Rabu, 08 Oktober 2014

Leaves of Autumn


"Beliin aku es krim Yud,"rengekku seraya menarik lengan Yudhis manja.Sedang kepalaku mengisyaratkan agar ia mengajakku pergi ke stan es krim yang berada tidak jauh dari tempat kami berdiri.
Yudhis tampak mendengus.Namun aku tak peduli dan bergegas menyeret cowok itu ke stan es krim lantas memesan dua cone es krim rasa cokelat.
"Enak kan Yud.Kapan lagi kamu akan makan es krim seperti ini bersamaku,"celutukku seraya menjilati es krim ditanganku.
Yudhis menghela nafas panjang.Es krim ditangannya bahkan masih utuh sama sekali.
"Cepat habiskan Yud,"suruhku.Karena aku masih ingin berkeliling mal sampai kakiku pegal.
"Kita mau kemana lagi sih Rhein?"tanya Yudhis malas.Ia tampak sibuk menyusul langkahku dengan sesekali menjilati es krim ditangannya.
Aku tertawa kecil melihat cowok itu kerepotan membawa beberapa kantong belanjaan milikku,sementara tangan kanannya harus memegang cone es krim.
"Huh...mestinya kita pakai trolly saja,"keluhku seraya merebut kantong belanjaanku dari tangan Yudhis.
"Kita pulang saja Rhein,"usul Yudhis beberapa saat kemudian setelah ia melahap habis es krimnya.
"Bentar lagi Yud.Please...aku masih ingin cari dress,"ucapku memohon.Aku tahu Yudhis pasti sudah sangat lelah dan bosan seharian berkutat didalam mal menemaniku belanja.
"Tapi aku nggak ingin kamu kecapekan Rhein..."ucapnya penuh perhatian.
"Aku nggak capek Yud..."
"Rhein,"potongnya cepat.
"Jangan merusak kebahagiaanku kali ini Yud.Sekali ini saja,"timpalku memohon.
Yudhis menarik nafas panjang.Cowok itu terpaksa mengalah kali ini.Aku berjanji ini adalah kali terakhir aku menyusahkannya.
Akhirnya tiga jam kemudian kami keluar dari mal seraya membawa banyak kantung belanjaan.Kami telah bersiap meluncur pulang ketika matahari nyaris tenggelam.
"Mungkin besok kita bisa nonton film atau nonton pertandingan bisbol.Pasti menyenangkan.Kamu mau menemaniku lagi kan?"celotehku seraya memasang sabuk pengaman.
"Rhein,cukup!"
Aku tercekat mendengar teriakan Yudhis.Cowok itu sedang melotot tajam ke arahnya.Sepertinya ia marah padaku.
"Kenapa?"tanyaku lirih.Apa ada perkataanku yang menyinggungnya.Kurasa tidak.
"Kumohon berhentilah bersikap seperti itu,"ucapnya."Kamu harus lebih memperhatikan kesehatanmu dan jangan sampai kelelahan.Kamu sedang sakit Rhein,"imbuhnya seolah-olah aku sudah lupa dengan kondisi tubuhku.
"Apa aku nggak boleh menikmati hidupku?"cecarku cepat."Aku memang sedang sakit.Dan aku sadar cepat atau lambat aku akan mati.Sekarang atau nanti akan sama hasilnya.Aku akan mati Yud!"
"Rheina!"teriak Yudhis keras.Matanya tampak merah memendam amarah.
Aku mendengus kesal.Lantas membuang pandanganku kesamping jendela mobil.
"Kumohon jangan bicara seperti itu,Rhein,"ucapnya merendahkan suara.
Aku terdiam.Tak mau melanjutkan percakapan yang mulai menjadi tegang itu.
Tak ada sahutan.Yudhis meluncurkan mobilnya perlahan keluar dari area parkir basement mal.Tanpa perbincangan sama sekali.
$$$$$
"Darimana saja Rhein?Kok jam segini baru pulang?"tegur mama saat aku menutup pintu ruang tamu.
"Dari jalan-jalan Ma,"sahutku seraya menyerahkan sebuah kantung belanjaan berisi makanan siap saji dari mal.Aku sangat hafal mama sangat menyukai makanan itu.
"Cepat masuk dan istirahat ,"suruh mama kemudian."Kamu pasti sangat capek."
"Ya Ma,"sahutku.
Aku bergegas menuju kekamar dan saat hendak mengganti pakaianku tiba-tiba saja aku dikejutkan suara Sheila.
"Darimana saja Kak?"serunya membuatku tersentak."Enak banget ya,hari Minggu gini pacaran.Sementara aku mesti membersihkan rumah dan menyetrika.Nggak dimarahin lagi sama mama.Hidup Kak Rheina enak banget ya,"sindir Sheila dengan nada sinis.
Aku tercekat mendengar suara adikku yang umurnya hanya selisih dua tahun denganku itu.
"Sheila...ngomong apa sih kamu,"ujarku mencoba bersabar menghadapi adik kesayanganku itu.
"Aku ngomong apa adanya Kak,"timpal Sheila cepat."Kak Rheina emang beruntung jadi anak kesayangan mama.Aku jadi curiga apa aku benar-benar anak mama papa atau bukan."
"Sheila!"teriakku keras.Hampir saja aku melayangkan tamparanku ke wajah Sheila.Tapi aku mengurungkan niatku.
Sementara Sheila tersenyum sinis.Matanya nanar melihat kantung-kantung belanjaanku yang tergeletak diatas tempat tidur.Entah apa yang ia pikirkan saat itu.
"Mungkin aku sedikit menyesal dilahirkan dirumah ini dan punya kakak sepertimu.Mestinya aku menjadi anak tunggal didalam sebuah keluarga yang kaya raya,"ujar Sheila beberapa saat kemudian.Gadis itu tampak menerawangkan matanya.Berkhayal.
Oh Tuhan,batinku gemetar mendengar ucapan Sheila.
"Maaf jika aku mengganggu kebahagiaan Kak Rheina hari ini.Selamat beristirahat."
Bruk!
Gadis itu membanting pintu kamarku dengan keras. Ia sedang marah padaku.Sementara aku hanya bisa diam tanpa berbuat sesuatu.
Aku jatuh terduduk diatas tempat tidur usai kepergian Sheila.
Aku dan Sheila memang tak pernah akur dari dulu.Tapi sesungguhnya aku sangat menyayanginya.Sheila adalah adik kesayanganku.Ia manis dan pandai.Tak sepertiku yang biasa-biasa saja.
Dan belanjaanku itu kubeli dengan tabunganku selama setahun ini.Semua untuk Sheila.Termasuk sepatu high heels impian Sheila.Kubeli sesuai dengan ukuran kakinya.Semua untuk dirinya bukan untukku.
Aku merebahkan tubuhku yang terlampau penat.Perlahanaku terlelap tanpa kusadari.Bahkan celana jeans dan jaketku masih melekat ditubuhku.
Mungkin suatu saat nanti Sheila akan mengerti....
$$$$$
"Nggak ikut olahraga Rhein?"tegur Ben.Cowok itu menghampiri tempat dudukku ditepi lapangan.
Aku menggeleng seraya tersenyum.
"Kemana saja dua hari ini?Kamu sakit?"tanya Ben lagi.Ia mengambil tempat duduk disebelahku.Nyaris membuatku tak bisa bernafas.Tubuhku gemetar seketika.
"Cuma kecapekan,"jawabku berusaha menyembunyikan kekikukanku."Tapi sekarang udah baikan kok,"imbuhku cepat seraya tersenyum.
"Oh,"Ben manggut-manggut."Makanya jaga kesehatan Rhein,"ucapnya seraya menepuk-nepuk punggungku.Membuat hatiku tambah tidak karuan.Andai saja Sheila tidak mempunyai perasaan yang sama pada Ben,mungkin aku akan memperjuangkan cintaku pada cowok itu.
"Aku ke lapangan dulu ya,"pamit Ben beberapa detik kemudian.
Oh Tuhan...batinku.Cowok itu benar-benar membuatku tak bisa berkutik.Tiga tahun aku mengenalnya,selama itu pula aku hanya bisa memendam perasaanku.Dia cinta pertama dan mungkin cinta terakhirku.
"Segitunya ngelihatin Ben..."
"Yudhis!"pekikku nyaris terloncat.Dia telah berada disampingku tanpa kusadari."Kenapa sih kamu selalu ngagetin orang?"keluhku kesal seraya menimpuk pundaknya.
Yudhis tak bereaksi.Ia meneguk air mineral dari dalam botol yang ia bawa dari dalam kelas.
"Aku kan udah bilang,jangan sampai kecapekan Rhein,"tandas Yudhis mengungkit ucapannya hari minggu kemarin.
Aku tak menyahut.Mataku masih fokus ke lapangan.Kearah teman-teman yang sibuk bermain basket.
"Kalau kamu menyukainya kenapa nggak bilang secara langsung?"tanya Yudhis mengalihkan topik pembicaraan.Yang ia maksud pastilah Ben...
"Untuk apa?"gumamku.
"Setidaknya dia tahu kamu menyimpan perasaan untuknya,"sambung Yudhis.
Aku tersenyum pahit.
"Nggak ada gunanya Yud.Sebentar lagi aku akan menghilang dari dunia ini.Dan lebih baik jika dia nggak tahu perasaanku."
"Berhentilah bicara tentang kematian,Rhein. Kamu kan tahu aku nggak suka mendengarnya,"ucap Yudhis setengah emosi.
"Itu kenyataan Yud,"sahutku cepat."Virus itu akan terus berkembang dan memakan sel tubuhku perlahan-lahan.Kekebalan tubuhku akan semakin melemah,penglihatanku juga akan semakin berkurang dan aku tidak akan bisa berjalan lagi sampai..."
"Cukup Rhein!"teriak Yudhis keras.Cowok itu bangkit dari duduknya seraya memendam amarah yang tengah meluap.Sepasang mata milik Yudhis melotot.Menatap tajam kearahku.
Untuk beberapa waktu lamanya Yudhis hanya menatapku tanpa sepatah katapun. Wajahnya tampak merah karena memendam amarah.Namun tiba-tiba saja ia beranjak pergi dari hadapanku.Masih tanpa sepatah katapun.
Aku hanya bisa menatap punggung Yudhis yang bergerak menjauh.
Aku kasihan pada Yudhis.Selama ini aku hanya memanfaatkan persahabatan kami. Ia adalah sahabat terbaik yang aku miliki seumur hidup dan aku hanya bisa menyusahkan dirinya.Aku sering membebaninya dengan masalah yang menimpaku.Aku sering memperlakukannya seperti kekasihku padahal kami hanya sebatas teman.Aku telah berpura-pura pada diriku sendiri.Melampiaskan perasaanku yang tak tersampaikan padanya.Meski Yudhis tahu hal itu tapi ia tetap memperlakukanku dengan baik.
Dan aku masih mengabaikan perasaan Yudhis sampai hari ini.Padahal ia selalu ada untukku...
$$$$$
"Rheina!Apa yang kamu lakukan?!"
Teriakan mama menghentikan pergerakan tanganku memasukkan pigura kedalam kardus.Mama terburu-buru mendekat lantas merebut benda itu dari tanganku.
"Kenapa kamu membereskan semua barang-barangmu?"desak mama tampak tak sabar.Ia sedikit terpukul melihat kelakuan.Aku baru saja sampai dari sekolah bahkan belum sempat mengganti seragam tapi malah membereskan barang-barang pribadiku dan menempatkannya didalam kardus.Yang nantinya aku masukkan kedalam gudang.
Aku tak langsung menyahut.Dengan gerakan gontai aku berpindah ke tempat tidur dan duduk diatasnya. Sedang mama mengikuti perbuatanku.
"Rhein..."
"Rheina akan mati Ma.Cepat atau lambat,"tandasku bergumam.Lirih.
"Rheina!"teriak mama kaget.Walaupun dia sudah tahu itu sepertinya tidak perlu berteriak sekeras itu."Kamu nggak boleh berkata seperti itu Rhein.Mama nggak suka.Kamu tahu itu?"
Kulihat sepasang mata milik mama tampak berkaca-kaca.
"Saat Rheina nggak ada nanti Rheina nggak ingin dikenang ma.Rheina nggak ingin kalian sedih saat masuk kedalam kamar ini.Jadi Rheina mengemasi barang-barang Rheina,"tandasku.
"Kamu adalah putri kesayangan mama Rhein,"sela mama seraya mengusap rambutku dengan lembut."Kita masih punya waktu untuk bersama.Jadi berjuanglah untuk tetap hidup demi mama..."
Aku tersenyum pahit mendengar ucapan mama.
Virus itu telah menyebar dengan cepat ma,batinku.Bahkan untuk mengingat pelajaranpun otakku sudah tidak mampu.Tadi disekolah aku nyaris tak bisa mengerjakan soal ulangan satupun.Aku takut tak bisa mengingat orang-orang disekitarku lagi.
"Makanlah dan istirahat,"suruh mama beberapa saat kemudian."Jangan lupa minum obatmu.Dimana kamu meletakkan obatmu?"tanya mama seraya membuka laci meja belajarku untuk mengambil obat milikku. "Obatmu sudah habis Rhein?Bukankah baru tiga hari yang lalu mama baru menebusnya..."
Aku tak menyahut.Hanya menatap mama kaku.
"Rheina!"tegur mama setengah berteriak.Mengingatkan aku bahwa ada pertanyaan yang mesti kujawab
"Rheina membuangnya ma,"gumamku lirih.Seolah tanpa rasa berdalah sedikitpun.
"Astaga Rhein!"teriak mama lagi.Ia tampak kaget dan terpukul mendengar pengakuanku."Apa kamu sudah gila Rhein?" tanya mama seraya mengguncang bahuku kuat-kuat.
"Obat itu nggak bisa nyembuhin Rheina ma.Rheina akan tetap mati.Sekarang atau nanti sama saja!"aku balas berteriak kali ini.
Plak!
Sebuah tamparan keras melayang ke pipiku secepat kilat.
Uh...pipiku panas.
"Kamu tega menyakiti hati mama dengan bicara seperti itu..."gumam mama dengan mata memerah.
Wanita itu menatapku dengan perasaan terluka.
"Ma..."
Mama berangsur pergi dari hadapanku masih dengan tangis yang tertahan dimatanya.
"Ada apa Kak?Kak Rheina berantem sama mama?"Sheila menyeruak masuk kedalam kamarku tanpa permisi.Gadis itu masih berseragam dan tas ranselnya masih menggantung dipunggung.Ia baru saja datang dari sekolah.
Aku tak menjawab.Hanya mengisyaratkan pada Sheila untuk membiarkan aku sendirian.
$$$$$
Huh...
Aku menutup buku pelajaranku padahal baru lima menit yang lalu aku membukanya. Percuma,batinku.Toh aku tidak akan bisa mengingat materi pelajaran itu sama sekali.
Aku merebahkan punggungku diatas tempat tidur seraya menatap kearah langit-langit kamar.
Aku sadar ada yang mulai berubah pada tubuhku.Kondisiku mulai menunjukkan penurunan akhir-akhir ini.Sedikit demi sedikit aku akan kehilangan semuanya.
"Kak Rhein...lagi sibukkah?"
Aku tercekat mendengar teguran dari arah pintu kamarku yang telah terbuka.Dan Sheila telah menghambur ke arah tempat tidur sebelum aku sempat menjawab pertanyaannya.
Gadis itu merebahkan tubuhnya diatas tempat tidurku.
"Ada apa?"tanyaku sedikit heran.Tak biasanya ia bersikap sehangat itu padaku.
"Kak...aku udah jadian sama Ben,"ungkap Sheila mengejutkan.
Aku terdiam seketika.
Ternyata Ben menyimpan perasaan yang sama dengan Sheila.Padahal aku yang mengenal Ben duluan,tapi hal itu sama sekali tidak berpengaruh pada perasaan Ben.Sheila sangat beruntung bisa meraih simpati Ben.
Aku tak menggubris celotehan Sheila yang begitu bersemangat menceritakan hal tentang Ben.Aku hanya bisa diam seraya menerawang ke langit-langit kamar.Melukis sisa-sisa perasaan yang tengah terluka disana.
"Kakak lupa memberikanmu sesuatu ,"ucapku beberapa saat setelah Sheila mengakhiri celotehannya.
"Apa?"sahut gadis itu cepat.
"Itu,"tanganku menunjuk kearah kantung-kantung belanjaan yang tergeletak diatas meja belajarku semenjak beberapa hari yang lalu.
Sheila bangkit dan bergegas memeriksa isi kantung-kantung itu.Dan ia tampak girang manakala menemukan sepasang stiletto berwarna perak dan menunjukkannya padaku.
"Ini juga buatku?"tanyanya tak yakin.
"Iya,semua itu untuk kamu,"tandasku.
"Benarkah?"sekali lagi ia mengulang pertanyaannya.
Aku mengangguk iya.
"Trims kak,"teriaknya girang ."Eh tapi kenapa kak Rheina memberi aku hadiah sebanyak ini.Ada apa?"tanyanya kemudian.Ia tampak sedikit curiga dengan pemberianku itu.
Aku merasa terpojok.Aku belum mempersiapkan jawaban jika Sheila mempertanyakan hadiah-hadiah itu.
"Kamu nggak mau hadiahnya?Sini kembalikan,"ucapku berpura-pura sewot.
"Eh nggak nggak,"sahut Sheila cepat.Gadis itu buru-buru pamit seraya menyambar kantung-kantung itu dan berlari keluar dari kamarku.
$$$$$
"Apa ini Rhein?"
Pertanyaan itu terlontar dari mulut Yudhis begitu aku menyodorkan sebuah kotak berisi sepatu olahraga bermerk terkenal kehadapannya.
"Sepatu baru,"sahutku cepat."Aku lihat sepatu itu dan aku langsung ingat kamu.Jadi aku membelinya.Anggap saja itu hadiah terakhir dariku,"tandasku nyaris tanpa beban.
"Aku nggak mau,"tolak Yudhis tegas dan cepat.Tangannya berusaha menepis kotak itu menjauh.
"Yud..."
"Rhein,jangan bersikap seolah-olah kamu akan mati besok,"ujarnya setengah geram.
Aku menghela nafas panjang.Aku tahu perasaannya pasti sangat terluka mendengar ucapanku.
"Aku hanya takut nggak sempat melakukan sesuatu buat kamu..."gumamku pelan."Mungkin sudah saatnya aku meninggalkan sekolah ini,"imbuhku kemudian.
"Rhein..."Yudhis menatapku lekat-lekat.Ada secercah luka terpancar dari sorot matanya.
"Aku nggak bisa bertahan lebih lama lagi Yud..."
"Apa sekali saja kamu nggak pernah berpikir untuk berjuang hidup lebih lama lagi?!"potong Yudhis cepat.Nada suaranya meninggi.
"Apa kamu nggak pernah mikirin orang-orang yang menyayangi kamu? Harusnya kamu berjuang hidup demi mereka,bukan malah sebaliknya seperti ini!"
Aku tahu,batinku.Namun mulutku terdiam.Aku memang tidak pernah memikirkan perasaan orang-orang disekitarku.Terutama Yudhis.
"Aku sayang kamu,Rhein,"sentak Yudhis seraya mengguncang bahuku.Mengoyak lamunan kecilku."Apa sekalipun kamu nggak merasa kasihan padaku dan berusaha bertahan lebih lama lagi? Kenapa kamu malah bersiap mengucapkan salam perpisahan seperti ini?"
"Yud..."
"Aku nggak memintamu untuk mencintaiku,"Yudhis memotong lagi. "Aku hanya minta hiduplah lebih lama lagi."
"Aku nggak mau membebani orang-orang disekitarku Yud.Akan lebih baik jika aku cepat menghilang dan segera dilupakan,"tandasku getir.Aku tahu perkataanku akan menyakitkan hati Yudhis.
Namun tiba-tiba saja Yudhis menarik tubuhku kedalam pelukannya.Cowok itu memeluk tubuhku erat-erat.
"Kamu tahu kan aku paling benci mendengar kamu mengucapkan hal seperti itu,"ucapnya pelan.
Tak terasa air mataku telah jatuh dan membasahi seragam putih milik Yudhis.
Sebenarnya aku sangat takut mati Yud,batinku sembari terisak.Dan Yudhis malah mempererat pelukannya padaku.
Belakang sekolah sepi.Hanya desau angin yang berhembus kearah kami.Sedang bel terdengar beberapa detik kemudian.Mengakhiri segalanya.
$$$$$
Samar-samar mataku menerawang jauh kebalik jendela rumah sakit.Kearah dimana angin telah berhasil merontokkan daun-daun kering dari rantingnya.Mereka berguguran lantas jatuh ketanah.Dan berakhirlah kehidupan daun-daun itu.
Seperti aku.Suatu saat nanti aku juga akan jatuh berguguran seperti daun-daun kering itu.Lantas hancur dan menghilang dari muka bumi.
Pagi itu aku mendapati kakiku kaku dan tidak dapat digerakkan.Semenjak itulah aku harus terkapar diatas kursi roda sepanjang hari.Dengan kondisi yang kian melemah dan pandangan yang semakin kabur.Tubuhku juga nyaris tinggal tulang.Rheina yang sekarang tampak sangat mengenaskan.
Hari-hariku semakin kosong dalam pengasingan.Aku tak mau menerima kunjungan dari siapapun.Yudhis sekalipun.Aku tak mau terlihat rapuh dan menyedihkan dimatanya.
Jika saja aku bisa bertahan lebih lebih lama,aku hanya ingin membalas perasaan Yudhis.Aku ingin belajar mencintainya.Bahkan aku sempat berangan menikah dan memiliki anak darinya.Tapi aku sadar aku tak bisa bertahan lebih lama.Dan aku sadar perasaanku pada Yudhis bukanlah cinta.Karena sampai detik ini aku masih mencintai Ben.
Kasihan Yudhis.Entah bagaimana perasaannya sekarang dan nanti setelah aku benar-benar menghilang dari dunia ini.Aku tak mau menjadi kenangan pahit baginya.Aku ingin dia bahagia jika suatu saat ia telah menemukan cinta sejatinya.
Pasien dikamar sebelah telah meninggal pagi tadi.Dan itu membuatku sangat takut menghadapi kematian.Tapi aku hanya bisa pasrah dan menunggu sampai waktuku berakhir.
Meski masih terlalu banyak yang ingin kukerjakan.Bertengkar dengan Sheila,bercanda dengan Yudhis dan andai saja penyakit mematikan itu tidak menyerangku aku pasti akan memperjuangkan cintaku pada Ben.Tapi semua itu hanya mimpi kosong yang tidak akan pernah terjadi.
Ahh...
Daun-daun kering itu kembali berjatuhan ketanah setelah diterpa angin.Dan mungkin aku akan bernasib sama dengan mereka senja nanti atau mungkin senja esok...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar