Minggu, 12 Januari 2014

BLACK SHADOW


Uh... Irin mendesah pelan. Segumpal awan bergelayut berat diatas kepalanya.
Gadis itu berdiri resah di bawah atap halte bus. Berharap akan ada bus yang segera datang sebelum hujan turun.
"Hai Rin,"sapaan manis itu terdengar sesaat kemudian. Memaksa gadis itu untuk mengalihkan perhatiannya dari jalanan.
Fajar tersenyum tipis saat Irin menoleh.
"Tumben sendirian,"cecar Fajar cepat sebelum Irin membalas sapaannya. "Mana Gea? Biasanya kan kalian bareng,"ujarnya seraya meneliti sisi kanan dan kiri Irin.
Irin tersenyum pahit. Gadis itu menelan ludahnya sendiri begitu Fajar menyebut nama Gea.
Selalu Gea, batinnya. Setiap ia tak bersama Gea, teman-temannya pasti akan bertanya tentang Gea. Saat ia bersama Gea pun, orang hanya akan menyapa Gea. Bukan dirinya.
"Gea udah pulang duluan,"balas Irin sejurus kemudian.
"Kok nggak bareng sekalian?"desak Fajar lagi.
Mana mungkin ia pulang bareng Gea, batin Irin. Mana pantas ia naik mobil Gea yang mahal itu...
"Rumah kami nggak searah,"jelas Irin kemudian.
"Oh..."gumam Fajar seraya manggut-manggut.
Kenapa?batin Irin mulai curiga. Apa Fajar juga menyukai Gea seperti cowok-cowok lain? Dan ia mendekati Irin hanya untuk mengorek informasi tentang Gea. Modus seperti itu sudah sering dilakukan cowok-cowok yang naksir Gea....
"Aku naik duluan Jar,"pamit Irin saat sebuah bus datang tepat disaat titik-titik gerimis pertama mulai berjatuhan. Dan Fajar tersenyum seraya melambaikan tangannya ke arah Irin.
Kenapa mesti Gea?batin Irin seraya membuang pandangan matanya keluar jendela bus.
Gea memang lebih menonjol ketimbang Irin. Gadis itu lebih cantik, tajir dan populer. Banyak cowok yang menyukainya.
Sedang apalah arti seorang Irin bila disandingkan dengan Gea. Ia tak lebih dari bayangan Gea.
Irin yang selalu mengikuti Irin bak seorang bodyguard, atau bahkan seperti pembantu. Disuruh ini itu oleh Gea. Dan bodohnya Irin yang mau saja diperlakukan seenaknya oleh Gea.
Sudah cukup, batin Irin. Ia tidak mau hanya menjadi bayangan Gea. Ia tidak mau lagi mengikuti gadis itu lagi hanya karena ingin menjadi populer seperti Gea.
Irin ingin menjadi dirinya sendiri...

@@@@@

"Rin, anterin aku shopping ntar pulang sekolah ya,"suara Gea terdengar manis merayu didekat telinga Irin. Gadis itu meletakkan pantatnya disebelah Irin yang sedang sibuk menyalin catatan Fisika dari papan tulis.
Irin tertegun sejenak.
"Sorry, aku nggak bisa Ge,"tolak Irin sejurus kemudian.
Wajah Gea tampak kecewa usai mendengar jawaban sahabatnya.
"Masa nggak bisa sih?"desak Gea. Kemarin lusa Irin juga tidak bisa mengantarnya pergi ke mal. Hari ini juga. Sesibuk apa Irin akhir-akhir ini? Kenapa Irin bersikap seperti menghindarinya?
"Ada banyak pesenan kue dirumah,"jelas Irin berdusta. Mungkin hanyalah itu satu-satunya alasan yang tepat untuk diberikan pada Gea.
Lagipula untuk apa ikut dengan Gea shopping jika ia hanya dimanfaatkan untuk membawakan tas-tas belanjaan Gea. Irin juga tidak punya uang untuk membeli barang-barang mahal di mal.
"Oh,"Gea bergumam.
"Mungkin lain kali kita bisa pergi bareng,"ucap Irin seraya tersenyum tipis. Untuk mengelabui perasaan Gea. Agar sahabatnya itu tidak tersinggung dengan penolakannya.
"Ok,"sahut Gea cepat. "Kalo gitu aku ngajak Raffa aja deh."
Gea berlalu dari tempat duduknya. Meninggalkan aroma parfum yang konon impor dari Paris disekitar tempat duduk Irin.
Ah....
Irin menghela nafas. Ia meletakkan pulpennya diatas meja.
Itulah yang membedakan dirinya dengan Gea, batinnya.
Hidup Gea sangat sempurna. Cantik, populer dan punya segalanya. Bahkan ia punya pacar yang ganteng dan baik hati pula. Semua yang dimiliki Gea menumbuhkan rasa benci dan iri dihati Irin.
Gadis itu bahkan tak bisa mencegah dirinya sendiri untuk tidak mencemburui apa yang dimiliki Gea.
Andai saja mereka terlahir dengan status sosial yang sama....

@@@@@

Irin hanya bisa menggigit bibirnya saat motor Raffa lewat. Sementara Gea duduk di boncengan Raffa seraya memeluk pinggang cowok itu dengan mesra.
Oh Tuhan, desis Irin. Kenapa kecemburuan pada sahabatnya itu mesti mengalahkan akal sehatnya? Bukankah tak semestinya ia iri pada apa yang dimiliki Gea. Seharusnya ia bersyukur pada apa yang ia miliki sekarang...
Irin bergegas naik bus pertama yang berhenti di halte. Dengan dipenuhi bermacam pikiran tentang Gea.
Mungkin ia harus menjauhkan dirinya dari Gea sebelum ia benar-benar membenci sahabatnya itu. Karena bukan salah Gea jika Irin tak seberuntung dirinya.
Irin sampai didepan rumahnya dua puluh menit kemudian. Gadis itu terkejut begitu sampai disana.
"Mas Bimo..."
Bimo menghentikan kegiatan makan siangnya saat Irin menegurnya.
"Kamu udah pulang Rin?"balasnya kemudian.
Irin mendekat ke tempat kakaknya. Tapi tampaknya ia tidak begitu senang melihat kakaknya yang sudah lama tidak pulang itu.
"Kenapa pulang kesini?"tanya Irin terdengar seperti menghardik kakaknya.
"Hei, kenapa marah? Harusnya kamu senang kakakmu pulang,"ucap Bimo heran.
"Aku lebih senang kalo kakak nggak pulang."
"Ada apa denganmu?"
"Kemana saja Mas Bimo selama ini? Apa Mas Bimo tahu gimana kehidupan kami selama ini?"cecar Irin cepat. Dan emosional. "Hidup kami sangat menderita, apa Mas Bimo tahu itu? Apalagi rentenir itu nggak berhenti meminta bunga pinjaman. Bahkan rumah ini nyaris disita kalo saja ibu nggak memohon-mohon untuk dikasihani,"tutur Irin dengan mata berkaca-kaca.
"Karena itulah aku datang untuk membawa kalian pindah dari sini,"tukas Bimo.
"Emangnya Mas Bimo udah jadi orang kaya?"potong Irin setengah menyindir.
"Nggak juga. Tapi aku udah punya rumah sendiri. Kita bisa tinggal bertiga disana. Bersama ibu,"ujar Bimo menjelaskan maksud kedatangannya.
"Aku nggak mau,"sahut Irin tegas.
"Kenapa?"
"Karena Mas Bimo mendapatkan rumah itu dengan bekerja menjadi debt colector. Lalu apa bedanya Mas Bimo dengan rentenir itu?!"seru Irin.
"Heh, jangan ngawur kalo ngomong!"balas Bimo seraya berteriak pula.
"Jangan pikir aku nggak tahu apa yang Mas Bimo lakukan diluar sana!"
Irin membanting pintu kamarnya dengan keras. Gadis itu tampak marah pada kakaknya.
"Irin!"seru Bimo lantang. "Aku melakukan semua ini untuk kalian. Untuk kamu dan ibu. Apa kamu nggak mau mengerti juga?!"
Tak ada jawaban. Namun samar-samar terdengar isak tangis dari balik pintu kamar Irin...

@@@@@

"Rin."
Irin nyaris menjatuhkan buku Biologi di tangannya karena kaget saat seseorang menyentuh pundaknya.
Gadis itu membalikkan tubuhnya dan mendapati Raffa telah berdiri dihadapannya.
Oh...
Irin tersenyum kaku melihat cowok Gea itu ada dihadapannya sekarang.
"Gea nggak masuk hari ini Raf,"ucap Irin memberitahu. Pasti Raffa repot-repot mencarinya sampai ke perpus hanya untuk bertanya tentang pacarnya.
"Ya,"sahut Raffa pendek. Cowok itu tampak tidak terkejut dengan pemberitahuan Irin. Mungkin Gea telah memberitahu Raffa sebelumnya.
"Gea udah ngasih tahu kamu kalo dia nggak masuk? Emang Gea kenapa?"tanya Irin menyambung pembicaraan.
Raffa mengangguk pelan.
"Aku mau ngobrol sama kamu,"ucap Raffa. "Kamu nggak sibuk kan?"
Irin menggeleng. Sedikit curiga.
"Emang ada apa?"tanya Irin pelan.
"Nggak, aku cuma pingin tahu sedikit tentang Gea,"tandas Raffa. "Kamu kan sahabatnya."
Irin tersenyum kaku. Ada sesuatu yang mencurigakan, batinnya.
"Apa Gea punya cowok lain selain aku?"tanya Raffa sejurus kemudian.
Irin mengernyitkan kening.
"Setahuku nggak,"jawab Irin. "Kenapa kamu mikir kayak gitu?"
"Aku cuma merasa Gea semakin jauh dariku. Aku merasa diabaikan olehnya akhir-akhir ini. Dia udah nggak kayak dulu lagi. Seolah aku ini bukan orang yang paling penting dalam hidupnya,"tutur Raffa sentimentil.
Irin mendesah pelan. Dialah yang paling tahu bagaimana sifat Gea. Bagaimana egoisnya gadis itu. Tapi bibir Irin tidak akan menceritakan semua itu pada Raffa. Tidak mungkin ia menjelek-jelekkan sahabatnya itu didepan Raffa.
"Kamu pasti tahu semua tentang Gea,"tandas Raffa. Karena Irin masih menutup mulutnya.
Irin tersenyum pahit.
"Mungkin dia sibuk Raf,"ucap Irin kemudian. "Tapi aku yakin kok, kalo dia sebenarnya sayang kamu. Mungkin kamu saja yang terlalu sensitif,"imbuhnya lagi.
Raffa tersenyum mendengar penuturan Irin. Ia tak begitu mempercayai ucapan sahabat Gea yang terkesan melindungi Gea.
"Aku emang nggak mengenal Gea sebaik kamu,"ucap Raffa. "Tapi aku bisa merasakan saat seseorang mulai berubah. Dan aku juga tahu saat seseorang bicara jujur atau bohong."
Oh Tuhan, batin Irin bergetar. Kenapa Raffa berkata seperti itu? Apa ia mencurigai sesuatu dari Gea ataupun dirinya?
"Aku balik ke kelas dulu ya,"pamit Raffa sesaat kemudian. Memutuskan ketegangan pada diri Irin.
Sementara Raffa pergi, Irin hanya bengong ditempatnya seraya menatap punggung Raffa. Ada begitu banyak pertanyaan berkecamuk didalam benaknya. Tentang Raffa...

@@@@@

Gea menghadang langkah Irin di depan kelas pagi ini. Tumben...
"Kemarin kemana Ge? Kok nggak masuk?"tanya Irin begitu tahu jika ia sedang ditunggu oleh sahabatnya.
"Nggak kemana-mana,"sahut Gea datar. "Aku pingin ngomong sama kamu Rin."
Irin tertegun. Ada apa, batinnya. Seperti ada yang serius ingin dibicarakan Gea padanya.
"Ada apa emangnya?"tanya Irin penasaran.
Gea menghela naffas sejenak sebelum bicara.
"Aku denger kemarin kamu ngobrol sama Raffa di perpus. Emang apa yang kalian bicarakan?"tanya Gea penuh selidik. Matanya menatap Irin dalam-dalam.
Duh, kenapa berita tidak penting seperti itu sampai ke telinga Gea?batin Irin resah. Lagipula siapa yang mengadukan kabar itu pada Gea?
"Kami kebetulan ketemu disana. Terus aku bilang kalo kamu nggak masuk. Itu saja,"tutur Irin kemudian. Takut sahabatnya berpikiran macam-macam terhadap dirinya.
Gea manggut-manggut mendengar penjelasan Irin.
"Apa bener yang anak-anak bilang kalo kamu suka sama Raffa?"
Deg!
Jantung Irin berdetak keras. Satu pertanyaan yang dilontarkan Gea cukup membuatnya terhenyak kaget.
Gadis itu tersenyum kaku beberapa detik kemudian.
"Kamu ngomong apa sih? Emang siapa yang bilang kayak gitu?"tanya Irin bingung.
"Banyak yang ngomong kayakgitu,"sahut Gea datar. "Tapi apa berita itu bener?"
"Nggak mungkinlah...."
"Kalopun berita itu bener aku juga nggak masalah kok,"potong Gea cepat. "Aku rela kamu pacaran sama Raffa."
"Gea?!"pekik Irin kaget. Pernyataan Gea sungguh mencengangkan hati Irin.
"Aku udah nggak suka Raffa lagi,"cetus Gea lebih mencengangkan lagi.
"Gea? Kamu sadar apa yang kamu bicarakan kan?"tanya Irin sambil mengguncang pundak sahabatnya. Ia tak mengerti dengan apa yang dipikirkan Gea.
Tapi Gea malah tersenyum.
"Apa kamu pikir aku udah gila?"tanya Gea. "Aku masih waras Rin."
"Tapi..."
"Aku emang udah nggak suka sama Raffa,"ucap Gea menjelaskan. "Pacaran dengan Raffa tuh membosankan. Kamu nggak tahu kan kalo dia tuh pencemburu dan overprotective. Dan aku rasa aku udah nemuin cowok yang sesuai dengan tipeku."
Irin bengong mendengar penuturan Gea. Apa begitu mudah melupakan seseorang yang pernah ia cintai? Begitukah cara Gea mempermainkan perasaan Raffa?
Bel tanda masuk berbunyi. Mengakhiri perbincangan singkat didepan kelas antara kedua sahabat itu...

@@@@@

Kenapa ada orang seperti Gea didunia ini, batin Irin menerawang. Padahal ia punya segalanya yang diinginkan Irin, tapi ia seperti tidak mensyukuri apa yang ia miliki. Kasihan Raffa...
"Kenapa belum berkemas juga?!"sentak Bimo tiba-tiba. Mengejutkan lamunan adiknya. "Kita akan pindah besok. Kamu masih inget kan?"
"Siapa bilang aku mau pindah?"balas Irin dengan nada tinggi.
"Memangnya kamu mau tinggal dimana? Rumah ini akan disita sebentar lagi."
Irin mendengus kesal. Rumah mereka memang akan disita dalam waktu dekat. Dan tidak ada pilihan lagi selain mengikuti kakaknya pindah. Tapi Irin tidak mau...
"Rin,"mendadak ibu Irin muncul dan menengahi percakapan mereka. "Ada temenmu didepan. Dia nyariin kamu,"beritahu ibunya kemudian.
Siapa? Gea? batin Irin seraya bergegas melangkah keluar dari kamarnya.
Dugaan Irin salah. Bukan Gea yang datang, tapi Raffa.
Ada apa?batin Irin bertanya-tanya. Karena ini adalah kali pertama Raffa bertandang kerumahnya. Sepertinya ada hal yang sangat penting yang dibawa Raffa.
"Hai Raf,"sapa Irin kaku. "Tumben nyariin aku. Ada apa?"
Raffa tampak tegang.
"Gea... Rin. Gea mengalami kecelakaan,"ucap Raffa terbata.
Irin tercengang. Gadis itu nyaris tak percaya pada apa yang baru saja dikatakan Raffa.
"Bagaimana keadaannya?"gumam Irin gemetar. "Dia baik-baik saja kan?"
Raffa tak menjawab. Cowok itu masih tampak tegang dan cemas.
Irin dan Raffa meluncur ke rumah sakit beberapa saat setelah itu....

@@@@@

Irin duduk terpekur dikursi. Matanya tampak sembab meski tak lagi mengeluarkan air mata. Tatapan matanya lurus ke tembok. Kosong.
Pikirannya melayang entah ke sudut langit mana.
Gea mengalami kecelakaan tunggal di jalan tol beberapa jam yang lalu. Mobil yang ia tumpangi menabrak pembatas jalan dan mobilnya terbalik.
Gea terluka parah. Gadis itu sedang koma sekarang.
Ia sedang berjuang antara hidup dan mati.
Kasihan Gea...
Raffa mendekat ke tempat duduk Irin. Iapun tak kalah berdukanya dengan Irin.
"Polisi menemukan ini didalam mobil Gea,"ucap Raffa seraya menyodorkan sesuatu ke hadapan Irin.
Irin tampak bingung mendengar pernyataan Raffa. Tapi gadis itu meraih sebuah buku dari tangan Raffa. Diary milik Gea?
Raffa mengisyaratkan pada Irin untuk membaca isi buku pribadi milik Gea itu.
Irin membuka lembar-lembar diary itu dengan tangan gemetar.....
Dan air mata Irin tak bisa terbendung lagi manakala ia membaca coretan-coretan Gea tentang dirinya.
Ternyata selama ini Gea sangat menyayangi dirinya, bahkan seperti saudara kandungnya sendiri. Tapi Irin terlalu minder karena ia tidak kaya seperti Gea, begitu ulas Gea dalam diarynya.
Gea juga menyebutkan hal-hal yang disukainya dari Irin. Bahkan Gea juga bersedia memberikan Raffa jika Irin mau. Karena Gea tahu jika Irin juga memendam perasaan terhadap Raffa. Namun Irin terlalu pandai menyembunyikan perasaannya. Karena Irin tak ingin melukai hati Gea.
Begitulah isi diary Gea yang kini ada dalam genggaman Irin.
Jadi karena itulah Gea mulai menjauhi Raffa akhir-akhir ini. Dan karena itu pula Gea mengatakan kebohongan bahwa ia sudah tidak menyukai Raffa lagi. Sekarang Irin mengerti....
Tangis Irin pecah. Segenap penyesalan menyeruak kedalam dadanya.
Ternyata Gea yang selalu ia cemburui dan ia benci tidak seburuk yang ia pikirkan selama ini. Bahkan sahabatnya itu terlalu baik....
Oh Tuhan, isak Irin. Tolong selamatkan Gea. Kalau perlu biar aku saja yang menggantikan posisi Gea sekarang ini, doa Irin dalam hati.

@@@@@

"Cepat masukkan tasmu ke mobil!"teriak Bimo pada Irin yang tidak segera bergegas memasukkan barang-barangnya ke atas mobil. Karena gadis itu masih tampak enggan untuk pergi dari rumah itu.
Irin mengangkat tasnya keluar dari rumah seperti permintaan kakaknya. Tanpa protes sama sekali.
"Kamu mau pindah?"
Teguran itu terdengar saat Irin hendak memasukkan tasnya ke dalam mobil. Gadis itu tertegun barang sesaat setelah mendapat teguran itu.
Raffa telah berdiri disebelahnya dengan pandangan penuh curiga.
Irin hanya menganggukkan kepalanya perlahan. Namun ia tak ingin menjelaskan sesuatu tentang kepindahannya.
"Maafkan aku Raf,"gumam Irin nyaris tak terdengar. Suaranya serak. Mungkin karena terlalu banyak menangis.
"Aku udah banyak bersalah pada Gea dan kamu,"imbuh Irin pelan. "Aku bukan sahabat yang baik untuk kalian. Karena aku kalian jadi kayak gini. Maafkan aku nggak bisa nemenin Gea di rumah sakit. Karena kami harus pindah hari ini juga,"tutur Irin dengan nada menyesal.
Raffa menghela nafas mendengar ucapan Irin.
Sebenarnya masih banyak penyesalan yang ingin diungkapkan Irin, tapi hanya Gea yang pantas mendengar penyesalannya.
"Aku harap Gea cepet sadar..."
"Rin,"ucap Raffa cepat. Tangannya telah menyambar lengan Irin untuk menghentikan gerakan gadis itu.
"Aku tahu seberapa banyak penyesalan yang ada dihatimu. Gea udah banyak bercerita tentangmu selama ini,"ujar Raffa sengaja ingin menarik perhatian Irin.
Irin tertegun menatap cowok itu.
Apa yang sebenarnya Raffa inginkan?batinnya gelisah.
"Kamu belum membaca diary itu sampai habis kan?"
Irin menggeleng. Ia memang belum sempat membaca diary itu sampai halaman terakhir. Karena ia tak kuasa membaca curahan hati Gea lebih jauh lagi...
"Gea tahu jika akhirnya kayak gini,"ucap Raffa membuat Irin tercekat. "Bahkan dia sempat menulis kalo dia meninggal suatu saat nanti, dia berharap aku dan kamu bisa pacaran seperti yang dia inginkan."
Apa? batin Irin kaget. Gea... kenapa ia bisa berpikir seperti itu?
"Kamu bohong kan Raf?"tanya Irin tak percaya. "Gea masih hidup, dan aku nggak mungkin merebut kamu darinya."
Raffa menggeleng perlahan.
"Dia udah pergi pagi tadi Rin,"ujar Raffa bagai petir yang menyambar telinga Irin. "Dan dia udah tahu jika umurnya nggak panjang. Dia nulis itu di halaman terakhir."
Irin terhenyak tak percaya. Gadis itu nyaris ambruk ke tanah jika saja Raffa tak segera menopang tubuhnya.
"Nggak mungkin,"gumam Irin dengan bibir gemetar. "Gea....."
Kenapa semua ini terjadi pada Gea? Kenapa bukan pada Irin saja?
Langit mendadak berjatuhan ke atas kepala Irin. Gadis itu kehilangan kesadarannya beberapa saat kemudian. Ia pingsan....

Gea....
Apa dia tidak tahu jika selama ini aku selalu mencemburui apa yang ia punya? Bahkan aku sangat membenci kepopulerannya. Dan aku membiarkan diriku menjadi bayangan hitam disekelilingnya?
Maafkan aku Gea...
Aku tidak pernah menjadi sahabat yang baik untukmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar