Rabu, 26 Juni 2013

AJARI AKU MENCINTAIMU


Aku terbangun dari rasa kantuk yang sempat menidurkanku meski sejenak. Lantas kupandang lagi kaca jendela pesawat sama seperti saat aku belum tertidur tadi. Namun pemandangan yang kulihat berbeda dari sebelumnya. Kini aku bisa melihat awan-awan yang berwarna putih. Seputih kapas.
Perjalanan masih panjang. Dan aku mulai merasa bosan.
"Kamu lapar?"
Teguran itu datang dari kursi disebelahku. Namun tak ingin kusahut. Bahkan aku tak menoleh padanya. Sama sekali.
Laki-laki itu bernama Alex. Kelak aku akan memulai hidup yang baru di negeri asing bersamanya.
Aku masih ingat kejadian tiga hari yang lalu. Ia menyeretku pergi dari hadapan Rio. Dengan paksa. Meski aku tak ingin pergi, namun aku tak kuasa untuk menolak. Maafkan aku, Rio.
"Kinanti....."
Alex menegurku kembali. Usai aku mengabaikan pertanyaannya sebelumnya.
Aku memalingkan wajahku sebentar padanya. Sekedar memberi respon ala kadarnya.
"Aku nggak lapar..."tandasku nyaris tak terdengar. Tanpa ekspresi.
"Tapi semenjak kita meninggalkan bandara, kamu belum makan, Kin."
Aku terdiam. Bahkan aku sudah lupa kapan terakhir kali aku menelan makanan.
"Makanlah,"ucapnya seraya menyodorkan sandwich yang beberapa saat lalu diberikan oleh seorang pramugari cantik.
Aku menggeleng pelan.
"Tapi...."
"Sudah kubilang aku nggak lapar,"potongku ketus. Secara refleks tanganku menepis sandwich yang dipegang Alex. Dan insiden kecil namun sangat memalukan itu terjadilah.
Roti isi itu jatuh berantakan dilantai pesawat. Membuat para penumpang lain yang sempat melihat kejadian itu menatap kami dengan tatapan aneh. Dan seorang pramugari datang tergopoh-gopoh untuk membersihkan lantai kabin pesawat. Membuat Alex merasa menyesal dengan melontarkan maaf berkali-kali pada pramugari itu.
~~~##~~~
Aku melemparkan tubuhku begitu sampai di apartemen milik Alex. Apartemen itu adalah tempat tinggalnya sewaktu menuntut ilmu di Canada. Dan untuk beberapa tahun kedepan, kami akan menempatinya berdua. Mungkin juga untuk selamanya andai kontrak kerjanya diperpanjang.
Kepalaku pusing. Perbedaan waktu dan suhu udara membuat tubuhku bereaksi.
"Istirahatlah dikamar,"suruh Alex membuatku sedikit terkejut. Aku nyaris tertidur tadi.
Aku tak menjawab,namun aku menuruti ucapannya. Aku beranjak masuk ke dalam kamar milik Alex.
"Aku buatkan sesuatu yang hangat,"tandasnya kemudian pergi.
Laki-laki itu tampak baik dan perhatian semenjak kami meninggalkan bandara. Tak seperti sebelumnya. Saat aku masih bersama Rio.
Laki-laki itu sering menunjukkan kecemburuannya dihadapanku. Tapi ia memang licik. Ia membawaku pergi ke seberang benua untuk menjauhkanku dari Rio. Otaknya memang jenius. Dengan begitu ia bisa memilikiku tanpa takut bersaing dengan siapapun.
Ia berhasil mengikatku dengan sebuah cincin pernikahan. Tapi tidak dengan hatiku. Karena aku telah meninggalkan hatiku di Makassar. Pada sebuah hati milik seorang laki-laki bernama Rio.
"Minumlah, Kin,"suara Alex terdengar lagi. Membuatku tersadar dan segera mengusap air mata yang tanpa sadar jatuh begitu saja ke atas bantal.
"Aku membuatkanmu mi instant,"imbuhnya."Maaf, kulkasku masih kosong."
Aku bangkit dan meraih cangkir teh dari genggamannya. Aku meneguk isinya yang hangat. Tiba-tiba saja perutku menunjukkan gejala kelaparan, padahal aku sama sekali tak punya selera makan.
Aku melahap mi instant buatannya. Cuaca dingin diluar agaknya memaksaku untuk segera mengisi perut untuk bertahan agar kuat melawan suhu udara.
~~~##~~~
Aku jatuh sakit. Mungkin karena aku belum bisa beradaptasi di tempat baru. Mungkin juga karena hati dan fisikku yang kelelahan.
Alex merawatku dengan sabar. Tampaknya ia sedang mencari simpatiku dengan menunjukkan perhatian lebih. Tapi semua itu tidak akan merubah apapun. Hatiku tidak akan jatuh begitu saja hanya karena ia bersikap baik padaku.
"Apa kamu sudah merasa baikan?"
Ia menegurku pagi ini. Saat itu aku tengah menikmati cahaya matahari yang menembus kaca jendela kamar. Tampaknya musim telah berubah.
"Aku harus pergi,"tandasnya seraya mendekat."Pekerjaan sudah menungguku."
"Pergilah," sahutku tanpa menoleh.
"Tapi aku nggak bisa meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini,"ucapnya.
Aku tersenyum pahit.
"Kalau begitu pulangkan aku,"ucapku spontan. Kalimat itu sama sekali tak terpikirkan olehku sebelumnya.
Aku sadar jika kata-kataku tadi bisa memicu pertengkaran diantara kami berdua. Tapi sebuah pertengkaran kecil mungkin akan justru membuatku merasa lebih baik.
Namun setelah beberapa detik lamanya, Alex tak menunjukkan reaksi apapun. Ia hanya menatapku tanpa melontarkan sepatah kalimatpun.
"Lex..."aku menyentaknya."Kamu tahu kan, aku mencintai orang lain,kenapa kamu...."
Namun kalimatku terpotong olehnya.
"Kin, aku harus pergi sekarang. Aku sudah menyiapkan makanan di meja makan. Jika kamu butuh sesuatu kamu bisa menelponku. Kamu tahu kan harus menelpon kemana,"
Laki-laki itu mengecup keningku dengan cepat. Lantas ia beranjak pergi dari hadapanku. Meninggalkanku yang masih tertegun menatap sikapnya.
Sial, gerutuku. Padahal aku sengaja memancing perdebatan dengannya, tapi ia malah mengalihkan topik pembicaraan.
Ia memang hebat. Ia telah merencanakan semua ini dari awal. Aku baru tahu jika ia punya trik jitu untuk membuatku takluk padanya. Tapi aku pastikan semua rencananya tidak akan berhasil. Aku tidak akan tertipu olehnya. Tidak akan!
~~~##~~~
Aku duduk memeluk lutut diatas sofa. Acara televisi tak ada satupun yang kusuka. Namun aku masih menatap layar persegi itu dengan pandangan kosong.
Alex belum pulang. Padahal jam dinding menunjuk angka tujuh. Aku tidak tahu berapa jam orang biasanya bekerja disini. Tapi hari ini adalah hari pertamanya bekerja.
Dan aku mulai dilanda kebosanan. Entah sampai kapan aku akan menjalani kehidupan seperti ini.
Namun aku membuka mataku yang nyaris terpejam manakala aku mendengar suara detak sepatu. Alex pulang.
"Maaf aku telat,"ucapnya sebelum aku bertanya."Aku sedikit sibuk hari ini. Tapi setelah beberapa hari aku akan pulang lebih cepat,"jelasnya.
Memangnya aku bertanya? batinku kesal. Aku tidak peduli ia akan pulang jam berapa.
"Kamu sudah makan?"Alex bertanya seraya melepas sepatu dan dasinya.
Aku hanya menggeleng. Malas untuk bersuara.
"Kalau begitu biar aku buatkan sesuatu,"tandasnya seraya beranjak dari tempat duduknya lantas ia berangsur ke dapur.
"Kamu mau nasi goreng?"serunya dari arah dapur.
Nasi goreng? batinku. Memangnya ia bisa memasak? Tapi aku sangat suka nasi goreng. Lagipula aku sudah bosan dengan western food.
Dan sepuluh menit kemudian dua porsi nasi goreng terhidang di atas meja makan.
"Bagaimana?"tegur Alex menanyakan pendapatku tentang hasil masakannya.
Masakannya enak juga. Bahkan aku sama sekali tidak bisa memasak. Tapi aku tidak berkomentar apapun. Aku takut jika ia besar kepala nanti.
"Jika kamu bosan tinggal dirumah terus, kita bisa pergi jalan-jalan akhir pekan nanti,"tawar Alex. Ia mencuci peralatan makan seusai makan malam berakhir. Sementara aku masih duduk di kursi sembari menikmati segelas yogurt.
Aku tidak pernah melakukan pekerjaan rumah tangga apapun disini. Karena aku memang tidak ingin melakukannya.
"Aku malas,"sahutku.
"Kenapa? Kamu bisa membeli sesuatu,"sahutnya."Baju atau sepatu misalnya,"tandasnya tak kehabisan opsi.
"Simpan saja uangmu,"gumamku. Aku bangkit dan meninggalkan tempat dudukku. Untuk kesekian kalinya aku mengabaikan dirinya. Sama seperti yang biasa aku lakukan.
~~~##~~~
Aku terbangun tiba-tiba. Sesuatu mendesak didalam perutku dan ingin segera dikeluarkan. Aku merasa mual dan ingin muntah.
Dengan tergesa aku menuruni tempat tidur dan berlari ke kamar mandi. Namun saat aku hendak membuka pintu kamar mandi, mendadak Alex muncul didepan pintu. Membuatku kaget dan hampir menjerit.
Laki-laki itu baru saja keluar dari kamar mandi dan sialnya ia tidak memakai pakaian. Hanya selembar handuk yang melilit di pinggangnya. Rambutnya masih basah begitu juga tubuhnya.
Aku buru-buru memalingkan wajahku darinya. Entah kenapa tiba-tiba saja aku merasa risih melihatnya seperti itu. Aku malu memergokinya bertelanjang dada.
Aku menyeruak masuk kedalam kamar mandi secepat mungkin lantas memuntahkan semua yang sejak tadi mendesak perutku.
"Kamu kenapa, Kin?"
Ah, laki-laki itu lagi batinku kesal. Ia menyusulku kekamar mandi.
Ia memijit-mijit tengkukku namun segera ku tepis. Aku benar-benar tidak nyaman berada sedekat ini dengannya usai melihat sebagian tubuhnya tadi. Terlebih aroma wangi sabun mandi miliknya membuat imajinasiku pergi kemana-mana.
Sial. Kenapa pikiranku melantur kemana-mana.
Aku kembali ke kamar diikuti olehnya.
"Kamu sakit lagi?"desaknya."Kita ke rumah sakit saja,"usulnya kemudian.
Aku tak menyahut. Bahkan untuk melihatnyapun aku malu. Aku hanya memejamkan mataku seraya menyembunyikan tubuhku dibawah selimut.
"Kin...."
"Aku nggak pa pa,"tandasku lirih."Mungkin aku masuk angin,"jelasku.
"Tapi kamu harus ke dokter..."
"Kubilang nggak usah,"ucapku ketus. Lama-lama aku kesal dibuatnya. "Sebaiknya kamu pergi ke kantor sekarang. Aku mau istirahat"
"Nggak,"balasnya tegas."Kita harus pergi ke rumah sakit. Kamu sudah terlalu sering sakit semenjak tiba disini,"ia mencoba memaksakan keinginannya. Dan ini untuk pertama kalinya.
"Aku baik-baik saja, Lex,"aku mencoba ngotot.
Tapi ia telah bersiap-siap untuk mengantarku ke rumah sakit.
Aku merasa baik-baik saja. Toh aku tidak sedang hamil.Mungkin aku hanya masuk angin.
Aku baru menyadari sesuatu. Tiga bulan telah berlalu semenjak kami menikah. Tapi sampai saat ini aku masih menjaga jarak dengannya. Kami belum melakukan ritual malam pertama!
Rupanya aku keracunan yogurt yang kuminum semalam. Mungkin minuman itu sudah kedaluwarsa.
~~~##~~~
Aneh, batinku. Aku melihat Alex tampak termenung sendirian seraya menatap keluar jendela malam ini. Pantas saja aku tidak mendapatinya di atas tempat tidur.
Laki-laki itu.....
Ah, bodoh. Aku merutuki diriku sendiri. Peristiwa tadi pagi melintas lagi di pikiranku. Imajinasiku juga terbang kemana-mana. Padahal aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. ,
"Kamu belum tidur?"tegurku pelan agar tidak membuatnya kaget.
Alex membalikkan tubuhnya. Dan aku bisa melihat keanehan tersirat diwajahnya. Sama sekali tidak ada kesan licik atau penipu terpancar dari sorot matanya seperti yang selalu aku gambarkan. Ia tampak kacau.
"Kamu sendiri kenapa bangun dari tempat tidur? Memang kamu sudah baikan?"ia malah mengkhawatirkanku.
Aku mengangguk.
"Kamu kenapa?"desakku ingin tahu.
Ia menghela nafas panjang. Terdiam sejenak lantas mengutarakan isi hatinya.
"Aku baru saja berpikir,"ucapnya.
"Berpikir tentang apa?"kejarku.
"Mungkin aku akan mengakhiri semuanya," tandasnya terdengar berat. Membuatku semakin bingung dibuatnya.
"Aku baru saja menyadari sesuatu barusan.Bahwa selama bersamaku kamu nggak pernah bahagia,"lanjutnya kemudian."Kamu juga sering sakit-sakitan. Semua karena aku. Karena aku nggak pernah bisa membuatmu bahagia. Harusnya aku nggak pernah merebutmu dari Rio. Kalau saja aku nggak begitu egois untuk memilikimu,mungkin sekarang kamu bahagia bersama Rio. Maafkan aku...."
Aku terhenyak mendengar penuturannya. Kalimatnya seperti guncangan badai yang menghantam dadaku tiba-tiba.
"Aku akan mengantarmu pulang. Karena aku sadar hatimu bukan disini. Sudah seharusnya kamu kembali ke tempat yang semestinya,"lanjutnya lagi.
Oh Tuhan, jerit hatiku. Aku membuang pandanganku ke tempat lain.
Harusnya aku senang mendengar penyesalannya. Karena ia akan melepaskanku. Tapi kenapa hatiku merasa aneh. Aku sedih mendengar kalimat-kalimat bernada pilu yang baru saja ia lontarkan.
"Besok lusa aku akan mengantarmu ke Indo,"
Aku tak merespon ucapannya. Aku malah bergerak pergi kembali ke kamar. Lantas meringkuk dibawah selimut. Membelakangi tempat Alex berdiri. Tapi aku tidak memejamkan mata. Pikiranku mengembara entah kemana.
Tanpa sadar bantalku telah basah beberapa detik kemudian.
~~~##~~~
Aku duduk tertegun di tepian tempat tidur sembari membuang pandanganku keluar jendela. Meski aku hanya bisa melihat segumpal awan berwarna putih disana.
Alex sedang sibuk mengemasi barang-barangku dan memasukkannya kedalam koper. Aku memang sengaja tak membantunya karena sesungguhnya aku tak ingin pulang.
Aku mulai betah tinggal di tempat asing ini. Aku juga mulai terbiasa menjalani hari-hariku bersamanya. Bahkan aku hendak membangun sebuah perasaan tulus untuknya. Tapi tiba-tiba saja ia berniat meruntuhkan semuanya.
Apa ini adil untukku? batinku.
Apa setelah semua kembali ke tempat semula, aku dan Alex akan baik-baik saja?
Tapi aku hanya wanita rapuh yang mudah sekali hanyut oleh perasaan. Haruskah aku mengatakan apa yang menghuni di pikiranku sekarang ini?
"Penerbangan kita jam dua siang ini. Kamu sudah siap, Kin?"
Alex menoleh ke arahku.
"Kin....."ia menegurku seperti biasa saat aku mengacuhkan ucapannya.
Aku menatapnya dalam-dalam.
"Apa aku bisa nggak pergi sekarang?"tanyaku padanya.
"Kenapa?"desaknya."Bukankah kamu selalu bilang ingin pulang?"
"Perutku sakit,"ucapku lirih. Ini adalah sebuah kebohongan yang baru pertama aku lakukan padanya. Untuk menunda kepergianku.
"Benarkah?"Alex bergegas mendekat dan meneliti wajahku."Kamu sudah minum obat? Sebaiknya kamu istirahat,"
Lihatlah betapa ia sangat mencemaskan keadaanku. Bagaimana jika kelak aku jauh darinya? Apa ia tidak akan mati karena mencemaskanku?
~~~##~~~
Aku tidak tahu kemana kakiku menuju. Ia melangkah terus dan terus menyusuri jalanan.Senja telah merapat dan aku belum juga meumutar arah kembali.
Mungkin aku sedang tersesat di tempat asing ini. Tapi entah kenapa pikiranku tidak ketakutan sama sekali.
Akhirnya aku menghentikan langkahku begitu mendapati sebuah bangku taman yang kosong. Aku berhenti disana untuk beristirahat.
Sekelilingku nyaris menggelap.
Di kejauhan tampak sepasang muda mudi tengah berdebat kecil. Membawa ingatanku pada Alex.
Ah, sebaris nama itu pernah sangat kubenci. Namun pada akhirnya aku menyerah pada kegigihannya mencintaiku. Aku rasa aku telah jatuh.
Ia telah membuktikan perasaannya begitu tulus padaku. Dan cintanya melebihi besar cinta Rio padaku. Bagaimana aku bisa mengacuhkannya meski itu hanya berpura-pura.
"Kinanti!"
Aku terkesiap. Teriakan itu membuyarkan lamunanku seketika .
Aku menoleh dan tiba-tiba saja Alex menubruk tubuhku.
"Kenapa kamu pergi sendirian? Kamu kan nggak kenal daerah ini. Bagaimana kalau kamu tersesat? Mana kamu nggak bawa handphone lagi,"ucapnya tampak cemas. Raut wajahnya sepucat bulan kesiangan.
Aku menatap wajahnya dalam-dalam. Secemas inikah dirinya?
"Kamu mencemaskanku?"tanyaku seraya mengamati ekspresi wajahnya.
"Tentu saja,"sahutnya cepat.
"Kalau kamu mencemaskanku kenapa kamu membiarkanku pergi?"tanyaku berusaha memojokkannya.
Alex tercekat. Ia menatapku seperti tak percaya.
"Apa aku membebanimu?"tanyaku lagi.
Alex menggeleng.
"Karena kamu hanya akan menderita jika bersamaku,"ucapnya.
Aku tersenyum pahit mendengar ucapannya.
Menderita? Konyol sekali ucapannya. Bahkan ia telah membuatku tak bisa hidup tanpanya.
"Kita pulang sekarang?"
Alex menarik tanganku. Sama seperti saat ia menyeretku pergi dari hadapan Rio kala itu. Namun perasaanku saat ini dengan kala itu berbeda.
~~~##~~~
Aku meringkuk dibawah selimut. Namun mataku masih terbuka. Sejak tadi malam aku tak beranjak dari atas tempat tidur. Aku sengaja mogok makan dan bicara.
Bantalku juga basah. Karena semalaman air mataku tak mau berhenti keluar. Padahal aku sudah mencoba menghentikannya.
"Kamu sakit?"
Suara Alex menyapaku. Seperti biasa selalu mencemaskan keadaanku. Padahal aku merasa baik-baik saja.
Aku sengaja mendiamkan pertanyaannya.
"Kin..."
Lagi-lagi ia menegurku dengan nada yang sama. Tangannya bergerak meraba keningku. Memeriksa suhu badanku.
"Aku baik-baik saja, Lex,"aku menepis tangannya secepat kilat sebelum berhasil menyentuh kulitku.
"Tapi Kin..."
"Sudah jangan pedulikan aku,"ucapku ketus."Pergi saja ke kantor."
"Kamu marah?"
"Untuk apa aku marah?"sahutku seraya membalikkan posisi berbaring. Agar aku bisa membelakangi tubuhnya.
"Aku minta maaf jika aku salah..."
Aku mendengus kesal. Aku paling benci mendengarnya mengucapkan maaf.
Aku bangkit dan duduk menghadapnya. Mencoba menyelami teduh telaga didalam sepasang mata beningnya.
"Apa kamu masih mencintaiku?"tanyaku beberapa saat kemudian.
Alex mengangguk pelan.
"Lalu kenapa kamu bersikeras ingin mengantarku pulang?"desakku lagi."Kamu bodoh tahu nggak?!"seruku kesal.
Dan laki-laki itu hanya diam melihat reaksiku.
Aku dan Alex sedekat ini tapi kami tak pernah saling memiliki satu sama lain. Apa aku harus mengutarakan isi hatiku padanya?
Entah kenapa tiba-tiba saja mataku kembali berkabut. Memaksaku menundukkan wajah di hadapannya. Keangkuhan yang selama ini kugenggam erat dihatiku luruh seketika dihadapannya.
"Kamu menangis?"tanya Alex seraya menyentuh kepalaku.
"Apa kamu mau memelukku sebentar saja?"pintaku kemudian.
Alex meraih tubuhku sejurus kemudian. Rasa hangat dan nyaman menjalari tubuhku. Aku ingin selamanya berada dalam dekapannya seperti ini.
"Kumohon jangan biarkan aku pergi..."bisikku."Karena aku ingin belajar untuk mencintaimu."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar