Rabu, 23 Oktober 2013

DIARY OF CINDERELLA


"Oh, jadi kau menikah denganku hanya karena menginginkan hartaku?!"seru Julian lantang dan penuh amarah. Tangannya sempat mendorong tubuhku hingga jatuh terduduk di atas tempat tidur. Dan aku hanya tertunduk tanpa berani menatap ke arah laki-laki itu.
"Aku memang bodoh,"seru Julian lagi. Kali ini ia berbalik dan menatap keluar jendela."Bisa-bisanya aku tertipu oleh sikap polos dan kata-kata lembutmu. Harusnya kau meraih piala Citra karena aktingmu sangat bagus dan meyakinkan semua orang. Kau memang hebat, Sarah! Kau bisa menyembunyikan hati iblis didalam tubuh malaikat dengan sempurna. Benar-benar licik,"
Julian tersenyum sinis. Menusuk jantung dan perasaanku.
"Cukup Julian!"aku mencoba menghentikan kalimatnya agar ia tidak melanjutkan hinaan yang lebih kejam lagi padaku. Juga agar suaranya tidak terdengar keluar kamar dan di dengar oleh keluarganya.
"Kenapa? Kau ingin membela diri?"timpalnya masih dengan nada ketus.
"Tidak,"sahutku cepat."Kalaupun aku bicara sesuatu kau juga tidak akan mempercayainya,"tegasku datar.
"Baguslah, jika kau bisa membaca pikiranku. Lagipula aku juga sudah muak dengan penipu sepertimu,"
Aku menghela nafas. Mengusir semua luapan emosi yang nyaris meledak didalam dadaku.
"Apa yang kau inginkan sekarang? Bercerai?"tanyaku kemudian. Kupikir itulah jalan satu-satunya agar pertengkaran ini cepat berakhir.
"Tidak,"sahutnya cepat dan mantap. Membuatku tercekat."Rasanya perceraian adalah hukuman paling ringan untuk penipuanmu terhadap kami semua. Bisa saja setelah ini kau mencari korban lain lagi. Tidak ada yang tahu bukan?"
"Oh, jadi kau ingin menghukumku?"tanyaku ingin memastikan.
"Ya,"angguknya. Julian tersenyum tawar.Tampaknya ia punya rencana terselubung dibalik sikapnya. Apa itu? Yang pasti itu akan sangat merugikan diriku.....


Pertengkaran malam itu telah usai. Namun kisah yang sesungguhnya sedang dimulai.
Aku tidak menampik semua tuduhan yang dilontarkan Julian padaku. Aku memang seperti apa yang ia ucapkan. Aku menikah dengannya hanya karena harta yang dimiliki Julian.
Aku memang materialistis. Bahkan sejak awal aku telah merencanakan semua ini. Aku mendekati Julian setelah aku tahu dia adalah putra seorang pemilik hotel mewah di negeri ini.
Aku sadar, jika apa yang aku lakukan ini terdengar kejam. Namun keadaan yang memaksaku berbuat ini. Karena aku miskin. Karena hidupku serba kekurangan, sementara begitu banyak mimpi yang ingin kuwujudkan. Karena aku butuh materi untuk mewujudkan mimpi-mimpiku.
Tapi tampaknya rencanaku tak semulus yang kubayangkan. Julian telah mengetahui segalanya meski aku tidak tahu darimana ia mendapat informasi tentangku. Rasanya setelah ini hidupku akan hancur perlahan.....


Sepertinya aku telah terjebak dalam perangkap yang kubuat sendiri. Belakangan aku tahu semua tentang Julian. Tentang masa lalu hidupnya yang kelam.
Jauh sebelum aku hadir dalam hidupnya, Julian pernah bertunangan dengan seorang gadis. Julian sangat mencintai gadis itu. Namun takdir telah merenggutnya dari tangan Julian. Gadis itu meninggal dalam sebuah kecelakaan maut.
Tak terbayangkan bagaimana perasaan Julian kala itu. Seluruh hidupnya seperti hancur lebur. Tak ada harapan maupun semangat yang tersisa dalam hidupnya. Dia mengalami depresi berat.
Kata Sabrina, adik Julian, laki-laki itu menutup diri usai kejadian itu. Ia tak mau bergaul dan hanya menghabiskan waktunya untuk belajar dan membaca buku. Ia menjadi pribadi canggung dan kaku.
Namun keadaan sedikit demi sedikit berangsur berubah manakala aku datang dalam hidup Julian. Pribadinya perlahan terbuka dan keceriaan mulai tampak pada dirinya. Semangat hidupnya mulai terlihat semenjak itu.
Secara tidak langsung aku-lah yang berperan penting dalam hidup Julian. Karena dirikulah ia berubah hingga seperti sekarang. Namun aku pula yang mengecewakannya.
Tapi kata Sabrina, aku sangat mirip dengan kekasih Julian yang telah meninggal. Jadi karena itu ia menikahiku?
Kupikir ini impas. Pernikahan ini persis dengan sebuah drama yang penuh kepalsuan dan tipu muslihat.
Satu lagi yang lebih mengejutkan buatku. Ternyata Julian bukanlah anak kandung mereka. Ia hanya seorang anak angkat keluarga ini. Saat Julian berumur tujuh tahun, kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah musibah gempa bumi.
Permainan nasib ini sungguh rumit.....


Julian sudah mulai bertindak tegas padaku. Ia benar-benar ingin menyiksaku dengan hukuman yang ia berlakukan padaku mulai hari ini.
Pertama-tama ia menarik kunci mobil pribadi milikku. Lantas kartu kreditku juga ia ambil dengan paksa dan hanya menyisakan beberapa lembar uang didalam dompetku.
Aku tak bisa mengajukan protes padanya. Karena ia mengancam akan mengadukan penipuanku pada keluarganya jika aku mengajukan protes. Tentu saja aku tak berkutik kali ini. Karena aku tahu keluarga Julian sangat menyayangiku dan menganggapku sebagai penyelamat putra angkat mereka dari depresi berkepanjangan.
Julian ingin membuatku hidup dalam sangkar emas.Dan ini lebih buruk dari kehidupanku sebelumnya. Meski tak punya apa-apa, tapi aku punya kebebasan tak terbatas. Dan itu jauh lebih baik daripada terkurung dalam sangkar emas.
Bukan hanya itu saja. Julian juga ingin menyiksa batinku dengan berpura-pura dihadapan keluarganya seolah-olah hubungan kami baik-baik saja tanpa ada masalah.
Entah seperti apa ending kehidupanku bersama Julian nanti.....


Pada suatu kesempatan Julian mengajukan sebuah pertanyaan aneh padaku.
"Apa arti cinta buatmu?"
Pertanyaannya cukup sederhana tapi terdengar aneh jika benar-benar di pertanyakan pada seseorang.
"Tidak ada,"jawabku datar.
Julian pasti tidak terlalu terkejut mendengar jawabanku.
"Kau tidak percaya pada cinta?"tanya Julian serius.
Aku menggeleng.
"Dulu aku percaya pada cinta,"gumamku kemudian."Bahkan aku sempat bermimpi ada seseorang yang sangat mencintaiku dan aku juga sangat mencintainya. Tapi sekarang aku sudah tidak mempercayainya lagi. Dua kali dicampakkan buatku adalah sebuah alasan yang cukup untuk tidak mempercayai cinta. Aku fokus pada hidupku dan tidak pernah berhenti memikirkan cara untuk mendapatkan uang yang banyak. Karena bagaimanapun kami bekerja keras kami tetap miskin."
"Apa uang sangat penting buatmu?"kejar Julian.
Aku tersenyum sembari menatap sepasang mata polos milik Julian.
"Kau tidak akan mengerti karena kau belum pernah menjadi orang miskin,"ucapku."Dulu aku bermimpi ingin melanjutkan kuliah di Jepang atau Amerika. Tapi aku tahu itu tidak mungkin. Bahkan untuk membeli buku pelajaranpun aku tidak mampu."
"Tapi uang bukan segalanya...."
"Aku tahu,"potongku cepat."Tapi tanpa uang kami tidak akan bisa hidup, Julian."
"Jadi karena itu kau mendekatiku?"tanya Julian lagi."Karena kau ingin mengubah nasibmu?"
"Ya,"sahutku tanpa basa-basi."Aku memang materialistis seperti ucapanmu. Kalau saja kau tidak tahu yang sebenarnya, pasti aku sudah membawa lari uangmu,"gurauku seraya tersenyum.
Julian ikut tersenyum.
"Lantas kenapa kau mau menikah denganku? Apa karena aku mirip dengan kekasihmu yang sudah meninggal?"tanyaku mengganti topik pembicaraan.
Raut wajah Julian berubah.
"Apa Sabrina yang menceritakan hal itu padamu?"tanya Julian. Tampaknya ia tidak suka mendapat pertanyaan seperti itu.
Berarti benar dugaanku, batinku.
"Kita saling menipu, Julian,"tandasku kemudian."Kenapa kau yang terus memojokkanku? Harusnya kau mengembalikan semua fasilitasku seperti semula."
"Lalu apa yang bisa kau berikan padaku sebagai balasannya?"
"Ah kau ini perhitungan sekali,"gerutuku kesal."Sudahlah, aku mau tidur sekarang."
Kurasa lebih baik aku pergi daripada melanjutkan obrolan yang sama sekali tidak menguntungkan bagiku.


"Kau pulang terlambat,"tegurku spontan saat melihat Julian datang."Kenapa? Apa ada masalah di hotel?"desakku.
Laki-laki itu tidak menyahut sama sekali. Ia acuh dan segera melepaskan jas yang melekat di tubuhnya.Apa ia tidak mendengarku?
"Harusnya kau menelepon kalau pulang terlambat,"ucapku kemudian.
"Sudah, tidak usah pedulikan aku,"sahut Julian terdengar malas.
"Apa?"tanyaku tak percaya."Kenapa kau bilang seperti itu? Apa kau marah padaku?"desakku lagi.
"Jangan bertanya lagi. Aku lelah,"ucap Julian seraya bergegas naik ke atas tempat tidur lantas merebahkan tubuhnya disana.
"Aku hanya bertanya, kenapa kau marah?"
"Aku tidak marah,"balasnya cepat."Aku lelah dan sebaiknya kau diam. Jangan menggangguku,"ucapnya setengah mengancam.
Aku tersenyum pahit mendengar ucapannya.
"Aku bertanya baik-baik karena aku peduli padamu. Kenapa kau semarah itu? Aku baru tahu kalau kau seorang pemarah,"sindirku dengan sengaja.
Ternyata ucapanku membuat Julian terbangun dari posisi berbaringnya.
"Apa kau tidak bisa diam?"serunya penuh emosional."Kenapa kau sangat cerewet? Angel saja tidak pernah secerewet itu padaku."
Aku tersentak mendengarnya menyebut sebuah nama asing.
"Oh..jadi nama gadis itu Angel?"gumamku tersadar."Jadi sekarang kau mulai membandingkanku dengannya?"
"Ya,"balas Julian cepat."Dia sangat berbeda denganmu. Dia baik dan lembut. Dan dia sangat mengenalku dengan baik. Dia juga bukan penipu sepertimu."
Aku tercekat mendengarnya memuji kekasihnya yang telah meninggal itu.
"Ya, aku memang berbeda dengannya,"sahutku cepat dan dengan nada kasar."Kau benar.Aku memang tidak bisa dibandingkan dengan bidadari cantikmu itu.Bicaraku kasar dan aku berhati jahat. Aku tidak mengenalmu dengan baik.Aku juga seorang penipu. Jadi terima kasih telah mengingatkanku."
"Jadi kau sudah menyadari kesalahanmu?"tanya Julian menghentikan pergerakan kakiku yang semula hendak keluar dari kamar.
Aku mendengus kesal. Sepertinya ia sedang menyindirku kali ini. "Ya,"sahutku cepat."Dan kau boleh mengusirku kapan saja kau mau. Apa kau puas sekarang?"
"Tentu saja aku akan mengusirmu suatu saat nanti,"tandasnya.
"Oh ya,"aku mengingat sesuatu yang penting dan kupikir ia harus tahu."Tiga hal yang kuketahui tentangmu adalah kau sangat menyukai Ultraman saat kecil. Kau alergi bulu kucing sehingga kau sangat benci binatang itu. Dan satu lagi kau takut dengan ruangan gelap. Maaf jika aku hanya mengetahui itu tentangmu."


Semua ini berawal dari keegoisan dan kecemburuan sosial yang kumiliki. Aku memandang hidup hanya dari kacamataku sendiri. Aku membandingkan hidupku dengan orang lain yang hidupnya lebih sejahtera dariku. Teman-temanku yang punya kesempatan menikmati pendidikan tinggi, kupikir mereka lebih beruntung daripadaku.
Tapi aku tidak melihat kehidupan orang lain yang jauh dibawahku. Harusnya aku bersyukur karena hidupku masih lebih beruntung daripada mereka.
Aku memang jahat dan rakus. Oh Tuhan, maafkan sikap-sikap burukku selama ini. Dan aku tidak akan menuntut apa-apa lagi sesudah ini.
"Sarah! Apa yang kau lakukan disini?!"
Seruan itu langsung membangunkanku dari renungan panjang.
Aku tercekat dan nyaris tak percaya pada apa yang kulihat didepan mataku.
Julian? batinku heran. Bagaimana mungkin ia bisa menemukan keberadaanku disini?
"Sedang apa kau disini?"ulangnya seraya menyeret tanganku. Memaksaku untuk segera berdiri.
"Bagaimana kau bisa menemukanku?"tanyaku masih tak percaya.
"Itu tidak penting,"sahutnya cepat."Kenapa kau pergi dari rumah? Apa kau tahu aku mencarimu kemana-mana selama 30 jam ini,"sentaknya penuh amarah.
Aku terhenyak dengan pengakuannya.
"Bukankah suatu hari nanti kau akan mengusirku dari sana? Kupikir sekarang atau nanti itu sama saja. Kenapa mesti mencemaskanku?"
"Kau tiba-tiba saja pergi dan tidak membawa sesuatupun, siapa yang tidak akan cemas?!"seru Julian marah."Aku sudah bilang aku lelah bukan marah. Kenapa kau menganggapnya serius? Aku tidak akan mengusirmu nanti atau kapanpun. Kau mengerti?"
Aku tertegun mendengar ucapannya. Kenapa ia tidak akan mengusirku?batinku bingung.
"Ayolah, kita pulang sekarang,"ajaknya kemudian. Namun aku menepis tangannya yang hendak menyeret lenganku.
"Tidak,"tolakku tegas."Aku tidak bisa pulang bersamamu."
"Kenapa?"sahutnya cepat."Aku tidak sedang marah lagi."
"Bukan karena itu,"timpalku tak kalahcepat.
"Lantas?"
"Aku merasa tidak pantas berada disana."
"Apa maksudmu?"tanya Julian tak sabar.
"Aku bukan orang yang tepat untukmu. Aku......"
"Bicara apa kau ini?"potong Julian."Memang kau bukan orang yang sempurna. Tapi aku sudah memilihmu untuk jadi pasanganku. Jadi berhentilah berpikir macam-macam."
"Aku tidak bisa, Julian,"tegasku."Aku sudah menyadari semua kesalahanku. Dan aku sedang menjalani hukumanku."
"Hukuman apa?"tanya Julian masih mengejarku."Kau tahu, kesalahan terbesarmu adalah kau selalu berpikir rendah diri. Kau berpikir bahwa kau tidak pantas untuk dicintai. Kau merasa dirimu buruk dan egois. Tapi aku tahu kau tidak seburuk itu, Sarah. Kau hanya keras kepala. Jadi jangan membuat dirimu tampak mengenaskan seperti itu."
"Aku tahu,"sahutku pelan. Entah darimana dia mendapat pemikiran seperti itu, tapi aku merasa bahwa ucapannya benar.
"Baguslah jika kau tahu. Bisa kita pulang sekarang?"tawarnya.
Aku menggeleng berat.
"Kau masih tidak mau pulang? Apa kau mau jadi seperti mereka?"seru Julian sembari menunjuk ke arah para pengemis dan gelandangan yang tampak berbaring tak jauh dari tempatku berdiri.
"Kenapa kau tidak mengusirku?"tanyaku penasaran."Aku tidak lebih baik dari Angel atau siapapun. Kenapa ingin mempertahankanku?"
"Menurutmu apa?"pancing Julian membuatku sedikit kesal. Aku yang bertanya lebih dulu kenapa ia balas bertanya."Kau tampak kurus dan lusuh. Kapan terakhir kau mandi dan makan? Ayolah, kita pulang sekarang."


Gadis itu sangat cantik dan mempunyai senyum yang manis. Kakinya yang jenjang membuat tubuhnya tampak seperti model. Pantas saja jika Julian sangat menyukainya. Kurasa aku sama sekali tidak mirip dengannya.
Dan aku bukanlah siapa-siapa jika dibandingkan dengannya.
"Kau sedang mencemburuinya?"tegur Julian yang tiba-tiba saja muncul dari balik punggungku. Membuatku kaget dan nyaris menjatuhkan selembar foto yang kutemukan di dalam laci meja kerja Julian.
"Tidak,"sahutku pelan. Aku tak sempat untuk menyembunyikan foto itu karena Julian terlanjur mengetahuinya.
Julian tersenyum tipis. Menertawakanku pastinya.
"Mungkin aku tidak terlalu mengenalmu sebelumnya, tapi sekarang kurasa aku cukup mengenalmu dengan baik," tandas Julian tampak yakin.
"Benarkah?"pancingku sambil tersenyum meragukan keyakinannya.
"Setidak ada empat hal yang kuketahui tentangmu,"ucapnya membuatku penasaran.
"Apa?"tanyaku cepat.
"Saat masih kecil kau menyukai kartun Peterpan. Kau menyukai musik dan hampir menghabiskan seluruh hidupmu untuk mendengarkan musik. Yang ketiga, kau tidak punya teman dekat sejak kecil karena kau kau selalu dikucilkan dan dimusuhi oleh teman-temanmu. Tapi aku tidak tahu alasan untuk itu. Dan yang keempat, aku selalu melihat kesepian dimatamu. Meskipun kau berada di keramaian, meski kau sedang tersenyum kau selalu merasa ada sepi didalam hatimu,"papar Julian panjang.
"Begitukah?"tanyaku sambil tersenyum pahit."Jadi karena itu kau mempertahankanku? Karena kau kasihan padaku?"
Julian tersenyum mendengar desakanku.
"Apa aku tampak sedang mengasihanimu?"balasnya bertanya.
"Mungkin,"sahutku tak yakin.
"Aku hanya ingin berada disisimu dan menjagamu. Itulah alasan kenapa aku tidak ingin kau pergi,"tandasnya.
"Hanya itu saja?"pancingku.
"Memang alasan apa yang ingin kau dengar dariku?"tanyanya seraya mengerutkan kening."Bukankah kau tidak percaya pada cinta?"
Aku terdiam. Mungkin kehabisan kata untuk mengejar kalimat-kalimatnya.
"Aku tidak tahu kenapa aku seperti ini,"ungkap Julian berikutnya."Rasanya tidak adil jika aku membiarkanmu berlarut-larut dalam penderitaan. Entah bagaimana kau menjalani hidupmu sebelum ini. Mungkin kau terbiasa menghadapi semuanya sendirian, tapi untuk kali ini dan seterusnya biarkan aku menjadi teman berbagimu dalam suka ataupun duka."
"Tapi aku buka Cinderella, Julian. Aku hanya gadis biasa yang...."
"Aku tahu,"potong Julian cepat."Aku juga bukan seorang pangeran.Aku juga tidak punya kerajaan dongeng. Tapi dalam hatiku kau adalah Cinderella tanpa sepatu kaca. Dan kau telah melengkapi hidupku. Dan apa kau tahu akhir kisah kita nanti? Bahagia selamanya....."



Tidak ada komentar:

Posting Komentar