Senin, 16 Desember 2013

HOPELESS ROAD


"Lho, sarapannya kok belum dimakan...."
Aku terbangun oleh suara mama. Wanita itu menyeruak masuk kedalam kamarku kembali setelah 30 menit yang lalu ia datang untuk meletakkan sarapan pagiku diatas meja.
"Cuaca diluar sangat cerah,"ucap mama lagi seraya menyibakkan tirai jendela sehingga sinar matahari pagi leluasa menerobos masuk dan menerpa wajahku. Mengusik kenyamanan tidurku.
"Kapan kamu akan bangun? Apa kamu akan tidur terus sepanjang hari?"
Mama mendekat dan menyibak selimut yang baru saja kubentangkan untuk menutupi kepalaku. Membuatku kesal saja.
"Udara disini sangat sejuk dan bersih,"tandas mama dengan suara lembut. "Apa kamu nggak ingin pergi keluar dan menikmati pemandangan? Sepertinya jalan-jalan di perkebunan teh akan sangat menyenangkan,"sambungnya meluncurkan jurus rayuan.
"Males Ma,"gumamku lirih. Aku membuka mataku sebentar dan memejamkannya kembali.
Kudengar mama mendesah usai mendengar jawabanku.
"Kita sudah pindah ke vila ini sejak tiga hari yang lalu. Tapi kamu terus mengurung diri dikamar. Apa kamu nggak bosan?"desak mama lagi. Tampaknya wanita itu belum puas sebelum aku membuka mata dan pergi keluar rumah seperti harapannya.
Aku tidak menyahut. Mataku masih terpejam. Tapi aku tak bisa melanjutkan tidurku lagi. Sinar matahari rupanya cukup membuatku terusik. Juga suara mama yang berderet seperti barisan semut.
"Oh ya,"mama melanjutkan kalimatnya kembali. "Mama banyak mendapat keluhan dari teman-temanmu. Mereka bilang sama mama, kalau nomer hpmu nggak aktif. Apa kamu sengaja melakukan itu? Kenapa ? Mereka pasti sedih dan kebingungan mencarimu..."
Memang berapa banyak temanku? Apa mereka layak disebut sebagai teman? Lagipula mereka mencariku hanya untuk mengeluh tentang pekerjaan dan kehidupan pribadi mereka. Tapi disaat aku butuh teman, mereka tidak pernah ada untukku. Aku selalu sendirian.
"Kamu tidur?"tegur mama beberapa waktu kemudian.
Aku tak menyahut. Agar mama mengira aku tidur dan ia menghentikan ocehan paginya. Tapi ternyata usahaku gagal. Mama malah melanjutkan kalimatnya. Lagi.
"Cepat bangun dan makan sarapanmu,"suruhnya. "Setelah itu minum obatmu."
Aku membuka mata.
"Mama cerewet banget sih,"gerutuku kesal. "Udah deh, mama pergi aja dari sini. Aku masih ngantuk dan ingin tidur,"ucapku sedikit ketus.
"Bimo!"teriak mama. Wanita itu tampak kaget mendengar gertakanku.
Aku menghela nafas berat.
"Ma,"ucapku. "Umurku nggak akan lama lagi. Jadi biarin aku berbuat sesuka hatiku. Setelah aku mati, mama nggak akan terbebani lagi olehku."
"Kamu ngomong apa sih?"bentak mama cepat. Menahan emosi. "Mama nggak suka kamu ngomong seperti itu..."
"Itu kenyataan Ma,"timpalku dengan nada tinggi. "Jadi berhentilah menyuruhku macam-macam. Aku nggak makan, nggak minum obat, nggak jalan-jalan.. Toh semuanya akan sia-sia. Semua akan berakhir sama. Aku tetap akan mati,"tandasku kesal.
"Bimo!!"teriak mama lebih kencang dari sebelumnya. Sepasang mata wanita itu tiba-tiba berubah merah.
"Maafin Bimo Ma,"ucapku beberapa detik kemudian. Sungguh, aku tidak bermaksud membuat wanita itu marah. Apalagi bersedih. "Emosiku sedikit labil akhir-akhir ini...."
Aku menyesali ucapanku pada mama pagi ini. Aku benar-benar tidak bermaksud untuk menyakiti hati wanita itu. Aku hanya kesal pada diriku sendiri. Aku kecewa. Tapi tidak seharusnya aku melampiaskannya pada mama.
Akhirnya aku keluar rumah setelah tiga hari mengurung diri didalam kamar. Biasanya aku meghabiskan waktu dengan melamun dan tidur. Tapi kali ini aku mencoba memenuhi keinginan mama. Aku pergi jalan-jalan di sekitar area perkebunan teh sekedar untuk mencari suasana segar.
Mama benar, batinku seraya menghirup udara dalam-dalam. Udara ditempat ini memang bersih dan sejuk. Melegakan pernafasan. Tapi apa untungnya buatku? Udara ini tidak akan bisa membuatku kembali sehat. Aku tetap akan mati. Entah esok atau lusa. Mungkin juga enam bulan lagi seperti vonis dokter kala itu.
Aku sudah tidak punya harapan. Penyakit itu telah menggerogoti kehidupanku dari hari ke hari. Dan apapun yang kulakukan sekarang tidak akan ada gunanya lagi. Aku sudah tidak berguna. Mati hari ini atau esok akan sama bagiku.
Kasihan mama. Wanita itu masih tampak tegar dan baik-baik saja sampai hari ini. Seolah aku masih akan hidup lebih lama darinya.
Ia memperlakukanku sama seperti biasa. Ia tetap marah saat aku bangun kesiangan dan telat makan atau lupa minum obat.
Tapi sesungguhnya mama terluka jauh di lubuk hatinya. Aku bisa membaca raut wajahnya, jika ia sangat takut kehilanganku. Namun ia berusaha sekuat tenaga untuk menyembunyikannya dariku.
Dan aku selalu memperlakukan wanita itu dengan buruk. Bahkan aku sering melontarkan kata-kata kasar padanya. Tapi akuu selalu menyesalinya beberapa detik kemudian. Harusnya aku memperlakukannya lebih baik dari sebelumnya. Karena aku tidak punya waktu lebih banyak untuk hidup didunia ini...

~~~~**~~~~

"Bimo, sedang apa?"
Mama menegurku. Wanita itu datang mendekat untuk melihat apa yang sedang kukerjakan.
"Aku lagi nyuci Ma,"sahutku ringan. "Aku kasihan melihat mama. Mama pasti capek ngurusin aku dan mengerjakan pekerjaan rumah sendirian,"jelasku seraya membilas cucian.
Padahal dulu aku sama sekali tidak pernah melakukan pekerjaan ini.
"Mestinya kamu nggak usah repot-repot melakukan ini,"ucap mama dengan nada menyesal. "Sini, biar mama yang melakukannya."
Mama hendak mengambil alih pekerjaanku, namun aku melarangnya.
"Biarin Ma, tinggal sedikit kok,"ucapku. "Lagian kapan lagi aku bisa mencuci pakaianku sendiri,"sambungku seraya tergelak.
Namun mama tidak ikut tertawa mendengar candaanku. Wajahnya langsung berubah murung.
"Ma, kenapa jadi sedih gitu?"ucapku sesaat kemudian. "Aku tadi sudah sarapan dan minum obat seperti perintah mama. Harusnya mama senang dong, bukan cemberut seperti itu."
"Kamu membuat mama takut Bim..."
Aku tersenyum sembari menyentuh pundak mama.
"Aku baik-baik aja Ma,"tandasku untuk menenangkan hati wanita itu. "Aku merasa sehat hari ini."
Mama menghela nafas panjang.
"Didepan ada Febby,"beritahu mama membuatku spontan terkejut. "Dia mencarimu."
Febby? ulangku tanpa sadar. Bagaimana gadis itu bisa melacak keberadaanku? batinku bertanya-tanya.
"Sebaiknya kamu cepat temui dia,"suruh mama. "Kasihan dia sudah datang jauh-jauh kesini hanya untuk menemuimu."
Aku bergegas menuruti perintah mama untuk menemui Febby di depan. Dengan perasaan yang tak tentu.
Gadis itu tampak berdiri kaku di teras seraya melempar tatapan jauh ke arah perkebunan teh yang terbentang luas didepan sana. Dia masih tampak cantik seperti dulu. Dengan penampilan sederhana dan menawan seperti biasa.
Oh Tuhan, gadis inilah yang membuatku nyaris tak bisa bernafas manakala aku berada di hadapannya.
"Hai Feb,"sapaku hati-hati. Takut membuatnya terkejut.
Febby membalikkan tubuhnya usai ku tegur. Matanya membulat sempurna saat melihatku.
"Bimo..."
Aku mengembangkan senyum selebar mungkin untuk menunjukkan sebuah ekspresi gembira padanya.
"Apa kabar?"sapaku kemudian. Mencoba untuk terdengar sehangat mungkin.
Febby mendekat. Gadis itu menatapku dengan pandangan aneh. Mungkin saja ia telah menemukan sesuatu yang membuatku tampak berbeda dari biasanya.
"Apa ini yang disebut sebagai teman?"cecarnya tiba-tiba. Membuatku terhenyak. Ada apa dengan gadis ini? batinku.
Bukankah harusnya ia bertanya kabar padaku, bukan mencecarku dengan pertanyaan semacam itu.
Aku tersenyum kaku.
"Apa maksudmu?"tanyaku bingung. Dan tampak bodoh pastinya.
"Kenapa kamu tiba-tiba menghilang seperti ini? Tanpa pamit, bahkan kamu mematikan ponselmu juga. Ada apa sebenarnya? Apa kamu ada masalah? Atau kamu sengaja menghilang untuk membuat kami semua bingung?"tanya Febby bertubi-tubi dengan menahan geram karena ulahku.
Oh, aku hanya nyengir mendengar omelan gadis manis itu.
"Aku nggak bermaksud menghilang kok..."
Pembelaanku terputus.
"Apa kamu sedang sakit?"tanya Febby sembari mengamati wajah dan tubuhku dengan tatapan mata bulatnya.
Aku menderaikan tawa mendengar pertanyaannya.
"Apa aku tampak seperti orang sakit?"aku berbalik tanya padanya. "Aku sehat kok. Malahan aku sedang mencuci tadi,"ucapku meyakinkannya dengan menunjukkan lipatan lengan sweaterku yang sedikit basah.
Febby tertegun setelah mendengar pengakuanku.
"Lantas... kenapa kamu pindah kesini tanpa memberitahuku?"tanya Febby tak ingin kehilangan kalimat.
Yeah, Febby dan aku memang berteman baik semenjak masuk universitas. Dia satu-satunya teman wanitaku. Dan persahabatan kami berlanjut sampai sekarang karena kami bekerja di perusahaan yang sama. Kami sangat akrab dan saling terbuka . Tapi aku malah membentangkan jarak diantara kami akhir-akhir ini.
"Jadi kamu mencemaskanku?"tanyaku di iringi gelak tawa. Aku ingin tampak ceria seperti biasa.
"Aku nggak pingin bercanda Bim..."keluhnya tampak kesal.
"Hm... oke,"sahutku santai."Apa yang pingin kamu dengar dariku sekarang?"tanyaku mulai serius.
"Kenapa kamu berbuat seperti ini pada kami? Apa kamu tahu teman-teman dikantor kebingungan mencarimu. Mereka kaget setelah tahu kamu mengundurkan diri dari perusahaan. Pekerjaan dikantor juga jadi berantakan setelah kamu pergi,"tuturnya.
Begitukah? batinku. Tentu saja mereka kebingungan mencariku. Karena aku adalah tempaat mengeluh tentang pekerjaan. Saat mereka menemukan kendala dalam pekerjaan, akulah yang selalu menemukan solusinya. Pantas jika mereka mendapat kesulitan setelah aku mengundurkan diri dari perusahaan.
"Jadi begitu,"gumamku seraya manggut-manggut.
"Bim... kembalilah,"pinta Febby memohon.
"Feb,"sahutku cepat."Kamu lihat perkebunan teh itu?"aku menunjuk pada perkebunan teh yang membentang luas di kejauhan.
Gadis itu mengangguk pelan.
"Aku mendapat kepercayaan untuk mengelola perkebunan teh itu,"ucapku mengarang sebuah kebohongan yang tiba-tiba saja terlintas di benakku tiga detik lalu. "Lumayan kan? Sekalian liburan dan menenangkan diri. Lagipula udara disini bersih dan sejuk. Mamaku sangat suka tinggal disini. Kupikir itu sangat baik untuk kesehatannya."
"Benarkah?"gumam Febby seraya menatapku.
Apa aku tampak sedang berbohong? Atau kemampuan aktingku kurang meyakinkan gadis manis itu?
"Sorry, kalau aku nggak sempat berpamitan sama kalian. Karena semua serba terburu-buru saat itu. Dan kami harus berkemas secepatnya,"tuturku menambahi. "Eh, kamu bilang mereka bingung mencariku. Tapi kenapa kamu datang sendiri?"tanyaku mengalihkan tema.
"Mereka sibuk. Setelah kamu pergi kami harus lembur setiap hari. Makanya aku yang disuruh datang kesini,"jelas Febby kemudian.
Begitu rupanya, batinku. Padahal aku tadi sempat berangan-angan bahwa gadis itu datang mencariku karena inisiatifnya sendiri. Karena ia merindukanku.Tapi ternyata dugaanku salah. Dasar tolol. Kenapa aku punya pemikiran sekonyol itu?
"Sebenarnya aku kesini ingin memberitahukan sesuatu sama kamu. Juga ingin meminta sedikit bantuanmu. Kamu masih sahabatku kan?" sentak Febby membuyarkan lamunan yang sempat bertandang ke pikiranku.
"Boleh,"sahutku cepat. "Tapi ada komisinya kan?"gurauku sambil tergelak.
Febby tersenyum seraya menimpuk bahuku.
"Kamu ini, nggak berubah dari dulu,"oloknya.
Aku meringis kesakitan. Gadis ini punya tenaga yang luar biasa, batinku.
"Memang apa yang bisa kulakukan untukmu?"tanyaku beralih pada topik semula.
"Aku akan menikah bulan depan Bim,"ungkapnya seketika membuatku terperanjat kaget dan nyaris jatuh pingsan. "Aku ingin kamu menjadi saksi dalam pernikahanku nanti."
Oh Tuhan,bisikku dalam hati. Hentikan detak jantungku saat ini juga,pintaku. Daripada aku mendengar kabar terburuk dalam hidupku ini.
Hatiku hancur berkeping-keping. Luluh lantak saat gadis itu menanyakan kesediaanku.
"Aku nggak bisa janji Feb,"ucapku berusaha menutupi perasaanku yang sebenarnya. Namun aku mencoba tersenyum senormal mungkin. "Aku nggak bisa ninggalin mama sendirian disini."
Huh... Lagi-lagi mama yang kuandalkan sebagai alasan.
"Oh.."gumam Febby gusar. Gadis itu tampak kecewa mendengar jawabanku.
Kalaupun aku bisa datang, aku juga tidak akan datang. Aku takut melihat kenyataan gadis yang kucintai menikah dengan orang lain. Aku takut terluka...

~~~~**~~~~

Aku tidak bangun dari tempat tidurku pagi ini meski matahari sudah tinggi. Seluruh persendianku terasa sakit. Nyeri.
Sarapan yang disediakan mama belum kusentuh sama sekali. Tapi aku telah meminum obat anti kankerku.
Aku tahu obat itu hanya menghambat penyakitku tapi tidak bisa menyembuhkannya. Tapi aku memang sangat membutuhkannya terutama disaat seperti ini. Obat itu cukup manjur mengurangi rasa sakit yang sesekali datang mendera tubuhku.
Mama datang. Kali ini tanpa ocehan sama sekali. Wanita itu menyibakkan tirai jendela sebagian. Mungkin agar sinar matahari tidak menerobos dengan leluasa dan mengusik tidurku.
Mama mendekat ke tempatku dan mulai menegurku.
"Makan dulu Bim,"ucapnya menyuruhku dengan nada lembut.
"Aku nggak berselera Ma,"sahutku dari balik selimut.
Mama tak menyahut ucapanku. Namun aku mendengar helaan panjangnya.
"Apa yang dilakukan papa di saat-saat terakhirnya Ma?"tanyaku seraya membuka mata. Lalu aku duduk tepat dihadapan mama. "Apa dia mengisi hari-harinya dengan bergembira bersama mama?"
Mama menatapku dengan sayu. Matanya tampak redup tanpa semangat.
"Ya,"sahut mama lirih. "Kami mengisi hari-hari itu dengan kebahagiaan dan cinta. Seolah-olah kami nggak akan berpisah setelah itu,"papar mama. Sepasang matanya tampak menerawang ke masa lalu.
Aku tersenyum mendengar uraian mama. Pasti sangat menyenangkan, batinku.
"Berapa lama lagi sisa waktuku?"tanyaku kemudian. "Karena aku juga ingin menghabiskan sisa waktuku dengan kebahagiaan bersama mama,"tandasku pelan.
"Kamu masih punya waktu banyak Bim,"timpal mama. Meski aku tahu itu hanya sebuah kebohongan namun aku mencoba tersenyum saat itu."Kenapa kamu berbohong pada Febby kemarin? Mama tahu kamu kamu nggak ingin ada yang tahu tentang penyakitmu, tapi seseorang harus tahu tentang ini Bim,"ujar mama mengalihkan topik yang mengharukan itu.
"Nggak Ma,"tukasku cepat. "Aku nggak ingin mengatakan ini pada siapapun. Aku nggak mau dikasihani. Lagian aku juga nggak punya banyak teman. Mama tahu sendiri kan, aku hanya punya teman-teman dikantor."
"Lantas Febby?"tanya mama terlihat curiga. "Mama rasa kamu menyukai gadis itu,"ucap mama mengungkapkan dugaannya.
Firasat seorang ibu pasti sangat peka, batinku sembari mengangguk. Toh sebentar lagi aku akan mati, jadi kupikir berbagi perasaanku pada mama jauh lebih baik daripada memendamnya sampai akhir.
"Dia cinta pertamaku Ma,"tuturku memulai cerita. "Dan pastinya dia cinta terakhirku. Aku menyukainya sejak pertama kami bertemu di kampus. Mama tahu kan, gadis itu cantik dan penampilannya sederhana. Sikapnya hangat dan ramah pada siapapun juga. Maka dari itu banyak yang menyukainya. Dan aku hanya salah satu penggemarnya,"aku tersenyum kemudian. Membayangkan betapa bodohnya mimpiku untuk memiliki gadis itu.
"Kamu tahu, papamu juga begitu,"tandas mama menyambung obrolan kami. "Mama adalah cinta pertama dan terakhir papamu. Dia sosok yang cerdas dan berwibawa. Tapi mama hanya seorang wanita yang biasa saja. Mama juga nggak tahu kenapa papa bisa mencintai mama sedalam itu."
"Mama pasti sangat mencintainya..."
"Ya,"angguk mama. "Itulah kenapa mama tetap bertahan sendirian sampai sekarang."
"Dan apa yang akan mama lakukan setelah aku nggak ada nanti?'tanyaku hati-hati.
Wanita itu menggeleng.
"Mama nggak tahu,"sahutnya. Matanya berkaca-kaca. Membuatku semakin bertambah sedih.
Aku merengkuh tubuh mama beberapa detik kemudian.
Oh Tuhan, beberapa waktu yang lalu aku sangat ingin cepat meninggalkan dunia ini. Tapi sekarang aku berubah pikiran. Aku ingin diberi kesempatan hidup sekali lagi. Demi mama. Aku ingin menjaga mama sepanjang hayatnya.
Tapi aku tahu aku tak punya waktu lebih panjang dari yang Kau berikan untukku...
Saat aku pergi nanti tolong jaga mama ya Tuhan....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar