Jumat, 19 Juli 2013

CERITA DI ATAS KAPAL


Angin malam berhembus kencang dari buritan kapal. Menerpa pipiku dan seolah ingin membekukannya perlahan. Dingin menikam seluruh permukaan kulitku. Menembus long dress yang membalut tubuhku.
Sepi. Bahkan langit juga sama hitamnya dengan pemandangan dibawah sana. Tak ada bintang yang biasa bertengger menghias langit.
Aku benar-benar berada di tengah samudra sekarang. Situasi ini membawa lamunanku pada salah satu film favoritku, Titanic.
Mengumpamakan diriku sebagai Rose Dewitt Bukater. Tapi tak ada Jack Dawson seperti yang kuharapkan.
Aku sendirian berdiri di tepian buritan kapal. Melarikan diri dari pesta makan malam yang dipenuhi orang-orang kalangan atas dan bangsawan. Aku jenuh dengan semua itu.
Kisahku benar-benar mirip dengan film itu, tapi ini sedikit berbeda. Tak ada sosok yang kuharapkan muncul dan mengacaukan hidupku yang terkungkung dalam sopan santun tradisi selama dua puluh tahun. Tidak ada. Bahkan jika bisa, aku berharap kapal ini akan menabrak gunung es dan akhirnya tenggelam. Dan berakhirlah semuanya.
Ah, betapa bodohnya aku sampai berkhayal seperti itu. Aku hanya bergumam merutuki kebodohanku sendiri.
"Apa kau akan terjun kebawah sana?"
Teguran itu mengejutkanku. Peganganku semakin erat pada pagar besi yang membatasi buritan kapal. Aku menoleh ke belakang dan menjumpai seorang wanita bermantel tebal melangkah tenang ke arahku. Padahal aku berharap ia adalah seorang laki-laki.
Wanita itu tersenyum. Dan ia menghentikan langkahnya ketika tepat berdiri beberapa jengkal dari tubuhku. Ia melongok ke bawah sejenak.
"Pasti sangat dingin dibawah sana,"ucapnya seraya menatap kearahku beberapa saat kemudian."Apa kau masih ingin terjun kebawah sana?"ia mengulangi pertanyaannya.
Aku tak langsung menanggapi pertanyaan wanita asing itu. Kupikir ia bukan salah satu dari bagian pesta tadi. Mungkin saja ia adalah salah seorang yang beruntung mendapat tiket gratis perjalanan kapal pesiar ini. Karena pakaian wanita itu sama sekali tidak mencerminkan budaya wanita bangsawan atau kalangan atas.
"Kau siapa?"aku bertanya sesaat kemudian. Rasa penasaranku lebih besar ketimbang menjawab pertanyaan yang ia ajukan padaku.
Wanita itu mengembangkan senyum. Ia mengulurkan tangan kanannya ke arahku untuk bersalaman.
"Aku Ellen,"ucapnya memperkenalkan diri.
"Krystal...."
"Maaf jika aku mengganggu,"tandasnya kemudian.
Suasana lebih hangat dan kian akrab ketimbang beberapa detik yang lalu. Ia tampak seperti orang baik-baik. Membuatku tak takut lagi dan membuat jarak.
"Apa kau serius ingin terjun ke bawah sana?"ulangnya sekali lagi. Kali ini dengan diiringi senyum.
"Apa aku tampak seperti orang yang akan bunuh diri?"pancingku.
"Hm..sebenarnya aku tidak yakin. Tapi kau benar-benar seperti orang yang hendak melompat ke laut,"tandasnya membuatku tergelitik dan meledakkan tawa.
"Kau memang benar,"ucapku usai menghentikan tawa.
"Kenapa?"tanyanya cepat seraya mengernyitkan dahinya.
Aku terdiam dalam dilema. Kupikir ini masalah pribadiku yang tidak boleh orang lain ketahui. Karena bisa berakibat fatal jika menyebar luas dan didengar publik. Nama baik keluarga kami taruhannya.
"Baiklah, maaf jika aku lancang bertanya hal pribadi seperti itu,"ucapnya seolah mengerti isi pikiranku.
Aku hanya tersenyum tipis mendengarnya.
Suasana kembali hening beberapa saat lamanya. Aku hanya membuang pandanganku ke arah kegelapan malam. Bermain dengan lamunanku sendiri.
Namun Ellen memecah ketegangan itu beberapa menit kemudian.
"Hidup tidak selalu sempurna, Krystal."Ia bergumam lirih."Bahkan hidup seorang putri-pun,"imbuhnya seraya menoleh ke arahku. Memaksaku untuk balas menatapnya. Kenapa ia berkata seperti itu? Bahkan raut wajahnyapun telah berubah tak sehangat tadi.
"Kau tahu,"lanjutnya lagi."Hidupmu tampak sempurna dimata orang lain, bahkan banyak gadis-gadis diluar sana yang bermimpi menjadi sepertimu. Mereka pikir menjadi seorang putri bangsawan kaya raya sangat menyenangkan dan membahagiakan. Tapi hidup tidak selalu sempurna seperti tampak diluarnya. Mungkin sekali waktu kau pernah berpikir untuk menjadi gadis biasa-biasa saja. Bebas tanpa terikat sopan santun dan tradisi bangsawan."
Aku tersenyum mendengar analisanya. Tampaknya ia sangat mengenal dunia kami.
"Kau tahu semua itu?"tanyaku mencoba memancing seberapa jauh kemampuannya menilai diriku.
"Aku hanya menebak,"tandasnya.
Benarkah?
"Kau sangat beruntung, Krystal,"ucap Ellen menyambung kalimatnya."Tapi mungkin kau tidak pernah menyadarinya."
"Mungkin kau benar,"sahutku datar. Tapi entah kenapa aku lebih tertarik untuk mengetahui tentang dirinya lebih jauh lagi.
Aku menghela nafas berat. Udara dingin mulai memenuhi paru-paruku. Namun aku masih ingin bertahan disini bersama gadis bernama Ellen itu.
"Apa yang membuatmu tertarik ikut pelayaran kapal pesiar ini?"aku mencoba mengorek informasi tentang dirinya.
Ellen tak langsung menyahut. Gadis itu malah mengalihkan tatapan matanya ke arah laut. Padahal hanya tampak gelap disana.
"Aku hanya ingin menghabiskan sisa waktuku untuk berkeliling dunia,"tandasnya sembari menatap kosong.
Ucapannya membuatku sedikit kaget. Sisa waktu? batinku heran.
"Maksudmu......"
Ia mendesah pelan.
"Umurku tidak akan lama lagi,"tandasnya lirih. Setengah menggumam.Membuatku terpana.
Aku hendak bertanya lebih lanjut,tapi.....
"Aku sakit parah,"ungkapnya membuatku tercekat."Entah berapa lama lagi aku bisa bertahan. Mungkin tiga atau enam bulan lagi. Maka dari itu aku ingin menghabiskan sisa umurku dengan bahagia. Mengunjungi tempat-tempat yang belum pernah ku kunjungi sebelumnya. Bertemu dengan orang-orang baru dan mengenal budaya mereka. Agar saat aku meninggal nanti aku meninggal dengan bahagia."
"Ellen........."aku hanya bisa menatapnya dengan pandangan iba.
"Hei, jangan menatapku seperti itu. Aku tidak perlu dikasihani, Krystal,"serunya sembari menepuk pundakku. Senyum riang tersungging manis di bibirnya yang manis.
Ia benar-benar hebat,batinku kagum. Aku tidak bisa membayangkan jika aku menjadi dirinya.
"Jaga hidupmu baik-baik. Dan selalu bahagia-lah,"ucapnya kemudian."Apa yang kau punya sekarang adalah yang terbaik yang mungkin tidak pernah kau punya sebelumnya."Lagi-lagi ia memberi nasihatnya padaku.
"Apa penyakitmu tidak bisa diobati?"tanyaku bersimpati. Mungkin saja aku bisa memberikan sedikit bantuan untuknya.
Namun ia menggeleng.
"Sudah terlambat,"sahutnya.
"Tapi....."ia memotong pembicaraanku dengan cepat.
"Aku harus pergi kekamarku,"pamitnya kemudian. Bersiap untuk pergi dari hadapanku.
"Apa besok kita bisa bertemu lagi?"tanyaku penuh harapan. Aku merasa cocok berbincang dengannya.
Ia tak menjawab namun ia tersenyum seraya melambaikan tangannya tatkala melangkah pergi. Aku hanya bisa menatapnya dengan pandangan kosong. Pikiranku campur aduk. Rasanya kepalaku dipenuhi hal tentangnya.
"Rupanya kau disini. Aku mencarimu kemana-mana sejak tadi. Kau tahu, aku sangat cemas saat kau menghilang begitu saja dari pesta.Harus berapa kali aku katakan jangan menghilang tiba-tiba seperti ini,"
Sam datang dan segera menyerbuku dengan omelan-omelannya. Seperti biasa.
Laki-laki itu adalah tunanganku. Kami dijodohkan oleh kedua orang tua kami. Keluarga bangsawan seperti kami selalu identik dengan hal semacam ini. Masalah klasiknya adalah mereka tidak ingin darah bangsawan yang kami miliki bercampur dengan darah orang biasa. Omong kosong. Buatku semua orang memiliki darah yang sama. Tapi tradisi tetap tradisi yang harus dijunjung tinggi dari generasi ke generasi.
"Kau menggigil, sayang."
Sam melepaskan jasnya dan membentangkannya di punggungku.
"Udara diluar sangat dingin. Aku takut kau sakit,"ucapnya lagi. Menunjukkan perhatiannya yang berlebihan terhadapku. Tapi tetap saja aku belum bersimpati padanya sampai detik ini.
"Aku baik-baik saja, Sam."Aku berusaha melepas jas miliknya yang melekat di punggungku.
"Krys....."
Aku memotong kalimatnya dengan segera.
"Aku baik-baik saja,"ucapku kemudian dengan tegas. Aku mengembalikan jasnya dan langsung bergegas meninggalkan tempat itu.
"Krystal, kau tidak bisa melakukan ini padaku!"ia berseru sambil mencekal lenganku agar aku urung pergi dari hadapannya.
"Apa yang kau inginkan dariku?"tanyaku kesal.
"Kau masih bertanya apa yang ku inginkan?"ia menanyakan ulang pertanyaanku sambil menatap mataku tajam. Ia tersenyum kemudian. Sedikit sinis.
Aku berusaha menghindari tatapan matanya dengan mengalihkan pandanganku ke arah lain.
"Apa aku harus menjelaskan semuanya dari awal?"tanya Sam."Aku mencintaimu Krys......"
Aku tak bereaksi.
"Apa kau akan menghindariku seperti ini terus? Sampai kapan Krys?!" ia berteriak didekat telingaku.
"Sudahlah Sam,"ucapku seraya berusaha melepaskan cekalan tangannya."Aku lelah dan ingin kembali ke kamarku."
"Baik!"sahutnya cepat. Ia melepaskan cekalan tangannya dengan kasar."Pergilah,"suruhnya.
Sam marah. Aku melihat dari sinar matanya.Namun aku tak berusaha untuk meredam amarahnya. Aku malah pergi meninggalkannya tanpa satupun kata pamit.
~~~%%~~~

Perbincangan yang membosankan, gerutuku dalam hati. Memaksaku untuk bergegas kabur dari kursiku dengan alasan klasik, kamar mandi.
Makan malam seharusnya hanya acara makan bukan arena perbincangan tentang pernikahan. Namun aku tak bisa mengajukan protes atau pendapat. Aku hanya boneka yang mereka mainkan sesuka hati.
Mendadak aku teringat ucapan Ellen semalam. Mungkin yang kita miliki sekarang adalah yang terbaik dari yang pernah kita miliiki. Benarkah itu?
Aku bergegas mencuci tanganku sebelum kembali ke meja dimana kedua orang tua kami, Sam dan aku juga Sam telah menungguku disana. Tak sopan pergi ke kamar mandi terlalu lama.
Ups, aku menabrak seseorang manakala berniat keluar dari kamar mandi.
"Maaf,"ucapku cepat.
Aku menyadari sesuatu manakala menatap seorang wanita dihadapanku. Aku terpana. Bukankah ia adalah Ellen, gadis yang ku temui semalam? Tapi ia sangat berbeda. Penampilannya berubah, tak seperti semalam.
Ia tampak cantik memakai gaun berwarna merah muda dipadu dengan stilleto bernada sama. Sebuah kalung berlian melingkar dilehernya. Dan sebuah tas tangan berlogo Channel erat dalam genggamannya.
"Ellen?"
Aku hampir terloncat menemukan wanita yang sama namun dalam penampilan berbeda. Aku telah tertipu dengan mantel tebal berwarna cokelat yang ia kenakan semalam.
"Aku Krystal,"tandasku mencoba membuka ingatannya. "Kau masih ingat padaku? Kita bertemu semalam."
Ia menatapku dengan pandangan aneh.
"Maaf, aku tidak mengenalmu. Mungkin kau salah orang,"tandasnya. Ia tersenyum kaku.
"Apa?"tanyaku tidak percaya."Kau sudah lupa padaku? Kita berbincang di buritan kapal semalam. Kita berbincang lama...."
"Maaf Nona,"potongnya. Menukas kalimatku."Kau pasti salah orang. Kita tidak pernah bertemu sebelum ini."
"Aku tidak salah orang. Kau Ellen bukan?"aku mencoba ngotot.
"Maaf kau salah orang..."
"Tapi..."aku mencoba mencegahnya pergi.
"Krys...Ada apa?"sela Sam tiba-tiba.
"Dia mengira aku temannya, padahal kami belum pernah bertemu sebelumnya,"tutur wanita yang kuyakini sebagai Ellen itu.
"Maafkan dia,"ucap Sam memintakan maaf untukku.
Aku tertegun menatap punggung wanita itu. Punggung yang ku yakini sama dengan yang kulihat semalam. Tapi kenapa ia tidak ingat padaku? Apa penyakitnya begitu parah sehingga mempengaruhi memori otaknya?
"Ayo kita kembali ke meja makan.Mereka pasti sudah menunggu kita,"sentak Sam membuyarkan lamunanku.
"Aku yakin dia Ellen,"gumamku lirih.
"Tapi dia mengaku tidak pernah bertemu denganmu. Sudahlah..."
"Kami bertemu semalam di buritan kapal. Kami berbincang lama. Bahkan dia bercerita padaku dia ingin menghabiskan sisa umurnya dengan berkeliling dunia. Aku yakin itu dia, Sam."Aku berusaha meyakinkan Sam kalau apa yang kuyakini benar.
"Krys, dia bukan orang yang kau temui semalam. Kau sudah mendengarnya sendiri jika dia tidak mengenalmu. Aku juga tidak melihat siapapun disana semalam. Kau sendirian."
Aku menatap Sam dengan pandangan nanar.
"Kau tidak mempercayai ucapanku?"tanyaku datar.
"Aku bukan tidak mempercayai ucapanmu. Mungkin kau salah orang, Krys. Sudahlah, kita harus kembali ke meja makan,"ajak Sam. Ia menarik tanganku kembali ke meja makan dimana orang tua kami telah menunggu.
Aku yakin apa yang kupikirkan benar. Bahwa wanita itu adalah Ellen. Orang yang kutemui semalam, yang memberiku banyak nasihat. Tapi kenapa ia tidak mengenaliku? Tidak mungkin aku sedang berhalusinasi bukan?
Perbincangan tentang pernikahan berlanjut. Namun aku sama sekali tak bisa mencerna ucapan mereka semua. Aku mendengar apa yang mereka bicarakan, tapi seolah perkataan itu keluar lagi dari telingaku. Pikiranku masih tertuju pada Ellen. Siapa yang benar?
Aku yang sedang berkhayal, atau Ellen benar-benar telah lupa padaku?
"Aku kembali ke kamar dulu," pamitku beberapa saat kemudian. Aku tahu meninggalkan meja makan terlebih dulu adalah kurang sopan. Tapi lebih baik aku melakukannya ketimbang mendengar perbincangan yang tak ingin kudengar.
"Aku akan mengantarmu,"tawar Sam bergegas.
~~~%%~~~

Percuma saja. Dipaksapun mataku tetap tak mau terpejam. Pikiranku malah mengembara kemana-mana. Sementara malam terus bergulir. Mungkin dengan menghirup udara segar bisa menjernihkan pikiran,batinku seraya bergegas keluar dari kamar.
Berjalan berkeliling geladak mungkin akan membuatku lebih baik.
Sesungguhnya aku tak berniat pergi ke arah buritan kapal. Namun pikiranku seolah menuntun langkah kakiku menuju kesana. Barangkali untuk sejenak menengok kejadian kemarin malam.
Langkahku terhenti sebelum sampai disana. Mataku menangkap sesosok bayangan seorang wanita tengah berdiri disana. Aku mempertajam pandangan mataku.
Tidak salah lagi. Wanita itu adalah Ellen. Namun ia masih memakai gaun merah muda yang ia pakai beberapa waktu lalu.
Aku hendak mendekat tapi urung. Rupanya ia tidak sedang sendiri. Seorang laki-laki memakai tuxedo hitam tengah berbincang dengannya. Bukan. Lebih tepatnya mereka sedang berdebat. Aku bisa melihat ketegangan yang terlukis di wajah masing-masing. Samar-samar aku mendengar lengkingan emosi dari nada suara mereka.
Mereka sedang bertengkar?
Aku diam bersembunyi di tempatku. Aku tak bermaksud untuk menguping, aku hanya ingin membuktikan jika wanita itu adalah Ellen.
Untuk beberapa saat lamanya aku menunggu. Sampai pada puncaknya laki-laki itu mengakhiri pertengkaran dan ia berlalu meninggalkan wanita itu sendirian.
"Ellen?"
Aku mencoba menghampiri wanita itu beberapa menit kemudian. Meskipun pada awalnya aku merasa ragu.
Wanita itu menoleh begitu mendengar suaraku. Raut wajahnya tampak kusut. Dan aku sedikit mencium bau alkohol dari mulutnya.
"Kau?"ia tampak tak suka melihat kehadiranku. Terlebih setelah ia bertengkar dengan seseorang yang mungkin kekasihnya."Apa lagi yang kau inginkan dariku?"tanyanya kasar.
"Aku hanya ingin bertanya kenapa kau berubah secepat ini? Apa penyakitmu terlalu parah sehingga kau tidak mengenaliku lagi?"tanyaku memaksa.
"Bodoh,"gumamnya sembari tersenyum sinis."Aku sedang tidak ingin bicara dengan siapapun sekarang ini. Jadi sebaiknya kau pergi sebelum aku marah."
"Tidak,"sahutku cepat."Sebelum kau mengakui kau adalah Ellen,"tegasku.
"Kenapa aku harus mengakui kalau aku adalah Ellen? Kau tahu, aku sangat benci nama itu,"ucapnya ringan. Mungkin karena alkohol yang ia konsumsi telah meracuni otaknya.
"Jadi kau benar Ellen?"desakku dengan nada heran."Sebenarnya kau siapa? Dan pribadi seperti apa kau sebenarnya? Apa penyakit itu yang membuatmu seperti ini?"tanyaku bertubi-tubi.
"Diam kau gadis bodoh!"teriaknya. Ia mulai menunjukkan emosinya. Raut wajahnya kian memerah. Begitu juga dengan matanya.
Aku kaget dan mundur dua langkah. Namun malah menabrak besi pembatas kapal.
"Aku paling benci dengan orang yang suka mencampuri urusan orang lain, apalagi orang yang banyak banyak bertanya sepertimu. Apa kau dengar itu?"ia mendekat ke arahku seperti hendak menerkamku.
Aku tak menjawab. Posisiku terjepit sekarang ini. Dibelakangku adalah laut. Aku bahkan tak berani bergerak seinchipun.
"Kenapa?" ia tersenyum sinis melihatku."Apa kau takut? Bukankah saat itu kau pernah berniat bunuh diri? Kenapa sekarang kau takut?"tanyanya setengah mengejek.
"Tidak, aku tidak takut." Aku mencoba setenang mungkin.
"Benarkah?"tanyanya seraya tersenyum pahit.
Wanita itu mengulurkan tangannya perlahan ke arahku. Semula aku tak menduga ia akan melakukan ini padaku. Tapi wanita itu benar-benar mencekik leherku beberapa detik kemudian.
Aku terbatuk. Aku tak bisa bernafas karena tangan wanita itu semakin kuat mencengkeram leherku. Aku mencoba berontak melepaskan diri, tapi naas bagiku. Aku malah kehilangan keseimbangan dan akhirnya tubuhku jatuh kedalam laut.
Dingin menyergap ketubuhku begitu aku masuk kedalam air. Rasanya seperti ribuan pisau yang menusuk kulitku. Sakit.
Bahkan aku tak bisa menggerakkan tangan dan kakiku.
Aku membiarkan tubuhku tenggelam perlahan....
~~~%%~~~

"Sebenarnya apa yang ada dipikiranmu saat itu? Apa kau benar-benar ingin bunuh diri?"
Aku baru saja terbangun dan menyadari bahwa aku masih hidup namun Sam telah mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaannya. Harusnya dia bersyukur aku masih bisa selamat. Itupun jika dia benar-benar mencintaiku.
"Aku tidak mengerti dengan jalan pikiranmu,"ucapnya lagi. Tak memberiku celah untuk bicara."Aku tahu kau tidak setuju dengan perjodohan ini. Tapi tidak seharusnya kau berbuat senekat ini, Krys. Aku mencintaimu, kau tahu itu kan?"
"Dan aku sangat membencimu,"tukasku cepat. "Karena kau terlalu banyak bicara, kau dengar itu?"ucapku kesal.
Sam tertegun mendengar ucapanku.
"Wanita itu ingin membunuhku. Apa kau tahu itu?"tandasku sembari menatapnya tajam.
Sam balas menatapku. Aku tahu ia tak percaya ucapanku.
"Tapi untuk apa kau berada disana selarut itu?"desak Sam.
"Aku tidak bisa tidur,"ucapku.
"Tidak bisa tidur?"ulangnya sembari tersenyum pahit. Menusuk perasaanku."Apa kau harus kesana jika tidak bisa tidur? Kenapa kau tidak mencariku? Padahal aku selalu ada saat kau butuh sesuatu. Apa aku tidak berarti sama sekali untukmu?"cecarnya.
Aku mendesah kesal.
Apa yang sedang ia bicarakan? Kurasa ia sudah keluar dari topik percakapan.
"Hei, aku sedang bicara denganmu, Krys."
"Apa tidak ada yang mengatakan padamu kalau kau sangat menyebalkan?"tanyaku kesal. Aku segera bangun dari tempat tidur dan hendak pergi meninggalkan laki-laki menyebalkan itu.
"Mungkin bagimu aku sangat menyebalkan, tapi itu karena aku sangat mempedulikanmu,"timpalnya cepat.
Aku menghentikan pergerakan tubuhku dan menatapnya kemudian.
"Tidak usah mempedulikanku,"tegasku kasar.
"Krys..."tiba-tiba saja ia mencekal lenganku dan menariknya dengan paksa. Hingga jarak di antara kami sangat dekat. "Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. Tapi semakin kau menolakku aku semakin menyukaimu,"tandasnya.
Aku menepis tangannya dengan paksa.
Aku buru-buru kabur dari hadapannya beberapa detik kemudian. Aku kembali ke kamarku dan membanting pintunya.
Harusnya aku tidak pernah ikut pelayaran bodoh ini, gerutuku kesal. Lagipula kenapa pelayaran ini begitu lama?
~~~%%~~~

Aku terbangun mendengar suara ketukan di pintu kamarku. Selarut ini?batinku kesal. Pasti Sam yang sengaja ingin menggangguku.
Namun ketukan itu terdengar lagi manakala hendak ku abaikan.
"Sam, apa yang...."
Kalimatku menggantung. Bukan Sam yang ku jumpai di depan pintu kamarku. Tapi wanita aneh itu.
Ia tersenyum pahit saat melihatku kaget. Aku mundur selangkah.
"Kau masih hidup?"tanya wanita itu tampak tidak senang."Harusnya kau mati semalam."
Wanita itu melangkah maju seraya mengeluarkan sesuatu dari balik saku mantel cokelatnya. Sebuah pisau kecil ia hunuskan ke arahku sambil mendekat.
"Apa yang akan kau lakukan?"tanyaku dengan gemetar.
"Tentu saja membunuhmu,"jawabnya enteng. Seolah tanpa beban.
Aku tercekat.
"Tapi kenapa kau ingin membunuhku?"tanyaku mencoba mengajaknya berkomunikasi. Barangkali aku bisa mengalihkan perhatiannya dan mencari kesempatan untuk kabur.
"Alasannya? Tidak ada,"sahutnya. "Tidak ada alasan untuk membunuhmu."
Aneh,batinku. Ia pasti seorang psikopat.
"Apa kau tidak takut dipenjara?"tanyaku lagi.
Wanita itu tergelak beberapa saat.
"Tidak. Aku tidak takut pada apapun,"ucapnya. Tepat disaat ia mulai lengah, aku segera mengambil kesempatan untuk mendorong tubuhnya ke tembok. Lantas aku berlari secepat mungkin keluar dari kamar.
Aku berlari dan tak menoleh lagi ke belakang.
"Sam!"aku berteriak memanggil nama Sam seraya menggedor pintu kamar tunanganku itu keras-keras.
Aku mengulangi teriakanku sampai pintu kamar itu terbuka.Sam yang masih terkantuk-kantuk kaget melihatku.Namun aku takbegitu mempedulikannya dan langsung menyeruak masuk kedalam kamarnya.
"Tutup pintunya,"suruhku panik.
"Ada apa Krys?"tanya Sam tampak bingung. Ia menatapiku dengan aneh.
Aku mengatur nafasku sebelum bicara.
"Dia ingin membunuhku, Sam,"ucapku.
"Siapa?"
"Wanita gila itu. Dia mendatangi kamarku dan menghunuskan pisau ke arahku.Aku takut Sam,""aku menarik lengan piyama Sam erat-erat.
Sam menatapku seakan tak percaya. Ia mencoba menenangkan aku yang sedang panik.
"Tenang Krys,"ucapnya. "Wanita siapa?"tanyanya masih juga belum paham dengan ucapanku.
"Ellen. Dia ingin membunuhku Sam,"ucapku sekali lagi menjelaskan padanya.
Sam bergerak menuju ke pintu. Ia membuka daun pintu dan melongok keluar.
"Tidak ada siapa-siapa diluar. Coba kau lihat,"ucapnya usai menutup pintu.
Aku menatapnya dalam-dalam.
"Aku tidak bohong Sam,"tandasku."Wanita itu benar-benar datang dan..."
"Hei, dengar,"potongnya seraya mencengkeram bahuku."Kau pasti sedang bermimpi tadi."
"Sam!"seruku."Aku tidak sedang bermimpi tadi. Apa kau tidak percaya padaku?"desakku tak sabar.
Sam menggeleng.
Jadi dia tidak mempercayai ucapanku?batinku geram.Percuma aku datang kekamarnya malam-malam begini jika dia tidak pernah mempercayaiku.
"Jangan-jangan kau datang kekamarku karena kau merindukanku,"ucap Sam sembari tersenyum.
Apa? Disaat seperti inipun ia masih mengajakku bercanda.
"Apa aku tampak seperti sedang bercanda?"tanyaku kesal."Percuma aku kesini. Lebih baik aku pergi daripada meminta bantuan pada orang sepertimu."
Aku nyaris membuka pintu ketika Sam mengeluarkan suaranya.
"Bukankah katamu wanita itu ingin membunuhmu?"
"Aku tidak peduli! Biar aku mati sekalian,"sahutku kesal.
"Tapi aku peduli,"timpalnya cepat."Tetaplah disini,"pintanya melarangku pergi.
"Bukankah kau tidak mempercayai ucapanku? Aku hanya berhalusinasi. Mungkin juga aku sudah gila,"tandasku kasar.
"Krys..."serunya."Kumohon jangan berkata seperti itu. Aku percaya padamu,"ucapnya seraya mendudukkanku diatas tepian tempat tidur.
"Karena terpaksa?"tanyaku mendesak.
"Bukan,"ia menggeleng."Tidak usah membahas itu lagi.Hm, sebaiknya kau tidur karena besok kita akan tiba di New York. Oke?"
~~~%%~~~

Patung Liberty, New York....
Aku sudah bisa melihat pemandangan kota New York dari kejauhan. Hawa dingin langsung menyerbu ke tubuhku begitu kapal mulai merapat ke dermaga.
Tapi entah kenapa hatiku tidak terlalu antusias seperti sebelum aku datang kesini. Gedung-gedung tinggi tampak biasa tak seistimewa dalam benakku.
"Kau masih marah padaku?"
Uh, apalagi jika aku mendengar suara laki-laki itu. Yang selalu datang dan mengusik ketenangan hidupku.
"Aku tidak marah,"sahutku dingin. Tanpa menoleh padanya.
"Aku minta maaf,"ujarnya lagi. Memaksaku untuk menatap ke arahnya.
"Apa?"sentakku."Aku tidak dengar apa yang baru saja kau katakan,"ucapku pura-pura.
"Aku minta maaf,"ulang Sam tak keberatan.
"Minta maaf?"ulangku sembari mengernyitkan kening."Apa aku tidak salah dengar?"ejekku sambil tersenyum pahit.
Sam mengangguk.
"Untuk apa?"desakku masih berpura-pura tak mengerti.
"Krys..."ia mencengkeram bahuku."Tolong, jangan bersikap seperti ini padaku. Apa sedikitpun kau tidak punya perasaan padaku?"desak Sam kemudian.
Aku menggeleng. Dan raut wajah Sam berubah kecewa. Membuat hatiku puas melihatnya menderita.
Sam menghela nafas panjang. Ia menerawangkan pandangannya jauh kedepan.
Keheningan kami terkoyak. Dari jauh terdengar suara gaduh. Aku dan Sam bergegas melihat apa yang sedang terjadi.
Aku dan Sam hanya bisa melongo melihat beberapa orang laki-laki meringkus seorang wanita yang tak lain adalah Ellen. Dari informasi yang kami dengar ternyata wanita itu menderita gangguan jiwa. Tapi aku masih beruntung bisa lolos darinya.
"Aku masih beruntung karena kau selamat,"gumam Sam sambil merangkul bahuku.
"Ya,"sahutku bergumam pula."Aku ingin kembali ke kamar. Apa kau mau mengantarku?"
"Tentu."
Kurasa aku perlu menenangkan diri setelah semua yang terjadi. Mungkin setelah ini aku tidak mau lagi berlayar dengan kapal pesiar.
"Aku minta maaf atas ucapanku tadi. Aku terlalu kasar padamu,"ucapku pada Sam begitu sampai didepan pintu kamarku.
"Apa? Aku tidak dengar,"goda Sam seolah mengulangi ejekanku tadi.
"Sam!"teriakku sambil menimpuk bahunya keras-keras.
"Ampun Krys,"Sam meringis kesakitan sembari meminta ampun padaku.
"Makanya kau harus mempercayai ucapanku,"tandasku bersungut-sungut.
"Baik. Mulai sekarang aku akan mempercayai semua ucapanmu. Apa kau puas?"
"Bagus. Kau memang anak yang manis..."aku meledakkan tawaku kemudian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar