Sabtu, 30 November 2013

LOVE FOR MAMA


Luna terhenyak kaget ketika membuka pintu kamarnya. Betapa tidak, kamar itu telah berubah bak kapal pecah. Padahal tadi sebelum berangkat ke sekolah, kamar itu masih tertata sedemikian rapi. Tapi kini....
"Ma!!" teriaknya lantang. Geram.
Beberapa detik kemudian mama Luna muncul. Ia tampak tergopoh-gopoh memenuhi panggilan putrinya. Wanita itu kaget begitu sampai disana dan melihat kondisi kamar putrinya yang seperti habis terkena badai. Berantakan.
"Mama ini gimana sih,"sentak Luna kesal. "Kan udah Luna bilang jagain Kak Adit baik-baik. Jangan sampai masuk kamar Luna. Jadi gini kan akhirnya,"keluhnya.
"Maafin mama Lun. Tadi mama sibuk di dapur dan nggak sempat ngawasin kakakmu,"sahut mama Luna dengan perasaan menyesal.
Disaat itu kakak Luna tiba-tiba muncul dan bersembunyi di balik punggung mamanya. Mungkin ia bisa membaca kemarahan yang terlukis di wajah Luna.
"Ini dia biang keroknya,"maki Luna kasar. "Udah berapa kali Luna bilangin, Kak Adit jangan pernah masuk ke kamar Luna. Kenapa Kak Adit masih melanggar pesan Luna sih?"ucap Luna kemudian.
Adit tampak ketakutan mendengar omelan Luna. Ia menarik lengan mamanya kuat-kuat untuk mencari perlindungan.
"Lun,"sahut mamanya kemudian. "Kamu kan tahu kakakmu seperti apa. Dia nggak seperti manusia normal lainnya. Dia autis. Kapan kamu akan bisa menerima keadaannya?"
"Luna nggak akan bisa mengerti, Ma,"timpal Luna berseru. Penuh dengan emosi.
"Mama tahu perasaanmu,"sahut mama Luna cepat. "Nggak ada satupun ibu yang ingin anaknya terlahir cacat.Kakakmu juga nggak minta dilahirkan dengan kekurangan seperti itu. Semua orang didunia ini pasti ingin terlahir dengan sempurna. Kakakmu juga. Tapi apa dia punya pilihan? Nggak, Lun. Orang seperti kakakmu hanya bisa menerima apa yang diberikan oleh Tuhan untuknya. Itu sudah menjadi takdirnya.
Dan mama nggak pernah menyesal melahirkan anak seperti dia. Mama sudah menerima semuanya dengan ikhlas. Apa yang diberikan Tuhan adalah yang terbaik untuk mama. Mama tidak akan mengeluh atau protes. Karena Tuhan sangat menyayangi mama. Maka dari itu Dia menitipkan anak seperti itu pada mama.
Kamu mengerti kan ucapan mama?"
"Luna tahu. Bahkan Luna sudah sudah hafal diluar kepala,"sahut Luna cepat. "Mama sudah mengatakan itu ratusan kali. Sampai Luna nggak ingin mendengarnya lagi,"tandasnya ketus.
Mama mendesah pelan mendengar ucapan putrinya.
"Jika kamu sudah hafal ucapan mama, kenapa kamu nggak mencoba untuk belajar menerima keadaan kakakmu?"tegur mama Luna mencoba memberi pengertian pada putrinya.
Luna mendengus.
"Luna capek. Luna pingin istirahat,"ucap Luna beberapa saat kemudian. Mengakhiri perdebatan kecil itu.
Gadis itu buru-buru masuk lantas menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Rasanya sudah cukup berdebat dengan mama hari ini. Toh pada akhirnya mama-lah yang akan menang.


Adit adalah kakak kandung Luna. Usianya dua tahun lebih tua dari Luna. Namun Adit tidaklah sempurna seperti manusia normal lainnya. Ia mengidap autis sejak lahir. Itulah yang membedakannya dengan orang lain.
Dan Luna seolah tak pernah bisa menerima kenyataan jika kakaknya memiliki kekurangan.
Bagi Luna, Kak Adit sangat merepotkan. Dan juga memalukan. Maka dari itu Luna tidak pernah mengajak kakaknya keluar rumah. Luna juga tidak pernah mengundang teman-temannya untuk datang kerumah.
Luna takut jika kakaknya yang mengidap penyakit autis diketahui oleh teman-temannya. Apa kata mereka nanti? Luna yang manis dan selalu juara kelas punya saudara yang mengidap penyakit autis. Itu pasti akan sangat memalukan dan menjadi bahan olok-olokan diantara teman-temannya. Dan Luna tidak mau reputasinya hancur karena Kak Adit.
Luna kerap menyesali hal tentang Kak Adit. Ia selalu mengeluh, kenapa Tuhan memberinya seorang kakak yang memiliki kekurangan. Kenapa Tuhan tidak memberinya seorang kakak yang tampan, cerdas dan dapat diandalkan. Semisal kakaknya Nindy atau Vera yang sempurna.
Luna juga ingin punya kakak seperti itu. Yang selalu siap mengantarnya kemanapun Luna ingin pergi. Yang siap melindungi Luna dan bisa dijadikan tempat curhat saat ia jatuh cinta pada seseorang nanti. Yang bisa diandalkan dan bisa dibanggakan didepan teman-temannya.
Tapi kenyataannya Kak Adit tidak seperti itu. Ia tidak seperti kakak yang ia impikan selama ini. Ia hanya seorang pengidap autis yang bahkan tidak bisa menjaga dirinya sendiri. Ia bahkan tidak tahu jalan dan tidak bisa mengingat alamat rumahnya sendiri.
Kenapa Tuhan seolah membedakan kasih sayang-Nya dan memperlakukan Luna dengan tidak adil....


Luna tampak sibuk sendirian didepan rak yang memajang berbagai macam cat lukis. Ada berbagai macam ukuran dan harga disana. Namun gadis itu masih bingung memilih mana cat yang cocok dengan kantongnya.
Sedianya sepulang sekolah ini, Luna akan membelikan cat minyak untuk Kak Adit. Sesuai pesanan mamanya.
Kak Adit memang sangat menyukai kegiatan melukis. Dan tampaknya kemarin ia kehabisan cat lukisnya sehingga ia mengacak-acak kamar Luna karena ia berpikir jika ia bisa menemukan benda yang ia butuhkan disana. Namun ia hanya membuat kamar itu berantakan sehingga membuat Luna berang.
Setelah menemukan benda yang ia rasa cocok, Luna beranjak ke meja kasir untuk membayar belanjaannya.
Matahari siang ini begitu terik. Panas menyengat ubun-ubun. Mengeringkan kerongkongan Luna. Haus bukan main.
Luna memutuskan mampir ke kios kecil yang menjual aneka minuman dalam botol begitu ia keluar dari supermarket. Ia memesan sebotol teh dingin.
Sembari menikmati minumannya, Luna memutuskan untuk beristirahat di sana sebelum pulang. Pandangannya pun beredar ke sekeliling. Ke arah kendaraan yang sedang lalu lalang di jalan raya. Bising dan penuh dengan polusi.
Kak Adit paling benci dengan suara bising. Juga dengan keramaian. Ia paling suka menghabiskan waktunya sendirian dikamar. Melukis atau merangkai puzzle adalah kegiatan yang sangat ia gemari.
Terkadang Luna merasa kasihan terhadap Kak Adit. Memang ucapan mamanya benar, tapi menerima kenyataan ternyata jauh lebih sulit dari yang ia pikirkan.
Lamunan Luna terhenti ketika pandangannya tertumbuk ke arah seberang jalan. Seorang laki-laki baru saja keluar dari sebuah mobil sedan hitam yang diparkir didepan sebuah restoran. Sementara seorang wanita juga ikut keluar dari mobil yang sama beberapa detik setelah itu. Mereka tampak bergandengan saat berjalan menuju ke restoran. Bahkan sang laki-laki sempat menggamit pinggang wanita itu dengan mesra. Bak sepasang kekasih.
Ya Tuhan! jerit hati Luna kaget melihat pemandangan itu. Sosok laki-laki itu sangat ia kenal. Dia adalah papa Luna. Sedang wanita itu entah siapa.
Benarkah papa berbuat seperti itu diluar rumah? batin Luna bertanya. Ia tak bisa meyakini kenyataan yang terbentang jelas dihadapannya. Tapi laki-laki itu benar-benar papa dan ia sedang bersama wanita lain. Ia berselingkuh tanpa sepengetahuan mama.
Oh Tuhan.... Luna tak bisa percaya papa bisa berbuat itu pada mamanya.


Kak Adit tampak tertidur dengan pulas ketika Luna datang. Gadis itu meletakkan cat lukis diatas meja agar ketika Kak Adit bangun nanti, ia bisa melihat benda itu.
Lantas ia beralih ke dapur. Disana ia melihat mamanya tengah sibuk memasak. Sementara didekat kamar mandi ada setumpuk pakaian kotor. Belum lagi ada pesanan kue yang harus mama buat malam ini. Ah, betapa sibuknya mama Luna . Ia harus melakukan semua itu sendirian.
Kasihan mama, batin Luna trenyuh. Mama tidak pernah mengeluh capek dan ia tidak pernah sekalipun meminta bantuan Luna untuk mengerjakan pekerjaannya.
Sementara diluar sana papa tengah bersama dengan wanita lain. Apa Luna tega mengatakan semua itu pada mamanya? Sanggupkah ia menghancurkan hati mamanya?
"Kamu sudah datang?"tegur mama Luna begitu ia sadar Luna telah berdiri beberapa jengkal di belakang punggungnya. "Makan dulu, Lun. Mama sudah masak ikan goreng kesukaan kamu,"suruhnya kemudian.
"Apa mama butuh bantuan Luna?"tawar Luna datar. Seumur hidup ia tidak pernah menawarkan bantuan untuk mamanya. Dan baru kali ini ia melakukannya setelah menyadari betapa banyak pekerjaan mamanya sebagai ibu rumah tangga.
Namun mama Luna tersenyum.
"Nggak. Sudah, kamu ganti baju dulu sana terus makan,"suruh mamanya setengah memaksa.
Luna terdiam sesaat. Sebelum akhirnya ia pergi menuruti perintah mamanya.


"Hati-hati Neng!"
Terlambat. Teriakan itu menjadi tak berarti karena Luna sudah lebih dulu jatuh ke atas aspal usai diserempet sebuah motor yang melaju kencang. Gadis itu baru saja turun dari bus dan kecelakaan kecil itu tak bisa dihindarinya.
Beberapa orang yang kebetulan melihat kejadian itu langsung menolong Luna. Gadis itu dilarikan ke rumah sakit terdekat. Tapi untung saja ia hanya mengalami cidera ringan pada tangannya. Meski begitu ia harus dirawat di rumah sakit untuk dua hari kedepan.
Saat Luna terbangun dari pingsannya sudah ada mama dan Kak Adit disampingnya. Tapi tak ada papa. Pasti ia sedang sibuk dengan wanita itu.
"Kamu baik-baik saja?"sambut mamanya. Ia mengusap kepala Luna dengan lembut.
"Ya,"sahut Luna lirih.
"Papa masih dikantor, setelah bekerja dia akan kesini,"ucap mamanya. "Sebenarnya ada apa, nggak biasanya kamu ceroboh seperti itu. Untung saja kamu hanya cidera sedikit,"lanjutnya.
"Maafkan Luna, Ma,"ucap Luna lirih.
"Mama lihat beberapa hari terakhir ini kamu sering melamun. Dan mama lihat kamu nggak pernah marah-marah pada kakakmu. Apa ada sesuatu yang terjadi?"cecar mama Luna mengungkapkan kecurigaannya.
Luna terdiam. Akhir-akhir ini ia memang lebih banyak diam ketimbang sebelumnya. Padahal dulu hampir setiap hari ia memarahi Kak Adit. Semua karena papa. Karena pikirannya penuh dengan papa.
"Lun..."tegur mamanya membuyarkan lamunan Luna."Mama tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari mama. Mama nggak akan memaksa kamu untuk mengatakannya pada mama. Tapi kamu nggak boleh berlarut-larut dalam sebuah masalah,"lanjutnya.
Luna masih diam. Ragu memenuhi benaknya. Tak mungkin ia mengatakan perihal papa dalam keadaan seperti ini.
Tiba-tiba saja ponsel mama berdering. Dari papa.
Dan beberapa saat kemudian....
"Papa nggak bisa datang, Lun,"tutur mamanya. "Ada rapat mendadak di kantor. Kamu nggak pa pa kan?"
Luna mendesah pelan. Disaat seperti inipun papa lebih mementingkan wanita itu.
"Mama percaya apa yang dikatakan papa?"tanya Luna cepat.
"Papa sedang bekerja, Lun. Kenapa kamu bertanya seperti itu?"balas mama Luna bertanya.
"Apa mama nggak curiga dengan papa? Bisa saja dia berbohong, Ma,"tandas Luna.
"Hush, ngomong apa sih kamu,"sentak mamanya."Sudah, sebaiknya kamu istirahat dan jangan berpikir macam-macam,"ucap mama Luna sembari membenahi letak selimut gadis itu.


"Pa!"
Papa Luna kaget bukan kepalang. Luna telah berdiri didepan meja kerjanya lengkap dengan seragam putih abu-abu.
"Luna? Kenapa kamu disini? Kamu nggak sekolah?"cecar papa Luna seraya berdiri untuk menyambut kedatangan putrinya.
"Luna ingin bicara, Pa,"tandas Luna datar.
Papa Luna mengerutkan keningnya. Heran dengan sikap aneh Luna.
"Bicara?"ulang papa Luna. "Duduklah,"suruhnya kemudian.
Luna menuruti perintah papanya.
"Pa,"ucap Luna memulai perbincangan. "Luna sudah tahu semuanya."
"Tahu apa?"tanya papa Luna bingung.
"Selama ini papa berselingkuh di belakang mama,"ungkap Luna. "Luna benar kan?"
Papa Luna terhenyak dan tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
"Kamu tahu?"tanya papanya tak yakin.
"Ya,"sahut Luna tegas.
"Apa mamamu yang memberi tahu?"
Luna menggeleng.
"Apa mama sudah tahu hal ini?"tanya Luna curiga.
Papa menghela nafas panjang.
"Kami nggak pernah saling mencintai sejak awal pernikahan kami,"ucap papa mengejutkan Luna. Namun gadis itu tak mau menyela penuturan papanya. "Kami dijodohkan. Dan selama dua puluh tahun pernikahan kami, nggak ada cinta sama sekali. Dan suatu saat papa menemukan orang yang benar-benar papa cintai. Mamamu sudah tahu hal ini. Dan kami telah sepakat untuk bercerai,"ungkap papa Luna lebih mengejutkan lagi.
"Pa!"seru Luna kaget. Ia tidak menduga ada sebuah rahasia diantara kedua orang tuanya. Mereka tidak pernah saling mencintai bahkan telah sepakat untuk bercerai tanpa sepengetahuan Luna. Ini benar-benar diluar dugaan.
"Itu benar Lun,"sahut papa. "Maafkan papa yang nggak pernah bisa mencintai mamamu. Tapi kamu tetaplah putri papa yang papa sayangi,"
"Ini nggak adil, Pa.Apa papa nggak pernah mencoba untuk mencintai mama ? Kalian sudah hidup bersama selama itu dan melahirkan Luna dan Kak Adit. Apa papa nggak punya perasaan sedikit saja untuk mama? Mama baik dan perhatian pada papa...."
"Lun... Kamu nggak pernah tahu perasaan papa. Papa nggak bisa jatuh cinta pada orang lain lagi. Karena wanita itu adalah cinta pertama papa. Kami bertemu lagi setelah dua puluh tahun terpisah. Dan kami masih saling mencintai sampai sekarang,"ucap papa mengungkapkan isi hatinya.
Luna tersenyum pahit. Rasanya sulit untuk menerima penjelasan papa yang mirip sebuah pukulan berat baginya. Keluarga yang semula ia kira sempurna dan bahagia ternyata rapuh didalam. Orang tua yang ia pikir rukun dan harmonis ternyata hidup tanpa cinta. Kosong tak bermakna. Mereka begitu pandai bersandiwara. Mereka bahkan sanggup menyimpan rahasia hati mereka selama berpuluh tahun. Luna telah tertipu.
Ternyata semua tidak baik-baik saja. Semua tidak berjalan dengan lancar. Andai saja Kak Adit senormal manusia lainnya ia pasti sudah marah besar begitu mendengar masalah ini. Tapi mungkin lebih baik menjadi pengidap autis daripada mengetahui kenyataan yang sangat menyakitkan ini....


"Mama tahu kamu kecewa dan marah saat tahu hal itu,"ucap mama Luna mengusik lamunan gadis itu. Tangannya berusaha menyentuh pundak Luna, namun sama sekali tak bisa menimbulkan reaksi pada dirinya. Ia masih duduk diam membelakangi mamanya.
"Mama yakin suatu saat nanti kamu akan mengerti,"lanjut mamanya lagi.
"Apa mama mencintai papa?"tanya Luna menyentak mamanya. Membuat wanita itu kaget.
"Mama...."tampaknya mama Luna ragu untuk mengutarakan isi hatinya. Kalimatnya menggantung.
"Mama mencintai papa kan?"tanya Luna menebak. Setengah memaksa.
Mama mengangguk kecil.
"Seumur hidup mama hanya mencintai seorang laki-laki,"tutur mamanya."Tapi bukan salah papamu jika dia nggak bisa mencintai mama. Mama menghargai perasaan papamu. Cinta nggak bisa dipaksakan. Dia akan datang dengan sendirinya."
"Tapi Ma..."potong Luna."Apa nggak ada cara agar kalian nggak bercerai?"
Namun mama menggeleng.
"Mama nggak ingin menyiksanya lebih lama lagi. Semua orang berhak untuk bahagia..."tandas mamanya.
"Mama juga berhak untuk bahagia,"timpal Luna tak mau kalah.
Mama mengembangkan senyum.
"Buat mama kamu dan Adit adalah kebahagiaan mama,"ucap mama Luna seraya mengusap kepala putri kesayangannya itu. "Maafkan kami nggak bisa menjadi orang tua yang sempurna buatmu dan Adit."
"Tapi mama adalah mama terhebat di dunia. Luna bangga punya mama seperti mama,"balas Luna.
"Terima kasih sayang...


Luna bisa menatap senyum yang mengembang lebar di bibir mamanya. Meski dari kejauhan.Wanita itu tampak sangat bangga saat lukisan Kak Adit keluar sebagai pemenang pertama pada pameran lukisan yang diadakan di gedung sebuah universitas swasta.
"Mama sangat bahagia,"gumam Luna lirih.
"Dia wanita yang hebat,"sambung seorang laki-laki disebelahnya.
"Tapi kenapa papa nggak pernah bisa mencintainya?"tanya Luna seraya menoleh pada laki-laki disampingnya.
"Papa nggak sebanding dengannya. Dia wanita yang tegar dan tangguh. Papa sangat mengagumi dirinya. Tapi wanita yang bersama papa sekarang adalah wanita yang lemah dan rapuh. Dia butuh perlindungan papa. Papa nggak tahu bagaimana dia akan menjalani hidup sendirian tanpa seseorang disampingnya. Terlebih dia butuh dukungan moral dari papa untuk bisa bertahan melawan penyakitnya,"papar papa Luna panjang.
"Maksud papa?"tanya Luna bingung.
"Dia mengidap kanker ganas,"ucap papa mengejutkan.
Luna terhenyak kaget. Jadi itukah penyebab papa tidak menjenguknya segera saat ia dirawat di rumah sakit?
"Papa minta maaf nggak bisa menjaga kalian. Tapi kapan saja kamu butuh papa, kamu bisa datang mencari papa."
"Luna tahu,"sahut Luna. "Tapi apa papa bisa kembali pada kami saat papa telah sendiri suatu saat nanti? Bukan maksud Luna mendoakan wanita itu segera meninggal..."
"Papa mengerti maksudmu,"timpal papanya sembari tersenyum. "Tapi papa nggak bisa menjanjikan sesuatu tentang itu. Karena itu adalah takdir Tuhan. Dia yang menentukan segalanya."
Luna tersenyum seraya melambaikan tangannya saat papanya pergi menjauh. Luna menatap kepergian papa sampai ia tak bisa melihat bayangannya lagi. Luna sadar, sekarang saatnya untuk bergabung dengan mama dan Kak Adit.
Ada begitu banyak rasa bangga dan ucapan terima kasih yang ingin ia ungkapkan pada mamanya. Karena mama telah melewati banyak hal selama ini. Dan Luna sadar, mama adalah segalanya. Dia tidak bisa tergantikan, meski oleh papa sekalipun. Dia adalah mama yang luar biasa dan terhebat yang diberikan Tuhan untuknya......



{ Karena cinta ibu tulus dan tanpa syarat. Terima kasih ibu... }

Minggu, 17 November 2013

WHO AM I?


Siapa aku?
Itulah pertanyaan yang muncul dibenakku saat pertama kali membuka mata. Aku menatap sekeliling dan mendapati beberapa orang asing disekitarku. Dan aku sama sekali tidak mengenal mereka. Bahkan diriku sendiripun, aku tidak tahu!
"Kamu sudah sadar Bel?"seorang wanita paruh baya mendesakku dengan pertanyaan begitu ia tahu aku telah membuka mata.
"Siapa aku?"aku malah bertanya dengan lugunya pada wanita itu. Yang spontan membuat seisi ruangan itu terbelalak kaget lantas saling berpandangan satu sama lain usai menatapku.
Ya, kupikir aku amnesia. Karena aku sama sekali tak punya ingatan. Mungkin peristiwa yang kualami sebelum ini begitu dahsyat sehingga menyebabkan benturan keras dikepalaku. Seakan file-file didalam memori otakku rusak sama sekali. Aku seperti bayi yang telah terlahir kembali tanpa memiliki identitas.

Wanita yang mengaku sebagai ibuku itu memberi tahu namaku adalah Bella. Sedang seorang laki-laki yang tampak sedikit lebih tua dariku disampingnya adalah kakak laki-lakiku, Zack namanya. Sementara seorang perempuan yang sebaya denganku disisi sebelahnya adalah adikku, Sierra. Dan seorang lagi adalah Tuan Anthony, pengacara keluarga kami.
Seminggu sebelum hari ini aku mengalami kecelakaan mobil yang membuatku seperti ini. Aku sendiri berumur 20 tahun dan baru saja pulang dari London dalam rangka liburan kuliah. Dan kata ibu, ayahku telah meninggal setahun yang lalu karena serangan jantung.

Aku baru tahu jika luka yang kualami sangat parah. Kedua kakiku tak bisa digerakkan sama sekali. Aku mengalami kelumpuhan. Dokter belum bisa memastikan permanen atau tidak. Ini sebuah pukulan telak untukku. Kehilangan ingatan dan mengalami kelumpuhan. Membuatku bertanya-tanya sebenarnya bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi? Apa aku sedang mabuk atau mengantuk? Sebenarnya bagaimana pribadiku sebelum ini?

Setelah kondisiku mulai membaik, aku diperbolehkan untuk meninggalkan rumah sakit hari itu. Aku dibawa pulang ke sebuah rumah bergaya victorian kuno. Letaknya berada di pinggiran kota, jauh dari kebisingan. Rumah itu sangat besar dan indah. Aku tidak tahu jika keluargaku sekaya ini. Aku dibawa kesebuah kamar yang konon adalah kamarku.Ukurannya cukup luas. Dan perabotannya juga bagus.Terkesan minimalis namun elegan. Ada sebuah foto terpajang dalam sebuah pigura mini disana. Foto diriku. Tapi tak ada satupun benda yang bisa membuatku mengingat masa laluku disana.Entahlah, mungkin masih terlalu dini untuk mencoba menggali ingatanku.

Memang tampak sedikit aneh. Aku tidak menemukan album foto, buku harian atau sesuatu benda yang menjadi peninggalanku dimasa lalu.Yang mungkin bisa membuka ingatanku sedikit demi sedikit. Bahkan rumah itu sendiripun sama sekali tidak membuatku mengingat masa lalu meski secuil. Pelayan dirumah itupun tidak mengenalku. Berdasarkan keterangan yang kudapat mereka baru bekerja beberapa hari ini. Aku merasa ada yang aneh dengan semua ini. Bagaimana aku bisa mengingat semuanya jika tidak ada satupun benda yang berkaitan dengan ingatan masa laluku. Tapi keluargaku sangat baik terhadapku. Bahkan cenderung berlebihan memperlakukanku. Padahal aku masih bisa mendorong kursi rodaku sendiri, tapi mereka sering memaksaku untuk tetap tinggal didalam kamar agar aku istirahat total.Padahal aku merasa bosan berada disana terus menerus.

"Rumah kita pernah kebakaran beberapa tahun yang lalu.Itulah kenapa kita tidak punya album foto. Barang-barangmu juga banyak yang terbakar saat itu. Kita nyaris kehilangan segalanya. Tapi untung saja ayahmu masih punya simpanan uang. Dan akhirnya ayahmu membeli rumah ini dan sedikit merenovasinya sesuai keinginan kami."
Ibu meletakkan butir-butir obat yang harus kuminum kedalam genggamanku sembari bertutur tentang masa lalu. Aku sudah bosan meminum obat-obatan itu, tapi ibu selalu tepat waktu mengantarkannya kekamarku.
"Apa ada sesuatu yang kamu ingat? Sedikit?"tanya ibu seraya mengamati raut wajahku.
Aku menggeleng usai menelan butir-butir obat itu.
"Tidak ada satupun yang kuingat,"balasku enteng."Apa aku dulu adalah anak yang baik? Maksudku aku bukan anak yang sering melawan orang tua,bukan?"
Pertanyaan itu pasti terdengar sangat konyol di telinga ibuku, karena ia tersenyum geli sesudah itu.
"Tentu saja kamu anak yang baik,"ucapnya seraya mengusap kepalaku."Kenapa kamu bertanya seperti itu?"
"Tidak apa-apa, aku hanya ingin tahu saja."

Waktu berjalan sedikit terasa lebih lambat buatku. Dan aku masih belum mengalami peningkatan sedikitpun. Ingatanku belum kutemukan sama sekali. Kakiku juga tidak menunjukkan tanda-tanda kesembuhan. Seperti yang ibuku bilang, mungkin belum saatnya aku menjalani terapi untuk penyembuhan kakiku. Apa benar seperti itu?
Kenapa hatiku sedikit merasa aneh dengan sikap ibu dan saudara-saudaraku.Seolah-olah mereka menahan kesembuhanku. Tampaknya mereka lebih suka aku menjadi orang yang lemah dan lumpuh selamanya daripada melihatku sehat dan bisa berjalan kembali.Begitukah sikap keluarga terhadap anggota keluarga lainnya?

Kecurigaanku semakin menjadi. Aku sering mendapati ibu atau Zack marah-marah pada pelayan dirumah kami hanya karena kesalahan sedikit saja.Padahal didepanku mereka tampak sangat baik, tapi kenapa dibelakangku mereka memperlakukan orang lain dengan sangat buruk. Aku menjadi semakin penasaran dan mencurigai ada sesuatu yang tidak beres. Diam-diam aku mulai memperhatikan gelagat mereka satu persatu. Karena aku punya firasat buruk tentang mereka.

"Bagaimana jika suatu saat dia mengingat semuanya?"
Malam itu tanpa sengaja aku mendengar percakapan mencurigakan didapur. Kebetulan aku bermaksud mengambil air minum dan kebetulan mereka tidak melihat kehadiranku disana.
"Kamu tenang saja, ibu sudah memberinya sesuatu yang akan mencegahnya mengingat masa lalunya. lagipula dia tidak bisa berjalan. Kita harus bisa memanfaatkan keadaan ini sebaik-baiknya sebelum semua berbalik menyerang kita."
Itu jelas-jelas suara Zack dan ibu. Tapi apa yang sedang mereka perbincangkan? Tentang dirikukah?
Sebenarnya siapa aku? Dan benarkah mereka adalah keluargaku? Lantas apa sebenarnya yang terjadi?
Kenapa aku merasa aku seolah-olah adalah orang yang menjadi tujuan rencana jahat mereka?
Tuhan, kembalikan ingatanku...

Aku hanya bisa terpekur diatas kursi rodaku. Seraya mencoba mengingat sesuatu. Namun setiap kali aku mencoba untuk memaksakan diri mengingat sesuatu, mendadak kepalaku terasa sakit tak tertahankan. Seperti ada yang menekan pusat syarafku dan seakan mencoba menghentikan usahaku untuk mengingat masa laluku.
Ibu... Benarkah dia ibu kandungku? Tapi kenapa dia memberiku obat-obatan yang bisa mencegahku untuk mengingat masa laluku? Ada rahasia apa dibalik sikap baiknya yang ternyata hanya sandiwara belaka.
Kepalaku sakit. Aku merintih karena nyaris tak kuasa menahan kesakitan. Tanganku berusaha menjangkau gelas yang terletak diatas meja, namun benda itu agaknya terlalu jauh dari jangkauan tanganku.
Dan kecelakaan kecil itu terjadi begitu saja. Aku terjatuh dari atas tempat tidur, namun kepalaku terlebih dulu menyentuh lantai. Dan benturan itu tak bisa kuhindari.
Kepalaku yang terlanjur sakit kian bertambah sakit dan nyaris membuatku pingsan.
Oh Tuhan, aku tidak kuat menahan rasa sakit ini...

Aku terbangun dan mendapati tubuhku telah berpindah diatas tempat tidur. Entah siapa yang menolongku tadi, namun rasa sakit dikepalaku sudah lumayan berkurang.
"Kamu baik-baik saja Bel?"
Teguran ibu yang tiba-tiba muncul dikamarku membuatku terhenyak kaget. Bukan karena beberapa butir obat yang ia bawa dalam genggamannya, tapi karena sesuatu yang lain.
Aku baru menyadari satu hal ketika melihat wanita itu muncul. Ingatanku telah kembali!
Aku telah mengingat semuanya sekarang. Pasti karena benturan tadi.
"Bella,minum obatmu,"suruhnya seraya menyodorkan butir-butir obat kepadaku.
Wanita itu bukanlah ibu kandungku. Dia adalah ibu tiriku. Zack dan Sierra juga adalah saudara tiriku. Mereka semua adalah orang jahat. Mereka berusaha merebut harta kami setelah merekayasa kematian ayah. Dan kecelakaanku juga adalah bagian dari rencana busuk mereka untuk melenyapkanku.
Aku ingat, aku pulang dari London untuk menyelidiki kematian ayah yang menurutku tidak wajar. Aku sedang mengumpulkan bukti-bukti untuk menyeret mereka ke penjara. Tapi aku belum sempat melakukannya karena kecelakaan itu.
Dan keadaanku sekarang ini telah dimanfaatkan ibu tiriku untuk melancarkan niat busuknya untuk menguasai semua aset kekayaan yang diwariskan ayah untukku.
Bahkan ibu tiriku telah berbohong dengan mengatakan rumah kami mengalami kebakaran sehingga aku tidak punya album foto atau sesuatu benda yang menjadi kenangan masa laluku. Ia telah merencanakan semuanya dari awal. Ia membeli rumah baru dengan maksud agar aku tidak bisa mengingat kembali masa laluku.
Aku harus menghentikan mereka. Aku punya beberapa bukti dan saksi atas tindak kejahatan mereka. Dan semua bukti itu ada dikamarku di rumah lama kami. Aku harus mengambilnya dan menyerahkannya pada polisi. Tapi bagaimana aku bisa pergi kesana sementara aku tidak bisa berjalan dan aku sama sekali tidak punya ponsel.
Aku harus menghubungi Paman Anthony. Dia pasti bisa membantuku. Tapi aku belum memikirkan cara untuk untuk memulai bertindak.
Tuhan, tolong aku.....

Aku merasa sedih. Aku bahkan belum bisa melakukan sesuatupun sampai hari ini. Meski aku sudah bisa mengingat semuanya tapi aku tidak punya keberanian untuk melawan mereka. Padahal dulu aku sangat berani dan kuat. Aku tidak takut pada apapun saat itu.
Tapi itu dulu. Saat aku masih bisa berjalan dan berlari kemanapun aku suka. Aku akan melakukan apapun untuk mencari keadilan.Tapi sekarang....
Ahh... kenapa aku tidak mencobanya? Kenapa aku tidak mencoba untuk berjalan tanpa sepengetahuan mereka?
Aku mencoba untuk menggerakkan kakiku malam itu. Dengan berpegangan meja, aku menjejakkan kakiku ke atas lantai.
Tapi tidak semudah itu untuk bisa berjalan lagi setelah mengalami kelumpuhan. Yang ada malah kakiku mengalami kesakitan yang luar bisa. Membuatku nyaris menyerah. Kurasa aku akan lumpuh selamanya.
Ayah, ibu....
Apa kalian sedang melihatku dari surga? Apa kalian bahagia disana?
Aku sedih jika harus mengingat mereka. Aku merasa sendirian saat ini. Padahal aku sangat butuh dukungan dan semangat.
Siapa yang bisa membantuku?

"Bella, kenapa obatnya tidak kamu minum?"
Pertanyaan ibu tiriku itu sama sekali tak mengundang simpatiku. Aku masih terpekur diatas kursi rodaku seraya menatap kosong ke arah kolam renang di teras samping rumah. Dia pasti baru saja memeriksa kamarku dan menemukan butir-butir obat pemberiannya tadi pagi masih utuh disana.
"Aku tidak butuh obat-obatan itu,"sahutku datar."Aku tidak akan sembuh meski meminumnya sepanjang hidupku.
Ibu tiriku tampak terkejut mendengar ucapanku. Tak biasanya aku bersikap sok pasrah seperti ini.
Aku memang telah kehilangan harapan untuk sembuh. Aku sudah berkali-kali mencoba untuk berjuang, tapi tetap saja hasilnya tidak ada. Menyerah sekarang atau nanti hasilnya akan tetap sama saja.
"Kenapa kamu bicara seperti itu?"tanya ibu tiriku yang pastinya hanya sandiwara belaka. Ia pasti bahagia jika aku tidak sembuh selamanya.
"Bukankah itu yang ibu inginkan? Bukankah ibu lebih senang jika aku tetap seperti ini?"tanyaku mencoba memancing reaksinya.
Ia kaget dan memelototkan mata bundarnya.
"Kenapa terkejut? Bukankah yang aku ucapkan benar?"sindirku sengaja.
"Apa maksudmu?"tanyanya tampak ragu.
"Ingatanku sudah kembali,"ucapku pelan. Memunculkan keterkejutan pada seraut wajah ibu tiriku.
"Be.....benarkah?"tanyanya terbata. Sedikit takut.
"Aku sudah ingat semuanya,"tandasku."Semua kejahatan yang telah kalian lakukan padaku, aku tahu semuanya. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa sekarang. Bukankah itu yang kalian inginkan? Dengan melenyapkanku kalian bisa menguasai harta ayah tanpa ada penghalang. Kenapa kalian tidak membunuhku saja daripada membiarkanku hidup dalam keadaan menyedihkan seperti ini? Bukankah aku hanya akan menjadi beban kalian?"
"Aku memang berniat membunuhmu,"ucap ibu tiriku tiba-tiba. Membuatku terhenyak tak percaya. Dengan terang-terangan ia mengungkapkan rencana kejinya."Tapi membiarkanmu hidup dalam keadaan seperti ini jauh lebih menyenangkan daripada melihatmu mati. Karena aku senang melihatmu menderita."
Wanita itu tersenyum pahit. Ia lebih tampak seperti iblis betina dimataku.
Aku ikut menyunggingkan senyum pahit untuk menutupi rasa marah dan dendam yang telah meluap didalam dadaku.
"Kenapa tidak membunuhku sekarang?"tanyaku seraya menatap ke arah air kolam yang tampak tenang."Sebuah kecelakaan akan tampak lebih baik ketimbang menusukku dengan pisau."
"Kenapa kamu tiba-tiba ingin mati?"
Aku tersenyum kecut.
"Untuk apa aku hidup jika hanya untuk melihatmu menang. Lebih baik aku pergi menyusul ayah dan ibuku. Itu akan lebih baik untukku,"tandasku tegas.
"Baiklah,jika itu maumu."
Aku sempat terkejut mendengar keputusannya. Apa benar ia akan melakukannya?
Perlahan roda kursi yang kududuki bergerak mengarah ke kolam renang. Aku sempat ragu dan takut jika wanita itu benar-benar akan melakukannya.
Byur...
Beberapa saat kemudian tubuhku terlempar kedalam air. Tubuhku meluncur perlahan kedasar kolam tanpa perlawanan. Toh kakiku tak bisa kugerakkan untuk melawan tekanan air kolam.
Air mulai masuk kedalam hidung dan mulutku. Lantas menyesaki rongga dadaku. Aku tak bisa bernafas.
Ayah, ibu... Tunggu aku.

Aku terbangun. Aku berharap ada ayah dan ibu yang menyambutku. Dan kami bertemu disebuah padang bunga yang indah disebuah sudut surga. Tapi khayalanku ternyata kosong.Lagi-lagi aku terbangun dikamar rumah sakit. Dan bukan ayah atau ibu yang menyambutku,melainkan paman Anthony.
"Kamu sudah sadar?"tegur paman Anthony saat melihatku membuka mata.
Aku mengedipkan mata tanda mengiyakan.
"Aku sudah lama mencurigai mereka,"papar paman Anthony."Maka dari itu aku menempatkan seorang mata-mata dirumah itu untuk mengawasi kalian. Ternyata dugaanku benar. Ibu tirimu seorang yang sangat jahat. Untung saja mata-mataku cepat menelepon polisi saat ibu tirimu mencoba membunuhmu. Dan untungnya lagi dia sempat merekam kejadian itu. Ibu tirimu telah ditangkap tadi pagi. Dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya didepan hukum,"ungkap paman Anthony.
"Benarkah?"tanyaku antusis.
"Tentu saja,"sahut paman Anthony."Sekarang kamu bisa bernafas lega, Bella."
"Wanita itu juga membunuh ayah,Paman,"ungkapku.
"Kami juga sedang menyelidikinya. Kamu tidak perlu cemas. Sekarang kamu harus banyak beristirahat. Oh ya,Paman telah berkonsultasi dengan dokter tentang kelumpuhanmu. Dokter bilang kakimu bisa disembuhkan dengan terapi."
"Benarkah?"tanyaku tak percaya."Terima kasih Paman...... Aku tidak tahu apa jadinya jika tidak ada paman saat itu."
"Bersyukurlah pada Tuhan, Bella. Dia masih memberi kita kesempatan."
Paman benar.

Minggu, 10 November 2013

REMEMBER


Hans....
Sebaris nama itu masih menghuni hatiku hingga sekarang. Meski waktu telah berlalu dan aku berpindah tempat namun tetap saja aku belum bisa menghapus nama indah itu dari benakku.
Karena kupikir aku masih sangat mencintainya...

Aku mengenal sosok Hans saat pertama kali memasuki pelataran kampus.Sebagai mahasiswi baru aku belum mengenal lokasi kampus sama sekali. Saat itulah Tuhan berbaik hati mempertemukanku dengan sosok pemuda ramah nan santun. Dimana aku bisa bertanya tentang kampus padanya.

Pertemuan kami berlanjut dengan tanpa sengaja. Dan itupun berkali-kali. Akibat terlalu sering bertemu itulah aku mulai tertarik pada sosok seniorku itu. Terlebih ia baik dan sikapnya yang begitu dewasa membuatku seperti menemukan sosok kakak laki-laki pada dirinya.

Aku jatuh cinta. Untuk pertama kali pada pemuda impian. Dan beruntungnya diriku manakala Hans juga memiliki perasaan yang sama denganku. Akhirnya kami jadian semenjak saat itu.

Kami melewati hari-hari bersama. Berbagi tawa, canda dan pertengkaran kecil. Semuanya begitu manis tercetak di ingatanku. Bagiku ia adalah segalanya. Masa depan dan tempatku bertumpu kelak.

Tapi cinta yang kupikir akan selamanya itu mulai terkoyak pada suatu hari. Entah darimana datangnya, tiba-tiba seorang gadis mendatangiku dan menggelar cerita yang membuatku nyaris melompat karena terkejut.

Gadis itu mengaku tunangan Hans. Mereka berdua dijodohkan sebagaimana tradisi dalam keluarga mereka. Dan gadis itu memintaku baik-baik untuk meninggalkan Hans secepat mungkin. Agar hatiku tidak terluka lebih dalam lagi. Dan agar aku tidak menjadi penghalang kesepakatan keluarga mereka berdua.

Aku tidak ingin mempercayai penuturan gadis itu, tapi hatiku terlanjur terluka karenanya. Apalagi Hans juga tidak pernah menyinggung masalah ini sedikitpun. Mungkin ia ingin menjaga perasaanku agar tidak terluka. Tapi tetap saja hatiku telah terlanjur hancur.

Dan sore itu aku melihat gadis itu mendatangi Hans di ruang galeri seni. Saat itu tak ada siapa-siapa disana. Dan hujan tengah berderai diluar sana. Aku melihat gadis itu memeluk punggung Hans dengan erat.

Aku segera berlari menjauh. Menembus hujan yang tengah mengguyur dengan lebat. Aku tidak mau melihat mereka lebih lama lagi disana. Kupikir sudah cukup untuk aku dan Hans. Aku akan meninggalkan Hans sesuai permintaan gadis itu. Aku tidak mau menjadi batu sandungan bagi gadis lain. Cukup aku saja yang terluka.

Gadis itu cantik dan tampak baik. Ia pasti serasi disandingkan dengan Hans. Terlebih gadis itu meminta Hans baik-baik dariku. Dan aku tidak akan mempertahankan sesuatu yang bukan menjadi hakku.Aku melepas Hans sore itu. Meski hatiku hancur berkeping-keping.

"Aku menentang perjodohan itu, Ren,"ucap Hans keesokan harinya. Saat aku mengungkapkan keinginanku untuk memutuskan hubungan kami. Tapi ucapannya tidak akan merubah apapun. Aku tetap pada niatku semula untuk putus darinya.

Itulah terakhir kalinya aku bertemu dengan Hans. Karena dua hari kemudian aku memutuskan untuk terbang ke benua kanguru. Untuk melarikan diri sekaligus melanjutkan studiku disana. Aku tahu ini adalah sikap seorang pengecut. Tetapi ini adalah satu-satunya cara yang biasa dilakukan oleh orang untuk lari dari masalah.

Aku mencoba untuk memulai hidupku yang baru. Meski pada awalnya terasa sangat sulit, namun menginjak tahun kedua aku mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan baruku. Tanpa berusaha memikirkan tentang Hans...

Namun rupanya takdir yang lain sedang menungguku disana. Aku mengenal seorang laki-laki kembali. Namanya Davis. Ia adalah seniorku di universitas. Ia adalah peranakan Indo Australia. Meski begitu bahasa Indonesianya sangat bagus karena ia sering berkunjung ke Indo.

Davis terang-terangan menyukaiku. Ia memperlakukanku sangat baik dan dengan perhatian lebih. Seolah-olah aku kekasihnya. Ia juga memperkenalkanku dengan keluarganya. Padahal aku sendiri belum menerima cintanya secara resmi.

Aku masih belum membuka hatiku. Karena aku masih menyimpan nama Hans dihatiku dengan rapi. Meski aku sudah tidak berharap lagi tentangnya, tapi bagiku masih sulit untuk membuka lembaran baru bersama orang lain.

Nenek sakit. Itulah kabar yang aku terima pagi ini. Dan aku harus pulang. Begitu permintaan mama. Setelah nyaris tiga tahun dinegeri asing aku akhirnya memutuskan untuk pulang. Demi nenek. Bukan untuk Hans! Toh aku dan dia sudah berakhir sejak lama. Dan mungkin sekarang ia telah bahagia. Mungkin juga seorang malaikat kecil telah hadir dalam hidupnya.

"Apa kau akan kembali?"tanya Davis. Satu jam lagi pesawat yang akan membawaku ke Indo tinggal landas. Aku tak menjawab. Karena aku memang belum menentukan pilihan. Jika aku kembali berarti aku menyetujui permintaannya untuk menikah. Dan jika aku tidak kembali satu lagi hati yang akan patah.

Davis memeluk tubuhku kuat-kuat. Seakan-akan ia ingin mengatakan jangan pergi. Aku juga melihat sorot mata sayu miliknya menatapku dengan sedih. Seolah ia akan kehilanganku selamanya.

Nenek meninggal sehari setelah aku tiba. Namun aku tak sempat berbincang dengannya karena kondisi beliau yang tidak memungkinkan. Nenek sempat mengalami koma akibat komplikasi yang dideritanya.

Sekali lagi Tuhan ingin mengujiku. Di hari pemakaman nenek, Tuhan mempertemukanku kembali dengan Hans. Dengan suasana kaku dan canggung. Membuatku berpikir macam-macam tentangnya.

"Kau banyak berubah, Ren,"ucap Hans ketika pertama bertemu denganku. Aku hanya tertunduk tanpa kata dan senyum. Aku memang ingin menjalani hidupku sebagai orang lain dan melupakan jati diriku sebenarnya. Aku sengaja mengubah warna rambutku menjadi cokelat dan sedikit membuatnya tampak ikal. Juga memoleskan warna pada setiap detail kukuku. Make up yang dulu tak pernah singgah diwajahku kini berubah menjadi kebutuhan pokokku.

"Apa kamu baik-baik saja?"tegurnya kemudian. Menggugah kebisuanku. Aku mencoba tersenyum dan mengiyakan pertanyaannya. Sedikit kebohongan akan tampak lebih baik ketimbang menampakkan kegalauan dalam diriku.

Hans bertutur tentang kehidupannya selama aku pergi. Semua tak baik-baik saja seperti perkiraanku. Hans tak pernah menikah dengan gadis itu. Ia membatalkan perjodohan itu dengan resiko apapun. Meski ia harus diusir dari rumah, tidak membuatnya berubah pikiran. Ia bersikeras dengan pendiriannya.

Apa karena aku?batinku bimbang. Demi aku ia melepaskan segalanya? Apa benar Hans?

"Aku masih mencintaimu, Ren,"ucapnya mengagetkan lamunanku tentangnya. Tapi untuk apa mempertahankan cinta jika hanya akan mematahkan hubungan kekeluargaan. Begitu banyak hati yang tersakiti karena aku dan Hans.Aku tidak mau bersandar pada cinta seperti itu,Hans.

Aku lebih memilih mengalah daripada mengambil kembali Hans. Meski aku sangat menginginkannya. Tapi aku tak bisa berdiri diatas luka dan rasa kecewa orang lain. Setidaknya aku masih bisa bertahan dalam luka. Karena aku tidak mungkin berani mengakhiri hidupku sendiri seperti yang pernah dicoba gadis itu.

"Kembalilah Hans,"suruhku pada penghujung pertemuan kami."Pada orang tuamu. Dan turuti semua keinginan mereka. Kau tidak mau menjadi anak durhaka bukan? Aku akan baik-baik saja. Aku akan berusaha hidup dengan baik. Begitu juga kau. Hiduplah dengan bahagia. Dan jangan mengenangku sebagai kisah yang tidak pernah kau miliki. Belajarlah untuk melupakanku. Karena aku juga akan melupakanmu."

"Renna!"Aku mendengar teriakan Hans namun tak kuhiraukan. Aku berlari menjauh tanpa menoleh kearahnya. Aku sudah bersiap untuk menutup lembar-lembar cerita antara kami. Biarlah kisah itu menjadi kenangan yang kelak terlupakan begitu saja. Tapi butuh waktu yang sedikit lama untuk menghapusnya dari benak kami berdua. Mungkin juga tak bisa terhapus....

Tapi kali ini aku tidak akan lari. Aku sudah lelah menjadi pengecut yang bersembunyi di pengasingan. Aku akan menghadapi kenyataan seberapapun pahitnya. Aku harus menjadi pribadi yang lebih tegar dan kuat dari sebelumnya.

Tiga bulan ini kulalui dengan berani dan rasa percaya diri. Aku selalu meyakinkan diriku sendiri untuk selalu berpikir positif dan memandang jauh ke masa depan. Menyibukkan diri dengan kreatifitas adalah rutinitasku sehari-hari. Namun ada sesuatu yang telah aku lupakan...

Malam itu aku bermimpi aneh. Tentang Davis. Seorang laki-laki yang menganggapku sebagai kekasihnya. Aku melihat sosoknya berdiri diantara kabut putih tebal. Wajahnya tak begitu jelas. Namun ia memanggil namaku dengan terbata. Ada apa dengannya? Apa telah terjadi sesuatu dengan laki-laki itu? Kenapa tidak ada seseorangpun yang mengabariku tentang keadaan Davis?

Tiga bulan ini aku telah melupakannya. Betapa kejamnya diriku telah mengabaikan Davis. Kalaupun kau tak ingin kembali, paling tidak berkirim kabarlah padanya, batinku pada diriku sendiri. Jangan bersikap egois seperti ini.

Setelah seminggu berkutat dalam dilema kebimbangan, akhirnya aku memutuskan untuk memesan tiket ke Perth. Aku tidak mau dilanda kegelisahan terus-menerus tentangnya. Apalagi aku juga tidak bisa menghubungi ponsel Davis. Entah kenapa aku punya firasat buruk tentangnya. Tapi kuharap itu hanya ketakutan tak beralasan saja.

Aku dikejutkan berita besar begitu tiba disana. Selama kepergianku telah banyak yang terjadi. Dan ini menjadi sebuah hantaman berat untukku. Tepat sebulan setelah kepergianku, Davis mengalami kecelakaan tunggal. Entah apa penyebabnya mobil Davis menabrak pembatas jalan. Mobil yang ia kendarai terbalik dan Davis mengalami patah tulang pada kedua kakinya.Dan yang lebih parahnya lagi kepala Davis mengalami benturan keras yang menyebabkan ia mengalami koma!

Ya Tuhan! teriakku tak kuasa. Aku hanya bisa menatap tubuh Davis yang terbaring lemah diatas tempat tidur. Lengkap dengan infus dan respirator.Ia diam tak bergerak. Seperti sedang tertidur pulas. Namun aku yakin ia tengah berjuang untuk hidup sekarang.

Bangunlah, gumamku dalam tangis. Jangan diam seperti orang mati. Berjuanglah untuk tetap hidup.Karena aku sudah datang untuk memenuhi permintaanmu. Buka matamu dan lihatlah aku sedang disampingmu. Bukankah kau takut kehilanganku?

Selama dua minggu penuh aku menjaga Davis. Siang dan malam. Tanpa mengenal lelah. Saat siang aku selalu berbicara dengannya. Karena kata dokter orang yang sedang mengalami komapun bisa mendengar apa yang orang katakan padanya. Dan saat malam tiba aku akan menggenggam tangannya hingga tertidur sampai pagi. Aku melakukan itu dari waktu ke waktu sembari berharap akan ada keajaiban yang datang pada Davis.

Keajaiban yang kuharapkan akhirnya datang juga. Setelah nyaris tiga bulan mengalami koma, Davis membuka matanya pagi itu. Namun ada satu yang membuatku terhenyak tak percaya. Davis kehilangan separuh ingatannya!

Sungguh, ini benar-benar dramatis. Mirip sebuah novel. Davis masih mengingat semua tentang dirinya. Juga sebagian kecil tentang keluarganya. Tapi tidak sama sekali tentangku. Davis lupa semua hal tentangku! Bahkan ia bersikap cenderung membenciku. Setiap aku datang ke kamarnya ia akan menunjukkan sikap masam padaku. Terkadang ia tak segan mengusirku dengan alasan ingin beristirahat.

Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini? Disaat aku melepaskan sesuatu yang kucintai dan mencoba untuk membuka hatiku kembali, sesuatu yang lain datang menghantam bak gelombang badai. Aku yang baru saja bangkit dari keterpurukan haruskah jatuh terpuruk kembali? Atau aku harus berjuang untuk mengembalikan ingatan Davis tentangku? Tapi ingatan Davis tentangmu hanya ingatan yang terluka, Renna....

Aku berusaha sekuat tenaga untuk mengingatkan Davis tentang diriku. Apapun itu. Tentang kegiatan yang pernah kami lakukan bersama-sama, perbincangan-perbincangan ringan seputar masa lalu. Namun semua masih samar. Seperti ada sebuah pintu yang mengunci rapat ingatannya. Dan aku tidak punya kunci untuk membukanya.

"Apa kau tidak ingin mengingatku sama sekali?"tegurku suatu saat.Ketika aku sudah merasa lelah dan ingin menyerah. Karena bagiku sangat sulit mengembalikan ingatan Davis. Dan aku ingin berhenti saja.

"Kenapa aku harus mengingatmu? Apa kau orang yang sangat penting sehingga aku harus mengingatmu?"
Pertanyaan Davis begitu mengena dihatiku. Mematahkan semangatku menjadi serpihan-serpihan yang sangat kecil. Bahkan aku sendiri enggan untuk memungutnya apalagi untuk menyatukannya.

"Aku memang bukan orang yang penting buatmu,"gumamku seraya tertunduk kaku. Persis pecundang yang kalah di arena perjudian.Dan ucapan Davis yang terakhir kali membuatku benar-benar patah dan memaksaku untuk menyerah saat itu juga.
"Kenapa kau tidak menyerah saja daripada melakukan sesuatu yang sia-sia? Bahkan aku sama sekali tidk tahu namamu, aku juga tidak ingin tahu semua tentangmu. Jadi kupikir lebih baik jika aku tidak melihatmu."

Baik. Kupikir inilah saatnya aku menyerah. Aku pasrah.Tidak ada gunanya aku berjuang jika Davis tidak ingin mengingatku. Aku berkemas malam itu juga.Dengan hati hancur dan terluka. Bahkan mungkin lebih dalam dari luka sebelumnya. Aku memutuskan akan pergi seperti yang pernah aku lakukan dulu. Tapi aku bukanlah pengecut, karena kasusku kali ini berbeda.

Hatiku kacau ketika memasuki pesawat. Aku akan pulang kembali ke Indo dengan membawa luka baru setelah susah payah aku menyembuhkan luka lama. Perasaanku tak tenang semenjak meninggalkan rumah Davis, karena aku tidak pamit secara langsung. Melainkan hanya meninggalkan sepucuk surat perpisahan. Mungkin saja keluarga Davis akan merasa kecewa dengan keputusanku.Tapi mungkin ini yang terbaik untuk Davis....

Kenapa pesawatnya belum juga berangkat, batinku resah. Padahal waktunya sudah tiba. Apa ada sesuatu yang terjadi hingga penerbangan mesti ditunda? Pertanyaan-pertanyaan dibenakku terjawab beberapa detik kemudian. Ada keributan kecil di depan pintu pesawat. Antara seorang penumpang dan pramugari sedang bersitegang disana.

Aku terperangah ketika tiba-tiba seseorang menerobos masuk kedalam pesawat dan langsung menuju kearahku. Davis?pekikku tersendat. Seperti sebuah potongan adegan film, tiba-tiba saja ia menarik tanganku dan menyeretku pergi dari tempat dudukku. Membuatku terkejut bukan kepalang. Aku sempat merintih karena tangannya terlalu kuat mencengkeram lenganku.

"Jadi kau ingin lari dariku?"sentaknya ketika ia telah berhasil menyeretku keluar dari pesawat."Kenapa kau tidak memberiku waktu lebih lama lagi untuk mengembalikan ingatanku? Memang aku sempat marah saat itu,tapi aku tidak bermaksud menyuruhmu pergi. Apa kau tahu itu?"

Aku diam dalam gelisah. Aku merasa tak enak pada para penumpang yang sedang menunggu keberangkatan pesawat. Kasihan mereka...

"Aku sudah ingat,"ucap Davis membuyarkan kegundahanku."Meski tidak semuanya. Tapi aku ingat aku menabrakkan mobilku malam itu. Aku melakukannya karena aku marah dan kecewa pada seseorang.Tapi aku tidak ingat siapa orang itu. Apa seseorang itu adalah kau?"

Aku tertegun memandang mata Davis. Benarkah ia telah merencanakan kecelakaan itu karena aku? Kenapa? Kenapa mencintaiku sedalam itu? Aku bukan orang yang pantas untuk dicintai seperti itu.....

"Apa yang bisa menahanmu agar tidak pergi?"tanya Davis kembali."Aku sudah melewati banyak hal dan semua itu karena dirimu. Jadi kumohon, kembalikan hidupku seperti saat aku belum kehilangan ingatanku tentangmu. Aku tidak mau kehilanganmu untuk yang kedua kalinya...."

Kalimat apa yang ingin kau dengar dariku, Davis? Tentang sebuah pertanggungjawabanku atas semua yang telah terjadi padamu? Aku tahu semua ini terjadi karenaku. Aku juga telah banyak mengalami peristiwa sebelum ini. Dan aku ingin memulai semua dari awal lagi. Dengan seseorang yang tulus mencintaiku. Tanpa syarat...

"Aku tidak akan pergi,"putusku kemudian. Mengakhiri drama kecil di dekat pesawat itu....

Rabu, 06 November 2013

TWINS


Sebuah bayangan hitam tiba-tiba datang dan menyergap tubuh Isabel. Lantas membungkam mulut dan hidung gadis itu.
Isabel terkejut bukan kepalang dan tidak sempat lagi untuk menghindar dari sergapan bayangan hitam itu.
Isabel tak bisa bernafas. Lehernya seperti tercekik oleh bayangan hitam itu.
Gadis itu mencoba untuk berontak. Ia meronta sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari bayangan hitam itu. Namun saat Isabel mencoba untuk menggerakkan tangan dan kakinya, ia sama sekali tak bisa melakukannya. Tangan dan kakinya serasa lumpuh dalam sekejap!
Tidak. Aku tidak mau mati.....
Isabel menjerit kecil dalam tidurnya. Lantas ia terbangun dengan keringat dingin yang telah membasahi wajah dan seluruh tubuhnya. Sementara nafasnya naik turun tak teratur.
Untuk beberapa detik lamanya Isabel hanya bisa tertegun. Lantas menyadari bahwa kejadian yang baru saja ia alami tidaklah nyata.
Mimpi yang sangat mengerikan itu datang lagi untuk kesekian kalinya. Mengusik tidur lelapnya dan menghantui malamnya menjadi malam yang menegangkan.....


"Makan sarapanmu, Isabel,"seru ibu Isabel ketika mendapati putrinya belum menyentuh sarapan paginya. Gadis itu hanya mempermainkan sendok dan garpu ditangannya sembari melamun.
Mendengar seruan ibunya, Isabel seolah tersadar dan langsung menyenduk makanan dari atas piring makannya dengan gerakan pelan. Tanpa suara.
Ibu Isabel mendesah pelan melihat sikap putrinya. Wanita itu telah terbiasa melihat perangai Isabel seperti itu dimeja makan. Gadis itu hanya akan makan jika ibunya yang menyuruhnya.
"Besok adalah peringatan sepuluh tahun kematiann Gaby,"ucap ibu Isabel tiba-tiba. Membuat gadis itu seketika menghentikan kegiatan makannya.
"Kita akan mengunjungi makamnya jam 9 pagi. Ibu harap kamu bisa ikut..."lanjut ibu Isabel seraya sibuk menyiapkan minuman untuk putrinya.
"Aku tidak mau pergi,"sahut Isabel tiba-tiba. Datar. Gadis itu segera bangkit dari kursinya.
"Aku berangkat,"pamit Isabel seraya menyambar tas miliknya dari atas meja makan.
Ibu Isabel tak menyahut. Wanita itu hanya menatap kepergian putrinya dengan tatapan kosong...


Semenjak Gabriella ditemukan tewas mengambang di danau di belakang rumah lama mereka sepuluh tahun lalu, sikap Isabel memang berubah.
Ibunya masih ingat betul, saat hari pemakaman Gabriella Isabel jatuh sakit. Tubuhnya menggigil.Ia terkena demam tinggi sehingga tidak bisa menghadiri pemakaman saudara kembarnya itu.
Dan setelah kejadian itu sikap Isabel jadi berubah total. Gadis itu menjadi pendiam dan tertutup. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya didalam kamar ketimbang bermain diluar bersama teman-temannya.
Tak jarang ibunya mendapati Isabel duduk di pojok kamar dengan pandangan kosong ke dinding.
Sikap gadis itu menjadi lebih pasif dari sebelumnya. Ia juga enggan bicara pada orang lain.
Bahkan setelah mereka pindah rumah sekalipun, tidak mengubah sikap Isabel sama sekali.
Mungkin saja gadis itu masih terguncang dengan kematian tragis Gabriella. Bukankah saudara kembar memiliki ikatan batin yang sangat kuat....


Sleep paralysis....
Benarkah mimpi mengerikan itu adalah gejala sleep paralysis? batin Isabel seraya menutup pintu loker miliknya.
Ia telah membaca buku yang menjelaskan berbagai macam penyakit gangguan tidur. Dan apa yang Isabel alami selama ini mirip dengan gejala penyakit sleep paralysis.
Tapi kenapa mimpi itu selalu sama dan kerap mengusik tidurnya.Seolah-olah bayangan hitam itu benar-benar datang untuk membunuhnya.
Isabel ingat betul saat pertama kali didatangi mimpi buruk itu. Tepat seminggu setelah kematian Gabriella. Berarti nyaris sepuluh tahun!
Tapi bagaimana jika suatu saat nanti ia mengalami mimpi mengerikan itu dan tidak bisa terjaga selamanya.
Dan entah sampai kapan ia akan bertahan menjalani hidup dengan dihantui mimpi yang sama setiap malamnya...
Isabel tersentak dari lamunannya tatkala bahunya bertubrukan dengan seseorang.
Entah siapa dan dari jurusan mana gadis sebaya dirinya yang baru saja ia tabrak itu. Namun tatapan matanya yang tajam seperti menghunjam kedalam jantung Isabel.
Gadis itu mengingatkan Isabel pada seseorang. Wajahnya yang dingin dan angkuh serta sorot matanya yang tajam mirip dengan seseorang yang ia kenal. Tapi siapa...
Astaga! pekik Isabel dalam hati.
Isabel membalikkan tubuh untuk melihat gadis yang ia tabrak tadi. Tapi tidak ada. Gadis itu telah menghilang di balik tikungan koridor.
Gaby, gumam Isabel bergetar. Gadis itu mengingatkannya kembali pada saudara kembarnya yang telah meninggal sepuluh tahun yang lalu . Wajah yang dingin dan angkuh, serta sorot matanya yang tajam adalah kepunyaan Gabriella.
Isabel mempercepat langkahnya keluar dari area kampus dan segera kembali ke rumah...


Entah bagaimana wajah Gabriella seandainya ia masih hidup sekarang. Seberapa mirip dirinya dengan Isabel...
Tidak ada satupun benda milik Gabriella yang tersisa. Semua foto masa kecil mereka berdua telah disingkirkan semenjak hari itu. Mainan, boneka dan pakaian miliknya juga telah disimpan di gudang belakang. Hingga tidak ada satupun benda kenangan yang mengingatkan Isabel akan saudara kembarnya. Seakan ia ingin mengubur kenangan Gabriella dalam-dalam.
Namun Isabel masih ingat betul kejadian sepuluh tahun yang lalu. Dimana hari itu ia bertengkar dengan Gabriella didekat danau dibelakang rumah lama mereka.
"Kenapa kau tidak mau meminjamkan bonekamu? Aku kan hanya ingin meminjamnya sebentar,"ucap Gabriella kala itu.
Sementara Isabel masih memegang erat-erat boneka itu ditangannya.
Isabel diam tak menyahut. Namun tatapannya menyorot penuh dendam pada Gabriella.
"Berikan padaku Isabel!"teriak Gabriella kemudian. Tak sabar.
"Tidak!"balas Isabel berteriak."Boneka ini milikku."
"Aku hanya ingin meminjamnya sebentar,Isabel.Kenapa kau tidak mau memberikannya padaku?"desak Gabriella kesal.
Tapi Isabel bersikeras mempertahankan benda kesayangannya.
"Karena aku sangat membencimu,"tegas Isabel mengejutkan saudaranya.
"Apa? Kau membenciku?"ulang Gabriella tak percaya."Tapi kenapa?"desaknya penasaran.
Tapi Isabel bungkam dan tak ingin menjawab pertanyaan saudaranya.
"Kenapa Isabel?"ulang Gabriella kemudian. Ia mengguncang tubuh Isabel kuat-kuat.
Merasa dirinya dipaksa untuk bicara, Isabelpun kehilangan kendali emosinya. Amarah gadis berumur 10 tahun itu meledak. Dan tiba-tiba saja ia mendorong tubuh saudaranya dengan sekuat tenaga.
Byur....
Tubuh Gabriella jatuh kedalam danau. Gadis itu mencoba menggapai-gapaikan tangannya ke tepian danau, tapi malangnya danau itu ternyata lebih dalam dari yang ia kira.
Gabriella berteriak meminta pertolongan pada Isabel. Berharap Isabel akan mengulurkan tangan untuk menolongnya. Tapi Isabel bergeming ditempatnya. Gadis itu terpaku beberapa detik lamanya seraya menatap kearah saudaranya yang tengah berjuang melawan arus danau yang siap menelan tubuh kecilnya.
Hingga akhirnya Gabriella tidak sanggup lagi berjuang untuk bertahan. Perlahan tubuh Gabriella tenggelam dan tidak pernah muncul lagi dipermukaan danau....


Isabel menatap kesekeliling. Gadis itu terperangah manakala mendapati dirinya berada ditempat yang tidak asing. Ia sedang berdiri di tepi danau!
Tidak. Ini tidak nyata. Ini hanya halusinasi. Ini adalah dimensi mimpi. Tapi bagaimana cara untuk keluar dari sini? tanya Isabel gelisah.
"Kenapa kau tidak menyelamatkan aku saat itu Isabel?"
Teguran itu mengusik kegelisahan Isabel. Ia tercekat saat menatap ke tepi danau.Seorang gadis yang mirip dengannya tengah berdiri disana. Sementara tangannya menggenggam sebuah boneka.
"Gaby..."gumam Isabel terbata. Tiba-tiba tubuhnya bergetar. Digerayangi ketakutan mendalam.
"Aku sangat sedih Isabel,"ucap Gabriella sembari menghampiri saudaranya yang sedang dilanda kecemasan."Kenapa kau diam saja saat aku berjuang melawan kematian? Apa kau sengaja melakukan itu padaku?"
Isabel terdiam kelu. Bibirnya tak sanggup untuk berucap sepatahpun.
Siapapun juga, tolong bangunkan aku sekarang!jerit batinnya.
"Apa kau sangat membenciku?"desak Gabriella kemudian. Tangannya yang dingin mencoba untuk menyentuh lengan Isabel."Tapi kenapa? Kenapa kau membenciku?Katakan Isabel!"teriak Gabriella keras.
"Karena kau lebih cantik,"sahut Isabel gemetar."Ayah dan dan ibu lebih menyayangimu. Apa kau tahu itu?"
"Isabel!"seru Gabriella terkejut.Ia tidak mengira saudaranya akan berpikir seperti itu tentangnya."Kenapa kau berpikir seperti itu? Mereka menyayangimu seperti mereka menyayangiku, Isabel!"
"Tidak!"teriak Isabel."Kau tidak tahu apa-apa,Gaby. Ayah dan ibu lebih memperhatikanmu ketimbang aku. Mereka pasti akan membelikan apapun yang kau mau. Tapi tidak jika aku yang memintanya. Dan jika kau tidak ada, mereka akan lebih memperhatikanku. Itu lebih baik bagiku."
"Astaga, Isabel!"
Gabriella terkejut mendengar pengakuan saudaranya. Ia tidak habis pikir dengan apa yang dipikirkan Isabel.
"Kau salah paham Isabel,"ucap Gabriella kemudian."Mereka tidak lebih menyayangi siapapun diantara kita,"jelas Gabriella. Namun penjelasan apapun kiranya tak bisa membuat Isabel mengerti.
"Aku benci mereka..."gumam Isabel lirih.
Gabriella mendesah berat.
"Aku tidak tahu kau sejahat ini Isabel,"ucap Gabriella pada saudaranya."Aku tidak tahu apa yang salah denganmu. Tapi apapun yang terjadi kau tetap saudaraku."
"Bawa aku bersamamu, Gaby,"pinta Isabel beberapa saat kemudian. Tangannya berusaha menggapai tangan Gabriella.
"Tidak Isabel,"tolak Gabriella."Kalau kau pergi, bagaimana dengan ayah dan ibu? Pikirkan perasaan mereka..."
Namun Isabel menggeleng. Menolak pernyataan Gabriella.


"Isabel! Isabel!"
Teriakan itu membuyarkan semuanya. Dalam sekejap saja semuanya berubah gelap dan Isabel segera membuka matanya.
Tidak ada Gabriella disisinya. Hanya ada ibunya yang berselimutkan rasa panik dan cemas melihat Isabel.
Gadis itu mencoba bangun. Tubuhnya yang basah kuyup terbaring diatas lantai kamar mandi.
"Ada apa?"gumam gadis itu bertanya.
"Kau sudah lupa apa yang baru saja kau lakukan?"ibunya membalas dengan pertanyaan."Kau sengaja ingin menenggelamkan diri di bath tube. Apa kau lupa itu?"
Astaga! Isabel terhenyak mendengar pengakuan ibunya.
"Apa sebenarnya yang terjadi denganmu Isabel?"desak ibunya khawatir."Apa kau baik-baik saja? Apa yang mengganggu pikiranmu? Coba katakan pada ibu,"suruh ibu Isabel.
Namun Isabel tak ingin bicara. Gadis itu bangkit dan berjalan ke kamarnya.
Ada sesuatu yang tidak beres dengan anak itu, batin ibu Isabel sambil menatap punggung putrinya.
"Besok kita ke dokter,"seru ibu Isabel seraya menyusul langkah putrinya."Kau harus konsultasi dengan psikiater, Isabel."
Psikiater?batin Isabel terkejut.
"Apa ibu pikir aku gila?"tanya Isabel dengan sinis.
"Tapi kelakuanmu aneh akhir-akhir ini Isabel,"ucap ibunya.
Isabel tak menyahut kali ini. Ia mengganti pakaiannya yang basah dengan gaun tidur. Lantas ia merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur tanpa mempedulikan ibunya.


Ibu Isabel hanya bisa menatap putrinya dengan pandangan sayu. Kasihan Isabel..
Semenjak hari dimana ia mencoba bunuh diri, kelakuannya semakin bertambah aneh. Kini ia hanya melamun seharian dikamar tanpa berbuat apa-apa. Ia bahkan telah berhenti kuliah.
Keadaannya bertambah parah. Tubuhnya kian kurus dan wajahnya pucat. Ia juga tidak mau bicara bahkan pada ibunya sekalipun. Psikiaterpun tak bisa menangani Isabel.
Ibu dan ayah Isabel telah menyerah melihat keadaan putrinya. Hanya pada Tuhan saja mereka menyerahkan nasib Isabel....