Minggu, 03 Februari 2013

BEAUTIFUL TOMORROW

Apartemen senyap. Bahkan suara jam dinding pun terdengar resah. Kamar ku tampak remang-remang. Sementara novel misteri di dalam genggamanku sudah beberapa menit ini terabaikan. Malas untuk ku baca. Meski mataku masih cukup segar untuk menelusuri lembar demi lembarnya.
Malam merayap lambat mendekati dini. Aku kembali memantau jam dinding. Aku hanya bisa mendesah gelisah tatkala tahu jarumnya menunjuk angka dua belas. Sudah terlalu larut untuk berangkat menjemput mimpi. Tapi laki-laki itu belum juga muncul. Radit belum pulang.
Memang bukan untuk pertama kalinya ia pulang terlambat. Mungkin dua atau tiga kali dalam seminggu. Dan selalu tanpa pemberitahuan seperti sekarang. Aku sudah terlalu terbiasa dengan keadaan ini. Tapi aku tidak akan pernah menyatakan protes ataupun keluhan padanya. Bahkan aku tidak pernah menanyakan alasannya. Kemana ia pergi, bersama siapa, apa saja yang ia lakukan diluar sana.
Aku sudah bisa membaca jawaban atas semua pertanyaanku di dalam mata Radit. Bukankah sorot mata lebih jujur daripada perkataan apapun?
Aku tahu semua tentang Radit. Bahkan tentang perasaannya sekalipun. Laki-laki itu tidak pernah mencintaiku. Kami menikah persis seminggu usai berkenalan. Tapi jauh sebelum itu aku telah mengenalnya. Aku kerap melihatnya di perpustakaan. Dan di tempat itu pula kami berkenalan sampai akhirnya menikah.
Aku tidak tahu apa yang kupikirkan saat mengatakan "ya" pada penawarannya untuk menikah dengannya. Jawaban itu terlontar begitu saja seolah permainan kata yang mesti kujawab. Aku seperti menjatuhkan diri kedalam jurang. Aku akan mati atau sekarat. Itulah resikonya....
Aku terjebak pada pernikahan ini. Tapi bodohnya diriku yang tidak pernah berusaha untuk melepaskan belenggu ini dari tubuhku. Aku membiarkan diriku terkurung dalam apartemen dingin ini lengkap dengan segala rutinitas ibu rumah tangga yang mesti ku jalani setiap hari. Padahal sebelum ini aku adalah pribadi yang sangat aktif. Aku bekerja di sebuah perpustakaan umum dan sesekali mengadakan kegiatan sosial bersama teman-teman lama.
Radit datang tepat saat aku hendak merebahkan tubuhku. Aku menawarinya makan malam meski aku tahu ia pasti sudah makan diluar. Aku melayaninya menyiapkan pakaian ganti dan turut membantunya melepaskan kemeja putihnya. Aku rutin melakukan hal ini nyaris setahun . Tanpa keluhan dan tanpa komplain.
Memang ini tampak membosankan. Tapi aku masih menjalaninya sampai detik ini. Meski Radit menganggapku seolah tidak pernah ada. Aku sendiri merasa aneh.Kenapa aku bisa bertahan selama ini ? Juga demi alasan apa , aku sendiri tidak yakin. Aku hanya merasa senang jika bisa melihat sosok Radit setiap hari.
Terkadang aku mengartikan perasaan ini sebagai cinta menurut versiku sendiri. Tapi sesederhana inikah sesuatu yang disebut cinta?
Radit sudah memejamkan matanya. Ia terbaring di sebelahku. Tapi aku bisa merasakan jika hatinya berada jauh entah dimana....
######
Radit pulang. Kali ini jauh lebih awal dari malam sebelumnya. Namun ada sesuatu yang tampak tidak beres di wajahnya.
"Apa kau sakit?"tegurku.
Laki-laki itu mengangguk pelan.
Aku menyentuh dahinya dan benar saja dugaanku.Ia demam. Saat-saat pergantian musim seperti ini banyak penyakit menyerang.Terlebih pada orang-orang yang kurang menjaga kekebalan tubuhnya.Dan Radit salah satunya.Laki-laki itu terlalu banyak menghabiskan waktunya diluar.
Aku menyuruhnya untuk segera berbaring sementara aku pergi mengambil handuk kecil dan air hangat.
"Sebaiknya kau istirahat..."suruhku sembari mengompres keningnya. Namun saat aku hendak pergi mk kotak obat ,ia mencegahku.
"Aku tidak suka minum obat." tandasnya.
"Oh..."Aku tidak tahu kalau Radit termasuk tipe orang yang tidak suka mengkonsumsi obat-obatan. Namun ia kembali mencegah langkahku saat aku hendak pergi ke dapur untuk membuatkannya sup panas.
Ada apa? Mataku yang mengajukan pertanyaan itu. Aku kembali duduk di tepi ranjang. Menunggunya bicara sesuatu.
"Kenapa kau masih bertahan sampai sekarang?"tanya Radit.
Aku langsung tahu maksud pertanyaan Radit usai ia bertanya. Namun tak lantas membuatku bergegas menjawabnya.
"Aku tidak pernah mencintaimu." tandasnya datar. "Pernikahan ini hanya pelampiasanku belaka. Dari rasa sakit hati dicampakkan....." keluhnya terdengar pedih. Seolah ia sedang meminta belas kasihan.
"Aku tahu..."sahutku pada akhirnya. Tanpa emosi dan kecewa.
Radit menatapku gamang. Tak mempercayai apa yang baru saja meluncur dari bibirku. Bibirnya bergerak hendak bicara sesuatu namun dengan sigap ku dahului.
"Mungkin inilah caraku mencintai seseorang"tandasku kemudian. Tanpa bermaksud ingin mencuri perhatiannya. Memang ini terdengar aneh dan polos.Mungkin juga terdengar bodoh baginya.
"Kau mencintaiku?"cecarnya memaksa. Dan aku hanya bisa mengangguk sebagai tanda persetujuanku. Lantas ia tersenyum pahit. "Kenapa? Kenapa mencintaiku? Padahal kau tahu aku tidak pernah mencintaimu. Apa kau terlalu bodoh?!" teriaknya kesal. Membuatku tersentak.
"Aku memang bodoh....."aku tertunduk."Mungkin karena itulah aku masih bertahan sampai sekarang."aku bangkit dari tempat dudukku dan melangkah ke dapur. Air mataku meleleh ketika sampai disana......
######
Mendung kembali menutupi sebagian langit diatas apartemen kami. Muram seperti wajahku kini. Novel di atas pangkuanku masih menyisakan beberapa lembar halaman yang belum ku baca. Tak ada semangat untuk membaca....
Tubuhku penat dan hanya bersandar pada sebuah sofa tunggal. Seraya menatap keluar jendela pikiranku hanya bisa menerawang. Cucianku telah kering. Namun belum sempat ku seterika. Makan malam juga telah siap. Begitulah pekerjaanku setiap hari. Rutinitas yang monoton dan membosankan. Tapi aku tidak pernah menganggapnya sebagai beban manakala melihat sosok Radit berdiri di depan pintu. Aku yang semula seperti mati menjadi hidup kembali. Mungkin begitulah aku memaknai cinta.....
Aku hampir saja tertidur saat merasa ada sesuatu yang keluar dari pangkal hidungku. Darah! pekikku. Cairan kental berwarna merah itu mengalir leluasa dan menetes ke atas novel di pangkuan.ku.
Aku meraih beberapa lembar tissue dari atas meja untuk mengusap hidungku. Keterlaluan, makiku dalam hati. Ini pasti salah satu bentuk protes dari tubuhku. Aku pasti terlalu memforsir tenaga sehingga menderita kelelahan luar biasa seperti ini. Aku harus lebih menjaga diri dan mengurangi aktifitasku setelah ini.
Darah masih juga mengalir hingga beberapa lama. Sepertinya enggan untuk berhenti. Tapi untung saja hidungku berangsur mampat dengan sendirinya. Ah... kondisi tubuh seseorang memang tidak bisa di prediksi, batinku seraya beranjak dari atas sofa. Radit pulang. Dan untung saja aku sudah merasa baik-baik saja sekarang.....
######
Aku berdiri di tepi jalan seraya menatap langit yang telah menghitam pekat.Tanda hujan di pastikan akan segera turun dalam hitungan beberapa menit saja. Namun aku tak terlalu risau akan hujan.
Gedung megah yang berdiri di belakangku adalah sebuah rumah sakit. Beberapa hari terakhir ini aku kerap mengalami mimisan. Tampaknya ada sesuatu yang tidak beres terjadi pada tubuhku, dan kedatanganku ke gedung megah itu semata ingin memeriksakan kondisiku.
Dokter baru saja memeriksaku, dan telah mendiagnosa penyakit apa yang ku idap sekarang. Dokter itu bilang aku terkena leukimia bahkan ia telah memvonis umurku tinggal enam bulan lagi. Sudah terlambat untuk mengobati penyakitku......
Aku tahu tidak mungkin dokter itu bercanda padaku. Apa yang ia katakan adalah berdasar pemeriksaan semata. Tapi apa ia boleh memberiku vonis sisa umurku seperti itu? Bahkan Tuhan saja tidak akan mengizinkannya.
Air hujan turun satu persatu dari langit . Begitupun air mataku juga mulai menetes ke pipiku. Tapi air hujan menyamarkannya sehingga tidak ada seorangpun yang tahu aku sedang menangis sekarang. Tubuhku juga mulai basah tersiram air hujan. Namun tak kuhiraukan. Bukankah akan lebih mudah menyembunyikan tangis di bawah air hujan?
Aku tidak menyesal dengan semua ini. Apapun yang di gariskan Tuhan untukku pastilah yang terbaik. Aku hanya menyesal tak bisa mencintai Radit lebih lama lagi.......
######
"Darimana saja Rin? Aku tidak menemukanmu saat pulang. Kau tahu, aku sangat mencemaskanmu...."cecar Radit saat membuka pintu. "Kau kehujanan Rin..."
Aku terpaku menatap laki-laki itu takjub. Ada apa dengannya?batinku gamang. Ia sedang mencemaskanku? Apa aku tidak salah dengar? Namun tiba-tiba saja ia menarik tubuh basah kuyupku kedalam pelukannya. Ia mendekapku erat !
"Ada apa denganmu?" tanyaku bingung. Aku berusaha melepaskan tubuhku dari pelukannya. Ini terasa begitu aneh bagiku. Aku sudah terbiasa dengan sikap pasifnya, dan tiba-tiba saja ia bersikap hangat seperti ini. Aku malah takut ia sedang mabuk...
"Kumohon jangan bergerak.."ucapnya. "Kau tidak tahu betapa takutnya aku saat tidak menemukanmu tadi. Ponselmu juga tidak aktif. Aku takut kau pergi diam-diam Rin..."
Aku terhenyak mendapati pengakuannya. Jujurkah laki-laki itu? Tapi kenapa ia mengucapkan kalimat itu di saat yang tidak tepat seperti sekarang ini, disaat aku telah divonis oleh dokter.....
Aku melepaskan pelukan Radit lantas menatap sepasang mata laki-laki itu.Aku tidak tahu persis apa yang tengah ia pikirkan tentang diriku. Tapi aku bisa melihat sesuatu yang berbeda manakala ia menatapku.Sesuatu yang ganjil namun polos. Sorot matanya juga terlihat lebih teduh dari biasanya. Mirip sorot mata anak kecil.....
"Aku akan ganti baju..."pamitku tidak langsung. Semacam penghindaran kecil. Dan Radit membiarkan aku pergi tanpa bertanya....
######
"Aku sudah memutuskan akan berpisah denganmu....." tandasku lirih. Aku berbaring membelakangi tubuh Radit. Aku takut tak akan bisa mengucapkan kalimat itu jika melihat sorot mata kanak-kanaknya. Aku sudah berpikir seharian ini dan inilah keputusan yang kupikir terbaik untuk kami.
"Airin......"aku mendengar suaranya tercekat kaget. "Ada apa?"cecarnya cepat."Kau bilang kau mencintaiku, tapi kenapa kau ingin berpisah? Atau kau sudah berubah pikiran?"
Tidak, jawabku dalam hati. Perasaanku tidak berubah sama sekali. Hanya saja keadaan yang akan berubah.
"Airin....." Radit memaksaku untuk bangkit dan bergegas menghadap ke arahnya." Aku minta maaf atas semuanya..... Tapi aku benar-benar tidak mau kau pergi. Aku tidak bisa kehilanganmu, Rin. Aku mencintaimu........"tandas Radit mengungkapkan perasaannya.
Aku terperangah tak percaya. Apa yang ku takutkan semenjak kemarin terjadi sudah. Meski aku sangat bahagia mendengar kalimatnya, tapi rasa khawatirku ternyata lebih besar dari itu. Ini tidak boleh terjadi, batinku......
Aku akan mati, Dit... batinku pedih. Enam bulan dari sekarang. Tapi aku sama sekali tidak punya kekuatan untuk mengatakannya padamu. Aku takut!
"Kau menangis Rin?"tegurnya mengagetkan. Lamunanku langsung buyar saat ia menyentuh pipiku yang basah.
"Mungkin aku terlalu bahagia..."tandasku lirih.
######
Radit telah pergi satu jam lalu....
Aku sibuk. Mengemasi pakaian beserta semua benda-benda milikku. Aku tidak ingin meninggalkan jejak. Seolah-olah aku tidak pernah tinggal di tempat ini. Dan supaya Radit lebih cepat melupakanku...
Semua barang telah masuk koper, apa lagi yang belum? batinku. Aku meneliti seluruh kamar barangkali ada sesuatu yang tertinggal. Tidak ada. Aku bergegas menyeret koperku keluar apartemen.
"Airin!"aku terhenyak mendengar teriakan itu. Tiba-tiba saja Radit ada di hadapanku. Padahal ia sudah berangkat ke kantor semenjak tadi pagi. Kenapa Tuhan mempertemukan kami seperti ini?
"Kau ingin pergi?"desaknya cepat.
Aku menunduk.Aku tak bisa menyangkal dalam keadaan terpojok seperti ini.
"Rin....Kenapa kau melakukan ini padaku? Apa kau tidak ingin memberi kesempatan padaku?" tangan Radit mencengkeram kedua bahuku kuat-kuat.
Bukan, sangkal hatiku. Tapi bibirku hanya terkatup rapat. Membisu. Aku tidak sanggup untuk mengungkapkan isi hatiku meski hanya satu kalimatpun.Meski ia terus memaksa.....
"Pergilah jika kau ingin pergi!!" teriak Radit memecah kebisuanku. Melampiaskan kemarahan yang tiba-tiba saja meledak karena kediamanku. Tapi mungkin ini lebih baik buatnya.Jika ia membenciku akan lebih mudah untuk melupakanku.
Aku menatapnya terakhir kali sebelum melangkah pergi. Mungkin aku tidak akan melihatnya lagi setelah ini.Namun tiba-tiba awan gelap menutupi pandanganku. Kepalaku serasa berputar. Dan kakiku kehilangan kekuatan untuk menyangga tubuhku...
######
Radit telah ada di samping tempat tidurku.Wajahnya tampak letih. Dan ada segumpal mendung hitam bergelayut di dalam matanya. Apa ia sudah tahu semuanya?
"Kau sudah bangun?" tegurnya sembari tersenyum.
Aku mengangguk pelan. "Kenapa merahasiakan ini dariku? Malah sengaja ingin pergi begitu saja.Kau tahu, kau orang yang paling jahat Rin... Tidak seharusnya kau melakukan ini padaku." protes Radit.
Aku hanya menatap Radit yang tengah dilanda kegelisahan.Rasanya hatiku sakit melihatnya seperti ini. Aku hanya tidak ingin membebani hati orang yang kucintai. Karena ia tidak akan punya masa depan dengan orang sepertiku...
"Aku masih punya waktu beberapa lama lagi untuk menemanimu. Jika kau mau........." ucapku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar