Senin, 17 Juni 2013

SENYUM DARI UJUNG LANGIT


"Lebih baik kecelakaan itu membunuhku......"
"Aiko!"
Ibu Aiko berteriak kaget mendengar gumaman yang meluncur dari bibir putrinya.
"Bicara apa kau ini?"bentaknya kemudian. "Harusnya kau bersyukur karena masih selamat dari kecelakaan itu. Bukannya mengharapkan sebaliknya. Kau tahu, ibu sangat menyayangimu Aiko,"tandas ibu Aiko seraya mendekat ke tempat tidur putrinya. Lantas menyodorkan beberapa butir obat kepada Aiko.
"Minum dulu obatmu,"suruh ibu Aiko. Namun gadis itu menggelengkan kepalanya.
"Aiko...."keluh ibunya melihat reaksi Aiko. Sejak kecil Aiko memang paling susah jika disuruh untuk minum obat.
"Aiko ingin pulang,"gumam Aiko kembali. Lirih.
Ibu Aiko mendesah pelan mendengar ucapan Aiko.
"Kau masih sakit sayang,"sahut ibunya dengan nada halus.
Aiko tak menyahut. Ia masih membuang pandangannya ke samping. Menghindari tatapan mata ibunya.
Disaat itu muncullah dokter Hoshiko.
"Selamat pagi,Aiko,"sapa dokter Hoshiko hangat."Bagaimana kabarmu hari ini?"
Dokter itu tak menunggu jawaban Aiko. Ia segera melaksanakan tugasnya memeriksa kondisi pasien.
"Dia sudah lebih baik, Dokter?"tanya ibu Aiko tak sabar mendengar perkembangan kesehatan putrinya.
"Begitulah,"sahut dokter Hoshiko. "Tapi ia harus menjalani pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui kondisi kakinya."
"Apa dia akan sembuh Dokter?"tanya ibu Aiko lagi.
"Kita akan tahu setelah Aiko menjalani tes,"jawab dokter itu. Ia telah selesai memeriksa pasiennya. "Kau harus rajin minum obat, Aiko,"ucap dokter Hoshiko saat mengetahui butiran obat milik Aiko masih utuh tergeletak di tempatnya.
Dokter itu meninggalkan kamar Aiko beberapa saat kemudian.
Aiko masih bergeming seperti sebelumnya. Wajahnya juga masih selayu bunga kering. Sorot matanya tak bercahaya sama sekali. Menimbulkan iba yang mendalam di hati ibunya.
Kasihan Aiko,batin ibunya. Wanita itu membenahi letak selimut Aiko.
Harusnya hari ini Aiko mengikuti kompetisi ballet. Namun karena kecelakaan itu Aiko kehilangan kesempatan untuk menjadi ballerina. Latihan yang ia lakukan hampir sepanjang usianya sia-sia. Kecelakaan itu telah merenggut kaki Aiko. Gadis itu tak bisa menggerakkan kedua kakinya dan hanya bisa berbaring di atas tempat tidur. Entah sampai kapan.
"Jika kamu bosan, ibu bisa menemanimu jalan-jalan,"tandas ibu Aiko berusaha menghibur."Diluar sangat cerah, Aiko. Ibu lihat ada sebatang pohon sakura ditaman. Bukankah kau sangat menyukainya?"
Aiko menggeleng pelan. Bahkan gadis itu enggan untuk melihat kursi roda disudut kamar yang telah dipersiapkan untuknya.
"Kau adalah satu-satunya harta ibu, Aiko,"ucap ibu Aiko kemudian."Ibu tahu kesedihanmu. Tapi jangan seperti ini. Kau harus yakin kau bisa sembuh, sayang."
"Aiko ingin sendiri, Bu,"sahut gadis itu lirih. Tanpa menatap ke arah ibunya.
"Baiklah,"sahut ibunya cepat."Panggil ibu jika kau butuh sesuatu."
Aiko perlu waktu untuk menerima semua ini, batinnya seraya menutup pintu kamar Aiko.
~~~%%~~~
Pagi dimusim semi yang cerah. Kelopak-kelopak bunga sakura bermekaran.Cantik.
Aiko sangat menyukai bunga itu. Dulu ia sering merayakan hanami bersama teman-temannya. Tapi kini ia hanya bisa duduk tertegun diatas kursi roda seraya menikmati musim semi di taman rumah sakit. Sendirian.
Tubuhnya kini tak ubahnya sebatang pohon yang rapuh. Padahal dua minggu yang lalu ia masih bisa meliukkan tarian angsa di atas panggung aula sekolah.
Tidak. Ia tak mau mengingat semua itu. Ingatan itu hanya akan melukai hatinya.
Pemeriksaan telah dilakukan kemarin. Hasilnya tak begitu memuaskan. Kata dokter kemungkinan ia bisa berjalan kembali sangat kecil. Tapi harapan akan selalu ada selama kita masih berusaha,tandas dokter Hoshiko. Jika keajaiban itu tidak datang maka Aiko sendiri yang harus menciptakan keajaiban itu sendiri.
Keajaiban seperti apa yang bisa kuciptakan?batin Aiko.
Serangkaian terapi dan latihan harus ia lakukan mulai besok. Namun gadis itu sama sekali tak punya keyakinan pada dirinya sendiri jika ia bisa sembuh.
Tiba-tiba seorang gadis kecil berusia 7 tahun menghampiri kursi roda Aiko. Ia tersenyum seraya mengamati wajah Aiko.
"Kakak pasien baru disini?"tanya gadis kecil itu ramah."Aku tidak pernah melihat Kakak sebelumnya."
Aiko menatap anak kecil itu dengan tatapan kesal. Ia paling tidak suka diganggu jika sedang sendiri. Apalagi oleh anak kecil yang tampaknya cerewet itu.
"Ya,"akhirnya Aiko menyahut meski dengan nada malas.
Gadis kecil itu tersenyum sembari menyodorkan jabat tangannya.
"Namaku Yuri. Nama kakak siapa?"tanya anak itu.
Aiko mendesah.
"Aiko."
"Mulai sekarang kita berteman. Kak Aiko mau kan?"tawar Yuri manis.
Sebenarnya Aiko enggan untuk menanggapi pengganggu kecil itu, namun entah kenapa senyum polos Yuri seperti menghipnotis dirinya. Membuat Aiko mengiyakan tawaran Yuri untuk berteman dengannya.
Yuri mengeluarkan sebatang lollypop dari saku gaunnya. Lantas mengulurkannya pada Aiko.
"Ini untuk hadiah persahabatan kita,"ucap Yuri.
"Terima kasih,"sambut Aiko mulai lunak.
"Kakak sakit apa?"tanya Yuri kemudian. Ia mengambil tempat duduk di bangku taman tepat menghadap kursi roda Aiko.
"Kaki kakak sakit dan kakak tidak bisa berjalan. Maka dari itu kakak harus duduk di kursi roda ini,"jelas Aiko."Kau sendiri sakit apa?"tanya Aiko.
Yuri menggeleng.
"Yuri tidak tahu,"ucap Yuri."Tapi Yuri tahu sebentar lagi Yuri akan pergi ke langit. Apa Kak Aiko tahu seberapa jauh langit itu?"tanya gadis kecil itu dengan polos.
Aiko terhenyak mendengar ucapan Yuri. Ia sangat paham akan maksud ucapan Yuri, tapi apa gadis kecil itu serius dengan apa yang baru saja ia katakan?
"Maksudmu apa?"tanya Aiko.
Namun tiba-tiba saja seorang perawat datang dan mengajak Yuri kembali ke kamarnya. Menghentikan percakapan mereka berdua.
Aiko hanya bisa menatap kepergian Yuri dengan penuh tanda tanya.
Bukankah pergi ke langit berarti mati?batinnya. Tapi Yuri sakit apa?
~~~%%~~~
"Pelan-pelan, Aiko,"ucap seorang terapis. Ia membantu gadis itu berlatih berjalan.
Tangan Aiko mencengkeram pada sebatang besi disisi kanan dan kirinya. Ia berusaha menjejakkan kakinya ke lantai seraya berpegangan. Tapi kakinya sakit manakala menyentuh lantai. Membuatnya nyaris menyerah.
Ibu Aiko ikut memberi dukungan pada putrinya. Ia tak pernah letih menyemangati Aiko.
"Aku lelah,"keluh Aiko beberapa saat kemudian. Padahal belum sepuluh menit ia melakukan sesi latihan.
"Cobalah sekali lagi,"suruh sang terapis.
Aiko mencoba untuk kembali melangkah namun pegangan tangannya tak cukup kuat. Gadis itu terjatuh.
"Aiko!"teriak ibunya panik. Ia terburu-buru menolong Aiko.
Sesi terapi untuk hari ini selesai. Aiko dibawa kembali ke kamar. Ia harus istirahat dan minum obat.
"Kak Aiko!"
Teriakan kecil itu menahan laju kursi roda Aiko masuk ke kamarnya. Yuri tampak berlari kecil ke arah gadis itu.
"Yuri? Apa yang kau lakukan disini?"cecar Aiko.
Yuri mengembangkan senyumnya.
"Kata dokter Hoshiko, Kak Aiko adalah seorang penari ballet. Apa itu benar?"tanya Yuri. Gadis kecil itu mengiringi laju kursi roda Aiko yang semula terhenti.
"Tapi itu dulu,"sahut Aiko pelan.
"Kak Aiko harus sembuh. Yuri ingin sekali melihat Kak Aiko menari ballet,"ucapnya.
Aiko hanya tersenyum kecil mendengar permintaan kecil Yuri.
"Yuri!"
Lagi-lagi seorang perawat datang menghampiri Yuri.
"Yuri, kenapa kau selalu kabur dari kamarmu?"keluh perawat itu seraya menarik tangan anak itu kembali ke kamarnya.
Namun begitu Yuri masih sempat melambaikan tangannya ke arah Aiko.
"Dia teman barumu?"tanya ibu Aiko seraya membantu gadis itu naik ke atas tempat tidurnya.
"Iya,"sahut Aiko."Kemarin kami bertemu di taman."
"Oh, jadi dia yang memberimu lollypop itu?"tanya ibunya lagi. Disambut Aiko hanya dengan anggukan kecil. Namun Aiko tak mengatakan apa yang diucapkan Yuri kemarin padanya.
"Aiko ingin makan sesuatu,"ucap gadis itu kemudian."Apa ibu membawa makanan dari rumah?"
"Tentu saja,"tukas ibunya cepat."Ibu paling tahu kau benci makanan rumah sakit."
"Karena masakan ibu adalah masakan paling enak didunia,"puji Aiko merajuk.
"Kau ini...."
~~~%%~~~
"Dia terkena leukimia,"terang dokter Hoshiko setelah Aiko mendesak pria itu untuk mengatakan tentang penyakit Yuri. Sebenarnya dokter itu sudah mengatakan bahwa ia tidak boleh memberi tahu kondisi pasien pada orang lain. Tapi Aiko memang keras kepala dan terus mendesaknya.
"Apa dia bisa sembuh?"desak Aiko penasaran.
Dokter Hoshiko menatap Aiko.
"Kenapa tiba-tiba kau begitu peduli padanya?"dokter itu malah mengajukan pertanyaan.
Aiko menggeleng ragu.
"Aku tidak tahu, tapi aku merasa begitu dekat dengannya,"gumam Aiko. Perasaannya pada Yuri memang tak biasa. Entah kenapa ia merasa ada sebuah ikatan batin antara mereka berdua, tapi ia tak tahu ikatan seperti apa. Mungkin ikatan batin sesama pasien. Atau mungkin juga ucapan Yuri membuatnya penasaran.
"Kondisimu semakin membaik,"tandas dokter Hoshiko mengalihkan percakapan. Ia tampaknya enggan mengatakan kondisi Yuri."Baiklah, kalau begitu istirahatlah,"
Dokter Hoshiko bergegas keluar dari kamar Aiko usai memeriksa kondisi gadis itu.
Aiko memejamkan matanya. Gadis itu hendak melanjutkan istirahatnya namun tiba-tiba saja pintu kamarnya terkuak kembali. Tapi bukan dokter Hoshiko yang muncul, melainkan Yuri.
"Bagaimana terapinya, Kak? Apa menyenangkan?"tegur gadis kecil itu seraya menghampiri tempat tidur Aiko.
"Kau kabur lagi dari kamarmu?"Aiko malah mengajukan pertanyaan lain.
Yuri tak menjawab. Gadis itu tak selincah biasanya. Wajahnya juga sedikit pucat. Apa mungkin penyakitnya sudah parah?
"Kak Aiko harus sembuh, karena Yuri ingin sekali melihat Kak Aiko menari ballet. Nanti kalau Yuri sudah pergi ke langit, Yuri tidak akan bisa melihat Kak Aiko lagi,"ucapan polos Yuri keluar begitu saja dari bibir mungilnya.
Aiko terpana mendengar ucapan gadis kecil itu. Perasaannya tidak karuan merenungkan penuturan Yuri.
"Yuriko,kau disini?"
Seorang pria paruh baya muncul tiba-tiba.
"Maaf,"ucapnya cepat."Aku ayah Yuri,"ia memperkenalkan diri sebagai ayah Yuri.
Lagi-lagi Yuri mesti dijemput.Anak itu benar-benar bandel.
~~~%%~~~
Nama pria itu adalah paman Takeda. Ia adalah ayah Yuri. Pagi ini pria itu sengaja menemui Aiko di taman rumah sakit. Sekedar berbagi cerita tentang gadis kecilnya yang menderita leukimia.
"Dia sangat manis kan?" tanya paman Takeda sembari tersenyum pahit. Kala itu kelopak-kelopak bunga sakura mulai berguguran ke tanah.
Aiko menyahutnya dengan sebuah anggukan kecil. Ia bisa merasakan kepedihan yang pria itu rasakan. Pasti berat menerima sebuah kehilangan.
"Dia selalu ceria dan menebarkan senyum,"lanjut paman Takeda. "Dia juga tidak pernah mengeluh tentang penyakitnya. Betapapun sakit yang ia rasakan, ia tak akan mengatakannya."
"Dia anak yang tegar,"gumam Aiko. Berbeda dengan Aiko yang pernah mengeluh soal kecelakaan yang menimpa dirinya.
"Kau benar,"ucap paman itu."Dia selalu mengatakan akan pergi ke langit. Itulah yang membuat paman sedih, Aiko,"tuturnya.
"Berapa lama lagi waktu yang tersisa?"tanya Aiko.
Paman Takeda menggeleng.
"Paman tidak tahu pastinya, tapi dokter mengatakan sekitar tiga sampai lima bulan lagi,"jelasnya. Dengan getar pilu.
Aiko tercekat. Secepat itukah? Padahal ada satu permintaan Yuri yang diajukan padanya. Yuri ingin melihat Aiko menari untuknya. Tapi apa mungkin masih ada waktu untuk memnuhi keinginan Yuri, sementara ia masih menjalani terapi. Dan entah kapan ia bisa berjalan lagi. Apa sang pemilik waktu akan berbaik hati mengabulkan permintaan terakhir Yuri?
"Padahal Yuri ingin melihatku menari untuknya ,"gumam Aiko lirih. Seperti penuh penyesalan. Seolah permintaan itu tidak akan pernah bisa ia wujudkan.
"Benarkah?"tanya paman Takeda terkejut.
"Entah aku bisa mewujudkannya atau tidak,"tandas Aiko berat.
"Jangan memaksakan diri,Aiko,"timpal pria itu sembari menepuk pundak Aiko.
Aiko terdiam. Seperti sedang termenung.
"Aiko,"
Teguran itu membuat keduanya menoleh seketika. Ibu Aiko telah berdiri di belakang kursi roda Aiko. Wanita itu tampak terkejut melihat Aiko bersama seorang pria.
Aneh. Paman Takeda juga tampak sama terkejutnya dengan ibu Aiko. Seolah mereka pernah bertemu sebelumnya.
"Kau?"paman Takeda menatap ibu Aiko tanpa berkedip. Ibu Aiko pun sama.
"Ada apa? Apa kalian saling mengenal?"tanya Aiko menyadari ada sesuatu diantara mereka berdua.
Ibu Aiko tak menjawab. Bibirnya terkunci rapat. Namun ia berencana mendorong kursi roda Aiko pergi dari taman.
"Apa dia putriku?"tanya paman Takeda seraya melirik ke arah Aiko. Membuat Aiko semakin bingung.
Ibu Aiko masih diam.
"Maksud paman apa?"sela Aiko seraya menatap paman Takeda dan ibunya secara bergantian.
"Dia bukan putrimu. Ayahnya telah meninggal,"tandas ibu Aiko ketus. Ia hendak mendorong kursi roda Aiko namun tangan paman Takeda menghalanginya secepat kilat.
"Dia putriku kan?"tanya paman Takeda mendesak.
"Kenapa kau merasa dia putrimu?"tanya ibu Aiko kesal."Bukankah dulu kau pernah mencampakkanku? Untuk apa kau bertanya tentang putriku?"
"Aku akui aku memang salah,"ucap paman Takeda."Aku menyesal."
Raut penyesalan tampak jelas terlukis di wajah paman Takeda. Aiko sempat melihat pria itu menatapnya tanpa henti manakala ibunya membawa kursi rodanya pergi dari tempat itu.
~~~%%~~~
Jadi paman Takeda adalah ayah Aiko? Dan Yuri adalah adiknya?
Aiko terus berpikir malam ini. Ibunya telah menjelaskan segala tentang dirinya dimasa lalu. Tentang paman Takeda yang meninggalkannya saat ia tengah mengandung Aiko. Ia yang harus berjuang mati-matian demi membesarkan Aiko seorang diri. Itulah sebabnya ibu Aiko selalu mengatakan jika ayah Aiko telah meninggal. Karena ibu Aiko tidak mau mengingat kembali kejadian 18 tahun yang lalu. Juga ia tidak mau mewariskan rasa dendam dan kebencian pada Aiko.
Tapi Aiko telah terlanjur membenci ayah kandungnya. Sama seperti ibunya membenci orang itu. Bagaimana mungkin seorang ayah tega menelantarkan istri dan anaknya. Kejam!
Dan Yuri?
Gadis kecil itu tak bersalah. Pantas saja selama ini Aiko merasa ada sebuah ikatan batin diantara mereka berdua. Karena dalam diri mereka mengalir darah pria itu.
"Kau tidak tidur?"teguran ibu Aiko memecah kesunyian malam.
Aiko hanya mendesah pelan.
"Besok kau harus menjalani terapi lagi,"tandas ibunya seraya membenahi letak selimut yang menutupi tubuh putrinya."Kata dokter perkembangan terapimu bagus."
Tapi Aiko tak tertarik sama sekali dengan ucapan ibunya.
"Kenapa ibu tidak pernah bercerita tentang ayah?"tanya Aiko pelan. Namun posisi tubuhnya membelakangi ibunya.
Ibu Aiko menghela nafas panjang. Enggan untuk menjawab pertanyaan putrinya.
"Dia orang seperti apa?"tanya Aiko lagi. Memojokkan ibunya.
"Ibu mohon jangan bertanya lagi tentangnya,"sahut ibunya geram. Wanita itu tak tahan lagi mendengar pertanyaan Aiko. Ia melangkah meninggalkan kamar putrinya dengan hati sedih.
Aiko tercekat melihat reaksi ibunya. Gadis itu menyesali ucapannya.
~~~%%~~~
Aiko hampir bisa berjalan lagi sekarang. Ia mulai berlatih menggunakan tongkat untuk berjalan. Sebuah keajaiban besar yang diberikan Tuhan untuknya. Tapi apa Tuhan juga akan memberikan keajaiban pada Yuri Sementara penyakitnya semakin parah. Dan sudah terlambat untuk melakukan operasi karena sangat sulit menemukan sumsum tulang belakang yang cocok untuknya.
Aiko hanya menatap dari balik kaca. Yuri sedang terbaring lemah. Gadis itu memejamkan matanya. Bagaimana jika ia tidak membuka matanya kembali?
Aiko menelan ludahnya. Gadis itu menatap sepasang kaki miliknya.
Ia ingin sekali menari untuk Aiko sebelum dia pergi untuk selamanya. Tapi masih adakah waktu untuk Yuri?
Aiko berjalan tertatih ke kamarnya seraya berpikir.
"Ibu?"Aiko terkejut melihat ibunya mengemasi pakaian milik Aiko.
"Kita akan pulang sore ini,"jelas ibunya.
"Apa?"ulang Aiko kaget.
"Kau sudah jauh lebih baik sekarang,"tandas ibunya masih sibuk mengemasi barang-barang putrinya."Untuk terapi,kau akan melakukannya seminggu dua kali."
Aiko terdiam. Ia masih belum ingin pergi. Ia masih ingin menemani Yuri disaat-saat terakhirnya.
"Kenapa? Apa kau tidak ingin pulang?"tanya ibunya melihat kediaman Aiko. Harusnya gadis itu gembira, tapi reaksinya malah sebaliknya."Oh ya, ibu dengar ada kompetisi lagi bulan depan. Tapi mungkin kau belum bisa ikut,"imbuh ibunya lagi.
"Benarkah?"tanya Aiko cepat. Tampaknya ia sangat tertarik mendengar berita itu. Ada secercah harapan yang tersirat didalam sorot matanya.
Aku harus sembuh, batinnya bertekad.
~~~%%~~~
Beberapa hari terakhir ini Aiko berlatih siang dan malam. Langkah-langkah kakinya belum seimbang, namun dipaksanya juga untuk menari. Membuat ibunya kesal. Ia takut jika Aiko keseleo atau sakit kakinya.
"Sudahlah, Aiko,"suruh ibunya."Tidak usah memaksakan diri begitu, nanti kakimu malah tambah sakit."
Aiko menghentikan gerakan kakinya. Ibunya benar. Ia memang belum secepat itu sembuh. Ia saja yang terlalu memaksakan diri.
Aiko menghempaskan tubuhnya diatas tempat tidur. Lelah mendera seluruh tubuh gadis itu.
"Makan dulu , Aiko,"suruh ibunya saat meletakkan piring berisi irisan buah apel diatas meja.
"Aiko tidak bisa menari lagi,"gumamnya nyaris tak terdengar.
"Bagaimana kalau kau melukis saja?"usul ibunya kemudian. Memberi ide.
"Apa ayah juga seorang pelukis?"tanya Aiko. Namun tak ada jawaban. Ibunya telah berlalu pergi dari kamarnya.
Namun beberapa saat kemudian ia mendengar suara ibunya tengah berteriak. Seperti sedang bertengkar dengan seseorang.
Aiko beranjak dari tempat tidurnya dan melihat apa yang terjadi di ruang tamu. Ia kaget melihat ayah kandungnya sedang bersitegang dengan ibunya. Ada apa? batinnya seraya mendekat.
Pria itu kaget melihat Aiko yang sekarang telah bisa berjalan lagi. Dan ia segera mengutarakan maksud kedatangannya pada Aiko.
"Yuri ingin bertemu denganmu, Aiko,"ucap pria itu.
"Sudah kukatakan untuk pergi dari sini..."sela ibu Aiko tak sabar.
"Pergilah,"ucap Aiko. "Ibu tidak mengizinkanku kemana-mana."
Ayah Aiko tercengang mendengar jawaban putrinya. Tiba-tiba saja gadis itu berubah.
"Aku mengerti,"ucap ayah Aiko."Tapi ini bukan untukku, ini untuk seorang anak kecil yang sekarat dan hampir mati,"lanjutnya dengan mimik memelas.
Aiko ragu. Ia menatap ibunya. Meminta pertimbangan.
"Dia tidak akan pergi kemana-mana,"tandas ibu Aiko.
"Kau ingin membalasku dengan cara seperti ini?"sela pria itu dengan sorot mata tajam ke arah ibu Aiko.
"Dia bisa menemui putriku saat kompetisi ballet tiga hari lagi. Bukankah dia sangat ingin melihat Aiko menari?"ucap ibu Aiko kemudian. Membuat Aiko terhenyak.
"Bisa-bisanya kau melakukan ini?!"sentak ayah Aiko."Dia nyaris mati, kau tahu itu?!"
"Ibu! Apa ibu sudah gila?"protes Aiko. Ia tidak mengerti akan sikap ibunya.
"Masuk kedalam kamarmu, Aiko!"teriak ibunya. Memaksa gadis itu.
Aiko menuruti perintah ibunya. Ia tak mengerti apa yang tengah ibunya pikirkan. Kenapa ia bisa sekejam itu? Padahal ia tahu Yuri sedang sekarat sekarang. Lagipula Aiko belum bisa menyeimbangkan langkah-langkahnya, bagaimana ia bisa ikut kompetisi itu?
Kasihan Yuri...
~~~%%~~~
Itu Yuri, batin Aiko. Gadis kecil itu duduk diatas sebuah kursi roda. Tubuhnya tampak lemah dan kurus. Wajahnya pucat dan matanya cekung. Keadaannya benar-benar memprihatinkan.
Tapi Yuri masih bertahan sampai hari kompetisi. Ini benar-benar sebuah keajaiban.
Aiko ragu. Ia tidak yakin pada kemampuannya sendiri. Tapi ketika namanya dipanggil kedepan, ia sempat melihat Yuri tersenyum padanya.
Semua demi Yuri, batinnya. Ia melangkah maju ke panggung dan memantapkan langkah-langkahnya.
Aiko mulai meliukkan tubuhnya. Tarian angsa yang selama ini ia pelajari ia tarikan sesempurna mungkin. Meski ia tahu ia tak akan memenangkan kompetisi, tapi ia melakukan semua itu demi adiknya, Yuri.
Tepuk tangan terdengar riuh mengakhiri pertunjukan Aiko. Gadis itu membungkukkan badan usai menari.
Dengan bergegas ia segera mencari keberadaan Yuri di antara barisan penonton. Lantas ia memeluk gadis itu dengan erat.
"Terima kasih telah datang,"ucap Aiko tak kuasa menahan haru.
"Tarian Kak Aiko bagus,"gumam Yuri lemah. Namun ia sempat menyunggingkan senyumnya.
Aiko tersenyum pahit.
"Sebenarnya tidak juga. Kau tahu, tarian itu sangat mudah. Tapi Kak Aiko saja yang tidak terlalu pandai," celutuk Aiko seraya tersenyum untuk menyegarkan suasana yang kaku itu.
"Yuri juga ingin bisa menari ballet seperti Kak Aiko,"sahut Yuri."Tapi sayangnya Yuri tidak punya banyak waktu."
"Yuri apa yang kau katakan ?"potong Aiko cepat."Kau pasti sembuh, kau tahu itu? Tuhan akan memberikan keajaiban seperti pada kak Aiko. Kau lihat kan, Kak Aiko bisa berjalan lagi."
Yuri terdiam. Tak menyambung percakapan.
~~~%%~~~
"Dia pasti sudah bahagia disana,"tandas ayah Aiko . Keduanya sama-sama menatap langit malam ini.
"Ya,"sahut Aiko pendek.
"Dan dia pasti sudah bertemu dengan ibunya,"lanjut pria itu lagi.
Aiko terhenyak.
"Maksudnya...."
"Ibu Yuri telah meninggal saat dia berumur tiga hari,"ungkap ayah Aiko.
Aiko terkejut. Jadi Yuri tidak punya ibu?
"Makanya dia selalu kabur dari kamarnya,"kenangnya."Karena ayah sibuk bekerja dan tidak punya waktu yang banyak untuk menemaninya."
Aiko hanya tercenung seraya membayangkan seraut wajah manis diujung langit. Wajah yang dihiasi senyum cerah.
"Kau mau memberi ayah kesempatan?"
Aiko menoleh dan menatap seraut wajah yang penuh harap. Wajah ayah kandungnya.
"Aiko ingin sekali memberi kesempatan. Tapi Aiko lebih memilih mendengarkan apa kata ibu. Kami akan pindah minggu depan,"jelas Aiko.
Ayah Aiko tersenyum pahit. Wajahnya menyembunyikan kepedihan yang mendalam.
"Jangan lupa untuk menghubungi ayah, Aiko."
Aiko tersenyum. Lantas menatap ke arah langit lagi dan melukis sebuah wajah manis disana. Wajah Yuri yang sedang tersenyum.
Dia telah menemukan kebahagiaan dan juga ibunya......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar