Sabtu, 11 Mei 2013

HAVE I TOLD YOU LATELY THAT I LOVE YOU?


"Kemarin aku menjemputmu di sekolah,"tandas Reno tepat disaat aku menerima uluran helm dari tangannya.
Siang begitu panas dan kerongkonganku kering kerontang semenjak aku keluar dari kelas tadi. Membuatku malas untuk menanggapi ucapannya. Aku bergegas memakai helm yang baru saja diberikannya lantas naik ke atas boncengan motornya.
"Pegangan,Kay"suruhnya sebelum meluncurkan motornya kejalanan.
Aku mendesah pelan. Aku hanya mencengkeram kedua ujung jaket yang membalut tubuh Reno.
Kami sudah menjalani hubungan ini selama kurang lebih enam bulan. Sebenarnya bukan aku yang menginginkan untuk berpacaran dengannya, tapi kakakku-lah yang telah menjodohkan kami. Kak Abi selalu membanggakan Reno dihadapanku, dan ujung-ujungnya suatu hari ia bilang Reno menyukaiku.
Reno mulai rajin datang kerumah semenjak itu. Menjemput dan mengantarku kesekolah menjadi kewajiban rutinnya sampai sekarang. Dan aku hanya bisa menuruti keinginan kak Abi meski aku sama sekali tidak menyukai Reno.
"Kamu mau beli cemilan, Kay?"teriak Reno dari balik helm teropongnya. Saat itu kami telah berhenti didepan jajaran kios buah-buahan.
"Nggak usah-lah,"sahutku malas. Kupikir aku lebih suka cepat sampai dirumah, lalu tidur sampai sore nanti.
Tapi bukan Reno namanya jika tidak memaksakan kehendaknya.
"Tunggu sebentar,"ucapnya. Cowok itu bergegas turun dari atas motornya dan melangkah menuju ke arah pedagang buah.
Beberapa menit kemudian ia kembali dengan menenteng sebuah tas kresek berisi buah-buahan.
"Sorry ya,agak lama,"ucapnya seraya memberikan belanjaannya padaku. Lalu kami meneruskan perjalanan kami kembali.
Setelah sampai didepan pintu pagar rumahku, kami berhenti.
"Aku masuk dulu,"pamitku seraya memberikan helm miliknya.
"Ya udah, cepet makan siang dan istirahat,"pesannya seperti biasa.
Ia hendak meluncurkan kembali motornya, namun aku memanggilnya karena ada sesuatu yang mengganjal pikiranku. Dan kurasa ia harus tahu.
"Kemarin Rizky mengantarku pulang,"ucapku lirih.
"Oh, ya udah nggak pa-pa,"sahutnya sembari tersenyum. Lantas ia melambaikan tangannya dan bergegas meluncurkan motornya ke jalanan.
Huh....
Aku mendesah pelan melihatnya pergi. Cowok itu aneh. Bahkan ia tidak cemburu sama sekali mendengar pengakuanku. Padahal Rizky adalah rivalnya. Atau ia memang tidak normal karena tidak punya rasa cemburu?
Aku bergegas masuk kedalam rumah lantas memberikan belanjaan ditanganku pada mama. Dan seperti biasa mama senang sekali menerima pemberian dari "calon menantu" kesayangannya.
~~@@~~
"What???!!!!"teriak Rania kaget usai mendengar penuturanku."Loe dianter pulang ama Rizky? Aduh non, loe kan udah punya Reno yang baik dan tajir. Gimana sih loe? Emang loe nggak takut, diputusin ama Reno kalau dia tahu loe selingkuh?"cerocos cewek tomboy itu sembari ngemil kacang garing.
"Gue malah berharap putus sama dia,"timpalku santai seraya menebarkan pandangan keseluruh penjuru kantin.
"Gila loe,Kay!"olok Rania cepat. Matanya terbelalak lebar."Gue heran ama loe. Mestinya loe tuh bersyukur punya Reno. Meski gue nggak begitu mengenalnya, tapi gue yakin dia cinta mati ama loe."
"Gue tahu,"sahutku cepat."Tapi gue sayang Rizky,Ran, "tandasku lirih.
Rania tertawa sinis mendengar pengakuanku.
"Loe bodoh apa bego sih,Kay?"tegurnya kasar. "Loe tahu sendiri Rizky tuh playboy, ngapain loe masih suka ama dia ? Wake up girl! He's bad for you."
Aku terdiam. Tak menanggapi makiannya padaku. Rania memang benar. Semua cewek disekolah ini tahu siapa Rizky. Playboy yang suka gonta-ganti pasangan. Tapi aku selalu menutup mata dan telingaku meski berita tentangnya kudengar ribuan kali.
Aku mencintainya. Dan rupanya cinta telah membutakan mata hatiku meski aku sudah tahu pada akhirnya aku akan kecewa.
"Kayla....Loe ngelamun ya?"sentaknya.
Aku tergagap.
"Udah bel tuh, yuk masuk,"ajaknya. Rania meneguk es tehnya hingga tak bersisa.
Aku menyusul langkah Rania menuju kelas dengan dipenuhi berbagai macam pikiran tentang Rizky.
~~@@~~
Aku mengendap-endap memasuki rumah. Pasalnya aku kabur dari rumah tadi pagi hanya untuk pergi kencan dengan Rizky.
Aku takut ketahuan oleh Kak Abi, itulah masalahnya. Aku takut jika amarahnya meledak jika tahu aku berselingkuh.
Tapi sepandai-pandainya aku bersembunyi tetap saja Kak Abi bisa mengendus kepulanganku.
"Darimana Kay?"sentaknya. Membuatku kaget dan urung untuk masuk kedalam kamarku padahal aku telah membuka pintu.
Aku tak bisa berkelit. Bahkan untuk menyembunyikan boneka kelinci yang dibelikan Rizky di mal tadi siangpun aku sudah tak bisa.
"Kamu pergi dengan cowok itu lagi?"tanya Kak Abi kemudian. Ia bergerak menghampiriku. Matanya pun tak lepas mengawasi gerak-gerikku, juga boneka yang kusembunyikan dibalik punggungku.
"Kayla,"terusnya."Sampai kapan kamu akan begini? Bersikaplah dewasa, jangan kekanakan seperti ini. Kamu tahu, seharian ini Reno nungguin kamu. Tapi kamu nggak pulang-pulang. Handphonemu juga mati. Sebenarnya apa yang kamu inginkan? Apa kamu nggak kasihan pada Reno?"tuturnya panjang.
"Kak,"ucapku."Dari pertama aku nggak suka sama dia. Kak Abi-lah yang terus-terusan memaksaku untuk pacaran sama dia,"tandasku sedikit kesal.
"Apa?'ulangnya.
"Aku nggak suka Reno!"tegasku lantang.
Aku membanting pintu kamarku dengan kasar beberapa detik kemudian.
Aku sedang marah pada Kak Abi. Dan aku tidak mempedulikan teriakan-teriakannya yang memanggil namaku.
Persetan dengan semuanya. Aku hanya ingin menikmati hidupku tanpa campur tangan orang lain. Aku ingin menentukan jalan hidupku sendiri. Termasuk orang yang yang kusuka.
~~@@~~
"Mama selalu menanyakanmu,Kay"ucap Reno disela-sela konsentrasinya mengemudi.
Sore ini kami baru pulang dari Gramedia untuk membeli beberapa buah buku dan komik. Ia sedang mencoba mengajakku bercakap. Namun aku masih diam seraya membuang pandangan keluar jendela.
"Kalau kamu ada waktu aku harap kamu mampir kerumah,"imbuhnya lagi. Penuh dengan harapan.
Tapi aku tidak mau pergi kesana dan bertemu dengan mamamu, batinku dalam hati. Aku sudah lelah dengan kebersamaan yang kami jalani sekarang ini. Aku bahkan ingin mengakhirinya saat ini juga.
"Kamu sakit, Kay?"sentaknya sembari mendaratkan jemarinya diatas punggung tanganku. Namun kubalas hanya dengan sebuah gelengan kepala.
"Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?"desaknya lagi.
Bodoh!makiku dalam hati.
"Kemarin kamu menungguku seharian dan kamu sama sekali nggak marah atau bertanya padaku. Sebenarnya kamu bodoh atau terlalu sabar? Atau kamu benar-benar mencintaiku sehingga kamu takut kita jadi berantem atau apa?" celotehku meledakkan semua hal yang mengganggu pikiraku semenjak tadi. Kurasa aku sedang memuntahkan emosiku yang selama ini bersarang didalam dadaku.
Reno terhenyak usai mendengar ucapanku. Ia buru-buru menepikan mobil yang kami tumpangi.
"Kayla?"ia menatapku dengan tatapan aneh dan tidak percaya.
"Selama ini kamu terlalu bersikap sabar padaku. Kamu nggak pernah marah apalagi mencemburuiku. Kamu terlalu baik, sampai-sampai membuatku muak, tahu nggak?"sambungku lagi. Sejujur-jujurnya dari hatiku.
Reno masih tertegun menatapku. Lama.
"Maaf..."tandasnya lirih."Jika sikapku malah membuatmu seperti ini. Tapi aku hanya ingin memberimu kebebasan. Aku nggak mau cintaku malah mengekangmu, Kay,""jelasnya.
"Tapi itu malah membebaniku,""timpalku cepat.
"Sekali lagi maafkan aku,Kay,"ucapnya sekali lagi meminta maaf.
Aku menghela nafas berat. Aku enggan untuk menatap wajahnya yang menampakkan ekspresi bersalah itu. Bukan. Bukan Reno yang bersalah,tapi akulah yang tak pernah bisa menerima kehadirannya dalam hidupku. Akulah yang bersalah....
"Aku ingin kita putus,"tandasku perlahan sejurus kemudian. Tanpa menoleh kearahnya.
"Apa?"tanya Reno tercekat.
Aku mengalihkan pandangan ke wajahnya dan menemukan keterkejutan luar biasa terpancar disana. Ia pasti tidak pernah menduga aku akan memutuskannya hari ini juga.
"Kamu ingin putus?"ulangnya.
Aku mengangguk pelan.
Dan Reno tak bertanya lagi sesudah itu. Aku juga tak memberinya alasan lagi. Perbincangan terhenti sampai disitu, namun perjalanan berlanjut kembali.
~~@@~~
"Gue udah putus,"tandasku lirih. Aku takut Rania akan terguncang mendengar pengakuanku.
Rania mendongakkan wajahnya dari balik buku Biologi. Ia mengernyitkan keningnya.
"Maksud loe?Rizky atau..."pancingnya.
"Reno,"sahutku.
Dan seperti dugaanku, Rania terkejut bukan main.
"Apa loe udah gila Kay?!"serunya lantang. Membuat beberapa orang dikelas langsung menatap kearah kami. Namun Rania sama sekali tidak terpengaruh oleh reaksi mereka.
"Loe tega mutusin Reno demi Rizky?Loe bener-bener keterlaluan,Kay"mata Rania melotot. Seolah-olah hendak keluar untuk menghakimiku.
"Mungkin gue udah gila,Ran,"ucapku."Tapi gue nggak mau lebih lama bersandiwara didepan Reno. Gue kasihan sama dia,"imbuhku.
"Terus sekarang loe nyesel udah mutusin Reno?"desak Rania tak sabar menunggu untuk mendengar kelanjutan curahan hatiku.
Aku menggeleng.
"Gue nggak nyesel. Gue justru merasa lega karena melepaskan dia dari penderitaan bersama gue. Dan gue berharap dia mendapat cewek yang bener-bener sayang sama dia,"ulasku.
"Loe serius dengan ucapan loe?"selidik Rania.
Aku mengiyakan.
"Terserah loe deh mau berbuat apa, gue cuma bisa mendoakan yang terbaik buat loe,"ucap Rania.
"Thanks,"
~~@@~~
Aku menuruti ajakan Rania manakala ia menyeretku pergi ke mal untuk mencarikan keponakannya hadiah ulang tahun. Meski aku sedikit malas tapi demi sahabat, tak apalah.
Hadiah sudah didapat, makan siang pun sudah. Tapi Rania masih bersikeras mengajakku berputar-putar mengelilingi mal. Padahal tubuhku sudah letih dan mataku sudah tinggal beberapa watt saja.
"Loe mau cari apalagi sih Ran?Gue udah capek nih"keluhku. Namun tak digubrisnya sama sekali. Sial,makiku dalam hati.
Aku terpaksa mengikuti langkahnya dengan hati mendongkol.Tapi tiba-tiba...
"Gue kebelet nih,Kay,"ucapnya seraya meringis menahan sesuatu."Anterin gue ke toilet dong,"
"Tapi abis ini kita balik,ok?"
"Ok deh,"timpalnya menyetujui persyaratanku.Gadis itu tergesa berlari ke arah toilet usai menitipkan tas dan belanjaannya padaku.
Dasar Rania, kalau sudah asyik berkeliling mal pasti lupa pulang kerumah. Padahal kami masih berseragam putih abu-abu....
"Kayla....."
Aku tercekat mendengar seseorang memanggil namaku. Aku memutar balik badanku dan mendapati seorang wanita sebaya mamaku tengah tersenyum. Oh my God! Wanita itu adalah mama Reno. Dan kenapa aku mesti bertemu dengannya,sesalku dalam hati.
Wanita itu memelukku beberapa saat kemudian.
"Apa kabar Kayla? Udah lama kita nggak ketemu. Tante kangen sama kamu lho,"cerocosnya seperti pada sahabatnya sendiri.
Aku tersenyum kaku.
"Kayla baik. Tante sendiri baik juga?"balasku bertanya.
"Tante baik. Oh ya kamu kesini bareng siapa? Emang kamu nggak sekolah?"tanyanya kembali bertubi-tubi.
"Bareng Rania,Tante. Kebetulan kami udah pulang sekolah tadi,"jelasku.
"Kok kamu nggak pernah mampir kerumah? Padahal tante nungguin kamu lho,"ujarnya kembali.Aku tersenyum kaku. Rasanya aku seperti sedang dipojokkan olehnya.
"Maafin Reno ya, akhir-akhir ini dia sibuk banget.Tiap hari pulang malem. Padahal Tante udah melarang dia untuk kerja lembur. Tante kasihan sama kamu, pasti Reno jarang punya waktu buat kamu,"jelas mama Reno kemudian.
Aku terdiam mendengar penuturan mama Reno. Jadi Reno tidak menceritakan apapun pada mamanya tentang hubungan kami. Ia malah menyibukkan diri dalam pekerjaan. Apa ia sedang patah hati?
Rania kembali dari toilet. Aku buru-buru pamit pada mama Reno. Sesungguhnya aku takut ia akan bertanya lebih banyak lagi tentang hubungan kami.
~~@@~~
Sebenarnya aku tidak ingin menangis. Tapi entah kenapa air mataku menetes begitu saja saat mengenang ucapan mama Reno. Cowok itu tidak pernah bekerja melebihi jam kerjanya sebelum ini. Namun setelah hari itu tampaknya ia mulai menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan. Mungkin itu adalah caranya melarikan diri dari rasa kecewa.
Padahal seminggu terakhir ini aku sangat menikmati hidupku,lebih tepatnya menikmati kebebasanku.Aku mencoba untuk hidup berbahagia meski ada sesuatu yang hilang. Aku kehilangan perhatian dan kasih sayang dari Reno. Tapi aku telah berjanji tidak akan menyesali keputusanku, karena aku yang menginginkannya. Kupikir semua akan berat pada awalnya, tapi akan terbiasa pada akhirnya.
Mungkin aku bisa hidup tanpa Reno seperti aku tidak pernah bertemu dengannya. Tapi apa aku tega membiarkannya berlarut-larut dalam penderitaan sendirian. Padahal aku yang telah membuatnya seperti itu.
Tapi mungkin saja ia akan lebih menderita bila bersamaku.
Aku tertidur malam ini dengan mata basah...
~~@@~~
Hidup ini memang seperti roda. Ia berputar, terkadang ada di atas dan kadang ada di bawah. Begitu juga dengan hidupku. Aku yang memutuskan Reno, kini diputuskan oleh Rizky.
Aku tahu semua ini akan menimpaku cepat atau lambat. Seperti ada seseorang yang membisikkannya di telingaku, tapiaku tak pernah mendengarnya. Aku tak mau menyesali semua yang terjadi. Kupikir aku akan bangkit lagi suatu saat nanti.
Akhirnya kak Abi dan mama tahu tentang hubunganku dengan Reno. Mereka sangat marah. Terutama kak Abi. Ia memarahiku habis-habisan bahkan sempat melayangkan sebuah tamparan ke wajahku. Tapi kali ini aku tak melawan seperti yang pernah kulakukan dahulu. Aku hanya tertunduk tanpa sepatah kalimat pembelaanpun. Entah apa yang mereka pikirkan saat itu. Bukankah hidupku tidak berarti hancur meski aku dan Reno putus? Mereka saja yang terlalu berlebihan.
Sebuah kabar kudengar sesudah itu. Reno jatuh sakit. Kata kak Abi ia dirawat di rumah sakit. Iajuga bilang, terserah aku mau menjenguknya atau tidak. Apa ini sebuah ancaman? Atau sebuah upaya untuk menyatukan kami kembali?
~~@@~~
Aku tiba di rumah sakit. Ditanganku ada seikat bunga anggrek ungu.Entah apa yang kupikirkan saat aku membelinya. Mungkin karena aku sangat bodoh hingga tidak tahu apa yang mesti kubawa saat menjenguk orang sakit. Aku juga tidak tahu apa kesukaan Reno hingga aku memutuskan membuntuk membeli bunga anggrek ungu. Padahal bunga itu adalah bunga favoritku sendiri.
Namun langkahku terpaksa berhenti tepat didepan pintu kamar Reno. Dari balik kaca pintu aku dapat melihat beberapa orang sedang mengunjunginya. Diatas meja terdapat berbagai macam bunga dan buah-buahan.
Aku kembali menatap bunga ditanganku. Sedang bunga-bunga didalam sana jauh lebih besar dan indah. Betapa bodohnya diriku membeli bunga jelek ini. Entah kenapa aku menjadi takut untuk mengetuk pintu dan masuk kedalam sana.
Aku bisa merasakan semua orang didalam sana mencintai Reno. Mereka semua peduli pada cowok itu. Tentu saja. Reno orang yang sangat baik, bahkan mungkin terlalu baik.Menurutku...
"Kok nggak masuk?"
Seorang suster menegurku ketika aku terlalu lama berdiri didepan pintu kamar Reno.
"Tolong sampaikan bunga ini untuk Reno,"aku menitipkan bunga itu pada suster tanpa memberikan pesan padanya, meski ia telah bertanya namaku. Untuk apa? Mungkin bunga itu juga tak berarti untuknya. Lagipula orang sepertiku mana pantas berada didalam sana meski hanya untuk mengatakan padanya semoga cepat sembuh.
~~@@~~
"Kayla,tolong jangan melamun didalam kelas saya!"
Teriakan Bu Hasnah masih bergema didalam telingaku. Keterlaluan. Kenapa aku bisa begitu emosional dan terbawa pikiranku sendiri hingga tidak memperhatikan pelajaran Bu Hasnah. Padahal nilai-nilai Sejarahku selalu bagus.
"Loe aneh Kay,"Rania datang dengan semangkuk mie instan dan segelas es teh."Bener loe nggak mau makan?"tawarnya seraya meniup ujung sendoknya.
Aku menggeleng.
"Gue lagi diet,"ucapku ngawur.
Rania meledakkan tawanya.
"Diet?Emang badan loe mau dikurusin kayak tiang listrik? Lagian sejak kapan loe belajar diet?"celutuknya menertawakanku.
Aku tak menjawab.
"Sebenarnya loe kenapa Kay? Apa ada yang loe pikirin?"cecar Rania kemudian.Ia mulai menatapku dengan serius.
Mungkin pertanyaan inilah yang kutunggu sejak tadi,agar aku bisa membagi keresahan hatiku dengannya.
"Gue nyesel Ran,"tandasku pelan.
"Nyesel kenapa?"Rania mengernyitkan dahinya.
"Karena udah mutusin Reno."
"Nah itu bagus. Emang udah seharusnya loe nyesel,"timpalnya cepat.
Aku menghela nafas mendengar tanggapan Rania.
"Gue saranin sebaiknya loe telpon Reno dan minta maaf ama dia. Terus bilang pingin balikan lagi,"ucap Rania beberapa saat kemudian.
"Nggak semudah itu, Ran,"timpalku.
"Lho emang apa susahnya?"
"Gue malu,"
Rania terbahak keras membuat seisi kantin menoleh ke arah kami.
"Kirain loe nggak punya malu,"candanya.
"Gue takut dia nggak mau maafin gue,"
"Ya loe coba aja dulu, yang penting loe berusaha,"
~~@@~~
"Aduh Kayla, sampai kapan kamu akan tidur terus?"
Teguran mama kudengar tak begitu jelas karena selimut menutupi seluruh tubuh juga telingaku.
"Kamu nggak bangun?"mama membuka selimutku.
"Apaan sih Ma? Inikan hari Minggu,"gerutuku seraya menarik selimutku kembali.
"Mama tahu,tapi ini udah jam sebelas Kay.Emang kamu nggak makan?"ucap mama.
"Kayla nggakl aper Ma,"sahutku.
"Mama sama papa mau pergi. Kamu mau ikut?"tawar mama. Langsung kutolak."Kak Abi juga sedang pergi,beneran kamu nggak mau pergi?"
"Mama pergi aja,"suruhku.
"Ya udah.Tapi kamu jangan tidur terus dong, jagain rumah baik-baik,"pesan mama sebelum keluar dari kamarku.
Mama cerewet bangt,batinku. Aku kembali memejamkan mata. Aku tidak ingin melakukan apa-apa hari ini kecuali tidur. Penyakit malas ini kembali menjangkitiku.Ah biarlah.....
Akubaru terjaga tengah hari. Itupun karena rasa haus yang mendadak menyerang kerongkonganku.Aku bergegas bangun dari tempat tidur dan melangkah kedapur untuk mencari sesuatu yang dingin untuk diminum.
Aku hendak kembali kekamarku namun suara bel pintu menahan gerakan kakiku.
Siapa juga yang bertamu hari Minggu begini,apa dia nggak tahu nggak ada orang dirumah?gerutuku kesal. Aku hendak mengabaikannya, tapi suara bel iu terdengar kembali.
Huh,dengusku kesal. Aku terpaksa harus membuka pintu dan mengatakan padanya kalau mama,papa dan kak Abi sedang tidak ada dirumah.
"Siang,Kay."
Aku hampir terloncat mengetahui siapa tamu yang sejak tadi ku maki-maki dalam hati.Reno!
Oh mama, papa bagaimana ini? Padahal aku baru saja turun dari tempat tidur dan belum sempat cuci muka apalagi mandi. Dan pakaianku hanya sebuah tank top dipadu dengan sebuah celana jeans super pendek. Oh Tuhan, betapa malunya diriku!
"Makasih bunganya,"tandasnya seolah menyadarkan kegugupanku.
"Oh...kapan kamu keluar dari rumah sakit?"basa basiku kemudian. Untuk menghilangkan kekakuanku.
"Kemarin,"sahutnya."Kenapa kamu nggak masuk dan menemuiku waktu itu?"
Aku tergagap. Bingung mencari kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaannya.
"Kay...."tegurnya.
"Apa aku masih pantas untuk menemuimu setelah apa yang aku ucapkan padamu saat itu?"
Tiba-tiba saja mataku tertutup kabut air mata. Aku berusaha sekuat tenaga agar tidak terjatuh menjadi tangis.
Reno tersenyum.
"Kenapa kamu berpikir seperti itu?"timpalnya."Sebenarnya aku sangat mengharapkan kehadiranmu..."
Benarkah?batinku.
"Apa kamu nggak membenciku?"tanyaku seraya menatap matanya lekat-lekat.
Reno menggeleng.
"Apa aku belum terlambat mengatakan aku mencintaimu?"
Reno mengembangkan senyumnya.
"Kamu belum terlambat, Kay,"tandasnya."Karena aku juga mencintaimu......"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar