Minggu, 08 Desember 2013

MORE THAN JUST LOVE


"Aku jatuh cinta padanya,"tandas Chris menggugah lamunan kecilku. "Dia lembut dan baik padaku. Dia juga memahamiku apa adanya."
Benarkah? Pertanyaanku tersendat di tenggorokan.
Jadi gadis pilihan orang tua Chris jauh lebih baik dariku, dan Chris juga menyukainya?
Entah kenapa tiba-tiba saja suasana coffe shop itu berubah menjadi mencekam. Lagu " Someone like you" juga terdengar sesaat kemudian. Seolah seseorang sengaja memutarnya untuk mengejek perasaanku. Ada apa sebenarnya? Apa perpisahanku dengan Chris adalah sebuah lelucon yang pantas untuk di tertawakan? Aku memang kalah dalam percintaan ini. Orang tua Chris-lah yang menang. Mereka telah berhasil memisahkan aku dan Chris dengan menghadirkan seorang gadis yang levelnya jauh di atasku ke hadapan Chris. Dan Chris yang kupikir hanya mencintaiku seorang ternyata serapuh kayu yang lapuk. Dengan mudahnya ia jatuh cinta pada seorang gadis hanya dalam waktu singkat saja. Dan aku tercampakkan begitu saja....
Aku tersenyum pahit. Sekedar menutupi kegelisahan yang mulai menyesaki dadaku.
"Syukurlah, jika kamu sudah menemukan kebahagiaanmu,"ucapku berdusta. Padahal hatiku hancur lebur bagai serpihan debu di udara.
"Kamu juga harus menemukan kebahagiaanmu,"balas Chris sembari menggenggam tanganku.
"Tentu saja,"sahutku berusaha tampak tegar.
Aku meninggalkan halaman coffe shop sore itu dengan langkah yang kian merapuh. Dan aku tak menoleh lagi ke belakang. Padahal Chris masih duduk di tempatnya semula.
Hujan gerimis datang tak terundang. Membasahi sebagian rambut dan pakaianku. Menambah dramatis patah hatiku.
Rasanya aku ingin menangis sejadi-jadinya. Tapi tak kulakukan. Air mataku hanya merembes perlahan berbaur dengan air hujan.
Ahhh..
Kenapa cinta begitu rumit buatku? Bukankah seharusnya Chris memperjuangkan cinta kami dan meyakinkan orang tuanya tentang diriku. Bahwa aku adalah satu-satunya orang yang ia cintai. Tapi laki-laki itu hanya diam saja saat orang tuanya menjodohkan Chris dengan gadis lain. Bahkan setelah tiga bulan menikahi gadis itu, ia sanggup mengatakan padaku bahwa ia mencintai gadis itu.
Kenyataan konyol macam apa itu? Itu tidak adil buatku kan?
Apa karena aku miskin dan tidak sederajat dengan keluarganya, maka dari itu aku tidak pantas bersanding dengannya? Karena aku pribumi dan ia seorang Tionghoa...?

~~~~~~~

"Kak Rasti baik-baik saja?"
Aku menoleh begitu mendengar teguran itu. Rupanya Galih, juniorku di tempat kerja itu telah berdiri disebelahku.
Ia tampak sibuk dengan catatan di tangannya. Begitu juga denganku.
"Apa yang kamu lakukan disini?"balasku bertanya. Aku telah mendapat tugas untuk memeriksa barang-barang di gudang dan tidak mungkin ia melakukan hal yang sama denganku.
"Jawab saja pertanyaanku,"timpalnya dengan nada memaksa.
"Kamu lucu sekali,"sindirku mengejek. "Aku sudah mendapat tugas untuk memeriksa barang-barang digudang..."
"Dan aku disuruh untuk belajar memeriksa barang di gudang. Karena aku yang akan menggantikan tugas senior memeriksa barang digudang,"jelasnya tegas.
Aku tak menyahut. Aku melanjutkan pekerjaanku dan berusaha menghindari komunikasi dengannya.
"Aku melihat ada sesuatu yang tidak beres dengan Kak Rasti hari ini,"ucapnya sejurus kemudian.
Aku terusik juga mendengar kata-katanya.
"Kerjakan saja pekerjaanmu,"timpalku sedikit ketus.
"Pertama, mata Kak Rasti bengkak dan disertai dengan lingkaran hitam. Kedua, wajah Kak Rasti pucat. Pasti Kak Rasti tidak sarapan hari ini,"ucapnya menjelaskan analisa tentang diriku hari ini."Apa yang terjadi? Apa tentang Chris lagi?"
"Tahu apa kamu tentang aku dan Chris?"tanyaku sewot. Kurasa Galih telah mengetahui diriku lebih dari siapapun.
"Hei,"ucap Galih. "Aku mengenal Kak Rasti dan Chris sejak masuk SMU. Apa Kak Rasti lupa hal itu?"protesnya.
"Iya, aku ingat,"sahutku cepat. "Kamu yang mendapat hukuman dari Chris saat orientasi siswa baru karena kamu terlambat masuk kelas."
"Iya, iya,"sahutnya bernada kesal."Aku terlambat karena ban sepeda motorku bocor dan kalian menghukumku tanpa memberi kompensasi apapun. Padahal itu kan bukan di sengaja,"tuturnya mengenang kembali peristiwa beberapa tahun silam.
Aku tersenyum mendengar ucapannya. Tanpa komentar.
"Kak Rasti masih mencintainya?"tegur Galih beberapa saat kemudian.
"Hm?"
"Sebaiknya lupakan dia,"ucap Galih. "Itu lebih baik buat Kak Rasti daripada menangisinya setiap malam."
Aku menghela nafas panjang. Konsentrasiku pada catatan barang gudang sudah buyar akibat ucapan Galih yang cukup mengusik pikiranku.
"Aku baik-baik saja, Lih,"sahutku untuk menghentikan rasa ingin tahunya tentang masalah pribadiku.
"Tapi Kak Rasti tampak tidak baik-baik saja. Aku bisa melihat itu,"ucapnya ngotot.
"Hentikan Lih,"tegasku tak sabar."Sudah cukup. Tidak usah mempedulikan urusanku. Aku bukan kakakmu atau keluargamu."
"Tapi aku peduli denganmu!"serunya menimpali. "Chris sudah menikah dan tidak ada gunanya kamu mengharapkannya. Kamu tahu itu kan?!"
"Aku tahu,"balasku cepat. "Aku hanya butuh waktu untuk melupakannya. Kamu tidak usah mengkhawatirkan aku. Aku akan baik-baik saja."
"Baiklah,akan aku ingat ucapan Kak Rasti,"sahut Galih. Kali ini lebih pelan dari sebelumnya. Ia membalikkan tubuhnya lantas keluar dari dalam gudang tanpa berkata apapun padaku.
~~~~~~

"Jadi seperti ini suasana hati Kak Rasti?"
Tiba-tiba saja Galih menerobos masuk kedalam rumah kontrakanku yang sempit. Ia segera berkeliling meneliti ke setiap sudut layaknya seorang pengawas.
Piring dan segala macam peralatan makan yang masih kotor berserakan diatas meja belum kucuci sejak kemarin. Juga pakaian kotorku masih menggantung di balik pintu, sebagian lagi masuk kedalam keranjang. Juga belum sempat kucuci. Plastik kemasan mie instan, kaleng minuman bersoda, dan beberapa kemasan makanan lain juga menambah suasana kumuh didalam rumahku.
Membuatku sadar betapa malasnya diriku. Tidak. Bukan malas, tapi aku belum sempat membereskan semuanya.
"Aku baru akan membereskannya hari ini,"ucapku cepat. "Hari ini kan hari Minggu...."
"Bukankah Kak Rasti bilang akan baik-baik saja,"ucapnya mengingatkanku akan ucapanku sendiri beberapa waktu yang lalu. "Apa ini yang disebut baik-baik saja?"sindirnya sengaja.
Aku mendengus kesal. Galih memang paling pandai memojokkanku.
"Apa kamu datang kesini untuk membantuku?"tanyaku berkelit.
"Aku sudah menduga bahwa Kak Rasti akan seperti ini,"tandasnya seolah tak terpengaruh. "Perkataan baik-baik saja menunjukkan keadaan yang sebaliknya."
Aku tersenyum kecut.
"Maksudmu apa?"tanyaku santai. Aku mulai membereskan meja makan terlebih dahulu sembari meladeni ucapan Galih.
"Ada seseorang yang dicampakkan pasangannya, dan ia memaksakan dirinya untuk tetap baik-baik saja. Tapi keadaan justru berbalik menyerangnya. Dia terkena depresi berat dan ujungnya dia mengalami gangguan mental,"tutur Galih kemudian.
Aku tertegun menatapnya. Siapa yang dia maksud? batinku penasaran.
"Aku tidak mau Kak Rasti menjadi seperti itu,"sambungnya lagi. "Maka dari itu aku datang agar Kakak tidak menjadi seperti orang itu. Aku ingin Kak Rasti bangkit dari keterpurukan dan melupakan masa lalu."
"Memangnya siapa orang itu?"desakku.
"Nanti Kak Rasti juga akan tahu,"sahutnya berteka-teki.
"Kamu ini..."olokku seraya meninju bahunya. "Jangan sok lebih tua dariku. Aku bisa mengatasi permasalahanku sendiri."
"Menurut Kak Rasti begitu?"
"Tentu saja,"timpalku. "Sudah, cepat bantu aku membereskan ini,"paksaku seraya menyodorkan piring-piring kotor ke tangannya.
"Hei, aku datang kesini bukan untuk mencuci piring,"protesnya.
"Jangan protes!"seruku. "Kerjakan saja!"
Kena kamu,batinku girang. Sekarang dia tidak bisa menceramahiku lagi karena ia harus mencuci piring-piring kotor.

~~~~~~

Aku dan Galih bersahabat dekat. Bisa dikatakan kami bersaudara, karena aku lebih tua dua tahun darinya dan dia selalu memanggilku dengan sebutan kakak. Begitulah hubungan diantara kami.
Kami bertemu pertama kali saat orientasi siswa baru. Dia adalah adik kelasku di SMU. Namun saat itu kami belum terlalu akrab. Kami terpisah setelah aku lulus dan secara tidak sengaja kami dipertemukan kembali tiga bulan yang lalu di perusahaan. Galih bekerja di tempat yang sama denganku. Dan semenjak itulah kami menjadi akrab.
Aku tidak tahu kenapa aku begitu terbuka dengannya tentang masalahku dengan Chris. Mungkin karena dia juga pernah mengenal Chris, dan aku tidak punya teman untuk mencurahkan isi hatiku. Mungkin juga karena aku sudah menganggapnya sebagai adikku sendiri.
Tapi Galih berbeda denganku. Selama ini aku tidak menyadari kalau aku terlalu banyak berkeluh kesah padanya tentang kehidupan pribadiku. Sedang Galih seperti sengaja menyimpan kehidupan pribadinya rapat-rapat. Aku tidak tahu dimana tempat tinggalnya, siapa keluarganya dan siapa saja teman-temannya. Juga siapa orang yang ia sukai.
Sungguh, aku tidak tahu sama sekali tentang dirinya. Ini tidak adil kan?
Dia tahu semua hal tentangku sedang aku tidak tahu tentang dirinya. Sahabat macam apa aku ini? Bahkan aku sama sekali tidak pantas untuk menjadi kakaknya.
Suatu kali aku sempat menanyakan hal yang menyangkut pribadinya. Tapi Galih bungkam. Dia akan menutup mulutnya rapat-rapat. Jika aku memaksa dia hanya akan berkata bahwa sama sekali tidak ada yang menarik tentang dirinya.
Begitulah sifat Galih. Dia tidak akan membiarkanku berlarut-larut dalam sebuah masalah, tapi ia tidak akan membiarkanku mengetahui masalahnya.

~~~~~~~

Sebatang lilin menyala di atas kue tart di hadapanku. Sebaris nama Chris tertulis diatasnya.
Hari ini memang hari ulang tahun Chris. Dan aku sengaja membeli kue tart itu sekedar untuk merayakan ulang tahun Chris. Sendirian.
Setahun yang lalu tepat di tanggal ini aku dan Chris merayakan hari ulang tahunnya berdua. Kami meniup lilin bersama.
Aku juga menyiapkan hadiah kejutan untuknya. Sebatang cokelat dan sebuah jam tangan sebagai hadiah ulang tahunnya. Entah ia masih mengingatnya atau bahkan telah melupakannya. Sama sekali.
Aku merindukan Chris. Itulah kenyataannya sekarang.Sungguh.
Meski aku tahu ia telah bersama orang lain dan harusnya aku membencinya sekarang, tapi entah kenapa aku tak bisa melakukannya. Aku tak bisa membenci Chris, malah yang ada aku sangat merindukannya.
Aku terlalu mencintai Chris....
"Apa yang sedang Kak Rasti lakukan disini?"
Aku terperanjat dan menghapus lamunanku begitu mendengar teguran itu.
Galih menerobos masuk kedalam rumahku tanpa permisi dan tengah menatapku dengan pandangan aneh. Ia sempat melihat kue tart itu dan pastinya ia juga membaca sebaris nama Chris disana.
"Apa-apaan ini?"tanyanya seraya tersenyum pahit. Membuatku tampak bodoh dihadapannya.
Aku belum sempat menjawab pertanyaannya namun ia telah mencecarku kembali dengan kalimat-kalimatnya.
"Aku mencari Kak Rasti dikantor tadi, tapi katanya Kak Rasti tidak masuk hari ini. Aku menelepon kak Rasti berkali-kali tapi tidak diangkat. dan ternyata Kak Rasti disini sedang mengenang laki-laki itu seperti orang gila. Bukankah aku sudah pernah bilang, lupakan dia!"ucap Galih penuh emosi. Ia pasti marah melihatku seperti ini.
"Kumohon, aku ingin sendirian. Aku janji untuk hari ini saja biarkan aku mengenangnya. Setelah hari ini aku akan melupakannya,"ucapku.
"Aku tidak tahu jalan pikiranmu. Dia sudah bahagia bersama orang lain, mestinya kamu berusaha mencari kebahagiaanmu sendiri. Bukannya mengenangnya seperti ini,"Galih masih tampak marah padaku.
"Kumohon, Lih.Untuk kali ini saja..."ratapku memohon.
"Tidak!"tegas Galih. Tangan Galih tiba-tiba mencengkeram lenganku."Hapus air matamu dan buang benda itu sekarang juga,"paksanya.
"Kenapa kamu semarah ini?"tanyaku kemudian."Aku sudah bilang akan melupakannya setelah hari ini."
"Karena kamu tidak akan menepati perkataanmu sendiri,"ucapnya keras. "Aku sudah pernah bilang, aku tidak mau melihatmu menderita karena dia. Apa kamu mengerti?"
"Aku tahu,"potongku. "Karena kamu sangat peduli padaku, tapi tolong beri aku waktu untuk melupakannya."

~~~~~~~

Aku mencengkeram jaket Galih erat-erat saat aku duduk diatas boncengan motor miliknya. Berpacu diantara para pengguna jalan raya lain.
Sebenarnya pertengkaran kami belum berakhir tadi. Tapi mendadak Galih menyeretku keluar dan mengajakku pergi. Entah kemana. Saat aku bertanya ia hanya bilang bahwa aku akan tahu setelah tiba disana nanti.
Aku sering bertengkar dengan Galih hanya karena masalah seperti ini. Dan sesaat kemudian suasana akan mereda dengan sendirinya. Tapi kali ini ia benar-benar marah padaku. Hingga ia mengajakku pergi entah kemana.
Sebenarnya ada apa dengan Galih? Ia tampak berbeda hari ini. Bahkan ia menyebutku dengan kata "kamu". Padahal ia tidak pernah melakukan ini sebelumnya.
Kami bertengkar tadi dan aku baru sadar kalau kami mirip sepasang kekasih. Galih marah karena terbakar cemburu. Tapi perasaan Galih tidak seperti itu padaku. Mungkin aku saja yang terlalu percaya diri dengan pemikiran konyol seperti itu.
"Kita sudah sampai."
Aku tersadar dari lamunanku dan buru-buru melepaskan tanganku dari jaket Galih.
Aku takjub begitu tahu kami telah berada didepan sebuah rumah besar lengkap dengan halaman yang luas. Membuatku bertanya-tanya. Rumah siapa ini? Galih-kah?
Tapi kenapa Galih bekerja di perusahaan sebagai karyawan biasa jika ia punya rumah sebesar ini?
Galih menyuruhku untuk mengikutinya masuk kedalam rumah besar itu. Ada banyak pertanyaan yang mengganggu benakku tapi tak sempat ku tanyakan padanya.
Isi rumah itu jauh lebih indah dari yang kubayangkan sebelumnya. Perabotan yang serba mahal mengisi seluruh sudut ruang demi ruang.
Tapi kenapa Galih tidak pernah bercerita tentang ini padaku sebelumnya? Sepertinya ia sengaja menyembunyikan jati dirinya dariku.
"Masuklah..."
Aku melangkah masuk kedalam sebuah ruangan sesuai permintaan Galih. Ternyata ruangan itu adalah sebuah kamar tidur. Aku tersentak saat tahu didalam kamar itu tinggallah seorang wanita paruh baya yang sedang duduk diam diatas sebuah kursi roda.
Wanita itu tampak sedang tidak sehat. Kulihat wajahnya pucat dan kusut. Tangannya juga tampak kering. Rambutnya juga. Siapa dia? Sedang sakit apa dia?
"Ma.... Ini gadis yang selalu kuceritakan pada mama."
Aku terhenyak kaget. Jadi wanita itu adalah mama Galih?batinku tak percaya.
Aku menoleh kearah Galih. Untuk meminta sebuah penjelasan ringkas tentang apa yang sedang kulihat sekarang.
"Dia mamaku,"tandas Galih kemudian. Laki-laki itu mendekati mamanya dan bersimpuh didepan kursi rodanya. "Mama baik-baik saja hari ini?"tanya Galih kemudian.
Tapi aneh. Mama Galih tak bereaksi sama sekali. Bahkan ia tak bergerak. Hanya sepasang mata cekungnya menatap kosong kedepan.
Ada apa dengannya? Aku menjadi tidak mengerti dengan semua ini.
~~~~~~~

"Sebenarnya maksudmu apa dengan membawaku kesini?"cecarku tak sabar.
Beberapa detik yang lalu aku menyeret Galih keluar dari kamar mamanya. Aku butuh penjelasan untuk semua ini.
"Aku sengaja membawamu kesini untuk menunjukkan kondisi mamaku padamu agar kamu tidak menjadi seperti itu. Apa kamu sudah mengerti?"
"Kenapa?"tanyaku masih bingung."Memang apa yang terjadi dengan mamamu?"
Galih menghela nafasnya.
"Papaku mencampakkan mama,"tuturnya membuatku tercekat."Salama bertahun-tahun mama mencoba untuk membodohi dirinya sendiri dengan berpura-pura bahwa ia baik-baik saja. Dia memendam lukanya sendirian tanpa pernah berusaha untuk mengobatinya atau membaginya dengan orang lain. Dan seperti yang kamu lihat dia terkena depresi berat. Dia tidak mau bicara sama sekali. Sepanjang hari ia akan diam seperti itu. Dia tidak bisa merawat dirinya sendiri. Bahkan untuk makanpun dia harus disuapi. Pernah suatu kali dia tidak mau makan sama sekali dan dokter terpaksa harus memberinya infus agar dia tetap bertahan hidup. Bukan itu saja, mama bahkan pernah mencoba untuk bunuh diri dengan memotong urat nadinya sendiri."
Aku tertegun dan tak bisa berkata apa-apa begitu mendengar kisah mama Galih.
"Bagaimanapun juga, dia tetaplah mamaku,"lanjut Galih lagi."Meski dia seperti itu aku tetap menyayanginya. Dan aku tidak mau kamu menjadi seperti mamaku. Apa kamu sudah paham?"tanya Galih. Tangannya telah mencengkeram bahuku dan mengguncangnya pelan.
"Aku janji aku tidak akan seperti itu,"gumamku lirih.
"Siapa yang bisa menjamin?'desaknya memaksa.
Aku tak mampu menjawab pertanyaannya kali ini.
Aku bisa merasakan luka yang diderita mama Galih. Galih juga pasti sangat terluka dengan kenyataan yang menimpa mamanya.
"Kenapa selama ini kamu tidak pernah menceritakan ini padaku?"tanyaku beberapa detik kemudian. "Kita sudah sedekat ini dan kamu masih menyembunyikan rahasia sebesar ini dariku. Ini tidak adil, Lih,"ucapku.
Galih diam. Tampaknya dia enggan untuk menjawab pertanyaanku.
"Kamu tahu semua tentangku,"lanjutku kemudian. "Tapi aku tidak tahu apapun tentangmu. Siapa sangka Galih yang kukenal ternyata adalah seorang kaya raya.Kenapa kamu mesti merahasiakan semua ini dariku? Juga tentang mamamu. Aku merasa dibodohi olehmu selama ini. Aku benar-benar kecewa, Lih. Aku merasa dikhianati oleh orang yang sudah kuanggap sebagai adikku sendiri,"ucapku penuh penyesalan.
"Maafkan aku..."
Aku mendesah berat. Tiba-tiba saja dadaku terasa sesak. Menambah luka yang pernah digoreskan Chris padaku.
"Aku ingin pulang,"pamitku kemudian.
"Aku akan mengantarmu..."tawar Galih hendak menyusul langkahku.
"Tidak perlu,"tolakku cepat."Aku bisa pulang sendiri."
"Tapi..."
"Kubilang aku bisa pulang sendiri!"teriakku lantang. Tangan Galih yang hendak menyentuh pundakku juga kutepis secepat kilat.
Aku pulang dengan hati yang hancur dan kecewa.
~~~~~~

"Aku tahu kamu sangat marah dan kecewa padaku,"ucap Galih tiba-tiba.
Aku yang sedang tertegun sendirian di sudut gudang menjadi terusik karena kehadirannya yang tiba-tiba.
"Aku minta maaf atas semua yang kulakukan..."
"Kamu tahu,"timpalku cepat. "Dikhianati oleh orang yang kamu cintai dan dikhianati oleh sahabatmu sendiri sama sakitnya. Membuatmu merasa sangat bodoh dan membuatmu sesak setiap kamu mengingat orang itu."
"Aku minta maaf,"ulangnya sekali lagi. "Harusnya aku tidak melakukan itu..."
"Tidak,"potongku cepat. "Harusnya aku yang minta maaf. Harusnya aku menghargai kehidupan pribadi sahabatku sendiri dan tidak memaksanya untuk mengungkapkannya padaku.Dan mungkin aku yang salah telah memilihmu sebagai sahabatku."
"Kak Rasti?!"
"Berhentilah memanggilku dengan sebutan kakak. Aku bukan kakakmu dan kamu bukan adikku. Dan sebaiknya kita tidak sedekat ini lagi mulai sekarang. Kita berteman biasa saja sama seperti yang lain,"tandasku tegas.
"Aku tahu kamu sangat marah padaku. Dan aku sungguh-sungguh minta maaf, tapi kumohon jangan melakukan ini padaku. Jangan menyuruhku untuk menganggapmu sebagai teman seperti yang lain. Aku tidak bisa melakukannya,"ucap Galih mengiba.
Mungkin aku juga tidak bisa melakukannya, batinku.
"Kamu pasti bisa,"
"Kak...."
"Mulai sekarang kita harus menjaga jarak..."
"Apa kamu semarah itu padaku?!"teriak Galih keras. Mengurungkan niatku untuk pergi dari hadapannya.
Aku tercekat mendengar teriakan Galih yang penuh dengan amarah.Aku menemukan raut wajah penuh dendam saat aku menatap kearahnya.
"Kenapa kamu melakukan ini padaku tapi tidak pada Chris?"sentaknya masih bernada emosi. "Bukankah Chris sudah mencintai orang lain, tapi kenapa kamu masih mencintainya? Sedang aku hanya tidak jujur padamu, lantas kamu tidak ingin berhubungan lagi denganku. Apa ini adil buatku?!"
Aku terhenyak kembali.Ucapan Galih seakan menyinggung perasaanku. Apakah yang kulakukan padanya keterlaluan?
"Aku tidak tahu,"ucapku cepat. Aku buru-buru berlari meninggalkan tempatku berdiri.
Galih memang pandai menjebakku dengan pertanyaan yang menyudutkan. Tapi apa tindakanku padanya keterlaluan?
Beri aku waktu untuk berpikir.
~~~~~~

"Chris?!"pekikku kaget. Aku mendapati mantan kekasihku itu berdiri kaku selarut ini didepan pintu rumahku. Ini terasa aneh buatku. Ada apa sebenarnya? Aku melihat sesuatu yang tidak beres diwajahnya.
"Ada apa Chris?"cecarku kemudian. Tanpa menyuruhnya untuk masuk terlebih dahulu.
"Aku ingin jujur padamu, Ras,"gumamnya lirih. Membuatku bertanya-tanya.
"Jujur tentang apa?"tanyaku penasaran.
Chris terdiam untuk beberapa detik lamanya. Mungkin ia sedang berpikir tentang apa yang hendak diucapkannya padaku.
"Aku tidak bahagia, Ras,"tuturnya membuatku tercekat. "Sebenarnya gadis itu sama sekali tidak lebih baik darimu. Aku berbohong saat aku bilang aku jatuh cinta padanya. Aku berkata seperti itu agar kamu melupakanku. Tapi nyatanya aku sendiri yang terluka. Aku minta maaf atas semua itu,"ucap Chris dengan mata berkaca-kaca.
Aku terhenyak. Tak percaya akan penuturan Chris. Jadi itukah kenyataan yang sebenarnya.
"Aku tidak tahu apa mengatakan ini padamu adalah hal yang benar. Tapi aku terus dihantui rasa bersalah padamu,"sambungnya kembali.
Aku tertegun seraya menatapnya. Tak ada yang bisa aku katakan sekarang. Kalimat yang ingin kukatakan hilang entah kemana.
Ini seperti dilema. Sebuah pilihan yang sulit. Disatu sisi aku masih sangat menyukai Chris, tapi kami tidak mungkin melanjutkan hubungan kami. Karena dinding yang terbentang diantara kami begitu kokoh dan tinggi. Dan kami tidak mungkin bisa menghancurkannya.
"Aku masih mencintaimu...."
Aku tahu, batinku. Tapi...
"Apa yang kamu lakukan disini?!"
Aku dan Chris tersentak mendengar teguran keras itu. Galih tiba-tiba muncul entah dari mana.
"Kamu bilang kamu mencintainya? Kenapa dulu kamu tidak mempertahankannya jika kamu akan menyesali semua ini?"seru Galih kemudian. Melampiaskan kemarahan pada Chris.
"Kenapa kamu ada disini?"tanya Chris bingung.
"Harusnya aku yang bertanya kenapa kamu ada disini? Bukankah kamu sudah punya istri tapi kamu malah mendatangi gadis lain,'tunjuk Galih padaku.
"Apa maksudmu?"Chris benar-benar bingung dengan sikap Galih.
"Lih, apa-apaan kamu..."selaku menengahi ketegangan itu.
"Pergilah, tidak seharusnya kamu berada disini. Rasti bukan milikmu lagi sekarang,"ucap Galih bermaksud mengusir Chris. "Dia sdah cukup menderita selama ini, jangan menambah bebannya dengan mengatakan kamu masih mencintainya."
Chris mengalah. Dengan berat hati ia beranjak dari tempatnya. Mungkin ia tidak mau berdebat dengan Galih dan mempermalukan dirinya sendiri.
Setelah Chris pergi...
"Kenapa kamu datang?"tanyaku pada Galih. Dengan nada datar.
"Apa aku tidak boleh datang dan hanya Chris yang boleh datang kesini?"timpalnya ketus.
Lagi-lagi perdebatan dimulai.
"Bukan itu,"sahutku. "Tapi kita sudah sepakat akan berteman seperti orang lain....
"Itu kesepakatan yang kamu buat sendiri,"sahutnya tangkas.
Aku mendesah pelan. Aku mulai kalah dalam perdebatan ini.
"Aku tidak suka caramu datang seperti ini,"ucapku kemudian. Mencari celah kesalahannya.
"Kenapa? Apa aku datang tidak tepat pada waktunya? Karena ada Chris disini? Karena kamu masih mencintainya dan ingin kembali pada Chris? Begitu kan maksudmu? Apa kamu tidak sadar kalau kamu itu egois?"cecarnya bertubi-tubi.
Egois? batinku heran.
"Ya, mungkin aku egois seperti ucapanmu,"sahutku kesal. "Tapi kumohon jangan campuri kehidupan pribadiku..."
Galih tersenyum kecut mendengar ucapanku.
"Kamu memang bodoh,"ucapnya menyinggung perasaanku. "Apa kamu ingin tahu sebenarnya kenapa aku berbuat seperti ini? Karena aku menyukaimu."
Aku terhenyak dan nyaris tak percaya pada pendengaranku sendiri. Apa yang Galih katakan tadi? Dia menyukaiku?
"Kamu bercanda kan Lih?" gumamku pelan.
"Apa aku tampak seperti sedang bercanda?"timpal Galih. "Memang pada awalnya aku hanya menganggapmu sebagai seorang kakak, tapi belakangan aku sadar kalau perasaanku padamu lebih dari itu. Aku menyukaimu sebagai seorang wanita,"tandasnya kemudian.
"Tidak mungkin,"gumamku tak sadar. Meski aku pernah dan sempat berpikir tentang hal itu, tapi begitu mendengar hal yang sebenarnya rasanya aku tak bisa untuk mempercayainya.
"Aku mencintaimu, Ras,"sentak Galih seraya menyentuh bahuku.
"Tidak, ini tidak mungkin,Lih," ucapku seraya berusaha menghindarinya. "Ini tidak benar."
"Apanya yang tidak benar?"potongnya cepat.
"Aku tidak bisa melakukan ini.Aku...."
"Apa tidak ada sedikitpun perasaan untukku?"tanya Galih menagih perasaanku padanya.
Perasaan? Perasaan seperti apa yang kurasakan pada Galih? Aku benar-benar tidak tahu...

~~~~~~~~

Aku hanya bisa menatap Galih dari kejauhan. Ia tampak berbeda dari biasanya. Bukan karena setelan jas berwarna hitam yang kini membalut tubuhnya. Tapi ia tampak kusut dan wajahnya tertutup mendung kelabu. Sepasang matanya tampak sembab dan rautnya pucat. Sepanjang acara pemakaman mamanya, ia hanya tertunduk dan sesekali mengusap mataya yang basah.
Sesungguhnya aku ingin datang mendekat padanya untuk sekedar memberikan sandaran berbagi duka, tapi aku tidak bisa. Sebab seluruh keluarga Galih ada disana, juga para petinggi perusahaan. Belakangan aku baru tahu jika presdir perusahaan adalah kakek Galih. Satu lagi rahasia Galih yang ia sembunyikan dariku terungkap.
Aku merasa sedih dengan kejadian yang menimpa Galih. Ia sangat menyayangi mamanya dan kini ia harus kehilangan dirinya. Aku bahkan belum sempat menyapa mama Galih. Dan aku sangat menyesal untuk itu.
Setelah hari pemakaman itu aku tak lagi melihat Galih di perusahaan. Bahkan ia tak menelepon atau mengirim pesan singkat padaku sama sekali. Ia juga tak muncul di rumahku sejak saat itu.
Sampai dua bulan berikutnya, Galih seperti menghilang begitu saja. Atau ia benar-benar sengaja ingin menghilang. Karena terlalu kecewa dan sakit hati pada apa yang baru saja ia alami. Aku tidak tahu.
Tapi ini benar-benar mengusik perasaanku. Aku seperti kehilangan sesuatu. Aku merasa tak lengkap meski ia bukan belahan jiwaku. Karena kami sudah terlalu dekat dan sering menghabiskan waktu bersama-sama.
Aku berusaha mencari informasi tentang Galih. Namun yang kudengar ia tidak lagi bekerja diperusahaan tanpa pemberitahuan sama sekali. Apa mungkin dia pergi keluar negeri atau kemana? Atau dia sedang pergi ke suatu tempat untuk menenangkan diri?

~~~~~~~~

Aku sedikit terkejut mendengar keterangan pelayan dirumah Galih ketika ia bilang Galih ada dirumah. Tapi aku mengikutinya manakala ia mengantarku kekamar Galih.
Kenapa bukan Galih yang menemuiku, malah aku yang disuruh datang kekamarnya? batinku heran. Apa ia sedang sakit?
Aku nyaris menjerit begitu sampai dikamar Galih. Bagaimana aku tidak terkejut saat melihat laki-laki itu duduk tertegun di atas kursi dan tak bergerak sama sekali. Pandangan matanya kosong menerawang ke luar jendela. Seperti sedang berpikir tentang sesuatu. Sebenarnya apa yang dilihat oleh sepasang mata cekung itu?
Aku seperti melihat dua orang yang berbeda. Galih yang selama ini kukenal bukanlah orang yang sedang duduk disana. Galih yang kukenal adalah orang yang energik dan aktif. Yang suka bicara dan sok berlaku lebih tua dariku.
Dan orang yang sedang duduk dihadapanku tak ubahnya seperti zombie.
Oh Tuhan, apa yang terjadi dengannya? Kenapa sikap Galih seperti mamanya?
"Galih..."panggilku seraya mendekat. Aku lantas bersimpuh didekat tempat duduknya.
Galih tampak terkejut melihat kedatanganku.
"Kenapa kamu seperti ini? Kamu seperti bukan orang yang ku kenal,"ucapku seraya mengamati perawakannya. Dari atas hingga kebawah. "Lih..."
"Kenapa datang kesini?'tanya Galih tak suka.
"Kenapa bertanya seperti itu?"tanyaku heran.
"Karena Galih yang kamu cari sudah mati,"tandasnya ketus.
"Galih!"teriakku tak sadar. "Bukankah dulu kamu yang selalu memberiku semangat untuk tetap bertahan, tapi sekarang kamu sendiri malah seperti ini. Ini tidak adil, Lih."
"Adil atau tidak kurasa itu tidak penting,"sahutnya dingin. "Aku yang menjalani hidupku dan aku yang berhak menentukannya. Sebaiknya kamu pergi dari sini..."
"Tidak,"tolakku tegas. "Aku tidak akan pergi dan membiarkanmu sendirian seperti ini."
"Terserah, kamu mau pergi atau tidak. Itu bukan urusanku,"Galih beranjak dari tempat duduknya dan hendak melangkah pergi.
Namun aku bergerak secepat kilat dan langsung menubruk punggung kurusnya.
"Kumohon jangan seperti ini, Lih,"bisikku seraya memeluk punggung Galih erat-erat. "Aku tahu rasanya kesepian dan sendirian. Itu rasanya sangat menyakitkan. Seperti ada lubang besar didadamu. Dan jantungmu serasa berhenti berdetak."
"Rasti..."
"Kumohon jangan bergerak,"ucapku saat Galih hendak membalikkan tubuh. "Biarkan aku memelukmu sebentar lagi."
"Aku tidak mau kamu kasihani..."
"Aku tidak sedang mengasihanimu,"potongku cepat. "Aku sedang mengasihani diriku sendiri. Sudah terlalu lama aku tidak melihat dan mendengar suaramu. Dan aku sudah terlalu rindu padamu."
"Ras..."Galih membalikkan tubuhnya dan menatapku lekat-lekat. "Hapus air matamu,"suruhnya.
"Maaf,"aku buru-buru mengusap air mataku yang keluar tanpa aku sadari.
"Apa benar kamu merindukanku ?"tanyanya tak mempercayai ucapanku.
Aku mengangguk pelan.
"Sebesar apa?"
"Apa?"tanyaku bingung.
"Bodoh,"makinya pelan. "Sebesar apa rindumu padaku? Apa sebesar ini?"tanyanya seraya mengepalkan tangannya.
"Aku tidak tahu,"sahutku malu-malu.
"Kalau begitu pasti sebesar ini,"ucap Galih seraya membentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Lantas ia menarik tubuhku masuk kedalam pelukannya....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar