Rabu, 17 April 2013

CINTA SEMUSIM


Tiba-tiba saja wanita paruh baya itu datang mengaku sebagai ibu kandungku. Aku hanya mematung saat ia mendekap tubuhku senja itu. Ia menangis tersedu seraya mengamati raut wajahku. Tapi tidak denganku. Aku hanya menatap kosong kearah wanita asing itu.
Semua terjadi begitu saja. Seperti mimpi. Aku yang selama ini tinggal di sebuah panti asuhan kecil di tiba-tiba saja terdampar disebuah istana asing nan megah. Ada seorang ibu dan ada figur seorang ayah. Juga ada seorang pemuda yang konon adalah kakak laki-lakiku. Seorang gadis belia yang wajahnya mirip denganku, ia lah adik perempuanku. Keluarga ini begitu sempurna, tapi aku merasa hanyalah seorang asing disini.
Entahlah, harusnya aku merasa bahagia bisa berkumpul dengan keluarga kandungku. Setelah rentang lima belas tahun yang panjang memisahkan aku dengan mereka. Konon sewaktu aku berumur lima tahun aku diculik. Dan pada akhirnya aku dibuang kesebuah panti asuhan kecil. Takdir terlalu rumit......
Aku tidak betah tinggal di tempat ini. Aku ingin pulang. Aku sudah terlalu rindu pada ibu panti, juga pada teman-teman kecilku disana. Aku ingin kembali kesana meski pastinya ibu kandungku tidak akan mengizinkannya.
"Kenapa tidak dimakan Rish? Apa makanannya tidak enak? Mama ...."
"Tidak Ma," potongku cepat. Sebelum ibu kandungku itu menyelesaikan kalimatnya. Aku benar-benar tidak punya selera makan malam ini, meski berbagai macam hidangan lezat terhampar di atas meja.
"Terus kenapa makanannya tidak dimakan?"cecar mama seraya menatap kearahku. Begitu juga dengan papa, Steven dan Laura.
Aku menghela nafas bermaksud mengumpulkan keberanian untuk mengatakan apa yang tengah mendera pikiranku saat ini.
"Irish ingin pulang, Ma," tandasku perlahan. Lirih namun cukup mengejutkan semua orang yang tengah berada di meja makan.
"Pulang kemana? Ini rumah kamu, Rish,"sahut mama tampak kecewa."Mama sudah kehilanganmu selama lima belas tahun dan sekarang kamu ingin pergi setelah susah payah mama menemukanmu?"
Mata mama tampak berkaca-kaca. Wanita paruh baya itu menghentikan kegiatan makannya karena air mata mulai mengalir kepipinya. Memaksaku menyesali perkataanku. Aku takkan mengatakan hal itu jika hanya akan menyakiti hatinya. Dan penyesalanku bertambah manakala melihat mama bangkit dari kursinya dan berlalu dari meja makan. Maafkan aku, Ma....
~~~~~~
"Kami semua menyayangimu," tandas Steven membangunkan lamunanku. Aku sedang duduk santai di teras sembari memandangi tangkai-tangkai mawar yang mulai menguncup. Ia datang lantas duduk di sebelahku. Rupanya kegundahanku telah mengundang simpatinya.
Aku belum menyahut. Kupikir tanpa bicara sepatah kalimatpun ia sudah tahu apa yang kupikirkan.
"Kami bukan orang asing, Rish,"ucapnya kemudian. "Kami adalah keluargamu. Darah yang mengalir dalam diri kami sama dengan darah yang mengalir dalam dirimu. Kau tahu itu kan?"
"Maaf,"timpalku cepat. Aku tertunduk untuk menyembunyikan raut bersalahku dari tatapan matanya.
"Kami tahu kamu butuh waktu untuk menerima semuanya. Mama juga,"ucap Steven lagi.
Aku mengangguk.
"Mungkin aku tidak siap dengan semua ini," balasku.,br /> "Tapi kamu akan mencobanya, bukan? "tagihnya. Kusambut dengan anggukan ragu.
Percakapan kami terhenti. Sebuah sepeda motor berhenti tepat didepan pintu gerbang. Dan tak lama kemudian seorang pemuda sebaya Steven mendekat ke arah kami.
"Hai!" sambut Steven tampak gembira menyambut kedatangan sahabatnya. Ia menepuk pundak pemuda itu lantas memperkenalkan aku padanya.
"Ini Irish, adikku.Dan ini sahabatku Aroon." Steven memperkenalkan sahabatnya padaku. Namun tak lama kemudian aku pamit dari tempat itu dan kembali kekamarku. Kurasa aku tak ingin mengganggu kedua sahabat itu.
~~~~~`
"Apa mama sakit karena aku?"
Aku mendekat ke tempat tidur mama. Ia tampak tergolek disana, namun setelah melihat kedatanganku ia bangkit. Lantas menyuruhku untuk mendekat.
"Irish tidak akan meminta pulang lagi,"tandasku. Mengalihkan percakapan.
"Benarkah?"sahut mama cepat. Kedua matanya berbinar cerah. Menyiratkan seberkas harapan dan kebahagiaan.
Aku mengiyakan. Aku tahu mama mencemaskanku beberapa akhir ini. Mungkin karena terlalu banyak memikirkanku ia menjadi jatuh sakit seperti sekarang. Dan aku tidak mau menjadi bebannya lagi.Ia ibu kandungku dan sudah sepantasnya aku berbakti padanya.
Mama meraih tubuhku kedalam pelukannya yang hangat. Perlahan aku akan belajar mencintainya dan berhenti menganggapnya sebagai orang asing. Ia ibu kandungku...
~~~~~~
"Apa Steven ada?"
Sebuah teguran sopan mampir di telingaku. Aku yang bertugas menyiram tanaman sore itu tertegun setelah menghentkan aliran air dari selang ditanganku. Aroon telah berdiri dibelakangku seraya tersenyum. Entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang aneh pada diriku. Terus terang aku sama sekali tidak pernah bergaul dengan teman pria. Seumur hidupku aku habiskan di panti asuhan untuk belajar dan bekerja mengurusi seluruh penghuni disana. Berhadapan dengan pria seperti ini benar-benar membuatku canggung dan salah tingkah.
"Oh..dia belum pulang,"jawabku kaku."Kalau kamu mau menunggu silakan masuk saja,"tawarku kemudian. Berbasa-basi.
"Tidak usah,"sahutnya cepat."Aku pulang saja,"
"Mungkin sebentar lagi dia pulang..."
Tapi Aroon tetap bersikeras ingin pulang ketimbang menunggu Steven. Dan aku juga tidak bisa memaksanya untuk tetap tinggal, padahal aku ingin sedikit lebih mengenal sosok pria itu....
"Kamu menyukainya?"
Aku tergagap mendengar teguran yang nyaris membuat jantungku berhenti berdetak itu. Laura tengah berdiri tak jauh dari tempatku berdiri dan tengah mengawasi gerak-gerikku.
"Aku tahu kamu menyukai Aroon,"sambung Laura cepat. Langkah kakinya bergerak mendekat ke tempatku berdiri."Tapi jangan berharap bisa mendapatkan dia. Awas kalau kamu mencoba merayunya," ucap Laura seperti sedang mengancamku.
"Apa maksudmu?'tanyaku bingung.
"Jangan berlagak bodoh!"teriaknya keras."Aku mencintai Aroon, kamu tahu? Dan dia harus menjadi milikku. Paham?"sorot mata Laura berubah menjadi liar.
Ada apa dengannya? Apa dia sudah lupa jika kami adalah saudara? Kenapa dia mengancamku seperti itu?
~~~~~~
Mendung tergantung berat diatas langit. Aku harus segera pulang kerumah jika tidak ingin barang-barang belanjaanku basah terkena air hujan. Namun langkahku terhenti didepan pintu rumah. Suara teriakan dari dalam rumah telah pergerakan kakiku.
Itu suara papa dan mama,bisikku seraya mempertajam pendengaranku. Aku tak berniat menguping tapi naluriku terlanjur memaksaku untuk melakukannya.
Apa aku tak salah dengar?batinku terhenyak. Dari yang kudengar mereka bertengkar tentang wanita simpanan papa, juga menyinggung masalah perceraian. Bahkan aku mendengar tangisan mama.
Ada apa ini?batinku seraya melangkah meninggalkan teras dan kembali ke jalanan, padahal hujan telah siap mengguyurku. Ada apa dengan keluarga ini? Sewaktu aku datang sampai kemarin semua tampak baik-baik saja. Papa dan mama yang selalu tampak harmonis, Laura yang manis dan imut. Tapi kenapa semua tampak berbeda sekarang? Apa mereka hanya tampak baik didepanku saja? Sebenarnya bagaiman keluarga ini yang sebenarnya?
Tetes-tetes gerimis mulai berjatuhan ke atas kepalaku. Aku juga membiarkan barang-barang belanjaanku basah. Aku sudah tidak peduli dengan semua itu. Pikiranku kacau dan aku sudah kehilangan akal sehatku.
Mendadak sebuah mobil berhenti tepat dihadapanku dengan derit rem yang berbunyi panjang.Membuatku tersadar bahwa tubuhku nyaris disambar olehnya.
"Kamu tidak apa-apa?"
Aku tergagap mengetahui pengendara mobil itu yang telah bersusah payah turun dari mobilnya dan menghampiriku hanya untuk memastikankan keadaanku baik-baik saja. Aroon?
"Baik.....aku baik,"jawabku gugup.
"Kamu mau pulang? Biar kuantar,"tawarnya kemudian. Tak bisa kutolak karena dia terus memaksa.
~~~~~~
Hujan masih bertahan. Mengguyur bumi sekian waktu lamanya. Masih belum ada tanda-tanda akan berhenti.
Aku merasa sedikit lega. Saat Aroon mengantarku pulang, papa telah pergi dari rumah. Sementara mama tampaknya mengunci diri didalam kamarnya usai bertengkar dengan papa. Dan aku tak perlu memergoki pertengkaran mereka berdua.
" Bukankah sudah kuperingatkan jangan coba-coba mendekati Aroon?!"teriak Laura menyeruak masuk kedalam kamarku tanpa permisi. Wajahnya tampak merah menahan geram. Gadis itu langsung menarik rambutku dengan kasar.
"Ada apa Laura?"tanyaku dalam ketidakberdayaan. Tak mungkin aku berontak dan melawan adikku sendiri.
"Jangan pura-pura bodoh! Apa kata-kataku kemarin kurang jelas? Aroon milikku dan jangan sekali-sekali merebutnya dariku atau kamu akan merasakan akibatnya!"ancam gadis itu setengah berteriak. Tiba-tiba saja ia mendorong tubuhku dengan keras ke arah tembok. Membuat kepalaku merasakan sakit luar biasa manakala ia membentur tembok.
Beberapa detik lamanya duniaku gelap. Aku nyaris tak bisa menguasai keseimbangan tubuhku.
Laura tersenyum menyeringai melihatku jatuh terkapar di atas lantai. Ia tampak puas telah menyakitiku. Oh Tuhan, jeritku dalam hati. Inikah adik kandungku? Kenapa ia begitu tega menyakiti kakak kandungnya sendiri?
Rambutku basah oleh cairan berwarna merah kental. Darah. Rupanya benturan dikepalaku cukup keras tadi. Tapi sakit dikepalaku tak seberapa jika dibandingkan dengan sakit hatiku. Aku merasa hancur mendapati keluargaku seperti ini. Mungkin seharusnya aku tidak pernah hadir disini dan mengenal mereka. Mungkinkah kehadiranku kedunia ini adalah sebuah kesalahan?
~~~~~~
Meja makan tampak sepi pagi ini. Padahal kemarin pagi meja itu masih lengkap dengan penghuninya. Tapi sekarang hanya ada mama dan Steven. Laura telah berangkat ke sekolah sementara papa sudah pergi ke kantor. Entah pukul berapa papa pulang semalam.
Selera makanku hilang semenjak pagi tadi padahal perutku kosong. Entahlah, aku merasa teramat asing dirumah ini, jauh lebih asing dari pertama kali aku datang ke tempat ini.
"Papa dan mama akan bercerai,"tandas mama dengan nada bergetar. Mengejutkan bagiku, namun tidak untuk Steven. Sepertinya ia telah tahu lebih dulu tentang masalah ini daripada aku.
Aku hendak bertanya, namun penegasan mama menghentikan niatku.
"Mama tidak bisa menjelaskan apa-apa saat ini,"tegas mama."Kalian sudah dewasa dan mama sangat yakin kalian pasti mengerti,"
Tak ada pertanyaan maupun pernyataan yang keluar. Percakapan terhenti sampai disana. Bahkan sarapan juga tak tersentuh sama sekali.
Kenapa keluarga yang semula kukira bahagia ini berubah menjadi dingin dalam waktu yang relatif singkat. Apa sebelum aku datang mereka sudah seperti ini, dan sewaktu aku datang mereka hanya bersandiwara belaka? Ataukah kehadiranku di rumah ini membawa kesialan bagi mereka?
Steven menepuk pundakku perlahan. Menyadarkanku jika ada sebutir air mata jatuh ke atas piring kosongku. Meski tanpa kalimat sepatahpun aku tahu ia ingin membuatku lebih memahami apa yang terjadi dalam keluarga kami.
Ya, aku akan berusaha memahami apa yang menimpa keluarga kami. Sesulit apapun itu.....
~~~~~~
Aku terjaga malam ini. Rasa haus menggerogoti kerongkonganku dan memaksaku harus turun dari tempat tidur. Suara gaduh terdengar dari arah ruang tamu begitu aku menutup pintu kulkas. Aku memberanikan diri untuk mengintip apa gerangan yang sedang terjadi disana.
Laura tampak limbung melangkah masuk. Sementara mama mendadak menghampirinya dengan langkah tergopoh cemas. Laura segera dituntunnya menuju kamar.
Oh Tuhan, aku tidak percaya pada apa yang baru saja kulihat barusan. Laura yang tampak polos dan manis, pulang dini hari dalam keadaan mabuk pula. Dan anehnya mama tidak tampak terkejut. Sepertinya bukan kali ini saja adikku itu pulang dalam keadaan mabuk seperti ini.
Sedemikian hancurkah keluarga ini? Setelah sekian tahun terpisah dengan mereka aku memimpikan sebuah keluarga yang harmonis dan bahagia, bukan keluarga yang terberai seperti ini.
Aku kembali kedalam kamarku dengan berbagai macam pikiran. Membuatku semakin gundah dan tidak bisa tidur hingga pagi tiba.
~~~~~~
"Apa yang terjadi dengan keluarga ini, Ma?"sentakku seraya menyeruak masuk kedalam kamar mama yang tak terkunci. Wanita itu tampak melamun didepan meja riasnya. Ia tampak terkejut melihat aku masuk dan memergoki lamunannya.
Namun mama segera mengembangkan senyumnya demi menutupi kegundahan hatinya.
"Ma..."kali ini aku hendak memaksanya untuk berterus terang."Katakan Ma, jika mama menganggapku putri kandung mama,"tandasku setengah memaksa. Kupikir mama sangat memahami maksud ucapanku.
Mama terdiam. Sepasang mata sayunya menatapku. Seperti penuh iba. Juga sarat dengan air mata yang siap tertumpah kapan saja.
Setelah sekian waktu lamanya, akhirnya bibir mama yang semula terkatup terkuak juga. Sederet panjang kisah mengalir darinya meski terbata dan kadang tersendat. Deraian air mata juga mengalir mengiringi paparan kisah darinya.
Aku diam tertunduk tanpa sela. Meratapi kisah mama dengan aliran air mata yang juga tanpa henti.
~~~~~~
Mendadak saja kepalaku sakit. Tepat saat aku melangkah keluar dari rumah. Guyuran air hujan jatuh ke atas kepalaku tanpa kupedulikan. Aku terus menyeret tas dit anganku dan tak menoleh lagi kebelakang.
Sekarang aku tahu siapa diriku. Jati diri yang selama ini mama rahasiakan dariku. Namun akhirnya terungkap jua .
Mama pernah melakukan kesalahan dimasa mudanya dan akhirnya muncullah diriku. Aku dititipkan disebuah panti asuhan. Dan setelah lima belas tahun kemudian mama mengambilku kembali setelah mendapat persetujuan papa tiriku.
Mama menikah dengan seorang duda kaya beranak satu. Dari pernikahan mereka lahirlah Laura, sedang aku bukan siapa-siapa dalam keluarga itu. Steven telah membohongiku. Ia hanya menghibur kegundahanku saja kala itu.
Kenapa cobaan ini terlalu berat untukku? batinku pedih.
Aku akan kembali. Pulang ke tempat asalku. Panti asuhan. Disanalah tempat yang paling sesuai untukku. Tak ada saudara tiri, papa tiri, atau adik tiri. Semua bersaudara tanpa memandang kaitan darah.
Mendadak sebuah benda besar menghantam tubuhku dengan keras ketika aku hendak menyeberang. Aku merasakan tubuhku terlempar ke udara dan jatuh terhempas ke tanah sesudahnya.
Untuk beberapa detik lamanya aku tersadar bahwa aku mengalami kecelakaan. Namun aku tersenyum. Mungkin ini adalah akhir penderitaanku. Aku tidak perlu mengalami derita-derita selanjutnya dalam hidupku. Semua telah berakhir disini. Dijalanan yang basah ini.
Tapi jika Tuhan mengizinkan adanya sebuah reinkarnasi, aku lebih memilih untuk menjadi sebuah batu besar diatas gunung dikehidupan mendatang. Yang selalu kuat dan tegar meski hujan dan panas menderanya sepanjang waktu.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar