ini. Lagipula ini adalah perjalanan pertama Tiara ke Bali.
"Tempatnya masih jauh Bli?"tanya Tiara seraya menatap kearah Arya yang sedang menyetir mobil.
Guide itu mengembangkan senyumnya yang hangat.
"Masih sejam lagi Mbak,"sahutnya ramah.
"Ohhh..."Tiara manggut-manggut. Pandangannya kembali dilempar keluar jendela. Kearah rumah-rumah penduduk yang sangat khas dengan suasana Bali. Juga pura-pura kecil yang berdiri ditiap sudut halaman rumah penduduk.
"Penduduk Bali selalu melakukan pemujaan tiap pagi dan sore. Mereka meletakkan sesaji di pura kecil yang dibangun di sudut halaman rumah. Itulah kenapa mereka membangun pura kecil disudut halaman rumah,"tutur Arya menjelaskan. Sepertinya cowok itu tahu apa yang sedang dipertanyakan gadis disebelahnya.
"Jadi begitu?"gumam Tiara. "Kupikir penduduk Bali sangat teguh menganut keyakinannya."
"Benar,"sahut Arya. "Mbak Tiara sudah pernah kesini sebelumnya?"tanya cowok itu ramah.
"Belum,"geleng Tiara. "Ini pertama kalinya aku kesini. Oh ya, jangan panggil aku Mbak dong, panggil aja namaku,"ucap Tiara kemudian.
Cowok itu tersenyum.
"Kalau begitu jangan panggil aku Bli, panggil saja Arya,"balas Arya.
Tiara tertawa kecil. Cowok itu manis juga, batin Tiara seraya melirik cowok disampingnya.
Mendadak tawanya terhenti karena ponselnya berdering menghentikan percakapan mereka. Sial, batinnya. Kenapa papa mesti meneleponnya disaat seperti ini?
"Ya Pap,"ucap Tiara membuka pembicaraan di telepon.
"Tiara nggak kabur Pap,"ucap Tiara lagi. "Tiara lagi ada di Bali..... Sendirian......Papa nggak usah khawatir. Tiara bisa jaga diri kok......Iya...iya...."
Gadis itu menutup telepon dengan kesal. Tampak sekali jika ia tidak senang mendapat telepon dari papanya.
Sementara Arya yang mendengar pembicaraan Tiara sama sekali tak berani bertanya. Menolehpun tidak. Takut menyinggung perasaan gadis itu.
Setelah sampai di Beauty Bali Resort, Arya segera mengantar tamunya pergi kekamarnya. Ia bertugas membawakan tas dan koper Tiara yang lumayan berat jika dibawa sendiri oleh gadis itu.
"Jika ada sesuatu yang Mbak Tiara butuhkan, bisa menghubungi saya atau petugas resort,"ucap Arya sebelum berpamitan.
"Jangan panggil aku Mbak dong..."keluh Tiara mengingatkan sang guide.
Arya tertawa kecil. Menyadari kekeliruannya.
"Maaf..."ucapnya sungkan.
"Thanks ya untuk hari ini,"ucap Tiara. Gadis itu merogoh sakunya dan mengambil selembar uang seratus ribuan dari sana untuk diserahkan pada guide itu sebagai uang tip.
"Nggak usah,"tolak Arya spontan membuat Tiara kaget. "Kami dilarang menerima uang tip dari tamu,"jelas Arya.
"Tapi nggak ada yang tahu kan, kalau aku ngasih kamu tip......"
"Maaf, saya nggak bisa menerimanya. Saya pergi dulu,"pamit Arya sopan,
Duuh nih cowok, batin Tiara heran. Kenapa ada orang seperti itu? Toh tidak ada yang tahu jika ia memberi cowok itu uang tip. Lagipula apa benar resort ini melarang karyawannya menerima uang tip? Peraturan macam apa itu?

@@@@@

Kuta tak begitu ramai. Mungkin karena bukan musim liburan, lagipula masih belum terlalu siang.
Tiara membidikkan kamera ponselnya beberapa kali ke arah pantai. Juga kearah wisatawan asing yang tampak berjalan disekitar pantai. Para pemain surfing juga tak luput dari bidikan kamera ponselnya.
Dimana guide pribadi Tiara?
"Arya!"teriak Tiara seraya melambaikan tangannya pada cowok berpakaian adat Bali yang sedang berbincang dengan beberapa wisatawan asing.
"Ya!"sahut Arya buru-buru pamit dan langsung berlari ke arah Tiara.
"Kamu ini guide siapa sih?"keluh Tiara kesal. Gadis itu memperlihatkan sikap sewot pada guide muda itu.
"Maaf, tadi mereka nanya tempat wisata didekat sini..."jelas Arya.
"Ya udah, sekarang kamu ambil fotoku,"ucap Tiara sambil menyerahkan ponsel miliknya pada Arya. "Yang bagus ya!"seru gadis itu.
Tiara berpose didepan kamera ponsel yang digenggam Arya. Cowok itu mengambil foto Tiara beberapa kali sampai akhirnya gadis itu menyuruhnya untuk berhenti.
"Setelah ini kita kemana?"tanya Tiara usai sesi pemotretan. Gadis itu tampak puas dengan hasil jepretan Arya.
"Ke tanah Lot. Bukannya kamu ingin sekali kesana?"ucap Arya mengingatkan. Tiara memang mengatakan ingin kesana sebelum mereka tiba di pantai Kuta tadi pagi.
"Ok,"sahut Tiara riang.
Mereka bergegas meninggalkan pantai Kuta sesuai jadwal yang telah diajukan Arya. Agar mereka tiba tepat waktu di tanah Lot.
"Disana ada sebuah mata air yang konon jika kita membasuh muka dengan air itu, maka kita akan terlihat awet muda,"papar Arya sambil memegang kemudi.
Namun Tiara tertawa kecil mendengar penuturan cowok itu.
"Kamu percaya dengan hal-hal seperti itu?"tanya Tiara masih dengan senyum terulas di bibirnya.
"Masyarakat disini sangat mempercayai hal-hal seperti itu,"ulas Arya. Ia sendiri malah tidak mengutarakan pendapatnya.
"Hal-hal seperti itu kan hanya mitos,"sahut Tiara.
Ditanggapi senyum oleh Arya.
Tiara mengambil sepotong biskuit dari atas dashboard mobil lantas mengunyahnya. Sarapan paginya mungkin sudah habis untuk berkeliling di sekitar pantai Kuta tadi.
"Kamu sudah lama menjadi guide?"tanya Tiara beberapa saat setelah menelan makanannya.
"Belum lama,"sahut Arya sambil tersenyum. Menunjukkan sikap ramah sebagai seorang guide.
"Kamu asli orang Bali?"cecar Tiara lagi.
"Almarhumah ibuku orang Bali,"ungkap Arya.
"Oh maaf, aku nggak tahu kalau...."
"Nggak pa pa,"potong Arya cepat. Lagi-lagi ia memamerkan senyum manisnya.
"Apa kamu sudah menikah?"desak Tiara penasaran. Rasa ingin tahu gadis itu sangat besar.
Arya tertawa renyah mendengar pertanyaan Tiara.
"Belum. Mana ada yang mau menikah dengan orang sepertiku,"ujar Arya merendah. Padahal tampang cowok itu lumayan ganteng, sikapnya ramah dan hangat. Cowok sederhana yang supel. Pasti banyak yang menyukai pribadi sepertinya, batin Tiara.
"Kamu punya pacar?"sekali lagi Tiara mengorek keterangan tentang kehidupan pribadi guidenya.
"Nggak,"sahut cowok itu polos.
Tiara manggut-manggut. Lantas menyimpulkan jika orang seperti Arya adalah pribadi pekerja keras. Mungkin saja ia punya adik-adik kecil yang membutuhkan biaya sekolah dan Arya ingin membantu keluarganya. Bukankah banyak orang-orang seperti itu?

@@@@@

Tiara mematut dirinya didepan cermin. Make up-nya sudah sempurna. Tinggal menunggu Arya menjemputnya.
Pagi ini mereka telah berencana pergi ke Denpasar untuk melihat pertunjukan tari Barong sekaligus berbelanja.
Karena besok Tiara harus pulang ke Jakarta sesuai janjinya, kalau tidak papa bisa memarahinya habis-habisan.
"Lho, Arya mana?"Tiara kaget saat membuka pintu kamarnya. Harusnya Arya yang datang, tapi malah orang lain yang datang.
"Saya yang bertugas mengantar Mbak Tiara ke Denpasar hari ini,"ucap laki-laki itu.
"Iya, tapi mana Arya. Dia sudah berjanji mengantarku ke Denpasar,"gadis itu masih ngotot mencari guide pribadinya.
"Saya disuruh menggantikan Pak Arya. Karena dia sedang ada urusan di luar kota,"jelasnya kemudian.
"Pak Arya?"gumam Tiara bingung. Bahkan laki-laki dihadapannya lebih tua ketimbang Arya. Tapi ia menyebut nama Arya dengan embel-embel "pak".
"Memang siapa dia? Kenapa Bapak menyebutnya pak Arya?'tanya Tiara lebih lanjut. Terdesak rasa penasaran teramat sangat.
"Dia pemilik resort ini. Apa Pak Arya tidak bilang?"
Tiara tersentak. Kaget mendengar fakta yang baru saja diungkap laki-laki yang ternyata adalah bawahan Arya.
"Saya dengar Pak Arya akan menikah. Saya sendiri juga tidak yakin. Tapi gosip yang beredar di resort seperti itu,"jelas laki-laki itu membuat Tiara berlipat keterkejutannya.
Gadis itu merasa telah dibodohi oleh sikap polos Arya. Pantas saja cowok itu menolak saat Tiara memberikannya uang tip. Penampilannya yang sederhana telah menipu mata Tiara. Cowok itu pandai berakting.
Gadis itu merasa jengkel pada guide pribadinya itu. Dasar penipu! jeritnya tersendat.
"Kita berangkat sekarang Mbak?"tegur laki-laki itu menyadarkan lamunan Tiara.
"Ya, ya,"sahut Tiara seperti robot. Ia sudah membayar mahal untuk paket wisata yang ditawarkan resort itu. Tidak mungkin ia membatalkannya hanya karena seorang penipu seperti Arya.
Huh, jika saja ia bertemu dengan Arya pasti Tiara akan menghajarnya habis-habisan.


@@@@@

Tiara meletakkan kantung-kantung belanjaannya diatas lantai begitu ia sampai di kamar. Perjalanannya ke Denpasar hari ini tak seindah yang ia rencanakan sebelumnya. Meski nalurinya untuk berbelanja telah terpenuhi, tapi tetap saja kurang lengkap tanpa guide muda itu.
Gadis itu terloncat kaget saat pintu kamarnya diketuk dari luar. Uh, padahal ia nyaris terlelap...
Tiara bergegas membuka pintu kamarnya. Barangkali saja layanan makan malam telah datang, pikirnya.
Arya?!
Gadis itu terperangah mendapati guide pujaannya itu telah berdiri didepan pintu.
Ada apa? batinnya gusar. Bukankah tadi ada yang bilang jika Arya sedang pergi keluar kota mungkin saja untuk mengurus pernikahannya. Tapi kok.......
"Sorry, aku tadi ada urusan mendadak, jadi nggak bisa mengantarmu ke Denpasar,"ucap Arya secepat mungkin sebelum Tiara sempat bertanya. "Bagaimana perjalanannya? Menyenangkan?"
"Ah, iya..."sahut Tiara tergagap. "Sangat menyenangkan,"ucapnya datar.
"Sepertinya kamu sangat lelah,"ucap Arya seraya mengamati raut wajah gadis dihadapannya.
"Nggak juga,"balas Tiara kaku. "Oh ya, aku dengar kamu adalah pemilik resort ini. Kenapa kamu nggak bilang sejak awal?"tanya Tiara sembari mengamati wajah cowok itu lamat-lamat.
"Oh..."cowok itu tersenyum kaku. Mungkin karena rahasianya telah terbongkar.
"Jadi berita itu benar?"tanya Tiara tak sabar.
"Sebenarnya aku nggak bermaksud begitu. Aku senang menjadi guide dan aku sangat menikmati pekerjaan itu,"ulasnya tenang.
Tiara tersenyum pahit.
"Dan aku merasa telah dibodohi olehmu, tahu nggak?"ucap Tiara kesal. "Pantas saja kamu menolak uang tip dariku saat itu. Kalau saja aku tahu kamu pemilik resort ini, aku juga nggak akan memberimu uang tip. Dasar penipu,"maki Tiara terang-terangan.
"Maafkan aku,"ucap Arya cepat. "Aku nggak ingin tamu ditempatku merasa dikecewakan seperti ini. Sekali lagi maaf,"ucapnya menyesal.
Tiara menghela nafas panjang. Apa gunanya marah pada orang asing seperti ini, batinnya kemudian. Toh besok ia juga akan pulang ke Jakarta dan tidak akan bertemu lagi dengan cowok itu.
"Baiklah,"ucap Tiara sejurus kemudian. "Aku akan memaafkanmu dengan satu syarat. Traktir aku makan malam. Bagaimana?"tawar Tiara membuka negosiasi.
"Aku setuju,"sahut Arya. "Satu jam lagi aku akan kesini menjemputmu."

@@@@@

Tiara sangat menikmati menu makan malamnya, steak dengan kentang goreng. Sembari menikmati suasana pantai dimalam hari. Berkesan romantis andai saja ia menikmati suasana itu dengan orang yang istimewa.
"Aku dengar kamu akan menikah,"ucap Tiara membuka obrolan. Seperti pada teman lama.
Arya mengerutkan kening.
"Apa ada yang memberitahumu?"balas Arya bertanya.
"Sayangnya iya,"sahut Tiara. "Apa benar kamu akan menikah? Bukannya kamu bilang nggak punya pacar?"desak gadis itu. Penasaran seperti biasa.
Arya tersenyum. Pasti ada salah satu karyawan resort yang membocorkan rahasia ini.
"Apa kamu keberatan menceritakannya padaku?"tanya Tiara melihat kebimbangan yang terlukis diwajah cowok itu. "Ataukah itu salah satu kebohongan lain yang belum kamu ceritakan?"
"Bukan begitu. Hanya saja..."
"Aku akan pulang besok. Dan mungkin kita nggak akan bertemu lagi. Malam ini anggap saja aku teman lama yang nggak pernah kamu temui,"ucap Tiara dengan maksud ingin memaksa cowok itu buka mulut. Tapi ia menggunakan kalimat yang halus.
Arya tersenyum. Gadis itu pandai merayu, batinnya.
"Sebenarnya aku dijodohkan,"tandas Arya berterus terang. Ia agak malu mengungkapkan perihal itu, tapi tak apalah.
"Dijodohkan?"seru Tiara setengah terkejut.
"Iya,"sahut Arya. "Sebenarnya aku nggak setuju dengan hal seperti itu, tapi aku nggak bisa menolak. Aku nggak mau menjadi anak durhaka karena menentang orang tua."
"Kasihan,"gumam Tiara iba. "Jadi kamu nggak mencintai gadis itu dong?"tanya Tiara.
Arya menggeleng.
"Bahkan aku belum bertemu dengannya,"ungkap Arya.
"Hah? Benarkah?"sela Tiara dengan mata melotot.
Arya menghela nafas panjang. Cowok itu hendak bertutur sesuatu pada Tiara.
"Aku pernah jatuh cinta pada seorang gadis,"ucap Arya memulai penuturannya. "Dia adalah gadis Bali. Aku membayangkan saat masih muda pasti ibuku mirip dengannya. Aku mengenalnya saat berkunjung pertama kali kesini. Kami pacaran beberapa bulan lamanya. Namun pada suatu saat dia mengatakan padaku dia akan menikah. Dia sama sepertiku.Dia dijodohkan oleh orang tuanya. Bagi masyarakat Bali pantang untuk menentang kehendak orang tua."
"Kalian berpisah sejak saat itu?"sela Tiara.
"Kami memutuskan untuk saling melupakan. Tapi bagaimanapun aku mencoba untuk melupakannya, aku nggak bisa. Setiap saat aku selalu teringat dia. Karena itulah aku membangun resort ini. Agar aku selalu merasa dekat dengannya,"papar cowok itu lagi.
"Kamu masih mencintainya sampai sekarang?"
Arya mengiyakan pertanyaan Tiara.
"Aku mencintainya sampai kapanpun,"tandas Arya tegas. "Aku hanya jatuh cinta padanya dan hanya mencintainya. Meski aku menikah dengan gadis lain."
"Benarkah?"tanya Tiara ragu. "Bukankah kita nggak bisa hidup hanya dengan satu cinta saja?"
"Mungkin bagi orang lain seperti itu, tapi bagiku nggak."
"Kalau begitu kasihan dong gadis yang kelak jadi istrimu,"sela Tiara.
"Cinta bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan."
Tiara mengerti.

@@@@@

Tiara baru saja tiba dari bandara beberapa menit yang lalu. Tapi papanya telah bersiap memberondongnya dengan setumpuk omelan.
"Kapan kamu akan bersikap dewasa?"sambut papa Tiara memojokkan gadis itu. Padahal Tiara baru saja membuka pintu kamarnya.
Tiara hanya mendesah menanggapi ocehan papanya. Toh percuma membalas omelan papa. Lagipula ia sendiri capek dan tidak punya energi lebih untuk berdebat dengan papanya.
"Apa setiap patah hati, kamu akan kabur seperti itu?"lanjut papanya. Masih mengomel.
"Lagian papa nggak pernah mengajak Tiara liburan,"gumam Tiara sewot.
"Kamu kan tahu papa sangat sibuk,"sahut papa Tiara. "Oh ya, besok malam kita akan kedatangan tamu dari jauh. Jadi kamu harus bersiap-siap."
"Tamu siapa?"tanya Tiara terkejut.
"Calon besan papa."
"Besan? Memang siapa yang akan menikah?"tanya Tiara polos.
"Ya kamu. Memang siapa lagi anak papa?"
"Apa?"sahut gadis itu ternganga.
"Kenapa? Bukankah selama ini kamu selalu dikecewakan terus. Itu tandanya kamu nggak bisa mencari calon suami sendiri. Maka dari itu papa berinisiatif menjodohkanmu dengan anak teman papa,"ujar papa Tiara memberitahu.
"Tapi pap...."
"Kamu nggak usah khawatir, calon yang papa pilihkan adalah orang yang baik,"tegas papa Tiara seraya berlalu dari kamar Tiara.
Uh... keluh Tiara. Semua ini pasti karena Arya. Karena dialah Tiara jadi ketularan dijodohkan. Tapi bukan Arya-kan orang yang akan dijodohkan dengannya?
Semoga saja pilihan papa benar, batin Tiara kemudian. Tidak seperti mantan-mantan kekasihnya yang terdahulu. Yang selalu mencampakkan Tiara begitu saja...

@@@@@

Tiara telah bersiap-siap. Namun gadis itu belum juga keluar dari kamarnya meski papanya telah menyuruhnya untuk turun.
Entah apa yang mengganggu pikirannya saat ini. Mungkin ia masih enggan untuk menemui tamunya.
"Tiara!"seruan papa Tiara membuat gadis itu kaget. "Kok belum turun juga? Tamunya sudah datang tuh..."
"Iya pap,"sahut Tiara tergagap. "Tiara akan turun sebentar lagi."
"Jangan lama-lama,"pesan papa Tiara hendak bergegas keluar dari kamar putrinya. "Kamu harus segera turun dan menemui Arya secepatnya. Jangan biarkan dia menunggumu terlalu lama."
Tiara tersentak kaget mendengar papanya menyebut sebuah nama. Arya? Benarkah papanya menyebut nama itu barusan?
Gadis itu bergegas menyusul langkah papanya turun ke ruang tamu. Dengan rasa penasaran luar biasa. Jangan-jangan Arya si guide Bali itu yang akan menjadi calon suaminya.
Dan langkahnya terhenti begitu sampai di ruang tamu.
"Tiara, ini Arya. Dia yang akan menjadi calon suamimu kelak..."
Papa memperkenalkan seorang cowok dihadapannya sebagai calon suami Tiara.
Dan gadis itu terperangah menatap seorang cowok yang konon akan menjadi suaminya kelak.
Oh Tuhan....
Ternyata dia bukan Arya si guide Bali itu. Untung saja, batin Tiara lega.

Selasa, 21 Januari 2014

MY BOYFRIEND IS A VAMPIRE ( season 2 )


Tanganku bergerak menyusuri barisan novel Twilight yang berbaris rapi didalam rak buku. Keempat seri novel itu membuatku sedikit takjub.
Ah, ternyata Sam benar-benar penggemar kisah itu, batinku saat melempar pandangan ke sudut kamar dan menemukan beberapa keping disc film Twilight. Memaksaku untuk tersenyum sendirian.
"Kenapa tersenyum?"suara Sam terdengar mengejutkan.
Aku membalikkan tubuh. Cowok itu telah berdiri persis dibelakangku dan sebuah cangkir kopi langsung disodorkan padaku.
"Aku baru tahu jika kau penggemar kisah itu,"cetusku seraya meraih cangkir itu dari tangan Sam lantas meneguk isinya sedikit.
"Oh,"Sam mengembangkan senyum.
"Apa kau terobsesi ingin menjadi seorang vampir?"gurauku seraya tergelak.
"Hm.... mungkin,"sahut Sam tampak ragu.
"Itu kan hanya khayalan Stephenie Meyer,"sahutku cepat. "Tidak ada vampir di dunia ini. Apa kau mengerti?"aku menepuk pundak Sam.
"Seandainya ada, apa yang akan kau lakukan?"tanya Sam masih membahas topik menyebalkan itu.
Aku terbahak mendengar pertanyaan konyol itu.
"Aku mau jadi salah satunya,"selorohku ngawur. "Dan orang yang pertama aku gigit adalah kau. Aku akan menghisap darahmu sampai habis. Dan kau akan mati kering dengan wajah keriput. Lalu aku akan tertawa keras dengan bibir yang berdarah pada ujungnya. Apa ceritaku terdengar hebat?"tanyaku seraya mengulurkan tanganku seolah sedang ingin menerkamnya.
"Sama sekali tidak menarik,"ucap Sam tanpa ekspresi. Membuatku sedikit kecewa.
"Baiklah, kalau begitu kau yang jadi vampir. Samuel Cullen,"ujarku mengalah. "Kau adalah adik Edward Cullen. Dan kau menyukai Bella Swan. Kau ingin merebut Bella dari tangan kakakmu...."
"Sudahlah,"potong Sam menyela. Cowok itu tampak tidak tertarik dengan pemaparan imajinasiku.
"Kenapa?"tanyaku ingin tahu.
"Hari sudah malam dan aku harus segera mengantarmu pulang sebelum ayahmu mengira aku menculik putrinya,"tegas Sam seraya menyambar kunci mobil yang tergeletak diatas meja.
Aku tak berkomentar. Aku hanya menyusul langkah Sam keluar dari kamarnya.

@@@@@

"Aku baru tahu jika daerah ini sangat sepi saat malam,"gumamku seraya mengedarkan pandangan ke kanan dan kiri jalan.
Jalanan sangat sepi dan minim penerangan. Apalagi disisi kanan dan kiri jalan banyak ditumbuhi pohon cemara. Membuat perasaanku sedikit gamang. Kenapa rumah Sam begitu terpencil dan jauh dari permukiman penduduk?
"Ayahku seorang mantan politikus,"ucap Sam mulai bertutur. "Di masa tuanya ayahku ingin hidup dengan nyaman dan tenang. Karena itulah ayahku membeli rumah di pinggiran kota. Awalnya aku tidak suka tinggal disana. Tempat itu jauh dari pusat perbelanjaan, sekolah dan pengisian bahan bakar. Tapi setelah terbiasa, aku malah menyukai tempat itu meski akses ke kota lumayan jauh,"papar Sam dengan pandangan lurus ke depan kemudi.
Aku mengangguk mengerti.
"Setiap minggu aku bertugas berbelanja persediaan makanan ke kota. Disaat seperti itu aku memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk pergi ke toko buku atau membeli keperluan pribadi,"imbuhnya lagi.
"Apa kau berencana tinggal disana selamanya?"selaku penasaran.
"Tentu saja,"sahutnya tegas. "Kenapa?"ia menoleh padaku sekilas.
"Ah tidak. Aku hanya ingin tahu,"ujarku sambil tersenyum kaku.
Aku juga tidak suka tempat ini. Bahkan saat aku baru pindah kesini seminggu yang lalu, aku nyaris gila karena merindukan rumah lamaku. Tapi perasaanku berubah perlahan saat aku mengenal Sam. Ia teman pertamaku di sekolah. Ia membuatku merasa nyaman berada di pinggiran kota seperti ini.
Mendadak Sam menginjak rem. Membuatku kaget dan jantungku nyaris berhenti berdetak. Untung saja aku memakai safety belt, jika tidak apa jadinya diriku sekarang...
"Ada apa Sam?"tanyaku penasaran.
Sam tak menjawab.
Aku mengikuti pandangan mata Sam yang lurus mengarah ke depan. Dan aku baru tahu apa penyebab Sam menghentikan mobilnya mendadak. Beberapa orang laki-laki tampak berdiri di tengah jalan seperti sengaja menghadang perjalanan kami. Aku tak bisa melihat wajah mereka satu-persatu. Aku hanya yakin mereka berjumlah empat orang dan semuanya laki-laki. Dan anehnya mereka seperti memakai jubah hitam.
"Apa yang mereka inginkan Sam?"bisikku ketakutan.
"Tenanglah,"ucap Sam seraya bergegas keluar dari mobil.
"Sam! Apa yang kau lakukan?"seruku tersendat. Apa Sam sudah gila? Ia bisa dibunuh oleh orang-orang itu.
Sam tampak berbincang dengan orang-orang itu. Seperti bernegosiasi. Mungkin juga bukan. Tapi Sam kembali ke mobil lima menit kemudian. Dan aku melihat orang-orang itu sudah tidak ada lagi ditempatnya saat aku mengalihkan pandangan ke arah Sam. Kemana mereka?batinku. Mereka menghilang begitu cepat.
"Siapa mereka Sam? Dan apa yang mereka inginkan?"cecarku saat Sam telah duduk disampingku kembali.
Sam meluncurkan mobilnya sebelum menyahut pertanyaanku.
"Mereka hanya memperingatkan kita untuk hati-hati. Karena daerah ini sangat berbahaya saat malam hari,"tandas Sam kemudian.
"Benarkah?"gumamku sedikit tak percaya. Ini terdengar aneh...

@@@@@

"Selamat pagi,"sapaku pada ayah yang sedang menikmati kopi sambil membaca surat kabar paginya. Seserius biasanya.
Aku langsung duduk dan menyambar sekeping biskuit keju dari atas piring.
"Semalam kau pulang jam berapa?"tanya ayah masih serius menatap surat kabar ditangannya.
"Jam sebelas. Aku tak begitu ingat,"sahutku ringan.
"Sebaiknya lain kali kau tidak pulang selarut itu,"tegur ayah sambil menutup surat kabar itu. Lantas ia meletakkan benda itu diatas meja. "Ayah dengar dulu ada sebuah keluarga yang membunuh penduduk daerah ini dan meminum darah korbannya. Kabarnya mereka adalah manusia penghisap darah. Entah berita itu benar atau tidak, ayah harap kau berhati-hati,"tutur ayah membuatku geli.
"Semacam vampir begitu?"tanyaku seraya tergelak. "Itu kan hanya mitos, Yah. Kenapa ayah mempercayai cerita semacam itu?"
"Entah itu mitos atau bukan, ayah harap kau berhati-hati. Dan jangan meremehkan cerita ayah,"tandas ayah sangat serius.
Aku menghela nafas dan mengiyakan permintaan ayah.
Dan saat disekolah, aku menceritakan perihal itu pada Sam.
"Yang kutahu cerita itu benar-benar terjadi,"komentarnya setelah mendengar penuturanku. Wajahnya tampak tidak sedang berbohong.
"Benarkah?"tanyaku mulai meragukan diriku sendiri.
"Kenapa? Apa kau takut?"
"Tidak juga,"sahutku cepat. Aku lebih takut jika aku tidak bisa melihat Sam lagi.
"Waktunya masuk kelas,"ucap Sam memperingatkan. Cowok itu menutup lokernya lantas melangkah pergi dari tempatnya berdiri.
"Tunggu aku Sam!"teriakku seraya berlari mengejarnya.

@@@@@

Apa dia juga menyukaiku?
Pertanyaan bodoh itu melintas di benakku tiba-tiba. Memaksaku melirik ke arah tempat duduk Sam. Cowok itu sedang fokus pada guru yang tengah sibuk menjelaskan tentang teori "Big Bang".
Padahal pelajaran itu sangat membosankan. Tapi sangat menyenangkan bagi Sam. Aku dan dia benar-benar pribadi yang berbeda.
Perkenalan kami belum genap dua minggu. Sejauh ini kami masih berteman. Apa pantas aku menyatakan cinta padanya?
"Kau tidak makan siang?"
Teguran Sam membuatku sadar jika teori "Big Bang" telah usai dan waktu istirahat telah tiba.
"Aku tidak lapar,"sahutku kaku. Kenapa aku berubah gugup seperti ini?
Sam tertawa.
"Aku tahu perutmu kosong. Kenapa bilang tidak lapar? Kau tidak sedang diet kan?"desaknya seolah tahu isi perutku.
"Apa kau seorang paranormal?"tanyaku curiga.
"Tidak juga. Tapi aku pernah mempelajari dari buku cara membaca pikiran orang,"jelasnya.
"Apa ada buku seperti itu?"tanyaku menyahut. "Apa kau juga tahu apa yang sedang kupikirkan sekarang?"tanyaku lagi. Kali ini lebih hati-hati.
"Sedikit,"sahutnya.
"Benarkah?"tanyaku bertambah gugup. "Kau tahu aku menyukaimu?"tanyaku kemudian. Dengan volume suara yang lebih rendah dari sebelumnya.
"Apa?"seru Sam tampak kaget. Sepertinya ia belum tahu hal ini sebelumnya. Aku tahu ekspresi wajah seperti itu.
Aku terdiam dan merutuki kebodohanku sendiri. Aku menyesal dengan apa yang baru saja aku ucapkan tadi.
"Apa kau marah?"tanyaku pelan. Ada ketakutan tersembunyi didalam nada suaraku.
Sam membuang pandangannya ke tempat lain. Sepertinya ia tidak senang dengan pengakuanku.
"Aku tidak marah,"ucapnya seraya menatapku kembali. "Hanya saja aku tidak punya perasaan yang sama denganmu. Maafkan aku,"ucapnya kemudian. Ia menepuk pundakku lantas pergi dari hadapanku sejurus kemudian.
Menggoreskan baris luka didalam hatiku.

@@@@@

Aku hanya bisa tersenyum pahit mengenang peristiwa tadi siang.
Aku memang bodoh. Sikapku terlalu terbuka dan mungkin Sam tidak menyukai tipe gadis yang terlalu jujur sepertiku.
Tapi kenapa kau terlalu baik padaku Sam? batinku seraya menatap langkahku sendiri. Sikapmu membuatku sempat melambungkan rasa percaya diriku terlalu tinggi. Harusnya kau tidak boleh terlalu dekat denganku dan membuatku jatuh cinta seperti ini....
"Emma!"
Aku menghentikan gerakan kakiku. Seseorang meneriakkan namaku dengan keras.
Didepanku telah berdiri seorang laki-laki berjubah hitam. Wajahnya tak begitu jelas. Namun aku memperkirakan usia laki-laki itu sekitar 40 tahun. Dan sosoknya mengingatkanku pada orang yang menghadang mobil Sam malam itu.
"Kau siapa?"tanyaku sedikit takut. Namun aku berusaha tenang dan tidak menunjukkan kecemasanku.
Laki-laki itu tertawa serak.
"Mana Sam? Dia kekasihmu bukan?"tanya laki-laki misterius itu.
Sam? batinku bertanya. Dia mencari Sam?
"Aku tidak bersama Sam sekarang. Dan dia bukan kekasihku. Kami hanya berteman,"jelasku.
Laki-laki itu menyeringai. Ia berjalan mendekat dan melangkah mengitari tubuhku. Seolah sedang mengincar mangsa....
"Tapi Sam sangat mencintaimu,"tandasnya membuatku tercekat. Siapa sebenarnya laki-laki berjubah hitam itu? Dan apa hubungannya dengan Sam?
"Darimana kau tahu?"tanyaku terbata. Sebenarnya itu adalah pertanyaan terbodoh yang pernah kulemparkan pada orang asing.
Laki-laki berjubah itu tersenyum pahit. Ia belum sempat menjawab pertanyaanku karena sebuah teriakan menghentikan percakapan kami.
"Emma!!"
Aku berpaling dan mobil ayah telah berhenti beberapa inchi dari kakiku.
"Apa yang sedang kau lakukan disana?!"seru ayah lagi.
"Aku hanya......"
Aku hendak menunjukkan bahwa aku sedang berbincang dengan seseorang, namun ketika aku mengalihkan pandangan laki-laki itu telah lenyap dari hadapanku.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, tapi laki-laki itu tak ada. Seperti ditelan bumi.
"Ayo pulang!"teriak ayah kemudian.
Aku berlari dan langsung masuk ke mobil ayah dengan perasaan tak karuan.

@@@@@

Siapa laki-laki berjubah itu, dan apa hubungannya dengan Sam? Bagaimana ia bisa mengatakan kalau Sam sangat mencintaiku? Apa Sam menceritakan semua hal tentangku pada laki-laki itu? Karena laki-laki itu tahu namaku dan sepertinya ia tahu banyak tentangku.
Laki-laki itu mengatakan jika Sam mencintaiku, tapi kenapa Sam mengatakan hal yang sebaliknya? Mana yang harus kupercaya?
"Emma..."
Lamunanku pecah saat kudengar ayah mengetuk pintu kamarku.
"Pintunya tidak dikunci,"seruku beberapa detik kemudian. Buku-buku pelajaran mulai kukemas.
Ayah masuk dan langsung mengambil tempat duduk ditepi tempat tidurku.
"Apa kau sedang sibuk?"tanya ayah datar.
Aku menggeleng.
"Aku sudah selesai,"ucapku seraya bergerak ke sisi ayah. "Ada apa?"tanyaku ingin tahu.
"Ayah baru saja membaca di buku literatur lama tentang daerah ini,"ucap ayah memulai cerita. "Buku itu menyebutkan kalau didaerah ini dulu dihuni oleh suku Aztec kuno. Dan beberapa abad kemudian mereka punah dan hanya menyisakan sekelompok penyihir saja. Konon mereka menjadi korban sekelompok vampir yang bermigrasi ke daerah ini. Ayah tidak ingin mempercayai cerita ini, tapi teman ayah bilang kalau para penyihir itu masih hidup sampai sekarang. Mereka tinggal didalam hutan. Dari legenda yang ada menyebutkan mereka hidup abadi untuk membalas dendam pada para vampir yang telah membinasakan suku mereka. Dengan melakukan ritual upacara saat gerhana matahari, mereka bisa menghidupkan ketua suku mereka yang telah meninggal ratusan tahun yang lalu. Saat matahari telah tertutup bulan dengan sempurna, mereka menyiramkan darah vampir keatas mayat ketua suku mereka yang telah menjadi mumi. Dengan mengucap mantera tertentu maka mumi itu akan hidup kembali."
Aku hanya tercengang mendengar penuturan ayah. Antara percaya dan tidak.
"Apa cerita seperti itu benar-benar ada?"tanyaku ragu.
Ayah menggeleng.
"Ayah tidak tahu pasti. Tapi jika kisah itu benar-benar ada pasti akan sangat hebat,"gumam ayah.
Aku tak berkomentar.
"Tidurlah,"suruh ayah seraya mengusap kepalaku. "Hati-hatilah saat pergi keluar rumah."
"Baik ayah..."

@@@@@

"Apa?! Kau bertemu dengan laki-laki berjubah hitam itu?"seru Sam tercekat usai mendengar laporanku perihal kemarin. Ia tampak kesal sepertinya.
"Dia tidak menyakitiku Sam. Dia hanya mengatakan sesuatu...."
"Mengatakan apa?"desak Sam tegang.
"Pertama dia menanyakanmu. Lalu dia mengatakan kalau kau mencintaiku,"ucapku hati-hati agar Sam tidak terlalu kaget.
Tapi sepasang mata Sam melotot setelah aku selesai berucap. Ia tampak kaget.
"Siapa sebenarnya laki-laki berjubah itu Sam? Dan apa hubungan kalian?"desakku penasaran. Aku mengguncang lengan Sam pelan.
Sam diam. Cowok itu mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Seperti sedang menerawang. Mungkin juga berpikir sesuatu.
"Jauhi mereka,"tandas Sam. "Mungkin saja mereka punya niat buruk terhadap kita."
"Iya, aku tahu. Aku tidak boleh bertemu dengan orang asing. Tapi siapa sebenarnya mereka?"tanyaku ngotot.
Sam mendesah berat. Sepertinya ia enggan mengatakan perihal laki-laki berjubah itu. Tapi aku sangat yakin ia tahu sesuatu.
"Sam..."
Sekali lagi aku mengguncang lengannya.
"Mereka itu penyihir,"gumam Sam berterus terang. Namun cukup membuatku kaget. Karena tiba-tiba aku teringat dengan cerita ayah semalam.
"Apa mereka ada hubungannya dengan suku Aztec?"tanyaku pelan.
"Kau mendengar legenda itu?"
Aku mengangguk.
"Aku mendengarnya dari ayah semalam,"tuturku. "Apa cerita itu benar?"
"Aku tidak tahu. Tapi jika bertemu dengan mereka sebaiknya kau menghindar,"ucap Sam. Cowok itu menarik tanganku menuju ke kelas.
Sam...
Apa kau benar-benar mencemaskanku?

@@@@@

Emma.....
Suara ibu terdengar memanggilku dari kejauhan. Suaranya serak seperti sedang menahan sakit.
Memaksaku terjaga dari tidur malamku.
Ohh...
Keringat dingin menetes dari keningku. Padahal udara malam ini sangat dingin, tapi mimpi tentang ibu membuatku terbangun dengan wajah dan leher berkeringat.
Apa ibu sedang merindukanku? batinku seraya berjalan keluar dari kamar. Aku ingin mencari udara segar diluar rumah.
Malam begitu sunyi dan mencekam. Sementara dari arah hutan terdengar suara-suara aneh. Mirip serigala...
Bulu kudukku merinding. Aku baru menyadari jika tempat ini seperti menyimpan kekuatan magis. Mungkin semua ini berkaitan dengan legenda lama itu.
Aku terkesiap dan langsung membalikkan tubuh. Aku mendengar suara gemerisik dari arah semak-semak disamping rumah. Seperti langkah seseorang, atau jangan-jangan itu adalah langkah binatang buas. Oh tidak...
Saat dikuasai rasa takut yang mencekam sesosok bayangan berkelebat cepat dihadapanku. Lantas meringkus tubuhku dengan gerakan tak terduga.
Aku tak sempat menghindar ataupun berteriak. Kekuatan tubuhku perlahan melemah. Dan kesadaranku mulai menurun seketika sampai akhirnya aku kehilangan kesadaranku sepenuhnya.

@@@@@

Aku tersadar dari pingsan dan mendapati tubuhku terikat pada sebuah tiang kayu. Aku sedang disandera!
Otakku mulai bekerja merangkai kejadian demi kejadian sesaat sebelum aku diculik. Bayangan hitam itulah yang membawaku ke tempat misterius mirip sebuah gua.
Pandanganku meneliti sekitar. Ada sebuah batu berbentuk balok besar didepan sebuah patung berbentuk kepala manusia. Mirip kepala suku Indian kuno. Sepertinya balok batu itu adalah tempat persembahan yang ditujukan untuk patung kepala Indian itu.
Legenda suku Aztec! pekikku dalam hati. Ini adalah tempat suku Aztec tinggal.
Oh Tuhan, batinku panik. Apa yang akan mereka lakukan padaku?
Beberapa orang berjubah hitam datang.Mereka menatapku sekilas. Dan aku berpura-pura pingsan saat itu juga.
Mereka berbicara dalam bahasa asing yang tak kumengerti. Mereka meletakkan sesuatu didekat patung kepala Indian. Sepertinya beberapa macam buah-buahan. Mungkin untuk mengadakan sebuah upacara ritual.
"Akhirnya kau datang juga!"
Aku membuka mataku seketika saat mendengar laki-laki berjubah itu berteriak. Sepertinya ada seorang lagi yang datang ke tempat itu.
Seorang laki-laki muda masuk ketempat itu. Dilihat dari penampilannya sekilas ia mirip seseorang.
Astaga! pekikku tersendat. Sam....
Apa dia benar Sam? Tapi kenapa ia tampak berbeda.
"Lepaskan dia!"teriak Sam tanpa menoleh sedikitpun padaku.
Aku baru menyadari jika cowok itu mengalami perubahan. Seperti bermutasi gen.
Rambutnya berubah kemerahan dan wajahnya tampak pucat pasi. Seolah tak ada darah yang mengalir disana. Dan yang lebih mencengangkan, kuku-kukunya memanjang dan runcing. Sorot matanya tampak bersinar kehijauan. Dan giginya bertaring!
Ohhh...
Jika saja aku tak terikat pada tiang kayu ini, mungkin aku sudah ambruk ketanah.
Jadi legenda Aztec itu benar? batinku shock. Aku adalah umpan untuk menjerat Sam. Karena dia adalah vampir yang akan dikorbankan saat gerhana matahari tiba. Dan dengan darah Sam, ketua suku Aztec akan bisa dihidupkan kembali. Semua demi melunasi hutang dendam masa lalu.

@@@@@

"Maaf, karena kau melihatku seperti ini,"ucap Sam lemah. Pasti rantai besi itu sangat menyakiti tubuhnya.
Luka gores dan lebam disana sini tampak jelas karena para penyihir itu melepaskan sweater Yang membalut tubuh Sam.
"Apa kau baik-baik saja?"tanyaku cemas. Jarak beberapa jengkal memisahkan kami berdua.
"Aku seorang vampir,"tandasnya seraya mencoba tersenyum."Aku lebih kuat menahan rasa sakit dari pada manusia biasa,"jelasnya.
"Kenapa kau diam saja kalau kau lebih kuat?"tanyaku protes.
"Mereka akan menyakitimu dan aku tidak mau kau terluka sedikitpun. Kematian lebih terhormat daripada aku hidup dengan mengorbankan orang yang kucintai,"ucapnya tegas.
"Bodoh!"seruku. "Harusnya kau melawan mereka dan menyelamatkanku. Setelah itu kita bisa keluar dari sini..."
"Tempat ini sudah dimanterai..."
Perbincangan kami terhenti. Seorang laki-laki berjubah datang.
"Kapan kau akan melepaskan dia?"tagih Sam pada laki-laki berjubah itu.
"Dia tidak akan pergi kemana-mana. Karena dia akan menjadi penerus suku kami. Setelah ketua hidup kembali, gadis itu akan menikah dengan ketua. Dengan cara itulah kami bisa meneruskan generasi yang sempat terputus. Karena dalam darah gadis itu mengalir darah suku Aztec yang dulu sempat melarikan diri dari tempat ini. Dan dia adalah satu-satunya wanita yang tersisa. Takdir yang membawanya kembali ke tempat ini. Rencana yang sempurna bukan?"
Tawa laki-laki berjubah itu terdengar keras. Menggema ke seluruh gua.
Aku dan Sam hanya ternganga mendengar keterangan penyihir itu. Benarkah aku adalah keturunan suku Aztec yang nyaris punah itu?
Mendadak terjadi keributan diluar sana. Memecah ketenangan didalam gua.
Terjadi perkelahian antara para penyihir dengan beberapa orang yang tiba-tiba menyeruak masuk. Wujud mereka mirip dengan Sam. Kelompok vampir!
Dengan gerakan gesit dan cepat para vampir itu menyerang para penyihir. Mereka mencakar dan memukul tanpa ampun.
Salah seorang diantaranya membebaskan Sam.
"Cepat lari dari sini,"ucap Sam seraya membuka ikatan tali yang menjerat tubuhku.
"Bagaimana denganmu?"tanyaku cemas.
"Kami akan mengatasi mereka. Pergilah sekarang!"
Aku menuruti perintah Sam. Aku berlari sekuat tenaga keluar dari tempat itu. Tanpa berpikir apa-apa lagi.
Perlahan suasana menjadi gelap sesaat setelah aku keluar dari gua itu. Gerhana matahari!
Aku menoleh kebelakang dan mendapati gua itu mulai runtuh perlahan. Sedangkan Sam dan para vampir itu masih berada didalam sana.
"Sam!!!"

@@@@@

"Emma...."
Aku terbangun saat mendengar seseorang menyebut namaku. Tubuhku terguncang perlahan.
"Kau baik-baik saja?"
Sam menatapku dengan cemas. Ia tampak letih dan tubuhnya terluka disana sini. Namun ia masih berusaha menopang tubuhku dipangkuannya.
"Kau terluka Sam..."ucapku lemah.
"Aku baik-baik saja. Syukurlah kau selamat,"ucap Sam senang.
Sam sudah tampak normal kembali. Tak seperti beberapa waktu yang lalu.
"Kau sudah kembali seperti semula."
"Ya, aku hanya akan berubah saat aku tak bisa mengendalikan emosiku,"ungkapnya.
"Kenapa kau tidak pernah mengatakan hal ini padaku sebelumnya?'tanyaku seraya berusaha bangkit.
"Kau pasti akan membenciku jika tahu aku adalah seorang vampir,"ucapnya.
"Aku tidak membencimu meski kau seorang vampir. Bella mencintai Edward dan menerimanya meski ia seorang vampir sekalipun,"tandasku.
"Ini hal yang berbeda,Emma. Kita tidak bisa menyatukan perbedaan meskipun kau memutuskan untuk berubah menjadi vampir sekalipun. Bahkan dikehidupan berikutnya..."
"Apa karena aku seorang keturunan Aztec?"
Sam diam. Dan sikapnya membuatku tahu bahwa dugaanku benar.
Legenda Aztec kuno tetap berlaku. Selamanya mereka akan mengutuk para vampir yang telah membinasakan suku mereka. Tidak ada toleransi meski aku dan Sam saling mencintai.
Apa legenda itu bisa diubah akhir ceritanya?

@@@@@

Aku tak bisa menemukan Sam dimanapun disudut sekolah. Rumahnya juga kosong. Sepertinya ia meninggalkan tempat itu sesaat setelah kejadian hari itu.
Ia tak pamit dan tak memberi kabar. Ia meninggalkan aku dan menghilang tanpa jejak. Hanya sepasang sepatu olahraga miliknya yang tertinggal didalam loker miliknya.
Andai saja aku bisa berbuat sesuatu untuk mengubah jalan cerita ini....
Andai saja kekasihku bukan seorang vampir...

Rabu, 15 Januari 2014

PERJODOHAN ROMANTIS (season 2)


"Apa?! Loe dijodohin?"pekik Sissy kaget. Matanya berbinar terang. Untung saja gadis itu tidak tersedak nasi yang sedang dikunyahnya. "Keren loe Be!"pujinya pada Bella dengan nada kagum.
Bella tercengang melihat reaksi sobat kentalnya. Nih anak aneh banget reaksinya, batin Bella heran. Biasanya orang yang mendengar tentang perjodohan di zaman serba internet seperti sekarang akan menertawakan hal semacam itu. Tapi rupanya Sissy tidak berpikir seperti dugaannya.
"Emang loe dijodohin sama siapa Be? Cakep nggak cowok itu?"cecar Sissy antusias.
"Lumayanlah,"gumam Bella sambil meneguk es lemon favoritnya. "Dia tuh anak temen mami gue. Umurnya lima tahun lebih tua dari gue. Gayanya sih lumayan oke. Lulusan sarjana ekonomi. Kayaknya sih cowok itu nggak neko-neko kalo dilihat dari penampilannya. Dan loe tahu, dia buka coffee shop lho..."
"Yang bener?"tanya Sissy penasaran. "Kapan-kapan kita mampir kesana yuk. Gue kan pingin lihat calon suami loe."
"Pingin lihat calon suami gue apa nyari kopi gratis?"tebak Bella cepat.
"Kok loe bisa tahu sih Be?"Sissy nyengir lucu.
"Tahu dong..."
"Eh Be,"ucap Sissy seraya menyenggol lengan Bella. "Loe suka nggak sama tuh cowok? Karena gue tahu loe tuh paling selektif kalo disuruh milih cowok."
Bella tersenyum tipis. Dan jawaban Bella sudah bisa ditebak dari raut wajahnya.
"Suka dong,"sahut Bella malu-malu. "Kayaknya dia tuh tipe gue banget Sis. Gue yakin banget kalo dia jodoh gue,"tandas Bella mantap.
"Duuh... yang lagi falling in love,"sindir Sissy. "So sweet."
Bella tersipu.Pipinya berubah memerah seketika.
"Apaan sih,"gumamnya malu.
"Bayarin makanan gue dong Be,"rengek Sissy beberapa detik kemudian. Rupanya gadis itu ingin memanfaatkan situasi ini demi keuntungannya sendiri.
Belle mendengus. Ia paling hafal dengan sifat Sissy yang satu ini.
Tapi tak apalah, batinnya kemudian. Mumpung ia lagi senang sekarang.
"Tapi lain kali loe yang bayar, ok?"
"Sip!"
"Balik yuk Sis, udah sore nih,"ajak Bella sejurus kemudian. Gadis itu meneguk minumannya sampai tak bersisa.
"Duh nih anak,"gumam Sissy jengkel. "Apa loe nggak bisa ketinggalan kartun Pororo sehari aja?"tanyanya seraya buru-buru menghabiskan suapan terakhirnya.
Bella cekikikan. Sissy hafal betul kebiasaannya nonton film kartun Pororo.
"Yuk ah,"paksa Bella seraya meraih tasnya dari atas meja.

@@@@@

"Cowok loe yang mana Be?"bisik Sissy begitu sampai di coffee shop yang konon milik calon suuami Bella. Gadis itu celingak celinguk mencari sosok terkeren di balik meja kasir.
"Itu, yang pakai kemeja biru laut,"sahut Bella dengan berbisik pula. Ia melambai ke arah cowok yang dimaksudnya.
Bella mencari sosok yang dimaksud sahabatnya itu.
Cowok itu memang tampak kalem dan penampilannya lumayan oke. Wajahnya juga diatas standar. Sepertinya cowok itu jauh lebih dewasa dari Bella. Pantas saja Bella setuju dijodohkan dengan cowok itu...
"Cowok loe keren Be,"puji Sissy dengan berbisik lagi.
Bella tersenyum bangga mendengar pujian sahabatnya. Bim memang seperti kado terindah untuk Bella...
"Nona-nona mau minum apa?"tawar seorang waiter sesaat setelah kedua sahabat itu mengambil tempat duduk di salah satu sudut coffee shop.
"Apa aja deh,"sahut Bella cepat. "Loe mau minum apa Sis?"tanya Bella pada Sissy yang bengong memandangi waiter ganteng itu.
"Oh, gue mau moccacino aja,"sahut Sissy tergagap.
Sesaat setelah waiter itu pergi...
"Kok bukan cowok loe yang melayani kita Be?"tanya Sissy terdengar seperti sebuah protes.
"Namanya Bim,"ucap Bella memberitahu. "Dia kan bos disini, mana mungkin dia disuruh melayani customer,"belanya kemudian.
"Tapi waiter yang tadi cakep juga..."gumam Sissy seraya melirik ke arah kasir.
"Loe naksir dia? Ntar biar gue bilang sama Bim biar kalian di comblangin,"ujar Bella berbisik. Karena waiter yang mereka maksud datang membawa pesanan mereka.
"Terimakasih,"ucap mereka serempak.
Waiter itu telah pergi...
"Bim kok nggak kesini sih Be?"tanya Sissy seusai meneguk moccacino pesanannya.
Bella mendesah pelan.
"Dia kan sibuk Sis. Nggak enak gangguin orang kerja,"ujar Bella sok diplomatis. "Tapi loe kan ceweknya Be,"ujar Sissy ngotot.
Sissy benar. Bagaimanapun juga dia kan ceweknya Bim. Harusnya dia menyisihkan waktunya sebentar untuk menemui Bella. Apalagi Bella ingin sekali memperkenalkan Bim pada Sissy.
Bella segera bangkit dari tempat duduknya dan beranjak ke tempat Bim berada. Gadis itu tampak berbincang sebentar dengan Bim, dan beberapa saat kemudian ia berhasil menyeret lengan Bim ke tempat Sissy berada.
"Sis, kenalin nih. Ini Bim,"ucap Bella memperkenalkan Bim pada Sissy.
Lega rasanya hati Bella setelah memperkenalkan Bim pada sahabatnya.
"Udah sore Be. Sebentar lagi Pororo mulai nih. Loe nggak mau ketinggalan nonton kan?"ucap Sissy setelah beberapa lama kemudian.
Ya ampun nih anak, batin Bella jengkel. Sissy pasti sengaja membuka rahasianya didepan Bim.
"Kalian mau pulang sekarang?"tanya Bim seolah mengerti maksud Sissy.
"Iya,"sahut Sissy seraya nyengir. "Bella tuh paling seneng sama Pororo. Ya kan Be?"
Sial, gerutu Bella kesal. Dengan gerakan spontan kakinya menendang ujung sepatu Sissy. Membuat gadis itu kesakitan.
"Kalau begitu kami pulang dulu,"pamit Bella seraya menyambar lengan Sissy dan segera menyeret sahabatnya itu pergi dari hadapan Bim.
"Loe sengaja buka kartu gue didepan Bim kan?"serang Bella saat mereka berdua telah keluar dari coffee shop. Gadis itu tampak marah tapi Sissy hanya menahan tawa melihat reaksi sahabatnya.
"Loe sopan banget didepan Bim. Lagi jaim nih?"sindir Sissy balas menyerang Bella.
Huh, Bella mendengus. Gadis itu mati kutu. Tak bisa membalas serangan Sissy. Sial....

@@@@@

Bella bolak-balik melihat jam di ponselnya. Gadis itu sudah siap sejak sepuluh menit yang lalu, tapi yang ditunggunya belum juga muncul.
Ah Bim...
Kenapa ia tega membuat Bella menunggu selama itu? Padahal mereka telah berjanji akan pergi nonton malam ini.
Apa jalanan macet? Ataukah terjadi sesuatu padanya di jalan? batin Bella mengira-ngira. Gadis itu dilanda gelisah teramat sangat.
"Sorry Be,"tiba-tiba saja Bim muncul dan mengejutkan gadis itu.
Bella tersenyum dan hilanglah semua kegelisahan di hatinya.
"Aku tadi lupa kalau ada janji nonton,"ucap Bim enteng.
Bella tertegun mendengar penjelasan Bim. Lupa? batinnya kecewa. Janji sepenting itu ia lupakan? Padahal Bella sudah bersiap semenjak dua jam yang lalu hanya untuk berkencan dengan Bim.Sementara Bim menganggap kencan ini bukan hal yang penting. Apa ia sengaja ataukah Bim memang seorang pelupa?
Gara-gara kejadian itu mereka terlambat tiba di bioskop. Dan ujung-ujungnya film yang ingin ditonton Bella sudah mulai sebelum mereka datang.
Bella benar-benar kecewa.
"Bagaimana kalau kita cari makan aja?"tawar Bim mencoba mengobati kekecewaan Bella.
Bella setuju. Paling tidak, ada sesuatu yang bisa mengobati kekesalan hatinya.
Akhirnya mereka mampir di restoran sea food sesuai permintaan Bella. Gadis itu memesan ikan bakar pedas dua porsi karena Bim memberinya izin untuk memilih menu makanan untuk mereka berdua.
"Kayaknya lezat nih,"gumam Bella senang saat seorang pelayan datang membawakan pesanan ke atas meja mereka.
Gadis itu sudah tak sabar untuk menyantap makanan didepannya.
Bim tersenyum kaku. Cowok itu mengikuti gerakan Bella yang mulai menyuapkan nasi ke mulutnya.
"Bagaimana? Enak kan?"tanya Bella antusias. "Tempat ini adalah tempat makan favoritku. Setiap liburan aku pasti datang kesini bareng keluarga,"tuturnya sembari mengunyah.
"Oh..."Bim hanya manggut-manggut mendengar penuturan Bella. Tampaknya cowok itu tidak seantusias Bella.
"Kok nggak dihabisin sih?"cecar Bella saat tahu Bim telah menyelesaikan makannya.
"Aku udah kenyang. Sebelum kesini aku makan sesuatu tadi,"ucap Bim.
Hmmh...
Lagi-lagi Bella merasa dikecewakan oleh Bim. Kenapa berkencan dengan Bim tidak seindah yang ia bayangkan? Perbincangan mereka terkesan kaku dan seolah Bim tidak serius ingin berkencan dengan Bella.
Cowok itu tidak sekeren diluarnya....
Mungkinkah Bim merasa canggung karena mereka dijodohkan? Tapi kenapa mesti canggung, bukankah Bella telah menunjukkan ketertarikannya pada Bim? Atau Bim sama sekali tidak punya ketertarikan pada Bella?

@@@@@

"Gue pulang dulu Be!"seru Sissy seraya melambaikan tangannya pada Bella. Dan gadis itu balas melambai dengan tak bersemangat.
Peristiwa semalam masih disimpan Bella dalam ingatannya. Tidak mungkin ia bercerita pada Sissy tentang kencan gagalnya. Pasti ia akan menertawakan Bella habis-habisan. Terlebih hari sebelumnya ia memperkenalkan Bim pada Sissy dengan sangat bangga.
Hari inipun ia telah meminta Bim untuk menjemputnya disekolah. Tapi Bella tidak yakin Bim bisa melakukannya. Karena gadis itu punya firasat buruk tentang itu.
Menit ke menit tanpa hasil. Bim tak kunjung tiba. Apa ia lupa janjinya lagi?
Ponsel Bella berdering tepat disaat gadis itu hendak menghubungi Bim.
"Sorry Be, aku nggak bisa jemput kamu. Aku harus nganter mama ke salon. Kamu nggak pa pa kan pulang sendirian?"suara Bim berderet diseberang sana.
Payah! Bella menutup sambungan telepon tanpa sepatah katapun. Lagi-lagi ia dikecewakan oleh Bim.
Ini sudah dua kali, batinnya seraya menaiki bus yang berhenti di halte depan sekolah. Berapa kali lagi ia mesti dikecewakan cowok itu?
Ini semua salah mami, batinnya kesal. Mami pasti sudah salah pilih. Harusnya ia menyelidiki dulu sebelum menjodohkan seseorang dengan Bella.
"Mami yakin dengan pilihan mami?"
Mami Bella yang sedang memasak kaget melihat putrinya tiba-tiba bertanya seperti itu padanya. Gadis itu baru tiba dari sekolah dan langsung menyerbu maminya dengan pertanyaan aneh seperti itu.
"Maksud kamu apa? Datang-datang langsung nanya aneh-aneh..."ucap maminya cuek.
"Apa mami yakin dengan calon mantu mami?"tanya Bella memperjelas maksud pertanyaannya. Gadis itu mencomot tempe goreng yang baru saja diangkat dari atas penggorengan.
"Bella,"desis maminya geram melihat kelakuan putrinya. Betapapun ia sangat menyukai makanan itu tetap saja tidak dibenarkan mengambil makanan tanpa mencuci tangan terlebih dulu. Kebiasaan buruk Bella tak pernah bisa hilang meski sudah ratusan kali maminya memperingatkan gadis itu.
"Tentu saja mami sangat yakin dengan pilihan mami,"ucap mami Bella kembali pada topik semula. "Papi kamu juga sudah setuju. Lagian kamu bilang kamu juga suka dia. Lantas apa masalahnya?"
Bella tak menyahut. Ia memang sudah menyetujui perjodohan itu dan pantang baginya untuk menarik kembali ucapannya. Karena gengsi gadis itu terlalu tinggi. Lagipula apa kata Sissy nanti jika ia berubah pikiran....
"Ganti baju dulu Be,"suruh maminya kemudian. "Cuci tangan dan cepat makan."
"Baik Mi."

@@@@@

Kaktus???
Bella hanya melongo manakala Bim menyodorkan sebuah pot kecil dengan tanaman kaktus didalamnya.
Tuh cowok bego atau tolol sih? batinnya heran. Kenapa memberikan tanaman berduri itu pada seorang gadis? Bukankah biasanya cowok memberikan bunga mawar pada seorang gadis sebagai tanda cinta? Tapi ini kok....
"Apa ini?"tanya Bella bingung.
"Ini kaktus Be,"jawab Bim datar.
Iya, semua orang juga tahu kalau itu tanaman kaktus, batin Bella bersungut-sungut. Tapi untuk apa memberikan tanaman berduri itu padanya?
"Untuk apa?"tanya Bella menahan geram.
"Untuk kamu dong. Sebagai permintaan maafku kemarin,"ucap Bim menjelaskan.
Bella tersenyum pahit. Mana ada orang menyampaikan maaf dengan tanaman gurun berduri itu? Konyol sekali pemikiran cowok itu...
"Tapi aku lebih suka mawar ketimbang kaktus, Bim....."
Giliran Bim yang tersenyum tipis.
"Mawar akan layu dalam tiga hari Be,"ucapnya masih dengan tersenyum tipis. "Tapi kaktus akan bertahan dalam keadaan sekering apapun."
Hufft...
Bella mendesah pelan. Tak paham maksud Bim.
"Ya udah deh,"ucap Bella kemudian. Mengalah. Tangannya segera menjangkau pot kaktus itu dari tangan Bim dan meletakkannya didekat jendela.
"Aku balik dulu ya,"pamit Bim buru-buru. "Ada urusan yang harus aku tangani."
Bella mengangguk malas. Gadis itu bahkan tak mengantar Bim ke depan pintu.
Menyebalkan, batin Bella kesal. Cowok itu terlalu cuek menurut Bella. Entah bagaimana perasaan Bim padanya. Tapi gadis itu mulai menyangsikan perasaannya sendiri pada Bim....

@@@@@

"Hah?!"pekik Sissy nyaris melompat dari bangkunya. "Masa sih Bim kayak gitu?"tanyanya tak ,percaya pada Bella usai mendengar penuturan sahabatnya itu tentang Bim.
Bella hanya mengangguk pelan.
"Cowok aneh..."gumam Sissy tak begitu jelas.
"Maka dari itu gue bingung Sis,"ucap Bella memotong. "Sebenernya dia tuh cinta gue atau nggak,"imbuhnya tampak galau.
Sissy diam. Namun sepertinya gadis itu sedang berpikir.
"Gue sayang dia Sis,"ucap Bella kemudian. "Tapi sikapnya itu yang bikin gue ragu. Dia kayaknya cuek dan biasa-biasa aja ke gue. Kayaknya gue bukan orang yang penting bagi dia. Apalagi pas dia lupa sama janjinya, kayaknya dia nggak merasa bersalah banget. Gue merasa diabaikan olehnya Sis. Kayaknya dia tega banget sama gue..."
"Tapi kelihatannya Bim nggak kayak gitu deh,"sela Sissy.
Bella menghela nafas sebelum melanjutkan ceritanya kembali.
"Terus kaktus itu,"lanjut Bella bersemangat. "Kalo loe jadi gue, loe bakal milih mana dikasih mawar atau kaktus?"
"Ya jelas mawar dong,"sahut Sissy cepat. "Mawar kan lambang cinta."
Bella terdiam. Mungkin ia sudah kehabisan kalimat untuk menggambarkan sosok Bim.
"Kenapa loe nggak tanya aja perasaan dia sama loe secara langsung?"usul Sissy mengutarakan idenya.
"Gengsi dong,"sahut Bella setengah berseru.
"Dasar loe Be,"maki Sissy sembari menepuk punggung Bella dengan keras. "Dari dulu sampai sekarang gengsi loe tetap tinggi aja. Sekali-sekali turunin dong gengsi loe itu, kan demi kepentingan loe juga. Biar loe tahu dengan jelas gimana perasaan Bim sama loe. Biar loe nggak dilanda kegalauan tingkat nasional kayak sekarang,"cerocos Sissy mirip kaleng rombeng.
Bella tak langsung menyahut. Ia tampak berpikir sebentar.
"Mana mungkin gue nanya perasaan dia Sis,"ucap Bella sejurus kemudian.
"Kenapa?"timpal Sissy. "Loe takut terluka?"
Tentu saja, batin Bella. Mereka kan dijodohkan. Jadi bisa saja selama ini Bim melakukan semua itu karena mamanya, bukan karena Bella. Begitulah jalan pikiran Bella...

@@@@@

"Bella!"pekik mama Bim begitu melihat calon mantunya itu berdiri didepan pintu rumahnya. Wanita itu tampak girang melihat kehadiran gadis itu.
"Siang Tante,"sapa Bella sesopan mungkin.
"Kemana aja, kok baru sekarang mampir?"sahut mama Bim. "Tapi Bim lagi ada di cafe. Nggak pa pa kan? Oh ya, yuk masuk,"suruh mama Bim mempersilakan tamunya masuk.
Bella menyerahkan titipan dari maminya untuk mama Bim. Kue brownies buatan mami Bella....
"Mami kamu kok repot-repot sih,"ucap mama Bim. "Duduk gih, biar tante ambilin minum."
Mama Bim melangkah ke dapur sebelum Bella sempat menyela. Padahal Bella ingin segera pulang.
Tapi Bella tak duduk seperti perintah mama Bim. Gadis itu malah tertarik dengan jajaran pigura yang berdiri di atas meja dekat televisi.
Foto-foto lama terpajang disana. Mama dan papa Bim. Juga adik perempuan Bim. Dan ada seorang anak laki-laki yang bertubuh gemuk. Wajahnya mirip Bim. Tapi mana foto Bim? batin Bella mengamati isi pigura itu satu persatu.
"Diminum jusnya Be,"suara mama Bim terdengar mengejutkan gadis itu.
Bella berbalik dan bergegas duduk di atas sofa.
"Apa Tante punya anak laki-laki lain selain Bim?"tanya Bella penasaran. Gadis itu meneguk minumannya kemudian.
Mama Bim menggeleng.
"Lalu siapa anak laki-laki bertubuh gemuk itu? Apa dia keponakan Tante?"desak Bella ingin tahu.
"Oh..."mama Bim tersenyum tipis. "Itu Bim lima tahun yang lalu,"ungkap mama Bim mengejutkan Bella. Gadis itu terperangah tak percaya.
"Apa?"mulut Bella ternganga. Seperti takjub.
"Sebelumnya Bim memang gemuk. Saat itu beratnya 130 kilogram,"tutur mama Bim menguak rahasia tentang anaknya. "Karena dia terlalu gemuk teman-temannya sering mengolok-olok Bim. Mereka menganggap Bim orang aneh sehingga mereka mengucilkan Bim. Bim nggak punya teman saat sekolah. Dia menghabiskan waktu dirumah dan nggak pernah pergi keluar. Bim merasa minder karena tubuhnya,"papar mama Bim panjang.
Bella tertegun menyimak penuturan mama Bim.
"Bim nggak punya rasa percaya diri sama sekali saat itu,"lanjut mama Bim lagi. "Dia merasa sangat buruk. Dan dia menutup diri dari lingkungannya. Tante kasihan pada Bim..."
"Lantas gimana cara Bim menurunkan berat badannya?"tanya Bella polos.
"Semula dia enggan melakukan diet karena dia nggak yakin akan berhasil. Dan papa bilang sama Bim, jika dia nggak mau menurunkan berat badannya dia harus membuktikan pada semua orang bahwa dia punya kelebihan. Entah itu bakat atau prestasi. Papa Bim juga berpesan,bahwa Bim harus menjadi seseorang yang kuat meski didera penderitaan sekeras apapun. Seperti tumbuhan kaktus, meski ia tumbuh di gurun pasir sekalipun dia tetap bertahan. Dalam cuaca panas maupun dingin. Mungkin karena ucapan papanya itu dia mulai berubah. Tepatnya mulai lima tahun yang lalu Bim memulai dietnya. Dia belajar dengan giat dan juga rutin berolahraga. Dan kerja kerasnya membuahkan hasil. Kamu lihat sendiri kan, dia sudah lulus kuliah dan langsing sekarang,"tutur mama Bim membuat Bella kagum.
Lanjut mama Bim lagi....
"Nggak mudah mengembalikan rasa percaya diri Bim meski dia sudah memiliki tubuh ideal. Akibat masa lalunya yang terlalu sering direndahkan teman-temannya, Bim seperti menyimpan trauma. Dia masih belum bisa membuka dirinya untuk bergaul. Apalagi untuk pacaran."
"Maksud Tante, apa Bim belum pernah pacaran?"tanya Bella sedikit hati-hati.
"Kamu adalah pacar pertama Bim. Itupun karena tante yang berinisiatif menjodohkan kalian. Kalau nggak, mungkin sampai sekarangpun dia nggak punya pacar,"ujar mama Bim seraya tertawa.
Jadi itu sebabnya kelakuan Bim aneh dan terkesan kaku saat bersama Bella? Dan ternyata ada pesan khusus yang ingin Bim sampaikan lewat kaktus itu.
Bella sedikit merasa lega mendengar penuturan mama Bim. Pertanyaan yang selama ini membebaninya terjawab sebagian.
"Apa yang disukai Bim Tante?"tanya Bella kemudian. Rupanya ia ingin mengorek rahasia Bim lebih jauh lagi.
"Bim paling suka baca buku,"jawab mama Bim. "Kalau soal makanan Bim agak repot juga. Soalnya dia paling nggak bisa makan pedas dan nggak suka makan ikan. Paling-paling dia hanya mau makan makanan yang sama setiap harinya. Sup makaroni, nasi goreng, mie..."
Bella ternganga. Gadis itu jadi teringat saat mereka makan malam dan Bella memesan ikan bakar pedas. Alamak.... Pantas saja Bim tidak begitu berselera makan saat itu.
"Bim bilang kamu sangat lucu,"ucap mama Bim membuyarkan lamunan Bella. "Bahkan Bim pernah bilang ingin segera menikah, tapi kamu kan masih sekolah. Jadi Bim mesti bersabar,"ucapnya seraya tersenyum.
Bella hanya bisa tertegun tanpa bisa berkomentar apapun...

@@@@@

"Loe kenapa Be? Loe sakit?"suara Sissy terdengar cemas dari seberang telepon. Terang saja Sissy cemas, pasalnya Bella bolos sekolah hari ini.
"Perut gue kram,"jawab Bella santai. "Biasalah, tiap bulan kan kayak gini,"imbuhnya.
"Kayaknya loe mesti periksa ke dokter deh, jangan-jangan itu indikasi ada penyakit aneh-aneh,"timpal Sissy terdengar serius.
"Nggak lah,"sahut Bella seraya menutup telepon. Mana ada penyakit aneh-aneh dalam tubuhnya, batinnya kesal. Sissy ada-ada saja.
"Be! Ada Bim tuh...."
Teriakan mami Bella terdengar keras. Membuat gadis itu terkejut.
Bim? Jam segini? batinnya seraya menuruni tempat tidur. Gadis itu melangkah ke ruang tamu untuk menemui Bim.
"Be..."
Bim berdiri dari tempat duduknya saat gadis itu muncul. Rambut Bella yang acak-acakan sama sekali tak disadari oleh gadis itu.
"Ngapain disini? Bukannya kamu harus kerja..."
"Tadi aku ke sekolah kamu, pinginnya sih jemput kamu. Tapi temen kamu bilang kamu nggak masuk, jadi aku kesini. Takutnya kamu lagi sakit,"ulas Bim panjang dan jelas.
Bella tersenyum kaku. Apa Bim secemas itu padanya?
"Aku nggak pa pa kok,"sahut Bella kemudian.
"Oh ya, aku tadi kebetulan lewat toko boneka. Dan aku kepikiran untuk membelikanmu ini,"ucap Bim seraya menyodorkan sebuah boneka Pororo berukuran sedang ke hadapan Bella.
Bella tampak girang menerima hadiah dari Bim.
"Thanks,"ucap Bella malu-malu.
Bim tersenyum senang.
"Oh ya, mama bilang kamu datang kerumah kemarin. Apa mamaku sudah menceritakan semua tentangku?"tanya Bim sejurus kemudian.
Bella mengangguk.
"Apa kamu masih mau menerimaku setelah tahu semua rahasiaku?"tanya Bim sembari menatap gadis di hadapannya .
"Iya,"jawab Bella tegas.
"Thanks Be. Kupikir kamu akan memandangku sebagai orang aneh setelah tahu kehidupan masa laluku."
Bella menggeleng pelan.
"Aku minta maaf karena memesan ikan bakar pedas saat itu,"ucap Bella kikuk. "Aku nggak tahu kamu nggak doyan ikan dan makanan pedas..."
"Tapi sekarang kamu udah tahu kan?"
Bella tertawa. Bim juga....


Tidak ada satupun manusia yang sempurna. Bim juga. Dan Bella tahu hal itu...
Bim bukan superhero yang terlahir tanpa cacat. Dia manusia biasa dan Bella sangat mencintainya.
Bella tahu jika Bim juga mencintainya, meski ia tidak pandai mengungkapkan perasaannya. Bim punya cara sendiri untuk mencintai Bella....

Minggu, 12 Januari 2014

BLACK SHADOW


Uh... Irin mendesah pelan. Segumpal awan bergelayut berat diatas kepalanya.
Gadis itu berdiri resah di bawah atap halte bus. Berharap akan ada bus yang segera datang sebelum hujan turun.
"Hai Rin,"sapaan manis itu terdengar sesaat kemudian. Memaksa gadis itu untuk mengalihkan perhatiannya dari jalanan.
Fajar tersenyum tipis saat Irin menoleh.
"Tumben sendirian,"cecar Fajar cepat sebelum Irin membalas sapaannya. "Mana Gea? Biasanya kan kalian bareng,"ujarnya seraya meneliti sisi kanan dan kiri Irin.
Irin tersenyum pahit. Gadis itu menelan ludahnya sendiri begitu Fajar menyebut nama Gea.
Selalu Gea, batinnya. Setiap ia tak bersama Gea, teman-temannya pasti akan bertanya tentang Gea. Saat ia bersama Gea pun, orang hanya akan menyapa Gea. Bukan dirinya.
"Gea udah pulang duluan,"balas Irin sejurus kemudian.
"Kok nggak bareng sekalian?"desak Fajar lagi.
Mana mungkin ia pulang bareng Gea, batin Irin. Mana pantas ia naik mobil Gea yang mahal itu...
"Rumah kami nggak searah,"jelas Irin kemudian.
"Oh..."gumam Fajar seraya manggut-manggut.
Kenapa?batin Irin mulai curiga. Apa Fajar juga menyukai Gea seperti cowok-cowok lain? Dan ia mendekati Irin hanya untuk mengorek informasi tentang Gea. Modus seperti itu sudah sering dilakukan cowok-cowok yang naksir Gea....
"Aku naik duluan Jar,"pamit Irin saat sebuah bus datang tepat disaat titik-titik gerimis pertama mulai berjatuhan. Dan Fajar tersenyum seraya melambaikan tangannya ke arah Irin.
Kenapa mesti Gea?batin Irin seraya membuang pandangan matanya keluar jendela bus.
Gea memang lebih menonjol ketimbang Irin. Gadis itu lebih cantik, tajir dan populer. Banyak cowok yang menyukainya.
Sedang apalah arti seorang Irin bila disandingkan dengan Gea. Ia tak lebih dari bayangan Gea.
Irin yang selalu mengikuti Irin bak seorang bodyguard, atau bahkan seperti pembantu. Disuruh ini itu oleh Gea. Dan bodohnya Irin yang mau saja diperlakukan seenaknya oleh Gea.
Sudah cukup, batin Irin. Ia tidak mau hanya menjadi bayangan Gea. Ia tidak mau lagi mengikuti gadis itu lagi hanya karena ingin menjadi populer seperti Gea.
Irin ingin menjadi dirinya sendiri...

@@@@@

"Rin, anterin aku shopping ntar pulang sekolah ya,"suara Gea terdengar manis merayu didekat telinga Irin. Gadis itu meletakkan pantatnya disebelah Irin yang sedang sibuk menyalin catatan Fisika dari papan tulis.
Irin tertegun sejenak.
"Sorry, aku nggak bisa Ge,"tolak Irin sejurus kemudian.
Wajah Gea tampak kecewa usai mendengar jawaban sahabatnya.
"Masa nggak bisa sih?"desak Gea. Kemarin lusa Irin juga tidak bisa mengantarnya pergi ke mal. Hari ini juga. Sesibuk apa Irin akhir-akhir ini? Kenapa Irin bersikap seperti menghindarinya?
"Ada banyak pesenan kue dirumah,"jelas Irin berdusta. Mungkin hanyalah itu satu-satunya alasan yang tepat untuk diberikan pada Gea.
Lagipula untuk apa ikut dengan Gea shopping jika ia hanya dimanfaatkan untuk membawakan tas-tas belanjaan Gea. Irin juga tidak punya uang untuk membeli barang-barang mahal di mal.
"Oh,"Gea bergumam.
"Mungkin lain kali kita bisa pergi bareng,"ucap Irin seraya tersenyum tipis. Untuk mengelabui perasaan Gea. Agar sahabatnya itu tidak tersinggung dengan penolakannya.
"Ok,"sahut Gea cepat. "Kalo gitu aku ngajak Raffa aja deh."
Gea berlalu dari tempat duduknya. Meninggalkan aroma parfum yang konon impor dari Paris disekitar tempat duduk Irin.
Ah....
Irin menghela nafas. Ia meletakkan pulpennya diatas meja.
Itulah yang membedakan dirinya dengan Gea, batinnya.
Hidup Gea sangat sempurna. Cantik, populer dan punya segalanya. Bahkan ia punya pacar yang ganteng dan baik hati pula. Semua yang dimiliki Gea menumbuhkan rasa benci dan iri dihati Irin.
Gadis itu bahkan tak bisa mencegah dirinya sendiri untuk tidak mencemburui apa yang dimiliki Gea.
Andai saja mereka terlahir dengan status sosial yang sama....

@@@@@

Irin hanya bisa menggigit bibirnya saat motor Raffa lewat. Sementara Gea duduk di boncengan Raffa seraya memeluk pinggang cowok itu dengan mesra.
Oh Tuhan, desis Irin. Kenapa kecemburuan pada sahabatnya itu mesti mengalahkan akal sehatnya? Bukankah tak semestinya ia iri pada apa yang dimiliki Gea. Seharusnya ia bersyukur pada apa yang ia miliki sekarang...
Irin bergegas naik bus pertama yang berhenti di halte. Dengan dipenuhi bermacam pikiran tentang Gea.
Mungkin ia harus menjauhkan dirinya dari Gea sebelum ia benar-benar membenci sahabatnya itu. Karena bukan salah Gea jika Irin tak seberuntung dirinya.
Irin sampai didepan rumahnya dua puluh menit kemudian. Gadis itu terkejut begitu sampai disana.
"Mas Bimo..."
Bimo menghentikan kegiatan makan siangnya saat Irin menegurnya.
"Kamu udah pulang Rin?"balasnya kemudian.
Irin mendekat ke tempat kakaknya. Tapi tampaknya ia tidak begitu senang melihat kakaknya yang sudah lama tidak pulang itu.
"Kenapa pulang kesini?"tanya Irin terdengar seperti menghardik kakaknya.
"Hei, kenapa marah? Harusnya kamu senang kakakmu pulang,"ucap Bimo heran.
"Aku lebih senang kalo kakak nggak pulang."
"Ada apa denganmu?"
"Kemana saja Mas Bimo selama ini? Apa Mas Bimo tahu gimana kehidupan kami selama ini?"cecar Irin cepat. Dan emosional. "Hidup kami sangat menderita, apa Mas Bimo tahu itu? Apalagi rentenir itu nggak berhenti meminta bunga pinjaman. Bahkan rumah ini nyaris disita kalo saja ibu nggak memohon-mohon untuk dikasihani,"tutur Irin dengan mata berkaca-kaca.
"Karena itulah aku datang untuk membawa kalian pindah dari sini,"tukas Bimo.
"Emangnya Mas Bimo udah jadi orang kaya?"potong Irin setengah menyindir.
"Nggak juga. Tapi aku udah punya rumah sendiri. Kita bisa tinggal bertiga disana. Bersama ibu,"ujar Bimo menjelaskan maksud kedatangannya.
"Aku nggak mau,"sahut Irin tegas.
"Kenapa?"
"Karena Mas Bimo mendapatkan rumah itu dengan bekerja menjadi debt colector. Lalu apa bedanya Mas Bimo dengan rentenir itu?!"seru Irin.
"Heh, jangan ngawur kalo ngomong!"balas Bimo seraya berteriak pula.
"Jangan pikir aku nggak tahu apa yang Mas Bimo lakukan diluar sana!"
Irin membanting pintu kamarnya dengan keras. Gadis itu tampak marah pada kakaknya.
"Irin!"seru Bimo lantang. "Aku melakukan semua ini untuk kalian. Untuk kamu dan ibu. Apa kamu nggak mau mengerti juga?!"
Tak ada jawaban. Namun samar-samar terdengar isak tangis dari balik pintu kamar Irin...

@@@@@

"Rin."
Irin nyaris menjatuhkan buku Biologi di tangannya karena kaget saat seseorang menyentuh pundaknya.
Gadis itu membalikkan tubuhnya dan mendapati Raffa telah berdiri dihadapannya.
Oh...
Irin tersenyum kaku melihat cowok Gea itu ada dihadapannya sekarang.
"Gea nggak masuk hari ini Raf,"ucap Irin memberitahu. Pasti Raffa repot-repot mencarinya sampai ke perpus hanya untuk bertanya tentang pacarnya.
"Ya,"sahut Raffa pendek. Cowok itu tampak tidak terkejut dengan pemberitahuan Irin. Mungkin Gea telah memberitahu Raffa sebelumnya.
"Gea udah ngasih tahu kamu kalo dia nggak masuk? Emang Gea kenapa?"tanya Irin menyambung pembicaraan.
Raffa mengangguk pelan.
"Aku mau ngobrol sama kamu,"ucap Raffa. "Kamu nggak sibuk kan?"
Irin menggeleng. Sedikit curiga.
"Emang ada apa?"tanya Irin pelan.
"Nggak, aku cuma pingin tahu sedikit tentang Gea,"tandas Raffa. "Kamu kan sahabatnya."
Irin tersenyum kaku. Ada sesuatu yang mencurigakan, batinnya.
"Apa Gea punya cowok lain selain aku?"tanya Raffa sejurus kemudian.
Irin mengernyitkan kening.
"Setahuku nggak,"jawab Irin. "Kenapa kamu mikir kayak gitu?"
"Aku cuma merasa Gea semakin jauh dariku. Aku merasa diabaikan olehnya akhir-akhir ini. Dia udah nggak kayak dulu lagi. Seolah aku ini bukan orang yang paling penting dalam hidupnya,"tutur Raffa sentimentil.
Irin mendesah pelan. Dialah yang paling tahu bagaimana sifat Gea. Bagaimana egoisnya gadis itu. Tapi bibir Irin tidak akan menceritakan semua itu pada Raffa. Tidak mungkin ia menjelek-jelekkan sahabatnya itu didepan Raffa.
"Kamu pasti tahu semua tentang Gea,"tandas Raffa. Karena Irin masih menutup mulutnya.
Irin tersenyum pahit.
"Mungkin dia sibuk Raf,"ucap Irin kemudian. "Tapi aku yakin kok, kalo dia sebenarnya sayang kamu. Mungkin kamu saja yang terlalu sensitif,"imbuhnya lagi.
Raffa tersenyum mendengar penuturan Irin. Ia tak begitu mempercayai ucapan sahabat Gea yang terkesan melindungi Gea.
"Aku emang nggak mengenal Gea sebaik kamu,"ucap Raffa. "Tapi aku bisa merasakan saat seseorang mulai berubah. Dan aku juga tahu saat seseorang bicara jujur atau bohong."
Oh Tuhan, batin Irin bergetar. Kenapa Raffa berkata seperti itu? Apa ia mencurigai sesuatu dari Gea ataupun dirinya?
"Aku balik ke kelas dulu ya,"pamit Raffa sesaat kemudian. Memutuskan ketegangan pada diri Irin.
Sementara Raffa pergi, Irin hanya bengong ditempatnya seraya menatap punggung Raffa. Ada begitu banyak pertanyaan berkecamuk didalam benaknya. Tentang Raffa...

@@@@@

Gea menghadang langkah Irin di depan kelas pagi ini. Tumben...
"Kemarin kemana Ge? Kok nggak masuk?"tanya Irin begitu tahu jika ia sedang ditunggu oleh sahabatnya.
"Nggak kemana-mana,"sahut Gea datar. "Aku pingin ngomong sama kamu Rin."
Irin tertegun. Ada apa, batinnya. Seperti ada yang serius ingin dibicarakan Gea padanya.
"Ada apa emangnya?"tanya Irin penasaran.
Gea menghela naffas sejenak sebelum bicara.
"Aku denger kemarin kamu ngobrol sama Raffa di perpus. Emang apa yang kalian bicarakan?"tanya Gea penuh selidik. Matanya menatap Irin dalam-dalam.
Duh, kenapa berita tidak penting seperti itu sampai ke telinga Gea?batin Irin resah. Lagipula siapa yang mengadukan kabar itu pada Gea?
"Kami kebetulan ketemu disana. Terus aku bilang kalo kamu nggak masuk. Itu saja,"tutur Irin kemudian. Takut sahabatnya berpikiran macam-macam terhadap dirinya.
Gea manggut-manggut mendengar penjelasan Irin.
"Apa bener yang anak-anak bilang kalo kamu suka sama Raffa?"
Deg!
Jantung Irin berdetak keras. Satu pertanyaan yang dilontarkan Gea cukup membuatnya terhenyak kaget.
Gadis itu tersenyum kaku beberapa detik kemudian.
"Kamu ngomong apa sih? Emang siapa yang bilang kayak gitu?"tanya Irin bingung.
"Banyak yang ngomong kayakgitu,"sahut Gea datar. "Tapi apa berita itu bener?"
"Nggak mungkinlah...."
"Kalopun berita itu bener aku juga nggak masalah kok,"potong Gea cepat. "Aku rela kamu pacaran sama Raffa."
"Gea?!"pekik Irin kaget. Pernyataan Gea sungguh mencengangkan hati Irin.
"Aku udah nggak suka Raffa lagi,"cetus Gea lebih mencengangkan lagi.
"Gea? Kamu sadar apa yang kamu bicarakan kan?"tanya Irin sambil mengguncang pundak sahabatnya. Ia tak mengerti dengan apa yang dipikirkan Gea.
Tapi Gea malah tersenyum.
"Apa kamu pikir aku udah gila?"tanya Gea. "Aku masih waras Rin."
"Tapi..."
"Aku emang udah nggak suka sama Raffa,"ucap Gea menjelaskan. "Pacaran dengan Raffa tuh membosankan. Kamu nggak tahu kan kalo dia tuh pencemburu dan overprotective. Dan aku rasa aku udah nemuin cowok yang sesuai dengan tipeku."
Irin bengong mendengar penuturan Gea. Apa begitu mudah melupakan seseorang yang pernah ia cintai? Begitukah cara Gea mempermainkan perasaan Raffa?
Bel tanda masuk berbunyi. Mengakhiri perbincangan singkat didepan kelas antara kedua sahabat itu...

@@@@@

Kenapa ada orang seperti Gea didunia ini, batin Irin menerawang. Padahal ia punya segalanya yang diinginkan Irin, tapi ia seperti tidak mensyukuri apa yang ia miliki. Kasihan Raffa...
"Kenapa belum berkemas juga?!"sentak Bimo tiba-tiba. Mengejutkan lamunan adiknya. "Kita akan pindah besok. Kamu masih inget kan?"
"Siapa bilang aku mau pindah?"balas Irin dengan nada tinggi.
"Memangnya kamu mau tinggal dimana? Rumah ini akan disita sebentar lagi."
Irin mendengus kesal. Rumah mereka memang akan disita dalam waktu dekat. Dan tidak ada pilihan lagi selain mengikuti kakaknya pindah. Tapi Irin tidak mau...
"Rin,"mendadak ibu Irin muncul dan menengahi percakapan mereka. "Ada temenmu didepan. Dia nyariin kamu,"beritahu ibunya kemudian.
Siapa? Gea? batin Irin seraya bergegas melangkah keluar dari kamarnya.
Dugaan Irin salah. Bukan Gea yang datang, tapi Raffa.
Ada apa?batin Irin bertanya-tanya. Karena ini adalah kali pertama Raffa bertandang kerumahnya. Sepertinya ada hal yang sangat penting yang dibawa Raffa.
"Hai Raf,"sapa Irin kaku. "Tumben nyariin aku. Ada apa?"
Raffa tampak tegang.
"Gea... Rin. Gea mengalami kecelakaan,"ucap Raffa terbata.
Irin tercengang. Gadis itu nyaris tak percaya pada apa yang baru saja dikatakan Raffa.
"Bagaimana keadaannya?"gumam Irin gemetar. "Dia baik-baik saja kan?"
Raffa tak menjawab. Cowok itu masih tampak tegang dan cemas.
Irin dan Raffa meluncur ke rumah sakit beberapa saat setelah itu....

@@@@@

Irin duduk terpekur dikursi. Matanya tampak sembab meski tak lagi mengeluarkan air mata. Tatapan matanya lurus ke tembok. Kosong.
Pikirannya melayang entah ke sudut langit mana.
Gea mengalami kecelakaan tunggal di jalan tol beberapa jam yang lalu. Mobil yang ia tumpangi menabrak pembatas jalan dan mobilnya terbalik.
Gea terluka parah. Gadis itu sedang koma sekarang.
Ia sedang berjuang antara hidup dan mati.
Kasihan Gea...
Raffa mendekat ke tempat duduk Irin. Iapun tak kalah berdukanya dengan Irin.
"Polisi menemukan ini didalam mobil Gea,"ucap Raffa seraya menyodorkan sesuatu ke hadapan Irin.
Irin tampak bingung mendengar pernyataan Raffa. Tapi gadis itu meraih sebuah buku dari tangan Raffa. Diary milik Gea?
Raffa mengisyaratkan pada Irin untuk membaca isi buku pribadi milik Gea itu.
Irin membuka lembar-lembar diary itu dengan tangan gemetar.....
Dan air mata Irin tak bisa terbendung lagi manakala ia membaca coretan-coretan Gea tentang dirinya.
Ternyata selama ini Gea sangat menyayangi dirinya, bahkan seperti saudara kandungnya sendiri. Tapi Irin terlalu minder karena ia tidak kaya seperti Gea, begitu ulas Gea dalam diarynya.
Gea juga menyebutkan hal-hal yang disukainya dari Irin. Bahkan Gea juga bersedia memberikan Raffa jika Irin mau. Karena Gea tahu jika Irin juga memendam perasaan terhadap Raffa. Namun Irin terlalu pandai menyembunyikan perasaannya. Karena Irin tak ingin melukai hati Gea.
Begitulah isi diary Gea yang kini ada dalam genggaman Irin.
Jadi karena itulah Gea mulai menjauhi Raffa akhir-akhir ini. Dan karena itu pula Gea mengatakan kebohongan bahwa ia sudah tidak menyukai Raffa lagi. Sekarang Irin mengerti....
Tangis Irin pecah. Segenap penyesalan menyeruak kedalam dadanya.
Ternyata Gea yang selalu ia cemburui dan ia benci tidak seburuk yang ia pikirkan selama ini. Bahkan sahabatnya itu terlalu baik....
Oh Tuhan, isak Irin. Tolong selamatkan Gea. Kalau perlu biar aku saja yang menggantikan posisi Gea sekarang ini, doa Irin dalam hati.

@@@@@

"Cepat masukkan tasmu ke mobil!"teriak Bimo pada Irin yang tidak segera bergegas memasukkan barang-barangnya ke atas mobil. Karena gadis itu masih tampak enggan untuk pergi dari rumah itu.
Irin mengangkat tasnya keluar dari rumah seperti permintaan kakaknya. Tanpa protes sama sekali.
"Kamu mau pindah?"
Teguran itu terdengar saat Irin hendak memasukkan tasnya ke dalam mobil. Gadis itu tertegun barang sesaat setelah mendapat teguran itu.
Raffa telah berdiri disebelahnya dengan pandangan penuh curiga.
Irin hanya menganggukkan kepalanya perlahan. Namun ia tak ingin menjelaskan sesuatu tentang kepindahannya.
"Maafkan aku Raf,"gumam Irin nyaris tak terdengar. Suaranya serak. Mungkin karena terlalu banyak menangis.
"Aku udah banyak bersalah pada Gea dan kamu,"imbuh Irin pelan. "Aku bukan sahabat yang baik untuk kalian. Karena aku kalian jadi kayak gini. Maafkan aku nggak bisa nemenin Gea di rumah sakit. Karena kami harus pindah hari ini juga,"tutur Irin dengan nada menyesal.
Raffa menghela nafas mendengar ucapan Irin.
Sebenarnya masih banyak penyesalan yang ingin diungkapkan Irin, tapi hanya Gea yang pantas mendengar penyesalannya.
"Aku harap Gea cepet sadar..."
"Rin,"ucap Raffa cepat. Tangannya telah menyambar lengan Irin untuk menghentikan gerakan gadis itu.
"Aku tahu seberapa banyak penyesalan yang ada dihatimu. Gea udah banyak bercerita tentangmu selama ini,"ujar Raffa sengaja ingin menarik perhatian Irin.
Irin tertegun menatap cowok itu.
Apa yang sebenarnya Raffa inginkan?batinnya gelisah.
"Kamu belum membaca diary itu sampai habis kan?"
Irin menggeleng. Ia memang belum sempat membaca diary itu sampai halaman terakhir. Karena ia tak kuasa membaca curahan hati Gea lebih jauh lagi...
"Gea tahu jika akhirnya kayak gini,"ucap Raffa membuat Irin tercekat. "Bahkan dia sempat menulis kalo dia meninggal suatu saat nanti, dia berharap aku dan kamu bisa pacaran seperti yang dia inginkan."
Apa? batin Irin kaget. Gea... kenapa ia bisa berpikir seperti itu?
"Kamu bohong kan Raf?"tanya Irin tak percaya. "Gea masih hidup, dan aku nggak mungkin merebut kamu darinya."
Raffa menggeleng perlahan.
"Dia udah pergi pagi tadi Rin,"ujar Raffa bagai petir yang menyambar telinga Irin. "Dan dia udah tahu jika umurnya nggak panjang. Dia nulis itu di halaman terakhir."
Irin terhenyak tak percaya. Gadis itu nyaris ambruk ke tanah jika saja Raffa tak segera menopang tubuhnya.
"Nggak mungkin,"gumam Irin dengan bibir gemetar. "Gea....."
Kenapa semua ini terjadi pada Gea? Kenapa bukan pada Irin saja?
Langit mendadak berjatuhan ke atas kepala Irin. Gadis itu kehilangan kesadarannya beberapa saat kemudian. Ia pingsan....

Gea....
Apa dia tidak tahu jika selama ini aku selalu mencemburui apa yang ia punya? Bahkan aku sangat membenci kepopulerannya. Dan aku membiarkan diriku menjadi bayangan hitam disekelilingnya?
Maafkan aku Gea...
Aku tidak pernah menjadi sahabat yang baik untukmu.

Jumat, 10 Januari 2014

Pertalian Hati


Sepasang mata milik Anne lurus menatap ke dalam etalase kaca. Ke arah jajaran kue tart yang dipajang rapi didalam sana. Ada berbagai macam varian rasa dan bentuk. Cokelat, strawberry, cheese, lemon.....
Gadis itu masih bingung memilih kue mana yang ingin ia beli. Karena semua tampak menarik dan menggiurkan.
"Mau beli kue tart juga?"
Anne tertegun. Seorang cowok baru saja menegur dirinya.
Gadis itu mengiyakan dengan suara lirih. Sepasang matanya sempat mencuri pandang ke sebelah. Dimana cowok asing itu berdiri dan tampak sedang menatap ke dalam etalase dengan sibuk.
"Sama dong,"gumam cowok itu menyahut. "Memang siapa yang sedang ulang tahun?"tanya cowok itu kembali dengan nada datar.
Anne menghela nafas sejenak.
"Aku,"sahut Anne pendek. Ia sempat menduga cowok itu bakalan menertawakan jawabannya. Nyatanya salah.
"Benarkah?"gumam cowok itu sambil tertawa renyah. "Aku juga mau beli kue tart untukku sendiri. Karena hari ini adalah ulang tahunku. Apa hari ini juga ulang tahunmu?"
"Hm,"Anne menganggukkan kepalanya.
"Kebetulan sekali,"sahut cowok itu kembali tergelak. "Kalau begitu kita sama dong,"tandas cowok itu terdengar gembira.
Namun Anne menyambut ucapan cowok itu dengan senyum tipis. Ia sedikit ragu dengan ucapan cowok asing itu. Apakah hal itu hanya sekedar kebetulan belaka, ataukah sebuah kebetulan yang ia ciptakan sendiri hanya untuk meraih simpati Anne.
"Oh ya, kenalkan namaku Ega."
Cowok itu mengulurkan jabat tangan perkenalan kepada Anne beberapa detik kemudian.
"Anne,"ucap gadis itu memperkenalkan diri seraya balas menjabat tangan Ega.
"Happy birthday ya,"ucap Ega. "Semoga kamu panjang umur, sehat selalu dan sukses...."
Anne tersenyum.
"Kenapa? Apa ucapanku terlalu standar?"tanya Ega dengan ekspresi lucu.
"Mungkin,"sahut Anne cepat. Gadis itu mulai menjauhkan rasa canggungnya pada cowok itu.
Ega tertawa lepas. Cowok itu menggaruk kepalanya.
"Kalau begitu biar aku yang traktir kue tartnya, sekaligus sebagai kado ulang tahun dan tanda perkenalan kita. Bagaimana?"tawar Ega dengan senyum tersungging di bibirnya.
Anne terdiam. Pasti ia sedang menimbang tawaran Ega.
"Apa susah menjawab iya?" sentak Ega sembari menjentikkan jarinya didepan Anne untuk membangunkan gadis itu dari kebisuannya.
"Bukan..."
"Apa karena aku orang asing?"tanya Ega memotong. "Tenang saja, aku bukan penculik kok. Rumahku persis di tikungan jalan. Kalau kamu tidak percaya kamu bisa tanya..."
"Aku percaya kok,"sahut Anne menimpali.
"Kalau begitu bagaimana kalau kue cokelat itu? Biasanya cewek paling suka rasa cokelat,"tawar Ega beralih topik kedalam etalase kue.
"Boleh,"jawab Anne setuju.
Akhirnya Ega memesan dua kue tart rasa cokelat kepada pelayan toko. Satu untuk Anne dan satu untuk dirinya sendiri.
"Thanks ya,"ucap Anne sebelum pamit dari hadapan Ega. "Happy birthday juga......"
Anne telah pergi usai mengucapkan selamat pada Ega. Padahal Ega masih ingin bertanya sesuatu pada gadis itu.
Pasti ada lain kali, batin cowok itu seraya melangkah keluar dari Moonlight Bakery....

~~~##~~~

"Anne... beli kue kok lama sekali,"sambut mama Anne saat melihat putrinya datang. Wajar jika wanita itu merasa cemas karena semenjak mereka pindah ke tempat itu, Anne sama sekali belum pernah keluar sendirian. Ia takut jika putrinya tersesat karena belum hafal jalan.
"Anne tidak tersesat kok Mam,"sahut Anne seakan tahu apa yang sedang dipikirkan mamanya.
Mama Anne menghela nafas panjang. Mungkin kecemasannya terlalu berlebihan, pikirnya kemudian.
"Ben ada di ruang tengah. Dia menunggumu dari tadi,"beritahu mama Anne kemudian.
Anne tak terkejut mendengar pemberitahuan mamanya. Hanya saja ia tampak tidak senang mendengar mamanya menyebut nama cowok itu.
"Hai Ne,"sapa Ben menyambut kedatangan Anne,
Anne tersenyum kaku. Ia pura-pura berjalan ke dapur dan meletakkan kue tart yang ia beli di atas meja makan. Padahal ia sedang menghindar dari cowok itu.
"Kenapa mesti repot-repot beli kue tart sih? Hari ini kan ulang tahunmu dan aku sudah membelikanmu kue tart...."
Ben menyusul langkah Anne ke meja makan dan menunjukkan kue tart yang ia letakkan disana beberapa waktu yang lalu.
Anne menghela nafas demi melihat kue tart yang dibawa Ben jauh lebih besar dari kepunyaannya.
"Thanks Ben,"ucap Anne menunjukkan basa-basinya.
"Happy birthday honey,"ucap Ben beberapa detik kemudian. Ia mengecup kening Anne dengan lembut.
Sementara Anne membiarkan keningnya dikecup Ben meski ia sedikit merasa risih dengan perlakuan cowok itu.
Ben mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya. Rupanya sebuah cincin mirip cincin pernikahan...
"Apa ini Ben?"tanya Anne bingung ketika Ben hendak memakaikan cincin itu di jari manisnya.
"Ini hadiah ulang tahun Ne,"jelas Ben seraya memakaikan cincin itu di jari manis Anne.
"Sebaiknya kalian segera bertunangan,"sela mama Anne tiba-tiba. Wanita itu mendadak muncul di belakang mereka.
"Mam.."seru Anne tersendat. Mana mungkin ia bisa menentang ucapan mamanya sementara ada Ben didepannya. Sementara ia dan mamanya punya sejumlah hutang pada Ben. Bahkan rumah yang mereka tempati sekarang juga milik Ben....
"Iya Tante,"sahut Ben tampak senang. Memang itulah yang ia harapkan selama ini.
"Kita bicarakan itu nanti,"ucap mama Anne. "Sekarang kita potong saja kuenya. Bagaimana?"usul mama Anne kemudian. Dan usul itu disetujui oleh Ben...

~~~##~~~

"Hai,"tegur Ega manis. "Kamu tinggal disini?"
Anne yang kala itu sedang menyiram bunga didepan rumah, bergegas menghentikan pekerjaannya begitu tahu Ega menegurnya.
Gadis itu tersenyum lantas menghampiri pagar dan membukanya untuk Ega.
"Iya,"sahut Anne. "Kamu sedang apa?"
"Sedang olahraga,"sahut Ega seraya memperlihatkan sepatu kets dan pakaian trainingnya. "Aku setiap hari Minggu lari keliling kompleks ini. Kalau kamu mau kita bisa olahraga bareng,"tawar Ega.
"Aku paling malas kalau disuruh olahraga,"sahut Anne.
"Pantas saja kamu kurus...."
"Aku kurus bukan karena kurang olahraga, tapi karena diet,"timpal Anne berkelit.
Ega meledakkan tawa mendengar ucapan Anne.
"Oh ya, ada menu baru di Moonlight Bakery. Kamu mau coba?"tanya Ega beralih topik.
"Apa?"
"Rainbow cake. Memang bukan kue baru sih, cuma baru ada disana seminggu yang lalu. Kalau kamu mau kita bisa makan bareng...."
"Aku mau. Kapan?"sahut Anne tampak antusias.
Ega terbahak keras.
Sementara Anne mengerutkan kening.
"Apanya yang lucu?"tanya Anne polos.
"Kamu tidak takut aku akan menculikmu?"timpal Ega cepat. "Kenapa langsung setuju?"
Anne tersenyum.
"Kita kan teman.."
Ega manggut-manggut.
"Besok aku tunggu di Moonlight jam 4 sore. Deal?"
Anne menyetujui penawaran Ega untuk bertemu di Moonlight Bakery jam 4 esok hari.
"Anne!"
Teriakan mama Anne terdengar keras dari dalam rumah dan mengakhiri pertemuan singkat itu...

~~~##~~~

"Bagaimana? Enak tidak?"tanya Ega seraya mengamati gadis dihadapannya yang sedang mengunyah suapan kuenya.
"Lumayan,"sahut Anne tampak cuek.
"Cake seenak ini kamu bilang lumayan?"tukas Ega heran.
"Hm..."
"Kamu ini....."ucap Ega. "Mungkin lain kali kita bisa makan es krim. Didekat sini ada toko es krim yang terkenal enak lho. Kamu tahu tempatnya kan?"
Anne menggeleng.
"Aku baru pindah ke tempat ini seminggu yang lalu,"jelasnya.
"Benarkah?"potong Ega heran. "Pantas saja aku tidak pernah melihatmu sebelum ini. Oh ya, lain kali aku ajak kamu jalan-jalan di sekitar sini."
"Ok."
"Berapa orang yang tinggal dirumahmu?"tanya Ega melanjutkan perbincangan sembari menikmati kuenya.
"Hanya aku dan mama,"jawab Anne. "Papaku sudah meninggal sejak aku berumur dua tahun. Dan mama tidak menikah lagi sejak itu. Aku tidak tahu kenapa, tapi yang pasti mama menghabiskan hidupnya untuk bekerja dan merawatku,"jelasnya kemudian.
"Oh,"gumam Ega tersentuh dengan penuturan gadis itu. "Mungkin mamamu terlalu mencintai papamu sehingga dia tidak menikah lagi,"ucapnya menanggapi cerita Anne.
"Mungkin,"sahut Anne.
"Tumbuh besar tanpa sosok ayah pasti sangat berat buatmu,"ujar Ega lagi.
Anne mengangguk.
"Kehidupan kami memang sangat sulit. Kami terpaksa berpindah-pindah tempat tinggal karena terbentur biaya sewa rumah. Tapi mama tidak pernah mengeluh tentang hal itu. Kadang aku kasihan melihat mama bekerja keras sendirian,"ungkap Anne.
"Tidak ada hidup yang mudah..."tandas Ega.
"Eh, kok aku jadi curhat sih,"ucap Anne menyadari sesuatu. "Bagaimana dengan keluargamu? Apa kamu punya saudara?"
"Aku punya seorang adik perempuan. Tapi bawelnya luar biasa,"tutur Ega sejurus kemudian.
"Benarkah?"sambut Anne antusias. "Pasti menyenangkan punya saudara."
"Tidak juga,"sahut Ega. "Oh ya, aku tidak menduga kita akan akrab secepat ini.."
Anne tersenyum. Ega benar. Padahal mereka baru bertemu tiga kali ini, tapi mereka sudah seakrab ini.
"Mungkin karena kita lahir di hari yang sama..."

~~~##~~~

Kehadiran Ega ternyata membawa warna tersendiri kedalam hidup Anne. Gadis itu menemukan sebuah rasa nyaman saat bersama cowok itu. Entah itu cinta atau bukan. Tapi saat bersama dengan Ega merupakan saat yang paling menyenangkan.
Mereka berbagi cerita, tawa, dan canda bersama. Mereka juga punya banyak kecocokan.
Dan Anne paling suka saat Ega mengajaknya pergi berburu menu baru. Karena mereka punya selera yang sama dalam hal kuliner.
Semakin Anne mengenal Ega, ia semakin menyukai cowok itu. Meski ia tahu hari pertunangannya dengan Ben semakin dekat. Tapi ia hanya gadis biasa yang tak bisa menolak saat ia mulai merasakan suka pada seseorang.
Rupanya mama Anne mulai mencium perubahan sikap putrinya. Ia tahu bahwa Anne sedang dekat dengan seseorang. Makanya malam itu ia mendatangi Anne didalam kamarnya. Untuk membicarakan perihal pernikahan Anne....
"Mama rasa sudah waktunya kamu dan Ben menikah,"ucap mama Anne seraya mengambil tempat duduk di tepian tempat tidur putrinya.
"Mam..."
"Umur kamu sudah lebih dari cukup Ne,"potong mamanya sebelum Anne sempat mengutarakan isi hatinya.
"Bukankah kami hanya akan bertunangan dalam waktu dekat ini?"
"Tapi pada akhirnya kalian akan menikah, jadi mama pikir pertunangan hanya akan membuang waktu saja. Lagipula Ben juga orang yang sibuk...."
"Tapi Anne tidak ingin menikah sekarang Mam,"tandas Anne keberatan.
"Ne,"ucap mamanya seraya membelai rambut Anne. "Kita berhutang banyak pada Ben,sayang. Saat kita berada dalam kesulitan, dialah satu-satunya orang menolong kita. Tanpa dia,mama tidak tahu seperti apa nasib kita sekarang. Memang ini seperti memanfaatkanmu sebagai pelunasan hutang, tapi hanya ini satu-satunya cara untuk membayar semuanya. Mama mohon mengertilah,"ulas mama Anne membujuk putrinya.
Anne tertegun. Merenungkan ucapan mamanya. Mereka memang tidak punya pilihan....
"Anne tidak mencintai Ben, Mam,"tandas Anne setengah bergumam.
"Anne?!"seru mamanya kaget. "Bicara apa kamu ini?"
"Anne menyukai orang lain Mam,"ucap Anne kembali. Dengan sedikit keberanian.
Mama Anne kaget mendengar pengakuan putrinya. Ia sudah menduga hal ini akan terkuak cepat atau lambat.
"Ini tidak boleh terjadi Ne,"tandas mamanya tegas. "Sebaiknya lupakan dia dan segeralah menikah dengan Ben. Kamu tahu, Ben sangat mencintaimu jadi mama mohon jangan mengecewakan mama."
"Tapi Mam...."
"Mama tidak mau tahu. Pokoknya kamu harus segera menikah dengan Ben. Mama akan mengatur semuanya untukmu."
Anne tak sempat menyahut ucapan mamanya. Wanita itu telah lebih dulu beranjak keluar dari kamar Anne. Menyisakan kesedihan di hati gadis itu....

~~~##~~~

Anne terdiam kaku di tempat duduknya. Sementara Ben dan mamanya sibuk berdiskusi tentang rencana pernikahannya dengan Ben. Tentang gaun pengantin, rencana resepsi, tanggal, tempat, undangan dan semuanya....
Gadis itu sama sekali tidak tertarik dengan pembahasan pernikahan. Pikirannya mengambang jauh ke tempat lain.
Harusnya saat ini dia berada di tempat lain. Ada sebuah janji yang telah ia sepakati dengan Ega.
Di Moonlight Bakery...
Ega pasti sedang resah menunggunya sekarang. Dan Anne tak bisa datang kesana untuk memenuhi janjinya. Meski sebuah pesan singkat telah ia kirimkan beberapa detik yang lalu, tetap saja ia merasa bersalah pada Ega.
Anne takut kehilangan Ega. Karena cowok itu adalah cinta pertama Anne....
"Bagaimana menurutmu Ne?"
"Hah?"Anne tergagap. Ia tersentak dari lamunannya sendiri saat Ben menyentuh punggung tangannya.
"Ben bertanya apa kamu suka contoh undangannya,"sahut mama Anne menyadari jika putrinya sedang tidak fokus pada pembahasan mereka.
"Terserah kalian,"sahut Anne tak bersemangat.
"Kamu sakit?"tanya Ben sesaat kemudian. Ia mengamati raut Anne dengan teliti. Jikalau ada sesuatu indikasi yang menunjukkan ada yang tidak beres dengan gadis itu.
"Aku baik-baik saja..."
Anne menangkap tatapan tajam mamanya. Pasti ia sangat kecewa atas sikap Anne.
Ben memang cowok yang baik. Bahkan kelewat baik. Ia sangat dewasa dan mencurahkan perhatian lebih pada Anne. Usianya 7 tahun lebih tua dari Anne. Tapi ini bukan masalah umur, melainkan masalah hati.
Ega memang sepantaran dengan Anne. Ia pandai menyegarkan suasana dan pribadinya hangat. Berada didekatnya membuat Anne nyaman dan merasa bahagia. Kedua pribadi mereka memang berbeda, tapi hati Anne lebih cenderung pada Ega.
Seandainya mereka tidak punya hutang pada Ben, Anne pasti bisa memilih......

~~~##~~~

"Apa kamu tahu aku menunggumu selama tiga jam disana?"
Ega meledakkan amarahnya pada Anne begitu gadis itu keluar dari pintu pagar rumahnya. Malam telah menyambangi kota, dan Ben baru saja pergi beberapa menit yang lalu dari rumah Anne. Sementara mama Anne sedang berada dikamar mandi.
"Maafkan aku Ga,"ucap Anne dengan nada menyesal. "Aku sudah mengirim sms tadi."
"Oh,"Ega menepuk jidatnya sendiri. "Aku lupa tidak membawa ponselku. Tapi kenapa kamu tidak bisa datang tadi? Apa kamu sakit?"
Anne menggeleng.
"Lalu?"pancing Ega lagi. "Apa kamu sudah tidak mencintaiku lagi?"tanya Ega terbata.
"Bukan,"timpal Anne cepat. Ada sedikit rasa takut terpancar dari sinar matanya.
"Lalu kenapa?"desak Ega tak sabar.
Anne tak menyahut. Namun tiba-tiba saja kedua matanya basah. Membuat Ega semakin bingung.
"Bawa aku pergi dari sini Ga,"ucap Anne mulai terisak. Gadis itu mendekap tubuh dengan tiba-tiba.
"Ada apa Ne?"tanya Ega bertambah bingung dengan sikap kekasihnya.
Beberapa saat kemudian setelah keadaan Anne tenang dan ia melepaskan tubuh Ega, barulah gadis itu buka mulut.
"Aku akan menikah minggu depan,"tutur Anne lirih.
"Apa?!"teriak Ega kaget.
"Mama telah mengatur semuanya,"ucap Anne. "Aku tidak mencintainya Ga. Kumohon, bawa aku pergi dari sini. Aku tidak mau menikah dengannya,"ratap Anne memohon pada kekasihnya.
Ega tertegun di tempatnya. Penuturan Anne seperti pukulan keras yang menghantam dadanya.
Semenjak bertemu Anne di Moonlight Bakery saat itu, ia telah jatuh cinta pada gadis lembut itu. Entah apa sebabnya, namun ia merasa begitu dekat dan terpikat dengan sosok Anne. Seperti ada tali yang tak terlihat mengikat perasaannya dengan gadis itu. Perasaan yang sulit dijelaskan dengan kalimat...
"Aku tidak bisa membawamu pergi Ne,"ucap Ega sejurus kemudian. Membuat Anne sempat terkejut. "Tapi aku akan menyuruh ayahku untuk memintamu dengan baik-baik. Itu lebih terhormat ketimbang membawamu kabur."
Anne mengerti. Ia merasa sedikit lebih tenang sekarang.
"Masuklah, nanti mamamu cemas...."

~~~##~~~

Ayah Ega datang pagi ini. Bersama putranya. Sesuai janji Ega kemarin.
"Siapa yang datang Ne?"seru mama Anne dari dapur.
Gadis itu belum sempat menjawab ketika mamanya tiba-tiba muncul di belakangnya.
Mama Anne terperanjat begitu mengetahui siapa tamunya pagi ini. Wanita itu tak bisa menyembunyikan keterkejutan dari wajahnya.
"Kamu...."
Ayah Ega sama terkejutnya dengan mama Anne. Kedua orang itu seperti telah bertemu sebelumnya.
"Mama mengenalnya?"tanya Anne curiga. Ega juga menaruh curiga seperti Anne.
Keduanya saling terdiam. Salah tingkah sekaligus bingung.
Ada apa sebenarnya? Apa mereka pernah bertemu sebelum ini?
"Yah..."tegur Ega pada ayahnya. Ia butuh penjelasan. Begitu juga dengan Anne.
Ayah Ega tergagap.
Rahasia yang ia simpan selama puluhan tahun telah terbentang dihadapannya. Apakah ia masih akan membungkam mulutnya?
Beberapa saat terdiam akhirnya sebuah cerita mengejutkan meluncur dari bibir ayah Ega.
Mama Anne ternyata adalah mantan istrinya. Mereka mempunyai sepasang anak kembar laki-laki dan perempuan. Anak mereka adalah Anne dan Ega. Namun mereka berdua bercerai saat umur Anne dan Ega dua tahun.
Ega dibawa ayahnya pergi, sementara Anne ikut mamanya.
Dan setelah sekian tahun terpisahkan akhirnya takdir mempertemukan mereka kembali. Dalam suasana yang tidak terduga.

~~~##~~~

"Bagaimana keadaan Anne Tante?"tanya Ben begitu mama Anne membuka pintu rumahnya. Namun raut wajah wanita itu tampak kusut. Tak gembira sama sekali.
"Tidak baik,"sahutnya pendek. Ia lantas menyuruh Ben masuk.
"Dia tidak mau makan dan tidak mau keluar dari kamarnya,"ujar mama Anne setelah mereka sampai didepan pintu kamar Anne. "Tante tidak tahu lagi bagaimana membujuknya. Tante takut keadaannya bertambah parah."
Ben menguak daun pintu kamar Anne. Gadis itu tampak terbaring lemah diatas tempat tidurnya. Wajahnya pucat dan tirus. Matanya terpejam dan seolah enggan untuk terbuka kembali.
"Dia belum bisa menerima kenyataan kalau orang yang dia cintai adalah saudara kembarnya,"tandas mama Anne seraya mendekat ke tempat tidur putrinya. Disusul langkah gontai Ben. Cowok itu merasa trenyuh melihat kondisi Anne.
"Dia tidak boleh terus seperti ini Tante,"ujar Ben. "Kita harus melakukan sesuatu."gumamnya.
Mama Anne terdiam.
Ini memang tidak boleh dibiarkan. Anne tidak boleh mencintai saudara kembarnya....
"Kita harus membawanya kerumah sakit segera,"ucap Ben kemudian. Ia takut jika keadaan Anne bertambah parah dari sekarang ini.
Mama Anne setuju. Hari itu juga Anne dibawa ke rumah sakit terdekat sebelum keadaannya bertambah parah.

~~~##~~~

Semua orang tampak resah didepan kamar Anne. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.
Anne koma. Entahlah, dokter juga tak bisa mendiagnosa apa yang tengah dideritanya.
"Bagaimana dia tumbuh besar?"suara ayah Anne terdengar memecah kesunyian. Menggugah mama Anne dari lamunannya.
"Dia tumbuh dengan baik,"gumam mama Anne lirih. "Dia adalah gadis yang cerdas dan baik. Dia selalu menurut pada mamanya."
Laki-laki itu tersenyum.
"Ega juga,"sahutnya. "Tapi memisahkan mereka berdua adalah sebuah kesalahan terbesar yang pernah kita lakukan,"imbuhnya penuh penyesalan.
Mama Anne menghela nafas panjang.
"Itu adalah kesalahan masa lalu,"ucap mama Anne.
Hening. Tak ada yang bersuara lagi. Bahkan Ben yang berada tak jauh dari tempat itu tak mau ikut menyela percakapan kedua orang itu.
Lantas dimana Ega? Kemana dia tidak muncul disaat seperti ini?
Seorang dokter muncul dari dalam kamar Anne. Rautnya tampak ditekuk. Seperti ada sesuatu yang tidak menggembirakan yang akan ia sampaikan. Mungkinkah...
"Maaf Nyonya,"ucap dokter itu memulai penuturannya. Dan mama Anne telah bisa meraba maksud ucapan dokter itu meski ia belum mengatakannya.
Mama Anne nyaris tak bisa menguasai keseimbangan tubuhnya. Namun untung saja Ben bergerak cepat dan menangkap tubuh calon ibu mertuanya itu sebelum benar-benar jatuh ke lantai.
Anne meninggal. Gadis itu benar-benar pergi untuk selamanya. Ia sudah tidak mau membuka matanya barang sekejap. Meski hanya untuk menyangkal kenyataan bahwa Ega adalah saudara kembarnya. Bahkan ia tak mau melihat kenyataan yang sebenarnya.
Tepat disaat itu juga ponsel ayah Ega berdering. Dari polisi.
"Ega mengalami kecelakaan tunggal di jalan tol. Dia meninggal di tempat kejadian...."
Informasi yang disampaikan polisi terlalu singkat dan begitu memukul perasaan.
Kenapa mereka berdua pergi bersamaan? sesal ayah Ega seraya menjatuhkan ponselnya dengan tak sadar. Laki-laki itu gemetar dan bersandar pada tembok rumah sakit.
Mereka saling mencintai satu sama lain. Sebuah cinta terlarang. Bahkan mereka tidak pernah bertemu apalagi berbincang sejak hari dimana mereka tahu mereka adalah saudara. Mereka sama-sama tak bisa menerima kenyataan tapi mereka meninggal secara bersamaan. Apakah tali yang mengikat mereka berdua terlalu kuat sehingga mereka bisa mengalami hal ini seolah telah merencanakan takdir kematian mereka sendiri? Hanya Tuhan yang tahu....