Kamis, 15 Desember 2016

CINTA GAGAL MOVE ON (cerpen)


Gerimis luruh senja ini.Membasahi kepala dan pundakku yang terbungkus mantel wol cokelat.Memaksaku untuk segera berlari kesebuah coffe shop terdekat.
Hufftt...
Aku memilih kursi yang kosong didekat dinding kaca agar aku bisa menatap keluar.Tempat favoritku jika sedang mengunjungi restoran atau coffe shop seperti ini.
Aku memesan secangkir coffee latte dan sepotong strawberry cake.Sekedar pengganjal perut dan sekaligus pengisi waktu sampai hujan reda.
Sejujurnya suasana seperti ini membuatku rindu rumah.Tapi seperti ada sesuatu yang menahanku untuk kembali pulang.
Sudah dua tahun aku tak pulang ke Jogja.Ke kampung halaman dimana aku dibesarkan.Ah,ibu aku merindukanmu.


"Kamu nggak ingin pulang Bagas?"
Pertanyaan Mas Galih terngiang kembali ditelingaku.Kami sempat berbincang ditelepon kemarin.Sambungan internasional.
"Iya Mas,"sahutku."Masih banyak kerjaan disini.Nanti kalau sudah longgar aku pasti pulang."
"Ibu kangen kamu Gas..."
Aku mendesah.Pelan.Mas Galih pasti berharap.
"Iya Mas."


Aku menyesap isi cangkir diatas mejaku yang mulai mendingin.Seraya menatap keluar.Titik-titik air masih berjatuhan meski tak sederas tadi.
Beberapa orang tampak lalu lalang dengan membawa payung.Sebagian lagi tampak berteduh diteras toko-toko.
Aku menyuapkan potongan strawberry cake ke mulutku.
Manis.Semanis senyum yang masih tersimpan dibenakku.Cinta pertama yang tak pernah tersampaikan.
Hanya tersimpan rapi didalam ingatanku.Sebuah kenangan.
Mungkin itulah yang membuatku belum bisa move on sampai sekarang.Meski ada beberapa gadis yang sempat dekat denganku,tapi hanya sebatas teman.Tak lebih.
Aku susah jatuh cinta lagi.Itulah masalahnya.Bukan berarti aku menutup diri.Hanya saja aku belum bisa membuka hati dan menerima cinta baru.Meski gadis berparas cantik khas Asia timur sering berkeliaran didepan mataku,tapi aku lebih menyukai paras Indo.
Kuakui,aku merindukan Indonesia,juga dirinya.Cinta pertamaku...


Tokyo-Jakarta.
Jakarta-Jogja.

Akhirnya aku pulang juga.Dengan membawa segenap kerinduan yang akan kutumpahkan ditanah kelahiranku.
Ibu memelukku seraya tak kuasa menahan isak tangisnya.Beliau tampak sehat meski keriput diwajahnya bertambah sedikit.Ia tampak gembira melihat kedatanganku.
"Akhirnya kamu pulang Gas,"ucap Ibu seraya menyentuh pipiku dengan lembut."Kamu tambah ganteng saja,"pujinya kemudian tersenyum.
"Ibu sehat-sehat saja kan?"tanyaku.
"Iya,Ibu sehat,"tandasnya."Kamu yang agak kurusan."
Aku tersenyum pahit.
"Karena disana makanannya nggak enak Bu.Kalah enak dengan masakan Ibu,"celotehku.
Ibu mengembangkan senyum.
"Kamu bisa saja,"sahutnya cepat seraya menepuk pundakku."Oh iya,Ibu sudah masak sayur nangka kesukaanmu.Ayo masuk..."
Ibu mengajakku masuk.
Dadaku bergetar saat melangkah masuk kedalam rumah.
"Bagas!"
Mas Galih memekik saat melihatku.Ia menghambur dan langsung memeluk tubuhku dengan erat.
"Gimana kabarmu?Sudah banyak uang nih,"sindirnya setelah melepaskan pelukannya.Ia menepuk-nepuk pundakku.
Aku tergelak.
"Mas Galih ini bisa saja,"sahutku."Eh mana sikecil?"tanyaku kemudian.
Aku baru saja menutup bibirku manakala seseorang datang kearah kami.Seorang bayi mungil berada didalam gendongannya.
"Ini dia Fayra,"ucap Mas Galih seraya mengangkat tubuh bayi itu dari gendongan istrinya."Dia cantikkan?"
Tentu,batinku.Secantik ibunya.
"Apa kabar Gas?"sapanya.
Dia Maya.Kakak iparku.Dia mengulurkan tangan untuk menyalamiku.
"Baik,"sahutku berusaha untuk tidak canggung saat menyambut uluran tangannya.
Sial,makiku dalam hati.Kenapa dadaku tak bisa berkompromi seperti ini?Padahal sejak turun dari pesawat tadi,aku sudah mempersiapkan hati dan mentalku.
"Ayo makan dulu Gas,"untunglah Ibu datang disaat yang tepat."Kamu juga pasti capek.Nanti saja mengobrolnya."
Aku dan Mas Galih terbahak bersama.
"Iya Bu,"sahutku kemudian.


Maya...
Dia adalah cinta pertamaku yang kini resmi menyandang gelar kakak iparku.
Dia adalah gadis yang dulu nge-kos didepan rumah kami.
Aku kerap melihatnya pulang pergi kampus.Beberapa kali berpapasan tapi tak punya keberanian untuk menyapa.
Itulah diriku.Pecundang dan tak punya nyali didepan seorang gadis.Meski aku jatuh hati padanya,namun aku hanya menyimpannya sendiri.Menyiksa diriku sendiri.Kupikir aku sangat tolol saat itu.Bahkan sampai sekarang aku sulit menghilangkan sifat-sifat itu dari diriku.
Dan rupanya Mas Galih punya perasaan yang sama denganku.Bedanya ia punya keberanian yang sama sekali tak kupunya.
Aku menelan kekecewaan saat Mas Galih memberitahuku bahwa ia dan Maya telah jadian.Rupanya Mas Galih bergerak lebih cepat dari yang kubayangkan.
Aku menyembunyikan rasa kecewa dan patah hatiku dari semua orang.Hingga suatu saat aku menerima brosur beasiswa pendidikan ke Jepang.Aku pikir mungkin dengan pergi ke tempat yang jauh akan menyembuhkan luka dihatiku.Nyatanya tidak.
Perasaan itu masih ada sampai sekarang.Bahkan semakin parah saat aku pulang ke Jogja.


"Kapan kamu menyusul mas-mu?"tegur ibu sembari meletakkan segelas teh jahe.Ibu paling tahu jika tubuhku paling rentan terhadap cuaca dingin.
"Maksud Ibu?"aku belum mengalihkan mataku dari layar laptop.
"Kapan kamu memikirkan masa depanmu jika setiap hari kamu bekerja seperti ini,"tandas ibu sembari mengambil tempat duduk disebelahku.
Aku tertegun.Konsentrasiku lepas dari grafik dan data yang sedang kutekuni sekarang.
Ibu mendesah berat.Seperti ada beban yang ingin ia hempaskan.
"Dulu kamu selalu belajar siang dan malam,"tandas ibu menerawang.Mengingatkan kembali akan masa-masa sekolahku dulu."Kamu sangat pendiam dan nggak punya teman.Semua demi beasiswa itu.Sekarang semuanya itu telah kamu capai,Nak.Ibu harap kamu juga memikirkan masa depanmu.Jangan bekerja terlalu keras seperti itu,"sambung ibu kemudian.
Ucapan ibu benar.Tapi aku juga punya alasan tersendiri.
"Bu...,"aku menyentuh bahu ibu dan mengabaikan laptopku barang sejenak."Ibu nggak usah cemas seperti itu.Aku kan baru saja bekerja.Lagipula kebutuhanku juga masih banyak.Aku masih pingin beli ini itu,juga harus menabung,"tandasku mencoba menenangkan hati ibu.
"Tapi jangan lama-lama Nak,"ucap ibu."Ibu sudah tua."
Aku tersenyum.
"Iya Bu."


Sore ini aku berjalan-jalan di Malioboro ditemani Mas Galih.Aku hanya ingin mengenang masa kecil kami.Tanpa ayah.Lima tahun yang lalu beliau telah pergi meninggalkan kami semua.
Banyak sekali barang-barang yang ditawarkan disepanjang jalan.Beragam dan menarik hati.Tukang becak juga masih banyak mangkal dipinggir jalan dan sesekali menawarkan tumpangan kepada kami.
"Jogja masih sama seperti dulu,"gumamku sembari menghirup udara sore.
Mas Galih tampak tersenyum.
"Kamu yang banyak berubah,"tandasnya kemudian.
"Berubah apa Mas?"tanyaku bingung.
"Kamu tambah kurusan sekarang,"cetusnya."Juga sedikit tambah putih.Tapi untungnya matamu masih selebar dulu.Aku takut matamu berubah sipit terlalu lama tinggal disana,"guraunya membuatku terbahak.
"Ya...Mas sendiri kan tahu disana jarang ada nasi.Paling-paling sushi atau ramen.Aku jadi malas makan kalau ada disana.Tapi selama disini aku akan makan banyak biar gemuk,"ocehku.
Mas Galih tertawa.
"Kapan kamu akan balik kesana?"tanyanya kemudian.
"Minggu depan,"sahutku."Pekerjaanku menunggu Mas.Lagipula aku terikat kontrak perusahaan.Mas tahu sendiri kan gimana kinerja orang Jepang,"paparku.
"Iya kamu benar,"sahutnya."Kenapa kamu nggak nyari kerja disini saja biar dekat dengan keluarga.Kasihan Ibu kan."
"Mas benar.Akan ada saatnya aku harus kembali dan menetap disini,di kampung halaman.Tapi kupikir bukan sekarang,"tuturku.
Kami masih menapaki jalanan yang mulai ramai oleh pejalan kaki.
"Apa nggak ada seseorang yang kamu suka disini?Yeah,paling nggak bisa menahanmu untuk tetap tinggal disini.."
Aku tertegun.
Ada,batinku.Seseorang itu ada.Tapi bukan untuk menahanku tetap tinggal.Justru karena dialah yang membuatku selalu ingin pergi.
Dan seseorang itu adalah istrimu,Mas Galih....
"Aku nggak punya seseorang itu,"ucapku kemudian.Berdusta.
"Makanya jadi orang bergaul sedikit,"Mas Galih menepuk pundakku."Apa perlu Mas carikan seseorang untukmu?"tawarnya seraya mengedipkan sebelah matanya.
"Ah Mas ini..."
"Atau jangan-jangan kamu sudah jatuh cinta pada gadis Jepang..."tebak Mas Galih.
"Nggak kok,"sahutku pura-pura sewot."Aku suka produk dalam negeri..."
"Benarkah?Seperti apa tipemu?"desaknya menggoda.
Aku tak menyahut.Hanya menimpuk bahunya sedikit keras.Membuatnya melepaskan tawa.


Ah,Maya masih tampak cantik.Tubuhnya sedikit berisi dan kelihatan segar dimataku.Wajah polos dan tanpa make up membuatnya terlihat cantik alami.Dan aku suka itu.
Meski ia sering memakai daster dan rambutnya dijepit asal-asalan tak mengurangi kekagumanku padanya.
Aku sudah buta karena cinta.Tidak!
"Dimakan singkong gorengnya Gas,"tawar Maya mengagetkan.Ia meletakkan sepiring singkong goreng keatas meja.Juga segelas teh jahe hangat.
"Kata ibu kamu sering masuk angin,jadi dia menyuruhku membuatkan teh jahe,"ucapnya kembali.
"Makasih,"sahutku terbata.
Oh Tuhan,kenapa sulit sekali untuk bersikap wajar dihadapannya.Kenapa dada ini juga bereaksi berlebihan saat ia berada didekatku semenit yang lalu.
Jangan bodoh Bagas!rutukku dalam hati.
Aku tahu posisiku dan aku tidak akan bertindak bodoh.
"Kamu nggak berubah ya,masih pendiam seperti dulu,"cetus Maya sembari tersenyum manis.Semanis strawberry cake yang pernah kunikmati saat hujan di Tokyo beberapa waktu yang lalu.
Aku hanya tersenyum.
Aku memang si pecundang,May batinku.Itulah kenapa aku tidak pernah bisa memilikimu.
"Kamu tahu nggak,sejak dulu aku menyukaimu,"tandasnya membuatku terperangah."Karena kamu sopan dan pemalu.Mungkin semua orang juga menyukaimu,"Maya tersenyum lagi.
"Harusnya kamu menikah dengan Bagas,May.Bukan denganku,"seru Mas Galih tiba-tiba.Disusul deraian tawa kemudian.
Aku sempat terkejut dan khawatir tadi.Kupikir Maya benar-benar menyukaiku dalam artian lain.Nyatanya aku salah paham.
"Mas ini apa-apaan sih,"gerutuku kemudian."Bercandanya jangan keterlaluan dong."
"Kamu ini nggak bisa diajak bercanda ya,"Mas Galih merangkul pundakku dengan erat."Jangan terlalu serius dengan pekerjaan.Nanti wajahmu penuh keriput lho..."
Aku terbahak.
"Kalau begitu aku akan operasi plastik saja,"gurauku.
Mas Galih ikut tertawa.Maya juga.


Pesawat yang kutumpangi ke Tokyo baru saja take off sekitar lima menit yang lalu.
Akhirnya aku kembali kesana.Ke tempat yang jauh dari kampung halaman.Meski rencana awal aku akan kembali dua hari lagi.Tapi aku tak mau menunggu.Hatiku terlalu rapuh dan sewaktu-waktu bisa retak jika aku terus menerus ada di Jogja.Aku tak ingin tersiksa lebih lama lagi.
Maya...
Sebaris nama special itu kutinggalkan sejenak di Jogja.Dan pasti akan kukunjungi lagi meski hatiku akan patah kembali.Karena sekarang ia adalah bagian dari keluarga kami.
Biarlah kisah cinta ini kupendam sendirian dan tak perlu ada yang tahu.Cukup aku dan Tuhan yang tahu.
Mungkin suatu saat aku menemukan Maya yang lain yang diciptakan Tuhan untukku.
"Permisi,apa Anda mau minum sesuatu?"
Seorang pramugari cantik menegur lamunanku.Senyumnya terkembang manis disudut bibirnya yang tipis.
Sebaris nama tertulis dikepingan kecil didada kirinya.
Maya Febrianty...

(Tamat)

























Tidak ada komentar:

Posting Komentar