Jumat, 10 Januari 2014

Pertalian Hati


Sepasang mata milik Anne lurus menatap ke dalam etalase kaca. Ke arah jajaran kue tart yang dipajang rapi didalam sana. Ada berbagai macam varian rasa dan bentuk. Cokelat, strawberry, cheese, lemon.....
Gadis itu masih bingung memilih kue mana yang ingin ia beli. Karena semua tampak menarik dan menggiurkan.
"Mau beli kue tart juga?"
Anne tertegun. Seorang cowok baru saja menegur dirinya.
Gadis itu mengiyakan dengan suara lirih. Sepasang matanya sempat mencuri pandang ke sebelah. Dimana cowok asing itu berdiri dan tampak sedang menatap ke dalam etalase dengan sibuk.
"Sama dong,"gumam cowok itu menyahut. "Memang siapa yang sedang ulang tahun?"tanya cowok itu kembali dengan nada datar.
Anne menghela nafas sejenak.
"Aku,"sahut Anne pendek. Ia sempat menduga cowok itu bakalan menertawakan jawabannya. Nyatanya salah.
"Benarkah?"gumam cowok itu sambil tertawa renyah. "Aku juga mau beli kue tart untukku sendiri. Karena hari ini adalah ulang tahunku. Apa hari ini juga ulang tahunmu?"
"Hm,"Anne menganggukkan kepalanya.
"Kebetulan sekali,"sahut cowok itu kembali tergelak. "Kalau begitu kita sama dong,"tandas cowok itu terdengar gembira.
Namun Anne menyambut ucapan cowok itu dengan senyum tipis. Ia sedikit ragu dengan ucapan cowok asing itu. Apakah hal itu hanya sekedar kebetulan belaka, ataukah sebuah kebetulan yang ia ciptakan sendiri hanya untuk meraih simpati Anne.
"Oh ya, kenalkan namaku Ega."
Cowok itu mengulurkan jabat tangan perkenalan kepada Anne beberapa detik kemudian.
"Anne,"ucap gadis itu memperkenalkan diri seraya balas menjabat tangan Ega.
"Happy birthday ya,"ucap Ega. "Semoga kamu panjang umur, sehat selalu dan sukses...."
Anne tersenyum.
"Kenapa? Apa ucapanku terlalu standar?"tanya Ega dengan ekspresi lucu.
"Mungkin,"sahut Anne cepat. Gadis itu mulai menjauhkan rasa canggungnya pada cowok itu.
Ega tertawa lepas. Cowok itu menggaruk kepalanya.
"Kalau begitu biar aku yang traktir kue tartnya, sekaligus sebagai kado ulang tahun dan tanda perkenalan kita. Bagaimana?"tawar Ega dengan senyum tersungging di bibirnya.
Anne terdiam. Pasti ia sedang menimbang tawaran Ega.
"Apa susah menjawab iya?" sentak Ega sembari menjentikkan jarinya didepan Anne untuk membangunkan gadis itu dari kebisuannya.
"Bukan..."
"Apa karena aku orang asing?"tanya Ega memotong. "Tenang saja, aku bukan penculik kok. Rumahku persis di tikungan jalan. Kalau kamu tidak percaya kamu bisa tanya..."
"Aku percaya kok,"sahut Anne menimpali.
"Kalau begitu bagaimana kalau kue cokelat itu? Biasanya cewek paling suka rasa cokelat,"tawar Ega beralih topik kedalam etalase kue.
"Boleh,"jawab Anne setuju.
Akhirnya Ega memesan dua kue tart rasa cokelat kepada pelayan toko. Satu untuk Anne dan satu untuk dirinya sendiri.
"Thanks ya,"ucap Anne sebelum pamit dari hadapan Ega. "Happy birthday juga......"
Anne telah pergi usai mengucapkan selamat pada Ega. Padahal Ega masih ingin bertanya sesuatu pada gadis itu.
Pasti ada lain kali, batin cowok itu seraya melangkah keluar dari Moonlight Bakery....

~~~##~~~

"Anne... beli kue kok lama sekali,"sambut mama Anne saat melihat putrinya datang. Wajar jika wanita itu merasa cemas karena semenjak mereka pindah ke tempat itu, Anne sama sekali belum pernah keluar sendirian. Ia takut jika putrinya tersesat karena belum hafal jalan.
"Anne tidak tersesat kok Mam,"sahut Anne seakan tahu apa yang sedang dipikirkan mamanya.
Mama Anne menghela nafas panjang. Mungkin kecemasannya terlalu berlebihan, pikirnya kemudian.
"Ben ada di ruang tengah. Dia menunggumu dari tadi,"beritahu mama Anne kemudian.
Anne tak terkejut mendengar pemberitahuan mamanya. Hanya saja ia tampak tidak senang mendengar mamanya menyebut nama cowok itu.
"Hai Ne,"sapa Ben menyambut kedatangan Anne,
Anne tersenyum kaku. Ia pura-pura berjalan ke dapur dan meletakkan kue tart yang ia beli di atas meja makan. Padahal ia sedang menghindar dari cowok itu.
"Kenapa mesti repot-repot beli kue tart sih? Hari ini kan ulang tahunmu dan aku sudah membelikanmu kue tart...."
Ben menyusul langkah Anne ke meja makan dan menunjukkan kue tart yang ia letakkan disana beberapa waktu yang lalu.
Anne menghela nafas demi melihat kue tart yang dibawa Ben jauh lebih besar dari kepunyaannya.
"Thanks Ben,"ucap Anne menunjukkan basa-basinya.
"Happy birthday honey,"ucap Ben beberapa detik kemudian. Ia mengecup kening Anne dengan lembut.
Sementara Anne membiarkan keningnya dikecup Ben meski ia sedikit merasa risih dengan perlakuan cowok itu.
Ben mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya. Rupanya sebuah cincin mirip cincin pernikahan...
"Apa ini Ben?"tanya Anne bingung ketika Ben hendak memakaikan cincin itu di jari manisnya.
"Ini hadiah ulang tahun Ne,"jelas Ben seraya memakaikan cincin itu di jari manis Anne.
"Sebaiknya kalian segera bertunangan,"sela mama Anne tiba-tiba. Wanita itu mendadak muncul di belakang mereka.
"Mam.."seru Anne tersendat. Mana mungkin ia bisa menentang ucapan mamanya sementara ada Ben didepannya. Sementara ia dan mamanya punya sejumlah hutang pada Ben. Bahkan rumah yang mereka tempati sekarang juga milik Ben....
"Iya Tante,"sahut Ben tampak senang. Memang itulah yang ia harapkan selama ini.
"Kita bicarakan itu nanti,"ucap mama Anne. "Sekarang kita potong saja kuenya. Bagaimana?"usul mama Anne kemudian. Dan usul itu disetujui oleh Ben...

~~~##~~~

"Hai,"tegur Ega manis. "Kamu tinggal disini?"
Anne yang kala itu sedang menyiram bunga didepan rumah, bergegas menghentikan pekerjaannya begitu tahu Ega menegurnya.
Gadis itu tersenyum lantas menghampiri pagar dan membukanya untuk Ega.
"Iya,"sahut Anne. "Kamu sedang apa?"
"Sedang olahraga,"sahut Ega seraya memperlihatkan sepatu kets dan pakaian trainingnya. "Aku setiap hari Minggu lari keliling kompleks ini. Kalau kamu mau kita bisa olahraga bareng,"tawar Ega.
"Aku paling malas kalau disuruh olahraga,"sahut Anne.
"Pantas saja kamu kurus...."
"Aku kurus bukan karena kurang olahraga, tapi karena diet,"timpal Anne berkelit.
Ega meledakkan tawa mendengar ucapan Anne.
"Oh ya, ada menu baru di Moonlight Bakery. Kamu mau coba?"tanya Ega beralih topik.
"Apa?"
"Rainbow cake. Memang bukan kue baru sih, cuma baru ada disana seminggu yang lalu. Kalau kamu mau kita bisa makan bareng...."
"Aku mau. Kapan?"sahut Anne tampak antusias.
Ega terbahak keras.
Sementara Anne mengerutkan kening.
"Apanya yang lucu?"tanya Anne polos.
"Kamu tidak takut aku akan menculikmu?"timpal Ega cepat. "Kenapa langsung setuju?"
Anne tersenyum.
"Kita kan teman.."
Ega manggut-manggut.
"Besok aku tunggu di Moonlight jam 4 sore. Deal?"
Anne menyetujui penawaran Ega untuk bertemu di Moonlight Bakery jam 4 esok hari.
"Anne!"
Teriakan mama Anne terdengar keras dari dalam rumah dan mengakhiri pertemuan singkat itu...

~~~##~~~

"Bagaimana? Enak tidak?"tanya Ega seraya mengamati gadis dihadapannya yang sedang mengunyah suapan kuenya.
"Lumayan,"sahut Anne tampak cuek.
"Cake seenak ini kamu bilang lumayan?"tukas Ega heran.
"Hm..."
"Kamu ini....."ucap Ega. "Mungkin lain kali kita bisa makan es krim. Didekat sini ada toko es krim yang terkenal enak lho. Kamu tahu tempatnya kan?"
Anne menggeleng.
"Aku baru pindah ke tempat ini seminggu yang lalu,"jelasnya.
"Benarkah?"potong Ega heran. "Pantas saja aku tidak pernah melihatmu sebelum ini. Oh ya, lain kali aku ajak kamu jalan-jalan di sekitar sini."
"Ok."
"Berapa orang yang tinggal dirumahmu?"tanya Ega melanjutkan perbincangan sembari menikmati kuenya.
"Hanya aku dan mama,"jawab Anne. "Papaku sudah meninggal sejak aku berumur dua tahun. Dan mama tidak menikah lagi sejak itu. Aku tidak tahu kenapa, tapi yang pasti mama menghabiskan hidupnya untuk bekerja dan merawatku,"jelasnya kemudian.
"Oh,"gumam Ega tersentuh dengan penuturan gadis itu. "Mungkin mamamu terlalu mencintai papamu sehingga dia tidak menikah lagi,"ucapnya menanggapi cerita Anne.
"Mungkin,"sahut Anne.
"Tumbuh besar tanpa sosok ayah pasti sangat berat buatmu,"ujar Ega lagi.
Anne mengangguk.
"Kehidupan kami memang sangat sulit. Kami terpaksa berpindah-pindah tempat tinggal karena terbentur biaya sewa rumah. Tapi mama tidak pernah mengeluh tentang hal itu. Kadang aku kasihan melihat mama bekerja keras sendirian,"ungkap Anne.
"Tidak ada hidup yang mudah..."tandas Ega.
"Eh, kok aku jadi curhat sih,"ucap Anne menyadari sesuatu. "Bagaimana dengan keluargamu? Apa kamu punya saudara?"
"Aku punya seorang adik perempuan. Tapi bawelnya luar biasa,"tutur Ega sejurus kemudian.
"Benarkah?"sambut Anne antusias. "Pasti menyenangkan punya saudara."
"Tidak juga,"sahut Ega. "Oh ya, aku tidak menduga kita akan akrab secepat ini.."
Anne tersenyum. Ega benar. Padahal mereka baru bertemu tiga kali ini, tapi mereka sudah seakrab ini.
"Mungkin karena kita lahir di hari yang sama..."

~~~##~~~

Kehadiran Ega ternyata membawa warna tersendiri kedalam hidup Anne. Gadis itu menemukan sebuah rasa nyaman saat bersama cowok itu. Entah itu cinta atau bukan. Tapi saat bersama dengan Ega merupakan saat yang paling menyenangkan.
Mereka berbagi cerita, tawa, dan canda bersama. Mereka juga punya banyak kecocokan.
Dan Anne paling suka saat Ega mengajaknya pergi berburu menu baru. Karena mereka punya selera yang sama dalam hal kuliner.
Semakin Anne mengenal Ega, ia semakin menyukai cowok itu. Meski ia tahu hari pertunangannya dengan Ben semakin dekat. Tapi ia hanya gadis biasa yang tak bisa menolak saat ia mulai merasakan suka pada seseorang.
Rupanya mama Anne mulai mencium perubahan sikap putrinya. Ia tahu bahwa Anne sedang dekat dengan seseorang. Makanya malam itu ia mendatangi Anne didalam kamarnya. Untuk membicarakan perihal pernikahan Anne....
"Mama rasa sudah waktunya kamu dan Ben menikah,"ucap mama Anne seraya mengambil tempat duduk di tepian tempat tidur putrinya.
"Mam..."
"Umur kamu sudah lebih dari cukup Ne,"potong mamanya sebelum Anne sempat mengutarakan isi hatinya.
"Bukankah kami hanya akan bertunangan dalam waktu dekat ini?"
"Tapi pada akhirnya kalian akan menikah, jadi mama pikir pertunangan hanya akan membuang waktu saja. Lagipula Ben juga orang yang sibuk...."
"Tapi Anne tidak ingin menikah sekarang Mam,"tandas Anne keberatan.
"Ne,"ucap mamanya seraya membelai rambut Anne. "Kita berhutang banyak pada Ben,sayang. Saat kita berada dalam kesulitan, dialah satu-satunya orang menolong kita. Tanpa dia,mama tidak tahu seperti apa nasib kita sekarang. Memang ini seperti memanfaatkanmu sebagai pelunasan hutang, tapi hanya ini satu-satunya cara untuk membayar semuanya. Mama mohon mengertilah,"ulas mama Anne membujuk putrinya.
Anne tertegun. Merenungkan ucapan mamanya. Mereka memang tidak punya pilihan....
"Anne tidak mencintai Ben, Mam,"tandas Anne setengah bergumam.
"Anne?!"seru mamanya kaget. "Bicara apa kamu ini?"
"Anne menyukai orang lain Mam,"ucap Anne kembali. Dengan sedikit keberanian.
Mama Anne kaget mendengar pengakuan putrinya. Ia sudah menduga hal ini akan terkuak cepat atau lambat.
"Ini tidak boleh terjadi Ne,"tandas mamanya tegas. "Sebaiknya lupakan dia dan segeralah menikah dengan Ben. Kamu tahu, Ben sangat mencintaimu jadi mama mohon jangan mengecewakan mama."
"Tapi Mam...."
"Mama tidak mau tahu. Pokoknya kamu harus segera menikah dengan Ben. Mama akan mengatur semuanya untukmu."
Anne tak sempat menyahut ucapan mamanya. Wanita itu telah lebih dulu beranjak keluar dari kamar Anne. Menyisakan kesedihan di hati gadis itu....

~~~##~~~

Anne terdiam kaku di tempat duduknya. Sementara Ben dan mamanya sibuk berdiskusi tentang rencana pernikahannya dengan Ben. Tentang gaun pengantin, rencana resepsi, tanggal, tempat, undangan dan semuanya....
Gadis itu sama sekali tidak tertarik dengan pembahasan pernikahan. Pikirannya mengambang jauh ke tempat lain.
Harusnya saat ini dia berada di tempat lain. Ada sebuah janji yang telah ia sepakati dengan Ega.
Di Moonlight Bakery...
Ega pasti sedang resah menunggunya sekarang. Dan Anne tak bisa datang kesana untuk memenuhi janjinya. Meski sebuah pesan singkat telah ia kirimkan beberapa detik yang lalu, tetap saja ia merasa bersalah pada Ega.
Anne takut kehilangan Ega. Karena cowok itu adalah cinta pertama Anne....
"Bagaimana menurutmu Ne?"
"Hah?"Anne tergagap. Ia tersentak dari lamunannya sendiri saat Ben menyentuh punggung tangannya.
"Ben bertanya apa kamu suka contoh undangannya,"sahut mama Anne menyadari jika putrinya sedang tidak fokus pada pembahasan mereka.
"Terserah kalian,"sahut Anne tak bersemangat.
"Kamu sakit?"tanya Ben sesaat kemudian. Ia mengamati raut Anne dengan teliti. Jikalau ada sesuatu indikasi yang menunjukkan ada yang tidak beres dengan gadis itu.
"Aku baik-baik saja..."
Anne menangkap tatapan tajam mamanya. Pasti ia sangat kecewa atas sikap Anne.
Ben memang cowok yang baik. Bahkan kelewat baik. Ia sangat dewasa dan mencurahkan perhatian lebih pada Anne. Usianya 7 tahun lebih tua dari Anne. Tapi ini bukan masalah umur, melainkan masalah hati.
Ega memang sepantaran dengan Anne. Ia pandai menyegarkan suasana dan pribadinya hangat. Berada didekatnya membuat Anne nyaman dan merasa bahagia. Kedua pribadi mereka memang berbeda, tapi hati Anne lebih cenderung pada Ega.
Seandainya mereka tidak punya hutang pada Ben, Anne pasti bisa memilih......

~~~##~~~

"Apa kamu tahu aku menunggumu selama tiga jam disana?"
Ega meledakkan amarahnya pada Anne begitu gadis itu keluar dari pintu pagar rumahnya. Malam telah menyambangi kota, dan Ben baru saja pergi beberapa menit yang lalu dari rumah Anne. Sementara mama Anne sedang berada dikamar mandi.
"Maafkan aku Ga,"ucap Anne dengan nada menyesal. "Aku sudah mengirim sms tadi."
"Oh,"Ega menepuk jidatnya sendiri. "Aku lupa tidak membawa ponselku. Tapi kenapa kamu tidak bisa datang tadi? Apa kamu sakit?"
Anne menggeleng.
"Lalu?"pancing Ega lagi. "Apa kamu sudah tidak mencintaiku lagi?"tanya Ega terbata.
"Bukan,"timpal Anne cepat. Ada sedikit rasa takut terpancar dari sinar matanya.
"Lalu kenapa?"desak Ega tak sabar.
Anne tak menyahut. Namun tiba-tiba saja kedua matanya basah. Membuat Ega semakin bingung.
"Bawa aku pergi dari sini Ga,"ucap Anne mulai terisak. Gadis itu mendekap tubuh dengan tiba-tiba.
"Ada apa Ne?"tanya Ega bertambah bingung dengan sikap kekasihnya.
Beberapa saat kemudian setelah keadaan Anne tenang dan ia melepaskan tubuh Ega, barulah gadis itu buka mulut.
"Aku akan menikah minggu depan,"tutur Anne lirih.
"Apa?!"teriak Ega kaget.
"Mama telah mengatur semuanya,"ucap Anne. "Aku tidak mencintainya Ga. Kumohon, bawa aku pergi dari sini. Aku tidak mau menikah dengannya,"ratap Anne memohon pada kekasihnya.
Ega tertegun di tempatnya. Penuturan Anne seperti pukulan keras yang menghantam dadanya.
Semenjak bertemu Anne di Moonlight Bakery saat itu, ia telah jatuh cinta pada gadis lembut itu. Entah apa sebabnya, namun ia merasa begitu dekat dan terpikat dengan sosok Anne. Seperti ada tali yang tak terlihat mengikat perasaannya dengan gadis itu. Perasaan yang sulit dijelaskan dengan kalimat...
"Aku tidak bisa membawamu pergi Ne,"ucap Ega sejurus kemudian. Membuat Anne sempat terkejut. "Tapi aku akan menyuruh ayahku untuk memintamu dengan baik-baik. Itu lebih terhormat ketimbang membawamu kabur."
Anne mengerti. Ia merasa sedikit lebih tenang sekarang.
"Masuklah, nanti mamamu cemas...."

~~~##~~~

Ayah Ega datang pagi ini. Bersama putranya. Sesuai janji Ega kemarin.
"Siapa yang datang Ne?"seru mama Anne dari dapur.
Gadis itu belum sempat menjawab ketika mamanya tiba-tiba muncul di belakangnya.
Mama Anne terperanjat begitu mengetahui siapa tamunya pagi ini. Wanita itu tak bisa menyembunyikan keterkejutan dari wajahnya.
"Kamu...."
Ayah Ega sama terkejutnya dengan mama Anne. Kedua orang itu seperti telah bertemu sebelumnya.
"Mama mengenalnya?"tanya Anne curiga. Ega juga menaruh curiga seperti Anne.
Keduanya saling terdiam. Salah tingkah sekaligus bingung.
Ada apa sebenarnya? Apa mereka pernah bertemu sebelum ini?
"Yah..."tegur Ega pada ayahnya. Ia butuh penjelasan. Begitu juga dengan Anne.
Ayah Ega tergagap.
Rahasia yang ia simpan selama puluhan tahun telah terbentang dihadapannya. Apakah ia masih akan membungkam mulutnya?
Beberapa saat terdiam akhirnya sebuah cerita mengejutkan meluncur dari bibir ayah Ega.
Mama Anne ternyata adalah mantan istrinya. Mereka mempunyai sepasang anak kembar laki-laki dan perempuan. Anak mereka adalah Anne dan Ega. Namun mereka berdua bercerai saat umur Anne dan Ega dua tahun.
Ega dibawa ayahnya pergi, sementara Anne ikut mamanya.
Dan setelah sekian tahun terpisahkan akhirnya takdir mempertemukan mereka kembali. Dalam suasana yang tidak terduga.

~~~##~~~

"Bagaimana keadaan Anne Tante?"tanya Ben begitu mama Anne membuka pintu rumahnya. Namun raut wajah wanita itu tampak kusut. Tak gembira sama sekali.
"Tidak baik,"sahutnya pendek. Ia lantas menyuruh Ben masuk.
"Dia tidak mau makan dan tidak mau keluar dari kamarnya,"ujar mama Anne setelah mereka sampai didepan pintu kamar Anne. "Tante tidak tahu lagi bagaimana membujuknya. Tante takut keadaannya bertambah parah."
Ben menguak daun pintu kamar Anne. Gadis itu tampak terbaring lemah diatas tempat tidurnya. Wajahnya pucat dan tirus. Matanya terpejam dan seolah enggan untuk terbuka kembali.
"Dia belum bisa menerima kenyataan kalau orang yang dia cintai adalah saudara kembarnya,"tandas mama Anne seraya mendekat ke tempat tidur putrinya. Disusul langkah gontai Ben. Cowok itu merasa trenyuh melihat kondisi Anne.
"Dia tidak boleh terus seperti ini Tante,"ujar Ben. "Kita harus melakukan sesuatu."gumamnya.
Mama Anne terdiam.
Ini memang tidak boleh dibiarkan. Anne tidak boleh mencintai saudara kembarnya....
"Kita harus membawanya kerumah sakit segera,"ucap Ben kemudian. Ia takut jika keadaan Anne bertambah parah dari sekarang ini.
Mama Anne setuju. Hari itu juga Anne dibawa ke rumah sakit terdekat sebelum keadaannya bertambah parah.

~~~##~~~

Semua orang tampak resah didepan kamar Anne. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.
Anne koma. Entahlah, dokter juga tak bisa mendiagnosa apa yang tengah dideritanya.
"Bagaimana dia tumbuh besar?"suara ayah Anne terdengar memecah kesunyian. Menggugah mama Anne dari lamunannya.
"Dia tumbuh dengan baik,"gumam mama Anne lirih. "Dia adalah gadis yang cerdas dan baik. Dia selalu menurut pada mamanya."
Laki-laki itu tersenyum.
"Ega juga,"sahutnya. "Tapi memisahkan mereka berdua adalah sebuah kesalahan terbesar yang pernah kita lakukan,"imbuhnya penuh penyesalan.
Mama Anne menghela nafas panjang.
"Itu adalah kesalahan masa lalu,"ucap mama Anne.
Hening. Tak ada yang bersuara lagi. Bahkan Ben yang berada tak jauh dari tempat itu tak mau ikut menyela percakapan kedua orang itu.
Lantas dimana Ega? Kemana dia tidak muncul disaat seperti ini?
Seorang dokter muncul dari dalam kamar Anne. Rautnya tampak ditekuk. Seperti ada sesuatu yang tidak menggembirakan yang akan ia sampaikan. Mungkinkah...
"Maaf Nyonya,"ucap dokter itu memulai penuturannya. Dan mama Anne telah bisa meraba maksud ucapan dokter itu meski ia belum mengatakannya.
Mama Anne nyaris tak bisa menguasai keseimbangan tubuhnya. Namun untung saja Ben bergerak cepat dan menangkap tubuh calon ibu mertuanya itu sebelum benar-benar jatuh ke lantai.
Anne meninggal. Gadis itu benar-benar pergi untuk selamanya. Ia sudah tidak mau membuka matanya barang sekejap. Meski hanya untuk menyangkal kenyataan bahwa Ega adalah saudara kembarnya. Bahkan ia tak mau melihat kenyataan yang sebenarnya.
Tepat disaat itu juga ponsel ayah Ega berdering. Dari polisi.
"Ega mengalami kecelakaan tunggal di jalan tol. Dia meninggal di tempat kejadian...."
Informasi yang disampaikan polisi terlalu singkat dan begitu memukul perasaan.
Kenapa mereka berdua pergi bersamaan? sesal ayah Ega seraya menjatuhkan ponselnya dengan tak sadar. Laki-laki itu gemetar dan bersandar pada tembok rumah sakit.
Mereka saling mencintai satu sama lain. Sebuah cinta terlarang. Bahkan mereka tidak pernah bertemu apalagi berbincang sejak hari dimana mereka tahu mereka adalah saudara. Mereka sama-sama tak bisa menerima kenyataan tapi mereka meninggal secara bersamaan. Apakah tali yang mengikat mereka berdua terlalu kuat sehingga mereka bisa mengalami hal ini seolah telah merencanakan takdir kematian mereka sendiri? Hanya Tuhan yang tahu....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar