Minggu, 10 November 2013

REMEMBER


Hans....
Sebaris nama itu masih menghuni hatiku hingga sekarang. Meski waktu telah berlalu dan aku berpindah tempat namun tetap saja aku belum bisa menghapus nama indah itu dari benakku.
Karena kupikir aku masih sangat mencintainya...

Aku mengenal sosok Hans saat pertama kali memasuki pelataran kampus.Sebagai mahasiswi baru aku belum mengenal lokasi kampus sama sekali. Saat itulah Tuhan berbaik hati mempertemukanku dengan sosok pemuda ramah nan santun. Dimana aku bisa bertanya tentang kampus padanya.

Pertemuan kami berlanjut dengan tanpa sengaja. Dan itupun berkali-kali. Akibat terlalu sering bertemu itulah aku mulai tertarik pada sosok seniorku itu. Terlebih ia baik dan sikapnya yang begitu dewasa membuatku seperti menemukan sosok kakak laki-laki pada dirinya.

Aku jatuh cinta. Untuk pertama kali pada pemuda impian. Dan beruntungnya diriku manakala Hans juga memiliki perasaan yang sama denganku. Akhirnya kami jadian semenjak saat itu.

Kami melewati hari-hari bersama. Berbagi tawa, canda dan pertengkaran kecil. Semuanya begitu manis tercetak di ingatanku. Bagiku ia adalah segalanya. Masa depan dan tempatku bertumpu kelak.

Tapi cinta yang kupikir akan selamanya itu mulai terkoyak pada suatu hari. Entah darimana datangnya, tiba-tiba seorang gadis mendatangiku dan menggelar cerita yang membuatku nyaris melompat karena terkejut.

Gadis itu mengaku tunangan Hans. Mereka berdua dijodohkan sebagaimana tradisi dalam keluarga mereka. Dan gadis itu memintaku baik-baik untuk meninggalkan Hans secepat mungkin. Agar hatiku tidak terluka lebih dalam lagi. Dan agar aku tidak menjadi penghalang kesepakatan keluarga mereka berdua.

Aku tidak ingin mempercayai penuturan gadis itu, tapi hatiku terlanjur terluka karenanya. Apalagi Hans juga tidak pernah menyinggung masalah ini sedikitpun. Mungkin ia ingin menjaga perasaanku agar tidak terluka. Tapi tetap saja hatiku telah terlanjur hancur.

Dan sore itu aku melihat gadis itu mendatangi Hans di ruang galeri seni. Saat itu tak ada siapa-siapa disana. Dan hujan tengah berderai diluar sana. Aku melihat gadis itu memeluk punggung Hans dengan erat.

Aku segera berlari menjauh. Menembus hujan yang tengah mengguyur dengan lebat. Aku tidak mau melihat mereka lebih lama lagi disana. Kupikir sudah cukup untuk aku dan Hans. Aku akan meninggalkan Hans sesuai permintaan gadis itu. Aku tidak mau menjadi batu sandungan bagi gadis lain. Cukup aku saja yang terluka.

Gadis itu cantik dan tampak baik. Ia pasti serasi disandingkan dengan Hans. Terlebih gadis itu meminta Hans baik-baik dariku. Dan aku tidak akan mempertahankan sesuatu yang bukan menjadi hakku.Aku melepas Hans sore itu. Meski hatiku hancur berkeping-keping.

"Aku menentang perjodohan itu, Ren,"ucap Hans keesokan harinya. Saat aku mengungkapkan keinginanku untuk memutuskan hubungan kami. Tapi ucapannya tidak akan merubah apapun. Aku tetap pada niatku semula untuk putus darinya.

Itulah terakhir kalinya aku bertemu dengan Hans. Karena dua hari kemudian aku memutuskan untuk terbang ke benua kanguru. Untuk melarikan diri sekaligus melanjutkan studiku disana. Aku tahu ini adalah sikap seorang pengecut. Tetapi ini adalah satu-satunya cara yang biasa dilakukan oleh orang untuk lari dari masalah.

Aku mencoba untuk memulai hidupku yang baru. Meski pada awalnya terasa sangat sulit, namun menginjak tahun kedua aku mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan baruku. Tanpa berusaha memikirkan tentang Hans...

Namun rupanya takdir yang lain sedang menungguku disana. Aku mengenal seorang laki-laki kembali. Namanya Davis. Ia adalah seniorku di universitas. Ia adalah peranakan Indo Australia. Meski begitu bahasa Indonesianya sangat bagus karena ia sering berkunjung ke Indo.

Davis terang-terangan menyukaiku. Ia memperlakukanku sangat baik dan dengan perhatian lebih. Seolah-olah aku kekasihnya. Ia juga memperkenalkanku dengan keluarganya. Padahal aku sendiri belum menerima cintanya secara resmi.

Aku masih belum membuka hatiku. Karena aku masih menyimpan nama Hans dihatiku dengan rapi. Meski aku sudah tidak berharap lagi tentangnya, tapi bagiku masih sulit untuk membuka lembaran baru bersama orang lain.

Nenek sakit. Itulah kabar yang aku terima pagi ini. Dan aku harus pulang. Begitu permintaan mama. Setelah nyaris tiga tahun dinegeri asing aku akhirnya memutuskan untuk pulang. Demi nenek. Bukan untuk Hans! Toh aku dan dia sudah berakhir sejak lama. Dan mungkin sekarang ia telah bahagia. Mungkin juga seorang malaikat kecil telah hadir dalam hidupnya.

"Apa kau akan kembali?"tanya Davis. Satu jam lagi pesawat yang akan membawaku ke Indo tinggal landas. Aku tak menjawab. Karena aku memang belum menentukan pilihan. Jika aku kembali berarti aku menyetujui permintaannya untuk menikah. Dan jika aku tidak kembali satu lagi hati yang akan patah.

Davis memeluk tubuhku kuat-kuat. Seakan-akan ia ingin mengatakan jangan pergi. Aku juga melihat sorot mata sayu miliknya menatapku dengan sedih. Seolah ia akan kehilanganku selamanya.

Nenek meninggal sehari setelah aku tiba. Namun aku tak sempat berbincang dengannya karena kondisi beliau yang tidak memungkinkan. Nenek sempat mengalami koma akibat komplikasi yang dideritanya.

Sekali lagi Tuhan ingin mengujiku. Di hari pemakaman nenek, Tuhan mempertemukanku kembali dengan Hans. Dengan suasana kaku dan canggung. Membuatku berpikir macam-macam tentangnya.

"Kau banyak berubah, Ren,"ucap Hans ketika pertama bertemu denganku. Aku hanya tertunduk tanpa kata dan senyum. Aku memang ingin menjalani hidupku sebagai orang lain dan melupakan jati diriku sebenarnya. Aku sengaja mengubah warna rambutku menjadi cokelat dan sedikit membuatnya tampak ikal. Juga memoleskan warna pada setiap detail kukuku. Make up yang dulu tak pernah singgah diwajahku kini berubah menjadi kebutuhan pokokku.

"Apa kamu baik-baik saja?"tegurnya kemudian. Menggugah kebisuanku. Aku mencoba tersenyum dan mengiyakan pertanyaannya. Sedikit kebohongan akan tampak lebih baik ketimbang menampakkan kegalauan dalam diriku.

Hans bertutur tentang kehidupannya selama aku pergi. Semua tak baik-baik saja seperti perkiraanku. Hans tak pernah menikah dengan gadis itu. Ia membatalkan perjodohan itu dengan resiko apapun. Meski ia harus diusir dari rumah, tidak membuatnya berubah pikiran. Ia bersikeras dengan pendiriannya.

Apa karena aku?batinku bimbang. Demi aku ia melepaskan segalanya? Apa benar Hans?

"Aku masih mencintaimu, Ren,"ucapnya mengagetkan lamunanku tentangnya. Tapi untuk apa mempertahankan cinta jika hanya akan mematahkan hubungan kekeluargaan. Begitu banyak hati yang tersakiti karena aku dan Hans.Aku tidak mau bersandar pada cinta seperti itu,Hans.

Aku lebih memilih mengalah daripada mengambil kembali Hans. Meski aku sangat menginginkannya. Tapi aku tak bisa berdiri diatas luka dan rasa kecewa orang lain. Setidaknya aku masih bisa bertahan dalam luka. Karena aku tidak mungkin berani mengakhiri hidupku sendiri seperti yang pernah dicoba gadis itu.

"Kembalilah Hans,"suruhku pada penghujung pertemuan kami."Pada orang tuamu. Dan turuti semua keinginan mereka. Kau tidak mau menjadi anak durhaka bukan? Aku akan baik-baik saja. Aku akan berusaha hidup dengan baik. Begitu juga kau. Hiduplah dengan bahagia. Dan jangan mengenangku sebagai kisah yang tidak pernah kau miliki. Belajarlah untuk melupakanku. Karena aku juga akan melupakanmu."

"Renna!"Aku mendengar teriakan Hans namun tak kuhiraukan. Aku berlari menjauh tanpa menoleh kearahnya. Aku sudah bersiap untuk menutup lembar-lembar cerita antara kami. Biarlah kisah itu menjadi kenangan yang kelak terlupakan begitu saja. Tapi butuh waktu yang sedikit lama untuk menghapusnya dari benak kami berdua. Mungkin juga tak bisa terhapus....

Tapi kali ini aku tidak akan lari. Aku sudah lelah menjadi pengecut yang bersembunyi di pengasingan. Aku akan menghadapi kenyataan seberapapun pahitnya. Aku harus menjadi pribadi yang lebih tegar dan kuat dari sebelumnya.

Tiga bulan ini kulalui dengan berani dan rasa percaya diri. Aku selalu meyakinkan diriku sendiri untuk selalu berpikir positif dan memandang jauh ke masa depan. Menyibukkan diri dengan kreatifitas adalah rutinitasku sehari-hari. Namun ada sesuatu yang telah aku lupakan...

Malam itu aku bermimpi aneh. Tentang Davis. Seorang laki-laki yang menganggapku sebagai kekasihnya. Aku melihat sosoknya berdiri diantara kabut putih tebal. Wajahnya tak begitu jelas. Namun ia memanggil namaku dengan terbata. Ada apa dengannya? Apa telah terjadi sesuatu dengan laki-laki itu? Kenapa tidak ada seseorangpun yang mengabariku tentang keadaan Davis?

Tiga bulan ini aku telah melupakannya. Betapa kejamnya diriku telah mengabaikan Davis. Kalaupun kau tak ingin kembali, paling tidak berkirim kabarlah padanya, batinku pada diriku sendiri. Jangan bersikap egois seperti ini.

Setelah seminggu berkutat dalam dilema kebimbangan, akhirnya aku memutuskan untuk memesan tiket ke Perth. Aku tidak mau dilanda kegelisahan terus-menerus tentangnya. Apalagi aku juga tidak bisa menghubungi ponsel Davis. Entah kenapa aku punya firasat buruk tentangnya. Tapi kuharap itu hanya ketakutan tak beralasan saja.

Aku dikejutkan berita besar begitu tiba disana. Selama kepergianku telah banyak yang terjadi. Dan ini menjadi sebuah hantaman berat untukku. Tepat sebulan setelah kepergianku, Davis mengalami kecelakaan tunggal. Entah apa penyebabnya mobil Davis menabrak pembatas jalan. Mobil yang ia kendarai terbalik dan Davis mengalami patah tulang pada kedua kakinya.Dan yang lebih parahnya lagi kepala Davis mengalami benturan keras yang menyebabkan ia mengalami koma!

Ya Tuhan! teriakku tak kuasa. Aku hanya bisa menatap tubuh Davis yang terbaring lemah diatas tempat tidur. Lengkap dengan infus dan respirator.Ia diam tak bergerak. Seperti sedang tertidur pulas. Namun aku yakin ia tengah berjuang untuk hidup sekarang.

Bangunlah, gumamku dalam tangis. Jangan diam seperti orang mati. Berjuanglah untuk tetap hidup.Karena aku sudah datang untuk memenuhi permintaanmu. Buka matamu dan lihatlah aku sedang disampingmu. Bukankah kau takut kehilanganku?

Selama dua minggu penuh aku menjaga Davis. Siang dan malam. Tanpa mengenal lelah. Saat siang aku selalu berbicara dengannya. Karena kata dokter orang yang sedang mengalami komapun bisa mendengar apa yang orang katakan padanya. Dan saat malam tiba aku akan menggenggam tangannya hingga tertidur sampai pagi. Aku melakukan itu dari waktu ke waktu sembari berharap akan ada keajaiban yang datang pada Davis.

Keajaiban yang kuharapkan akhirnya datang juga. Setelah nyaris tiga bulan mengalami koma, Davis membuka matanya pagi itu. Namun ada satu yang membuatku terhenyak tak percaya. Davis kehilangan separuh ingatannya!

Sungguh, ini benar-benar dramatis. Mirip sebuah novel. Davis masih mengingat semua tentang dirinya. Juga sebagian kecil tentang keluarganya. Tapi tidak sama sekali tentangku. Davis lupa semua hal tentangku! Bahkan ia bersikap cenderung membenciku. Setiap aku datang ke kamarnya ia akan menunjukkan sikap masam padaku. Terkadang ia tak segan mengusirku dengan alasan ingin beristirahat.

Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini? Disaat aku melepaskan sesuatu yang kucintai dan mencoba untuk membuka hatiku kembali, sesuatu yang lain datang menghantam bak gelombang badai. Aku yang baru saja bangkit dari keterpurukan haruskah jatuh terpuruk kembali? Atau aku harus berjuang untuk mengembalikan ingatan Davis tentangku? Tapi ingatan Davis tentangmu hanya ingatan yang terluka, Renna....

Aku berusaha sekuat tenaga untuk mengingatkan Davis tentang diriku. Apapun itu. Tentang kegiatan yang pernah kami lakukan bersama-sama, perbincangan-perbincangan ringan seputar masa lalu. Namun semua masih samar. Seperti ada sebuah pintu yang mengunci rapat ingatannya. Dan aku tidak punya kunci untuk membukanya.

"Apa kau tidak ingin mengingatku sama sekali?"tegurku suatu saat.Ketika aku sudah merasa lelah dan ingin menyerah. Karena bagiku sangat sulit mengembalikan ingatan Davis. Dan aku ingin berhenti saja.

"Kenapa aku harus mengingatmu? Apa kau orang yang sangat penting sehingga aku harus mengingatmu?"
Pertanyaan Davis begitu mengena dihatiku. Mematahkan semangatku menjadi serpihan-serpihan yang sangat kecil. Bahkan aku sendiri enggan untuk memungutnya apalagi untuk menyatukannya.

"Aku memang bukan orang yang penting buatmu,"gumamku seraya tertunduk kaku. Persis pecundang yang kalah di arena perjudian.Dan ucapan Davis yang terakhir kali membuatku benar-benar patah dan memaksaku untuk menyerah saat itu juga.
"Kenapa kau tidak menyerah saja daripada melakukan sesuatu yang sia-sia? Bahkan aku sama sekali tidk tahu namamu, aku juga tidak ingin tahu semua tentangmu. Jadi kupikir lebih baik jika aku tidak melihatmu."

Baik. Kupikir inilah saatnya aku menyerah. Aku pasrah.Tidak ada gunanya aku berjuang jika Davis tidak ingin mengingatku. Aku berkemas malam itu juga.Dengan hati hancur dan terluka. Bahkan mungkin lebih dalam dari luka sebelumnya. Aku memutuskan akan pergi seperti yang pernah aku lakukan dulu. Tapi aku bukanlah pengecut, karena kasusku kali ini berbeda.

Hatiku kacau ketika memasuki pesawat. Aku akan pulang kembali ke Indo dengan membawa luka baru setelah susah payah aku menyembuhkan luka lama. Perasaanku tak tenang semenjak meninggalkan rumah Davis, karena aku tidak pamit secara langsung. Melainkan hanya meninggalkan sepucuk surat perpisahan. Mungkin saja keluarga Davis akan merasa kecewa dengan keputusanku.Tapi mungkin ini yang terbaik untuk Davis....

Kenapa pesawatnya belum juga berangkat, batinku resah. Padahal waktunya sudah tiba. Apa ada sesuatu yang terjadi hingga penerbangan mesti ditunda? Pertanyaan-pertanyaan dibenakku terjawab beberapa detik kemudian. Ada keributan kecil di depan pintu pesawat. Antara seorang penumpang dan pramugari sedang bersitegang disana.

Aku terperangah ketika tiba-tiba seseorang menerobos masuk kedalam pesawat dan langsung menuju kearahku. Davis?pekikku tersendat. Seperti sebuah potongan adegan film, tiba-tiba saja ia menarik tanganku dan menyeretku pergi dari tempat dudukku. Membuatku terkejut bukan kepalang. Aku sempat merintih karena tangannya terlalu kuat mencengkeram lenganku.

"Jadi kau ingin lari dariku?"sentaknya ketika ia telah berhasil menyeretku keluar dari pesawat."Kenapa kau tidak memberiku waktu lebih lama lagi untuk mengembalikan ingatanku? Memang aku sempat marah saat itu,tapi aku tidak bermaksud menyuruhmu pergi. Apa kau tahu itu?"

Aku diam dalam gelisah. Aku merasa tak enak pada para penumpang yang sedang menunggu keberangkatan pesawat. Kasihan mereka...

"Aku sudah ingat,"ucap Davis membuyarkan kegundahanku."Meski tidak semuanya. Tapi aku ingat aku menabrakkan mobilku malam itu. Aku melakukannya karena aku marah dan kecewa pada seseorang.Tapi aku tidak ingat siapa orang itu. Apa seseorang itu adalah kau?"

Aku tertegun memandang mata Davis. Benarkah ia telah merencanakan kecelakaan itu karena aku? Kenapa? Kenapa mencintaiku sedalam itu? Aku bukan orang yang pantas untuk dicintai seperti itu.....

"Apa yang bisa menahanmu agar tidak pergi?"tanya Davis kembali."Aku sudah melewati banyak hal dan semua itu karena dirimu. Jadi kumohon, kembalikan hidupku seperti saat aku belum kehilangan ingatanku tentangmu. Aku tidak mau kehilanganmu untuk yang kedua kalinya...."

Kalimat apa yang ingin kau dengar dariku, Davis? Tentang sebuah pertanggungjawabanku atas semua yang telah terjadi padamu? Aku tahu semua ini terjadi karenaku. Aku juga telah banyak mengalami peristiwa sebelum ini. Dan aku ingin memulai semua dari awal lagi. Dengan seseorang yang tulus mencintaiku. Tanpa syarat...

"Aku tidak akan pergi,"putusku kemudian. Mengakhiri drama kecil di dekat pesawat itu....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar