Senin, 30 Desember 2013

PAKAR CINTA


"Winda!"
Teriakan itu menggema ke segenap penjuru ruang kelas. Membuat beberapa siswa mengalihkan matanya ke arah Sassy yang terbirit-birit menuju ke bangku yang terletak di pojok paling belakang. Dimana sobatnya yang tercinta si Winda duduk manis dan sedang menekuni novel romannya. Tapi sepertinya Winda merasa sangat baik-baik saja dan tidak terpengaruh oleh panggilan Sassy.
"Win, tolongin gue dong,"ucap Sassy begitu tiba di bangku Winda. Suaranya sedikit manja.
Tapi si Winda masih cuek dan tampak menikmati bacaannya. Padahal Sassy tampak sedang membutuhkan bantuannya.
"Win... loe denger gue dong,"rengek Sassy seraya merebut novel itu dari genggaman Winda.
"Apa-apan sih loe Sas?!"teriak Winda berang. Ia buru-buru merebut novel itu kembali dari Sassy dengan kekuatan penuh yang dimilkinya.
Sassy pasrah. Winda memang paling benci jika diganggu saat dia sedang membaca novel. Tapi Sassy sedang mengalami kondisi gawat darurat sekarang ini.
"Abisnya loe dipanggil nggak jawab sih,"sahut Sassy sewot. Membela harga dirinya.
"Loe kan tahu kalau gue paling nggak suka diganggu saat membaca,"timpal Winda bersungut-sungut. "Emang ada apa sih?"
"Gue lagi galau nih Win,"adu Sassy kemudian.
Winda mesem. Ternyata Sassy yang manis dan imut itu juga bisa galau juga rupanya, batin Winda.
"Emang ada apa?"tanya Winda kalem.
"Gue lagi berantem ama cowok gue Win,"tuturnya dengan raut wajah ditekuk. "Tolongin gue dong,"rengeknya.
"Loe berantem ama cowok loe?"ulang Winda menautkan kedua alisnya. "Kok loe minta tolong ama gue sih? Bukannya loe yang harus nyelesaiin masalah loe ama dia?"
"Loe kan sobat gue satu-satunya Win. Loe kan tahu banyak tentang hal beginian. Loe juga yang nyomblangin gue ama Adit. Masa loe nggak mau bantuin gue sih?"
"Gue bukan nggak mau bantuin loe Sas,"timpal Winda. "Tapi apa dulu masalahnya sampai kalian berantem?"
Sassy menoleh ke kanan ke kiri. Siapa tahu ada siswa lain yang menguping pembicaraan mereka berdua. Kan bisa gawat.
"Adit marah ke gue,"ucap Sassy sedikit memperkecil volume suuaranya. "Dia bilang gue terlalu kekanak-kanakan dan terlalu manja ama dia. Padahal gue ngelakuin itu karena gue sayang banget ama dia. Gimana dong Win? Apa yang mesti gue lakuin sekarang? Eh tapi menurut loe apa gue emang kekanak-kanakan?"tanya Sassy berderet seperti gerbong kereta api.
"Ehm,"Winda berdehem sebelum bicara. "Adit emang bener Sas. Loe emang kekanak-kanakan. Cowok manapun nggak bakalan suka ama cewek yang kayak gitu. Kebanyakan cowok tuh suka cewek yang kalem dan anggun,"tutur Winda sok serius.
"Yang bener Win?"tanya Sassy tampak bego.
Winda mengangguk mantap.
"Menurut novel yang gue baca selama ini emang gitu sih,"sahut Winda enteng.
"Terus gue harus gimana dong?"tanya Sassy memaksa.
Winda tersenyum.
"Loe mau bayar dimuka, cash atau nyicil?"tanya Winda seraya mengedipkan sebelah matanya.
Sassy mengernyitkan keningnya. Tak paham maksud pertanyaan sobatnya.
"Maksud loe apa? Gue nggak ngerti...."
"Semua jenis konsultasi ada tarifnya. Tergantung loe mau bayar pake apa,"sahut Winda.
"Dasar loe!"maki Sassy sembari menimpuk punggung Winda dengan gemas. "Masa ama temen sendiri loe tega sih,"gerutunya.
Winda cekikikan.
"Loe mau dibantuin nggak? Kalau nggak mau ya udah..."
"Mau mau,"sahut Sassy seperti robot. "Emang loe mau dibayar pake apa?"tanya Sassy pasrah.
"Ehmmm,"Winda berpikir sebentar. "Traktir gue makan mie ayam di kantin selama sebulan. Gimana?"
"What?!!"pekik Sassy keras. "Itu namanya pemerasan Win. Mending loe bunuh gue aja daripada di suruh nraktir sebulan. Bisa-bisa gue bangkrut dong.."
Winda terbahak mendengar reaksi sahabatnya.
"Gimana kalau gue potong menjadi seminggu aja?"tawar Winda bernegosiasi.
"Boleh, asal saran dari loe mujarab,"tukas Sassy setuju.
"Siip,"sahut Winda seraya mengacungkan jempolnya. "Gue nggak akan ngecewain pasien gue. Pokoknya dijamin pelayanan dari gue nggak bakalan mengecewakan,"ujar Winda sambil tersenyum.
"Terus, gue mesti ngapain nih?"tanya Sassy kembali pada topik semula.
"Hanya ada satu cara,"ucap Winda tampak super serius.
"Apaan tuh?"desak Sassy penasaran.
"Loe harus berubah menjadi lebih dewasa,"ucap Winda. Tangannya segera menyusup kedalam tas untuk mencari sebuah novel yang pas untuk Sassy.
"Apaan nih?"tanya Sassy heran. Tapi Winda memaksanya untuk menerima novel itu.
"Pokoknya loe baca aja tuh novel sampai abis,"suruh Winda cepat.
"Tapi gue kan nggak suka baca novel Win..."
"Udah.. pokoknya loe baca aja. Ntar loe bisa tahu gimana cara menjadi cewek yang anggun dan dewasa."
"Bukannya ini novel bercerita tentang putri bangsawan,"gumam Sassy seraya membolak-balik halaman novel itu.
"Emang,"timpal Winda cepat. "Loe tahu kan kalau putri bangsawan nggak ada yang kekanak-kanakan?"
"Loe bener juga,"sahut Sassy tampak seperti orang tolol. "Loe pinter banget Win. Kayaknya loe berbakat jadi pakar cinta deh,"ujar Sassy setengah memuji Winda.
"Pakar cinta?"gumam Winda linglung. "Masa sih?"tanyanya tidak yakin sama sekali.
"Iya,"angguk Sassy.
Winda tertegun. Memikirkan ucapan Sassy yang konyol itu. Apa benar ada istilah pakar cinta didunia ini? Terus kriterianya apa dong?
Sassy ada-ada aja...
"Hai Sassy..."
Tiba-tiba saja Donny muncul dan mengacaukan perbincangan seru itu. Gayanya yang sedikit urakan membuat Donny lebih dicap sebagai trouble maker di kelas. Tapi ada juga yang menyebutnya si biang onar. Padahal dua istilah itu kan sama.
Sassy dan Winda mendengus barengan.
"Kok tampang kalian kayak gitu sih? Nggak seneng ya ngeliat gue,"tegur Donny seraya mengambil tempat duduk di samping Winda. Mungkin agar lebih leluasa menatap Sassy. Karena bukankah ia menyapa Sassy duluan, dan bukan Winda?
"Nggak!"sahut Winda dan Sassy kompak.
"Idih, kompak banget,"gerutu Donny. "Lagi ngapain sih? Pasti ngomongin cowok, bener nggak?"tebaknya.
"Kok loe tahu sih?"sahut Sassy antusias. "Loe paranormal ya?"
Donny melepaskan tawanya mendengar pertanyaan Sassy.
"Bukan paranormal, tapi dukun,"cerocos Donny setelah meredakan tawanya. "Emang kalian pada ngomongin siapa sih? Bukan gue kan?"
"Dasar ge-er!"olok Winda seraya menimpuk pundak Donny dengan novel ditangannya. Membuat cowok itu meringis kesakitan.
"Cewek kok tenaganya kayak cowok,"gerutunya seraya melirik Winda.
"Rasain tuh,"ucap Winda diiringi gelak tawa.
"Tega loe Win,"keluh Donny memelas.
"Eh, udah dong berantemnya,"sela Sassy menengahi. Mereka berdua selalu berantem kalau bertemu. Semacam anjing dan kucing. Tak pernah akur.
"Iya Sassy manis,"sahut Donny sambil tersenyum pada Sassy. Winda yang tahu hal itu langsung mendengus sewot. Dasar playboy! batinnya sebal.
"Eh, kalau Donny punya bakat ngeramal dan Winda sang pakar cinta, kalau gitu gue beruntung dong. Gue punya dua sobat yang hebat,"ujar Sassy ngawur.
"Pakar cinta?!"sentak Donny kaget.Tawanya meledak sedetik kemudian.
"Dasar Sassy bego,"olok Winda. "Ngapain juga nyebut gue pakar cinta,"gumamnya menyesali ucapan Sassy. Si tukang resek Donny pasti akan menertawakannya habis-habisan karena julukan ini.
"Sejak kapan si kutu novel ini jadi pakar cinta?"tanya Donny antusias ingin mengejek Winda. "Dia aja nggak punya cowok dan nggak ada yang naksir dia karena gayanya yang kelewat tomboy. Mungkin juga dia belum pernah pacaran. Masa dia dapet julukan pakar cinta hanya karena dia suka baca novel?"protes Donny terang-terangan ingin menjatuhkan harga diri Winda di hadapan Sassy.
Ampun nih anak, batin Winda geram. Kalau saja dia seorang cowok pasti sudah dihajarnya si Donny sialan itu.
"Ih, enak aja ngatain gue,"maki Winda berang. "Emang loe punya cewek? Jomblo karatan gitu..."
Donny mati kutu. Winda berhasil membalas serangannya dengan sempurna. Sial, gerutunya sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Lima tahun bertetangga dengan Winda namun tak pernah sekalipun akur. Paling-paling juga pas lebaran mereka berdamai. Selebihnya kembali ke bentuk semula.
Untung saja bel berbunyi dan menyelamatkan mereka dari perdebatan yang lebih panjang lagi.

@@@@@

"Baiklah, kita bercerai saja!"
Itu suara mama, batin Winda dibalik tembok. Gadis itu sengaja menguping pertengkaran kedua orang tuanya.
Pertengkaran semacam itu sudah sering terjadi. Namun tampaknya kali ini mama serius dengan ucapannya. Mungkin ia sudah lelah dan enggan untuk mempertahankan rumah tangganya.
Winda tak bisa berbuat apa-apa selain menghela nafasnya yang terasa sesak.
Gadis itu berlari keluar rumah dan baru berhenti di taman bermain di tengah-tengah komplek perumahan. Ia mengambil tempat duduk di tepi lapangan basket yang ada di taman itu.
Winda masih ingat julukan yang diberikan Sassy kemarin padanya.
Pakar cinta?
Winda tersenyum pahit memikirkan sebaris kata itu. Dari mana Sassy dapat ide konyol seperti itu. Atau Winda sendiri yang terlalu sok tahu tentang persoalan asmara Sassy.
Ah, bahkan Winda tak tahu arti kata cinta. Disekeliling Winda tak ada satupun orang yang mengajarinya tentang bagaimana mencintai dan dicintai. Orang tuanya hanya bertengkar dan bertengkar. Karena papa sering pulang malam dan berselingkuh, itulah kenapa mamanya selalu marah.
Lantas bagaimana Winda bisa memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapi Sassy sementara ia sendiri tidak bisa mendamaikan kedua orang tuanya sendiri.
Ucapan Donnny juga benar. Bahkan Winda belum pernah pacaran meski umurnya sudah nyaris menginjak tujuh belas tahun. Lagipula siapa yang akan naksir pada orang tomboy seperti dirinya.
Mungkin akan lebih menyenangkan jika dirinya adalah Sassy....
"Awas!!!"
Terlambat. Teriakan itu sama sekali tak berguna karena bola basket itu melayang lebih cepat dari reaksi Winda.
Duk...
Bola basket itu mengenai jidat Winda dengan keras. Membuat gadis itu kaget sekaligus merasakan sakit luar biasa di keningnya.
"Aduh.."rintih Winda seraya memegang keningnya. Sial, batinnya kesal.
"Loe nggak pa pa?"tegur Donny yang buru-buru menghampiri tempat duduk Winda.
"Loe yang ngelempar bola itu?"tanya Winda saat tahu Donny berlari menuju arahnya.
"Sorry, gue nggak sengaja,"ucap Donny cepat. "Sakit banget ya?"tanya Donny seraya memeriksa jidat Winda yang sudah tampak memerah.
"Ya sakit lah,"timpal Winda sebal.
"Sini biar gue obati,"tawar Donny kemudian. Namun Winda menepis tangan Donny secepat mungkin.
"Nggak usah,"tukas Winda tegas. "Gue baik-baik aja kok."
"Yang bener?"tanya Donny setengah tak percaya.
"Iya bener,"tandas Winda.
"Lagian ngapain juga loe duduk bengong sendirian disini,"sesal Donny sembari mengambil tempat duduk di sebelah Winda. "Biasanya loe kan main bareng kita."
"Gue lagi males,"sahut Winda tanpa semangat.
"Kenapa?"desak Donny penasaran. "Nggak biasanya loe males kayak gini. Atau jangan-jangan loe takut kalah lagi ngelawan gue?"
"Enak aja,"sahut Winda sewot.
Beberapa hari yang lalu mereka bertanding satu lawan satu dan Donny yang berhasil memenangkan pertandingan. Tapi bukan karena kekalahan itu yang membuat Winda enggan turun ke lapangan.
Untuk beberapa saat lamanya mereka saling diam. Winda sibuk dengan lamunannya, sementara Donny menebak-nebak apa gerangan yang menimpa sahabat sekaligus musuhnya itu.
"Emang bener loe pakar cinta?"tanya Donny memcah kesunyian mereka berdua.
"Siapa bilang. Itu kan karangan Sassy. Bocah bego itu emang suka ngawur kalau ngomong,"cerocos Winda menyahut.
Donny terbahak.
"Kirain beneran. Padahal gue juga mau konsultasi ama loe,"ujar Donny belagak serius.
"Emang loe mau curhat apa? Loe lagi jatuh cinta ya? Ama siapa?"cecar Winda tampak antusias.
"Banyak banget pertanyaan loe. Kayak nenek rombeng aja,"timpal Donny.
"Namanya juga penasaran..."
"Tapi nggak gitu juga kali..."
"Ya maaf. Emang loe beneran lagi jatuh cinta nih?"cecar Winda masih dengan antusiasme tinggi.
Donny menghela nafas sejenak.
"Tapi gue nggak yakin dia suka gue,"tandas Donny beberapa detik kemudian. "Dia tuh gayanya cuek banget. Jutek banget lagi..."
Winda tertegun mendengar penuturan Donny dengan tampang serius.
"Tapi setahu gue Sassy nggak kayak gitu deh..."timpal Winda setengah bergumam.
"Emang tadi gue bilang Sassy?!"teriak Donny kesal. Perasaan tadi dia tidak menyinggung nama Sassy sama sekali.
"Bukan Sassy ya?"tanya Winda seraya menggaruk-garuk kepalanya.
"Dasar bego!"maki Donny sewot. Dua sahabat sama-sama begonya, batinnya menggerutu. Cowok itu meninggalkan tempat duduknya tanpa pamit.
"Lho.. kok sewot sih? Emang gue salah apa?'gumam Winda tak mengerti.

@@@@@

Sassy datang dan meletakkan mangkuk bakso dihadapan Winda. Sesuai permintaannya, tanpa mie dan saus.
"Loe nggak makan?"taya Winda saat melihat Sassy tak membawa makanan untuk dirinya sendiri.
"Kalau gue beli dua mangkuk uang jajan gue bakalan ludes sebelum akhir minggu,"ucap Sassy memelas.
Winda cekikikan. Sesuai perjanjian mereka sebelumnya, Sassy akan mentraktir Winda selama seminggu penuh jika Sassy dan cowoknya baikan kembali. Tapi Winda tidak tega juga melihat sahabatnya itu kelaparan gara-gara mentraktir dirinya. Makanya ia menyodorkan mangkuk baksonya agar Sassy bisa ikut makan dengannya.
Dengan suka cita Sassy menerima mangkuk bakso itu.
"Loe baik banget Win..."puji Sassy seraya menyenduk kuah bakso.
"Gue terpaksa. Daripada loe ntar pingsan dijalan,"timpal Winda sekenanya.
Sassy hanya tersenyum mendengarnya.
"Eh Sas,"ucap Winda teringat sesuatu."Menurut loe Donny gimana?"tanya Winda setengah berbisik.
Uhuk...
Sassy nyaris tersedak mendengar nama cowok itu disebut Winda.
"Loe suka Donny?"tanya Sassy dengan ekspresi sangat terkejut. Matanya membulat karena sedang melotot kepada Winda.
"Bukan,"timpal Winda cepat. "Kayaknya Donny punya perasaan ama loe. Itu maksud gue,"tutur Winda memperjelas maksudnya.
"Hah??"Sassy melongo mendengar pernyataan sahabatnya. "Dari mana loe tahu?"tanya Sassy sangat penasaran.
"Donny yang bilang kemarin,"sahutnya seraya memperkecil suara. "Dia bilang ke gue kalau dia suka ama seseorang. Emang dia nggak bilang ama siapa, tapi kalau bukan loe siapa lagi..."
"Masa sih?"gumam Sassy sembari berpikir. "Bukannya dia suka ama loe?"
Winda melepaskan tawanya mendengar pertanyaan Sassy. Mana mungkin seorang Donny suka padanya. Bukankah selama ini mereka bermusuhan dan lagipula tampaknya Donny sangat memperhatikan Sassy.
"Hei! Kenceng banget ketawanya. Emang nih kantin punya nenek moyang loe apa?"
Winda langsung menghentikan tawanya usai mendengar suara Donny menegurnya.
Nih anak panjang juga umurnya, batin Winda.
"Biarin! Kantin ini juga bukan punya nenek moyang loe,"sahut Winda sewot. "Gue balik ke kelas dulu Sas, takutnya ntar gue muntah kalau kelamaan disini."
"Apa?! Awas loe ya!"teriak Donny mengancam.
Sementara itu Winda mempercepat langkahnya dan segera kabur dari kantin sebelum dijitak Donny.

@@@@@

Sassy kelimpungan. Pasalnya sudah dua hari Winda tidak masuk sekolah. Tanpa kabar pula. Bukan kebiasaannya bolos sekolah seperti ini.
"Don, loe tahu Winda kemana nggak?"tanya Sassy seraya menghampiri bangku Donny. Cowok itu sedang menyalin catatan di papan tulis ketika Sassy datang.
"Nggak tuh,"sahut Donny enggan. "Paling-paling dia lagi sakit. Kualat ama gue,"cerocos Donny sekenanya.
Tapi Sassy malah mendesah pelan mendengar jawaban Donny. Jawaban versi Donny kan tidak akurat sama sekali.
"Loe kan tetangganya, masa nggak tahu sih..."
Donny meletakkan bolpoinnya lantas menghadap wajah Sassy yang tampak resah gelisah itu.
"Eh non, gue emang tetangganya tapi gue bukan emaknya. Mana gue tahu dia pergi kemana. Lagian rumah kita nggak deket-deket amat kok,"ujar Donny dengan gaya cueknya.
"Gue takut dia pindah Don,"sahut Sassy cepat.
"Pindah kemana?"timpal Donny setengah kaget.
"Setahu gue orang tua Winda akan bercerai. Kalau mereka bercerai, otomatis Winda harus memilih ikut siapa. Bisa aja dia ikut mamanya pindah..."
"Kenapa nggak bilang dari tadi,"sentak Donny. Cowok itu buru-buru mengemasi buku-bukunya.
"Loe mau kemana Don?"tanya Sassy saat Donny bersiap meninggalkan bangkunya.
"Gue mau cabut ke rumah Winda. Loe ikut nggak?"
Tanpa ba bi bu lagi mereka berdua langsung cabut dari kelas dan segera meluncur ke rumah Winda dengan menaiki vespa butut milik Donny.
Sassy heran kenapa cowok sekeren Donny mau naik vespa butut itu. Padahal dirumahnya ada dua mobil sedan yang terparkir di garasi. Penyamaran ataukah pengiritan ?
Mereka telah sampai di depan rumah Winda lima belas menit kemudian. Rumah Winda tampak sepi. Sepertinya penghuni rumah sedang tidak ada disana. Pintunya pun terkunci.
"Jangan-jangan mereka udah pindah..."gumam Sassy terdengar khawatir.
"Emang dia nggak bilang apa-apa ama loe?"tanya Dony menginterogasi. Namun Sassy hanya menggeleng pelan.
"Dia jarang curhat ke gue soal pribadinya kalau nggak gue tanya,"ungkap Sassy.
"Dia kan sahabat loe, mestinya loe tahu semua tentang dia. Nggak kayak gini jadinya kalau loe care ama sahabat loe. Kalau gini loe mau nyari dia kemana coba?"Donny tampak sangat kesal.
"Kok loe marah sih, emang Winda sahabat siapa? Sahabat gue kan? Kok loe jadi khawatir ama dia? Dan sejak kapan loe peduli ama Winda? jangan-jangan...."
Kalimat Sassy terputus.
"Hei, kalian ngapain disini? Emang nggak sekolah?!"
"Winda!!"teriak Sassy histeris ketika melihat sahabatnya itu datang. Sassy buru-buru memeluk Winda sementara Donny hanya bisa bengong di tempatnya.
"Apa-apan sih?"protes Winda seraya melepaskan pelukan Sassy.
"Gue takut loe pindah Win, makanya kita kesini..."tutur Sassy.
"Terus dia ngapain disini?"tanya Winda seraya mengarahkan telunjuknya ke arah Donny.
"Dia juga mencemaskan loe,"sahut Sassy.
"Eh, siapa bilang?"timpal Donny membela diri. "Gue kesini nganterin Sassy doang kok...."
"Emang loe darimana Win? Kok nggak masuk sekolah sih?"tanya Sassy mengabaikan penjelasan Donny.
"Gue abis nganterin mama,"jawab Winda. "Oh ya, yuk masuk. Gue bikinin jus,"tawar Winda kemudian.
"Nggak usah deh, gue balik aja,"sahut Donny menolak.
"Terserah, nggak ada yang maksa kok,"sahut Winda jutek.
"Kok loe gitu sih..."bisik Sassy sambil menepuk lengan Winda.
"Ya udah, gue pergi,"pamit Donny ogah-ogahan.

@@@@@

Sepasang mata Winda menatap lurus ke arah anak-anak yang sedang bermain basket. Sementara angin sore mempermainkan juntaian rambutnya yang dikuncir kuda.
"Jadi cewek cuek dan jutek yang loe suka itu gue?"tanyanya tanpa menoleh ke arah cowok disampingnya.
Donny mendehem.
"Menurut loe?"ia malah balik tanya.
"Mana gue tahu,"sahut Winda sewot.
"Kalau iya, apa loe mau nerima cinta gue?"tanya Donny tanpa basa-basi. Ia menatap cewek tomboy yang sedang duduk manis di sebelahnya.
Winda tertegun sejenak. Mungkin sedang berpikir mencari kalimat yang tepat untuk menyambung ucapan Donny.
"Sebenernya gue tipe orang yang nggak percaya pada cinta,"tandas Winda lirih.
Donny mengernyitkan dahi namun tak bertanya alasan Winda.
"Udah puluhan novel roman yang gue baca dan gue semakin tahu kalau nggak ada cinta yang berakhir bahagia. Semuanya berakhir dengan perpisahan dan kesedihan,"tandas Winda datar.
"Nggak ada orang yang jatuh cinta karena ingin patah hati Win..."sahut Donny.
Winda menghela nafasnya.
"Kenapa loe suka gue? Bukankah gue selalu maki-maki loe seenaknya? Apa yang loe lihat dari gue?"
Pertanyaan Winda berderet seperti ingin menguji perasaan Donny.
Cowok itu tersenyum.
"Gue nggak bisa milih siapa yang mesti gue suka,"tandas Donny. "Tapi loe adalah cewek pertama yang gue lihat pas gue pindah kesini. Dan gue masih inget saat itu loe main basket bareng anak-anak. Saat itulah gue jatuh cinta ama loe,"papar Donny mengungkapkan perasaannya.
"Loe...."Winda terhenyak mendengar pengakuan Donny.
"Ya, dan gue sering memancing pertengkaran dengan loe karena gue pingin deket ama loe,"ungkap Donny lagi. Membuat Winda terheran-heran. Ternyata dugaannya pada Donny yang ia kira menyukai Sassy adalah salah. Ternyata begitu cara Donny mengungkapkan perasaan rahasianya.
Winda tersenyum tipis. Ia merasa senang mendengar kalimat-kalimat Donny. Semua yang pernah mereka bagi bersama melintas di pikirannya seperti nostalgia.
"Orang tua gue udah bercerai Don,"tandas Winda beberapa waktu kemudian. "Dan gue harus ikut mama pindah ke Semarang."
Donny tercekat.
"Apa loe harus pergi?"desaknya sedikit takut.
Winda mengangguk.
"Sebenernya gue nggak pingin pergi, tapi gue harus,"ujar Winda. "Tapi gue janji gue akan selalu inget loe dan Sassy, karena kalian berdua adalah sahabat terbaik gue."
Sahabat? batin Donny. Cuma sebatas itukah?
"Apa loe nggak punya sedikitpun perasaan ke gue?"tanya Donny hati-hati. "Paling nggak loe bisa ngasih harapan ke gue..."
Winda tersenyum tipis.
"Gue pingin ngasih harapan itu ama loe,"ucapnya. "Tapi gue nggak bisa. Gue nggak punya sedikitpun perasaan sama loe ataupun ke yang lain. Gue nggak pernah jatuh cinta...."
Astaga! Ya Tuhan...
Sebenarnya terbuat dari apa hati cewek itu, batin Donny seraya melambaikan tangannya ke arah Winda.Mungkin itulah terakhir kalinya ia bisa melihat senyum Winda.
Kenapa ada cewek seperti itu? Terlalu keraskah hatinya ataukah cinta yang belum memberinya kesempatan untuk jatuh?
Semoga di tempatnya yang baru kelak, Winda menemukan orang yang tepat. Yang akan mengajarinya tentang cinta dan kehidupan.
Namun Donny akan selalu mengenang cewek itu selama ia bisa. Entah sampai kapan....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar