Senin, 15 Juli 2013

JOMBLO IS BEAUTIFUL


Nama gue Radit. Umur gue 20 tahun lebih 3 bulan 2 hari 3 jam. Detil banget gue ya...
Gue bangga banget punya nama sekeren Radit. Mirip artis ngetop sih. Entah apa yang ada di pikiran bokap gue waktu ngasih gue nama itu. Sebenarnya bokap gue bukan orang tajir sih, tapi dia punya otak yang lumayan cerdas.
Gue jomblo. Bukannya gue bangga dengan kejombloan gue, cuma gue mikir kalau jomblo itu keren. Dan aman di kantong. Mengingat uang saku kuliah gue pas-pasan, mana cukup untuk nraktir seorang cewek. Makan di kantin aja gue sering ngutang. Makanya wajah gue sering nongol di facebooknya ibu kantin. Dengan stempel "wanted" pula. Busyet dah.......
Seperti biasa, siang ini gue nongkrong didepan kampus bareng temen-temen setia gue. Ada Shandy, Fahmi dan Oka. Shandy adalah orang paling tajir diantara kami berempat. Wajahnya lumayan keren, kulitnya putih dan tinggi. Banyak banget cewek yang naksir dia.
Sobat gue yang kedua adalah Fahmi. Dia anak ustadz. Makanya dialah yang paling alim diantara kami semua.
Sedang Oka adalah yang paling jenius diantara kami berempat. Dia seperti cahaya terang dikegelapan malam. Lebay-nya gue.....
Tapi kami semua jomblo. Nggak tahu kenapa kami susah banget dapet cewek. Padahal wajah kami lumayan tampan dan penampilan kami juga keren. Tapi jangan salah, meskipun kami jomblo kami tetap bahagia.
"Liburan semester ntar kemana guys?"tanya si tajir Shandy memulai topik percakapan.
"Gue sih mau ngitemin kulit,"sahutku cepat.
"Maksud loe?"sahut Oka seraya mengerutkan dahinya yang ditumbuhi sebuah jerawat kecil.
"Gue mau liburan ke Bali. Berjemur di pantai gitu,"jelasku melantur.
Mereka bertiga langsung meledakkan tawa. Geli mendengar celutukanku.
"Mau ngitemin kulit aja ngapain jauh-jauh ke Bali segala? Tuh, berjemur aja di atas genteng rumah gue. Sama kok itemnya,"ledek Oka sembari menepuk pundakku. Disambut tawa lagi oleh Shandy dan Fahmi.
"Sebenernya gue mau dijodohin nih,"ungkap Shandy beberapa saat setelah suasana mereda.
Kami bertiga kaget. Di jaman semodern ini kok masih ada acara perjodohan seperti itu? Maklumlah orang kaya. Mereka takut dapat menantu orang miskin.
"Bukannya itu bagus buat loe, Shan,"timpal Fahmi." Jadi loe nggak jomblo lagi dong."
"Bener tuh kata Fahmi,"sahut gue ikut nimbrung.
"Kalian sih nggak tahu,"tukas Shandy dengan wajah yang tak begitu gembira."Gue tuh naksir sama Risty. Kalian juga tahu itu kan?"
Kami manggut-manggut. Emang dari dulu Shandy naksir berat sama Risty. Cewek itu emang bener-bener istimewa. Cantik, tinggi, langsing, dan aktif di kegiatan sosial kampus. Idaman Shandy banget.
"Tapi apa loe akan menolak perjodohan itu?"tanya Oka kemudian. Meminta pendapat Shandy.
"Gue nggak tahu,"ucap Shandy seraya menggeleng.
"Sabar bro,"ucapku sembari menepuk-nepuk pundak Shandy."Menurut gue apa yang dipilihkan orang tua loe, pasti yang terbaik buat loe,"ucap gue sok diplomatis.
"Ah loe, Dit. Coba loe yang dijodohin, emang loe mau apa?"celutuk Oka sekenanya.
"Gue sih mau-mau aja, Ka,"cerocosku seraya nyengir.
"Dasar loe! Nggak punya malu,"olok Oka. Dan ujung-ujungnya ketiga sobat gue itu menimpuk bahu gue sampai gue kapok meringis kesakitan.
~~~~~~~~~

"Udah pulang Dit?"seru bokap gue dari kamar. Siang-siang gini ia pasti sedang sibuk tidur siang sepulang dari kantor kecamatan.
"Iya, Yah!"balasku dengan berseru pula. Tumben dia nggak ngomel karena gue pulang telat.
Gue langsung ngacir ke dapur karena perut gue sudah kelaparan dari tadi. Masak apa nyokap gue hari ini?
"Kok cuma tahu goreng sama ikan asin sih,"gerutu gue saat mengetahui apa yang tersembunyi dibalik tudung saji.
"Udah dimakan aja,"sahut nyokap gue yang tiba-tiba muncul di belakang gue."Itu juga rezeki dari Allah yang patut kita syukuri,"imbuhnya lagi.
Kalau sudah bicara seperti ustadzah yang biasa nongol di tivi seperti itu gue nggak bisa berkomentar apa-apa. Tanpa banyak bicara gue langsung mengambil piring kosong dan menyenduk nasi. Meskipun makan hanya dengan lauk tahu dan ikan asin goreng, tapi jika nyokap yang masak tetap saja nikmat. Terlebih perut gue sudah nggak kuat menahan lapar lebih lama lagi.
"Kalau udah kelar makannya, cuci piringnya sekalian. Ibu mau nganter cucian kerumah Bu Retno,"
Gue kaget. Dan langsung berdiri dari tempat duduk gue seperti baru saja kesetrum listrik. Pasalnya nyokap gue baru saja menyebut nama Bu Retno. Bukankah Bu Retno adalah ibunya Dewi, cewek impian gue yang punya senyum termanis di gang ini.
"Biar Radit aja yang nganterin cuciannya,"tawarku dengan suara lantang. Bersemangat.
"Tumben,"sahut nyokap heran."Biasanya kamu paling males kalau disuruh nganter cucian...."
"Ah, ibu ini. Dibantuin bukannya berterimakasih,"ucap gue bersungut-sungut. Gue bergegas mengambil alih cucian yang harus segera diantar ke rumah Dewi.
"Hati-hati!"
"Sip!"
Gue menyambar kunci motor vespa milik bokap gue di atas meja lantas bergegas mengendarai motor buatan Italy itu menuju ke rumah Dewi. Sebenarnya jarak dari rumah gue ke rumah Dewi nggak begitu jauh. Tapi gue males jalan kaki karena matahari sedang di atas kepala. Panas menyengat kulit.
"Mau kemana Dit?!"
Seruan itu datang dari mulut Bang Supri, tetangga sebelah rumah. Gue dan Bang Supri satu geng. Hampir tiap malam kami bermain catur bersama. Kadang kami pergi meronda bareng. Nonton bola sambil ngopi di warung, sesekali taruhan juga. Pokoknya gue dan dia seperti saudara kembar tapi bukan kembar siam. Seperti Upin dan Ipin.
"Mau nganter cucian Bang! Mau ikut?"balasku seraya berteriak.
"Makasih dah!"sahutnya.
"Yok Bang, gue pergi dulu!"
Sambil bersiul kecil gue meluncur pelan di gang. Anak-anak kecil banyak berkeliaran di tepi jalan membuat gue kudu ekstra hati-hati.
Gue sampai didepan rumah Dewi dengan selamat. Tapi apes nasib gue kali ini. Karena yang membuka pintu bukan Dewi, tapi bokapnya.
"Siang Om,"sapa gue sopan. Siapa tahu bokap Dewi terkesan dengan sikap sopan gue sehingga gue dijadiinn mantunya. Ngarep banget sih gue....
"Siang, Radit. Ada apa ya?"
"Ini Om,mau nganter cucian,"ucap gue sambil menyerahkan bungkusan ditangan gue.
"Rajin amat,"puji bokap Dewi. Membuat kepala gue serasa melembung jadinya.
"Ah, nggak juga. Kebetulan ibu lagi capek,"sahutku pura-pura malu. Gue nggak perlu lama-lama ada disana. Gue langsung pamit setelah memberikan cucian itu pada pemiliknya. Lagian Dewi-ku juga nggak nongol.
Apesnya gue hari ini. Impian gue ketemu sang Dewi pujaan hati pupuslah sudah. Alamak....
~~~~~~~~

"Shandy mana? Kok gue belum ngeliat dia seharian ini?"celutuk Oka seraya meletakkan mangkuk bakso dan segelas es teh diatas meja kantin.
Kali ini tongkrongan kami pindah ke kantin. Selain disana adem juga kami ingin mengisi perut yang kosong.
"Dia udah pulang duluan. Katanya mau jemput ceweknya,"sahut gue cepas ceplos.
"Cewek yang mana?"timpal Oka sedikit heran.
"Yang mana lagi kalau bukan yang dijodohin sama dia,"jawab gue.
"Dia mau sama cewek itu?"tanya Oka sambil mengunyah makan siangnya.
"Gimana mau nolak, kalau cewek itu cantiknya selangit. Selevel sama dia lagi,"sahut gue antusias.
"Wow, ini baru berita bagus bro!"seru Oka tampak gembira mendengar kabar tentang Shandy. Tapi yang aneh kenapa si alim Fahmi diem terus dari tadi. Nggak biasanya dia seperti itu.
"Loe kenapa sih bro, kok diem mulu dari tadi? Loe punya masalah?"
Gue menepuk pundak Fahmi pelan. Takut dia akan kaget dan berteriak menakuti seisi kantin.
Fahmi menggeleng. Tapi bener juga, gelagatnya aneh. Seperti bukan Fahmi yang biasanya.
"Loe sakit?"desak Oka ikut nimbrung. Tapi lagi-lagi Fahmi menggelengkan kepalanya.
"Gue sedang jatuh cinta bro,"ungkap Fahmi beberapa saat kemudian. Cukup pelan tapi membuat gue dan Oka shock.
"Whaaat???!!!"teriak gue tanpa sadar. Menimbulkan reaksi dari seisi kantin, termasuk ibu kantin yang gendut itu. Wanita itu langsung mendelikkan matanya ke arah gue.
Gue cuma bisa nyengir sambil melambaikan tangan ke arah ibu kantin. Lalu tersenyum semanis semangka untuk meluluhkan hati wanita gendut idola mahasiswa-mahasiswa kelaparan itu.
Kembali ke topik semula....
"Yang bener bro? Sama siapa? Cantik nggak?"serbu gue penasaran.
"Loe tuh nggak bisa pelan-pelan apa? Nanya tuh satu-satu dong,"protes Fahmi ke gue.
Gue cekikikan melihat reaksi Fahmi.
"Abisnya gue penasaran banget sih,"tukas gue kemudian.
"Terus terus gimana?"celutuk Oka menengahi.
"Dia tuh kalem banget bro, anaknya ustadz di tempat gue. Tapi gue takut mau nembak dia. Gue takut ditolak,"papar Fahmi sesingkat mungkin.
"Kalau loe takut kapan loe punya cewek?"timpal Oka cepat."Mendingan loe ditolak daripada loe nggak pernah ngungkapin perasaan loe sama dia. Gue bener kan?"lanjutnya lagi.
"Bener bener,"sahut gue sambil manggut-manggut. Ucapan si jenius memang bener.
"Tapi..."
"Loe takut?"tanya Oka. Disambut gelengan kepala Fahmi."Terus?"desak Oka mengejar.
"Gue nggak pede,"ucap Fahmi pelan.
"Pake Rexona dong biar pede,"celutukku sekenanya.
"Loe nih, serius dikit napa,"protes Fahmi seraya bersungut-sungut ke arah gue. Dari dulu penyakit usil gue belum sembuh juga.
"Sorry...sorry.."ucap gue kemudian memperbaiki suasana.
"Pantesan aja dari dulu loe jadi jomblo. Karatan lagi,"ledek Oka diiringi gelak tawa. Fahmi juga ikut meledakkan tawanya.
"Jomblo gue jangan dibawa-bawa dong,"ucap gue sewot. "Biar jomblo gini gue tetep keren kok."
"Huuuuuu..."mereka berdua menyoraki gue dengan kompak seperti paduan suara saja.
~~~~~~~~

Akhirnya Shandy jadian juga dengan cewek yang dijodohkan dengannya. Gue ikut senang mendengarnya. Kebahagiaan sahabat berarti kebahagiaan gue juga.
Fahmi juga sama. Ada perkembangan baik tentang asmaranya.
Tinggal nasib gue dan Oka yang dipertaruhkan disini. Gue sama Oka masih sama-sama jomblo. Itulah pokok persoalannya. Rumit bukan?
Imbasnya siang ini sepulang kuliah tempat tongkrongan kami sepi. Cuma gue yang celingak-celinguk mencari anggota geng gue. Tapi nggak ada satupun yang tampak batang hidungnya.
Akhirnya gue kabur ke kantin untuk menyelamatkan perut gue yang keroncongan. Daripada menunggu mereka di tempat biasa mending gue ke kantin sambil cuci mata. Lagian pulsa gue juga habis, nggak bisa buat sms-in mereka satu-persatu.
"Mau ngutang lagi?"serbu ibu kantin dengan tampang tergalaknya.
"Ah ibu kantin tersayang......,"gue mulai mengeluarkan jurus maut rayuan gombal termanis yang gue punya."Masa cowok seganteng dan sekeren gue mau ngutang sih. Apa kata dunia,"
"Halaa... biasanya juga loe ngutang,"timpal ibu kantin denngan gaya genitnya.
"Emang boleh ngutang?"bisik gue sambil mengedipkan sebelah mata.
"Boleh,"sahut ibu kantin sambil tersenyum manis."Tapi loe harus nyuci piring disini gratis selama sebulan. Gimana? Mau nggak?"
"Aih, ibu kantin ini tega banget,"ucap gue berlagak memelas."Emang ibu kantin udah nggak sayang lagi sama Radit, cowok terkeren di kampus ini?"tawa gue meledak saat itu juga.
"Udah jangan banyak ngomong, loe mau makan atau nggak sih,"desak ibu kantin penuh pemaksaan.
"Nggak jadi deh, gue mau pulang aja,"ucap gue sambil ngeloyor pergi dari hadapan ibu kantin.
"Dasar nih anak. Awas kalau kesini lagi,"gerutu ibu kantin kesal. Sementara gue hanya bisa cekikikan melihat reaksi ibu kantin yang menggelikan.
Pas pulang gue melihat Dewi sedang dibonceng seorang cowok. Sepertinya pacar Dewi, karena setahu gue Dewi nggak punya saudara laki-laki. Kebayang kan bagaimana hancur luluhnya hati gue. Ternyata sang Dewi pujaan hati sudah ada yang punya.
Oh my God...
Beginilah rasanya orang patah hati. Kasih tak sampai.Hiks....
~~~~~~~

"Jalan Bang,"suruh gue pada Bang Supri. Gue sedang main catur dengannya. Dan sepertinya Bang Supri sedang terjepit.
"Malem Minggu nggak keluar Dit?"tanya Bang Supri di sela -sela pertandingan.
Nih orang mulai mengalihkan perhatian,batin gue agak kesal. Ini termasuk salah satu trik Bang Supri agar gue kehilangan konsentrasi.
"Males Bang. Nggak punya duit,"sahut gue beralasan.
"Nggak punya duit atau nggak punya cewek?"sindir Bang Supri tenang. Ia menjalankan pionnya kemudian.
"Nggak punya dua-duanya, Bang,"sahut gue jujur.
Bang Supri terkekeh.
"Emang si Dewi kenapa? Loe udah nggak suka sama dia?"cecar Bang Supri ingin menyingkap rahasia hidup gue.
"Dia udah punya cowok Bang," sahut gue.
"Sabar Dit,"ucap Bang Supri sambil menepuk-nepuk pundak gue."Skak mat!"serunya mengejutkan gue.
"Kirain sabar apaan,"gumam gue.Gue kalah lagi untuk kesekian kalinya.
"Loe haus nggak?"tanya Bang Supri lagi.
"Haus sih Bang, tapi gue lagi bokek nih,"
"Tenang aja, gue yang bayarin. Tapi kopi segelas sama pisang goreng doang,"
"Oke. Nggak papa,"sahut gue girang.
Gue dan Bang Supri bergegas melangkah ke warung kopi yang terletak di dekat pos ronda. Seperti biasa. Untuk meneguk segelas kopi dan sebuah pisang goreng sembari bercerita ngalor ngidul bareng bapak-bapak yang rutin ngumpul disana.
Beginilah nasib seorang jomblo seperti gue. Menikmati hidup yang ada. Meski ada yang kosong dalam hati dan hidup gue, tapi gue nggak pernah merasa kesepian. Gue selalu merasa bahagia dengan apa yang gue punya sekarang.
Tapi gue yakin Tuhan sedang mempersiapkan seseorang yang terbaik buat gue di suatu tempat. Dan dia juga merasakan kejombloan seperti yang gue rasakan sekarang.
Buat gue menjadi jomblo itu bukan sesuatu yang memalukan. Selama gue bisa menikmatinya, dan enjoy dengan hidup gue kenapa nggak? Karena buat gue jomblo itu indah.........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar