Kamis, 02 Mei 2013

OMA MARTY


Oma Marty......
Sejak dulu aku sudah tahu Oma Marty tidak pernah menginginkan kehadiranku. Ia sangat membenci kelahiranku. Karena Oma Marty begitu mendambakan seorang cucu laki-laki sebagai penerus perusahaan keluarga kami.
Saat kecil Oma Marty tidak pernah menggendongku. Ia kerap mengacuhkan rengekan manjaku. Saat aku menangis, ia pasti marah besar padaku. Ia akan memukulku tanpa belas kasihan sama sekali.
Aku masih ingat betul kejadian-kejadian itu. Bahkan sampai aku dewasapun ia masih tetap membenciku. Meski aku sudah memiliki adik laki-laki tetapi kebenciannya padaku tidak berkurang sama sekali. Aku tidak habis pikir dengan Oma Marty. Apa sebenarnya yang membuatnya sangat benci padaku.
Memasuki usia 18 tahun aku memutuskan untuk keluar dari rumah. Semula aku ingin melanjutkan studi keluar negeri, namun Oma Marty menentang keras keinginanku. Ia berdalih sekolah diluar negeri membutuhkan biaya yang sangat besar, lagipula aku tidak terlalu pandai. Nanti malah akan membuang uang saja, begitu ucapnya kala itu.
Tapi keputusanku sudah bulat untuk keluar dari rumah. Aku sudah muak melihat Oma Marty dengan segala omelan-omelan panjangnya. Terlebih ia sangat memanjakan adik laki-lakiku. Aku bukan iri pada saudaraku sendiri, tapi aku juga cucunya yang berhak mendapatkan kasih sayang dari Oma Marty.
Aku memutuskan menetap bersama Tante Helena yan berprofesi sebagai designer pakaian. Sembari membantu pekerjaannya, aku juga banyak belajar tentang design darinya. Banyak sekali ilmu yang ku peroleh darinya. Dan hasilnya sekarang aku menjadi salah satu perancang busana muda berbakat. Sebuah butik telah aku miliki, meski tak begitu besar tapi aku sangat bersyukur dengan apa yang telah kumiliki sekarang.
Setiap hari aku sibuk dengan pekerjaanku. Aku tak pernah pulang ke rumah orang tuaku.Hanya sesekali menelepon dan mengirim sesuatu untuk mereka.
Namun beberapa hari yang lalu ibu mengirim kabar padaku,Oma Marty sakit. Dan ibu berharap agar aku menyempatkan diri pulang untuk menjenguk Oma Marty meski sesibuk apapun pekerjaanku.Tante Helena juga menyarankanku untuk pulang barang sekejap. Bahkan tante Helena sudah menjenguk Oma Marty kemarin. Ia mengatakan bahwa Oma Marty terkena penyakit diabetes. Kondisinya cukup parah.
Sedikitpun aku tidak tersentuh mendengar penuturan Tante Helena tentang keadaan Oma Marty. Penyakit seperti itu sudah biasa kerap terjadi pada orang seusia Oma Marty. Lagipula ia terkena penyakit seperti itu karena ia tak menerapkan pola hidup sehat.
Tidak. Aku sama sekali tidak merasa kasihan pada Oma Marty. Perlakuan buruk dan kebenciannya yang mendalam padakulah yang menjadikanku seperti ini. Mengeraskan hati dan perasaanku pada sosok orang tua bernama Oma Marty.
Aku tidak tahu apa yang kupendam dalam hatiku ini dendam atau bukan. Tapi yang pasti aku telah menutup pintu hatiku rapat-rapat untuk Oma Marty.
Aku tidak mau pulang. Toh Oma Marty tidak suka melihat kehadiranku. Siapa tahu penyakitnya malah bertambah parah saat aku muncul dihadapannya.
Ibu, Ayah dan Tante Helena terus menerus membujukku untuk pulang. Tapi sia-sia. Mereka tak bisa mengikis kerasnya batu karang dilautan. Bahkan Oma sendiri juga tidak menyuruhku untuk pulang.
Meski aku bukan seorang peramal tapi aku sudah mempunyai firasat jika umur Oma Marty tidak akan lama lagi. Dan pagi itu semua dugaanku terjadi. Oma Marty berpulang ke haribaan-Nya.
Tapi dinding batu dihatiku belum ambruk juga mesti aku tahu jika Oma Marty telah meninggal. Aku bahkan lebih memilih pergi hiking ke gunung bersama teman-temanku ketimbang pergi ke pemakaman Oma Marty.
Entahlah, pribadi seperti apa diriku sebenarnya.Apa hatiku benar-benar terbuat dari batu sehingga aku masih menyimpan kebencian kepada orang yang telah meninggal.
"Apa kau puas?!"teriakan ibu terdengar lantang dan penuh amarah padaku. Aku baru saja pulang dari butik malam itu dan sama sekali tak menduga akan disambut kemarahan ibu seperti itu.
Aku hanya diam tanpa beradu mulut dengannya. Ia datang malam itu seusai tujuh hari meninggalnya Oma Marty.
"Oma Marty sudah meninggal dan bahkan kau tidak mau datang di pemakamannya,"sentak ibu kemudian."Ibu tahu apa yang kau rasakan, tapi sampai kapan kau akan menyimpan dendam padanya?"
Aku menundukkan wajahku. Tanpa sepatahpun kalimat yang terucap dari bibirku.
"Memang Oma Marty kecewa padamu,karena kau tidak terlahir sebagai seorang anak laki-laki. Dia sering menyakitimu dan pilih kasih pada saudaramu. Tapi Oma Marty selalu melarang kami untuk memberitahumu penyakit yang ia derita. Di saat-saat terakhirnya dia selalu menanyakanmu, dan dia selalu mengatakan dia merindukanmu. Dia ingin minta maaf padamu, tapi dia takut kau tidak mau memaafkannya,"tutur ibu panjang lebar. Lanjutnya lagi,
"Oma mewariskan separuh perusahaan padamu. Juga sebuah rumah dan mobil,"
Aku terhenyak mendengar penuturan ibu. Benarkah Oma Marty memberikan semua itu padaku? Bahkan di saat-saat terakhirnya ia selalu mengingatku.
Air mataku perlahan jatuh dan berderai ke atas pipiku. Kenangan tentang seraut wajah pucat dan penuh dengan garis-garis usia terbayang di pelupuk mataku. Ia tampak tersenyum seraya melambaikan tangan ke arahku.
Oma Marty... apa kita bisa memutar waktu? Aku hanya ingin berbincang dengan Oma barang sekejap. Tentang kenakalanku dimasa kecil. Juga tentang cita-citaku menjadi designer profesional.
Oma Marty...mintakan pada Tuhan. Aku ingin terlahir kembali sebagai anak laki-laki. Agar Oma Marty bahagiadengan kehadiranku dan kami tidak perlu saling menyimpan kebencian satu sama lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar