Rabu, 30 Oktober 2013

MAHAMERU

Itu kan Kayla, gumam Radit dalam hatinya saat melihat seorang gadis berjaket biru muda keluar dari ruang sekretariat Mapala. Setahu Radit, gadis berambut panjang itu bukan anggota Mapala. Tapi kenapa ia keluar dari sarang para pendaki gunung itu?
"Kayla!"
Radit berteriak sekeras mungkin seraya mengejar langkah Kayla. Gadis itu nampak sedang terburu-buru dan ia takut kehilangan kesempatan untuk menyapa gadis manis itu.
Gadis bernama Kayla itu menoleh manakala mendengar namanya disebut dengan keras oleh seseorang.
"Hai,"sapa Radit cepat. Nafasnya sedikit ngos-ngosan.
"Hai juga,"balas Kayla.Gadis itu mengembangkan senyum.
"Darimana Kay?"tanya Radit menginterogasi.
"Dari sekretariat Mapala,"sahut Kayla sembari menunjuk kebelakang. Ke arah ruangan sekretariat Mapala.
"Emang kamu nyariin siapa?"kejar Radit penasaran.
"Aku mau ikut pendakian minggu depan,"jelas Kayla."Sorry Dit, aku harus pergi nih. Masih ada kelas soalnya. Bye!"
Gadis itu melambaikan tangannya pada Radit seraya berlalu dari hadapan cowok itu.
Sementara Radit hanya bisa geleng-geleng kepala saat menatap punggung gadis itu menjauh.
Ada sesuatu yang aneh dengan gadis itu. Karena semua sahabat Kayla tahu bahwa gadis itu sangat benci dengan pendakian dan segala kegiatan yang berhubungan dengan pecinta alam. Tapi kenapa tiba-tiba ia berencana ingin melakukan pendakian?
Padahal secara fisik ia tidak sekuat yang tampak diluar. Belum lagi masalah psikologi gadis itu.
Radit menggerutu sendirian. Pusing memikirkan gadis bernama Kayla itu.
Seseorang harus tahu masalah ini, batinnya kemudian.


"Bim!!"
Teriakan Radit menggema ke seluruh penjuru ruangan kamar Bim. Membangunkan tidur siangnya secara paksa. Mentang-mentang ia sudah mengantongi izin dari mama Bim untuk masuk kedalam kamar Bim, jadi Radit sengaja memanggil sahabatnya dengan suara lantang.
"Duh, panas-panas gini teriak-teriak kayak Tarzan. Ada apaan sih? Nggak tahu ya, tidur siangku jadi keganggu nih,"gerutu Bim setengah bergumam.
"Sewot banget jadi orang,"timpal Radit seraya ikut merebahkan tubuhnya disamping Bim."Oh ya, aku tadi ketemu Kayla lho,"ucap Radit ingin memancing perhatian sahabatnya.
"Terus kenapa?"timpal Bim enggan.
"Bukannya kamu cinta mati sama dia?"
Bim tak menyahut. Namun ia masih menunggu kalimat Radit selanjutnya.
"Aku merasa ada yang aneh dengan cewek itu,"papar Radit berikutnya.
"Bukan dia yang aneh tapi kamu yang aneh,"timpal Bim sekenanya.
"Aku serius Bim,"sahut Radit tidak terima."Kamu tahu, Kayla akan ikut pendakian minggu depan. Padahal kita kan tahu semua yang telah terjadi padanya. Ini benar-benar mengherankan, Bim."
Bim menghela nafas panjang.
"Kita nggak pernah tahu apa yang orang pikirkan,"sahut Bim santai."Setiap orang bisa berubah kapan saja, Dit. Mungkin saja dia ingin mengenang sesuatu disana."
Radit tersenyum pahit mendengar ucapan sahabatnya.
"Kok kayaknya kamu nggak peduli sama Kayla sih?"tukas Radit heran. "Atau jangan-jangan kamu udah nggak cinta lagi sama dia,"tebak Radit penuh curiga. Sebab sahabatnya itu nampak acuh tak acuh saat mendengar berita tentang Kayla.
"Memangnya aku harus gimana?Kamu tahu sendiri kan kalau Kayla sangat membenciku."
"Iya, tapi semua yang terjadi bukan salahmu,Bim,"potong Radit cepat.
Bim tersenyum pahit.
"Sayangnya Kayla ngggak pernah mengerti itu,"gumam Radit sendirian."Jadi kamu nggak akan mencegah kepergiannya?"tanya Radit lebih lanjut.
Namun Bim menggeleng tanpa bersuara.
"Kenapa?"tanya Radit lagi. Dibalut rasa penasaran yang teramat sangat.
"Aku bukan siapa-siapanya Kayla. Kamu tahu itu kan? Lagian apa hakku melarang dia untuk melakukan sesuatu yang dia suka,"ucap Bim menunjukkan sikap acuhnya secara terang-terangan.
"Tapi aku punya firasat yang nggak enak, Bim,"ujar Radit.
Bim tersenyum pahit.
"Dia udah dewasa,Dit. Dia pasti tahu apa yang dia lakuin. Lagian dia nggak sendiri. Ada banyak anggota Mapala disana. Apalagi yang mesti dikhawatirin?"tukas Bim terkesan santai tanpa beban.
"Kamu bener-bener nggak peduli lagi sama dia?"pancing Radit.
"Bukan aku nggak peduli Dit,"potong Bim cepat."Tapi aku sama sekali nggak punya hak atas apa yang dia perbuat."
Radit terdiam. Memikirkan ucapan-ucapan sahabatnya. Lantas mendesah panjang manakala tidak menemukan ujung pemikirannya.
Benarkah Bim tidak mempedulikan gadis itu lagi?


"Kamu udah siap Kay?"tegur Andra, ketua tim Mapala kampus. Sebab ia melihat sedikit kekhawatiran tersirat di raut wajah gadis itu. Mungkin karena ini adalah kali pertama ia melakukan pendakian. Meski sebelumnya gadis itu telah mendapat pelatihan singkat, tapi tetap saja Andra merasa cemas.
"Udah,"sahut Kayla sembari tersenyum tipis. Gadis itu membenahi letak tas ransel yang sekarang menggantung berat dipunggungnya.
"Ini pasti akan menjadi pengalaman terberat dalam hidupmu,"ujar Andra seraya balas tersenyum.
"Ya kamu bener,"sahut Kayla tergelak."Tapi aku janji nggak akan pingsan dan ngerepotin kamu dijalan,"imbuhnya bergurau.
"Kamu bisa aja,"sahut Andra."Aku pergi sebentar ya.Biasa, ngecek perbekalan.Ntar kita berangkat sepuluh menit lagi,"pamit Andra terburu-buru. Cowok itu segera bergabung dengan teman-temannya yang tengah berkemas.
Kayla menarik nafas panjang. Gadis itu mengarahkan pandangan matanya jauh kedepan. Kearah gunung yang berdiri angkuh menjulang ke atas. Sebagian tubuh benda itu tertutup kabut tipis pagi.
Ada perasaan aneh terselubung dalam benak gadis itu dan datang dari arah gunung dihadapannya. Seperti ada suara yang memanggilnya untuk segera datang kesana. Tentang sebuah kerinduan yang ingin disampaikannya pada seseorang...
Acara doa bersama yang rutin dilakukan sebelum melakukan pendakian baru saja usai. Dan Kayla baru saja hendak melangkahkan kakinya manakala sebuah teriakan keras memanggil namanya.
Membuat gadis itu seketika menghentikan pergerakan sepatunya.
"Bim???"gumam Kayla heran. Gadis itu terperangah menatap kemunculan Bim yang begitu tiba-tiba dihadapannya.
"Please... batalkan pendakian ini, Kay,"pinta Bim memohon. Sorot matanya penuh harap.
Kayla tercekat.
"Kenapa?"tanya gadis itu bingung.
"Karena aku sangat mencemaskan keadaanmu,"ungkap Bim terus terang.
Namun Kayla malah tersenyum pahit mendengar alasan Bim.
"Bim..."ucap Kayla."Aku ingin melakukan pendakian ini. Aku pastikan aku bisa menjaga diriku sendiri, jadi kamu nggak usah khawatir."
"Kenapa? Kenapa kamu sangat melakukan pendakian ini padahal kamu punya kenangan buruk tentang gunung itu?"pancing Bim kemudian. Lagipula Kayla juga bukan anggota pecinta alam...
Gadis itu tertegun menatap ke arah gunung yang berdiri kokoh dihadapannya.
"Karena aku merasa ada sebuah suara yang memanggilku dari sana,"ucap Kayla pelan. Telunjuknya mengarah ke atas gunung yang sebagian masih tertutup kabut tipis.
Bim tertegun. Namun ia tersenyum pahit kemudian.
"Suara?"sahutnya refleks."Suara apa Kay? Itu hanya halusinasimu aja."
"Nggak Bim,"potong Kayla."Suara itu begitu jelas. Dan dia sedang menungguku disana. Dia butuh pertolonganku, Bim"tandas Kayla seraya menerawangkan pandangannya kedepan.
"Siapa?"tanya Bim dengan nada kaget."Siapa yang kamu maksud?"ulang Bim lagi.Sedikit cemas.
"Dia kedinginan, Bim,"tutur Kayla lagi. Pandangannya telah berubah kosong sekarang."Ryan kedinginan. Dan dia juga kelaparan. Aku harus kesana secepatnya, Bim,"ucapan Kayla mulai melantur. Tangannya menjangkau ujung jaket milik Bim dan mencengkeramnya kuat-kuat.
"Sadar Kay!!"tiba-tiba saja Bim berteriak dengan keras dan mengguncang tubuh gadis itu."Ryan sudah meninggal setahun lalu disana!"tunjuk Bim ke arah gunung dihadapan mereka.
Kayla terhenyak. Kaget setengah mati. Ia menatap Bim dengan pandangan tak percaya.
"Sebenarnya ada apa denganmu, Kay?"sentak Bim kemudian. Raut wajahnya menunjukkan rasa panik.
Kayla bergeming. Tubuhnya gemetar. Dan keringat dingin mulai bergulir dari keningnya.Rautnya pucat pasi. Seolah darah tak mengalir lagi disana.
"Kayla!!"teriakan itu menggema seiring tubuh gadis itu yang sudah tidak berdiri tegak seperti semula. Namun secepat kilat tangan Bim menangkap tubuh gadis itu sebelum benar-benar ambruk ke tanah.


Setahun yang lalu....
Bim dan Ryan melakukan pendakian dalam rangka acara Ekspedisi Mahameru untuk memperingati 50 tahun berdirinya kampus mereka. Kebetulan kedua sahabat itu memiliki hobi yang sama,yaitu mendaki gunung.
Namun siapa sangka pendakian itu adalah pendakian terakhir yang dilakukan Ryan.
Terjadi kecelakaan yang menyebabkan Ryan menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Ketika itu tanpa sengaja Ryan terpeleset dan menyebabkan tubuhnya jatuh ke jurang sedalam 20 meter.
Kebetulan Bim yang berada di belakang Ryan tak sempat meraih tangan sahabatnya itu.
Setelah peristiwa itu Bim tidak pernah lagi melakukan pendakian hingga sekarang. Ada trauma mendalam manakala ia melihat gunung atau segala kegiatan tentang pecinta alam.
Kayla pun sama. Ia sempat mengalami shock berat usai kematian Ryan yang notabene adalah kekasihnya.
Namun yang lebih menyakitkan lagi ia selalu menyalahkan Bim atas apa yang menimpa Ryan. Kalau saja Bim tidak mengajak Ryan kala itu, pasti Ryan masih hidup sampai sekarang.
Itulah kenapa Kayla sangat membenci Bim. Padahal Bim juga tak pernah berhenti menyalahkan dirinya sendiri atas peristiwa itu.
Tapi jauh dilubuk hati Bim tersimpan sebuah perasaan mendalam kepada gadis itu. Yang tidak diketahui oleh siapapun kecuali dirinya sendiri dan Radit, sahabat baiknya.


Lamunan Bim buyar manakala ibu Kayla keluar dari ruang perawatan.Wajahnya tampak lesu. Sedih.
"Bagaimana keadaan Kayla, Tante?"tegurnya tak sabar. Dengan cekatan ia bangun dari tempat duduknya dan langsung menghampiri ibu Kayla.
"Dia sedang istirahat,"sahut ibu Kayla pelan.
Beberapa saat kemudian ibu Kayla duduk di kursi tunggu diikuti oleh Bim. Untuk berbincang tentang gadis itu.
"Tante nggak tahu jika Kayla masih menyimpan kenangan pahit itu dihatinya,"tutur ibu Kayla memulai percakapan."Selama ini dia tampak baik-baik saja. Tante telah salah menilainya. Ternyata gadis itu sangat menderita."
Mata ibu Kayla tampak berkaca-kaca saat bertutur tentang putrinya.
"Kayla pandai menyembunyikan semuanya,"lanjut ibu Kayla lagi.Kali ini wanita itu mencoba menegarkan suaranya."Dia menyimpan semuanya sendirian tanpa pernah menunjukkan beban yang ia pendam pada orang lain, meski pada ibunya sekalipun. Dia nggak ingin menyusahkan orang-orang didekatnya. Begitulah sifatnya sejak kecil,"papar ibu Kayla panjang.
"Apa yang dikatakan dokter tentang Kayla?"sela Bim ingin tahu.
Ibu Kayla menghela nafas berat sebelum menjawab pertanyaan Bim.
"Dia mengalami gangguan psikologis ringan,"jawab ibu Kayla."Semua terjadi karena dia belum bisa merelakan kepergian Ryan. Andai saja dia mau sedikit membuka hatinya dan memandang hidup jauh kedepan, tante yakin ini nggak perlu terjadi."
"Tante harus bersabar,"ucap Bim menguatkan wanita di sebelahnya."Kayla hanya butuh perhatian dari orang-orang disekitarnya yang menyayangi dirinya,"imbuh Bim lagi.
"Oh ya Bim,"ucap ibu Kayla berikutnya."Tante ingin minta satu hal padamu. Tante harap kamu bersedia melakukannya untuk tante."
"Apa itu Tante?"


Gadis itu tampak tertegun sembari melayangkan pandangannya ke depan. Ke arah kaca jendela yang tampak buram karena terpapar debu.
Keadaannya sungguh memprihatinkan. Padahal dulu dia sangat lincah dan ceria. Senyum dan tawa canda tak pernah lepas dari bibir mungilnya. Namun sekarang bibir itu terkatup rapat tanpa seulas senyum sama sekali.
Dulu wajahnya tampak cerah dan pipinya selalu merah merona manakala sinar matahari menerpa dirinya. Tapi yang tampak sekarang hanya warna pucat menghiasi wajah itu. Seolah-olah ia telah mati dari kehidupan ini.
Bim tak sampai hati melihat Kayla seperti itu. Hatinya seperti teriris setiap melihat gadis itu termenung sendirian disana.
"Kayla!"seru Bim berusaha membuat panggilannya terdengar ceria.
Gadis itu menoleh. Lantas sedikit mengembangkan senyum.
"Bim? Kamu datang?"sapa Kayla berusaha tersenyum.
"Ya, aku datang,Kay,"balas Bim."Untukmu,"ucapnya seraya mengulurkan sebuah buket berisi bunga mawar putih kesukaan Kayla.
Gadis itu tampak bahagia menerima pemberian Bim.
"Makasih Bim,"ucapnya. Lantas ia membaui bunga-bunga mawar itu."Ryan mana? Dia nggak datang bareng kamu?"
Deg!
Jantung Bim serasa meledak seketika itu juga.
Oh Tuhan, apa yang terjadi dengan Kayla?bisiknya dalam hati. Separah itukah kondisinya?
"Kita makan dulu yuk,"ajak Bim mengalihkan perhatian gadis itu."Mamamu udah nungguin kita di meja makan dari tadi."
"Tapi Ryan belum datang,Bim,"rengek Kayla manja.
"Dia nggak akan datang Kay,"sahut Bim pelan."Karena dia udah pergi ke tempat yang sangat jauh dan dia nggak akan kembali lagi,"jelas Bim dengan berat hati. Sebenarnya ia tidak tega mengatakan hal itu pada Kayla, namun bagaimanapun juga gadis itu harus belajar untuk menerima kehilangan.
Karena Bim telah berjanji pada ibu Kayla untuk selalu berada di sisi gadis itu apapun kondisinya. Dan mencintai Kayla sampai waktu yang tidak terbatas. Hingga gadis itu jenuh mengingat sebuah nama Ryan, dan perlahan mengukir nama Bim dihatinya....

Rabu, 23 Oktober 2013

DIARY OF CINDERELLA


"Oh, jadi kau menikah denganku hanya karena menginginkan hartaku?!"seru Julian lantang dan penuh amarah. Tangannya sempat mendorong tubuhku hingga jatuh terduduk di atas tempat tidur. Dan aku hanya tertunduk tanpa berani menatap ke arah laki-laki itu.
"Aku memang bodoh,"seru Julian lagi. Kali ini ia berbalik dan menatap keluar jendela."Bisa-bisanya aku tertipu oleh sikap polos dan kata-kata lembutmu. Harusnya kau meraih piala Citra karena aktingmu sangat bagus dan meyakinkan semua orang. Kau memang hebat, Sarah! Kau bisa menyembunyikan hati iblis didalam tubuh malaikat dengan sempurna. Benar-benar licik,"
Julian tersenyum sinis. Menusuk jantung dan perasaanku.
"Cukup Julian!"aku mencoba menghentikan kalimatnya agar ia tidak melanjutkan hinaan yang lebih kejam lagi padaku. Juga agar suaranya tidak terdengar keluar kamar dan di dengar oleh keluarganya.
"Kenapa? Kau ingin membela diri?"timpalnya masih dengan nada ketus.
"Tidak,"sahutku cepat."Kalaupun aku bicara sesuatu kau juga tidak akan mempercayainya,"tegasku datar.
"Baguslah, jika kau bisa membaca pikiranku. Lagipula aku juga sudah muak dengan penipu sepertimu,"
Aku menghela nafas. Mengusir semua luapan emosi yang nyaris meledak didalam dadaku.
"Apa yang kau inginkan sekarang? Bercerai?"tanyaku kemudian. Kupikir itulah jalan satu-satunya agar pertengkaran ini cepat berakhir.
"Tidak,"sahutnya cepat dan mantap. Membuatku tercekat."Rasanya perceraian adalah hukuman paling ringan untuk penipuanmu terhadap kami semua. Bisa saja setelah ini kau mencari korban lain lagi. Tidak ada yang tahu bukan?"
"Oh, jadi kau ingin menghukumku?"tanyaku ingin memastikan.
"Ya,"angguknya. Julian tersenyum tawar.Tampaknya ia punya rencana terselubung dibalik sikapnya. Apa itu? Yang pasti itu akan sangat merugikan diriku.....


Pertengkaran malam itu telah usai. Namun kisah yang sesungguhnya sedang dimulai.
Aku tidak menampik semua tuduhan yang dilontarkan Julian padaku. Aku memang seperti apa yang ia ucapkan. Aku menikah dengannya hanya karena harta yang dimiliki Julian.
Aku memang materialistis. Bahkan sejak awal aku telah merencanakan semua ini. Aku mendekati Julian setelah aku tahu dia adalah putra seorang pemilik hotel mewah di negeri ini.
Aku sadar, jika apa yang aku lakukan ini terdengar kejam. Namun keadaan yang memaksaku berbuat ini. Karena aku miskin. Karena hidupku serba kekurangan, sementara begitu banyak mimpi yang ingin kuwujudkan. Karena aku butuh materi untuk mewujudkan mimpi-mimpiku.
Tapi tampaknya rencanaku tak semulus yang kubayangkan. Julian telah mengetahui segalanya meski aku tidak tahu darimana ia mendapat informasi tentangku. Rasanya setelah ini hidupku akan hancur perlahan.....


Sepertinya aku telah terjebak dalam perangkap yang kubuat sendiri. Belakangan aku tahu semua tentang Julian. Tentang masa lalu hidupnya yang kelam.
Jauh sebelum aku hadir dalam hidupnya, Julian pernah bertunangan dengan seorang gadis. Julian sangat mencintai gadis itu. Namun takdir telah merenggutnya dari tangan Julian. Gadis itu meninggal dalam sebuah kecelakaan maut.
Tak terbayangkan bagaimana perasaan Julian kala itu. Seluruh hidupnya seperti hancur lebur. Tak ada harapan maupun semangat yang tersisa dalam hidupnya. Dia mengalami depresi berat.
Kata Sabrina, adik Julian, laki-laki itu menutup diri usai kejadian itu. Ia tak mau bergaul dan hanya menghabiskan waktunya untuk belajar dan membaca buku. Ia menjadi pribadi canggung dan kaku.
Namun keadaan sedikit demi sedikit berangsur berubah manakala aku datang dalam hidup Julian. Pribadinya perlahan terbuka dan keceriaan mulai tampak pada dirinya. Semangat hidupnya mulai terlihat semenjak itu.
Secara tidak langsung aku-lah yang berperan penting dalam hidup Julian. Karena dirikulah ia berubah hingga seperti sekarang. Namun aku pula yang mengecewakannya.
Tapi kata Sabrina, aku sangat mirip dengan kekasih Julian yang telah meninggal. Jadi karena itu ia menikahiku?
Kupikir ini impas. Pernikahan ini persis dengan sebuah drama yang penuh kepalsuan dan tipu muslihat.
Satu lagi yang lebih mengejutkan buatku. Ternyata Julian bukanlah anak kandung mereka. Ia hanya seorang anak angkat keluarga ini. Saat Julian berumur tujuh tahun, kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah musibah gempa bumi.
Permainan nasib ini sungguh rumit.....


Julian sudah mulai bertindak tegas padaku. Ia benar-benar ingin menyiksaku dengan hukuman yang ia berlakukan padaku mulai hari ini.
Pertama-tama ia menarik kunci mobil pribadi milikku. Lantas kartu kreditku juga ia ambil dengan paksa dan hanya menyisakan beberapa lembar uang didalam dompetku.
Aku tak bisa mengajukan protes padanya. Karena ia mengancam akan mengadukan penipuanku pada keluarganya jika aku mengajukan protes. Tentu saja aku tak berkutik kali ini. Karena aku tahu keluarga Julian sangat menyayangiku dan menganggapku sebagai penyelamat putra angkat mereka dari depresi berkepanjangan.
Julian ingin membuatku hidup dalam sangkar emas.Dan ini lebih buruk dari kehidupanku sebelumnya. Meski tak punya apa-apa, tapi aku punya kebebasan tak terbatas. Dan itu jauh lebih baik daripada terkurung dalam sangkar emas.
Bukan hanya itu saja. Julian juga ingin menyiksa batinku dengan berpura-pura dihadapan keluarganya seolah-olah hubungan kami baik-baik saja tanpa ada masalah.
Entah seperti apa ending kehidupanku bersama Julian nanti.....


Pada suatu kesempatan Julian mengajukan sebuah pertanyaan aneh padaku.
"Apa arti cinta buatmu?"
Pertanyaannya cukup sederhana tapi terdengar aneh jika benar-benar di pertanyakan pada seseorang.
"Tidak ada,"jawabku datar.
Julian pasti tidak terlalu terkejut mendengar jawabanku.
"Kau tidak percaya pada cinta?"tanya Julian serius.
Aku menggeleng.
"Dulu aku percaya pada cinta,"gumamku kemudian."Bahkan aku sempat bermimpi ada seseorang yang sangat mencintaiku dan aku juga sangat mencintainya. Tapi sekarang aku sudah tidak mempercayainya lagi. Dua kali dicampakkan buatku adalah sebuah alasan yang cukup untuk tidak mempercayai cinta. Aku fokus pada hidupku dan tidak pernah berhenti memikirkan cara untuk mendapatkan uang yang banyak. Karena bagaimanapun kami bekerja keras kami tetap miskin."
"Apa uang sangat penting buatmu?"kejar Julian.
Aku tersenyum sembari menatap sepasang mata polos milik Julian.
"Kau tidak akan mengerti karena kau belum pernah menjadi orang miskin,"ucapku."Dulu aku bermimpi ingin melanjutkan kuliah di Jepang atau Amerika. Tapi aku tahu itu tidak mungkin. Bahkan untuk membeli buku pelajaranpun aku tidak mampu."
"Tapi uang bukan segalanya...."
"Aku tahu,"potongku cepat."Tapi tanpa uang kami tidak akan bisa hidup, Julian."
"Jadi karena itu kau mendekatiku?"tanya Julian lagi."Karena kau ingin mengubah nasibmu?"
"Ya,"sahutku tanpa basa-basi."Aku memang materialistis seperti ucapanmu. Kalau saja kau tidak tahu yang sebenarnya, pasti aku sudah membawa lari uangmu,"gurauku seraya tersenyum.
Julian ikut tersenyum.
"Lantas kenapa kau mau menikah denganku? Apa karena aku mirip dengan kekasihmu yang sudah meninggal?"tanyaku mengganti topik pembicaraan.
Raut wajah Julian berubah.
"Apa Sabrina yang menceritakan hal itu padamu?"tanya Julian. Tampaknya ia tidak suka mendapat pertanyaan seperti itu.
Berarti benar dugaanku, batinku.
"Kita saling menipu, Julian,"tandasku kemudian."Kenapa kau yang terus memojokkanku? Harusnya kau mengembalikan semua fasilitasku seperti semula."
"Lalu apa yang bisa kau berikan padaku sebagai balasannya?"
"Ah kau ini perhitungan sekali,"gerutuku kesal."Sudahlah, aku mau tidur sekarang."
Kurasa lebih baik aku pergi daripada melanjutkan obrolan yang sama sekali tidak menguntungkan bagiku.


"Kau pulang terlambat,"tegurku spontan saat melihat Julian datang."Kenapa? Apa ada masalah di hotel?"desakku.
Laki-laki itu tidak menyahut sama sekali. Ia acuh dan segera melepaskan jas yang melekat di tubuhnya.Apa ia tidak mendengarku?
"Harusnya kau menelepon kalau pulang terlambat,"ucapku kemudian.
"Sudah, tidak usah pedulikan aku,"sahut Julian terdengar malas.
"Apa?"tanyaku tak percaya."Kenapa kau bilang seperti itu? Apa kau marah padaku?"desakku lagi.
"Jangan bertanya lagi. Aku lelah,"ucap Julian seraya bergegas naik ke atas tempat tidur lantas merebahkan tubuhnya disana.
"Aku hanya bertanya, kenapa kau marah?"
"Aku tidak marah,"balasnya cepat."Aku lelah dan sebaiknya kau diam. Jangan menggangguku,"ucapnya setengah mengancam.
Aku tersenyum pahit mendengar ucapannya.
"Aku bertanya baik-baik karena aku peduli padamu. Kenapa kau semarah itu? Aku baru tahu kalau kau seorang pemarah,"sindirku dengan sengaja.
Ternyata ucapanku membuat Julian terbangun dari posisi berbaringnya.
"Apa kau tidak bisa diam?"serunya penuh emosional."Kenapa kau sangat cerewet? Angel saja tidak pernah secerewet itu padaku."
Aku tersentak mendengarnya menyebut sebuah nama asing.
"Oh..jadi nama gadis itu Angel?"gumamku tersadar."Jadi sekarang kau mulai membandingkanku dengannya?"
"Ya,"balas Julian cepat."Dia sangat berbeda denganmu. Dia baik dan lembut. Dan dia sangat mengenalku dengan baik. Dia juga bukan penipu sepertimu."
Aku tercekat mendengarnya memuji kekasihnya yang telah meninggal itu.
"Ya, aku memang berbeda dengannya,"sahutku cepat dan dengan nada kasar."Kau benar.Aku memang tidak bisa dibandingkan dengan bidadari cantikmu itu.Bicaraku kasar dan aku berhati jahat. Aku tidak mengenalmu dengan baik.Aku juga seorang penipu. Jadi terima kasih telah mengingatkanku."
"Jadi kau sudah menyadari kesalahanmu?"tanya Julian menghentikan pergerakan kakiku yang semula hendak keluar dari kamar.
Aku mendengus kesal. Sepertinya ia sedang menyindirku kali ini. "Ya,"sahutku cepat."Dan kau boleh mengusirku kapan saja kau mau. Apa kau puas sekarang?"
"Tentu saja aku akan mengusirmu suatu saat nanti,"tandasnya.
"Oh ya,"aku mengingat sesuatu yang penting dan kupikir ia harus tahu."Tiga hal yang kuketahui tentangmu adalah kau sangat menyukai Ultraman saat kecil. Kau alergi bulu kucing sehingga kau sangat benci binatang itu. Dan satu lagi kau takut dengan ruangan gelap. Maaf jika aku hanya mengetahui itu tentangmu."


Semua ini berawal dari keegoisan dan kecemburuan sosial yang kumiliki. Aku memandang hidup hanya dari kacamataku sendiri. Aku membandingkan hidupku dengan orang lain yang hidupnya lebih sejahtera dariku. Teman-temanku yang punya kesempatan menikmati pendidikan tinggi, kupikir mereka lebih beruntung daripadaku.
Tapi aku tidak melihat kehidupan orang lain yang jauh dibawahku. Harusnya aku bersyukur karena hidupku masih lebih beruntung daripada mereka.
Aku memang jahat dan rakus. Oh Tuhan, maafkan sikap-sikap burukku selama ini. Dan aku tidak akan menuntut apa-apa lagi sesudah ini.
"Sarah! Apa yang kau lakukan disini?!"
Seruan itu langsung membangunkanku dari renungan panjang.
Aku tercekat dan nyaris tak percaya pada apa yang kulihat didepan mataku.
Julian? batinku heran. Bagaimana mungkin ia bisa menemukan keberadaanku disini?
"Sedang apa kau disini?"ulangnya seraya menyeret tanganku. Memaksaku untuk segera berdiri.
"Bagaimana kau bisa menemukanku?"tanyaku masih tak percaya.
"Itu tidak penting,"sahutnya cepat."Kenapa kau pergi dari rumah? Apa kau tahu aku mencarimu kemana-mana selama 30 jam ini,"sentaknya penuh amarah.
Aku terhenyak dengan pengakuannya.
"Bukankah suatu hari nanti kau akan mengusirku dari sana? Kupikir sekarang atau nanti itu sama saja. Kenapa mesti mencemaskanku?"
"Kau tiba-tiba saja pergi dan tidak membawa sesuatupun, siapa yang tidak akan cemas?!"seru Julian marah."Aku sudah bilang aku lelah bukan marah. Kenapa kau menganggapnya serius? Aku tidak akan mengusirmu nanti atau kapanpun. Kau mengerti?"
Aku tertegun mendengar ucapannya. Kenapa ia tidak akan mengusirku?batinku bingung.
"Ayolah, kita pulang sekarang,"ajaknya kemudian. Namun aku menepis tangannya yang hendak menyeret lenganku.
"Tidak,"tolakku tegas."Aku tidak bisa pulang bersamamu."
"Kenapa?"sahutnya cepat."Aku tidak sedang marah lagi."
"Bukan karena itu,"timpalku tak kalahcepat.
"Lantas?"
"Aku merasa tidak pantas berada disana."
"Apa maksudmu?"tanya Julian tak sabar.
"Aku bukan orang yang tepat untukmu. Aku......"
"Bicara apa kau ini?"potong Julian."Memang kau bukan orang yang sempurna. Tapi aku sudah memilihmu untuk jadi pasanganku. Jadi berhentilah berpikir macam-macam."
"Aku tidak bisa, Julian,"tegasku."Aku sudah menyadari semua kesalahanku. Dan aku sedang menjalani hukumanku."
"Hukuman apa?"tanya Julian masih mengejarku."Kau tahu, kesalahan terbesarmu adalah kau selalu berpikir rendah diri. Kau berpikir bahwa kau tidak pantas untuk dicintai. Kau merasa dirimu buruk dan egois. Tapi aku tahu kau tidak seburuk itu, Sarah. Kau hanya keras kepala. Jadi jangan membuat dirimu tampak mengenaskan seperti itu."
"Aku tahu,"sahutku pelan. Entah darimana dia mendapat pemikiran seperti itu, tapi aku merasa bahwa ucapannya benar.
"Baguslah jika kau tahu. Bisa kita pulang sekarang?"tawarnya.
Aku menggeleng berat.
"Kau masih tidak mau pulang? Apa kau mau jadi seperti mereka?"seru Julian sembari menunjuk ke arah para pengemis dan gelandangan yang tampak berbaring tak jauh dari tempatku berdiri.
"Kenapa kau tidak mengusirku?"tanyaku penasaran."Aku tidak lebih baik dari Angel atau siapapun. Kenapa ingin mempertahankanku?"
"Menurutmu apa?"pancing Julian membuatku sedikit kesal. Aku yang bertanya lebih dulu kenapa ia balas bertanya."Kau tampak kurus dan lusuh. Kapan terakhir kau mandi dan makan? Ayolah, kita pulang sekarang."


Gadis itu sangat cantik dan mempunyai senyum yang manis. Kakinya yang jenjang membuat tubuhnya tampak seperti model. Pantas saja jika Julian sangat menyukainya. Kurasa aku sama sekali tidak mirip dengannya.
Dan aku bukanlah siapa-siapa jika dibandingkan dengannya.
"Kau sedang mencemburuinya?"tegur Julian yang tiba-tiba saja muncul dari balik punggungku. Membuatku kaget dan nyaris menjatuhkan selembar foto yang kutemukan di dalam laci meja kerja Julian.
"Tidak,"sahutku pelan. Aku tak sempat untuk menyembunyikan foto itu karena Julian terlanjur mengetahuinya.
Julian tersenyum tipis. Menertawakanku pastinya.
"Mungkin aku tidak terlalu mengenalmu sebelumnya, tapi sekarang kurasa aku cukup mengenalmu dengan baik," tandas Julian tampak yakin.
"Benarkah?"pancingku sambil tersenyum meragukan keyakinannya.
"Setidak ada empat hal yang kuketahui tentangmu,"ucapnya membuatku penasaran.
"Apa?"tanyaku cepat.
"Saat masih kecil kau menyukai kartun Peterpan. Kau menyukai musik dan hampir menghabiskan seluruh hidupmu untuk mendengarkan musik. Yang ketiga, kau tidak punya teman dekat sejak kecil karena kau kau selalu dikucilkan dan dimusuhi oleh teman-temanmu. Tapi aku tidak tahu alasan untuk itu. Dan yang keempat, aku selalu melihat kesepian dimatamu. Meskipun kau berada di keramaian, meski kau sedang tersenyum kau selalu merasa ada sepi didalam hatimu,"papar Julian panjang.
"Begitukah?"tanyaku sambil tersenyum pahit."Jadi karena itu kau mempertahankanku? Karena kau kasihan padaku?"
Julian tersenyum mendengar desakanku.
"Apa aku tampak sedang mengasihanimu?"balasnya bertanya.
"Mungkin,"sahutku tak yakin.
"Aku hanya ingin berada disisimu dan menjagamu. Itulah alasan kenapa aku tidak ingin kau pergi,"tandasnya.
"Hanya itu saja?"pancingku.
"Memang alasan apa yang ingin kau dengar dariku?"tanyanya seraya mengerutkan kening."Bukankah kau tidak percaya pada cinta?"
Aku terdiam. Mungkin kehabisan kata untuk mengejar kalimat-kalimatnya.
"Aku tidak tahu kenapa aku seperti ini,"ungkap Julian berikutnya."Rasanya tidak adil jika aku membiarkanmu berlarut-larut dalam penderitaan. Entah bagaimana kau menjalani hidupmu sebelum ini. Mungkin kau terbiasa menghadapi semuanya sendirian, tapi untuk kali ini dan seterusnya biarkan aku menjadi teman berbagimu dalam suka ataupun duka."
"Tapi aku buka Cinderella, Julian. Aku hanya gadis biasa yang...."
"Aku tahu,"potong Julian cepat."Aku juga bukan seorang pangeran.Aku juga tidak punya kerajaan dongeng. Tapi dalam hatiku kau adalah Cinderella tanpa sepatu kaca. Dan kau telah melengkapi hidupku. Dan apa kau tahu akhir kisah kita nanti? Bahagia selamanya....."