Kamis, 11 Juli 2013

EDELWEISS: CINTA YANG ABADI


(.......pernahkah kau berpikir suatu saat kau akan kehilangan diriku selamanya?......)


Seikat bunga edelweiss tampak duduk diam diatas meja belajar Erika. Sementara gadis itu duduk menyandarkan kepalanya pada sofa di sudut kamar. Matanya redup menatap sinar matahari pagi yang menembus kaca jendela. Rambutnya yang panjang tergerai menutupi sebagian punggungnya. Namun ia tampak kusut tak tersentuh sisir. Juga tidak ada jepit kupu-kupu yang dulu biasa bertengger manis di atas kepalanya.
Wajahnya polos dan cenderung pucat. Tanpa bedak apalagi blush on yang membuatnya tampak cemerlang.
Dan ia masih asyik termangu disana dengan lamunannya. Bahkan kedatangankupun belum juga ia sadari.
Tapi aku juga tidak tega mengusik lamunan paginya. Biarlah, mungkin aku akan memberinya sedikit waktu.
Beberapa saat kemudian ia menoleh dan terkejut melihat kehadiranku yang telah berdiri di ambang pintu kamarnya.
"Bim!"ia bergerak ke arahku dan langsung memelukku tiba-tiba. Aku kaget diperlakukan seperti ini. Namun beberapa detik kemudian aku mendengar isak kecilnya.
"Dia sudah pergi, Bim...."bisiknya di dekat telingaku.
Aku tahu, batinku. Alan memang sudah pergi untuk selamanya. Dan kedatanganku justru untuk melihat kondisi Erika. Dari kabar yang kudengar ia jatuh sakit dan sempat dirawat di rumah sakit beberapa waktu yang lalu.
Aku membimbing Erika untuk kembali duduk di sofa. Raut wajahnya tampak murung. Bahkan matanya masih basah saat itu.
"Maaf aku baru bisa datang sekarang..."tandasku pelan mengungkapkan rasa penyesalan.
"Kemana saja kamu selama ini, Bim? Kenapa tidak pernah memberi kabar?"desak Erika menyudutkan diriku.
Aku terpojok dalam diam.
Dua tahun terakhir aku memang menghilang dengan sengaja dari kehidupan mereka berdua, Alan dan Erika. Tanpa pamit dan tanpa secuil kabar. Aku pindah ke Bali. Lebih tepatnya untuk lari dari rasa kecewa.
Aku patah hati saat itu. Aku kalah dan lebih memilih bersembunyi sebagai pecundang ketimbang menerima kenyataan dengan lapang dada.
Aku menyukai Erika. Itu kenyataannya. Namun justru Alan-lah yang Erika sukai. Dan aku hanya bisa menyimpan perasaanku erat-erat tanpa pernah bisa mengungkapkannya pada Erika, atau pada siapapun.
Hanya pada malam-lah aku bisa mencurahkan seluruh perasaanku melalui suara petikan gitar bututku. Sembari menyenandungkan lagu-lagu patah hati bak orang gila saja. Namun itu hanya berlangsung beberapa waktu saja hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengungsi ke rumah paman Wayan sembari bekerja di sebuah resort di Bali.
"Aku minta maaf karena tidak pernah memberi kabar pada kalian. Aku memang bukan sahabat yang baik,"gumamku usai menerawang kembali ke masa lalu.
Erika hanya mengangguk pelan.
Aku tak menyambung percakapan. Kupikir Erika masih berduka dan tidak ingin lebih banyak bicara seperti biasa.
Edelweiss itu.....
Aku kembali menatap bunga itu diatas meja. Konon bunga itu adalah hadiah terakhir yang diberikan Alan pada Erika. Dan hanya karena bunga itu juga Alan celaka. Ia terjatuh ke jurang saat memetik edelweiss itu.
Mendaki gunung memang beresiko tinggi. Karena itulah setiap kali Alan mengajakku mendaki aku sudah pasti akan langsung menolak ajakannya. Aku lebih memilih tidur seharian di atas tempat tidur ketimbang susah payah mendaki gunung.
"Kapan kamu tiba?"sentak Erika membuyarkan ingatan masa laluku.
"Oh,"aku tergagap mendapat pertanyaan."Seminggu yang lalu,"jawabku kemudian. Dan Alan meninggal dua bulan yang lalu. Benar-benar keterlaluan. Sahabat macam apa aku ini?
"Kenapa baru menemuiku sekarang?"desaknya. Benar-benar untuk memojokkanku.
"Aku sibuk,"ucapku berdusta. Padahal aku belum pernah berdusta padanya sebelum ini.
"Oh," hanya gumaman yang keluar dari bibir gadis itu.
"Maaf,"hanya itu yang bisa ku ucapkan sekarang ini.
"Aku mengerti. Kamu pasti sangat sibuk,"imbuhnya seraya memaksakan diri untuk tersenyum.
Sesungguhnya aku takut. Bukan sibuk seperti yang ku ucapkan padanya. Orang payah sepertiku mana pernah sibuk.
Jujur aku takut pada perasaanku sendiri. Orang yang kusukai kehilangan kekasih yang notabene sahabatku sendiri. Bagaimana aku akan menyikapi keadaan ini? Tidak mungkin aku memanfaatkan situasi ini demi kepentingan pribadiku. Aku tidak mau merebut simpati Erika karena kematian Alan.
Wajah Erika tertunduk lagi. Gadis itu berusaha sekuat tenaga menyembunyikan kesedihan dari wajahnya. Tapi tetap saja aku tahu apa yang sedang mendera batinnya sekarang. Aku mengerti dan memahami arti sebuah kehilangan.
"Kapan kamu akan kembali ke Bali?"sentak Erika. Memecah kebisuan yang sesaat tadi kubangun disela lamunan kecil.
Aku buru-buru menggeleng. Sesungguhnya aku tidak ingin kembali kesana. Aku ingin mendampingi gadis impianku itu selamanya. Itupun jika ia tidak keberatan. Tapi pastinya ia tidak menginginkan orang sepertiku untuk mendampinginya bukan?
"Pasti sangat menyenangkan tinggal dipulau dewata,"gumamnya seraya tersenyum tipis.
"Hm...tidak juga,"sahutku. Tinggal di Bali buatku seperti terdampar di negeri asing. Mungkin karena aku kurang pandai menyesuaikan diri dilingkungan baru. Apalagi aku tidak terlalu suka makanan orang Bali.
Dan setelah pertemuan kami pagi itu, aku berusaha mengisi hari-hari kosong Erika. Aku mencoba membuatnya tertawa sebisaku lewat canda dan ocehan-ocehan konyolku.
Aneh memang. Aku berubah bak superhero dalam sekejap saja. Aku tampil bagai pahlawan kesiangan baginya. Aku mencoba menghadirkan keceriaan dalam hari-harinya.
Erika mungkin sedikit terhibur dengan kehadiranku. Tapi itu tidak cukup meninggalkan kesan dalam hatinya.
Aku masih tetap Bim yang dulu. Yang selalu ia anggap sebagai sahabat terdekatnya. Tidak pernah lebih dari itu. Dan kupikir aku emang pantas menyandang gelar sahabat untuknya. Karena aku memang bukan laki-laki impiannya, meskipun aku telah berusaha membuat diriku layak dimatanya.
Erika masih mencintai Alan. Sampai sekarang. Meskipun waktu terus bergulir dan berganti. Ia masih menyimpan Alan dalam hatinya. Dan aku hanya teman yang siap menghiburnya dalam duka. Itulah diriku.
Pagi itu aku mendengar kabar bahwa Erika dibawa ke rumah sakit. Entah penyakit apa yang menderanya. Tapi kulihat gadis itu tampak terbaring lemah di atas tempat tidur. Badannya kurus dan wajahnya tampak tirus. Sangat memprihatinkan. Padahal dulu Erika sangat energik dan lincah. Ia cantik dan selalu menguraikan senyum termanisnya jika bertemu dengan orang termasuk aku. Tapi yang kulihat sekarang bukanlah Erika yang dulu. Kemana perginya gadis lincah itu? Siapa yang telah mencuri senyum indah itu dari bibirnya yang mungil? Alan-kah yang telah membawa pergi hati gadis itu jauh ke dunia diseberang sana?
Buntu! Pertanyaan-pertanyaan itu kosong tanpa jawaban. Mereka terbang kesana-kemari dan sesekali hinggap dikepalaku. Kemudian menindih syaraf di otakku, membuatku menderita sakit kepala.
Ah, Erika.....
Kasihan gadis itu. Aku tidak bisa membayangkan jika ada orang yang mencintaiku seperti itu. Pasti sangat menyakitkan mencintai seseorang terlalu mendalam seperti itu, sementara orang itu telah meninggal.
Semalaman tadi aku berjaga di dekat tempat tidur Erika. Berjaga-jaga jika ia tiba-tiba terbangun dan membutuhkan sesuatu, air minum misalnya. Tapi sampai pagi menjelang gadis itu belum juga membuka matanya. Ia terlelap dengan pulasnya.
Sedang bermimpi apakah dia sekarang? Kenapa belum juga bangun? Apa Alan yang sedang bertandang kedalam mimpi indahnya? Kenapa aku jadi cemburu seperti ini? Dasar bodoh.
Waktu berlari terus. Berirama. Tak lebih cepat atau lebih lambat. Namun Erika belum juga tersadar dari mimpinya. Menyadarkan semua orang disana jika gadis itu sudah pergi.
Ia pergi. Menyusul Alan dengan jalannya sendiri. Menemui cinta sejatinya di dunia yang lebih kekal.
Menghancurkan segumpal hati milikku yang tidak pernah berhenti mencintainya. Aku juga mencintaimu, Erika. Aku juga sakit dan menderita karenamu. Aku patah dan nyaris mati karena tak bisa memilikimu. Tapi aku tak punya nyali untuk mengatakannya padamu.
Separuh nyawaku serasa melayang pergi untuk menjangkau tubuh Erika. Tapi tak bisa.
Aku kalah sebagai pecundang cinta. .....
Senja bermendung itu aku mengantar kepergian Erika. Aku meletakkan seikat edelweiss di atas makamnya yang baru saja ditutup beberapa saat lalu. Lantas aku memanjatkan doa untuk gadis itu seraya membayangkan seulas senyum manis dibibirnya.
Selamat jalan Erika. Semoga Tuhan mempertemukanmu dengan pemilik edelweiss itu......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar