Jumat, 05 Juli 2013


"Maafin aku, May. Tadi aku ketemu Risna dijalan, jadi sekalian aja aku antar dia pulang. Kamu nggak pa pa kan?"tanya Mas Arya seraya menoleh ke arahku. Sementara aku pura-pura sibuk memasang safety belt ke tubuhku.
Risna lagi Risna lagi, batinku kesal. Kenapa akhir-akhir ini Mas Arya tampak lebih mempedulikan mantan kekasihnya itu ketimbang aku. Risna juga sama. Bukankah ia sudah tahu bahwa Mas Arya adalah tunanganku, tapi ia masih saja mendekati mantan kekasihnya itu.
"May, kok diam?"tegur Mas Arya beberapa menit kemudian."Kamu marah ya?"tanyanya lagi.
Marah? batinku kesal. Tentu saja. Bahkan bukan itu saja. Aku juga cemburu padanya. Siapapun orangnya pasti akan bersikap sama denganku. Bahkan orang bodoh sekalipun.
Aku menggeleng sejurus kemudian. Karena bagiku pantang untuk menunjukkan perasaanku padanya. Aku bahkan mengembangkan sedikit senyum untuknya.
"Benar kamu nggak marah?"tanyanya sekali lagi. Untuk meyakinkan dirinya sendiri.
"Benar. Aku nggak marah kok,"tandasku berpura-pura.
Mas Arya tersenyum mendengar kalimatku. Ia tampaknya lega mendengar bahwa aku baik-baik saja. Tapi ia tidak tahu jika hatiku terluka saat itu juga.
"Kamu lapar nggak? Kita mampir cari makan dulu yuk,"ajaknya saat kami melewati areal pedagang kaki lima yang menjual berbagai macam panganan.
"Aku pingin cepat pulang Mas. Aku capek,"sahutku sengaja ingin mengecewakan hatinya. Padahal perutku kosong karena belum diisi sejak tadi pagi.
Mas Arya sedikit kaget mendengar jawabanku. Ia melirik ke arahku melalui kaca spion depan. Biasanya aku yang merengek memintanya agar mentraktirku makan siomay Bandung di tempat langgananku, tapi kali ini tidak.
"Tumben...."ucapnya menyindir sambil tersenyum.
"Kegiatan di kampus sangat melelahkan,"tandasku berbohong.
"Jangan terlalu capek, May..."sahut Mas Arya mengingatkan.
Aku malas menanggapi ucapannya. Kalimatnya yang sok perhatian itu justru membuatku kesal. Aku bukan anak kecil yang mesti di ingatkan.
"Benar kamu nggak lapar?"tanya Mas Arya sekali lagi. Entah kenapa ia begitu perhatian, seperti ingin memaksaku agar mengiyakan ajakannya.
Aku menggelengkan kepalaku.
"Ya udah, Mas makan di kantor saja kalau begitu,"ucapnya mengalah pasrah. Membuatku tak enak hati padanya.
Namun Mas Arya tiba-tiba menepikan mobilnya ke sebuah kios kecil.
"Mas mau beli minum, kamu mau titip sekalian? Tissue mungkin..."tawarnya kemudian.
"Nggak usah,"tolakku.
"Kamu tunggu sebentar ya,"pamitnya seraya membuka pintu mobil lantas keluar. Ia tampak tergesa menuju ke kios di tepi jalan itu.
Aku tercekat manakala tiba-tiba saja terdengar dering handphone. Tapi yang berdering bukan milikku.
Oh, rupanya handphone Mas Arya ketinggalan di atas jok mobil. Kebiasaan buruknya belum juga hilang. Laki-laki itu sedikit ceroboh.
Aku segera memungut benda itu. Aku takut itu telepon penting dari kantornya.
Aku tertegun menatap sebaris nama yang tertera di display handphone milik Mas Arya. Risna memanggil.....
Dadaku langsung sesak, seperti dihantam menggunakan palu. Sakit.
Untuk apa gadis itu menelpon Mas Arya? Aku tidak menyangka bahwa hubungan mereka masih sedekat ini. Lantas apa arti diriku dimata Mas Arya?
"Maaf membuatmu menunggu..."
Mas Arya telah kembali dengan dua buah botol minum air mineral. Aku paling hafal dengan kebiasaannya selalu minum air putih. Ia benar-benar memperhatikan kesehatan.
"Risna menelpon,"beritahuku saat ia telah meluncurkan mobilnya ke jalan. Dengan nada datar.
Mas Arya menoleh padaku.
"Oh,"gumamnya."Dia bilang apa?"tanyanya seolah tidak khawatir aku akan mencemburuinya atau yang paling parah aku akan marah padanya.
"Nggak ku angkat,"sahutku pelan. Pandanganku masih lurus mengarah kedepan.
Mas Arya tak merespon. Ia tampak tenang tanpa sedikitpun mengkhawatirkan perasaanku.
"Sebenarnya hubungan kalian seperti apa?"aku memberanikan diri untuk bertanya.
"Kami hanya berteman, May. Kenapa kamu bertanya seperti itu?"Mas Arya balik bertanya seolah aku yang salah telah mempertanyakan hubungan mereka.
"Apa Mas masih mencintainya?"desakku tak sabar.
"May..."Mas Arya melirikku sekilas."Antara kami sudah berakhir, kamu tahu itu kan? Kamu nggak percaya padaku?"
"Bukan aku nggak percaya, tapi sikap Mas sendiri yang membuatku membuat kesimpulan sendiri,"tandasku kesal.
"Kesimpulan apa maksudmu?"tanya Mas Arya penasaran.
"Bahwa Mas masih mencintainya. Dan selama ini Mas hanya berpura-pura mencintaiku. Mas bertunangan denganku karena dipaksa bukan?"cecarku kemudian.
"Apa yang kamu bicarakan May? Aku jadi bingung,"ucap Mas Arya memasang tampang bodoh. Aku yakin dia pasti tahu apa yang sedang ku bicarakan.
Aku tersenyum pahit.
"Jangan berpura-pura bodoh Mas,"ucapku kasar. Aku sedang marah saat ini."Jika Mas masih mencintainya, aku akan membatalkan pertunangan kita."
"May!"teriakan Mas Arya membuatku kaget. "Kamu ngomong apa sih? Aku dan Risna bersahabat. Kamu pasti salah paham dengan kedekatan kami."
Salah paham? Lucu sekali,batinku.
"Kalau Mas nggak ingin aku salah paham kenapa masih berhubungan dengannya?"desakku ngotot.
"Karena aku punya alasan sendiri."
"Alasan apa?"desakku.
"Kamu nggak akan mengerti May...."
"Jika Mas nggak mau bilang, bagaimana aku akan mengerti?"tanyaku kesal. Sejak kapan ia bermain rahasia seperti ini denganku?
Namun Mas Arya mendiamkan pertanyaanku. Seolah ia tidak pernah mendengarnya.
"Berhenti. Aku mau turun disini,"tandasku kemudian.
"May?"Mas Arya kaget."Tapi rumahmu masih jauh...."
"Kubilang berhenti! Aku mau turun disini,"ulangku dengan nada tinggi.
Mas Arya menginjak rem tiba-tiba setelah aku berteriak padanya.
Aku bergegas turun dari atas mobil Mas Arya setelah itu. Dengan emosi yang sedang memuncak. Ia hendak mengejarku namun aku segera menghentikan taksi yang kebetulan saat itu tengah melintas. Moment yang sangat tepat dan mendukung untuk kabur darinya.
Sebenarnya siapa yang lebih egois? Aku atau dia?batinku kesal. Dari gelagatnya saja aku tahu ia tidak serius berhubungan denganku. Betapa bodohnya diriku terjebak dalam pertunangan konyol ini.
~~~##~~~
"May, benar kamu mau ikut pendakian?"tanya Aldo sembari mengerutkan keningnya sehingga ia tampak sepuluh tahun lebih tua dari usianya.
"Kenapa? Nggak boleh?"tanyaku bersungut-sungut.
"Bukan begitu, biasanya kamu kan paling anti dengan kegiatan seperti ini,"ujarnya mengulas kebiasaanku.
Aku menghela nafas berat. Memang susah merubah kebiasaan dan akan tampak aneh dimata orang lain.
"Sekali-kali aku juga ingin berpetualang,"tandasku santai.
"Hoho... lucu sekali,"sahutnya seraya nyengir."Seorang penakut ingin berpetualang? Kalau di tulis dalam novel mungkin akan lebih mirip seperti Alice in Wonderland,"celutuknya menyindirku.
"Dasar resek,"olokku sambil menimpuk bahunya kuat-kuat. Membuat Aldo meringis kesakitan.
"Ampun May,"rengeknya. "Pukulanmu kuat juga. Kamu belajar karate dimana?"
Aku terbahak mendengar leluconnya.
"Aku kan belajar karate dari kamu,"sahutku sekenanya.Menyambung gurauan segarnya.
"Oh, aku ingat sekarang. Kamu muridku yang paling bandel itu ya,"lanjutnya seraya berpura-pura mengingat-ingat sesuatu."Tapi sayangnya aku nggak bisa menghukummu."
"Kenapa?"tanyaku antusias.
"Karena kamu satu-satunya muridku dari bangsa manusia. Sebab muridku yang lain berasal dari bangsa monyet,"ucapnya bernada serius. Tapi sesungguhnya itu sangat lucu buatku. Membuatku tertawa ngakak tak berhenti.
Aldo memang sangat lucu. Siapapun yang berteman dengannya pasti akan senang. Termasuk diriku.
Tapi tiba-tiba Aldo menyentil pundakku. Mengisyaratkan ada sesuatu yang mesti aku lihat disudut lain.
Mas Arya tampak melangkah ke arah kami.
"Aku pergi dulu,"pamitku seraya bergegas berlalu dari dekat Aldo.
Aku menghampiri Mas Arya. Kemudian mencecarnya dengan pertanyaan.
"Kenapa kesini? Bukankah tadi aku sudah mengirim sms?"tanyaku sewot. Aku ingin menunjukkan kebencianku padanya.
"May...kumohon jangan bersikap seperti ini,"pinta Mas Arya.
"Lalu aku harus bersikap bagaimana?"tanyaku ketus. "Mas nggak pernah mau mengerti perasaanku."
"Maafkan aku May..."
"Sudahlah,"ucapku menepis tangannya yang hendak meraih genggamanku."Mungkin aku yang bersalah selama ini."
Aku meninggalkan Mas Arya di depan pintu gerbang kampus. Persis seperti hari kemarin. Aku ingin memberinya sedikit "pelajaran".
Meski dia berusaha mengejarku tapi aku sudah tak peduli lagi padanya. Aku akan mengakhiri semua ini. Secepatnya.
~~~##~~~
Langkah-langkahku terasa berat. Belum lagi ditambah dengan ransel yang membebani punggungku. Mungkin nyaris dua puluh kilo beratnya. Padahal perjalanan baru saja dimulai.. Dan tenagaku rasanya sudah habis.
"Apa kabar May?"tegur Aldo tiba-tiba. Sahabatku itu sengaja kembali hanya untuk menyapaku. Mungkin untuk menguji kesabaranku.
Aku tak menjawab. Aku berjalan tanpa mempedulikan kehadirannya.
"Apa kamu sudah mulai menyesal ikut pendakian ini?"ledeknya kemudian. Langkah-langkahnya menjajariku.
"Sebaiknya kamu diam,"tandasku mencoba bersabar."Atau kamu mau menggendongku?"
Aldo cekikikan.
"Ini masih baru permulaan lho. Jangan-jangan nanti kamu pingsan di tengah jalan,"ucapnya masih giat menggodaku.
"Apa aku tampak selemah itu?"tanyaku. Aku berusaha untuk tetap tegar sampai akhir.
"Maka dari itu aku menemanimu ngobrol. Biar capeknya nggak terasa,"ucapnya berbaik hati.
Aldo benar, batinku. Bagaimanapun punya teman ngobrol dalam perjalanan jauh lebih baik daripada berjalan sendirian. Apalagi di tengah hutan seperti ini.
Baru sebentar Aldo menemani perjalananku tiba-tiba saja ketua tim memanggilnya. Terpaksa aku sendirian lagi.
Aku sudah merasa menyesal semenjak tiba di desa yang terletak dibawah gunung tadi pagi. Semua gara-gara Mas Arya. Aku ikut pendakian ini karena sedang kecewa padanya. Aku melakukan ini untuk membalasnya tapi aku yang kena batunya. Karena pelarianku salah. Harusnya aku pergi bersenang-senang di mal, bukannya ikut pendakian seperti ini.
"Ayo semangat May!"teriak Aldo lantang. Ia sedang memimpin pendakian sekarang ini.
Aku capek. Aku ingin berhenti sebentar untuk mengistirahatkan kakiku barang beberapa detik.
Aku mengambil botol minum dari dalam tasku dan buru-buru meneguk isinya.
"Ayo jalan,"suruh ketua tim yang memergokiku istirahat dibawah pohon. Membuatku kesal. Aku ini manusia, bukan robot yang punya tenaga ekstra . Aku menggerutu sendirian seraya bangkit dari tempat dudukku dan segera menyusul langkah teman-temanku.
Dan entah bagaimana kronologisnya tiba-tiba saja kakiku kehilangan keseimbangan. Aku terperosok dan jatuh tergelincir kebawah. Untuk beberapa detik lamanya tubuhku meluncur kebawah menerobos semak-semak dan baru terhenti usai menubruk sebuah batang pohon.
Aku meringis kesakitan. Kepalaku terbentur batang pohon. Sementara punggung dan tanganku juga terasa sakit akibat menerobos semak-semak.
Dengan susah payah aku mencoba untuk bangkit kembali meski harus menahan sakit.
Aku menatap ke atas. Rupanya tempat aku jatuh lumayan dalam. Teman-temanku juga tidak tampak dari sini.
Aku mencoba berteriak.Namun sampai suaraku serak tak ada satupun yang menyahut panggilanku. Apa mereka tak bisa mendengar suaraku?
Aku tak kehilangan akal. Aku mengeluarkan ponsel andalanku. Tapi sialnya ponselku tak bisa menangkap satu sinyalpun.
Gawat!!!! batinku panik. Aku mulai ketakutan.
Aku tersesat di hutan. Sendirian pula. Mama, bagaimana ini?
Untuk beberapa saat lamanya aku tertegun meratapi nasibku.
Mungkin saja ini adalah hukum karma buatku. Malangnya nasibku, batinku seraya mulai melangkah kembali menyusuri jalanan setapak. Aku harus menemukan teman-temanku kembali. Atau paling tidak, aku harus menemukan orang lain di tengah hutan itu. Apalagi malam akan segera turun.
Namun sekitar satu jam perjalanan aku tidak mendapati satupun jejak manusia di tempat itu. Membuatku putus asa dan ingin menyerah saat ini jjuga.
Seandainya ada Mas Arya disini....
"Apa kamu tersesat?"
Aku kaget mendengar teguran itu. Seorang laki-laki muda berdiri dihadapanku tanpa kusadari. Ia juga pendaki gunung sepertiku.
Aku mengiyakan dengan cepat.
"Aku juga tersesat,"ucapnya.
Benarkah? Tapi aku merasa lega bisa bertemu dengannya. Aku tidak sendirian sekarang. Dua orang yang tersesat lebih baik daripada tersesat sendirian.
"Tampaknya kita harus mencari tempat bermalam,"tandasnya seraya mengamati langit yang berangsur menggelap.
"Bermalam di hutan ini?"tanyaku tak percaya.
"Iya,"sahutnya."Kita nggak mungkin melanjutkan perjalanan dalam kondisi gelap. Itu akan sangat berbahaya,"ucapnya memberi penjelasan.
~~~##~~~
Akhirnya kami mendirikan tenda setelah menemukan tempat yang cocok, yakni di tepi sungai. Malam bertambah larut dan dingin.
Laki-laki asing itu sibuk membuat perapian dari ranting-ranting kering yang ia kumpulkan disekitar tempat itu.
Sementara aku menyiapkan makan malam. Bukan makan malam yang sebenarnya, namun hanya biskuit gandum dan minuman elektrolit untuk mengganjal perut.
"Bagaimana kamu bisa tersesat?"laki-laki itu mendekat ke arahku usai menyalakan api unggun.
"Aku jatuh dan sayangnya nggak ada satupun temanku yang melihatku,"tuturku.
"Oh,"gumamnya. "Mendekatlah ke api, cuaca disini sangat dingin,"suruhnya.
Udara memang sangat dingin. Aku menuruti perintahnya untuk mendekat ke api unggun.
"Siapa namamu?"ia bertanya seraya membenahi nyala api.
"May,"jawabku."Kamu?"aku balik tanya.
"Cakra,"sahutnya pendek. Nama yang unik dan langka.
"Apa ini pertama kalinya kamu mendaki?"Cakra mengajukan pertanyaan padaku.
"Hm,"aku mengangguk."Kamu pasti sudah sering melakukannya,"tebakku kemudian.
"Iya,"timpalnya."Bisa dikatakan gunung adalah rumahku."
"Benarkah?"
Ia hanya mengembangkan senyum.
"Apa kita bisa pulang? Maksudku, apa kita bisa keluar dari hutan ini?"tanyaku menyambung perbincangan.
"Pasti bisa,"sahutnya optimis.
Jawaban yang benar-benar melegakan.
"Sebaiknya kamu tidur sekarang karena besok pagi kita harus melanjutkan perjalanan. Jika beruntung kita akan bertemu dengan rombongan pendaki lain atau tim penyelamat. Aku akan berjaga disini,"ucapnya lagi.
"Apa aku boleh tahu kenapa kamu bisa tersesat sepertiku?"aku mengabaikan ucapannya.
"Sama sepertimu. Aku terpeleset dan jatuh,"jelasnya.
Aku tersenyum kecil.
"Baiklah, aku akan tidur sekarang,"aku bangkit dari tempat dudukku dan langsung masuk kedalam tenda milikku.
Malam ini akan menjadi malam yang tak terlupakan dalam hidupku. Tersesat di hutan dan bermalam didalam tenda. Entah apa yang akan terjadi esok hari. Kami akan selamat atau tidak?
~~~##~~~
Mataku masih terasa berat. Namun kami harus melanjutkan perjalanan. Cakra membereskan tempat bekas api unggun. Memastikan tidak ada nyala api disana.
"Kamu sudah siap?"tegurnya .
"Ya,"jawabku."Apa semalaman kamu berjaga? Kamu nggak tidur sama sekali?"desakku. Kami memulai perjalanan dan sesekali aku mengajukan banyak pertanyaan padanya. Agar perjalanan kami tidak membosankan.
"Aku sudah terbiasa seperti ini,"sahutnya datar.
Pantas saja wajahnya tampak pucat,batinku. Kemarin aku tak begitu jelas menatap wajahnya karena hari berangsur senja. Namun aku bisa melihatnya kini. Ia tampan juga.
"Apa yang sedang kamu pikirkan?"tegurnya membuatku kaget. Apa ia tahu apa yang sedang kupikirkan?
"Nggak ada,"sahutku pura-pura sewot.
"Tapi tadi aku lihat kamu senyum-senyum sendiri,"timpalnya membuatku mati kutu.
Aku tak berkomentar dan lebih berkonsentrasi pada langkah-langkah kakiku.
"Apa kamu punya pacar?"tanyaku beberapa saat kemudian.
"Untuk apa kamu bertanya? Bukankah kamu sudah bertunangan?"ia balik tanya.
"Darimana kamu tahu kalau aku sudah bertunangan?"tanyaku heran.
Cakra tersenyum.
"Dari cincinmu,"sahutnya.
"Betul juga,"gumamku seperti orang bodoh."Tapi aku nggak yakin dia mencintaiku,"tuturku berterus terang.
"Kenapa kamu berpikir seperti itu?"desaknya.
"Karena dia masih berhubungan dengan mantan kekasihnya,"sahutku cepat."Kamu tahu, aku ikut pendakian ini karena aku sedang marah padanya. Aku sengaja ingin menghindarinya,"
"Tapi kamu malah tersesat dan bertemu denganku,"tukasnya seraya tersenyum."Kamu nggak boleh berbuat seperti itu,May. Tampaknya dia laki-laki yang baik."
"Oh, sekarang kamu ingin membelanya juga? Lucu sekali,"timpalku sedikit kesal.
"Aku yakin dia sangat mencintaimu,"ucapnya lagi.Seolah-olah ia sangat mengenal Mas Arya.
"Pembelaan sesama laki-laki?"
"Nggak juga, tapi aku punya feeling seperti itu."
"Feeling nggak selalu bisa diandalkan."Aku bergumam sendirian.
Suasana mereda. Tak ada lanjutan dari perbincangan sebelumnya. Karena jalan yang harus kami lalui sedikit terjal. Jadi kami harus ekstra hati-hati.
"Jangan melihat kebawah May!"seru Cakra yang berjalan dibelakangku."Lihat saja langkahmu dan hati-hati!"imbuhnya memperingatkan.
"Apa kita harus melewati jalan ini?"tanyaku sedikit cemas. Ini benar-benar sulit untukku.
"Ini jalan satu-satunya. Kalaupun kita memutar butuh waktu dua atau tiga jam untuk turun"jelasnya.
Menyebalkan, gerutuku. Kesal.
"May!"seiring teriakan Cakra kakiku telah kehilangan pijakan. Ia hendak memperingatkanku tapi terlambat. Tubuhku nyaris terperosok ke jurang yang terletak disisi jalan yang kami lewati. Untung saja tangan Cakra bergerak dengan cepat menyambar tubuhku. Terlambat sedikit saja bisa fatal akibatnya.
"Terima kasih..."ucapku gemetar.
Baru saja aku menutup mulutku giliran Cakra yang tertimpa musibah. Karena sibuk memperhatikan keselamatanku ia lalai dengan pijakan kakinya.
Tubuhnya mendadak terperosok dan tangannya berusaha menggapai ke atas untuk mencari pegangan. Aku sudah berusaha secepat mungkin meraih tangannya namun hanya gelang kayu miliknya yang bisa kuselamatkan.
Tidak!!!!
Tubuh Cakra meluncur bebas kebawah dan sesekali membentur apa saja yang menghalanginya. Hingga akhirnya ia berhenti didasar jurang itu.
Oh Tuhan...jeritku tersendat.
~~~##~~~
Aku terbangun. Tapi bukan di dalam hutan, melainkan di kamar rumah sakit. Tak ada pohon, gunung dan jalan setapak. Juga tidak ada Cakra.
Cakra? Aku seperti tersadar. Dimana dia? Bagaimana keadaannya? batinku cemas.
Aku membuka genggaman tanganku. Gelang kayu milik Cakra masih erat dalam genggamanku.
"Kamu sudah sadar?"sapa seorang suster saat melihatku berusaha bangun dari tempat tidur.
"Dimana Cakra?"tanyaku panik."Apa dia selamat?"
"Siapa dia?"tanya suster itu seraya sibuk mengganti tabung infusku yang telah kosong.
"Dia teman seperjalananku. Dia jatuh ke jurang. Bagaimana keadaannya?"cecarku bertubi-tubi. Aku benar-benar mencemaskan keadaannya.
"Tim SAR menemukanmu pingsan didalam jurang. Dan nggak ada korban lain. Kamu pingsan hampir dua hari,"tutur suster itu cepat.
Aku sedikit heran dengan keterangan suster itu. Bagaimana bisa mereka tidak menemukan Cakra? Bukankah dia yang jatuh ke jurang, tapi kenapa malah aku yang mereka temukan disana.
Tiba-tiba saja mama dan papa muncul. Juga Mas Arya. Mereka tampak mencemaskan keadaanku.
"Mereka harus menemukan Cakra, Pa,"ucapku. "Dia jatuh ke jurang karena menolongku."
"Maksudmu siapa May? Nggak ada orang lain disana. Tim SAR nggak menerima laporan kehilangan selain kamu,"tandas papa.
"Tapi Cakra..."
"Cakra?"gumam Mas Arya. Ia melihat gelang kayu didalam genggaman tanganku dan meraihnya. Ia memperhatikan benda itu dengan ekspresi aneh.
"Mas tolong dia..."ucapku tanpa sadar.
"Dimana kamu bertemu dia?"desak Mas Arya kemudian.
"Di hutan,"jawabku. "Aku bertemu dengannya saat tersesat. Dia bilang dia juga tersesat. Kami sempat bermalam dan melanjutkan perjalanan keesokan harinya. Tapi dia jatuh ke jurang karena menyelamatkanku."Aku tak kuasa menahan kesedihan saat mengingat laki-laki itu.
Mas Arya tampak kaget mendengar penuturanku.
"Apa Mas mengenalnya?"
Mas Arya tak menyahut. Dia bertingkah aneh seperti orang linglung.
"Ada apa sebenarnya?"tanya papa menyela.
"Dia adikku yang telah meninggal lima tahun yang lalu,"ucap Mas Arya membuat semua orang di kamar itu kaget.
"Apa?"seru mama dan papa serempak.
Mas Arya mendesah berat.
"Dia meninggal dalam sebuah pendakian. Semua barang-barang miliknya ditemukan kecuali gelang kayu itu,"tutur Mas Arya lagi.
"Jadi...."kalimatku tak bisa kuteruskan.
"Ya, dia telah menyelamatkan tunangan kakaknya,"tandas Mas Arya.
Aku hanya bisa tertegun sembari mengenang sosok adik Mas Arya.
Entah apa yang ingin ia sampaikan padaku.....
~~~##~~~
"Risna datang untuk menjengukmu,"suara mama terdengar menyapa telingaku. Membuyarkan lamunan panjangku tentang gunung, jurang dan juga Cakra.
Kenapa dia mesti datang kesini? gumamku kesal. Aku sedang tidak ingin bertemu siapapun terlebih gadis itu.
"Bagaimana kabarmu, May?"sapa Risna sambil meletakkan keranjang buah diatas meja.
"Lumayan,"sahutku tak bersemangat.
Risna menyeret sebuah kursi ke dekat tempat tidur.
"Aku ingin bicara denganmu,"tandasnya usai mama pergi. Tinggal kami berdua yang ada didalam kamar itu.
"Tentang apa?"tanyaku datar.
Aku sebenarnya bisa menebak apa yang hendak ia bicarakan. Tapi aku berpura-pura bodoh. Karena bagiku itu membuatku lebih baik.
"Aku dan Mas Arya sudah berakhir dua tahun yang lalu, May,"ulasnya memulai penuturannya. "Tapi kami masih saling berkomunikasi sampai sekarang. Aku harap kamu nggak salah paham tentang hal itu."
Aku menghela nafas dalam-dalam. Tanpa menyela.
"Aku bukan wanita baik-baik, May,"imbuhnya membuatku terkejut. Apa maksudnya?
"Aku pernah mengkhianatinya,"lanjutnya kemudian."Aku melakukan kesalahan terbesar dalam hidupku. Itu menyebabkan aku terkena HIV positif,"ungkapnya jujur.
"Apa?"tanyaku karena terkejut.
"Benar,"sahutnya."Itu adalah harga yang pantas aku terima."
Aku mulai tertarik dengan kisahnya. Segala kebencian yang semula mengendap dalam hatiku mencair begitu saja. Seperti pasir yang tersapu ombak laut.
"Selama ini Mas Arya selalu memberi dukungan padaku. Dia yang memberi motivasi agar sisa hidupku aku gunakan dengan sebaik-baiknya. Bukan karena dia masih mencintaiku, tapi lebih karena ia sangat mempedulikan orang-orang di sekitarnya. Dia terlalu baik, May. Kamu sangat beruntung mendapatkannya."
Risna tersenyum. Lantas ia meraih genggaman tanganku.
"Dia sangat mencintaimu, May..."
Mendadak mataku terasa pedas. Ada bulir-bulir air mata yang siap tertumpah saat itu juga.
Dimana Mas Arya? Aku ingin segera bertemu dengannya dan meminta maaf atas semua kesalahan yang pernah kulakukan padanya. Akhirnya aku tahu kalau dia sangat mencintaiku......


"Maafin aku, May. Tadi aku ketemu Risna dijalan, jadi sekalian aja aku antar dia pulang. Kamu nggak pa pa kan?"tanya Mas Arya seraya menoleh ke arahku. Sementara aku pura-pura sibuk memasang safety belt ke tubuhku.
Risna lagi Risna lagi, batinku kesal. Kenapa akhir-akhir ini Mas Arya tampak lebih mempedulikan mantan kekasihnya itu ketimbang aku. Risna juga sama. Bukankah ia sudah tahu bahwa Mas Arya adalah tunanganku, tapi ia masih saja mendekati mantan kekasihnya itu.
"May, kok diam?"tegur Mas Arya beberapa menit kemudian."Kamu marah ya?"tanyanya lagi.
Marah? batinku kesal. Tentu saja. Bahkan bukan itu saja. Aku juga cemburu padanya. Siapapun orangnya pasti akan bersikap sama denganku. Bahkan orang bodoh sekalipun.
Aku menggeleng sejurus kemudian. Karena bagiku pantang untuk menunjukkan perasaanku padanya. Aku bahkan mengembangkan sedikit senyum untuknya.
"Benar kamu nggak marah?"tanyanya sekali lagi. Untuk meyakinkan dirinya sendiri.
"Benar. Aku nggak marah kok,"tandasku berpura-pura.
Mas Arya tersenyum mendengar kalimatku. Ia tampaknya lega mendengar bahwa aku baik-baik saja. Tapi ia tidak tahu jika hatiku terluka saat itu juga.
"Kamu lapar nggak? Kita mampir cari makan dulu yuk,"ajaknya saat kami melewati areal pedagang kaki lima yang menjual berbagai macam panganan.
"Aku pingin cepat pulang Mas. Aku capek,"sahutku sengaja ingin mengecewakan hatinya. Padahal perutku kosong karena belum diisi sejak tadi pagi.
Mas Arya sedikit kaget mendengar jawabanku. Ia melirik ke arahku melalui kaca spion depan. Biasanya aku yang merengek memintanya agar mentraktirku makan siomay Bandung di tempat langgananku, tapi kali ini tidak.
"Tumben...."ucapnya menyindir sambil tersenyum.
"Kegiatan di kampus sangat melelahkan,"tandasku berbohong.
"Jangan terlalu capek, May..."sahut Mas Arya mengingatkan.
Aku malas menanggapi ucapannya. Kalimatnya yang sok perhatian itu justru membuatku kesal. Aku bukan anak kecil yang mesti di ingatkan.
"Benar kamu nggak lapar?"tanya Mas Arya sekali lagi. Entah kenapa ia begitu perhatian, seperti ingin memaksaku agar mengiyakan ajakannya.
Aku menggelengkan kepalaku.
"Ya udah, Mas makan di kantor saja kalau begitu,"ucapnya mengalah pasrah. Membuatku tak enak hati padanya.
Namun Mas Arya tiba-tiba menepikan mobilnya ke sebuah kios kecil.
"Mas mau beli minum, kamu mau titip sekalian? Tissue mungkin..."tawarnya kemudian.
"Nggak usah,"tolakku.
"Kamu tunggu sebentar ya,"pamitnya seraya membuka pintu mobil lantas keluar. Ia tampak tergesa menuju ke kios di tepi jalan itu.
Aku tercekat manakala tiba-tiba saja terdengar dering handphone. Tapi yang berdering bukan milikku.
Oh, rupanya handphone Mas Arya ketinggalan di atas jok mobil. Kebiasaan buruknya belum juga hilang. Laki-laki itu sedikit ceroboh.
Aku segera memungut benda itu. Aku takut itu telepon penting dari kantornya.
Aku tertegun menatap sebaris nama yang tertera di display handphone milik Mas Arya. Risna memanggil.....
Dadaku langsung sesak, seperti dihantam menggunakan palu. Sakit.
Untuk apa gadis itu menelpon Mas Arya? Aku tidak menyangka bahwa hubungan mereka masih sedekat ini. Lantas apa arti diriku dimata Mas Arya?
"Maaf membuatmu menunggu..."
Mas Arya telah kembali dengan dua buah botol minum air mineral. Aku paling hafal dengan kebiasaannya selalu minum air putih. Ia benar-benar memperhatikan kesehatan.
"Risna menelpon,"beritahuku saat ia telah meluncurkan mobilnya ke jalan. Dengan nada datar.
Mas Arya menoleh padaku.
"Oh,"gumamnya."Dia bilang apa?"tanyanya seolah tidak khawatir aku akan mencemburuinya atau yang paling parah aku akan marah padanya.
"Nggak ku angkat,"sahutku pelan. Pandanganku masih lurus mengarah kedepan.
Mas Arya tak merespon. Ia tampak tenang tanpa sedikitpun mengkhawatirkan perasaanku.
"Sebenarnya hubungan kalian seperti apa?"aku memberanikan diri untuk bertanya.
"Kami hanya berteman, May. Kenapa kamu bertanya seperti itu?"Mas Arya balik bertanya seolah aku yang salah telah mempertanyakan hubungan mereka.
"Apa Mas masih mencintainya?"desakku tak sabar.
"May..."Mas Arya melirikku sekilas."Antara kami sudah berakhir, kamu tahu itu kan? Kamu nggak percaya padaku?"
"Bukan aku nggak percaya, tapi sikap Mas sendiri yang membuatku membuat kesimpulan sendiri,"tandasku kesal.
"Kesimpulan apa maksudmu?"tanya Mas Arya penasaran.
"Bahwa Mas masih mencintainya. Dan selama ini Mas hanya berpura-pura mencintaiku. Mas bertunangan denganku karena dipaksa bukan?"cecarku kemudian.
"Apa yang kamu bicarakan May? Aku jadi bingung,"ucap Mas Arya memasang tampang bodoh. Aku yakin dia pasti tahu apa yang sedang ku bicarakan.
Aku tersenyum pahit.
"Jangan berpura-pura bodoh Mas,"ucapku kasar. Aku sedang marah saat ini."Jika Mas masih mencintainya, aku akan membatalkan pertunangan kita."
"May!"teriakan Mas Arya membuatku kaget. "Kamu ngomong apa sih? Aku dan Risna bersahabat. Kamu pasti salah paham dengan kedekatan kami."
Salah paham? Lucu sekali,batinku.
"Kalau Mas nggak ingin aku salah paham kenapa masih berhubungan dengannya?"desakku ngotot.
"Karena aku punya alasan sendiri."
"Alasan apa?"desakku.
"Kamu nggak akan mengerti May...."
"Jika Mas nggak mau bilang, bagaimana aku akan mengerti?"tanyaku kesal. Sejak kapan ia bermain rahasia seperti ini denganku?
Namun Mas Arya mendiamkan pertanyaanku. Seolah ia tidak pernah mendengarnya.
"Berhenti. Aku mau turun disini,"tandasku kemudian.
"May?"Mas Arya kaget."Tapi rumahmu masih jauh...."
"Kubilang berhenti! Aku mau turun disini,"ulangku dengan nada tinggi.
Mas Arya menginjak rem tiba-tiba setelah aku berteriak padanya.
Aku bergegas turun dari atas mobil Mas Arya setelah itu. Dengan emosi yang sedang memuncak. Ia hendak mengejarku namun aku segera menghentikan taksi yang kebetulan saat itu tengah melintas. Moment yang sangat tepat dan mendukung untuk kabur darinya.
Sebenarnya siapa yang lebih egois? Aku atau dia?batinku kesal. Dari gelagatnya saja aku tahu ia tidak serius berhubungan denganku. Betapa bodohnya diriku terjebak dalam pertunangan konyol ini.
~~~##~~~
"May, benar kamu mau ikut pendakian?"tanya Aldo sembari mengerutkan keningnya sehingga ia tampak sepuluh tahun lebih tua dari usianya.
"Kenapa? Nggak boleh?"tanyaku bersungut-sungut.
"Bukan begitu, biasanya kamu kan paling anti dengan kegiatan seperti ini,"ujarnya mengulas kebiasaanku.
Aku menghela nafas berat. Memang susah merubah kebiasaan dan akan tampak aneh dimata orang lain.
"Sekali-kali aku juga ingin berpetualang,"tandasku santai.
"Hoho... lucu sekali,"sahutnya seraya nyengir."Seorang penakut ingin berpetualang? Kalau di tulis dalam novel mungkin akan lebih mirip seperti Alice in Wonderland,"celutuknya menyindirku.
"Dasar resek,"olokku sambil menimpuk bahunya kuat-kuat. Membuat Aldo meringis kesakitan.
"Ampun May,"rengeknya. "Pukulanmu kuat juga. Kamu belajar karate dimana?"
Aku terbahak mendengar leluconnya.
"Aku kan belajar karate dari kamu,"sahutku sekenanya.Menyambung gurauan segarnya.
"Oh, aku ingat sekarang. Kamu muridku yang paling bandel itu ya,"lanjutnya seraya berpura-pura mengingat-ingat sesuatu."Tapi sayangnya aku nggak bisa menghukummu."
"Kenapa?"tanyaku antusias.
"Karena kamu satu-satunya muridku dari bangsa manusia. Sebab muridku yang lain berasal dari bangsa monyet,"ucapnya bernada serius. Tapi sesungguhnya itu sangat lucu buatku. Membuatku tertawa ngakak tak berhenti.
Aldo memang sangat lucu. Siapapun yang berteman dengannya pasti akan senang. Termasuk diriku.
Tapi tiba-tiba Aldo menyentil pundakku. Mengisyaratkan ada sesuatu yang mesti aku lihat disudut lain.
Mas Arya tampak melangkah ke arah kami.
"Aku pergi dulu,"pamitku seraya bergegas berlalu dari dekat Aldo.
Aku menghampiri Mas Arya. Kemudian mencecarnya dengan pertanyaan.
"Kenapa kesini? Bukankah tadi aku sudah mengirim sms?"tanyaku sewot. Aku ingin menunjukkan kebencianku padanya.
"May...kumohon jangan bersikap seperti ini,"pinta Mas Arya.
"Lalu aku harus bersikap bagaimana?"tanyaku ketus. "Mas nggak pernah mau mengerti perasaanku."
"Maafkan aku May..."
"Sudahlah,"ucapku menepis tangannya yang hendak meraih genggamanku."Mungkin aku yang bersalah selama ini."
Aku meninggalkan Mas Arya di depan pintu gerbang kampus. Persis seperti hari kemarin. Aku ingin memberinya sedikit "pelajaran".
Meski dia berusaha mengejarku tapi aku sudah tak peduli lagi padanya. Aku akan mengakhiri semua ini. Secepatnya.
~~~##~~~
Langkah-langkahku terasa berat. Belum lagi ditambah dengan ransel yang membebani punggungku. Mungkin nyaris dua puluh kilo beratnya. Padahal perjalanan baru saja dimulai.. Dan tenagaku rasanya sudah habis.
"Apa kabar May?"tegur Aldo tiba-tiba. Sahabatku itu sengaja kembali hanya untuk menyapaku. Mungkin untuk menguji kesabaranku.
Aku tak menjawab. Aku berjalan tanpa mempedulikan kehadirannya.
"Apa kamu sudah mulai menyesal ikut pendakian ini?"ledeknya kemudian. Langkah-langkahnya menjajariku.
"Sebaiknya kamu diam,"tandasku mencoba bersabar."Atau kamu mau menggendongku?"
Aldo cekikikan.
"Ini masih baru permulaan lho. Jangan-jangan nanti kamu pingsan di tengah jalan,"ucapnya masih giat menggodaku.
"Apa aku tampak selemah itu?"tanyaku. Aku berusaha untuk tetap tegar sampai akhir.
"Maka dari itu aku menemanimu ngobrol. Biar capeknya nggak terasa,"ucapnya berbaik hati.
Aldo benar, batinku. Bagaimanapun punya teman ngobrol dalam perjalanan jauh lebih baik daripada berjalan sendirian. Apalagi di tengah hutan seperti ini.
Baru sebentar Aldo menemani perjalananku tiba-tiba saja ketua tim memanggilnya. Terpaksa aku sendirian lagi.
Aku sudah merasa menyesal semenjak tiba di desa yang terletak dibawah gunung tadi pagi. Semua gara-gara Mas Arya. Aku ikut pendakian ini karena sedang kecewa padanya. Aku melakukan ini untuk membalasnya tapi aku yang kena batunya. Karena pelarianku salah. Harusnya aku pergi bersenang-senang di mal, bukannya ikut pendakian seperti ini.
"Ayo semangat May!"teriak Aldo lantang. Ia sedang memimpin pendakian sekarang ini.
Aku capek. Aku ingin berhenti sebentar untuk mengistirahatkan kakiku barang beberapa detik.
Aku mengambil botol minum dari dalam tasku dan buru-buru meneguk isinya.
"Ayo jalan,"suruh ketua tim yang memergokiku istirahat dibawah pohon. Membuatku kesal. Aku ini manusia, bukan robot yang punya tenaga ekstra . Aku menggerutu sendirian seraya bangkit dari tempat dudukku dan segera menyusul langkah teman-temanku.
Dan entah bagaimana kronologisnya tiba-tiba saja kakiku kehilangan keseimbangan. Aku terperosok dan jatuh tergelincir kebawah. Untuk beberapa detik lamanya tubuhku meluncur kebawah menerobos semak-semak dan baru terhenti usai menubruk sebuah batang pohon.
Aku meringis kesakitan. Kepalaku terbentur batang pohon. Sementara punggung dan tanganku juga terasa sakit akibat menerobos semak-semak.
Dengan susah payah aku mencoba untuk bangkit kembali meski harus menahan sakit.
Aku menatap ke atas. Rupanya tempat aku jatuh lumayan dalam. Teman-temanku juga tidak tampak dari sini.
Aku mencoba berteriak.Namun sampai suaraku serak tak ada satupun yang menyahut panggilanku. Apa mereka tak bisa mendengar suaraku?
Aku tak kehilangan akal. Aku mengeluarkan ponsel andalanku. Tapi sialnya ponselku tak bisa menangkap satu sinyalpun.
Gawat!!!! batinku panik. Aku mulai ketakutan.
Aku tersesat di hutan. Sendirian pula. Mama, bagaimana ini?
Untuk beberapa saat lamanya aku tertegun meratapi nasibku.
Mungkin saja ini adalah hukum karma buatku. Malangnya nasibku, batinku seraya mulai melangkah kembali menyusuri jalanan setapak. Aku harus menemukan teman-temanku kembali. Atau paling tidak, aku harus menemukan orang lain di tengah hutan itu. Apalagi malam akan segera turun.
Namun sekitar satu jam perjalanan aku tidak mendapati satupun jejak manusia di tempat itu. Membuatku putus asa dan ingin menyerah saat ini jjuga.
Seandainya ada Mas Arya disini....
"Apa kamu tersesat?"
Aku kaget mendengar teguran itu. Seorang laki-laki muda berdiri dihadapanku tanpa kusadari. Ia juga pendaki gunung sepertiku.
Aku mengiyakan dengan cepat.
"Aku juga tersesat,"ucapnya.
Benarkah? Tapi aku merasa lega bisa bertemu dengannya. Aku tidak sendirian sekarang. Dua orang yang tersesat lebih baik daripada tersesat sendirian.
"Tampaknya kita harus mencari tempat bermalam,"tandasnya seraya mengamati langit yang berangsur menggelap.
"Bermalam di hutan ini?"tanyaku tak percaya.
"Iya,"sahutnya."Kita nggak mungkin melanjutkan perjalanan dalam kondisi gelap. Itu akan sangat berbahaya,"ucapnya memberi penjelasan.
~~~##~~~
Akhirnya kami mendirikan tenda setelah menemukan tempat yang cocok, yakni di tepi sungai. Malam bertambah larut dan dingin.
Laki-laki asing itu sibuk membuat perapian dari ranting-ranting kering yang ia kumpulkan disekitar tempat itu.
Sementara aku menyiapkan makan malam. Bukan makan malam yang sebenarnya, namun hanya biskuit gandum dan minuman elektrolit untuk mengganjal perut.
"Bagaimana kamu bisa tersesat?"laki-laki itu mendekat ke arahku usai menyalakan api unggun.
"Aku jatuh dan sayangnya nggak ada satupun temanku yang melihatku,"tuturku.
"Oh,"gumamnya. "Mendekatlah ke api, cuaca disini sangat dingin,"suruhnya.
Udara memang sangat dingin. Aku menuruti perintahnya untuk mendekat ke api unggun.
"Siapa namamu?"ia bertanya seraya membenahi nyala api.
"May,"jawabku."Kamu?"aku balik tanya.
"Cakra,"sahutnya pendek. Nama yang unik dan langka.
"Apa ini pertama kalinya kamu mendaki?"Cakra mengajukan pertanyaan padaku.
"Hm,"aku mengangguk."Kamu pasti sudah sering melakukannya,"tebakku kemudian.
"Iya,"timpalnya."Bisa dikatakan gunung adalah rumahku."
"Benarkah?"
Ia hanya mengembangkan senyum.
"Apa kita bisa pulang? Maksudku, apa kita bisa keluar dari hutan ini?"tanyaku menyambung perbincangan.
"Pasti bisa,"sahutnya optimis.
Jawaban yang benar-benar melegakan.
"Sebaiknya kamu tidur sekarang karena besok pagi kita harus melanjutkan perjalanan. Jika beruntung kita akan bertemu dengan rombongan pendaki lain atau tim penyelamat. Aku akan berjaga disini,"ucapnya lagi.
"Apa aku boleh tahu kenapa kamu bisa tersesat sepertiku?"aku mengabaikan ucapannya.
"Sama sepertimu. Aku terpeleset dan jatuh,"jelasnya.
Aku tersenyum kecil.
"Baiklah, aku akan tidur sekarang,"aku bangkit dari tempat dudukku dan langsung masuk kedalam tenda milikku.
Malam ini akan menjadi malam yang tak terlupakan dalam hidupku. Tersesat di hutan dan bermalam didalam tenda. Entah apa yang akan terjadi esok hari. Kami akan selamat atau tidak?
~~~##~~~
Mataku masih terasa berat. Namun kami harus melanjutkan perjalanan. Cakra membereskan tempat bekas api unggun. Memastikan tidak ada nyala api disana.
"Kamu sudah siap?"tegurnya .
"Ya,"jawabku."Apa semalaman kamu berjaga? Kamu nggak tidur sama sekali?"desakku. Kami memulai perjalanan dan sesekali aku mengajukan banyak pertanyaan padanya. Agar perjalanan kami tidak membosankan.
"Aku sudah terbiasa seperti ini,"sahutnya datar.
Pantas saja wajahnya tampak pucat,batinku. Kemarin aku tak begitu jelas menatap wajahnya karena hari berangsur senja. Namun aku bisa melihatnya kini. Ia tampan juga.
"Apa yang sedang kamu pikirkan?"tegurnya membuatku kaget. Apa ia tahu apa yang sedang kupikirkan?
"Nggak ada,"sahutku pura-pura sewot.
"Tapi tadi aku lihat kamu senyum-senyum sendiri,"timpalnya membuatku mati kutu.
Aku tak berkomentar dan lebih berkonsentrasi pada langkah-langkah kakiku.
"Apa kamu punya pacar?"tanyaku beberapa saat kemudian.
"Untuk apa kamu bertanya? Bukankah kamu sudah bertunangan?"ia balik tanya.
"Darimana kamu tahu kalau aku sudah bertunangan?"tanyaku heran.
Cakra tersenyum.
"Dari cincinmu,"sahutnya.
"Betul juga,"gumamku seperti orang bodoh."Tapi aku nggak yakin dia mencintaiku,"tuturku berterus terang.
"Kenapa kamu berpikir seperti itu?"desaknya.
"Karena dia masih berhubungan dengan mantan kekasihnya,"sahutku cepat."Kamu tahu, aku ikut pendakian ini karena aku sedang marah padanya. Aku sengaja ingin menghindarinya,"
"Tapi kamu malah tersesat dan bertemu denganku,"tukasnya seraya tersenyum."Kamu nggak boleh berbuat seperti itu,May. Tampaknya dia laki-laki yang baik."
"Oh, sekarang kamu ingin membelanya juga? Lucu sekali,"timpalku sedikit kesal.
"Aku yakin dia sangat mencintaimu,"ucapnya lagi.Seolah-olah ia sangat mengenal Mas Arya.
"Pembelaan sesama laki-laki?"
"Nggak juga, tapi aku punya feeling seperti itu."
"Feeling nggak selalu bisa diandalkan."Aku bergumam sendirian.
Suasana mereda. Tak ada lanjutan dari perbincangan sebelumnya. Karena jalan yang harus kami lalui sedikit terjal. Jadi kami harus ekstra hati-hati.
"Jangan melihat kebawah May!"seru Cakra yang berjalan dibelakangku."Lihat saja langkahmu dan hati-hati!"imbuhnya memperingatkan.
"Apa kita harus melewati jalan ini?"tanyaku sedikit cemas. Ini benar-benar sulit untukku.
"Ini jalan satu-satunya. Kalaupun kita memutar butuh waktu dua atau tiga jam untuk turun"jelasnya.
Menyebalkan, gerutuku. Kesal.
"May!"seiring teriakan Cakra kakiku telah kehilangan pijakan. Ia hendak memperingatkanku tapi terlambat. Tubuhku nyaris terperosok ke jurang yang terletak disisi jalan yang kami lewati. Untung saja tangan Cakra bergerak dengan cepat menyambar tubuhku. Terlambat sedikit saja bisa fatal akibatnya.
"Terima kasih..."ucapku gemetar.
Baru saja aku menutup mulutku giliran Cakra yang tertimpa musibah. Karena sibuk memperhatikan keselamatanku ia lalai dengan pijakan kakinya.
Tubuhnya mendadak terperosok dan tangannya berusaha menggapai ke atas untuk mencari pegangan. Aku sudah berusaha secepat mungkin meraih tangannya namun hanya gelang kayu miliknya yang bisa kuselamatkan.
Tidak!!!!
Tubuh Cakra meluncur bebas kebawah dan sesekali membentur apa saja yang menghalanginya. Hingga akhirnya ia berhenti didasar jurang itu.
Oh Tuhan...jeritku tersendat.
~~~##~~~
Aku terbangun. Tapi bukan di dalam hutan, melainkan di kamar rumah sakit. Tak ada pohon, gunung dan jalan setapak. Juga tidak ada Cakra.
Cakra? Aku seperti tersadar. Dimana dia? Bagaimana keadaannya? batinku cemas.
Aku membuka genggaman tanganku. Gelang kayu milik Cakra masih erat dalam genggamanku.
"Kamu sudah sadar?"sapa seorang suster saat melihatku berusaha bangun dari tempat tidur.
"Dimana Cakra?"tanyaku panik."Apa dia selamat?"
"Siapa dia?"tanya suster itu seraya sibuk mengganti tabung infusku yang telah kosong.
"Dia teman seperjalananku. Dia jatuh ke jurang. Bagaimana keadaannya?"cecarku bertubi-tubi. Aku benar-benar mencemaskan keadaannya.
"Tim SAR menemukanmu pingsan didalam jurang. Dan nggak ada korban lain. Kamu pingsan hampir dua hari,"tutur suster itu cepat.
Aku sedikit heran dengan keterangan suster itu. Bagaimana bisa mereka tidak menemukan Cakra? Bukankah dia yang jatuh ke jurang, tapi kenapa malah aku yang mereka temukan disana.
Tiba-tiba saja mama dan papa muncul. Juga Mas Arya. Mereka tampak mencemaskan keadaanku.
"Mereka harus menemukan Cakra, Pa,"ucapku. "Dia jatuh ke jurang karena menolongku."
"Maksudmu siapa May? Nggak ada orang lain disana. Tim SAR nggak menerima laporan kehilangan selain kamu,"tandas papa.
"Tapi Cakra..."
"Cakra?"gumam Mas Arya. Ia melihat gelang kayu didalam genggaman tanganku dan meraihnya. Ia memperhatikan benda itu dengan ekspresi aneh.
"Mas tolong dia..."ucapku tanpa sadar.
"Dimana kamu bertemu dia?"desak Mas Arya kemudian.
"Di hutan,"jawabku. "Aku bertemu dengannya saat tersesat. Dia bilang dia juga tersesat. Kami sempat bermalam dan melanjutkan perjalanan keesokan harinya. Tapi dia jatuh ke jurang karena menyelamatkanku."Aku tak kuasa menahan kesedihan saat mengingat laki-laki itu.
Mas Arya tampak kaget mendengar penuturanku.
"Apa Mas mengenalnya?"
Mas Arya tak menyahut. Dia bertingkah aneh seperti orang linglung.
"Ada apa sebenarnya?"tanya papa menyela.
"Dia adikku yang telah meninggal lima tahun yang lalu,"ucap Mas Arya membuat semua orang di kamar itu kaget.
"Apa?"seru mama dan papa serempak.
Mas Arya mendesah berat.
"Dia meninggal dalam sebuah pendakian. Semua barang-barang miliknya ditemukan kecuali gelang kayu itu,"tutur Mas Arya lagi.
"Jadi...."kalimatku tak bisa kuteruskan.
"Ya, dia telah menyelamatkan tunangan kakaknya,"tandas Mas Arya.
Aku hanya bisa tertegun sembari mengenang sosok adik Mas Arya.
Entah apa yang ingin ia sampaikan padaku.....
~~~##~~~
"Risna datang untuk menjengukmu,"suara mama terdengar menyapa telingaku. Membuyarkan lamunan panjangku tentang gunung, jurang dan juga Cakra.
Kenapa dia mesti datang kesini? gumamku kesal. Aku sedang tidak ingin bertemu siapapun terlebih gadis itu.
"Bagaimana kabarmu, May?"sapa Risna sambil meletakkan keranjang buah diatas meja.
"Lumayan,"sahutku tak bersemangat.
Risna menyeret sebuah kursi ke dekat tempat tidur.
"Aku ingin bicara denganmu,"tandasnya usai mama pergi. Tinggal kami berdua yang ada didalam kamar itu.
"Tentang apa?"tanyaku datar.
Aku sebenarnya bisa menebak apa yang hendak ia bicarakan. Tapi aku berpura-pura bodoh. Karena bagiku itu membuatku lebih baik.
"Aku dan Mas Arya sudah berakhir dua tahun yang lalu, May,"ulasnya memulai penuturannya. "Tapi kami masih saling berkomunikasi sampai sekarang. Aku harap kamu nggak salah paham tentang hal itu."
Aku menghela nafas dalam-dalam. Tanpa menyela.
"Aku bukan wanita baik-baik, May,"imbuhnya membuatku terkejut. Apa maksudnya?
"Aku pernah mengkhianatinya,"lanjutnya kemudian."Aku melakukan kesalahan terbesar dalam hidupku. Itu menyebabkan aku terkena HIV positif,"ungkapnya jujur.
"Apa?"tanyaku karena terkejut.
"Benar,"sahutnya."Itu adalah harga yang pantas aku terima."
Aku mulai tertarik dengan kisahnya. Segala kebencian yang semula mengendap dalam hatiku mencair begitu saja. Seperti pasir yang tersapu ombak laut.
"Selama ini Mas Arya selalu memberi dukungan padaku. Dia yang memberi motivasi agar sisa hidupku aku gunakan dengan sebaik-baiknya. Bukan karena dia masih mencintaiku, tapi lebih karena ia sangat mempedulikan orang-orang di sekitarnya. Dia terlalu baik, May. Kamu sangat beruntung mendapatkannya."
Risna tersenyum. Lantas ia meraih genggaman tanganku.
"Dia sangat mencintaimu, May..."
Mendadak mataku terasa pedas. Ada bulir-bulir air mata yang siap tertumpah saat itu juga.
Dimana Mas Arya? Aku ingin segera bertemu dengannya dan meminta maaf atas semua kesalahan yang pernah kulakukan padanya. Akhirnya aku tahu kalau dia sangat mencintaiku......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar